You are on page 1of 7

URUSAN PERUT DAN HATI

Hujan masih mengguyur deras tanah Malang sampai sore ini. Aku dan kedua
temanku, Rani dan Lia, masih sibuk memesan bakso dan mie ayam depan kampus.
Kuliah Kimia Anorganik selesai jam setengah lima sore tadi. Karena hujan masih berupa
gerimis, kami segera mencari tempat makan sembari menunggu langit agak terang. Bakso
dan mie ayam depan kampus yang murah tapi enak akhirnya menjadi tempat tujuan perut
lapar kami.
“Mas, baksonya dua, mie ayamnya satu ya” kata Lia memesan ke mas-mas mie
ayamnya.
“Mie ayamnya gak usah ditambah micin lagi ya mas.” tambahku.
“Oke mbak, minumnya?” jawab masnya, sudah hafal request khas-ku.
“Aku gak pesen minum ya gengs.. aku masih ada” kata Rani menyela.
“Eh teh satu sama es jeruk, tapi esnya dikit aja, satu mas.” kataku lagi. Lia
memang selalu pesan es teh dan aku memang suka es jeruk-sedikit-es.
Sembari menunggu pesanan kami jadi, obrolan gadis-gadis remaja mulai meluber
kemana-mana. Tadi, kami mendapat tugas berbeda-beda untuk kimia anorganik. Tugas
lapangan tentang bahan kimia di makanan.
“Tadi kamu dapet apa Mel?”tanya Lia padaku.
“Aku pewarna makanan tau, ke pasar Batu. Jauhnya…. kalian apa? Kalian dapet
sekelompok kan ya tadi?” jawabku memelas.
“Hahahaha, iya dong. Enggak kali, Batu gak jauh. Kamu aja yang jarang main.
Kita dapet penyedap rasa di Bakso. Ke pasar Merjosari. Harusnya kamu ya yang dapet
tema ini, kan kamu gak doyan micin.” kata Lia lagi. Rani cuma diam saja main hp.
“Iya tau ya.. harusnya aku. Hahahah… gak jodoh. Aku juga lebih suka mie ayam
dari pada bakso karena micinnya bakso biasanya lebih kerasa kuat di lidahku.” jawabku.
“Emang kamu kalau makan micin kenapa sih? Lagian di mana coba kamu cari
makanan tanpa micin hari gini?” tanya Rani agak sarkas yang akhirnya nimbrung.
“Hmm, gimana ya tems, ibukku waktu kecil menanamkan banget MSG-free food
ke kita. Jadi kayak gak kebiasa aja kalau makanannya kebanyakan micin. Kadang kalau
abis makan bakso gitu aku suka agak pusing atau mual. Tapi gak sensitif banget gitu
kok.. udah ter-desensitisasi kok bertahun-tahun jajan di luar kan hidup nya udah
bermicin. Cuman yah, memori masa kecil masih kena banget gitu, memilih sedikit micin
gitu.” belaku sambil meringis.
“Kamu bisa gitu ngerasain makanan bermicin? Kayaknya di lidahku sama aja,
hahahhah…” jawab Lia lagi.
“Micin itu gak bahaya kali sebenarnya, bahan alaminya ada juga di otak. Selama
porsinya gak berlebihan banget sih, kayak kamu makan micin sebungkus gede sekali
tegak” jelas Rani yang paling pinter padaku”tapi ya kalau emang sensitif gak tau ya..
yang malah banyak bahaya tuh malah pengawet. Banyak yang suka pake yang gak aman
kayak boraks, formalin, serem. Bikin kanker.” Jelas Rani panjang lebar.
“Ada lagi Ran. Plastik. Tau gak?” timpal Lia.
“Plastik? Maksudnya?” tanyaku heran. Baru kali ini aku dengar plastik disangkut-
pautkan di obrolan ini.
“Itu lho Mel. Plastik biar bikin gorengan awet renyah.” Timpal Lia lagi.
“Hah?”selaku kaget.
“Iya. Jadi pas goreng, nanti ada plastik yang sengaja ikut digoreng gitu, kan nanti
lapisan plastiknya menutupi permukaan tuh, jadi lebih tahan lama renyahnya.”kata Lia
menjelaskan, sambil menerima minuman yang sudah datang.
“Ini mbak, bakso dua sama mie ayamnya.” mas-mie ayam-nya tiba-tiba sudah
meletakkan pesanan kami. Setelah mengucapkan terimakasih, aku menerima mie ayamku
sambil masih mencerna informasi baru tentang gorengan dan plastik tadi.
“Aku juga dikasih tau sama Ruri gorengan mana aja di sekitar kampus yang pake
plastik.”Lia masih melanjutkan dengan –catat- bangga. Lia, biang gossip di antara geng
pendiam kami, mulai pidatonya. Sore ini habis dengan mendengarkan gossip-gosip dari
Lia sambil aku terkaget-kaget. Ketika adzan Maghrib berkumandang, hujan tinggal
gerimis kecil. Kami berpisah di depan kampus.

Minggu malam, aku baru pulang dari pasar Batu bersama teman sekelompokku.
Sebelum pulang ke kos, aku mampir di warung lalapan yang sudah jadi langgananku dua
minggu ini. Di Malang, lalapan memang jadi makanan khas mahasiswa. Aku suka
warung ini karena sambal tomatnya enak sekali dan satu porsi lalapan sudah gratis es teh
bisa dibungkus pulang. Tapi biasanya aku masih minta tambah satu porsi sayur lalapan
dan sambal lagi. Aku tahu serat sayur itu penting untuk percernaanku, jadi lalapan yang
komplit ayam dan sayur memang sangat pas untukku, dan juga tidak lupa, untuk
kantongku. Sambil menunggu pesananku selesei dibungkus, aku melirik remah-remah
sisa gorengan atau “kriuk” dari gorengan ayam dan lele.
“Minta kriuknya boleh gak bu?” tanyaku pelan sambil tersenyum. Sejak beberapa
hari lalu aku ingin minta tapi malu.
“Oh, boleh-boleh, ambil aja gak papa…. Atau mau diambilin?” tanya ibu owner
nya ramah.
“Boleh bu ambil sendiri? Makasih bu…” jawabku langsung menyambar plastik
bening di rak. Lumayan kan kriuknya untuk camilan sama nasi. Maklum, mental
mahasiswa hemat. Hahahaha… Tidak lama pesananan sudah selesei aku segera pulang.
Sampai di kosan, nasi lalapanku ku letakkan di depan rak piring, aku segera ambil
air wudhu untuk shalat Isya dahulu. Selesei sholat Isya, aku nyalakan leptop, mencari
film yang bisa kutonton sambil makan malam, ambil piring dan air putih di gelas, lalu
mengambil posisi untuk makan di depan leptop sambil nonton. Uhh.. aku jatuh cinta
dengan sambalnya.
Setelah nasi sepiring habis, aku baru ingat kriuk gorenganku yang tadi ku
bungkus. Aku ambil mangkok dan saos, lalu mulai membuka kriuk yang kuambil
lumayan banyak tadi. Mangkok ku penuh dengan kriuk yang aku tuang di dalamnya.
“Duh kebanyakan.” Keluhku, melihat ada kriuk yang jatuh. Aku mencoba
mengambil kriuk yang jatuh. Tiba-tiba, mataku menangkap penampakan sesuatu yang
tipis di antara kriukan yang jatuh. Tipis, kecil, bening, mengkilap. Mataku membulat dan
tanganku segera bergerak mengambil benda tipis, bening, kecil, mengkilat itu. Oh
tidakkk…. Itu potongan plastik!
Keringat dinginku menetes di punggung dan kepalaku terasa agak berat.
Terngiang-ngiang cerita Lia tempo hari.
“Iya. Jadi pas goreng, nanti ada plastik yang sengaja ikut digoreng gitu.”
Dan perkataan Rina.
“Bikin kanker. Bikin kanker Bikin kanker Bikin kanker Bikin kanker Bikin kanker
Bikin kanker Bikin kanker Bikin kanker Bikin kanker Bikin kanker Bikin kanker.”
“Tidak!!!” teriakku dalam hati “Aku gak mau kena kanker”. Segera kumasukkan
kembali kriuk dalam plastik dan kulempar ke tempat sampah depan kamar. Kuingat-ingat
lagi, tadi aku makan lele goreng, berarti tadi aku makan lele goreng plastik kriuk. Berarti
selama ini aku sedah makan ayam goreng plastik, nila goreng plastik, lele goreng
plastik… Oh No! Oke, setelah ini, mari kita cari tempat makan baru.

“Siang budhe…. Mau makan sop ya budhe, makan sini.” Sapaku pada ibu-ibu
pemilik warung makan “Tercinta”, yang sudah satu minggu kudatangi setelah kejadian
“Lalapan Goreng Plastik”. Aku suka makan di warung ini, karena setiap aku pesan pecel,
sambal pecel warung ini bukan bumbu jadi, tapi racikan sendiri. Bayangkan, tiap aku beli
beli, ibu pemilik warung selalu harus mengulek kacang dan cabe dahulu. Bumbunya
benar-benar fresh! I like it.
“Sambalnya habis ya budhe?” tanyaku memelas, melihat mangkuk sambal
kosong.
“Iya a mbak? Saya ulekkan dulu kalau gitu gimana? Nunggu bentar mau?” tanya
ibunya sambil tersenyum.
“Oke budhe...” Jawabku sambil mengambil piring dan mulai menyendok nasi dan
sayur sop. Saat aku sudah mengambil tempe dan sayur sop ke piringku, aku menonton
ibu warung mengulek sambalku dengan mata penuh harap. Sampai pada suatu detik, ibu
kos mengambil sebungkus tanggung penyedap rasa alias micin, dan menuangkan micin
satu sendok makan menggunung ke ulekan sambal. Aku ulangi lagi, SATU SENDOK
MAKAN MENGGUNUNG untuk sambalku yang cuma dua sendok makan. Wajahku
pucat pasi menerima sambal-freshku di atas sayur sop. Aku mengambil tempat duduk dan
mulai makan, sedikit demi sedikit. Sambalnya banyak yang kusisihkan.
Sambil makan aku memikirkan sambal penuh penyedap rasa yang ada di atas
piringku. Lalu mataku melihat sop dengan kuah melimpah yang sedang kusendok ke
mulutku dan tiba-tiba terbersit, “Kalau dua sendok sambal saja penyedap rasanya
sebanyak itu, berapa banyak ya penyedap rasa untuk semangkuk sop dan kuahnya yang
segar?”. Mukaku bertambah pucat. Makanku segera kuakhiri, kubayar, dan pamit.
Sore ini, setelah perkuliahan Biologi Sel selesei, aku dan Lia mencari tempat
makan untuk “makan malam sore hari”. Rani tidak ikut, karena dia perlu mengedit poster
untuk penugasan Kimia Organik dan dia perlu konsentrasi penuh, sendirian di kamarnya.
“Kemarin sore ya Mel, aku lewat depan sini, pengen nyoba-in gitu lalapan nya.
Baru buka kayaknya, minggu lalu aku lewat belum ada.” cerita Lia padaku. Lia lah yang
tadi mengajakku ke tempat ini. Aku memesan nila goreng dan Lia memesan Lele bakar.
Secara pribadi, aku kurang merekomedasikan masakan bakaran untuk diriku sendiri,
karena hasil bakaran lebih mungkin bersifat karsinogenik bagi tubuh. Yah, kecuali kamu
memutuskan memakan sayuran atau makanan mengandung antioksidan tinggi setelahnya.
Lia suka masakan bakaran dan tidak terlalu peduli dengan hal semacam itu.
Sambil menunggu pesanan, kami mengobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal,
khas kegiatan cewek-cewek lain pada umumnya. Saat pesanan datang, mataku berkilat-
kilat senang, karena nasi yang diantarkan adalah sebakul nasi dan setiap orang mendapat
dua macam sambal di tempat sambal yang berbeda. Sangat cukup untuk pencinta sambal
sejati sepertiku. Tambah air putih dan nasi gratis, tidak lupa ada juga lalapan yang
menjadi khas santapan anak kuliahan Malang raya. Boleh banget nih tempat ini jadi
langganan makanku yang baru. Sebelum pulang, aku sempat memesan ayam goreng
untuk dibungkus.
Tengah malam, aku terbangun dari tidur nyenyakku. Perutku sakit, aku bergegas
ke kamar mandi. Untungnya kamar mandiku ada di dalam kamar, jadi aku tidak terlalu
merasa takut. Di kamar mandi, seperti yang mungkin kalian bayangkan, aku buang isi
usus besarku, yang ternyata agak cair. Bunyi kentut bersahut-sahutan. Sambil
mengumpulkan kesadaran, aku ingat-ingat lagi apa yang mungkin jadi penyebab gerakan
ususku meningkat.
Sepertinya kemarin aku tidak minum susu, terakhir buang air besar juga tadi sore,
belum lama jaraknya dari tengah malam. Oh ya, sambal di tempat makan tadi sore! Tapi
sambalnya bahkan tidak bisa kukategorikan sebagai pedas. Lalu kenapa? Di pikiranku
berkelebatan memori-memori, seperti nasi kami yang masih sisa sepertiga di bakulnya,
atau sambal yang hanya aku habiskan satu macam saja. Bagaimana kalau, jangan-jangan,
nasi sisa di bakul kami dikembalikan lagi di tempat nasi, padahal tanganku yang
berlumur sambal sudah memedang sendok nasinya beberapa kali? Bagaimana juga kalau
sendok sambal tidak pernah diganti?
Baiklah, sepertinya kali ini aku harus benar-benar mencoba untuk masak
makananku sendiri.
BIODATA PENULIS

Nama Lengkap : Ismi Nur Aini Latifah


Email : princess.orchidia@gmail.com
Nomor HP : 081359650053
Nomor Whatsapp : 081359650053
Alamat Instagram : isminurainilatifah

You might also like