You are on page 1of 12

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Vol. 9 No. 2, Hlm.

619-629, Desember 2017


ISSN Cetak : 2087-9423 http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt
ISSN Elektronik : 2085-6695 DOI: http://dx.doi.org/10.29244/jitkt.v9i2.19296

KARAKTERISASI NANOHIDROKSIAPATIT TULANG TUNA


Thunnus sp SEBAGAI SEDIAAN BIOMATERIAL

CHARACTERIZATION OF NANOHYDROXYAPATITE FROM TUNA’S


Thunnus sp BONE AS BIOMATERIALS SUBSTANCE

Aditya Bayu Hanura*, Wini Trilaksani, dan Pipih Suptijah


Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB
*E-mail : aditya.bayu.0889@gmail.com

ABSTRACT
Tuna Thunnus sp is a high-value fisheries products. The abundance of waste from tuna’s processing
industry has not been used optimally. The objective of this study was to produce and characterize
nanohidroxyapatite (Ca5(PO4)3((OH)0.8F0.2) of tuna’s Thunnus sp bone waste using high temperature
sintering of 400-800OC continuing by nanomilling method. The results of the characterization showed
that the sintering temperature of 800OC was the best treatment yielding of hidroxyapatite 57.73%,
89.27% white degree level. The result of statistic analysis showed that the sintering temperature
variation gave a significant effect on the white degree at the test level (p <0.05). Proximate result after
sintering showed moisture content of 0.15%, 99.83% ash, 0.05% fat, 0.73% protein and 0% crude fiber.
Results of heavy metal analysis showed the content of lead (Pb) and mercury (Hg) was negative, and
cadmium (Cd) 0.018 ppm. The mineral test consist of calcium, phosphor, kalium, magnesium, iron, zinc,
manganese, and sodium with the dominant elements were 49.76% calcium and 9.02% phosphor. The
result of statistic analysis showed that the sintering temperature variation gave significant effect to the
three main minerals at the test level (p<0.05). The Particle Size Analyzer test showed that
nanohidroxyapatite particles was measured at 800-900 nm. The X-Ray Diffractometer analysis showed
the results of sample identification contains hydroxyapatite and fluorian, with syn 100.00%. The
hidroxyapatite was a compound complex and crystals formed has a hexagonal shape with a percentage
of 82.9% crystallinity.

Keywords : bone, nanohidroxyapatite, particles, sintering, tuna

ABSTRAK
Ikan tuna Thunnus sp merupakan produk perikanan bernilai tinggi. Melimpahnya limbah hasil
pengolahan industri tuna belum dimanfaatkan secara optimal. Penelitian ini bertujuan membuat dan
mengkarakterisasi nanohidroksiapatit (Ca5(PO4)3((O H)0.8F0.2) dari limbah tulang tuna Thunnus sp.
menggunakan metode sintering variasi suhu 400-800○C dilanjutkan dengan metode nanomilling. Hasil
karakterisasi menunjukkan bahwa suhu sintering 800○C menjadi perlakuan terbaik dengan rendemen
57,73%, derajat putih 89,27%. Hasil analisis ragam menunjukkan variasi suhu sintering memberikan
pengaruh nyata terhadap nilai derajat putih pada taraf uji (p<0.05). Hasil proksimat (setelah sintering)
menunjukkan kandungan kadar air 0,15%, kadar abu 99,83%, kadar lemak 0,05%, kadar protein 0,73%
dan kandungan serat kasar 0 %. Hasil analisis logam berat menunjukkan kandungan timbal (Pb) dan
merkuri (Hg) negatif, serta cadmium (Cd) 0,018 ppm. Pengujian mineral meliputi kalsium, fosfor,
kalium, magnesium, besi, seng, mangan, dan natrium dengan presentasi dominan adalah kalsium sebesar
49,76 % dan fosfor sebesar 9,02 %. Hasil analisis ragam terhadap mineral utama menunjukkan variasi
suhu sintering memberikan pengaruh nyata terhadap ketiga mineral utama pada taraf uji (p<0.05).
Pengujian partikel dengan Particle Size Analyzer menunjukkan nanohidroksiapatit berukuran 800-900
nm. Analisis X-Ray Diffractometer menunjukkan hasil identifikasi sampel memiliki kandungan
Hydroxylapatite dan fluorian, dengan syn 100.00%. Senyawa hidroksiapatit berbentuk kompleks dan
kristalnya memiliki bentuk hexagonal shape dengan presentase kristalinitas sebesar 82,9%.

Kata kunci : nanohidroksiapatit, partikel, sintering, tulang, Tuna

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB


@ ISOI dan HAPPI 619
Karakterisasi Nanohidroksiapatit Tulang Tuna Thunnus sp sebagai . . .

I. PENDAHULUAN ikan merupakan limbah hasil pengolahan ikan


yang kaya akan kandungan kalsium 36%,
Ikan tuna dan sejenisnya adalah ikan fosfor 17% dan magnesium 0,8% yang
ekonomis penting yang saat ini masih berpotensi untuk meningkatkan nutrisi produk
mendominasi ekspor produk perikanan pangan. Kalsium merupakan unsur penting
Indonesia. Indonesia menjadi pemasok utama yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, karena
tuna bagi negara maju dan produk tuna kalsium berfungsi dalam metabolisme tubuh
merupakan komoditi ekspor terbesar kedua dan pembentukan tulang serta gigi.
Indonesia yang berkontribusi 15% dari total Hidroksiapatit dapat dibentuk dalam
nilai ekspor pada tahun 2011. Pasar utama ukuran nanopartikel atau disebut nano-
untuk ekspor tuna dari Indonesia adalah hidroksiapatit berukuran dibawah 1 mikro.
Jepang (35%), Amerika Serikat (20%), Nanokalsium menurut Lekahena et al. (2014)
Thailand (12%), negara-negara Uni Eropa merupakan kalsium yang dihasilkan dengan
(9%), dan Saudi Arabia (6%) (Kementrian memanfaatkan teknologi nano sehingga mem-
Kelautan dan Perikanan 2012). FAO (2010) bentuk kalsium berukuran 10-9m.
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara Menurut Gulsun et al. (2009) terdapat
penghasil tuna terbesar di dunia, memberikan banyak keuntungan dari penggunaan partikel
kontribusi sebanyak 15% dari produksi tuna nano, yaitu peningkatan penyerapan, pe-
global pada tahun 2009, diikuti oleh Filipina, ngurangan dosis yang diperlukan dan pening-
China, Jepang, Korea, Taiwan, dan Spanyol. katan stabilitas. Greiner (2009) menyatakan
Data dari Kementrian Kelautan dan Perikanan bahwa material yang berukuran nano dapat
(2015) menunjukkan volume ekspor produk dibuat dengan dua pendekatan yaitu bottom up
ikan tuna sampai dengan bulan Oktober 2015 dan top-down. Metode bottom up meng-
sebesar 142.023 ton dengan nilai ekspor gunakan pendekatan dengan merangkai atom
sekitar 491.891 juta US$. atau molekul kemudian menggabungkannya
Ikan tuna dapat diolah menjadi produk melalui suatu reaksi kimia contohnya dengan
dalam kondisi segar utuh (loin, steak, dan menggunakan metode presipitasi. Metode top
saku), produk beku (frozen), produk ambient down dilakukan dengan cara memperkecil
(tuna yang dikemas dalam kaleng), dan pro- material yang besar contohnya menggunakan
duk olahan (bakso, abon, otak-otak, nugget, alat milling
sosis) yang dalam kegiatan pengolahannya Beberapa penelitian terkait dengan
akan menghasilkan limbah berupa kepala, bahan baku alami untuk pembuatan hidroksi-
kulit dan tulang. Berdasarkan data tersebut apatit, Xu et al. (2001) meneliti coral laut (sea
memperkuat bahwa Indonesia merupakan coral) menjadi hidroksiapatit menggunakan
negara dengan industri tuna yang besar. teknik hydrothermal dengan mineral KH2PO4.
Produksi tuna yang besar akan menghasilkan Barakat et al. (2009), melakukan ekstraksi
produk samping atau limbah dalam volume dari tulang sapi menggunakan metode thermal
yang besar pula, sehingga membutuhkan decomposition, subcritical water, alkaline
pengembangan pemanfaatan (valorisasi). hydrothermal processes.
Volume limbah tuna yang besar Huang et al. (2011) mengekstraksi
memiliki potensi untuk dimanfaatkan, salah hidroksiapatit dari sisik ikan. Venkatesan dan
satunya adalah tulang. Menurut Ozawa dan Kim (2010) mempelajari pengaruh suhu
Suzuki (2002), tulang ikan tuna merupakan isolasi terhadap karakterisasi hidroksiapatit
sumber alami hidroksiapatit yang murah dan dari tulang ikan tuna (Thunnus obesus).
memiliki potensi yang besar di masa depan. Penelitian juga dilakukan Pallela et al. (2011)
Hal ini diperkuat oleh Trilaksani (2006) yang yang mengisolasi hidroksiapatit dari tulang
menyatakan tulang memiliki kandungan ikan tuna (Thunnus obesus) dengan bantuan
mineral mencapai 84,22%. Limbah tulang polimer. Ditambahkan oleh Tseng et al.

620 http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt
Hanura et al.

(2009) proses pembuatan hidroksiapatit II. METODE PENELITIAN


dipengaruhi faktor gelasi, pengeringan, dan
sintering yang terkontrol. 2.1. Alat dan Bahan
Erosi dan karies pada gigi merupakan Peralatan yang digunakan untuk
indikasi terjadinya demineralisasi lapisan gigi preparasi bahan baku tulang ikan tuna,
yang disebabkan oleh asam. Hal ini berkaitan pembuatan nanohidroksiapatit dan analisis
dengan pola diet atau kebiasaan konsumsi karakterisasinya diantaranya sinterer, ball
makanan pada gaya hidup masyarakat modern mill Nanoblend, sprayer, X-Ray Diffracto-
misalnya coklat, permen, biskuit yang meter (XRD) dan Particle Size Analyzer
mengandung zat pemanis, ditambah dengan (PSA), timbangan, sonikator, Atomic Absorp-
perilaku budaya menggosok gigi yang kurang tion Spectrophotometer (AAS), Fourier
teratur. Transfer Infra Red (FTIR) dan Whiteness-
Menurut Arnadottir et al. (2003), hal meter. Bahan utama yang digunakan pada
ini disebabkan oleh pengaruh asam yang dapat penelitian ini adalah tulang ikan tuna Thunnus
melarutkan struktur mineral gigi. West et al. sp.
(1998) mengemukakan penyebab utama ke-
rusakan permukaan enamel adalah kelarutan 2.2. Prosedur Penelitian
hidroksiapatit ( HAp ) pada pH rendah. Prosedur penelitian terdiri atas be-
Berbeda dengan jaringan tubuh lain, berapa tahap yaitu preparasi dan karakterisasi
misalnya tulang, enamel gigi tidak mampu tulang ikan tuna, pembuatan hidroksiapatit,
memperbaiki diri bila rusak oleh kondisi gigi pembuatan nanohidroksiapatit dan analisis
tertentu contohnya karies, demineralisasi, karakteristik nanohidroksiapatit. Analisis ka-
abrasi atau patah karena kurangnya sel. Salah rakteristik nanohidroksiapatit meliputi per-
satu cara untuk mengembalikan enamel rusak hitungan rendemen, analisis proksimat,
adalah memberikan restorasi dengan bahan analisis kandungan mineral dan logam berat
sintetis. Pendekatan preventif menggunakan menggunakan Atomic Absorption Spectro-
senyawa fluoride dianggap cara terbaik untuk photometry (AAS), analisis derajat putih
mengurangi kerusakan enamel. menggunakan Whitenessmeter, analisis mor-
Roveri et al. (2008) menyatakan fologi kristalinitas menggunakan X-Ray Di-
kerusakan lapisan enamel gigi akibat terdapat- ffractometer (XRD), analisis ukuran partikel
nya karies, demineralisasi, erosi atau kereta- menggunakan Particle Size Analyzer (PSA)
kan tidak bisa diperbaiki dari dalam sebab dan analisis gugus fungsi menggunakan
tidak adanya sel dalam gigi, sehingga dibutuh- Fourier Transfer Infra Red (FTIR).
kan material sintetis untuk memperbaiki
kerusakan gigi tersebut. 2.2.1. Pembuatan Hidroksiapatit
Berdasarkan fakta bahwa pemanfaatan Pembuatan hidroksiapatit diawali
limbah tulang hasil pengolahan tuna di Indo- dengan tulang ikan tuna yang sudah dipre-
nesia belum optimal, teknologi sintesis parasi diproses dengan sintering (pemanasan
hidroksiapatit yang belum efektif, harga dengan variasi suhu tinggi). Sintesis
hidroksiapatit sintetis mahal serta karakteri- hidroksiapatit tulang ikan tuna dilakukan
sasi material hidroksiapatit yang belum dengan variasi suhu sintering 400°C, 600°C,
banyak diketahui, maka penelitian ini ber- dan 800°C selama 6 jam (Venkatesan and
tujuan membuat dan mengkarakterisasi nano- Kim, 2010). Hidroksiapatit yang diperoleh
hidroksi apatit dengan metode thermal dan dianalisis dengan beberapa uji meliputi : Uji
nanomilling dari limbah tulang tuna sebagai rendemen, proksimat, derajat putih dan logam
sediaan biomaterial. berat (Hg, Pb, dan Cd) serta analisis mineral
dengan AAS.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 9, No. 2, Desember 2017 621
Karakterisasi Nanohidroksiapatit Tulang Tuna Thunnus sp sebagai . . .

2.2.2. Pembuatan Nanohidroksiapatit dengan temperatur rendah selama 4-6 jam


Nanohidroksiapatit tulang ikan tuna dalam ruang asam lalu dibiarkan semalam
dibuat dengan cara sizing (pengecilan ukuran) dalam kondisi tertutup. H2SO4 0,4 mL
hidroksiapatit dari hasil metode perlakuan ditambahkan lalu dipanaskan diatas hot plate
suhu sintering terbaik, dilanjutkan dengan sampai larutan berkurang (lebih pekat)
Nanoblend Ball Mill pada lama waktu tertentu biasanya 1 jam. Ditambahkan 2-3 tetes larutan
(modifikasi Rajkumar et al., 2011). Partikel campuran HClO4: HNO3 (2:1). Sampel masih
nanohidroksiapatit yang dihasilkan diukur tetap diatas hot plate, karena pemanasan terus
menggunakan alat PSA, analisis morfologi dilanjutkan sampai ada perubahan warna dari
kristalinitas dengan alat XRD dan analisis coklat →kuning tua→kuning muda (biasanya
gugus fungsi menggunakan FTIR. ± 1 jam). Setelah ada perubahan warna,
pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15
2.2.3. Pengukuran Rendemen menit. Pindahkan sampel, dinginkan dan
Rendemen merupakan persentase dari tambahkan 2 mL aquades dan 0.6 mL HCl.
perbandingan kadar bobot akhir nanohidroksi- Sampel dipanaskan kembali agar larut (±15
apatit terhadap bobot tulang tuna sebelum menit) kemudian masukkan kedalam labu
mengalami perlakuan. takar 100 mL. Apabila ada endapan disaring
dengan glass wool atau kertas saring. Hasil
2.2.4. Analisis Proksimat pengabuan basah bisa di analisis di AAS atau
Analisis proksimat yang dilakukan spektrofotometer untuk dianalisis berbagai
meliputi beberapa pengujian diantaranya : mineral dan parameter logam berat (timbal
Analisis kadar air, kadar protein, kadar abu, (Pb), merkuri (Hg) dan cadmium (Cd))
kadar lemak, dan kadar serat kasar. Analisis (AOAC, 2005).
proksimat dilakukan terhadap bahan baku
tulang tuna yang sudah dipreparasi serta 2.2.7. Analisis Partikel
terhadap hidroksiapatit terbaik hasil perlakuan Uji ukuran partikel nanohidroksiapatit
variasi suhu sintering (AOAC, 2005). dilakukan menggunakan pengujian Particle
Size Analyzer (PSA). Nanohidroksiapatit
2.2.5. Analisis Derajat Putih ditimbang sebanyak 0,02 g lalu dilarutkan ke
Pengukuran derajat putih mengguna- dalam 100 mL akuades. Sampel larutan
kan Whitenessmetter. Sejumlah sampel diambil dengan pipet kemudian dimasukkan
ditempatkan pada wadah khusus alat ke dalam tabung dengan tinggi maksimum 15
Whitenessmeter, lalu dipasang penutup kaca mm. Hasil pengujian sampel nanohidroksi-
dan diletakkan dibawah lensa. Kemudian apatit akan muncul pada layar computer
diukur nilai derajat putihnya yang berkisar 0- (Malvern Instrumen Limited, 2012).
100 %. Kalibrasi alat dilakukan terlebih
dahulu dengan plat standar warna putih 2.2.8. Analisis Kristalinitas
81,6%. Hasil pembacaan dinyatakan dalam % Analisis kristalinitas dilakukan dengan
derajat putih terhadap plate standar barium menggunakan alat XRD digunakan untuk
sulfat derajat putih 100% (Kett Electric mengetahui komposisi unsur dari suatu
Laboratory, 1981). material, mengkarakterisasi struktur kristal,
ukuran kristal dari kristal nanohidroksi apatit
2.2.6. Analisis Mineral dan Logam Berat yang dihasilkan (Cullity, 1978).
Sampel kering ditimbang sebanyak ±
1 g dan dimasukkan dalam Erlenmeyer 125 2.2.9. Analisis Gugus Fungsi
mL. HNO3 ditambahkan sebanyak 5 mL dan Analisis dengan alat FTIR digunakan
didiamkan 1 jam pada suhu ruang di ruang untuk mengetahui gugus-gugus fungsi khas
asam. Sampel dipanaskan diatas hot plate dari hidroksi apatit yang dihasilkan. Sampel

622 http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt
Hanura et al.

uji terlebih dahulu dibentuk pelet dengan rendemen lebih rendah. Hal ini bisa
campuran KBr. Sebanyak 100mg KBr dan 2 disebabkan oleh semakin tinggi suhu sintering
mg sampel uji dicampurkan, kemudian akan menghilangkan seluruh komponen
ditumbuk sampai halus dan tercampur rata organik yang terdapat pada tulang seiring
dalam mortar agate. Pengukuran sampel uji dengan pemanasan menjadi bentuk mineral
dilakukan pada bilangan gelombang antara yang semakin murni. Al-Sokanee et al. (2009)
4000-500 cm-1. Spektra FTIR yang dihasilkan mengemukakan hasil rendemen mengalami
menunjukkan puncak-puncak serapan bilang- penurunan akibat proses sintering diduga
an gelombang dari sampel uji. Gugus-gugus karena hilangnya kandungan air dan bahan
fungsi sampel uji ditentukan berdasarkan organik yang terdapat pada bahan serbuk
puncak serapan bilangan gelombang yang tulang ikan.
terdeteksi (Chatwall, 1985).
3.2. Hasil Pengukuran Derajat Putih
2.3. Analisis Data Analisis derajat putih dilakukan untuk
Rancangan percobaan yang digunakan mengukur tingkat warna putih suatu materi.
pada tahap sintering pada proses pembuatan Semakin tinggi presentasi derajat putih suatu
hidroksi apatit adalah Rancangan Acak materi maka tingkat kemurnian warna
Lengkap (RAL) dengan parameter variasi putihnya juga semakin tinggi. Pengukuran
suhu sintering dengan kadar derajat putih derajat putih ini dilakukan dengan mengguna-
serta parameter variasi suhu sintering dengan kan Whitenessmeter. Hasil analisis derajat
hasil analisis kadar mineral utama. putih dari sampel tulang tuna pada suhu
Pengolahan data menggunakan perangkat sintering 400○C diperoleh derajat putih
lunak SPSS 15.0 for windows. Jika uji sebesar 31,76 %, derajat putih pada suhu
ANOVA menunjukkan hasil yang berbeda 600○C sebesar 82,48 %, dan derajat putih pada
nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut suhu 800○C sebesar 89,27 %. Analisis ragam
Duncan. (ANOVA) dilakukan terhadap derajat putih.
Hasil analisis ragam derajat putih dapat dilihat
III. HASIL DAN PEMBAHASAN pada Gambar 1.

3.1. Hasil Perhitungan Rendemen


Rendemen merupakan perbandingan
berat awal dan berat akhir produk yang
dihasilkan setelah mengalami suatu proses.
Analisis rendemen pada sampel dengan
variasi suhu 400○C, 600○C dan 800○C. Pada
sampel dengan suhu sintering 400○C, berat
sebelum sintering 50,235 g dan setelah
sintering menjadi 30,666 g sehingga didapat
rendemen 61,05%. Pada perlakuan suhu Gambar 1. Nilai derajat putih hidroksiapatit
sintering 600○C, berat sampel sebelum tulang tuna (suhu sintering
sintering 50,337 g dan setelah sintering 400°C, 600°C, 800°C).
menjadi 29,741 g sehingga didapat rendemen
59,09%. Sampel dengan suhu sintering Hasil analisis ragam menunjukkan
800○C, berat sebelum sintering 50,257 g dan bahwa variasi suhu sintering memberikan
setelah sintering berubah menjadi 29,014 g pengaruh yang nyata terhadap nilai derajat
sehingga didapat rendemen 57,73%. putih pada taraf uji (p<0,05). Semakin tinggi
Data menunjukkan bahwa semakin suhu sintering memberikan prosentase nilai
tinggi suhu sintering akan memberikan derajat putih yang tinggi. Hasil uji lanjut

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 9, No. 2, Desember 2017 623
Karakterisasi Nanohidroksiapatit Tulang Tuna Thunnus sp sebagai . . .

Duncan menunjukkan bahwa nilai derajat besarnya kandungan mineral di dalam suatu
putih, variasi suhu sintering 400○C berbeda bahan, semakin tinggi kadar abu akan se-
terhadap suhu sintering 600○C serta berbeda makin besar kandungan mineralnya, demikian
pada perlakuan suhu sintering 800○C. juga sebaliknya. Menurut Lesbani et al.
Data dari pengukuran derajat putih (2011) tingginya kadar abu menunjukkan
menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu kandungan mineral yang tinggi dalam suatu
sintering maka sampel akan memiliki tingkat bahan.
derajat putih yang paling tinggi. Hal ini dapat
dilihat dari kenaikan persen derajat putih dari 3.4. Hasil Analisis Logam Berat
suhu 400○C yaitu 31,76 % sampai pada suhu Menurut Standar Nasional Indonesia,
800○C yaitu 89,27 %. Suhu yang tinggi akan logam berat merupakan elemen kimiawi
menyebabkan hilangnya senyawa organik metalik dan metaloida, memiliki bobot atom
seperti lemak, protein, karbon atau lainnya dan bobot jenis yang tinggi, yang dapat
yang menyebabkan warna suatu materi bersifat racun bagi makhluk hidup. Dilakukan
menjadi kurang putih. Menurut Pallela et al. analisis logam berat pada tulang tuna setelah
(2011), serbuk tulang ikan tuna sebelum sintering meliputi pengujian terhadap logam
sintering berwarna kuning, yang menandakan berat Pb, Hg dan Cd untuk mengetahui tingkat
keberadaan gugus organik di dalam sampel keamanan produk yang dihasilkan.
hidroksiapatit tersebut. Hasil analisis logam berat menunjukkan
tulang tuna memiliki kandungan Pb) danHg)
3.3. Hasil Analisis Proksimat negatif dan Cd sebesar 0,018 ppm. Berdasar-
Analisis proksimat dilakukan terhadap kan data tersebut sampel tulang tuna tidak
sampel tulang ikan tuna (Thunnus sp.) terdeteksi kandungan logam berat timbal dan
sebelum dan setelah disintering, meliputi merkuri, sementara kandungan cadmium
pengujian kadar air, abu, lemak, protein dan terdapat 0,018 ppm masih berada di bawah
kandungan serat kasar. Sampel tulang tuna ambang batas yang ditetapkan oleh SNI
(Thunnus sp.) sebelum sintering memiliki Nomor 7387 Tahun 2009, mengenai ke-
kadar air 10,39 %, abu 60,36 %, lemak 0,48 tentuan batas logam berat untuk Cadmium
%, protein 22,34 % dan serat kasar 0,04 %. yaitu 0,2 mg/kg. Hal ini menunjukkan bahwa
Sampel tulang tuna setelah sintering memiliki sampel yang digunakan aman dari cemaran
kadar air 0,15 %, kadar abu 99,83 %, kadar logam berat.
lemak 0,05 %, kadar protein 0,73 % dan
kandungan serat kasar sebesar 0 %. 3.5. Hasil Analisis Mineral
Hasil analisis proksimat menunjukkan Kandungan mineral tulang tuna
kandungan kadar air, kadar lemak, kadar (Thunnus sp.) dianalisis menggunakan AAS.
protein dan serat kasar menurun sangat drastis Pengujian mineral yang dilakukan terhadap
setelah proses sintering. Hal ini dikarenakan sampel tulang tuna meliputi mineral seperti
pengaruh panas dapat merusak kandungan kalsium, fosfor, kalium, magnesium, besi,
bahan-bahan tersebut sehingga hasil akhir seng, mangaan, dan natrium. Pengujian
setelah sintering kandungan yang tersisa mineral ini mengacu pada Suptijah et al.
tingal sedikit sekali. Reo (2011) menyebutkan (2010) yang mengungkapkan bahwa nano-
bahwa waktu pengeringan, suhu pengeringan, kalsium cangkang udang memiliki 8 jenis
dan luas permukaan bahan dapat mem- mineral yaitu kalsium, magnesium, kalium,
pengaruhi kadar air suatu bahan. fosfor, mangan, natrium, besi, dan zinc. Hasil
Hasil analisis kadar abu menunjukkan analisis mineral didadpatkan data bahwa
bahwa tulang tuna (Thunnus sp.) sebelum sampel memiliki kandungan mineral diantara-
sintering sebesar 60,36 % dan setelah nya meliputi : kalsium (Ca) sebesar 511689,1
sintering 99,83 %. Kadar abu menandakan ppm (49,76 %), fosfor (P) sebesar 90195,293

624 http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt
Hanura et al.

Gambar 2. Kandungan mineral utama hidroksiapatit tulang tuna ( kalsium, fosfor,


kalium ).

ppm (9,02 %), kalium (K) sebesar 220,3292 bahwa tulang ikan adalah suatu contoh limbah
ppm (0,022 %), magnesium (Mg) sebesar industri perikanan yang mengandung kan-
5507,48 ppm (0,551 %), besi (Fe) sebesar dungan kalsium dengan jumlah paling banyak
81,797 ppm (0,008 %), seng (Zn) sebesar dibandingkan bagian tubuh ikan lain, karena
89,554 ppm (0,009 %), mangan (Mn) sebesar tulang ikan terdiri dari unsur utama seperti
12,133 ppm (0,0012 %), serta kadar natrium kalsium, fosfor dan karbonat.
(Na) sebesar 6999,144 ppm (0,7 %). Analisis
ragam (ANOVA) dilakukan terhadap mineral. 3.6. Hasil Analisis Partikel
Hasil analisis ragam mineral utama dapat Analisis partikel menggunakan PSA
dilihat pada Gambar 2. dilakukan untuk mengetahui ukuran diameter
Hasil analisis ragam terhadap mineral partikel dari nanohidroksi apatit tulang tuna.
utama menunjukkan bahwa variasi suhu Grafik hasil analisis PSA dapat dilihat pada
sintering memberikan pengaruh yang nyata Gambar 3.
terhadap ketiga mineral utama pada taraf uji
(p<0.05). Semakin tinggi suhu sintering
memberikan prosentase yang tinggi terhadap
kalsium dan fosfor, sementara kadar kalium
cenderung tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Hasil uji lanjut Duncan menunjuk-
kan bahwa pada mineral kalsium dan fosfor,
variasi suhu sintering 400○C berbeda terhadap
suhu 600○C serta berbeda pada perlakuan
suhu 8000C. Hasil uji lanjut Duncan terhadap
mineral kalium, perlakuan suhu sintering
400○C tidak berbeda dengan 600○C, akan Gambar 3. Ukuran partikel nanohidroksi-
tetapi keduanya berbeda terhadap suhu 800○C. apatit tulang tuna.
Berdasarkan hasil tersebut didapatkan suatu
fakta bahwa sampel tulang tuna memiliki Analisis partikel didahului dengan
kandungan mineral yang dominan yaitu pelarutan sampel ke dalam media cair, ke-
kalsium dan fosfor dibandingkan dengan jenis mudian diikuti dengan proses sonikasi.
mineral lain. Hal ini didukung oleh pendapat Nikmatin (2010) menjelaskan bahwa analisis
dari Trilaksani (2006), yang menyatakan menggunakan PSA partikel harus didispersi-

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 9, No. 2, Desember 2017 625
Karakterisasi Nanohidroksiapatit Tulang Tuna Thunnus sp sebagai . . .

kan ke dalam media cair sehingga partikel Hasil analisis XRD menunjukkan
tidak saling beraglomerasi dan ukuran partikel bahwa sampel tulang tuna teridentifikasi
yang terukur adalah single particle. memiliki kandungan Hydroxylapatite dan
Berdasarkan pengujian partikel meng- fluorian, dengan syn 100.00%. Senyawa
gunakan PSA dimana ukuran partikel tulang hidroksiapatit tersebut membentuk kompleks
tuna memiliki kisaran ukuran 800-900nm dengan rumus senyawa Ca5(PO4)3((OH)0.8
dapat dikategorikan dalam golongan nanopar- F0.2). Kristal yang terbentuk di dalam
tikel. Nanopartikel adalah suatu materi yang senyawa tersebut memiliki bentuk hexagonal.
memiliki ukuran partikel dibawah 1000 nm Hal ini membuktikan bahwa di dalam tulang
atau kurang dari 1 mm. Hal ini didukung oleh tuna terdapat senyawa hidroksiapatit dan
Mohanraj dan Chen (2006) yang mendefinisi- fluorian yang sangat potensial untuk di-
kan nanopartikel adalah suatu partikel yang kembangkan.
memiliki ukuran 10-1000 nm. Pendapat lain Gambar 4 menunjukkan sampel nano-
tentang nanoteknologi diungkapkan Greiner hidroksiapatit tulang tuna memiliki presentase
(2009) yang menyatakan bahwa umumnya kristalinitas sebesar 82,9%. Kandungan kristal
digunakan untuk suatu bahan dengan ukuran memiliki presentasi cukup tinggi, ditandai
1-100 nm. dengan banyaknya fase kristalin yang
terbentuk. Persentase kristalinitas cenderung
3.7. Hasil Analisis Kristalinitas meningkat seiring dengan kenaikan suhu
Analisis kristalinitas dengan meng- pemanasan. Hal ini terlihat dari semakin
gunakan alat X-Ray Diffractometer (XRD) tingginya intensitas dan semakin sempitnya
dilakukan untuk mengetahui karakteristik lebar puncak (peak). Dahlan et al. (2009)
struktur kristal dari nanohidroksiapatit tulang melaporkan sintesis HAp dari cangkang telur
tuna. Grafik hasil analisis XRD dapat dilihat dengan metode kering dengan pemanasan
pada Gambar 4. pada suhu 900 dan 1000oC, menghasilkan
kristalinitas antara 84% dan 94%.

Gambar 4. Kristalinitas nanohidroksiapatit tulang tuna.

626 http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt
Hanura et al.

3.8. Hasil Analisis Gugus Fungsi ditunjukkan dengan adanya puncak (peak)
Analisis gugus fungsi dengan meng- pada suatu bilangan gelombang tertentu
gunakan FTIR dilakukan untuk mengetahui dengan alat FTIR. Grafik hasil analisis gugus
gugus/komponen tertentu dalam sampel yang fungsi dapat dilihat pada Gambar 5.
Analisis FTIR juga dilakukan dengan Pembacaan visual spektra yang
menggunakan metode transmisi. Hasil terdapat antara panjang gelombang 3.542 cm-
1
analisis FTIR menunjukkan bahwa sampel dan 3.570 cm-1. Venkatesan dan Kim (2010)
tulang tuna teridentifikasi memiliki kom- menjelaskan bahwa puncak yang terdeteksi
ponen/gugus yang terdiri dari gugus OH-, pada bilangan gelombang 3.300 cm-1 - 3.600
gugus CO32- dan gugus PO43-. Ketiga gugus cm-1 merupakan indikasi adanya gugus
tersebut merupakan komponen utama dalam hidroksil.
pembentukan hidroksi apatit. Prabarakan dan Kandungan gugus PO43- sampel
Rajeswari (2006) mengemukakan bahwa diindikasikan oleh pembacaan visual puncak
hidroksiapatit memiliki kandungan gugus OH- spektra terdeteksi pada bilangan gelombang
gugus CO32- dan gugus PO43-. 1.046 cm-1 -1.091 cm-1, juga pada pembacaan
Hasil pembacaan spektra menunjuk- bilangan gelombang 572 cm-1 - 603 cm-1.
kan bahwa gugus CO32- atau gugus karbonat Terdeteksinya gugus fosfat ini memiliki
terdeteksi pada pada bilangan gelombang kesamaan dengan penelitian yang dilakukan
1.459 cm-1 dan 1.416 cm-1. Hasil ini didukung oleh Mondal et al. (2012) terbentuknya
oleh Mondal et al. (2012) yang mengung- kompleks fosfat pada bilangan gelombang
kapkan bahwa indikasi adanya gugus yang berkisar antara 1.000 cm-1 - 1.100 cm-1
karbonat pada sampel dapat ditunjukkan oleh dengan pola vibrasi asimetri stretching serta
puncak pada rentangan panjang gelombang pada bilangan gelombang 576,30 cm-1 dengan
1.400 cm-1 - 1.500 cm-1. Kandungan gugus pola vibrasi simetri bending.
OH- pada sampel terdeteksi dari hasil

Gambar 5. Spektogram FTIR nanohidroksiapatit tulang tuna.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 9, No. 2, Desember 2017 627
Karakterisasi Nanohidroksiapatit Tulang Tuna Thunnus sp sebagai . . .

IV. KESIMPULAN Cullity, B.D. 1978. Elemen of X-Ray


diffraction. 2nd ed. Addison Wcsley
Nanohidroksiapatit dapat dihasilkan Pusblishing Company. USA. 531p.
dari limbah tulang tuna dengan metode Dahlan, K., F. Prasetyanti, dan Y.W. Sari.
sintering dan nanomilling. Semakin tinggi 2009. Sintesis hidroksiapatit dari
suhu sintering, rendemen akan semakin cangkang telur menggunakan dry
sedikit namun nilai derajat putih dan kadar method. J. Biofisika, 5(2):71-78.
abu semakin tinggi. Hidroksi apatit tidak Food And Organisation (FAO). 2010. Data
mengandung logam berat Pb) dan Hg, serta produksi perikanan tangkap. Statistik
Cd kadarnya masih di bawah standar ambang Perikanan. Http://www.fao.org. [26
batas. Kandungan mineral yang dimiliki oleh Desember 2017].
hidroksiapatit didominasi oleh kalsium dan Greiner, R. 2009. Current and projected of
fosfor. Nanohidroksiapatit memiliki kisaran nanotechnology in the food sector. J.
ukuran partikel nano, terdiri dari hydroxyl- of Brazilian Society of Food and
apatite dan fluorian. Senyawa hidroksiapatit Nutrition, 34(1):243-260.
diidentifikasi memiliki bentuk hexagonal Gulsun, T., R.N. Gursoy, and L. Oner. 2009.
dengan presentase kristalinitas yang tinggi. Nanocrystal technologi for oral
delivery of poorly water-soluble drug.
DAFTAR PUSTAKA J. Pharmacy Science, 34:55-65.
Huang, Y.C, P.C. Hsiao, and H.J. Chai. 2011.
Arnadottir, I.B., S.R. Samundsson, and W.P. Hydroxyapatite extracted from fish
Holbrook. 2003. Dental erosion in scale: effect on MG63 osteoblast-like
Icelandic teenagers in relation to cells. J. Ceramics International, 37:
dietary and lifestyle factors. Acta 1825-1831.
Odontol Scand, 61:25-28. Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2012.
Association of Official Analytical Chemist Statistik ekspor produk perikanan
(AOAC). 2005. Official methods of 2011. KKP. Jakarta. 35hlm.
analysis. 18th Ed. Association of Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2015.
Official Analytical Chemist Inc. Kelautan dan Perikanan dalam Angka.
Mayland. USA. 56p. KKP. Jakarta. 35hlm.
Al-Sokanee, Z.N, A.A.H. Toabi, M.J. Al- Kett Electric Laboratory. 1981. Operating
Assadi, and E.A. Al-Assadi. 2009. The intruction kett digital whitenessmeter.
drug releasestudy of cefi riaxone from Kett Electric Laboratory. Tokyo (JP).
porous hydroxyapatite scaff olds. 21p.
AAPS pharmacy Science Tech, 10(5): Lekahena, V., D.N. Faridah, R. Syarief, dan
772-779. R. Peranginangin. 2014. Karakteristik
Barakat, N.A.M., M.S. Khil, A.M. Omran, fisikokimia nanokalsium hasil ekstrak-
F.A. Sheikh, and H.Y. Kim. 2009. si tulang ikan nila menggunakan
Extraction of pure natural hydroxy- larutan basa dan asam. J. Tek dan
apatite from the bovine bones bio Industri Pangan, 25(1):57-64.
waste by three different methods. J. of Lesbani, A, Y. Setiawati, dan R.A.M. Mika.
Materials Processing Technology, 2011. Karakteristik kitin dan kitosan
209:3408-3415. dari cangkang kepiting bakau (Scylla
Chatwall, G. 1985. Spectroscopy atomic and serrata). J. Penelitian Sains, 14(3C):
molecule. Himalaya Publishing 32-36.
House. Bombay. India. 135p. Malvern Instruments Limited. 2012. A basic
guide to particle characterization.
USA. 20p.

628 http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt
Hanura et al.

Mohanraj, V.J. and Y. Chen. 2006. mimetic carbonate hydroxyapatite


Nanoparticles-a review. Tropical J. of nanocrystals for Enamel Reminer-
Pharmaceutical Research, 5(1):561- alization. Adv Materials Research,
573. 47:821-824.
Mondal, S., B. Mondal, A. Dey, and S.S. Standar Nasional Indonesia Nomor 7387
Mukhopadhyay. 2012. Studies on Tahun 2009. 2009. Cara uji kimia:
processing and Characterization of Penentuan kadar logam berat Cad-
hydroxyapatite biomaterials from diff mium (Cd) pada produk perikanan.
erent bio wastes. J. of Minerals and BSN. Jakarta. 14hlm.
Materials Characterization and Engi- Suptijah, P., L. Hardjito, J. Haluan, dan M.T.
neering, 11(1):56-67. Suhartono. 2010. Recovery dan
Ozawa, M. and S. Suzuki. 2002. Micro- manfaat nanokalsium hewan perairan
structural development of natural (dari cangkang udang). J. Logika,
hydroxyapatite originated from fish- 7(2):61-64.
bone waste through heat treatment. J. Trilaksani, W. 2006. Pemanfaatan limbah
American Ceramic Society, 85:1315- tulang Ikan Tuna (Thunnus sp.)
1317. sebagai Sumber Kalsium dengan
Pallela, R., J. Venkatesan, and S.K. Kim. Metode Hidrolisis Protein. Buletin Tek
2011. Polymer assisted isolation of Has Perikanan, 9(2):59-61.
hydroxyapatite from Thunnus obesus Tseng, Y., C. Kuo, Y. Li, and C. Huang. 2009.
bone. J. Ceramics International, Polymerassisted synthesis of hydroxy-
37:3489-3497. apatite nanoparticle. J. Materials
Prabarakan, K. and S. Rajeswari. 2006. Science and Engineering, 29:819-822.
Development of hydroxyapatite from Venkatesan, J. and S.K. Kim. 2010. Effect of
natural fish bone though heat treat- temperature on isolation and charac-
ment. J. Trends Biomaterials Artificial terization on hydroxyapatite from tuna
Organs, 20(1):20-23. (Thunnus obesus) bone. J. Materials
Rajkumar, M., N.M. Sundaram, and V. 3:4761-4772.
Rajendran. 2011. Preparation of size West, N.X., A. Maxwell, J.A. Hughes, D.M.
controlled, stoichiometric and bio- Parker, R.G. Newcombe, and M.
resorbable hydroxyapatite nanorod by Addy. 1998. A method to measure
varying initial Ph, Ca/P ratio and clinical erosion: the effect of orange
sintering temperature. Digest J. of juice consumption on erosion of
Nanomaterials and Biostructures, enamel. J. Dent, 26:329–335.
6(1):169 – 179. Xu, Y, D. Wang, L. Yang, and H. Tang. 2001.
Reo, A.R. 2011. Pengaruh perbedaan konsen- Hydrothermal conversion of coral into
trasi larutan garam dan lama pe- hydroxyapatite. J. Materials Charac-
ngeringan terhadap mutu ikan layang terization, 47:83-87.
asin dengan kadar garam rendah.
Pasific J., 2(6):1118-1122. Diterima : 25 Juni 2017
Roveri, N., E. Battistella, I. Foltran, E. Foresti, Direview : 02 Agustus 2017
M. Iafisco, M. Lelli, B. Palazzo, and Disetujui : 30 November 2017
L. Rimondini. 2008. Synthetic bio-

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 9, No. 2, Desember 2017 629

You might also like