You are on page 1of 9

LINGUISTIK MIKRO

KEBERTERIMAN PENYARINGAN ATAU FILTER AFIKSASI


MORFEM-MORFEM DALAM KOMUNIKASI

Oleh:

1. I Putu Lanang Wijidyatmika (2129011002)


2. SG. Laksmi Widi Candra Astiti (2129011010)
3. Ni Luh Putu Sukma Aristyawati (2129011015)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA


PASCASARJANA
UNDIKSHA
2022

i
PRAKATA

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan karunia-Nya serta kerja keras penulis, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Keberteriman Penyaringan Atau Filter Afiksasi Morfem-morfem dalam Komunikasi” guna
memenuhi tugas mata kuliah Linguistik Mikro dan kami dapat menyelesaikan makalah ini
tanpa suatu halangan yang berarti dan sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan baik berupa
moral maupun material dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, kami
mengucapkan terima kasih kepada:

1 Prof. Dr. I.B. Putrayasa.,M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Linguistik Mikro
2 Rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Pascasarjana S2 Pendidikan Bahasa yang
tidak bisa kami sebutkan satu per satu yang telah dengan tulus memotivasi, memberikan
doa, dan semangat kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
3 Semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini, yang tidak bisa kami
sebutkan satu per satu.

Penulis sudah berusaha membuat makalah ini dengan sebaik mungkin. Terlepas dari
semua itu, penulis adalah manusia biasa yang jauh dari kata sempurna dan tidak luput dari
segala kesalahan. Akhir kata, kami ucapkan terimakasih dan kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah ini, dan kami berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Denpasar, 24 April 2022

Penulis (Kelompok Tiga)

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................
1.3 Tujuan.................................................................................................................................
1.4 Manfaat Penulisan..............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan.............................................................................................................................
3.2 Saran ..................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya semua masyarakat Indonesia dituntut harus dapat menguasai Bahasa
Indonesia agar mampu berkomunikasi dengan lawan bicara yang memiliki varian bahasa
yang berbeda baik dalam kondisi formal maupun nonformal. Tidak hanya sampai
penggunaan bahasa tersebut, namun sebaiknya penutur juga mampu mengetahui struktur
internal bahasa atau kata yang digunakan dalam berkomunikasi agar memiliki pengetahuan
asal-usul kebahasaaan yang digunakannya. Bagi kebanyakan orang mempelajari struktur
internal kata yang dipergunakan dalam berkomunikasi dianggap tidak perlu, karena mampu
berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia dirasakan sudah cukup. Selain itu penutur
tidak tertarik mempelajari bahasa yang mereka gunakan karena ada anggapan terhadap
pandangan historis pada bahasa menjadi berlebihan ketika ia ingin memahami bagaimana
bahasa bekerja. Hal ini sebenarya tidak benar, yakni: perubahan bahasa merupakan ranah
empirik yang releven bagi ahli-ahli bahasa yang ingin mengembangkan pemikiran yang
memadai atas sistem-sistem bahasa dan penggunaannya (Sukri dan Nuriadi, 2010:249).

Penggunaan bahasa Indonesia pada masa kini banyak memunculkan varian baru akibat
dari kreativitas penutur tanpa memperhatikan kaidah kebahasaan yang benar meskipun dapat
mempermudah penutur dalam menyampaikan sesuatu. Varian baru tersebut akan
meyebabkan terjadinya kendala-kendala yang berupa idiosinkresi (keanehan). Kendala-
kendala yang dimaksudkan yaitu hal yang menghambat kata- kata yang telah dibentuk akan
berterima. Sebagaimana yang tercantum di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
edisi ke-5 bahwa keberterimaan berarti ‘hal atau keadaan yang berterima (dapat diterima)’.
Secara filosofis, keberterimaan lebih tepat merujuk pada kadar atau takaran suatu hal atau
keadaan yang diterima. Bahasa Indonesia (mungkin juga bahasa-bahasa lain di dunia) tidak
hanya dipandang sebagai aspek yang bersifat budaya saja, tetapi juga sebagai aspek yang
bersifat politis. Artinya, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang secara resmi dan sah
digunakan sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara yang tercantum di dalam UUD 1945.

Bahasa Indonesia juga dicanangkan menjadi bahasa internasional sesuai dengan amanat
UU Nomor 24 Tahun 2009. Jika bahasa Indonesia dipandang sebagai aspek budaya, akan
merujuk pada penggunaan bahasa Indonesia itu oleh masyarakat tutur di Indonesia (dan bisa
saja di luar Indonesia). Jika bahasa Indonesia itu dipandang sebagai aspek politis, akan
merujuk pada penempatan bahasa Indonesia itu di atas bahasa-bahasa lain yang ada di
Indonesia ataupun bahasa asing. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa siapa yang
menentukan kadar keberteriman bahasa Indonesia itu adalah masyarakat dan para pemangku
jabatan politis di Indonesia. Data-data kebahasaan itu berkembang di masyarakat tutur,
kemudian para pemangku jabatan politis menganalisis data-data kebahasaan itu untuk
menetapkan kaidah-kaidah baku dari penggunaan bahasa Indonesia. Apa yang telah
ditetapkan sebagai kaidah kemudian disebut sebagai pedoman umum ejaan bahasa Indonesia
(PEUBI) dan dibahas secara kebahasaan pada kajian morfologi khususnya pada teori
morfologi generatif yang memiliki aturan dalam pembentukan kata-kata baru dengan kaidah
transformasi. Teori generatif adalah teori yang dianggap dapat digunakan dalam proses
pembentukan kata. Adapun hal yang mendasar dalam morfologi generatif adalah proses
pembentukan kata yang dalam hal ini dapat memproduksi bentuk wajar, bentuk potensial, dan
bentuk aneh. Mekanisme pembentukan kata biasa melalui idiosinkresi, penyaringan, dan
pemblokan.

Kajian morfologi pada bidang inilah yang akan dibahas di dalam makalah ini. Pada
pertemuan sebelumnya telah diuraikan perihal morfem bebas dan morfem terikat serta
afiksasi, maka pada pertemuan ini akan dibahas perihal keberteriman penyaringan atau filter
afiksasi morfem-morfem tersebut dalam komunikasi baik lisan maupun tulis. Dimana
penyaringan berfungsi sebagai penyaring bentuk-bentuk yang dihasilkan oleh Kaidah
Pembentukan Kata (KPK) dengan memberikan tanda idiosinkresi linguistik berupa
idiosinkresi fonologi, morfologi, dan semantik. Memberikan tanda idiosinkresi linguistik
dimaksudkan agar bentuk-bentuk potensial yang terbentuk dalam KPK dapat dianalisis
berdasarkan kamus. Sebagai pembatasan masalah, pada makalah ini hanya akan disajikan
beberapa data sebagai gambaran perihal keberteriman itu, yang disesuaikan dengan teori
morfem bebas dan morfem terikat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut.

1. Apakah penyaringan atau filter pada afiksasi morfem-morfem semua dapat berterima
dalam komunikasi?

1.3 Tujuan Penulisan

2
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan penulisan makalah ini
ialah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui keberterimaan atau tidaknya penyaringan atau filter afiksasi


morfem-morfem dalam dalam komunikasi

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Manfaat teoretis

Hasil penulisan makalah ini dapat menguatkan teori “Keberteriman Penyaringan Atau
Filter Afiksasi Morfem-morfem dalam Komunikasi” sebagai sumber belajar dan refrensi
pengembangan teori pembelajaran.

1.4.2 Manfaat praktis

a. Bagi pembaca

Makalah ini diharapkan bermanfaat untuk memotivasi, meningkatkan pengetahuan


terkait “Keberteriman Penyaringan Atau Filter Afiksasi Morfem-morfem dalam
Komunikasi”.

b. Bagi penulis lain

Makalah ini diharapkan memberikan refrensi tambahan terkait pembentukan kata


sehingga dapat mempertajam teori-teori terkait “Keberteriman Penyaringan Atau Filter
Afiksasi Morfem-morfem dalam Komunikasi”.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Keberteriman suatu Bahasa: Kajian Morfologi
Sebagaimana yang tercantum di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi
ke-5 bahwa keberterimaan berarti 'hal atau keadaan yang berterima (dapat diterima)'. Secara
filosofis, keberterimaan lebih tepat merujuk pada kadar atau takaran suatu hal atau keadaan
yang diterima. Namun, pada kajian sosial dan humaniora, kadar tersebut tidak selalu
dinyatakan dalam bentuk angka, tetapi dapat juga dalam bentuk kata-kata atau lambang-
lambang. Khusus pada bidang bahasa, kadar dari keberteriman itu dinyatakan secara lingual
atau bahasa juga. Misalnya, suatu bahasa dapat diterima atau tidak berdasarkan kriteria yang
telah ditentukan. Oleh karena bahasa yang dimaksud adalah bahasa yang dihasilkan oleh
manusia, maka persoalannya adalah siapa yang menentukan kadar keberteriman itu.
Bahasa Indonesia (mungkin juga bahasa-bahasa lain di dunia) tidak hanya dipandang
sebagai aspek yang bersifat budaya saja, tetapi juga sebagai aspek yang bersifat politis.
Artinya, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang secara resmi dan sah digunakan sebagai
bahasa persatuan dan bahasa negara yang tercantum di dalam UUD 1945. Bahasa Indonesia
juga dicanangkan menjadi bahasa internasional sesuai dengan amanat UU Nomor 24 Tahun
2009. Jika bahasa Indonesia dipandang sebagai aspek budaya, akan merujuk pada
penggunaan bahasa Indonesia itu oleh masyarakat tutur di Indonesia (dan bisa saja di luar
Indonesia). Jika bahasa Indonesia itu dipandang sebagai aspek politis, akan merujuk pada
penempatan bahasa Indonesia itu di atas bahasa-bahasa lain yang ada di Indonesia ataupun
bahasa asing. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa siapa yang menentukan kadar
keberteriman bahasa Indonesia itu adalah masyarakat dan para pemangku jabatan politis di
Indonesia.
Data-data kebahasaan itu berkembang di masyarakat tutur, kemudian para pemangku
jabatan politis menganalisis data-data kebahasaan itu untuk menetapkan kaidah-kaidah baku
dari penggunaan bahasa Indonesia. Apa yang telah ditetapkan sebagai kaidah kemudian
disebut sebagai pedoman umum ejaan bahasa Indonesia (PEUBI) dan dibahas secara
kebahasaan pada kajian morfologi. Kajian morfologi pada bidang inilah yang akan dibahas di
dalam makalah/diskusi ini.
Pada pertemuan sebelumnya telah diuraikan perihal morfem bebas dan morfem terikat
serta afiksasi, maka pada pertemuan ini akan dibahas perihal keberteriman afiksasi morfem-
morfem tersebut dalam komunikasi baik lisan maupun tulis. Sebagai pembatasan

4
pembahasan, pada makalah ini hanya akan disajikan beberapa data sebagai gambaran perihal
keberteriman itu, yang disesuaikan dengan teori morfem bebas dan morfem terikat.
Adanya proses morfofonemis dalam afiksasi morfem bebas dan morfem terikat. Kata
yang berawalan huruf k, p, s, dan t (selanjutnya akan disebut dengan hukum k-p-s-t) akan
mengalami peluluhan jika diberi awalan/prefiks məŋ-. Misalnya, məŋ-+ kupas akan menjadi
mengupas, məŋ-+ pukul akan menjadi memukul, məŋ-+ sapu akan menjadi menyapu, məŋ-+
tanam akan menjadi menanam, dan seterusnya. Namun, jika awalan berupa kluster (dua
buah konsonan atau lebih), keempat awalan di atas tidak luluh. Misalnya, mengkristal,
mengklasifikasikan, dan sebagainya.
Peluluhan awalan k-p-s-t tidak hanya berlaku pada prefiks məŋ- saja, tetapi juga pada
prefiks pəŋ-. Namun, khusus pada prefiks ini yang dapat luluh hanya kata dengan awalan
huruf p saja. Misalnya, pemrotes, pemrogram, pemroduksi dan sebagainya. Akan tetapi, pada
kenyataannya masih terdapat beberapa morfofonemis yang tidak mengikuti kaidah-kaidah
tersebut. Misalnya, mengkaji dan mengaji, mempunyai, dan petani. Mengkaji dibedakan
dengan mengaji, padahal secara kaidah yang tepat adalah mengaji. Pada data ini, seolah-olah
adanya pengecualian yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Sebagaimana bentuk beruang
yang merujuk pada hewan dan yang merujuk pada memiliki uang. Tentu saja ini merupakan
pengecualian pada homonimi. Kemudian, kata mempunyai yang seharusnya ditulis dan
dilafalkan: memunyai, dianggap lebih berterima karena lebih baik dan enak dari segi
pelafalan. Selanjutnya, sebagaimana pada kata penari (huruf awal t luluh), maka seharusnya
hal yang sama juga terjadi pada kata petani. Yang terjadi adalah sebaliknya. Tidak hanya itu,
petani tidak memiliki bentuk lain layaknya menari yang merupakan bentuk lain dari penari.
Apakah karena petani bukan merupakan kata biasa, melainkan sebuah akronim dari
"Penyangga Tatanan Negara Indonesia" seperti yang disampaikan Presiden Sukarno? Hal
yang perlu ditekankan adalah awalan k-p-s-t dari kata dasar yang dapat luluh, selain itu,
awalan k-p-s-t akan tetap. Dengan demikian, seharusnya pada data-data kebahasaan berikut
ini dapat dianalisis apakah berterima atau tidak: Memposer, mempelai, dan mempedal.
6

You might also like