You are on page 1of 14
@ TEORI MULTIPLE INTELLIGENCES Teori Multiple Intelligences (MI) dikembangkan oleh Howard Gardner, seorang ahli psikologi perkembangan dan guru besar pendidikan di Graduate School of Education, Harvard University, Amerika Serikat. Teori Gardner tentang MI dipublikasikan pada tahun 1993. Berdasarkan penelitian selama bertahun-tahun, Gardner mengatakan bahwa semua manusia memiliki kecerdasan/ inteligensi. Gardner juga menentang aggapan “cerdas” dari sisi 1Q (intelectual quotion), yang hanya mengacu pada tiga jenis kecerdasan, yakni logiko-matematik, linguistik, dan spasial. Gardner kemudian memunculkan istilah multiple intelligences, kemudian dikembangkan menjadi teori melalui penelitianyang rumit, melibatkan antropologi, psikologi kognitif, psikologi perkembangan, psikometri, studi biografi, fisiologi hewan, dan neuroanatomi. Pada teori ini, Gardner mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam- macam dan dalam situasi yang nyata. Kecerdasan dapat didefinisikan sebagai : 1.Kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupannyata 2. Kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan 3. Kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya seseorang Gardner menemukan sembilan inteligensi yang dimiliki peserta didik, yaitu : 1. Inteligensi linguistik (/inguistic intelligence) Adalah kemampuan untuk menggunakan dan mengolah kata-kata secara efektif baik secara oral maupun tertulis 2. Inteligensi matematis-logis (/ogical-mathematical intelligence) Adalah kemampuan yang berkaitan dengan penggunaan bilangan dan logika secara efektif . Inteligensi ruang-visual (spatial intelligence) Adalah kemampuan untuk menangkap dunia ruang-visual secara tepat, seperti dimiliki para pemburu, arsitek, navigator, dan del 4. Ad korator Inteligensi kinestetik-badani (bodily-kinesthetik intelligence) jalah kemampuan menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan seperti ada pada aktor, at let, penari, pemahat, dan ahli bedah . Inteligensi musikal (musical intelligence) Ad dai jalah kKemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan, n menikmati bentu-bentuk musik dan suara . Inteligensi interpersonal (interpersonal intelligence) Ad pel 7. jalah kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap rasaan, intensi, motivasi, watak, temperamen orang lain Inteligensi intrapersonal (intrapersonal intelligence) Adalah kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptatif ber- dasar pengenalan diri 8. Inteligensi lingkungan/naturalis (naturalist intelligence) Adalah kemampuan untuk dapat mengerti flora dan fauna dengan baik 9. Inteligensi eksistensial (existencial intelligence) Adalah kemampuan menyangkut kepekaan dan kemampuan seseorang untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam eksis- tensi atau keberadaan manusia Karakteristik konsep Multiple intelligences : 1. Semua inteligensi itu berbeda-beda, tetapi semuanya sederajat 2. Semua kecerdasan dimiliki manusia dalam kadar yang tidak persis sama 3. Semua kecerdasan dapat dieksplorasi, ditumbuhkan, dan dikembangkan secara optimal 4. Terdapat banyak indikator kecerdasan dalam tiap-tiap kecerdasan 5. Semua kecerdasan yang berbeda-beda tersebut bekerjasama untukmewujudkan aktivitas yang diperbuat manusia 6. Semua jenis kecerdasan tersebut ditemukan di seluruh/semua lintas kebudayaan di seluruh dunia dan kelompok usia 7. Tahap-tahap alami dari setiap kecerdasan dimulai dengan kemampuan membuat pola dasar 8. Saat seseorang dewasa, kecerdasan diekspresikan melalui rentang pengejaran profesi dan hobi Menurut Armstrong (1993:21-22), faktor-faktor yang mempengaruhi Multiple Intelligences bergantung pada tiga faktor penting berikut: 1. Faktor biologis (biological endowment), termasuk di dalamnya faktor keturunanatau genetis dan luka atau cedera otak sebelum, selama, dan setelah kelahiran 2. Sejarah hidup pribadi, termasuk di dalamnya adalah pengalaman-pengalaman (bersosialisasi dan hidup) dengan orang tua, guru, teman sebaya, atau orang lain, baik yang membangkitkan maupun yang menghambat perkembangan kecerdasan. 3. Latar belakang kultural dan historis, termasuk waktu dan tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan serta sifat dan kondisi perkembangan historis atau kultural di tempat yang berbeda Implikasi *Tabel* @ TEORI CONNECTIVISM LEARNING Teori connectivism adalah teori baru yang berkembang pada era digital, berasal dari penelitian yang berkaitan dengan belajar jarak jauh. Diperkenalkan pertama kali oleh George Siemens, seorang guru besar dari Athabasca University di Kanada. Teori connectivisme mengintegrasikan prinsip-prinsip yang digali melalui teori chaos, jejaring, kompeksitas dan se/f organizing. Di dalam teori ini, pembelajaran merupakan suatu proses yang terjadi di dalam lingkungan perubahan inti pembelajaran yang tidak sepenuhnya dalam kendali oleh seorang individu. Menurut teori connectivism, kegiatan pembelajaran dimulai dari kegiatan mengetahui sampai dengan kegiatan menciptakan pengetahuan yang dapat dilakukan (actioneble knowledge). Diperlukan kemampuan untuk dapat membedakan jnformasi yang penting dan tidak penting, hal ini berkaitan dengan pengambilan keputusan di era digital yang didasarkan pada landasan-landasan yang berubah secara cepat karena informasi baru diperoleh secara terus menerus dan berkelanjutan. Siemens (2005) menyatakan bahwa Connectivism dikembangkan sebagai respons terhadap tren dan kebutuhan abad ke-21, yang terkait dengan kemajuan teknologi dan makin pentingnya peran jaringan (network) yang terjadi akibat perkembangan teknologi. Siemens (2005) menyimpulkan bahwa behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme, tiga teori pembelajaran utama yang paling sering digunakan tidak dapat mengakomodasi semua dampak kemajuan teknologi karena teori-teori tersebut dikembangkan pada saat teknologi belum memiliki pengaruh terhadap pengalaman belajar peserta didik sebanyak hari ini. Downes (2012) menyatakan bahwa inti dari Connectivism adalah tesis bahwa pengetahuan didistribusikan melalui jaringan dan oleh karena itu pembelajaran terdiri dari kemampuan untuk membangun dan melintasi jaringan tersebut. Prinsip utama dalam teori connectivism, yaitu : (1) Pembelajaran merupakan suatu proses penghubungkan beberapa sumber informasi (2) Mendorong dan memelihara hubungan untuk memfasilitasi terjadinya pembelajaran berkelanjutan (continual learning) (3) Kemutakhiran dan keakuratan pengetahuan merupakan tujuan dari kegiatan pembelajaran (4) Dapat memilah, memilih dan mengelola informasi untuk penentuan pengambilan suatu keputusan Menurut teori connectivism, pengetahuan dapat disistribusikan melalui jaringan informasi dan dapat disimpan didalam format digital. Connectivism berkaitan dengan pengembangan kognisi. Siemens (2008) menggambarkan kategori pembelajaran kedalam tiga framework epistemologi, yang disebut dengan objectivism, pragmatism dan interpretivism. Objectivism berkaitan dengan pola pikir, pengetahuan dan persepsi. Di dalam pragmatisme dinyatakan bahwa pengetahuan merupakan sebuah negoisasi antara refleksi, pengalaman, inquiry serta suatu tindakan. Interpretivism memposisikan bahwa pengetahuan berada pada konstruksi internal serta diinformasikan melalui sosialisasi dan budaya. Menurut Siemens, lerubahan distribusi pengetahuan dari tradisional/konvensional menuju era digital dapat dikaji dan dikembangkandalam 4 domain (wilayah) sebagai berikut : Domain I — Analisa dan Validasi * Tahap 1 Analisa - terdiri dari Analisa Jejaring Sosial, Analisa Organisasi, Analisa Struktur, Analisa Budaya, dan Analisa Aliran Pengetahuan + Tahap 2 Evaluasi dan Representasi — terdiri dari penyiapan Representasi Visual, dan Kelengkapan data + Tahap 3 Validasi — terdiri dari penyiapan Panel Penanggap, Ketelitian Pandangan lLatar Belakano * Tahap 4 Pengembangan Peta Pembelajaran — terdiri dari penyiapan Sumber Daya, Tipe Pembelajaran, Tipe Elemen Elemen Pembelajaran, Tujuan Pembelajaran, Strategi Organisasi. Domain II — Desain Ekologi dan Pembangunan Jejaring * Tahap 5 Ekologi — yang meliputi Desain, Piloting, Penyebaran, Pengembangan Domain III - Pembelajaran Adaptif dan Siklus Pengetahuan * Tahap 6 Mempersiapkan Pembelajar dan Mendorong Pembelajaran — yang terdiri dari Kajian Elemen Elemen Ekologi, Membangun Keterampilan Pembelajar, Membangun Percaya Diri, Membantu Berpartisipasi Dalam Dunia Connectivism, Penanaman Dalam Proses Organisasi, Penanaman Dalam Kebiasaan Kebiasaan Organisasi Domain IV ~ Kajian Ulang Sistem dan Evaluasi + Tahap 7 Assesment dan Evaluasi — yang dilakukan terhadap Tingkat Kembalian, Ekologi, Ancangan, Keberhasilan, Para Pembelajar * Tahap 8 Revisi dan Penyesuaian — yang terdiri dari Koreksi, Kompensasi, Penyesuaian Implikasi Teori Connectivism George Siemens telah membangunkan teori pembelajaran Connectivisme keranapercaya bahawa teori-teori pembelajaran sebelumnya seperti Behaviourism, Cognitivism danConstructivism tidak memenuhi sifat pengajian dalam zaman digital kini. Teori Connectivism hadir sebagai satu teori pembelajaran baru yang bertujuan untuk berlakunya pembelajaran dalam era digital. Teknologi telah merubah kehidupan, pembelajaran secara tradisional juga perlu berubah mengikut format digital seiring dengan perubahan teknologi. Teori Siemens berpengaruh pada model pembelajaran jarak jauh, seperti inte/ligent turoring system (ITS), dengan implementasi pendukung berupa adaptive e-learning ataupun world wide web (WWW) dengan implementasi /earning management systems (LMS). @ TEORI TRANSFORMATIVE LEARNING Perspektif transformatif adalah konsep pembelajaran yang menghasilkan perubahan pada individu tentang bagaimana individu tersebut mengerti dan memaknai kenyataan dan pengalaman hidupnya. Hal ini mencakup proses seseorang dalam melihat dan memahami proses belajar yang dialaminya saat ini dan menghubungkannya dengan keadaan hidupnya. Pembelajaran transformative (transformative learning) merupakan model pembelajaran yang dikembangkan dari perspektif transformatif. Transformasi dalam diri manusia adalah proses perubahan yang mendasar, baik dari segi bentuk, penampilan, kondisi, karakteristik dan substansi. Saat ini telah berkembang beberapa perspektif teori belajar transformasional, di antaranya adalah : 1. Transformasi rasional atau transformasi personal oleh Mezirow 2. Transformasi pendidikan atau transformasi individu oleh Boyd 3. Transformasi sosial atau transformasi emansipatori oleh Freire 1) Transformasi rasional Menurut transformasi rasional, proses belajar transformatif adalah proses pembangunan makna baru terhadap pengalaman diri sendiri berdasarkan interpretasi sebelumnya guna memandu tindakan - tindakan yang akan datang. Teori ini menjelaskan bagaimana harapan, kerangka asumsi budaya, dan anggapan- anggapan seseorang mempengaruhi makna yang diperoleh dari pengalaman barunya. Mezirow menfokuskan diri pada konflik kognitif yang dialami seseorang dalam hubungannya dengan budaya dan menempatkan ego sebagai pemain utama dalam pencapaian transformasi. Kegiatan belajar dilakukan melalui dua ranah, yaitu instrumental dan komunikatif. Belajar instrumental difokuskan pada proses pemecahan masalah, sedangkan belajar komunikatif ditekankan pada pemahaman substansi yang terkandung di dalam pembicaraan orang lain. Misalnya tentang nilai, cita-cita, perasaan, keputusan moral, dan konsep-konsep kebebasan, keadilan, kasih sayang, buruh, otonomi, komitmen dan demokrasi. Mezirow mengidentifikasi proses terjadinya perubahan (transformasi) seseorang melalui 10 tahap, yaitu : 1. Mengalami disorientasi atau dilemma (experiencing a disorienting dilemma) 2. Menguji perasaan bersalah atau malu oleh diri sendiri (se/f- examining feelings of guilt or shame) 3. Menguji asumsi-asumsi secara kritis (assessing assumptions critically) 4. Mengetahui bahwa ketidakpuasan dan proses transformasi dapat dibagi atau dikomunikasikan dengan orang lain, dan menegosiasikan perubahan yang sama (recognizing that one’s discontent and process of transformation are shared, and that others have negotiated a similar change) 5. Melakukan penjajakan terhadap pilihan-pilikan akan peran, hubungan, dan tidakan baru (exploring options for new roles, relationshoips and actions) 6. Merencanakan tindakan (planning a course of action) 7. Memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk mengimplementasikan rencana (acquiring knowledge and skills for implementing one’s plan) 8. Mencoba peran baru (trying out new roles provisionally) 9. Membangun kompetensi dan kepercayaan diri dalam peran dan hubungan baru (building competence and self-confidence in new roles and relationships) 10. Integrasi kehidupan dengan perspektif baru (reintegrating into one’s life on the basis ofconditions dictated by one’s new perspective) 2) Transformasi pendidikan Transformasi pendidikan atau transformasi individu berakar dari psikologi analisis yang mengartikan transformasi sebagai perubahan mendasar di dalam pribadi seseorang sebagai akibat dari pengintegrasian dilemma pribadi dan perluasan kesadaran diri. Diyakini bahwa hanya melalui transformasi perubahan diri yang signifikan bisa terjadi. Tujuan utama transformasi adalah membebaskan diri individu dari pola-pola kehendak dan norma budaya yang menghambat potensi aktualisasi diri. Boyd menfokuskan diri pada upaya mengatasi konflik di dalam internal diri individu untuk mencapai keharmonisan karena diri (se/f) merupakan bagian sentral dan integral dari totalitas kepribadian. 3) Transformasi sosial Perspektif transformatif juga berangkat dari filsafat utama pendidikan Freire, yaitu konsep conscientization, suatu perubahan kesadaraandari rasa menerima kenyataan dan realitas hidup menjadi percaya bahwa realitas hidup dapat diubah. Transformasi emansipatori diartikan sebagai proses pembebasan kehidupan dari unsur-unsur pembelenggu, sebuah proses yang berkelanjutan, tiada henti dan sekaligus dinamis. Freire menekankan transformasi sosial melalui penggugahan kesadaran kritis (conscientization) masyarakat dan menempatkan proses pendidikan sebagai sarana yang tepat untuk keperluan tersebut. Karena itu refleksi kritis dipandang sebagai kata kunci transformasi. Semakin kritis peserta didik, semakin mampu yang bersangkutan mengubah kenyataan hidupnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik bertanya Sokratik (Jarvis, 1984). Teknik ini dilaksanakan dengan cara mengarahkan atau mengajukan sejumlah pertanyaan yang urut dan logis kepada peserta didik hingga mereka terdorong untuk merespon dan mengekspresikan pengeta-huan yang telah dimilikinya, yang belum pernah terkristalisasi oleh pemikirannya sendiri. Bagi Freire, pendidikan adalah sebagai praksis (aksi dan refleksi) pembebasan. Dasar pemikiran Freire adalah bahwa setiap manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menguji, mengkaji dan mengyji kembali lalu menghasilkan tindakan baru. Untuk mengidentifikasi apakah peserta didik mengalami proses penyadaran (consciousness) melalui pengalaman belajarnya, ada tiga komponen yang dapat di ekplorasi, yaitu : 1. Refleksi diri (se/f reflection) yang dilakukan secara terus menerus 2. Dialog dengan orang lain (others dialogue) 3. Aksi/transformasi (action/transformation) Implikasi Teori Transformative Learning Pembelajaran transformatif adalah pembelajaran yang menghendaki terjadinya perubahan cara berpikir atau mindset peserta didik. Perubahan mindset tersebut sering terjadi melalui proses sosial dimana peserta didik memahami bahwa hubungan sosial dan budaya mempengaruhi kepercayaan dan perasaan mereka. Bentuk hasil belajar dari pembelajaran transformatif termasuk pemberdayaan terhadap diri sendiri, peningkatan kepercayaan diri dalam menjalankan peran dan hubungan baru, peduli dengan orang lain, dan hubungan dengan orang lain. Selanjutnya terjadi perubahan pada pemahaman terhadap diri sendiri, perubahan pada kepercayaan dan perubahan pada tindakan. Adanya pengembangan emosional, kemampuan refleksi dan berpikir kritis menjadi implikasi dari pembelajaran transfotmatif. Pendidikan non formal akan menjadi tempat (space) untuk transformasi bagi peserta didik jika mereka mampu menjadi individu yang otonom dan bertanggung jawab. Pencapaian hasil belajar, menurut perspektif transformatif tidak selalu ditandai dengan penguasaan pengetahuan dan pengembangan keterampilan yang mungkin sulit dicapai oleh peserta didik karena terbatasnya sumber belajar (seperti fasilitas, guru, dan kesediaan dana pendidikan). Tetapi, berakar pada komunikasi (critica/ discourse) dimana peserta didik mampu mengemukakan dan berargumen atas keyakinannya, memberi bukti dan alasan akan keyakinan dan argumen tersebut.

You might also like