Professional Documents
Culture Documents
Bank Konvesional Dalam Islam
Bank Konvesional Dalam Islam
Dosen Pembimbing:
ADE NAWAWI S.Pdi., M.Ag
Disusun Oleh :
Kelompok 4 Reguler 1 A
Ketua : Lingga Ramadanti A1A.21.0025
Anggota : 1. Intan Agustiani Septy Ningtyas A1A.21.0001
2. Khalida Salsabila Fatwa A1A.21.0004
3. Addin Nursyifa Maulana Putra A1A.21.0007
4. Haris Hidayat A1A.21.0010
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Swt, sang Maha Pemberi Ilmu, karena atas
rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah kelompok yang berjudul
“Bank Kovensional dalam Islam”.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Kami
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen Ade Nawawi S.Pdi., M.Ag karena atas
bimbingan dan ilmu yang beliau berikan, kami dapat menyusun makalah ini tepat twaktu.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak, terutama orang tua kami, yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari nilai yang sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi berkembangnya kemampuan kami dan
agar dapat dijadikan semangat untuk penyusunan karya tulis ilmiah di masa depan.
Penulis 1, Penulis 2,
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................................................3
1.4 Manfaat Penulisan.................................................................................................................3
BAB 2 BANK KONVESIONAL DALAM ISLAM.................................................................................4
2.1 Definisi Bank Konvensional....................................................................................................4
2.1.1 Sejarah Bank Konvensional............................................................................................4
2.1.2 Pengertian Bank Konvensial...........................................................................................5
2.1.3 Kegiatan Bank Konvesional Sebagai Lembaga Keuangan...............................................7
2.1.4 Fungsi Bank Konvensional..............................................................................................7
2.2 Dasar Hukum Bank Konvensional..........................................................................................9
2.3 Hukum Menyimpan Uang di Bank Konvesional...................................................................13
2.3.1 Pengertian Hukum islam..............................................................................................13
2.3.2 Sumber Hukum Islam...................................................................................................14
2.3.3 Karakteristik Hukum Islam...........................................................................................20
2.3.4 Perbedaan Hukum Bank dan Hukum Riba dalam Islam...............................................22
2.3.5 Rekening Tabungan dan Simpanan Giro......................................................................24
2.3.6 Deposito.......................................................................................................................29
2.3.7 Investasi Obligasi.........................................................................................................33
2.4 Bekerja di Bank Konvesional................................................................................................37
2.4.1 Konsep Bekerja Dalam Islam........................................................................................37
2.4.2 Hukum Bekerja di Bank Konvensional..........................................................................39
2.4.3 Pemikiran Abdul Aziz Bin Baz.......................................................................................40
2.4.4 Pemikiran Yusuf Qardawi.............................................................................................44
2.5 Memanfaatkan Bunga Bank Konvensional dalam Perspektif Islam.....................................48
2.5.1 Pengertian Bunga.........................................................................................................48
2.5.2 Bunga Menurut Hukum Islam......................................................................................49
2.5.3 Riba dalam Islam..........................................................................................................54
BAB 3 PENUTUP.........................................................................................................................64
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................64
3.2 Saran....................................................................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................66
BAB 1
PENDAHULUAN
Bank Syariah Indonesia mengungkapkan dari 180 juta penduduk Muslim di Indonesia,
baru 30,27 juta yang menjadi nasabah Bank Syariah per November 2020 dengan total aset
mencapai Rp591 triliun. Fakta tersebut menunjukan jika mayoritas umat Islam di Indonesia
masih memilih bank kovensional sebagai lembaga keuangan pilihan. Tidak dapat dipungkiri
jika bank-bank konvensional masih berpengaruh dalam kehidupan ekonomi umat Islam di
Indonesia. Sebagai konsekuensinya, isu-isu mengenai bagaimana hukum bank dalam
perspektif Islam mulai berkembang dan diperdebatkan.
Keterbatasan ilmu yang dimiliki oleh umat Islam mengenai hukum bank dapat
dimengerti sebab bahasan mengenai-bank konvensional termasuk ke dalam ilmu kontemporer
karena praktiknya baru hadir jauh setelah masa hidup Rasulullah saw. Karenanya, peran para
ulama sangat dibutuhkan untuk mengkaji hukum bank konvensional dan bank syariah dalam
pandangan hukum Islam.
Permasalahan mengenai bank termasuk dalam ilmu fiqih muamalah yang merupakan
ruang lingkup ijtihad. Para ulama sendiri pun memiliki perbedaan pandangan mengenai
hukum bank dalam perspektif Islam. Hal tersebut dinamakan khilafiyah, yang merupakan
perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Khilafiyah muncul karena adanya perbedaan
dalam tingkat pikiran atau akal manusia dalam memahami nash.
Seorang ulama bermahzab Syafi’i bernama Muhamma bin Abdul Rahman al-Dimasyqi
al-Syafi’i menegaskan bahwa perbedaan pendapat ulama merupakan rahmat bagi umat, sebab
para ulama tersebut telah berijtihad guna mencari kebenaran sesuai syariat Islam. Sebagai
umat Islam yang hidup di zaman modern, dibutuhkan sikap berpikir kritis dalam menyikapi
perbedaan pendapat di antara para ulama. Melalui penulisan makalah ini, kami akan
memaparkan beberapa perbedaan pendapat para ulama dalam menyikapi hukum bank dalam
perspekti Islam.
Meninggalkan segala bentuk miskonsepsi yang beredar mengenai hukum bank dalam
perspektif Islam, Al-Qur-an sudah menjelaskan bahwa hukum riba adalah haram mutlak.
Namun ulama berbeda pendapat mengenai apakah bunga bank dapat dikategorikan riba atau
bukan sebab ada yang berpendapat jika definisi bank tak bisa disamakan dengan bunga di
bank. Sebagai umat Islam yang beriman dan berakal, kita harus menentukan sikap untuk
memahami persoalan bunga bank dan transaksi ekonomi perbankan lainnya. Salah satu cara
untuk melakukannya adalah dengan meninjau persoalan bunga bank dari beragam analisis
ushul fiqih yang memiliki berbagai sudut pandang.
1. Manfaat Teoritis
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
pengembangan teori dan ilmu pengetahuan teoritis terkait dengan ilmu pendidikan
agama perihal bank konvensional.
Merujuk pada catatan sejarah, bank pertama kali didirikan di Bunduqiyyah, salah satu
kota di Negara Italia pada tahun 1157 M. Perkembangan bank terus berjalan pesat hingga
pada abad ke-16, tepatnya pada tahun 1587, berdirilah di Negara Italia sebuah bank bernama
Banco Della Pizza Dirialto dan berdiri juga pada tahun 1609 bank Amsterdam Belanda,
kemudian disusul bank-bank lainnya di Eropa. Sekitar tahun 1898, Bank mulai populer di
Negara-negara Arab, di mana Mesir mendirikan Bank Ahli Mishri dengan modal lima ratus
ribu Junaih.
Dari pengertian di atas jelas bahwa usaha perbankan pada dasarnya suatu usaha
simpan pinjam demi dan untuk kepentingan piha ketigak tanpa memperhatikan bentuk
hukumnya apakah perorangan (person) atau badan hukum (recht person). Pengertian secara
itu secara historis dijumpai dalam Undang-Undang perbankan sebelumnya sebagaimana
ditemukan dalam Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang memberikan
pengertian bank sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit
dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Lembaga keuangan adalah
semua badan yang melalui kegiatankegiatanya di bidang keuangan, menarik uang dari dan
menyalurkannya ke dalam masyarakat
Jika melihat definisi bank seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Perbankan
di atas, maka frasa “semua badan” akan memberikan kesan bahwa bank tersebut dapat
berbentuk usaha perorangan (jika tidak melihat persyaratanya lebih lanjut tentang pendirian
bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perbankan.
Oleh sebab itu, sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan dalam Pasal 1 ayat (1) barulah diberikan definisi secara tegas tentang bank
sebagai: badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan, dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dari pengertian di atas jelas bahwa usaha perbankan haruslah didirikan dalam bentuk badan
usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak boleh berbentuk usaha perorangan. Penegasan
seperti itu dapat dilihat dalam ketentuan pasal 21 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 jo
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang menentukan beberapa bentuk hukum bank
yaitu: Perusahaan Perseroan (PERSERO), Perusahaan Daerah, Koperasi dan Perseroan
Terbatas (PT).
Pengertian bank menurut UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian
diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 adalah sebagai berikut.
1. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.
2. Bank umum adalah bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
Pada perkembangannya, bank umum juga disebut sebagai bank umum konvensional.
Hal tersebut dilakukan karena untuk memberikan perbedaan terhadap bank umum syariah
yang semakin banyak didirikan di Indonesia. Dan berdasarkan Undang-Undang Perbankan
Syariah No. 21 Tahun 2008 yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
2. Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara
konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan
Bank Perkreditan Rakyat.
3. Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2.1.3 Kegiatan Bank Konvesional Sebagai Lembaga Keuangan
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Bank Konvesional sebagai lembaga keuangan
adalah sebagai berikut:
1. Menghimpun dana (uang) dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Secara umum jenis
simpanan yang ada di bank adalah terdiri dari simpanan giro, simpanan tabungan dan
simpanan deposito. Kegiatan penghimpunan dana ini sering disebut dengan istilah funding.
3. Memberikan jasa-jasa bank lainnya, seperti pengiriman uang (transfer), penagihan surat-
surat berharga yang berasal dari dalam kota (clearing), penagihan surat-surat berharga yang
berasal dari luar kota dan luar negeri (inkaso), letter of credit (L/C), safe deposit box, bank
garansi, bank notes, travellers cheque dan jasa-jasa lainnya. Banyaknya jenis jasa yang
ditawarkan sangat tergantung dari kemampuan bank masingmasing. Semakin tinggi
kemampuan bank, semakin banyak ragam produk yang ditawarkan. Kemampuan bank dapat
dilihat dari segi permodalan, manajemen serta fasilitas sarana dan prasarana yang
dimilikinya.
Dari uraian tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut tentang 2 (dua) fungsi bank berikut:
a. Fungsi perantara (intermediasi), yaitu penyediaan kemudahan untuk aliran dana dari pihak
yang mempunyai dana (penyimpan) kepada pihak yang memerlukan guna memenuhi
kekurangannya selaku peminjam. Peran ini sangat membantu pemilik dana dengan adanya
keuntungan berupa pendapatan bunga dari pinjaman dan keamanan fisik bank yang ditinjau
di bank.
b. Fungsi transmisi, berkaitan dengan peranan bank dalam lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang, dengan menciptakan uang kartal oleh Bank Indonesia dan uang giral serta
instrument lain yang menyerupai uang, misalnya produk berkartu dalam berbagai bentuk,
seperti Credit Card, Debit Card, Smart Card, dan lain sebagainya.
Arus perputaran uang yang ada di bank dari masyarakat kembali ke masyarakat, di
mana bank sebagai perantara dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Nasabah (masyarakat) yang kelebihan dana menyimpan uangnya di bank dalam bentuk
simpanan giro, tabungan atau deposito. Bagi bank, dana yang disimpan oleh masyarakat
adalah sama artinya dengan membeli dana. Dalam hal ini nasabah sebagai penyimpan dan
bank sebagai penerima titipan simpanan. Nasabah akan memilih sendiri untuk menyimpan
dana apakah dalam bentuk Giro, Tabungan atau Deposito.
2. Nasabah penyimpan akan memperoleh balas jasa dari bank berupa bunga bagi bank
konvensional dan bagi hasil bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah. Besarnya jasa bunga
dan bagi hasil tergantung dari besar kecilnya dana yang disimpan dan faktor lainnya.
3. Kemudian oleh bank, dana yang disimpan oleh nasabah di bank yang bersangkutan
disalurkan kembali (dijual) kepada masyarakat yang kekurangan atau membutuhkan dana
dalam bentuk pinjaman/kredit.
4. Bagi masyarakat yang memperoleh pinjaman atau kredit dari bank, diwajibkan kembali
untuk mengembalikan pinjaman tersebut beserta bunga bagi bank konvensional dan bagi
hasil atau margin keuntungan bagi bank syariah yang telah ditetapkan sesuai perjanjian antara
bank dengan nasabah. Besar kecilnya bunga kredit sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya
bunga simpanan. Semakin besar atau semakin mahal bunga simpanan, semakin besar pula
bunga pinjaman dan demikian sebaliknya. Di samping bunga simpanan, pengaruh besar kecil
bunga pinjaman juga dipengaruhi oleh keuntungan yang diambil, biaya operasi yang
dikeluarkan, cadangan risiko kredit macet, pajak serta pengaruh lainnya.
a. Peraturan pokok
2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indnesia sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 dan perubahan terakhir dengan Undang-
undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggant Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perbankan Kedua atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-undang.
b. Peraturan Pendukung
1) Undang-undang yang mengatur tentang badan usaha atau lembaga yang berkaitan dengan
perbankan, seperti Undang-undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang
Negara; Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara; Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas, dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah.
3. Peraturan Pemerintah
2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1999 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor Perwakilan dari
Bank yang Berkedudukan di luar Negeri.
1) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan dan Bunga
Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
7. Peraturan lainnya yang dikeluarkan oleh institusi pemerintah yang tidak langsung
mengurus perbankan.
Peraturan nya memuat ketentuan yang erat dengan kegiatan perbankan atau secara langsung
mengatur kegiatan perbankan, misalnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatut
tentang Perbankan Milik Pemerintah Daerah.
Berdasarkan akar kata hakama tersebut kemudian muncul kata al-hikmah yang
memiliki arti kebijaksanaan. Hal ini dimaksudkan bahwa orang yang memahami hukum
kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari maka dianggap sebagai orang yang
bijaksana. Arti lain yang muncul dari akar kata tersebut adalah “kendali atau kekangan kuda”,
yakni bahwa keberadaan hukum pada hakikatnya adalah untuk mengendalikan atau
mengekang seseorang dari hal-hal yang dilarang oleh agama. Makna “mencegah atau
menolak” juga menjadi salah satu arti dari lafadz hukmu yang memiliki akar kata hakama
tersebut. Mencegah ketidakadilan, mencegah kedzaliman, mencegah penganiayaan, dan
menolak mafsadat lainnya.
Adapun secara termenologis, ulama usul mendefinisikan hukum dengan titah Allah
yang berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan,
maupun larangan. Sedangkan ulama fikih mengartikannya dengan efek yang dikehendaki
oleh titah Allah Swt dari perbuatan manusia, seperti halal, haram dan mubah. Selain definisi
yang dikemukakan tersebut, kata hukum mengandung pengertian yang begitu luas, tetapi
secara sederhana, hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang
ditetapkan dan diakui oleh suatu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat
untuk seluruh anggotanya.
Hasbi Assh-Shiddiqi memberikan definisi hukum Islam dengan “koleksi daya upaya
para ahli untuk menetapkan syariah atas kebutuhan masyarakat”. Sedangkan menurut Qadri
Azizi, berbicara tentang hukum Islam pada priode masa Rasulullah saw, harus diakui tidak
ada pemisahan antara hukum Islam di satu sisi dengan hukum yang ada di masyarakat
(hukum umum) di sisi lain. Hal ini berarti bahwa ketika Nabi mempraktekkan hukum, maka
itu adalah hukum Islam, diyakini pula oleh umat Islam bahwa khalifah yang empat juga
demikian, mereka mepraktikkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari baik urusan privat
maupun urusan publik.
Jika dirinci lebih khusus, yakni dalam arti syariah dan fikih sebagai dua konsep yang
berbeda, maka sumber hukum bagi masing-masing berbeda. Syariah, secara khusus,
bersumber kepada Al-qur’an dan Sunnah semata, sedang fikih bersumber kepada pemahaman
(ijtihad) manusia (mujtahid) dengan tetap mendasarkan pada dalil-dalil terperinci dari Al-
qur’an dan Sunnah. Berikutnya akan diuraikan secara singkat masing-masing dari ketiga
sumber hukum Islam tersebut.
Hukum Islam bukan hanya sebuah teori saja namun adalah sebuah aturanaturan untuk
diterapkan di dalam sendi kehidupan manusia. Karena banyak ditemui permasalahan-
permasalahan, umumnya dalam bidang agama yang sering kali membuat pemikiran umat
Muslim yang cenderung kepada perbedaan. Untuk itulah diperlukan sumber hukum Islam
sebagai solusinya, yaitu sebagai berikut:
1. Al-qur’an
Secara harfiah kata Al-qur’anberasal dari bahasa Arab al-qur’an yang berarti
pembacaan atau bacaan. Sedang menurut istilah, Al-qur’an adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui Malaikat Jibril dengan menggunakan
bahasa Arab sebagai hujjah (bukti) atas kerasulan Nabi Muhammad dan sebagai pedoman
hidup bagi manusia serta sebagai media dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan
membacanya.
Perlu diketahui bahwa posisi Al-qur’an sebagai sumber pertama dan terpenting bagi
teori hukum tidaklah berarti bahwa Al-qur’an menangani setiap persoalan secara terperinci.
Al-qur’an, sebagaimana kita ketahui, pada dasarnya bukan kitab undang-undang hukum,
tetapi merupakan dokumen tuntunan spiritual dan moral. Contoh-contoh yang sering dikutip
oleh para orientalis, seperti yang diwakili oleh Schacht, lebih banyak berkaitan dengan kasus-
kasus yang aplikasinya secara mendetail tidak diberikan oleh Al-qur’an, seperti dalam
hukum keluarga, hukum waris, bahkan cara-cara beribadah dan yang berhubungan dengan
masalah ritual lainnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan Al-qur’an sebagai sumber
utama hukum Islam berarti bahwa Al-qur’an menjadi sumber dari segala sumber hukum
dalam Islam. Hal ini juga berarti bahwa penggunaan sumber lain dalam Islam harus sesuai
dengan petunjuk Al-qur’an dan tidak boleh bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Al-
qur’an.
2. Sunnah
Secara etimologis, kata sunnah berasal dari kata berbahasa Arab al-sunnat yang
berarti cara, adat istiadat (kebiasaan), dan jalan atau tuntunan (sirah) yang dibedakan antara
yang baik dan yang buruk. Ini bisa dipahami dari sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim,
“Barang siapa yang membuat cara (kebiasaan) yang baik dalam Islam, maka dia
akan memeroleh pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya, dan barang siapa yang
membuat cara yang buruk dalam Islam, maka dia akan memeroleh dosanya dan dosa orang
yang mengikutinya”.
Secara terminologis, ada beberapa pemahaman tentang Sunnah. Ada Sunnah yang
dipahami oleh ahli fikih, ahli ushul fikih, dan ahli hadis. Yang dimaksud Sunnah di sini
adalah Sunnah seperti yang dipahami oleh ahli hadis, yaitu yang identik dengan hadis.
Menurut ahli hadis, Sunnah berarti sesuatu yang berasal dari Nabi Saw yang berupa
perkataan, perbuatan, penetapan, sifat, dan perjalanan hidup beliau baik pada waktu sebelum
diutus menjadi Nabi maupun sesudahnya.
Sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-qur’an, fungsi Sunnah adalah sebagai
bayan atau penjelas terhadap Al-qur’an. Fungsi bayan ini bisa berupa salah satu dari tiga
fungsi berikut:
a. Menetapkan dan menegaskan hukum-hukum yang ada dalam Al-qur’an. Misalnya sabda
Nabi tentang rukun Islam yang lima merupakan ketegasan dari firman Allah Swt. yang
memerintahkan shalat, zakat, puasa, dan haji.
b. Memberikan penjelasan arti yang masih samar dalam Al-qur’an atau merinci apa-apa yang
dalam Al-qur’an disebutkan secara garis besar (tafshil), mengkhususkan apa-apa yang dalam
Al-qur’an disebut dalam bentuk umum (takhshish), atau memberi batasan terhadap apa yang
disampaikan Allah secara mutlak (taqyid). Sebagai contoh adalah perincian cara-cara shalat
yang diberikan oleh Nabi yang merupakan penjelasan dari perintah melakukan shalat secara
global dalam Al-qur’an, dan masih banyak lagi contoh lainnya.
c. Menetapkan suatu hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur’an (tasyri’). Sebagai contoh
adalah haramnya mengawini seorang perempuan sekaligus mengawini bibinya secara
bersamaan (mengumpulkan keduanya). Masalah ini dalam Alqur’an belum disebutkan
dengan tegas.
3. Ijma
Sesudah Al-qur’an dan Sunnah, maka ijma menurut pendapat para jumhur ulama
menempati tempat ketiga sebagai sumber hukum islam, yaitu suatu pemufakatan atau
kesatuan pendapat para ahli yang mujtahid dalam segala zaman mengenai sesuatu ketentuan
syariat. Menurut definisi ini, apabila terjadi kesepakatan hukum di kalangan para mujtahid
atas suatu peristiwa tertentu yang tidak ada ketentuan hukumnya, maka kesepakatan itu
disebut ijma. Kesepakatan tersebut terjadi setelah Rasulullah saw wafat, karena pada masa
hidup beliau, beliau sendirilah yang akan menetapkan hukum atas suatu peristiwa yang
terjadi. Para ulama mendasarkan pendapatnya atas dasar dalil alqur’an dan Sunnah ataupun
dasar ilmiah.
4. Qiyas
Istilah lain untuk menyebut qiyas adalah analogi. Arti dasar kata qiyas adalah
mengukur atau membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Menurut ahli ushul qiyas
berarti mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nash-nya dengan hukum suatu
peristiwa yang sudah ada nash-nya lantaran adanya persamaan illat hukumnya dari kedua
peristiwa itu. Ahmad Hasan menilai qiyas sebagai bentuk sistematis dari penalaran
individual di bidang hukum (ra’yu).
Mengenai qiyas ini, al-Syafi’i tidak membedakannya dengan ijtihad. Fungsi qiyas
adalah untuk menemukan sebab atau illat hukum yang diwahyukan untuk dikembangkan ke
dalam kasus yang serupa. Sebagai contoh, meminum khamar (minuman keras) dilarang
secara tegas oleh nash. Penyebab larangan itu adalah akibat yang memabukkan, karenanya
dalam apa saja penyebab ini ditemukan, maka larangan dapat diterapkan. Dalam hal ini
hukum diperluas ke dalam kasus lain yang memiliki sifat yang sama.
Praktik penggunaan qiyas ini dimulai pertama kali oleh para sahabat ketika mereka
berselisih pendapat dalam pemilihan Abu Bakar menjadi khalifah atas dasar bahwa SAW
pernah menunjuknya menjadi imam shalat menggantikan beliau. Penggunaan qiyas ini
semakin mantap pada pertengahan kedua abad ke-2 H/8 M. Kebanyakan fuqaha (terutama
fuqaha yang empat) dan Syiah Zaidiyah menerima prinsip qiyas ini. Sedang Syi’ah Imamiyah
dan mazhab Zhahiri tidak mau menerima prinsip qiyās ini. Walaupun al-Syafi’i pada
umumnya telah dianggap berjasa dalam meneguhkan kedudukan qiyas sebagai sebuah
prinsip, namun caranya merujuk kepada qiyas ini menunjukkan bahwa prinsip tersebut
memang sudah diterima secara umum. Di antara para fuqaha tersebut, al-Syafi’ilah yang
paling banyak menggunakan qiyās (di samping Al-qur’an dan Sunnah) dalam pembentukan
hukum Islam (fikih).
5. Istihsan
Menurut ulama ushul, istihsan berarti meninggalkan qiyas yang jelas (jali) untuk
menjalankan qiyas yang tidak jelas (khafi), atau meninggalkan hukum kulli (universal) untuk
menjalankan hukum istisna (pengecualian), karena adanya alasan yang menurut logika yang
menguatkannya.
Jelasnya, istihsan terjadi apabila seorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa yang
tidak ada nash-nya, sedang untuk menentukan hukumnya ada dua jalan yang berbeda, jalan
yang satu jelas dapat menentukan hukumnya dan jalan yang lain samar-samar, artinya tidak
dapat menetapkan hukumnya dengan satu ketetapan, padahal mujtahid yang bersangkutan
mempunyai alasan yang kuat untuk memilih jalan yang samar-samar dan meninggalkan jalan
yang jelas atau nyata. Istihsan bisa juga terjadi apabila seorang mujtahid meninggalkan
hukum universal dan mengambil hukum spesifik (pengecualian) karena adanya alasan yang
kuat untuk mengambil hukum spesifik tersebut.
6. Maslahat Mursalah
Mashlahat mursalat terikat pada konsep bahwa syariah (hukum Islam) ditujukan
untuk kepentingan masyarakat dan berfungsi untuk memberikan kemanfaatan dan mencegah
kemudaratan. Teori ini dikembangkan dan dipegangi sebagai sumber hukum oleh Imam
Malik dan para pengikutnya. Teori ini selanjutnya dijabarkan lagi oleh al-Syathibi dengan
teorinya maqashid al-syari’at yang merupakan suatu usaha untuk menjastifikasi kemampuan
teori hukum Islam untuk beradaptasi dengan kebutuhan sosial.
7. Urf
Secara etimologis, urf berarti sesuatu yang dikenal. Sedang secara terminologis, urf
berarti sesuatu yang dikenal dan tetap dibiasakan manusia, baik berupa perkataan, perbuatan,
atau meninggalkan sesuatu. Urf juga dinamai dengan adat (Indonesia: adat). Keduanya tidak
bisa dibedakan. Namun, ada juga ulama yang membedakan urf dan adat dengan berbagai
argumen tertentu, akan tetapi perbedaannya tidak terlalu prinsip.
Urf ada dua macam, yaitu urf shahih, yaitu kebiasaan yang benar dan tidak
bertentangan dengan ketentuan agama, seperti peringatan maulud Nabi dan halal bi halal; dan
urf fasid, yaitu kebiasaan yang bertentangan dengan ketentuan agama, seperti pesta dengan
makanan dan minuman haram, dan lain-lain. Para ulama juga membagi urf dari berbagai
tinjauan (aspek).
Secara umum urf diamalkan oleh semua ulama fikih, terutama dari kalangan ulama
Hanafiyah dan Malikiyah. Mereka mendasarkan pada hadis yang berasal dari Abdullah Ibn
Mas‟ud yang diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya,
“Apa yang dilihat oleh umat Islam sebagai suatu yang baik, maka hal itu di sisi Allah
adalah baik”.
Di samping hadis ini, ada kaidah yang selalu dikaitkan dengan urf atau adat, yaitu “al-
adat muhakkamat” yang artinya adat (urf) itu menjadi pertimbangan hukum.
1. Sempurna
Pertama, sempurna. Artinya syari’at itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan
kondisi manusia, dimana dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini
didasarkan pada bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan garis besar
permasalahan, sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun zaman dan tempat selalu
berubah. Penetapan hukum yang bersifat global oleh al-Qur’an tersebut dimaksudkan untuk
memberikan kebabasan kepada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi
dan kondisi ruang dan waktu.
2. Universal
Syari’at Islam meliputi seluruh alam tanpa ada batas wilayah, suku, ras, bangsa, dan
bahasa. Universal ini pula tergambar dari sifat hukum Islam yang tidak hanya terpaku pada
satu masa saja (abad ke-VII saja, misalnya), tetapi untuk semua zaman. Hukum Islam
menghimpun segala sudut dan segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan, dan ia akan
senantiasa cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi lama atau pun modern, seperti
halnya ia dapat melayani para ahli aql dan ahl naql, ahl al-ra’y atau ahl al-hadiss.
Karena hukum Islam merupakan syariat yang universal dan sempurna, maka tak dapat
dipungkiri pula kesempurnaannya ini membuatnya bersifat elastis, fleksibel dan dinamis
dalam perkembangan zaman, karena jika hukum Islam menjadi sesuatu yang kaku jutsru akan
menjadikannya tak relevan pada masa atau ruang tertentu. Bila syariat diyakini sebagai
sesuatu yang baku dan tidak pernah berubah, maka fiqih menjembatani antara sesuatu yang
baku (syariat) dan sesuatu yang relatif dan terus berubah tersebut (ruang dan waktu). Syari’at
Islam hanya memberikan kaidah dan patokan dasar yang umum dan global. Perinciannya
dapat disesuaikan dengan kebutuhan manusia, dan dapat berlaku dan diterima oleh seluruh
manusia. Dengan ini pula dapat dilihat bahwa hukum Islam mempunyai daya gerak dan hidup
yang dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan, melalui suatu proses
yang disebut ijtihad. Dalam ijtihad yang menjadi hak bagi setiap Muslim untuk
melakukannya merupakan prinsip gerak dalam Islam yang akan mengarahkan Islam kepada
suatu perkembangan dan bersifat aktif, produktif serta konstruktif.
4. Sistematis
Artinya antara satu doktrin dengan doktrin yang lain bertautan, bertalian dan
berhubungan satu sama lain secara logis. Kelogisan ini terlihat dari beberapa ayat dalam al-
Qur’an yang selalu menghubungkan antara satu institusi dengan institusi yang lain. Selain itu,
syariat Islam yang mendorong umatnya untuk beribadah di satu sisi, tetapi juga tidak
melarang umatnya untuk mengurusi kehidupan duniawi.
6. Maslahat
Karena seluruh hukum itu harus bertumpu pada maslahat dan dasar dari semua kaidah
yang dikembangkan dari seluruh hukum Islam harus bersimpul pada maslahat. Syariat
berurusan dngan perlindungan maslahat entah dengan cara yang positif, misalnya dengan
tindakan untuk menopang landasan-landasan mashalih, syariat mengambil tindakan-tindakan
untuk menopang landasan-landasan mashalih tersebut. Atau dengan cara preventif, yaitu
untuk mencegah hilangnya mashalih, ia mengambil tindakan-tindakan untuk melenyapkan
unsure apa pun yang secara actual atau potensial merusak mashalih.
7. Menegakkan Keadilan
Yang disebut dengan tidak menyulitkan adalah hukum Islam itu tidak sempit, sesak,
tidak memaksa, dan tidak memberatkan.
a. Transfer uang dari satu rekening ke rekening lain dengan biaya administrasi.
c. Menyewakan save deposit box bagi nasabah yang menyimpan barang berharga di
bank.
Semua transaksi di atas mempunyai biaya administrasi atas manfaat yang diperoleh
dari kemudahan nasabah memanfaatkan sistem dan transaksi yang ada di bank konvensional.
Maka hukumnya halal dan boleh dilakukan. Adapun transaksi perbankan yang statusnya
haram karena memakai sistem bunga atau riba yakni:
1) Menerima tabungan dengan imbalan bunga, kemudian uang tabungan tersebut akan
digunakan oleh bank untuk memberikan pinjaman kepada orang lain dengan bunga yang
berlipat-lipat dari bunga yang diberikan kepada penabung.
2) Memberikan pinjaman uang kepada para pedagang, pegawai dan lain-lain dalam
tempo waktu tertentu dengan syarat peminjam harus membayar lebih dari hutangnya dengan
cara persentase.
3) Bagi para pedagang yang membutuhkan uang, meraka harus membuat surat kuasa
untuk meminjam kepada bank dan hal tersebut disepakati oleh kedua belah pihak. Tetapi
bunga di sini tidak dihitung kecuali setelah menerima pinjaman.
Dari uraian diatas disebutkan bahwasanya transaksi yang ada di bank konvensional
terdapat aktivitas yang halal dan haram, bercampurnya antara aktivitas halal dan haram yang
dilakukan oleh bank konvensional menurut Yusuf Qardawi boleh karena kegiatan perbankan
tersebut tidak hanya menawarkan atas jasa riba akan tetapi banyak terdapat bidang transaksi
yang statusnya halal dan baik.
2.3.5 Rekening Tabungan dan Simpanan Giro
Tabungan merupakan salah satu dari berbagai macam produk perbankan yang cukup
diminati masyarakat. Kegiatan menabung juga sudah banyak dilakukan dengan cara
menyimpan di rumah, seperti di bawah bantal, di bawah tempat tidur, bahkan di tiang rumah
yang terbuat dari kayu. Menurut Undang-Undang No 10 Tahun 1998, tabungan adalah
simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang
disepakati. Sementara merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menabung
adalah aktivitas menyimpan uang.
Konsep dari tabungan dan giro pada dasarnya adalah sama, yaitu menyimpan uang di
bank. Giro adalah salah satu produk perbankan yang bisa digunakan oleh perorangan atau
lembaga, yang berbentuk rupiah maupun mata uang asing, sebagaimana dijelaskan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK). Dari pengertian tersebut, sekilas giro sama seperti tabungan. Namun,
keduanya merupakan produk perbankan yang berbeda.
Perbedaan utama antara giro dan tabungan terletak pada skema penarikan uang. Giro
adalah produk perbankan yang penarikan dananya hanya bisa dilakukan dengan
menggunakan warkat cek dan bilyet giro. Penarikan uang dengan model ini harus mengikuti
jam operasional yang berlaku di bank. Di sisi lain, penarikan uang untuk tabungan jauh lebih
praktis. Apalagi banyak Mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) menerapkan limit yang
cukup besar untuk sekali penarikan. Kendati demikian, jumlah penarikan dana pada tabungan
untuk transaksi ATM sangat terbatas jika dibandingkan penarikan secara langsung melalui
teller bank. Kondisi ini bertolak belakang dengan pemindahan dana dari giro melalui bilyet
atau pencairan dana melalui cek yang jumlahnya tidak dibatasi.
Berdasarkan pada kesamaan konsep yang dimiliki oleh tabungan dan giro, maka
keduanya memiliki hukum yang sama dalam perspektif Islam. Oleh karena itu, kami
menyatukan pembahasan mengenai tabungan dan giro dalam satu bagian.
Menabung merupakan salah satu hal terpuji dalam Islam, seperti dalam hadis berikut :
“Simpanlah sebahagian daripada harta kamu untuk kebaikan masa depan kamu,
karena itu jauh lebih baik bagimu.” (HR. Bukhari).
“Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih
baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin,…” (HR Bukhari
Muslim).
Dari hadis-hadis tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa menabung adalah salah
satu ajaran Islam. Bahkan, di hadis terakhir menunjukkan bahwa meninggalkan harta
kekayaan yang banyak bagi ahli waris kita tidak dilarang. Bahkan, disebutkan itu hal yang
lebih baik. Hal tersebut akan memungkinkan manakala kita memiliki tabungan, sehingga
ketika kita wafat masih ada yang kita tinggalkan untuk pewaris kita.
Menabung bukan cermin tidak tawakal. Justru sebaliknya. Karena tawakal bukan
berarti kita pasrah kepada Allah tanpa berbuat apa-apa. Tawakal harus dimulai dengan upaya
maksimal, setelah itu barulah kita berserah diri kepada Allah, SWT.
"Seseorang berkata kepada Nabi , Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal?'
Nabi bersabda: 'Ikatlah kemudian bertawakallah'." (HR Imam Ibnu Hibban dan Hakim).
Dari hadis di atas disebutkan bahwa berserah diri kepada Allah, SWT harus dimulai
dengan ikhtiar maksimal. Dalam hadis di atas, untanya haruslah diikat terlebih dahulu, baru
setelah itu kita berserah diri kepada Allah, SWT. Menabung adalah upaya maksimal kita
untuk menjaga kemungkinan akan adanya kebutuhan pada masa yang akan datang. Setelah
menabung, barulah kita berserah diri (pasrah) kepada Allah Swt.
Pertama, menabung untuk mengambil dan memiliki bunganya. Ulama sepakat bahwa
bunga bank adalah riba yang haram. Untuk itu, mereka sepakat, menabung di bank dengan
maksud mengambil dan memanfaatkan bunga untuk kepentingan pribadi, hukumnya
terlarang. Dalam salah satu keputusan Majma’ Al-Buhuts Al-Islami, dalam muktamarnya
yang kedua, yang diadakan di Kairo, tahun 1965. Dalam keputusan tersebut dinyatakan:
“Bunga dari transaksi utang-piutang, semuanya adalah riba yang haram. Tidak ada
bedanya, baik utang untuk kegiatan konsumtif maupun utang untuk kegiatan
produktif. Karena dalil Al-qur’an dan sunah, semuanya dengan tegas menyatakan
haramnya kedua jenis riba dari utang tersebut.” (Fawaidul Bunuk Hiyar Riba, Hal.
130)
Kedua, menabung di bank tanpa keinginan mengambil bunga. Para ulama melarang
menabung di bank, meskipun tanpa ada keinginan untuk mengambil bunga. Karena menaruh
dana di bank, akan membantu bank dalam melancarkan transaksi riba. Hanya saja para ulama
membolehkan jika ada kebutuhan yang mendesak. Lajnah Daimah, dalam salah satu
fatwanya menyatakan, “Haram menyimpan uang di bank, kecuali karena darurat, dan tanpa
mengambil bunga.” (Majmu’ Fatawa Lanjah Daimah, 13:384)
Dalam banyak fatwanya, Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz membolehkan menabung di
bank untuk mengamankan uang, yang tidak memungkinkan untuk disimpan di selain bank.
Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang menabung gajinya di bank tanpa
mengambil bunga karena khawatir hilang. Beliau menjawab, “Tidak masalah Anda
melakukan demikian, menabung di bank karena khawatir uang Anda hilang. Dan ini
termasuk keadaan mendesak, jika Anda membutuhkannya maka tidak mengapa, dengan
tanpa mengambil bunga.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 19:153)
Hal ini juga menjadi keputusan Majlis Al-Fiqhi Al-Islami, di bawah Rabithah Al-
Alam Al-Islami, dalam konferensi kesembilan di Mekah. Pada keputusan no. 3, dinyatakan:
“Haram bagi seorang muslim, untuk bertransaksi dengan riba, selama masih
memungkinkan untuk bertransaksi dengan bank non riba, baik di dalam maupun luar
negeri. Karena tidak ada alasan baginya untuk berinteraksi dengan bank riba
sementara sudah ada penggantinya, yaitu bank non riba” (Diambil dari Fawaidul
Bunuk Hiyar Riba, Hal. 140)
Fatwa ahli hadis abad ini, Muhammad Nasiruddin Al-Albani rahimahullah. Dalam
program Silsilatul Huda wan Nur, beliau ditanya: Terkait gaji beberapa pegawai yang diambil
melalui bank, apakah gaji pegawai ini haram, karena termasuk harta riba?
Beliau memberikan jawaban: Saya tidak menganggap hal itu (gaji mereka termasuk
riba). Karena yang saya tahu, mereka tidak melakukan hal itu karena keinginan mereka, tapi
sebagai aturan yang wajib mereka ikuti. Yang penting gaji itu sampai kepada pegawai
dengan jalan yang halal. Akan tetapi jika gaji itu harus melalui fase yang tidak halal, seperti
ditabung dulu di bank maka itu di luar tanggung jawab pegawai, namun dia harus berusaha
untuk mengambil uang tersebut sesegera mungkin. (Silsilah Huda wan Nur, rekaman
no.387).
Keterangan beliau ini juga diaminkan oleh Lajnah Daimah. Pada kasus pertanyaan
yang sama, mereka Lajnah menegaskan:
Tidak masalah mengambil gaji yang ditransfer melalui bank. Karena pegawai ini
mengambil gaji sebagai imbalan dari pekerjaan yang dia lakukan, yang tidak ada
kaitannya dengan bank. Akan tetapi dengan syarat, jangan sampai dia tinggalkan di
bank untuk dibungakan, setelah gaji itu ditransfer ke rekening pegawai. (Fatawa
Lajnah, no.16501)
Syarat yang disampaikan Lajnah, bahwa gaji yang sudah ditransfer harus segera
diambil. Ini bertujuan agar nasabah tidak dianggap mengendapkan dana di bank, yang
nantinya akan dimanfaatkan bank untuk pengembangan riba. Sebagaimana hal ini juga
ditegaskan dalam Kumpulan Fatwa Syabakah Islamiyah. Dalam salah satu fatwanya
dinyatakan:
Bahwa transfer gaji melalui bank, meskipun bukan untuk tujuan membungakan uang,
tetapi dana tersebut akan dimanfaatkan bank untuk transaksi mereka yang penuh
dengan riba maka hukumnya tidak diperbolehkan, karena termasuk membantu orang
lain untuk maksiat. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 115367)
“Sesungguhnya Allah hanya menerima amal dari orang yang bertaqwa.” (QS. Al-
Maidah: 27).
Sementara sedekah dengan cara yang haram, bukanlah termasuk amal orang yang
bertaqwa. Ibnu Sa’di mengatakan:
Pendapat yang paling kuat tentang makna ‘orang yang bertaqwa‘ di ayat ini adalah
orang yang bertaqwa kepada Allah ketika melakukan amal tersebut. Artinya, dia
beramal dengan ikhlas mengharap wajah Allah, dan mengikuti sunah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Tafsir As-Sa’di, Hal. 228)
Makna ghulul pada asalnya adalah harta rampasan perang yang dicuri sebelum
dibagikan. Kemudian makna ini mengalami perluasan menjadi harta khianat, sehingga
mencakup semua harta yang diperoleh dengan cara haram. (Lihat Syarh Nawawi untuk
shahih Muslim, 3:103)
Fatwa terkait hal ini adalah keterangan Lajnah Quthaul Ifta’ Kuwait. Komite ulama
Kuwait ini memberikan jawaban yang tegas:
Dari uraian beberapa fatwa di atas, ada beberapa kesimpulan yang bisa dicatat:
1. Ulama sepakat bahwa bunga bank adalah riba yang haram.
2. Ulama sepakat terlarangnya menabung untuk tujuan membungakan uang. Karena sama
halnya dengan melakukan transaksi riba.
5. Batasan kebutuhan mendesak yang membolehkan menyimpan uang di bank adalah adanya
kekhawatiran terhadap keamanan harta nasabah, jika tidak disimpan di bank.
6. Kebutuhan mendesak antara satu orang dengan yang lainnya, berbeda-beda. Karena itu,
batasan ini tidak berlaku umum.
7. Dibedakan antara hukum membuka rekening di bank untuk memanfaatkan jasa bank,
dengan menyimpan uang di bank.
8. Dibolehkan membuka rekening di bank untuk memanfaatkan jasa bank yang halal, seperti
transfer gaji atau yang lainnya.
9. Pihak yang mendapatkan transfer gaji dari bank, diharuskan segera mengambil uang
tersebut dan tidak mengendapkannya di bank. Kecuali ada kebutuhan yang mendesak,
sebagaimana keterangan sebelumnya.
10. Tidak dibolehkan menabung di bank dengan tujuan mendapatkan bunga, untuk
disedekahkan atau diinfakkan ke jalan yang benar. Karena ini sama halnya dengan beramal
dengan cara bermaksiat.
2.3.6 Deposito
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan deposito berjangka
adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu
berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. Simpanan deposito diatur dalam
suatu perjanjian tertulis antara bank dan nasabah penyimpan dana mengenai uang yang
disimpannya. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa nasabah penyimpan dana tidak akan
menarik seluruh atau sebagian uangnya dengan cek atau instrumen lainnya sebelum tanggal
jatuh tempo.
Dalam hal perbankan dan produknya yaitu salah satunya adalah deposito, pada
dasarnya telah dilakukan sejak zaman Rasulullah saw. Sebagai contoh pada saat Nabi
Muhammad dipercaya masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat
terakhir sebelum hijrah ke Madinah, Nabi meminta kepada Ali bin Abi Thalib untuk
mengembalikan semua titipan tersebut kepada para pemiliknya. Menabung atau
mendepositokan uang adalah tindakan yang dianjurkan dalam Islam, karena dengan
menabung berarti seorang Muslim mempersiapkan diri untuk pelaksanaan masa yang akan
datang sekaligus untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
Memang ada yang berpendapat demikian. Hal tersebut karena terdapat kekeliruan
dalam memahami ayat ini:
َ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَْأ ُكلُوا ال ِّربَا َأضْ َعافًا ُم
َضا َعفَةً َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat
keberuntungan!”, (QS Ali ‘Imran: 130)
Mereka mengatakan bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlipat-lipat
keuntungannya, sedangkan yang tidak berlipat-lipat maka tidak mengapa. Mereka salah
memahami ayat ini karena mereka mungkin tidak mengetahui bahwa larangan riba dilakukan
dengan empat tahap pelarangan, yaitu sebagai berikut:
Tahap I: Firman Allah ta’ala:
َ اس فَاَل يَرْ بُو ِع ْن َد هَّللا ِ َو َما آتَ ْيتُ ْم ِم ْن َز َكا ٍة تُ ِري ُدونَ َوجْ هَ هَّللا ِ فَُأولَِئ
)39( َك هُ ُم ْال ُمضْ ِعفُون ِ َو َما آتَ ْيتُ ْم ِم ْن ِربًا لِيَرْ بُ َو فِي َأ ْم َو
ِ َّال الن
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kalian berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kalian
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
(QS Ar-Rum: 39)
ُ) َوَأ ْخ ِذ ِه ُم ال ِّربَا َوقَ ْد نُهُوا َع ْنه160( ص ِّد ِه ْم ع َْن َسبِي ِل هَّللا ِ َكثِيرًا َ ِت لَهُ ْم َوب ْ َّت ُأ ِحل
ٍ فَبِظُ ْل ٍم ِمنَ الَّ ِذينَ هَادُوا َح َّر ْمنَا َعلَ ْي ِه ْم طَيِّبَا
)161( اط ِل َوَأ ْعتَ ْدنَا لِ ْل َكافِ ِرينَ ِم ْنهُ ْم َع َذابًا َألِي ًما
ِ َاس بِ ْالب
ِ ََّوَأ ْكلِ ِه ْم َأ ْم َوا َل الن
Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa riba dilarang kepada orang-orang Yahudi,
tetapi mereka masih melakukannya. Dan belum dijelaskan apakah riba juga diharamkan pada
kaum muslimin.
َ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَْأ ُكلُوا ال ِّربَا َأضْ َعافًا ُم
)130( َضا َعفَةً َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat
keberuntungan!”, (QS Ali ‘Imran: 130)
Pada ayat ini Allah mulai mengharamkan riba, tetapi yang disinggung hanyalah riba
yang berlipat ganda, sehingga sebagian sahabat menyangka bahwa riba yang sedikit masih
tidak mengapa.
َ ِالَّ ِذينَ يَْأ ُكلُونَ ال ِّربَا اَل يَقُو ُمونَ ِإاَّل َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَتَخَ بَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ْال َمسِّ َذل
ُ ك بِ–َأنَّهُ ْم قَ––الُوا ِإنَّ َم––ا ْالبَ ْي– ُع ِم ْث– ُل ال ِّربَ––ا َوَأ َح– َّل هَّللا
ار هُ ْم فِيهَ––ا ِ َّص– َحابُ الن ْ ك َأ َ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا فَ َم ْن َج– ا َءهُ َموْ ِعظَ–ةٌ ِم ْن َربِّ ِه فَ–ا ْنتَهَى فَلَ–هُ َم–ا َس–لَفَ َوَأ ْم– ُرهُ ِإلَى هَّللا ِ َو َم ْن َع––ا َد فَُأولَِئ
تِ الص–الِ َحا َّ ) ِإ َّن الَّ ِذينَ آ َمنُ––وا َو َع ِملُ––وا276( ار َأثِ ٍيم ٍ َّت َوهَّللا ُ اَل يُ ِحبُّ ُك– َّل َكف َّ ق هَّللا ُ ال ِّربَ––ا َويُ––رْ بِي
ِ الص– َدقَا ُ –) يَ ْم َح275( َخَالِ– ُدون
َ ) يَ––ا َأيُّهَ––ا الَّ ِذينَ آ َمنُ––وا اتَّقُ––وا هَّللا277( َف َعلَ ْي ِه ْم َواَل هُ ْم يَحْ َزنُ––ون ٌ ْصاَل ةَ َوآتَ ُوا ال َّز َك–اةَ لَهُ ْم َأجْ– ُرهُ ْم ِع ْن– َد َربِّ ِه ْم َواَل خَ– و
َّ َوَأقَا ُموا ال
َ ب ِمنَ هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه َوِإ ْن تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُءوسُ َأ ْم
––والِ ُك ْم اَل ٍ ْ) فَِإ ْن لَ ْم تَ ْف َعلُوا فَْأ َذنُوا بِ َحر278( ََو َذرُوا َما بَقِ َي ِمنَ الرِّ بَا ِإ ْن ُك ْنتُ ْم ُمْؤ ِمنِين
ْ َُظلِ ُمونَ َواَل ت
)279( َظلَ ُمون ْ ت
“ (275) Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit.
Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat),
‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’, padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhan-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
(276) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (277)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(278) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. (279) Maka jika
kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 275-279)
Dengan memahami tahap-tahap proses pengharaman riba, seseorang akan paham
bahwa pada akhirnya riba diharamkan secara mutlak oleh Allah subhanahu wa ta’ala, baik
banyak maupun sedikit (Lihat: Fiqh sunnah 3/174 dan At-Tadarruj fi Tahriim Ar-Riba). Jelas
juga diterangkan bahwa riba dihapuskan seluruhnya dan riba yang pertama kali dihapuskan
adalah riba ‘Abbas radhiallahu ‘anhu. Dan hadiss tersebut adalah potongan dari khutbah
Rasulullah saw di ‘Arafah. Sehingga perharaman riba secara mutlak adalah pengharaman
terakhir sebelum beliau wafat.
Kata investasi merupakan serapan dari bahasa Inggris, yaitu investment yang berarti
menanam. Dalam kamus istilah Pasar Modal dan Keuangan, investasi diartikan sebagai
penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh
keuntungan. Sedangkan dalam Kamus Lengkap Ekonomi, investasi didefinisikan sebagai
penukaran uang dengan bentuk-bentuk kekayaan lain seperti saham atau harta tidak bergerak
yang diharapkan dapat ditahan selama periode waktu tertentu supaya menghasilkan
pendapatan.
Investasi dapat dilakukan pada financial asset maupun real asset. Investasi pada
financial asset dilakukan di pasar uang, misalnya berupa sertifikat deposito, commercial
paper, Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), dan lainnya. Investasi juga dapat dilakukan di
pasar modal, misalnya berupa saham, obligasi, warrant, opsi, dan lainnya. Sedangkan
investasi pada real asset dapat dilakukan dengan pembelian aset produktif, pendirian pabrik,
pembukaan pertambangan, perkebunan, dan yang lainnya.
Pada umumnya pola investasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu investasi
langsung dan investasi portofolio. Pola pada investasi langsung adalah investor atau penanam
modal menyalurkan dananya pada usaha atau proyek secara langsung. Sedangkan investasi
protofolio merupakan pola investasi dimana investor menyalurkan dananya kepada manajer
atau perusahaaninvestasi tertentu, kemudian investor tersebut akan mendapatkan bukti
investasi berupa sertifikat investasi seperti saham, obligasi ataupun bentuk-bentuk lainnya.
Diriwayatkan juga dari al-Alla ibn Abdurrahman, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa
Utsman ibn Affan memberinya uang sebagai modal usaha, dan keuntungannya dibagi dua.
Bolehnya berinvestasi dalam Islam juga diperkuat dengan sabda Nabi Muhammad Sawyang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar:
“Kunci-kunci gaib ada lima yang tidak seorang pun mengetahui kecuali Allah semata:
1. Tidak ada yang mengetahui apa yang akan terjadi pada hari esok kecuali Allah
2. Tidak ada yang dapat mengetahui kapan terjadi hari kiamat kecuali Allah
3. Tidak ada yang dapat mengetahui apa yang terjadi atau yang ada dalam kandungan
rahim kecuali Allah
4. Tidak ada yang dapat mengetahui kapan turunnya hujan kecuali Allah
5. Tidak ada yang dapat mengetahui di bumi mana seseorang akan wafat.
Poin pertama bermakna investasi dunia akhirat. Di mana usaha atau pekerjaan sebagai
bekal kehidupan dunia sekaligus usaha sebagai bekal akhirat tidak diketahui oleh seluruh
makhluk. Poin kedua, sebagai informasi bagi sekalian manusia untuk berinvestasi akhirat
sebagai bekal yang memadai, karena tidak seorang pun mengetahui kapan terjadi hari kiamat
yang pada hari itu telah ditutup pintu tobat serta amalan manusia. Poin ketiga, sebagai pesan
untuk memiliki generasi yang berkualitas sebagai investasi jangka panjang bagi para orang
tua, di mana tidak seorang pun mengetahui seberapa besar kualitas kandungan yang ada
dalam rahim seseorang. Poin ke empat, pesan investasi dunia, dengan melakukan saving harta
sebagai motivasi untuk berjaga-jaga di masa depan (precautionary motivation) karena
turunnya air hujan dari langit disimbolkan sebagai sumber rezeki. Sedangkan poin kelima,
merupakan anjuran untuk melakukan investasi akhirat sedini mungkin, karena tidak
seorangpun mengetahui ajalnya.
B. Pengertian Obligasi
Obligasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu obligatie yang berarti kontrak. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, obligasi adalah surat pinjaman dengan bunga tertentu dari
pemerintahan yang dapat diperjualbelikan. Obligasi juga diartikan sebagai surat utang
berjangka waktu lebih dari satu tahun dan bersuku bunga tertentu, dikeluarkan oleh
perusahaan untuk menarik dana dari masyarakat guna menutup pembiayaan perusahaan.
Obligasi merupakan surat dari suatu lembaga atau perusahaan untuk dijual kepada
investor untuk mendapatkan dana segar. Dalam pasar modal obligasi didefinisikan sebagai
suatu surat berharga jangka panjang yang bersifat hutang yang dikeluarkan oleh emiten
dengan pemegang obligasi dengan kewajiban membayar bunga pada periode tertentu dan
melunasi pokok pada saat jatuh tempo kepada pemegang obligasi.
Obligasi merupakan istilah dari surat berharga bagi penetapan utang dari pemilik sebagai
pihak yang mengeluarkan obligasi atas suatu proyek dan memberikan kepada pemegangnya
hak bunga yang telah disepakati di samping nilai nominal obligasi tersebut pada saat
habisnya masa utang. Jadi pemegang obligasi menikmati beberapa hak, yaitu hak
mendapatkan bunga yang tetap sesuai dengan kesepakatan, hak pengembalian nilai/harga
obligasi pada saat habis masanya.
Pemegang obligasi tidak ikut serta dalam pengelolaan proyek yang dibiayainya, ia juga
tidak berhak untuk mendapatkan keuntungan atau hasil perusahaan pada waktu likuidasi atau
bubar. Ia hanya sekedar pemberi utang kepada proyek tersebut. Terlihat di sini bahwa
obligasi adalah riba yang diharamkan secara jelas oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan hadish-
hadish shahih serta konsesus (ijma’) ulama baik salaf maupun halaf.
Fatwa Syeikh al-Azhar Ali Gad al-Haq, “Obligasi pembangunan yang dikeluarkan
oleh pemerintah dengan rasio komisi yang tetap adalah, merupakan sejenis pinjaman
berbunga tertentu siapapun pemberi pinjamannya dan ia merupakan salah satu bentuk riba
yang diharamkan dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma.”
Beberapa Majma’ Fiqh (Dewan Fiqh) internasional yang diakui eksistensinya telah
membahas dan menetapkan haramnya mengeluarkan obligasi berbunga atau bermuamalah
dalam obligasi tersebut dengan cara apapun. Di antara keputusan itu adalah Keputusan
Muktamar ke-6 Majma’ al-Fiqh al-Islami di Jeddah. Muktamar tersebut mengeluarkan
keputusan nomor: 62/11/6 tentang obligasi bahwa bonds (obligasi) yang mencerminkan
kewajiban pembayaran atas harga obligasi beserta bunga atau disertai manfaat yang
disyaratkan adalah haram secara syar’i, baik dari segi pengeluaran, pembelian maupun
pengedarannya. Karena hal itu merupakan pinjaman ribawi, sama saja apakah pihak yang
mengeluarkannya adalah perusahaan swasta atau perusahaan umum milik pemerintah dan
tidak ada pengaruhnya apakah ia dinamakan sebagai sertifikat investasi (investment
certificate), tabungan, atau penanaman bunga tersebut dengan keuntungan, komisi, atau yang
lainnya.
Diharamkan juga zero coupon bonds (as-sanadat dzat al-kubun ashshafari), karena ia
termasuk pinjaman yang dijual dengan harga lebih murah dari harga nominalnya, pemiliknya
mengambil keuntungan dari perbedaan tersebut yang diperhitungkan sebagai diskon bagi
obligasi tersebut. Begitu juga bond (obligasi) berhadiah, hukumnya haram karena termasuk
pinjaman yang disyaratkan di dalamnya manfaat atau tambahan nisbah bagi kelompok
pemberi pinjaman atau sebagian dari mereka dengan tidak ditentukanorangnya, apalagi ia
menyerupai perjudian.
Investasi sangat dianjurkan dalam Islam. Al-Qur’an dan al-Hadis dari Nabi
Muhammad Sawdan sahabat mendukung adanya investasi berupa penggunaan sumber daya
modal yang produktif. Investasi yang dilakukan tentunya harus sesuai dengan aturan Islam.
Norma dalam berinvestasi menurut syariah adalah bebas dari unsur riba, ketidakpastian
(gharar), judi (maysir), haram, dan syubhat. Obligasi merupakan merupakan salah satu
bentuk investasi, namun praktik obligasi konvensional adalah riba yang diharamkan secara
jelas oleh ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis shahih serta konsesus (ijma’) ulama baik salaf
maupun khalaf.
2.4 Bekerja di Bank Konvesional
Dalam pandangan Yusuf Qardhawi kerja adalah segala usaha maksimal yang
dilakukan manusia, baik melalui gerak tubuh ataupun akal untuk menambah kekayaan, baik
dilakukan secara perorangan ataupun secara kolektif, baik untuk pribadi maupun untuk orang
lain (Qardhawi, 1997: 104). Oleh sebab itu pekerja dapat dikelompokan menjadi dua, pekerja
khas dan musytarak. Pekerja khas (pekerja tetap) adalah seorang yang bekerja pada satu
majikan dalam jangka waktu tertentu dan tidak boleh bekerja pada pihak lain. Sedangkan
pekerja musytarak (pekerja serabutan) adalah orang yang bekerja pada beberapa majikan dan
bebas untuk bekerja dengan siapa saja (Al-Zuhailī, t.th., juz. V: 3845).
Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki
untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari
pagi hingga sore, terus menerus tidak mengenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk
amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga
dan masyarakat sekelilingnya serta negara. Dengan kata lain, orang yang berkerja adalah
mereka yang menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat
maupun negara tanpa menyusahkan dan menjadi beban bagi orang lain.
“Dialah yang telah menciptakan bumi dan isinya agar selalu tunduk patuh, pergilah
ke segala penjuru bumi dan makanlah rezeki_Nya. Hanya kepada_Nya tempat kembali” (QS.
Al-Mulk (67): 15)
َض َوا ْبتَ ُغوْ ا ِم ْن فَضْ ِل هّٰللا ِ َو ْاذ ُكرُوا هّٰللا َ َكثِ ْيرًا لَّ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ ن ٰ
ِ ْت الصَّلوةُ فَا ْنت َِشرُوْ ا فِى ااْل َر ِ ُفَا ِ َذا ق
ِ َضي
”Bila salat telah dilaksanakan secara sempurna, berpencarlah kamu di bumi carilah
limpahan karunia Allah, dan zikirlah kepada_Nya banyak-banyak agar kamu sekalian
berhasil” (QS. Al-Jumu’ah (62): 10).
Ayat-ayat al-Qur’ān tentang kerja menyeru umat Islam untuk giat bekerja dan
berpenghasilan agar mampu meraih kesejahteraan, memenuhi kebutuhan diri dan keluarga,
serta masyarakat. Bekerja adalah kodrat hidup baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik
biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang. Karenanya bekerja
dan berusaha merupakan hal yang mutlak bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan
Islam menilainya sebagai salah satu macam ibadah yang berpahala dengan tidak menentukan
macam kerja dan usaha yang dinyatakan lebih utama dari yang lain.
Di sinilah Islam memberi petunjuk kepada umat Muslim bahwa kerja adalah bentuk
bangunan relasi sosial antar manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, keluarga serta
masyarakat disekitarnya dan sekaligus bentuk ideal dari pengabdian diri kepada Allah. Setiap
manusia, tanpa terkecuali, telah ditentukan pekerjaan yang dapat dikerjakan dan sekaligus
memberikan tanggungjawab untuk memeliharanya dengan benar sesuai ketentuan syara’.
Bagi mereka yang beriman dan bekerja baik akan diberi hayatan thayyibah (penghidupan
yang baik) dan mendapat kesempatan untuk bertemu dengan-Nya (QS. AlKahfi (18): 110).
Berikut adalah beberapa ayat dalam Al-Qur’an dan Hadis yang memuat persoalan
mengenai bekerja dalam Islam:
2. Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Demi Dzat yang diriku
ada di tangan-Nya, bahwa jika salah seorang diantara kalian mengambil tali lalu pergi
ke gunung untuk mengambil kayu bakar lalu dipikulnya pada punggungnya, itu lebih
baik batinya dari pada ia meminta-minta pada orang baik orang tersebut memberinya
atau menolaknya" (HR. Bukhari).
3. Barang siapa yang sore hari duduk kelelahan lantaran pekerjaan yang telah
dilakukannya, maka ia dapatkan sore hari tersebut dosa-dosanya diampuni oleh Allah
Swt. (HR. Thabrani)
4. ‘Sesungguhnya diantara dosa-dosa itu, terdapat satu dosa yang tidak dapat dihapuskan
dengan shalat, puasa, haji dan umrah.’Sahabat bertanya, ‘Apa yang dapat
menghapuskannya wahaiRasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Semangat dalam mencari
rizki.’ (HR. Thabrani)
5. Sesungguhnya Allah Swt mencintai seorang mu’min yang giat bekerja. (HR.
Thabrani)
6. Dalam sebuah riwayat dikemukakan, "Pada suatu saat, Saad bin Muadz Al-Anshari
berkisah bahwa ketika Nabi Muhammad Sawbaru kembali dari Perang Tabuk, beliau
melihat tangan Sa'ad yang melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa
sengatan matahari. Rasulullah bertanya, 'Kenapa tanganmu?' Saad menjawab, 'Karena
aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi
tanggunganku." Kemudian Rasulullah saw mengambil tangan Saad dan menciumnya
seraya berkata, 'Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka'" (HR.
Tabrani)
Umat Islam diperbolehkan mempunyai profesi sebagai pegawai atau karyawan sebuah
perusahaan dengan syarat tidak menjadi pegawai yang membahayakan kaum muslimin. Oleh
karena itu seorang muslim dilarang bekerja sebagai prajurit yang memerangi kaum muslimin
atau bekerja sebagai karyawan dalam suatu pabrik yang memproduksi senjata untuk
memerangi kaum muslimin. Seorang muslim juga tidak diperbolehkan bekerja di suatu
lembaga yang melawan umat Islam, termasuk diantaranya adalah pegawai yang membantu
kepada perbuatan dhalim dan haram seperti pekerjaan yang meribakan uang, bekerja ditempat
perjudian dan sebagainya. Orang yang terlibat dalam pekerjaan dosa tersebut juga tidak
terbebas dari dosa, sebab menolong perbuatan haram berarti hukumnya haram pula
sebagaimana dalam firman Allah.
ۤ هّٰللا
ي َواَل ْالقَاَل ۤ ِٕى َد َوٓاَل ٰا ِّم ْينَ ْالبَيْتَ ْال َح َرا َم يَ ْبتَ ُغوْ َ–ن فَضْ اًل ِّم ْن َ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تُ ِحلُّوْ ا َش َع ۤا ِٕى َر ِ َواَل ال َّش ْه َر ْال َح َرا َم َواَل ْالهَ ْد
َ ص ُّدوْ ُك ْم ع َِن ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام اَ ْن تَ ْعتَ ُد ۘوْ ا َوتَ َع
اونُوْ ا َعلَى َ َّربِّ ِه ْم َو ِرضْ َوانًا ۗ َواِ َذا َحلَ ْلتُ ْم فَاصْ طَا ُدوْ ا ۗ َواَل يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشن َٰانُ قَوْ ٍم اَ ْن
هّٰللا هّٰللا
ِ ْالبِرِّ َوالتَّ ْق ٰو ۖى َواَل تَ َعا َونُوْ ا َعلَى ااْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َوا ِن َۖواتَّقُوا َ ۗاِ َّن َ َش ِد ْي ُد ْال ِعقَا
ب
Artinya :Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. al-Maidah : 2)
Di dalam sebuah hadis juga juga bahwasanya Rasulullah melaknat orang yang terlibat
dalam urusan riba:
“Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, orang-orang yang
menjadi saksi atas riba. Mereka sama saja.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud dan At
Tirmidzi).
Untuk mengetahui apakah profesi pegawai bank dapat dikategorikan seperti yang
dimaksud hadis tersebut, maka diperlukan adanya ijtihad kontemporer dari para ulama agar
diperoleh kepastian hukumnya. Ijtihad pada zaman modern ini merupakan suatu kebutuhan.
Menurut ‘Abdul ‘Aziz bin Baz apabila seseorang bekerja disuatu bank, di mana bank
tersebut hanya menawarkan jasa atas dasar riba, maka dalam keadaan seperti ini maka
bekerja dan membantu terselenggaranya praktik riba itu, apapun bentuknya adalah haram.
Bank yang bertransaksi dengan riba karena hal itu berarti membantu mereka di dalam
melakukan dosa dan ‘udwaan (pelanggaran). Sementara Allah Ta’ala berfirman,‛
ۤ هّٰللا
ي َواَل ْالقَاَل ۤ ِٕى َد َوٓاَل ٰا ِّم ْينَ ْالبَيْتَ ْال َح َرا َم يَ ْبتَ ُغوْ َ–ن فَضْ اًل ِّم ْنَ اَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تُ ِحلُّوْ ا َش َع ۤا ِٕى َر ِ َواَل ال َّشه َْر ْال َح َرا َم َواَل ْالهَ ْد
َ ص ُّدوْ ُك ْم ع َِن ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام اَ ْن تَ ْعتَ ُد ۘوْ ا َوتَ َع
اونُوْ ا َعلَى ْالبِ ِّر َ َّربِّ ِه ْم َو ِرضْ َوانًا ۗ َواِ َذا َحلَ ْلتُ ْم فَاصْ طَا ُدوْ ا ۗ َواَل يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشن َٰانُ قَوْ ٍم اَ ْن
هّٰللا هّٰللا
ِ ان ۖ َواتَّقُوا َ ۗاِ َّن َ َش ِد ْي ُد ْال ِعقَا
ب ِ َوالتَّ ْق ٰو ۖى َواَل تَ َعا َونُوْ ا َعلَى ااْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َو
Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan ketakwaan
dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran‛ (QS Al Ma’idah:2)
Demikian pula pendapat ‘Abdul ‘Aziz bin Baz disertai dengan pendapat murid beliau
asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin , bekerja di bank-bank ribawi diharamkan
karena 2 alasan.
Pertama, membantu melakukan riba’. Bila demikian halnya maka ia masuk ke dalam
laknat yang telah diarahkan kepada individunya langsung sebagai mana telah terdapat hadiss
yang sahih dari Rasulullah saw, bahwasannya beliau telah melaknat pemakan riba, pemberi
makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya.
Kedua, bila tidak membantu, berarti setuju dengan perbuatannya itu dan mengakuinya.
Oleh karena itu tidak boleh hukumnya bekerja di bank-bank yang bertransaksi dengan Riba.
Sedangkan menyimpan uang disana karena suatu kebutuhan, maka tidak apa, apabila kita
belum mendapatkan tempat aman selain bank-bank seperti itu, dengan satu syarat, yaitu
seseorang tidak mengambil riba darinya sebab mengambilnya adalah haram hukumnya.
Ajaran Islam melarang pemeluknya untuk bekerja mencari uang dengan sesuka hatinya,
tetapi Islam memberikan garis pemisah antara yang boleh dan yang dilarang dalam mencari
rizki dengan menitik beratkan kepada masalah kemaslahatan umum. Garis pemisah ini berdiri
diatas landasan yang bersifat menyeluruh yang menyatakan bahwa semua jalan untuk
berusaha mencari uang yang tidak menghasilkan manfaat kepada seseorang kecuali dengan
menjatuhkan orang lain adalah tidak dibenarkan. Dan sebaliknya semua jalan yang saling
mendatangkan manfaat antara individu dengan kerelaan dan adil adalah dibenarkan.
Aktivitas antar manusia termasuk aktivitas ekonomi terjadi melalui apa yang
diistilahkan oleh ulama dengan mu’amalah (interaksi). Pesan utama al-Qur’an dalam
muamalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah:
َاس بِااْل ِ ْث ِم َواَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُموْ ن ِ ࣖ واَل تَْأ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل َوتُ ْدلُوْ ا بِهَٓا اِلَى ْال ُح َّك ِام لِتَْأ ُكلُوْ ا فَ ِر ْيقًا ِّم ْن اَ ْم َو
ِ َّال الن َ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau melakukan
transaksi keuangan di antara kamu secara batil... (QS. Al- Baqarah ayat 188).
Kata batil‛ diartikan sebagai segala sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan dan
nilai agama‛. Sistem ekonomi dalam Islam ditegakkan pada asas memerangi riba dan
menganggapnya sebagai dosa besar yang dapat menghapuskan berkah dari individu dan
masyarakat, bahkan dapat mendatangkan bencana di dunia dan di akhirat.
B. Hukum Gaji Bekerja di Bank Konvensional Menurut Abdul Aziz Bin Baz
Sistem ekonomi dalam Islam ditegakkan pada asas memerangi riba dan mengaggapnya
sebagai dosa besar yang dapat menghapuskan berkah dari individu dan masyarakat, maka
seorang muslim tidak boleh bekerja di bank yang sistemnya menggunakan sistem ribawi
karena pekerjaan tersebut turut serta dalam membantu melakukan dosa, pelanggaran dan
dapat mendatangkan bencana didunia dan diakhirat.
Ajaran Islam melarang pemeluknya untuk bekerja mencari uang dengan sesuka hatinya,
tetapi Islam memberikan garis pemisah antara yang boleh dan yang dilarang dalam mencari
rezeki dengan menitik beratkan kepada masalah kemaslahatan umum.
Menurut ‘Abdul ‘Aziz bin Baz menyatakan bahwasanya apabila seseorang bekerja di
sebuah bank yang bertransaksi dengan riba maka termasuk mencari penghidupan dari hasil
perbuatan haram. Karena pekerjaan tersebut hanya menawarkan jasa atas dasar riba. Maka
beliau mengharamkan seseorang bekerja di bank yang bertransaksi dengan bunga karena hal
itu disamakan dengan riba dan berarti turut serta membantu mereka didalam melakukan dosa
dan pelanggaran, sehingga gaji yang yang diperoleh dari hasil bekerjanya di bank
konvensional adalah haram.
Setiap orang dituntut bekerja dan diperintahkan berjalan di semua penjuru bumi untuk
mencari rezeki Allah Swt. Untuk itulah seorang Muslim tidak diperbolehkan
menggantungkan dirinya kepada sedekah orang lain, padahal ia masih mampu berusaha untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Mengenai hal ini Rasulullah bersabda:
Artinya: sedekah tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai
kekuatan dengan sempurna‛ ( HR Tirmidzi)
Orang yang terlibat dalam melakukan perbuatan haram tidak terbebas dari dosa, sebab
menolong perbuatan haram berarti hukumnya haram pula sebagaimana firman Allah surat al-
Maidah ayat 2 :
ۤ هّٰللا
ي َواَل ْالقَاَل ۤ ِٕى َد َوٓاَل ٰا ِّم ْينَ ْالبَيْتَ ْال َح َرا َم يَ ْبتَ ُغوْ َ–ن فَضْ اًل ِّم ْنَ اَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تُ ِحلُّوْ ا َش َع ۤا ِٕى َر ِ َواَل ال َّشه َْر ْال َح َرا َم َواَل ْالهَ ْد
َ ص ُّدوْ ُك ْم ع َِن ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام اَ ْن تَ ْعتَ ُد ۘوْ ا َوتَ َع
اونُوْ ا َعلَى ْالبِ ِّر َ َّربِّ ِه ْم َو ِرضْ َوانًا ۗ َواِ َذا َحلَ ْلتُ ْم فَاصْ طَا ُدوْ ا ۗ َواَل يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشن َٰانُ قَوْ ٍم اَ ْن
هّٰللا هّٰللا
ِ ان ۖ َواتَّقُوا َ ۗاِ َّن َ َش ِد ْي ُد ْال ِعقَا
ب ِ َوالتَّ ْق ٰو ۖى َواَل تَ َعا َونُوْ ا َعلَى ااْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َو
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan taqwa dan janganlah
kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Orang yang terlibat dalam pekerjaan riba juga termasuk melakukan perbuatan dosa
sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Artinya: “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatat riba orang-
orang yang menjadi saksi atas riba, dan mereka semua sama.”
Artinya: dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa dan janganlah
kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Sehingga rasulullah melaknat penulis riba dan saksinya sebagaimana dilaknatnya orang
yang memakan riba.
Artinya: Bahwasanya Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberi makan riba dan
mereka yang menjadi saksi atas riba‛ lebih lanjut beliau berkata: mereka adalah sama.
Hukum keharaman pekerjaan ini berlaku dalam keadaan normal (tidak terpaksa),
dimana seorang muslim masih mempunyai alternatif lain dalam mencari rezeki. Namun jika
dalam keadaan terpaksa, maka pekerjaan itu boleh dilakukan dan dihukumi makruh dengan
syarat dia harus tetap berusaha untuk mencari pekerjaan lain yang halalagar terhindar dari
dosa.
Mengenai persoalan semacam ini Imam Malik mengatakan bahwa termasuk prinsip
kepentingan yang dibenarkan, bila pekerjaan haram berlaku di dunia ini dan seseorang tidak
memperoleh usaha yang halal sedangkan keadaan sangat mendesak untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, maka secara individu seseorang diperbolehkan melakukan pekerjaan
haram semacam itu bila tidak sanggup menggubah keadaan. Pekerjaan haram tersebut boleh
dilakukan asalkan dirinya merasa tidak senang terhadap pekerjaan itu dan melakukannya
sekedar memenuhi tuntutan kebutuhan pokok, yaitu apabila ia tidak melakukan hal yang
terpaksa ini akan mengakibatkannya berada dalam kesulitan dan penderitaan.
Akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan pokok ini tidak boleh sampai pada tingkat
kemewahan, sebab dalam taraf kemewahan tersebut berarti ia telah melestarikan kejahatan
dan bukan lagi dianggap sebagai solusi untuk mengatasi suatu keadaan terdesak yang
dibenarkan syari’at Islam.
Perlu diperhatikan bahwa masalah riba tidak hanya berkaitan dengan pegawai bank
atau penulisnya dan pencatat riba disebuah perusahaan, tetapi sudah menyusup kedalam
sistem ekonomi Negara dan semua kegiatan yang berhubungan dengan keuangan. Sehingga
semuanya itu merupakan bencana yang bersifat umum sebagaimana pernah diperingatkan
Rasulullah SAW:
Artinya : Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang pada waktu itu tidak
tersisa seorang pun melainkan akan makan riba. Barang siapa yang tidak
memakannya maka ia akan terkena debunya. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya dengan melarang seorang
muslim bekerja di bank atau perusahaan yang mempratekkan riba. Tetapi kerusakan sistem
ekonomi yang disebabkan oleh golongan kapitalis ini hanya dapat diubah oleh sikap seluruh
bangsa dan masyarakat Islam.
Perubahan itu tentu saja harus diusahakan secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga
tidak menimbulkan guncangan perekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada Negara
dan bangsa. Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan secara
bertahap dalam memecahkan setiap permasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh Islam
ketika mulai mengharamkan riba, khamr, dan lainnya. Dalam hal ini yang terpenting adalah
tekad dan kemauan bersama, apabila tekad itu bulat maka jalan pun akan terbuka lebar.
Setiap muslim mempunyai keperdulian akan hal ini hendaklah bekerja dengan hatinya,
lisannya, dan segenap kemampuannya melalui berbagai sarana yang tepat untuk
mengembangkan sistem perekonomian negerinya sehingga sesuai dengan ajaran Islam.
Seandainya semua muslim dilarang bekerja di bank, maka dunia perbankan dan
sejenisnya akan di kuasai oleh orang-orang non muslim pad akhirnya Negara Islam akan
dikuasai oleh mereka. Terlepas dari itu, perlu juga di ingat bahwa tidak semua pekerjaan
yang berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba. Banyak pekerjaan di bank
konvensional yang halal dan baik. Oleh karenanya tidak mengapa seorang muslim menerima
pekerjaan di bank konvensional hingga tiba suatu masa lembaga-lembaga keuangan di
negrinya berubah tatanan sesuai dengan yang diridhoi oleh agamanya dan hati nuraninya.
Selama menantikan terjadinya perubahan itu hendaklah ia tetap menekuni pekerjaannya dan
melaksanakan tugasnya dengan baik.
A. Hukum Gaji Bekerja di Bank Konvensional Menurut Abdul Aziz Bin Baz
Islam memerintahkan manusia untuk mencari karunia tuhan dengan melakukan kegiatan
ekonomi. Islam mewajibkan kepada setiap individu untuk melakukan pekerjaan apapun
bentuknya, asalkan pekerjaan itu baik dan bermanfaat. Kewajiban untuk bekerja ini tertuang
dalam firman Allah dan hadis Nabi.
هّٰللا
ِ َوقُ ِل ا ْع َملُوْ ا فَ َسيَ َرى ُ َع َملَ ُك ْم َو َرسُوْ لُهٗ َو ْال ُمْؤ ِمنُوْ ۗنَ َو َستُ َر ُّدوْ نَ اِ ٰلى ٰعلِ ِم ْال َغ ْي
َب َوال َّشهَا َد ِة فَيُنَبُِّئ ُك ْ–م بِ َما ُك ْنتُ ْم تَ ْع َملُوْ ۚن
Artinya : Dan katakanlah ‚bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-nya serta orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang
mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah
kamu kerjakan.
Sistem ekonomi Islam berdiri di atas dasar perjuangan memerangi riba. Islam
memandang riba sebagai salah-satu dosa besar yang melenyapkan keberkahan dari individu
maupun dari masyarakat. Kecuali itu juga mengundang bencana di dunia dan di akhirat. Hal
itu dinashkan oleh kitabullah al-Qur’an dan sunnah rasul (hadiss), dan mengenai itu seluruh
umat Islam sepakat bulat dalam firman Allah menyatakan Sehingga Rasulullah melaknat
penulis riba dan saksinya sebagaimana dilaknatnya orang yang memakan riba..
Terkait dengan hadiss tersebut diatas itulah yang dirasa amat meresahkan orang-orang
yang beriman yang bekerja di bank-bank atau perusahaan, yang tugas pekerjaanya sehari-hari
berkaitan dengan pencatatan, penulisan dan perhitungan riba. Namun masalah riba tidaklah
tergantung pada pegawai bank atau pada penulis dan pencatat riba di sebuah perusahaan dan
lembaga-lembaga keuangan, hingga semuanya itu merupakan bala (cobaan) yang bersifat
umum sebagaimana yang dahulu telah dicanangkan oleh Rasulullah saw. Artinya: Sungguh
akan datang pada manusia suatu masa yang pada waktu itu tidak tersisa seorang pun
melainkan akan makan riba. Barang siapa yang tidak memakannya maka ia akan terkena
debunya. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Keadaan seperti itu tidak akan berubah atau berkurang hanya karena seorang pegawai
bank atau perusahaan serupa menolak melakukan pekerjaan yang telah menjadi tugasnya.
Keadaan demikian hanya dapat berubah apabila rakyat sebagai pihak yang paling
menentukan tidak menghendaki tata perekonomian yang di cangkok dari kapitalisme liberal,
kemudian sedikit demi sedikit serta setapak demi setapak berusaha mengubahnya agar tidak
sampai terjadi guncangan ekonomi yang membahayakan kehidupan negara dan umat.
Dalam upaya menanggulangi persoalan yang gawat, agama Islam tidak menolak cara
setapak demi setapak. Proses pengharaman riba pada dasarnya adalah sama dengan proses
pengharaman khamr (minuman keras), yakni tahap demi tahap. Yang terpokok dan terpenting
adalah niat dan kehendak. Bila tekad telah bulat dan kuat akan dapat ditemukan jalan. Setiap
Muslim harus merasa terpanggil untuk bekerja dengan hati, ucapan dan kemampuannya
berusaha mengembangkan tata perekonomian negrinya melalui cara-cara yang sah, agar
selangkah demi selangkah menjadi sejalan dan selaras dengan ajaran-ajaran Islam.
Diketahui bahwasanya tidak semua pekerjaan bank itu mengandung riba, banyak bidang-
bidang pekerjaan di bank yang halal, baik tidak terdapat keharaman di dalamnya. Yusuf
Qardawi termasuk ulama yang mengharamkan bank namun dalam soal gaji pegawai bank ia
menyatakan bahwa apabila pegawai tersebut bekerja karena tidak ada pekerjaan di tempat
lain maka ia dalam kondisi darurat. Dalam Islam, kondisi darurat menghalalkan perkara yang
asalnya haram. Kebutuhan hidup termasuk kondisi darurat. Dalam konteks ini, maka
pekerjaannya di bank hukumnya boleh. Hal ini sesuai dengan fatwa Syekh Jad al-Haq, salah
satu Mufti Mesir, yang menyatakan bahwasanya memperoleh gaji/honorarium dari bank-bank
tersebut dapat dibenarkan, bahkan kendati bank-bank konvensiobnal itu melakukan transaksi
riba. Bekerja dan memperoleh gaji di sana pun masih dapat dibenarkan, selama bank tersebut
mempunyai aktivitas lain yang sifatnya halal.
Bunga menurut Maulana Muhammad Ali adalah tambahan pembayaran atas jumlah
pokok pinjaman. Sedangkan menurut Al-Jurjani, bunga adalah kelebihan/tambahan
pembayaran tanpa ada ganti rugi/ imbalan yang disaratkan agi salah seorang dari dua orang
yang berakad (bertransaksi).
Muhammad Hatta membedakan antara bunga dengan riba. Ia menyatakan bahwa riba
diberlakukan untuk kebutuhan konsumtif. Sedangkan bunga diberlakukan untuk kebutuhan
produktif. Demikian pula istilah usury dan interest, bahwa usury adalah bunga pinjaman yang
sangat tinggi, sehingga melampaui suku bunga yang diperbolehkan oleh hukum. Sedangkan
interest ialah bunga pinjaman yang relatif mudah (kecil). Namun dalam prakteknya, Maulana
Muhammad Ali menyatakan bahwa sukar untuk membedakan antara usury dan interest sebab
pada hakekatnya keduaduanya memberatkan bagi peminjam.
2.5.2 Bunga Menurut Hukum Islam
Penetapan ijma ulama tentang keharaman bunga bank bukan kesimpulan yang bersifat
mudah, tetapi setelah melakukan penelitian yang mendalam terhadap pendapat semua pakar
ekonomi Islam sejak tahun 1970-an hingga saat ini. Beberapa pendapat di antaranya:
a. Yusuf Qardawi
َاض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكان َ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَْأ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َج
ٍ ارةً ع َْن ت ََر
بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S An-Nisa 29).
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha
akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba.
–َ ِيَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو َذرُوا َما بَقِ َي ِمنَ ال ِّربَا ِإ ْن ُك ْنتُ ْم ُمْؤ ِمن
.ين
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Q.S Al-Baqarah:
278-279).
b. Masjfuk Zuhdi
Masjfuk Zuhdi mengemukakan beberapa ayat al-qur’anyang mengharamkan riba.
ٰۤ ُ هّٰللا ٰ اس فَاَل يَرْ بُوْ ا ِع ْن َد هّٰللا ِ ۚ َو َمٓا ٰاتَ ْيتُ ْم ِّم ْن
َول ِٕىكَ هُ ُم ْال ُمضْ ِعفُوْ ن زَكو ٍة تُ ِر ْي ُدوْ نَ َوجْ هَ ِ فَا ِ َو َمٓا ٰاتَ ْيتُ ْم ِّم ْن ِّربًا لِّيَرْ بُ َو ۠ا فِ ْٓي اَ ْم َو
ِ َّال الن
Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta
manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang
berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (Q.S Ar-
Rum: 39).
Masjfuk zuhdi menjelaskan bahwa ayat di atas membicarakan masalah riba secara
eksplisit sehingga belum kongkret melarang riba. Ia menyatakan ayat ini sebagai
conditioning, artinya mempersiapkan kondisi ummat agar siap mental untuk mentaati
larangan riba yang akan dikeluarkan. Artinya akan ada ayat yang diturunkan Allah mengenai
penghraman riba. Ayat itu adalah Surat Al-Imran.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S Ali
Imran: 130).
Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba
nasi'ah itu selamanya haram. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah
pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah
penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena
orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat
ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
Dan ayat berikutnya yang secara jelas mengharamkan riba terdapat dalam surat Al-
Baqarah ayat /2/278 – 279:
–َ ِيَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو َذرُوا َما بَقِ َي ِمنَ ال ِّربَا ِإ ْن ُك ْنتُ ْم ُمْؤ ِمن
.ين
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Q.S
Al-Baqarah: 278-279)
Menurut Masjfuk Zuhdi ayat ini dapat dipakai menjadi dalil yang mutlak yang dapat
dipakai oleh semua ulama yang mengharamkan bunga atau riba. Karena ayat ini menyatakan
sedikit atau banyak kadar bunga atau riba yang di minta, hukumnya tetap haram.
c. Wahbahal Zuhaily
Berikut ini adalah cuplikan dari keputusan-keputusan penting yang berkaitan dengan
pengharaman bunga bank yang dikeluarkan oleh beberapa majelis fatwa ormas Islam:
Beberapa isi Fatwa MUI No. 1 tahun 2004 adalah sebagai berikut:
1) Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada
jaman Rasulullah saw, yaitu Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang
ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba haram hukumnya.
2) Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di lakukan oleh Bank,
Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun
dilakukan oleh individu.
2) Bank dengan sistem bunga hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
3) Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau
sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara syubhat.
c) Pada munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung tahun 1992 terdapat tiga pendapat
tentang hukum bunga bank:
1) Pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak,
sehingga hukumnya adalah haram.
2) Pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya
adalah boleh.
3) Pendapat yang mengatakan bunga bank hukumya syubhat. Meski begitu, Munas
memandang perlu untuk mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai
dengan hukum Islam.
Sidang yang dilakukan di Karachi, Pakistan pada Desember 1970, telah menyepakati 2
(dua) hal utama, yaitu:
1) Praktik bank dengan sistem bunga tidak sesuai dengan syariah Islam.
Keputusan Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan
konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989, Mufti Negara
Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang
diharamkan secara syariah.
Namun sebagian ulama kontemporer lainnya, seperti Syaikh Ali Jum’Ah, Muhammad
Abduh, Muhammad Sayyid Thanthawi, Abdul Wahab Khalaf, dan Mahmud Syaltut,
menegaskan bahwa bunga bank hukumnya boleh dan tidak termasuk riba. Pendapat ini sesuai
dengan fatwa yang dikeluarkan Majma’ al-buhus al-Islamiyyah tanggal 23 Ramadhan 1423
H, bertepatan tanggal 28 November 2002 M.
Mereka berpegang teguh pada firman Allah Swt dalam surat an-Nisa ayat 29.
اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَْأ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َج
ٍ ارةً ع َْن ت ََر
َر ِح ْي ًما
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S an-Nisa: 29).
Pada ayat di atas, Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara yang batil,
seperti mencuri, menggasab, dan dengan cara riba. Sebaliknya, Allah menghalalkan hal itu
jika dilakukan dengan perniagaan yang berjalan dengan saling ridha. Karenanya, keridhaan
kedua belah pihak yang bertransaksi untuk menentukan besaran keuntungan di awal,
sebagaimana yang terjadi di bank, dibenarkan dalam Islam.
Di samping itu, mereka juga beralasan bahwa jika bunga bank itu haram maka tambahan
atas pokok pinjaman itu juga haram, sekalipun tambahan itu tidak disyaratkan ketika akad.
Akan tetapi, tambahan dimaksud hukumnya boleh, maka bunga bank juga boleh, karena tidak
ada beda antara bunga bank dan tambahan atas pokok pinjaman tersebut. Di dalam fatwa
majma al buhus al islamiyah disebutkan. Sesungguhnya menginvestasikan harta di bank-bank
yang menentukan keuntungan atau bunga di depan hukumnya halal menurut syariat, dan
tidak apa-apa.
2.5.3 Riba dalam Islam
A. Pengertian Riba
Riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan (Az Ziyadah), berkembang
(annuuwuw), meningkat (al irtifa‟) dan membesar (al’uluw). Menurut istilah riba berarti
pengambilan tambahan dari pokok harta secara bathil. Secara bathil maksudnya adalah
pengambilan tambahan dari modal pokok itu tanpa disertai imbalan pengganti atau
kompensasi yang dapat dibenarkan oleh hukum syariah. Para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikan riba. Perbedaan ini lebih di pengaruhi pada penafsiran atas pengalaman
masing-masing ulama mengenai riba didalam konteks kehidupannya.
Menurut terminologi, riba artinya kelebihan pembayaran tanpa ganti rugi atau
imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi, baik
tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, maupun berasal dari luar berupa imbalan. Ada
beberapa pengertian riba yang dikemukakan oleh para ulama.
Menurut Muhammad Ibnu Abdullah sebagaiman ayang dikutip oleh Tim Pengembang
Perbankan Syariah:
“Riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat al-
qur‟an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu ‘iwadi (pengganti)
yang dibenarkan syariah.”
Badr ad-Dien dalam kitabnya al-Mabsut sebagaimana yang dikutip Tim Pengembang
Perbankan Syariah menjelaskan:
Ibnu Katsir Rahimallahu, berkata sebagaimana yang dikutip Dr. Muhammad Arifin
Baderi:
Bila Allah telah menurunkan hujan ke bumi, maka bumi pun bergerak dengan
menumbuhkan tetumbuhan dan tanah sebelumnya mati (gersang) menjadi hidup, lalu
batangnya menjulang tinggi dari permukaan tanah. Dengan hujan Allah menumbuhkan
berbagai rupa dan macam buah-buahan, tanaman, tumbuh-tumbuhan dengan beraneka
ragam warna, rasa, aroma, bentuk dan kegunaannya.
Jadi, kesimpulan dari pendapat para ahli mengenai riba adalah tambahan yang tidak
dibenarkan atas modal yang dilakukan untuk mengambil keuntungan secara bathil tanpa
suatu usaha yang nyata.
Secara garis besar, riba diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu riba utang piutang
dan riba jual beli. Riba utang piutang dibagi menjadi riba qard dan riba jahiliyah. Sedangkan
riba jual beli dibagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
1) Riba qardh adalah riba yang terjadi ketika transaksi utang-piutang yang tidak memenuhi
kriteria untung muncul bersama resiko (alghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul
bersama biaya (al-kharaj bidh dhaman). Transaksi semacam ini berarti mengandung
pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya waktu.
2) Riba jahiliyah adalah kelebihan yang terjadi dikarenakan utang yang dibayar melebihi
pokok utangnya, karena debitur terlambat membayar sesuai dengan waktu yang telah
disepakati.
1) Riba fadhl adalah riba karena pertukaran barang sesama jenis, tetapi jumlahnya tidak
seimbang.
2) Riba nasi’ah adalah pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena
melibatkan jangka waktu.
a) Emas dan perak, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
b) Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, jagung serta bahan makanan tambahan
seperti lauk-pauk, sayur-sayuran dan buah-buahan.
Prinsip-prinsip untuk menentukan adanya riba didalam transaski kredit atau barter
yang diambil dari sabda Rasulullah saw.
a. Pertukaran barang yang sama jenis dan nilainya, tetapi berbeda jumlahnya, baik secara
kredit maupun tunai dan mengandung unsur riba.
b. Pertukaran barang yang sama jenis dan jumlahnya, tetapi berbeda nilainya atau harganya
dan dilakukan secara kredit serta mengandung unsur riba. Pertukaran semacam ini akan
terbebas dari unsur riba apabila dijalankan dari tangan ke tangan secara tunai.
c. Pertukaran barang yang berbeda jenis, nilai dan kualitasnya, baik secara kredit dari tangan
ke tangan, terbebas dari riba, sehingga diperbolehkan.
d. Pertukaran barang yang sama nilainya dan harganya tetapi berbeda jenis dan kualitasnya,
serta dilakukan secara kredit dan mengandung unsur riba. Tetapi, apabila transaksi ini
dilakukan dari tangan ke tangan secara tunai maka terbebas dari riba.
Metode bijak yang digunakan oleh syariat Islam dalam mengharamkan riba dapat
dilihat dalam empat ayat Al-qur’anberikut ini:
ٰۤ ُ هّٰللا ٰ اس فَاَل يَرْ بُوْ ا ِع ْن َد هّٰللا ِ ۚ َو َمٓا ٰاتَ ْيتُ ْم ِّم ْن
ول ِٕىكَ هُ ُم زَكو ٍة تُ ِر ْي ُدوْ نَ َوجْ هَ ِ فَا ِ َو َمٓا ٰاتَ ْيتُ ْم ِّم ْن ِّربًا لِّيَرْ بُ َو ۠ا فِ ْٓي اَ ْم َو
ِ َّال الن
َْال ُمضْ ِعفُوْ ن
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah,
maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-
orang yang melipatgandakan (pahalanya). QS. Ar-Rum Ayat 39
Maksudnya, transaksi yang dilakukan demi untuk memperoleh harta dengan jalan riba
tidak akan berkembang dan bertambah di sisi Allah Swt, tetapi harta itu malah justru
berkembang dan bertambah di sisi Allah Swt. dengan sedekahkan yang kamu berikan. Ayat
ini, sekalipun tidak menjelaskan secara jelas tentang sanksi tertentu bagi pelaku riba, tetapi ia
menyinggung bahwa transaksi riba tidak memperoleh pahala di sisi Allah, sebab pahala yang
dilipat gandakan hanyalah yang diberikan kepada orang yang mau menyedekahkan hartanya.
Kedua dan ketiga, terdapat dua ayat dalam surah An-Nisa (surah Madaniyah) yang
nadanya lebih keras dalam mengutuk riba daripada riba yang disinggung dalam surah
Makkiyah, yaitu firman Allah Swt.:
ص ِّد ِه ْم ع َْن َسبِي ِل هَّللا ِ َكثِيرًا ْ َّت ُأ ِحل
َ ِت لَهُ ْم َوب ٍ فَبِظُ ْل ٍم ِمنَ الَّ ِذينَ هَادُوا َح َّر ْمنَا َعلَ ْي ِه ْم طَيِّبَا
اس بِ ْالبَا ِط ِل َۗواَ ْعتَ ْدنَا لِ ْل ٰكفِ ِر ْينَ ِم ْنهُ ْم َع َذابًا اَلِ ْي ًما
ِ ََّّواَ ْخ ِذ ِه ُم الر ِّٰبوا َوقَ ْد نُهُوْ ا َع ْنهُ َواَ ْكلِ ِه ْم اَ ْم َوا َل الن
Dalam dua ayat ini dijelaskan sebagian sanksi pedih yang Allah pernah timpakan
kepada kaum Yahudi disebabkan kezaliman mereka, dan juga karena mereka melakukan
transaksi riba, padahal Allah telah melarang mereka. Jadi, tidak diragukan lagi, penjelasan
dua ayat tersebut mengandung nasihat dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Dengan
kata lain, hendaknya mereka itu meninggalkan riba sehingga mereka tidak lagi terjerumus
pada siksa yang pernah Allah timpakan kepada kaum Yahudi karena praktik riba yang
mereka lakukan.
Keempat, kemudian dalam surah Ali Imran datang peringatan keras agar menghindari
riba, yaitu pada dua surah sebelumnya. Hal itu tampak ketika Allah Swt. memanggil orang-
orang yang beriman dalam firman-Nya,
Maksudnya, wahai orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah, kalian tidak
boleh bertransaksi ribawi yang sangat keji dengan mengambil piutangmu dari secara berlipat
ganda.
Imam Fakhr Ar-Razi berkata ketika menafsirkan ayat ini, "Ada seorang laki-laki di
zaman Jahiliyah, apabila ia memberi utang kepada orang lain untuk waktu tertentu, misalnya
100 dirham. Lalu. apabila waktu bayar telah tiba, sementara orang yang punya utang tadi
tidak mampu membayarnya karena tidak punya uang, maka pemberi utang berkata
kepadanya, “Aku akan lipatkan utangmu, kemudian aku perpanjang tangguhannya”. Boleh
jadi kelipatannya itu sampai mencapai 200 dirham. Kemudian, apabila tiba saat bayar (jatuh
tempo) di periode kedua, sementara pengutang tak juga bisa membayar utangnya, maka
pemberi utang melipatgandakan lagi, demikian seterusnya. Jadi, dengan uang 100 dirhamnya
itu ia bisa mengambil kelipatan berlipat-lipat. Inilah yang dimaksud dengan "adhafan
mudhaafah" (yang berlipat-lipat)".
Ada pula ayat serupa dengan itu, yaitu firman Allah Swt yaitu:
ٰ ُ ت َعلَ ْي ُك ْم اُ َّم ٰهتُ ُك ْم َوبَ ٰنتُ ُك ْم َواَ َخ ٰوتُ ُك ْم َو َع ٰ ّمتُ ُك ْم َو ٰخ ٰلتُ ُك ْم َوبَ ٰن
َض ْعنَ ُك ْم َواَ َخ ٰوتُ ُك ْم ِّمنَ ْت َواُ َّم ٰهتُ ُك ُم الّتِ ْٓي اَر ُ خ َوبَ ٰن
ِ ت ااْل ُ ْخ ِ َ ت ااْل ْ حُرِّ َم
ٰ ٰ
ۖ َاح َعلَ ْي ُك ْمَ ت نِ َس ۤا ِٕى ُك ْم َو َربَ ۤا ِٕىبُ ُك ُم الّتِ ْي فِ ْي ُحجُوْ ِر ُك ْم ِّم ْن نِّ َس ۤا ِٕى ُك ُم الّتِ ْي َد َخ ْلتُ ْم بِ ِه ۖ َّن فَا ِ ْن لَّ ْم تَ ُكوْ نُوْ ا َدخَ ْلتُ ْم بِ ِه َّن فَاَل ُجن ُ ضا َع ِة َواُ َّم ٰه َ ال َّر
هّٰللا
ِ َو َحاَل ۤ ِٕى ُل اَ ْبن َۤا ِٕى ُك ُم الَّ ِذ ْينَ ِم ْن اَصْ اَل بِ ُك ۙ ْم َواَ ْن تَجْ َمعُوْ ا بَ ْينَ ااْل ُ ْختَ ْي ِن اِاَّل َما قَ ْد َسلَفَ ۗ اِ َّن َ َكانَ َغفُوْ رًا ر
َّح ْي ًما ۔
Kata "raba'ib', seperti yang tercantum dalam ayat, adalah jamak dari "rabibah' yang
berarti anak perempuan istri dari orang lain (anak tiri). Maksudnya, Allah Swt.
mengharamkan kepada kalian menikahi anak-anak perempuan istri-istri kamu dari orang lain,
baik berada dalam satu rumah dengan kalian atau jauh dari kalian.
Taqyid dalam firman Allah Swt “Anak perempuan istrimu yang ada dalam satu
rumah" bukan berarti boleh menikahi anak perempuan istri kamu yang jauh dari rumah
kamu, sebab maksud dari ayat itu adalah hanya untuk menjelaskan kondisi umum yang
terjadi pada waktu itu. Pasalnya, secara umum, anak perempuan itu hidup bersama ibunya di
rumah seorang suami. Selain itu, ayat tersebut juga dimaksudkan untuk mencela orang yang
mengawini anak tiri (anak perempuan istri), terutama apabila anak perempuan istri itu hidup
satu atap dengannya dan berada dalam pemeliharaannya. Mestinya, anak perempuan tiri
sudah dianggap seperti anak kandung sendiri.
هّٰللا
ْ ب ِم َّما َملَ َك
ت اَ ْي َمانُ ُك ْم فَ َكاتِبُوْ هُ ْم اِ ْن َعلِ ْمتُ ْم فِ ْي ِه ْم َ ف الَّ ِذ ْينَ اَل يَ ِج ُدوْ نَ نِ َكاحًا َح ٰتّى يُ ْغنِيَهُ ُم ُ ِم ْن فَضْ لِ ٖه ۗ َوالَّ ِذ ْينَ يَ ْبتَ ُغوْ نَ ْال ِك ٰت ِ َِو ْليَ ْستَ ْعف
َ ي ٰا ٰتى ُك ْم ۗ َواَل تُ ْك ِرهُوْ ا فَتَ ٰيتِ ُك ْم َعلَى ْالبِغ َۤا ِء اِ ْن اَ َر ْدنَ تَ َحصُّ نًا لِّتَ ْبتَ ُغوْ ا ع ََر
ض ْال َح ٰيو ِة ال ُّد ْنيَا َۗو َم ْن ْٓ خَ ْيرًا و َّٰاتُوْ هُ ْم ِّم ْن َّما ِل هّٰللا ِ الَّ ِذ
هّٰللا
ِ يُّ ْك ِر ْهه َُّّن فَا ِ َّن َ ِم ۢ ْن بَ ْع ِد ِا ْك َرا ِه ِه َّن َغفُوْ ٌر ر
َّح ْي ٌم
Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan jika
hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu
buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan
berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.
Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran,
sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari
keuntungan kehidupan duniawi. Barangsiapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa. (QS. An-
Nur Ayat 33)
Firman Allah, “Sedang mereka sendiri menginginkan kesucian”, bukanlah berarti jika
budak-budak wanitamu itu tidak menginginkan kesucian mereka boleh dipaksa untuk
melakukan hal itu, sebab pemaksaan itu tidak menggambarkan kerelaan mereka untuk
dizinahi. Maksud sebenarnya dari ayat itu adalah ayat tersebut hendak menjelaskan realita
yang terjadi waktu itu yang menyebabkan ayat ini turun, yaitu suatu kondisi pemaksaan
budak-budak perempuan dicabuli, padahal budak itu tidak menginginkannya.
Setelah ayat di atas turun enam ayat (berturut-turut), yang disebutkan dalam akhir-akhir
ialah surah Al-Baqarah. Ayat ini termasuk akhir ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada
Rasulullah saw. Dengan demikian, masalah transaksi riba menjadi keputusan final yang
diharamkan secara qath’i sampai Hari Kiamat. Sedangkan, para pecandu riba diserupakan
dengan penyerupaan yang sangat mengerikan. Allah dan Rasul-Nya juga menyerukan perang
terhadap setiap pemakan riba.
َ ِاَلَّ ِذ ْينَ يَْأ ُكلُوْ نَ ال ِّر ٰبوا اَل يَقُوْ ُموْ نَ اِاَّل َك َما يَقُوْ ُم الَّ ِذيْ يَتَ َخبَّطُهُ ال َّشي ْٰطنُ ِمنَ ْال َمسِّ ۗ ٰذل
ٰ ك بِاَنَّهُ ْم قَالُ ۤوْ ا اِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل
ۘ الرِّبوا
ُولِٓئكَ اَصْ ٰحب
ٰ ُ َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّر ٰبوا ۗ فَ َم ْن َجٓا َء ٗه َموْ ِعظَةٌ ِّم ْن َّرب ِّٖه فَا ْنتَ ٰهى فَلَهٗ َما َسلَفَ ۗ َواَ ْمر ُٗۤه اِلَى هّٰللا ِ ۗ َو َم ْن عَا َد فَا
"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata
bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia
berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 275)
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 276)
ٌ ْت َواَقَا ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰاتَ ُوا ال َّز ٰكوةَ لَهُ ْم اَجْ ُرهُ ْم ِع ْن َد َربِّ ِه ْم ۚ َواَل خَ و
َف َعلَ ْي ِه ْم َواَل هُ ْم يَحْ زَ نُوْ ن ّ ٰ اِ َّن الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َو َع ِملُوا ال
ِ صلِ ٰح
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang beriman."(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 278)
"Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-
Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak
berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan)." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat
279)
"Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai
dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 280)
"Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah.
Kemudiansetiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah
dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan)." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 281)
Dari penjelasan beberapa ayat ini bisa dilihat bahwa orang yang bertransaksi riba, baik
mengambil atau memberi, maka mereka tidak akan bisa berdiri menemui Allah Swt. pada
Hari Kiamat, kecuali seperti berdirinya orang mabuk dan gila yang kemasukan setan. Lagi
pula, ayat ini juga menolak disamakannya riba dengan jual-beli. Ayat ini juga mengingatkan
pelaku riba yang ingin bertaubat, dan sebaliknya mengancam orang yang kembali melakukan
riba dengan secberat-beratnya sanksi.
Allah Swt juga menjelaskan, riba dapat menghapus dan memusnahkan harta, sebaliknya
sedekah justru mengembangkan dan menambah harta. Allah Swt juga memberí beríta
gembira besar-besarnya kepada orang-orang yang beriman dan jujur dengan gembira, dan
menyuruh mereka agar tidak mengambil darí orang yang diutangi, kecuali pokok hartanya.
Selain itu, ayat tersebut juga mengumumkan perang terhadap setíap pelaku riba, padahal
orang-orang yang diperangi Allah dan Rasul-Nya sama sekali tidak akan pernah
mendapatkan keberuntungan.
Ayat ini diakhiri dengan seruan terhadap orang yang memberi utang, hendaknya ia bisa
bersabar terhadap orang-orang yang berhutang, bahkan memberikan anjuran bisa
menyedekahkan utangnya kepada orang yang kesukaran. Demikianlah beberapa ayat Al-
Qur’an telah mengharamkan transaksi riba dengan pengharaman secara qath'i. Dan dari sini
pula, kita bisa melihat bagaimana metode Al-Qur’an yang begitu bijak dalam proses
pengharaman sikap tercela itu.
Rasulullah saw juga menjelaskan bahwa laknat Allah Swt meliputi semua orang yang ikut
terlibat dalam proses riba. Dalam dua kitab shahih disebutkan dari Jabir bin Abdullah ra.,
bahwa Rasulullah saw bersabda, "Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan
riba, dan orang yang menjadi saksi dan yang menulisnya"
Dalam Sunnah juga dijelaskan bentuk lain dari riba, yaitu riba fadhl (riba lebihan),
pertukaran dua barang yang sama dengan syarat harus ada lebihan pada salah satu pihak yang
bertukar barang. Maksud lebihan, dalam kaitan ini, atau penambahan utang dalam riba
nasi’ah (riba penangguhan), adalah sebagai imbalan dari penangguhan utang yang sudah tiba
saat pelunasannya agar temponya ditunda ke waktu mendatang. Adapun lebihan dalam riba
fadhl adalah disyaratkan terlebih dahulu bagi salah satu pihak yang bertransaksi dalam akad
pertukaran tanpa ada imbalan, seperti seseorang memberi pinjaman 100 ribu kepada orang
lain dengan syarat dia harus mengembalikan setelah masa tertentu 120 ribu, maka bentuk riba
seperti ini di samping mengandung riba fadhl juga mengandung riba nasi’ah.
Di antara hadiss yang berkenaan dengan pengharaman riba fadhl apa yang disebutkan
dalam hadiss shahih dari jalur Ubadah bin Shamit ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Emas
(harus dibayar) dengan emas, perak dengan perak, biji gandum, kurma dengan kurma,
garam dengan garam..., maka apabila jenis barang ini berbeda, maka berjual belilah seperti
yang kalian mau apabila hal ittu dilakukan secara kontan"
Allah mengharamkan riba sebab riba dapat menghancurkan semangat kerja sama sesama
manusia. Sclain itu, riba akan melahirkan sifat hasud permusuhan di antara sesama yang
disebabkan oleh monopoli yang sangat kejam dari orang- orang yang hatinya keras dan mati
terhadap orang-orang yang sangat membutuhkan. Lagi pula, transaksi riba akan
mengakibatkan adanya segolongan orang-orang tamak yang mempunyai banyak harta tanpa
harus bekerja keras, bahkan transaksi riba pada zaman sekarang ini mengakibatkan
penjajahan negara-negra kaya terhadap negara-negara miskin.
Imam Fakhr Ar-Razi berkata dalam Tafsir Al-Kabir, (jil. I hal. 352) sebagai berikut,
"Mereka menyebutkan beberapa pandangan mengapa riba diharamkan:
Pertama, riba menuntut pengambilan harta manusía tanpa ada imbalan, sementara harta
manusia itu mempunyai kehormatan sepertí kehormatan darah.
Kedua, riba juga menghalangi manusia bekerja mencari penghasilan, sebab para
konglomerat itu, andaikata mereka dapat memperoleh harta lebih (banyak lagi) tanpa melalui
transaksi riba, niscaya ia akan meninggalkan usaha resmi yang diperbolehkan, seperti
perniagaan dan perindustrian. Sebagaimana diketahui bahwa kemaslahatan manusia tidak
akan tegak, melainkan dengan perniagaan, perindustrian, dan pembangunan.
Ketiga, riba memutuskan perbuatan baik, tenggang rasa, dan bersikap baik sesama
manusia. Sebab, bahaya riba dapat dipastikan akan sangat buruk, baik ditinjau dari segi
sosial, ekonomi maupun moral.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai penutup, kami menarik kesimpulan:
3.2 Saran
Adapun saran dari penulisan skripsi ini adalah:
2. Kepada para praktisi pendidikan, da’i, ulama, dan praktisi perbankan syariah agar
lebih peka terhadap permasalahan riba dan bunga bank yang terjadi disekitar.
Diharapkan akan terbentuk pola pikir baik di masyarakat awam dan para mahasiswa
mengenai mana yang boleh (mubah) dan mana yang tidak diperbolehkan (haram).
3. Riba dan bunga tidak hanya terdapat pada bank konvensional saja, melainkan juga
terdapat pada usaha mikro, gadai, dan lain-lain. Untuk agar masyarakat harus cerdas
dalam bertransaksi agar terhindar dari hal-hal yang bersifat syubhat.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Wahyudi, Muchamad, 2014, Pemikiran Yusuf Qardawi dan ‘Abdul ‘Azi Bin Baz
Tentang Bank Konvensional (Studi Komparatif Tentang Sistem, Hukum Bekerja, dan
Gaji), Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.
Fatma Hasan, Nurul, M. Mujib, Utsmani, Rekonstruksi Obligasi: Investasi Dalam Perspektif
Syariah, Mojokerto: Sekolah Tinggi Agama Islam NU Mojokerto.
Kesbangpol Riau, 2016, Hukum Menjadi Pegawai Bank Dalam Pandangan Islam,
Kesbangpol Riau, dilihat 09 Desember 2021,
<https://kesbangpol.riau.go.id/media.php?p=detailartikel&id=290.
Maulan, Rikza, Akhlak & Etika Bekerja dalam Islam (Etika Bisnis Islami), Jakarta: Takaful
Umum General Insurance.
Muhamad, Afrizal, 2019, Tinjauan Hukum Islam tentang Upah Karyawan Bank
Konvensional, Manado: Institut Agama Islam Negeri (Iain).
Mustofa, 2015, Tinjauan Hukum Islam terhadap Deposito Perbankan, Tulungagung: STAI
Diponegoro.
Nur’aini Ihsan, Dwi, Perbankan Umum dan Syariah, Jakarta: Universitas Islam Syarif
Hidayatullah.
Nurbaits, Ammi, Hukum Menabung di Bank dengan Aneka Niat, Konsultasi Syariah, dilihat 09
Desember 2021, <https://konsultasisyariah.com/10579-hukum-menabung-di-
bank.html>
Nurhidayat, Ahmad, 2019, Perbandingan Konsep Riba dan Bunga Bank Menurut Ibnu
Qayyim Al Jauziyyah dan Fazlur Rahman, Bengkulu: Institut Agama Islam Negeri
(Iain) Bengkulu.
Nurul, Hanifah, 2020, Bank Umum – Tugas dan Contoh [Plus Bedanya dengan BPR],
Lifepal, dilihat 10 Desember 2021, <https://lifepal.co.id/media/bank-umum/>
Otoritas Jasa Keuangan, Bank Umum, Otoritas Jasa Keuangan, dilihat 10 Desember 2021,
<https://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/pages/Bank-Umum.aspx>
Tim Dosen, 2020, Pasar Lembaga Keuangan, Jakarta: Universitas Kristen Indonesia.
Yai Ardiansyah, Said, Hukum Mendepositokan Uang di Bank, Pengusaha Muslim, dilihat 11
Desember 2021, <https://pengusahamuslim.com/3737-hukum-mendepositokan-uang-
di-bank-1905.html
Yuli, Dasar Hukum Bank Konvensional di Indonesia, Dosen Ekonomi, dilihat 09 Desember
2021, <https://dosenekonomi.com/bisnis/perbankan/dasar-hukum-bank-
konvensional>