You are on page 1of 13

Perdarahan Intracerebral Spontan

Perdarahan intracerebral nontraumatik adalah perdarahan ke dalam parenkim otak yang


mungkin dapat meluas ke dalam ventrikel dan pada kasus yang jarang dapat juga pada ruang
subarachnoid. Setiap tahun kira-kira 35.000 hingga 52.400 orang di United States mengalami
perdarahan intracerebral. Tingkat ini diperkirakan meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun
kedepan dikarenakan bertambahnya usia penduduk dan perubahan dalam demografi ras.
Perdarahan intracerebral merupakan 10 sampai 15 % dari seluruh kasus stroke dan dihubungkan
dengan meningkatnya tingkat kematian, dengan hanya 38 % pasien yg dapat bertahan dalam
satu tahun pertama. Tergantung pada penyebab pendarahan, perdarahan intracerebral
diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder. Perdarahan intracerebral primer terdiri dari 78
sampai 88 % kasus, berasal dari ruptur spontan dari pembuluh darah kecil yang rusak akibat
hipertensi kronik dan angiopathy amiloid. Perdarahan intracerebral sekunder terjadi pada
sebagian kecil pasien, dan dihubungkan dengan pembuluh darah yang abnormal (seperti
malformasi arterivena dan aneurisma), tumor, atau gangguan koagulasi. Meskipun perdarahan
intracerebral hipertensi merupakan bentuk yang paling umum dari perdarahan intracerebral,
kelainan vascular harus selalu dipertimbangkan dalam setiap keadaan karena beresiko tinggi
perdarahan berulang.

Epidemiologi

Insiden

Di seluruh dunia insiden perdarahan intracerebral berkisar 10 sampai 20 kasus per


100.000 penduduk dan meningkat seiring dengan usia. Perdarahan intracerebral lebih sering
terjadi pada pria daripada wanita, terutama yang lebih tua dari 55 tahun, dan dalam populasi
tertentu, termasuk orang kulit hitam dan Jepang. Selama periode 20 tahun studi the National
Health and Nutrition Examination Survey Epidemiologic menunjukkan insiden perdarahan
intracerebral antara orang kulit hitam adalah 50 per 100.000, dua kali insiden orang kulit putih.
Perbedaan dalam prevalensi hipertensi dan tingkat pendidikan berhubungan dengan perbedaan
resiko. Peningkatan resiko terkait dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah mungkin terkait
dengan kurangnya kesadaran akan pencegahan primer dan akses ke perawatan kesehatan. Insiden
perdarahan intracerebral di Jepang yaitu 55 per 100.000 jumlah ini sama dengan orang kulit
hitam. Tingginya prevalensi hipertensi dan pengguna alcohol pada populasi Jepang dikaitkan
dengan insiden. Rendahnya observasi kadar kolesterol serum pada populasi ini juga dapat
meningkatkan resiko perdarahan intracerebral.

Faktor resiko

Hipertensi merupakan faktor resiko terpenting untuk perdarahan intracerebral spontan.


Hipertensi meningkatkan risiko perdarahan intracerebral, terutama pada orang yang tidak
mendapatkan obat-obatan antihipertensi yang sesuai, usia 55 tahun atau lebih muda, atau
perokok. Peningkatan kontrol terhadap hipertensi mengurangi insiden dari perdarahan
intracerebral. Dalam deteksi hipertensi dan tindak lanjut program, orang-orang dengan hipertensi
(didefinisikan sebagai tekanan darah diastolik minimal 95 mm Hg) berusia 30 sampai 69 tahun
dan yang menerima terapi antihipertensi standar mempunyai risiko stroke (termasuk pendarahan
intracerebral) dari 1,9%, dibandingkan dengan risiko 2,9 % orang pada mereka yang tidak
mendapatkan terapi. Pendekatan ini dikaitkan dengan pengurangan risiko absolut dari 46 % pada
orang berusia 65 tahun atau lebih. Hipertensi sistolik pada Lansia, merupakan penyebab dari
semua stroke, termasuk perdarahan intracerebral pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun yang
memiliki tekanan darah sistolik minimal 160 mm Hg. 5,2% dengan terapi antihipertensi dan
8,2% diobati dengan plasebo.

Konsumsi alcohol yang berlebihan juga meningkatkan resiko perdarahan intracerebral


dengan mempengaruhi koagulasi dan secara langsung mempengaruhi integritas pembuluh darah
otak. Faktor resiko lain yaitu kadar kolesterol serum kurang dari 160 mg perdesiliter (4,1 mmol
per liter) khususnya pada pasien dengan hipertensi dan faktor genetic seperti mutasi pada gen
encoding subunit factor XIII (yang terlibat dalam pembentukan fibrin cross-linked). Angiopathy
Cerebral amyloid, yang dicirikan oleh pengendapan protein b-amyloid di pembuluh darah
korteks serebral dan leptomeninges, merupakan faktor risiko untuk perdarahan intracerebral,
terutama pada orang lanjut usia (Gbr. 1). O'Donnell et al. melaporkan bahwa kehadiran e 4 alel e
2 dan E gen apolipoprotein dikaitkan dengan tiga kali lipat risiko perdarahan berulang di antara
pasien yang selamat dari perdarahan intracerebral lobar terkait dengan angiopathy amiloid. Alel
ini berhubungan dengan peningkatan deposit dari protein β amiloid dan perubahan degeneratif
(seperti nekrosis fibrinoid) di dinding pembuluh darah. Ekspresi kedua alel tampaknya
meningkatkan resiko perdarahan intracerebral dengan meningkatkan efek deposit amyloid
vasculopathic di pembuluh otak.

Patofisiologi

Proses patologik

Perdarahan intracerebral biasanya terjadi pada lobus serebral, ganglia basal, thalamus,
batang otak (terutama pons) dan cerebellum (Gbr. 2). Perluasan kedalam vetrikel dihubungkan
dengan kedalaman dan luas hematom. Edema parenkim sering mengalami perubahan warna
disebabkan oleh pemecahan hemoglobin yang terlihat dekat dengan bekuan darah. Pada
pemeriksaan histologi tampak adanya edema, kerusakan saraf, makrofag dan neutrofil di wilayah
sekitar hematoma.
Asal hematom

Perdarahan intraparenkim berasal dari penetrasi akibat rupturnya arteri basiler,atau arteri
cerebri anterior, media atau posterior. Perubahan degeneratif pada pembuluh darah disebabkan
oleh hipertensi kronis yang mengurangi compliance dan meningkatkan kemungkinan ruptur
spontan.
Perkembangan hematom

Awalnya, perdarahan intracerebral dianggap sebagai peristiwa monophasic yang berhenti


dengan cepat sebagai hasil dari pembekuan dan tamponade oleh daerah sekitarnya. Kesan ini
tidak benar, seperti yang ditunjukkan oleh computed tomography (CT) scan menunjukkan bahwa
hematoma berkembang dari waktu ke waktu (Gbr. 3). Dalam sebuah penelitian terhadap 103
pasien, Brott et al. Menemukan bahwa hematoma diperluas dalam 26 % pasien dalam waktu 1
jam setelah awal CT scan dan di 12% dalam waktu 20 jam. Kazui et al melaporkan terdapat
perluasan hematoma pada 41 pasien dari 204 pasien (20%) dengan perdarahan intracerebral,
terjadi pada 36 % pasien dalam waktu tiga jam setelah onset perdarahan dan 11% dari mereka
yang memiliki onset lebih dari tiga jam. Perluasan ini disebabkan pendarahan lanjutan dari
sumber utama dan gangguan mekanik pembuluh darah sekitarnya. Hipertensi akut, defisit
koagulasi lokal, atau keduanya dapat berhubungan dengan perluasan hematoma.
Kerusakan neuron sekunder setelah perdarahan intracerebral

Adanya hematom menyebabkan terjadinya edema dan kerusakan neuron di sekitar


parenkim. Cairan mulai mengumpul dengan cepat di daerah sekitar hematom, dan edema
biasanya berlangsung selama lima hari, meskipun telah diamati selama dua minggu setelah
stroke. Edema awal disekitar hematom merupakan hasil dari pelepasan dan pengumpulan
osmotic aktif protein serum dari bekuan darah. Selanjutnya akan terbentuk edema vasogenik dan
edema sitotoksik karena kerusakan sawar darah otak, kegagalan pompa natrium dan kematian
neuron. Penghambat rusaknya sawar darah otak dan perluasan edema cerebri setelah perdarahan
intracerebral mungkin dikarenakan adanya mediator sekunder dari cedera neurologis dan edema.
Diperkirakan bahwa iskemia otak terjadi sebagai akibat dari kompresi mekanis di daerah sekitar
hematoma, namun studi terbaru pada hewan dan manusia belum mengkonfirmasi hal ini. Darah
dan plasma memediasi proses sekunder yang dimulai setelah perdarahan intracerebral. kematian
neuronal di wilayah sekitar hematoma terutama nekrotik, dengan bukti baru-baru ini,
menunjukkan adanya kematian sel (apoptosis) yang berhubungan dengan ekspresi factor nuklear
β dalam inti sel-sel saraf.

Gejala klinis

Status neurologis

Pasien dengan hematoma luas biasanya memiliki penurunan kesadaran dikarenakan


tekanan intracranial yang meningkat dan kompresi langsung atau distorsi dari thalamus dan
batang otak. Penurunan pusat reseptor benzodiazepine pada neuron kortikal juga dapat
mempengaruhi kesadaran. Pasien dengan pendarahan intracerebral supratentorial yang
melibatkan putamen, dan caudatus memiliki defisit motorik dan sensorik kontralateral dengan
tingkat keparahan yang berbeda karena keterlibatan kapsul interna. Kelainan yang menunjukkan
disfungsi korteks yang lebih tinggi, termasuk aphasia, penyempitan lapangan pandang, dan
hemianopia, dapat terjadi sebagai akibat dari terganggunya serat-serat penghubung di subkorteks,
dan adanya supresi pada korteks yang dikenal sebagai diaschisis.

Pada pasien dengan perdarahan intracerebral infratentorial, terdapat tanda-tanda disfungsi


batang otak termasuk gangguan penglihatan, gangguan nervus cranialis, dan defisit motorik
kontralateral. Ataksia, nistagmus, dan dismetria, tampak jelas jika perdarahan intracerebral
mengenai cerebellum. Gejala umum spesifik seperti sakit kepala, muntah biasanya dikarenakan
tekanan intracranial yang meningkat dan meningismus disebabkan darah yang berada di
ventrikel.

Kerusakan sekunder

Dalam seperempat pasien dengan perdarahan intracerebral yang awalnya sadar,


penurunan tingkat kesadaran terjadi dalam 24 jam pertama setelah onset perdarahan. Adanya
hematom yang besar dan darah di ventrikel meningkatkan resiko kerusakan lebih lanjut dan
kematian. Perluasan hematoma adalah penyebab paling umum dari gangguan neurologis yang
mendasar dalam tiga jam pertama setelah onset perdarahan. Memburuknya edema serebral juga
berpengaruh terhadap kerusakan neurologis yang terjadi dalam 24 hingga 48 jam setelah onset
perdarahan. Deteorisasi juga dihubungkan dengan perkembangan dari edema selama minggu
kedua dan ketiga setelah onset.

Outcome (hasil)

Tingkat mortalitas 6 bulan setelah perdarahan intracerebral spontan adalah sekitar 23%-
58%. Skor GCS (Glasgow Coma Scale) yang rendah, volume hematom yang besar, dan adanya
darah di ventrikel pada awal CT-Scan merupakan faktor yang konsisten diidentifikasi sebagai
prediksi dari angka kematian yang tinggi. Broderick et al. menemukan bahwa tingkat kematian
dalam satu bulan yang terbaik diprediksi dengan menentukan nilai awal pada Glasgow Coma
Scale dan volume awal hematoma. Dalam studi mereka, pasien yang pada awalnya memiliki
skor Glasgow Coma Scale kurang dari 9 dan volume hematoma lebih dari 60 ml memiliki angka
kematian sebesar 90 % dalam satu bulan, sedangkan pasien dengan skor 9 atau lebih dan volume
hematom kurang dari 30 ml memiliki angka kematian sebesar 17%.

Diagnosis

Meskipun onset yang cepat dan tingkat gangguan penurunan kesadaran mengarah pada
diagnosis perdarahan intracerebral (Gbr. 4), namun untuk membedakan antara infark serebral
dan perdarahan intracerebral membutuhkan pencitraan otak. Pada awal CT-Scan lokasi dan
ukuran dari hematom, darah pada ventrikel dan terjadinya hidrosefalus harus diperhatikan.
Beberapa pasien harus menjalani angiografi konvensional untuk mencari penyebab sekunder
perdarahan intracerebral, seperti aneurisma, malformasi arteriovena dan vaskulitis. Zhu et al.
melaporkan terdapat kelainan pada angiografi pada 49 % pasien dengan perdarahan lobar dan
65% pada pasien dengan perdarahan intraventricular terisolasi. Para penulis ini juga melaporkan
bahwa 48 % pasien dengan tekanan darah normal dan dibawah usia 45 tahun memiliki kelainan
pada angiografi, sedangkan pasien hipertensi yang lebih tua dari 45 tahun tidak memiliki
kelainan vascular yang mendasari.

Atas dasar bukti ini, pasien dengan perdarahan lobar atau perdarahan intraventricular
primer harus menjalani angiografi tanpa memandang usia atau ada atau tidak adanya riwayat
hipertensi. Pasien dengan perdarahan cerebral, putamen atau thalamus harus menjalani
angiografi jika merka memiliki tekanan darah normal dan usia 45 tahun atau dibawah 45 tahun.
AHA merekomendasikan angiografi untuk semua pasien perdarahan tanpa sebab yang jelas yang
mempunyai indikasi untuk operasi, terutama pasien muda tanpa hipertensi yang kondisi klinisnya
stabil. Waktu untuk melakukan angiografi konvensional tergantung pada kondisi klinis pasien
dan waktu pembedahan. Magnetic Resonance Imaging dengan gadolinium sebagai media kontras
dan angiografi resonansi magnetik juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab
sekunder dari perdarahan intracerebral, walaupun sensitivitas mereka tidak baik. Angiography
konvensional juga harus dipertimbangkan pada pasien yang memiliki bekuan darah pada
subarachnoid yang berhubungan dengan parenkim dan pada pasien yang mengalami perdarahan
berulang. Pada pasien yang awalnya tidak ditemukan kelainan pada pencitraan, tetapi memiliki
kemungkinan tinggi untuk terjadinya perdarahan intracerebral sekunder pada temuan klinis,
angiografi dapat diulang dua sampai empat minggu setelah perbaikan dari hematom, ketika
kelaianan vaskular dapat terlihat.

Penatalaksanaan

Evaluasi dan manajemen di ruang gawat darurat

Tantangan utama bagi dokter di ruang darurat adalah ketika untuk intubasi pasien.
Intubasi awal dengan mengunakan anestesi jangka pendek penting pada pasien dengan penuunan
kesadaran atau pada pasien dengan gangguan reflex pada jalan napas. Keterlambatan dalam
perlindungan jalan napas dapat menyebabakan aspirasi, hipoksemia dan hypercapnia. Adanya
deteriosasi (penurunan fungsi) secara cepat, tanda-tanda klinis herniasi transtentorial atau
hidrosefalus pada CT-Scan harus dikonsultasikan kepada Bedah saraf secepat mungkin.
Penggunaan hiperventilasi dan manitol intravena dan penempatan kateter intraventricular untuk
drainase cairan serebrospinal dapat melindungi struktur otak dari kerusakan mekanis dan iskemia
sampai dekompresi bedah dapat dilakukan. Akhirnya, mengingat ketersediaan terapi trombolitik,
diferensiasi awal antara infark serebral dan perdarahan intracerebral oleh CT scan sangat penting
untuk pengelolaan stroke akut.

Pemantauan intensif status neurologis dan kardiovaskular

Risiko kerusakan neurologis dan ketidakstabilan kardiovaskular adalah yang tertingi


selama 24 jam pertama setelah onset perdarahan intracerebral. Sekitar 30 % pasien dengan
pendarahan intracerebral supratentorial dan hampir semua pasien dengan perdarahan batang otak
atau cerebellum mengalami penurunan kesadaran dan memerlukan intubasi. Oleh karena itu,
kami merekomendasikan untuk memantau semua pasien di unit perawatan intensif khusus
sekurang-kurangnya 24 jam setelah kejadian klinis. Status neurologis pasien harus dievaluasi
setiap jam dengan menggunakan evaluasi standar dan Glasgow Coma Scale. Tekanan darah
dapat dimonitor secara memadai dengan menggunakan manset otomatis, sedangkan pemantauan
tekanan darah sistemik secara berkesinambungan harus dipertimbangkan pada pasien yang
membutuhkan pemberian obat antihipertensi intravena dan pada pasien yang status
neurologisnya memburuk. Ketidakstabilan kardiovaskular yang berkaitan dengan peningkatan
tekanan intrakranial harus segera ditangani untuk mencegah dampak berbahaya dari hipertensi
atau hipotensi pada pasien dengan kapasitas autoregulasi yang terbatas.

Efek massa dan hipertensi intrakranial

Efek massa karena volume hematoma, edema jaringan yang mengelilingi hematoma, dan
hidrosefalus obstruktif dengan herniasi yang menetap menjadi penyebab sekunder kematian
dalam beberapa hari pertama setelah perdarahan intracerebral. Karena sifat lokal dari efek massa
dan adanya kompensasi ruang karena kenaikan volume oleh ruang ventrikel dan sub-arakhnoid,
peningkatan tekanan intracranial yang progresif hanya ditemui pada pasien dengan perdarahan
intracerebral masif. Lokasi kerusakan mekanis dan bahkan herniasi transtentorial dapat dilihat
pada tidak adanya peningkatan tekanan intrakranial secara keseluruhan. Pada binatang percobaan
yang diinduksi dengan perdarahan intracerebral, penggunaan hiperventilasi dan agen osmotic
meningkatkan aliran darah cerebral dan metabolisme dipengaruhi oleh herniasi transtentorial
tetapi tidak mempunyai efek pada hipertensi intracranial sedang. Oleh karena itu, pengobatan
dengan agen osmotik dan hiperventilasi direkomendasikan pada pasien dengan herniasi cerebral.
Kortikosteroid harus dihindari, karena uji coba acak telah gagal untuk menunjukkan keberhasilan
pada pasien dengan perdarahan intracerebral.

Manajemen tekanan darah

Peningkatan tekanan darah biasa terjadi setelah perdarahan intracerebral dan hal ini
dihubungkan dengan perluasan hematom. Tekanan darh tinggi juga dapat merupakan respon
nonspesidik terhadap stress. Tekanan darah tinggi juga bisa menjadi respon pelindung (disebut
Cushing-Kocher respon) yang tujuannya adalah untuk mempertahankan perfusi serebral terutama
pada pasien dengan kompresi batang otak.

Terdapat kontroversi mengenai pengobatan dini tekanan darah setelah perdarahan


intracerebral. Kebanyakan pasien dengan perdarahan intracerebral memiliki hipertensi kronis
dimana autoregulasi cerebral telah beradaptasi dengan tekanan darah yang lebih tinggi dari
normal. Selain itu tekanan perfusi cerebral dan kapasitas autoregulasi merupakan akibat dari
peningkatan tekanan intracranial. Dua penelitian telah menunjukkan bahwa pengurangan
pengobatan dengan farmakologi pada tekanan darah tidak memiliki efek buruk terhadap aliran
darah cerebral pada manusia dan hewan. Pedoman untuk manajemen tekanan darah pada pasien
dengan perdarahan intracerebral menurut American Heart Association terdapat pada gambar 4.

Ventricular Blood dan Hidrocephalus

Adanya darah pada ventrikel dihubungkan dengan tingginya tingkat mortalitas. Efek ini
mungkin berhubungan dengan perkembangan dari hirocephalus obstruktif atau efek massa
langsung darah ventrikel dalam struktur periventrikuler, yang berhubungan dengan hipoperfusi
global cortex. Darah pada ventrikel juga mengganggu fungsi normal cairan serebrospinal dengan
menginduksi asidosis laktat lokal. Drainase eksternal cairan serebrospinal melalui kateter
ventrikel mengurangi tekanan intracranial, efek menguntungkan pada hidrocephalus dan status
neurologis ini juga diimbangi dengan adanya bekuan pada kateter dan adanya infeksi. Untuk
memudahkan pengeluaran darah pada ventrikel dengan cepat dan efektif, upaya baru- baru ini
memfokuskan pemberian trombolitik agent intraventrikuler pada pasien dengan perdarahan
intracerebral spontan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemberian intraventricular dari
urokinase setiap 12 jam sampai drainase eksternal cairan cerebrospinal tidak lagi diperlukan
untuk mengurangi angka kematian yang diharapkan dalam satu bulan.

Evakuasi Bedah

Tujuan dari evakuasi bedah hematoma adalah untuk mengurangi efek massa, blok
pelepasan produk neuropatik dari hematoma, dan mencegah interaksi berkepanjangan antara
hematoma dan jaringan normal yang dapat menginduksi proses patologis. Namun manfaat dari
evakuasi perdarahan pada ganglion basal, thalamus melaui open craniotomy tertutupi oleh karena
adanya kerusakan saraf dan terjadi perdarahan sebagai akibat hilangnya efek tamponade dari
jaringan sekitarnya. Meta-analisa dari tiga percobaan acak perdarahan supratentorial telah
dilaporkan bahwa, dibandingkan dengan 126 pasien yang tidak menjalani operasi, 123 pasien
dengan perdarahan intracerebral yang menjalani bedah evakuasi melalui kraniotomi terbuka
tingkat kematian lebih tinggi atau terdapat ketergantungan pada enam bulan (83% vs 70 % ).
Upay kraniotomi secara dini tidak mengubah hasilnya dan pada umumnya dikaitkan dengan
kemungkinan peningkatan perdarahan berulang.

Hematom cerebeller mempunyai keunikan dalam perspektif pembedahan karena dapat


dilkukan pembedahan tanpa menyebabkan kerusakan yang signifikan pada jaras korteks motorik
primer. Mortalitas dan morbiditas berhubungan dengan kompresi batang otak. Hasil pembedahan
terbaik didapatkan pada pasien perdarahan intracerebral cerebellar yang memiliki skor awal
GCS kurang dari 14 atau dengan perdarahan yang luas (volume 40 ml atau lebih). Pasien dengan
status neurologis yang baik (GCS 14 atau lebih) dan perdarahan kecil (volume kurang dari 40
ml) memiliki peluang baik untuk pemulihan penuh atau hanya cacat moderat dengan
management konservatif. Kraniotomi secara dini direkomendasikan untuk pasien dengan
hematoma dari cerebellar karena tingkat kerusakan neurologis setelah perdarahan cerebellum
sangat tinggi dan tak terduga. Berdasarkan bukti yang tersedia, rekomendasi untuk evakuasi
bedah ditunjukkan pada Gambar 4.

Untuk mencegah proses patologis sekunder dan membatasi kerusakan saraf dan risiko
perdarahan berulang terkait dengan kraniotomi terbuka, penelitian sekarang difokuskan pada
evakuasi bedah awal dengan penggunaan stereotactic dan pendekatan endoskopi. Pendekatan ini
memungkinkan evakuasi dari hematoma yang menyebabkan kerusakan minimal pada jaringan
normal di atasnya (Gbr. 5). Zuccarello et al. melaporkan, evakuasi bedah, kraniotomi, atau
aspirasi stereotactic dalam waktu 24 jam setelah timbulnya gejala-gejala pada pasien dengan
perdarahan intracerebral. Kemungkinan hasil yang baik lebih tinggi pada pasien yang menjalani
operasi (56%) dibandingkan dengan mereka yang menerima pengobatan medis saja (36%). Auer
et al. melakukan penelitian pada 100 pasien yang menjalani evakuasi stereotacticguided
endoskopi dalam waktu 48 jam setelah masuk atau mendapatkan pengobatan medis saja. Dalam
enam bulan, hasilnya lebih baik pada kelompok bedah endoskopi, 40 % dari pasien tersebut tidak
memiliki defisit atau hanya defisit minimum, dibandingkan dengan 25 % pasien pada kelompok
medis. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan pemberian trombolitik agent melalui kateter
intracranial ke dalam matriks hematom setiap enam sampai delapan jam dengan aspirasi
bersamaan menunjukkan penurunan volume hematom 50% dalam waktu 3 hari dengan tingkat
perdarahan berulang dan kematian yang rendah.
Kejang dan perdarahan berulang

Kebanyakan kejang terjadi pada awal perdarahan intracerebral atau dalam 24 jam
pertama. Antikonvulsan biasanya dapat dihentikan setelah bulan pertama pada pasien yang tidak
kejang lagi. Pasien yang mengalami kejang lebih dari dua minggu setelah awal perdarahan
intracerebral memiliki risiko tinggi untuk serangan lebih lanjut dan mungkin memerlukan
pengobatan profilaksis jangka panjang dengan antikonvulsan.

Arakawa et al. melaporkan tingkat perdarahan berulang sebanyak 2% per tahun pada 74
pasien yang mengalami perdarahan intracerebral akibat hipertensi. Lokasi perdarahan
intracerebral selanjutnya biasanya berbeda dari perdarahan yang pertama. Perdarahan berulang
terjadi sebanyak 10 % per tahun pada pasien dengan tekanan darah diastolik rata-rata lebih dari
90 mmHg dan 1,5 % pada mereka dengan tekanan darah diastolik kurang dari 90 mmHg. Para
peneliti menyimpulkan bahwa rata-rata tekanan darah diastolik lebih besar dari 90 mm Hg
dikaitkan dengan tingkat peningkatan perdarahan berulang, yang menunjukkan pentingnya
pemberian antihipertensi yang tepat.

Pengobatan terbaru perlu dikembangkan untuk mencegah penurunan fungsi neurologis


setelah perdarahn inntracerebral. Perlu penelitian lebih lanjut pada faktor-faktor genetik yang
dapat meningkatkan risiko perdarahan intracerebral. Sebagai contoh, studi tentang hubungan
antara gen untuk apolipoproteins spesifik dan perdarahan intracerebral dapat memberikan
pemahaman yang berharga tentang patogenesis perubahan degeneratif yang mengakibatkan
pecahnya pembuluh darah.

Pendekatan yang tepat untuk masalah-masalah seperti pengobatan tekanan darah dan
indikasi untuk evakuasi bedah pada pasien dengan perdarahan intracerebral masih kontroversial.
Sebuah uji coba secara acak diperlukan untuk menentukan efek pengobatan tekanan darah pada
perluasan hematoma. Teknik pembedahan yang maksimal untuk menghilangkan hematom,
mengurangi kerusakan jaringan normal dan pencegahan perdarahan postoperasi membutuhkan
perkembangan dan penelitian selanjutnya. Akhirnya, penggunaan terapi trombolitik untuk
membantu resolusi bekuan darah ventrikel tampaknya menjanjikan, uji coba secara acak untuk
menentukan kemanjuran dan keamanan dari pendekatan ini sedang berlangsung.

You might also like