You are on page 1of 9
42 MASALAH HARTA BERSAMA DALAM PROSES PEMUTUSAN HUBUNGAN PERKAWINAN I. Pendahuluan Hubungan antara suami dan istri adalah inti atau merupakan masalah pokok dalam hubungan antara manu- sia sesama manusia sebagai individu, manusia sebagai mahluk sosial (Zoon- politicoon) manusia humo sacra humi- ni kata Aristoteles. Jadi hubungan manusia itu baik sebagai individu mau- pun sebagai anggota masyarakat, Bang- sa dan Negara, selalu saling membutuh- kan. Suami Istri yang merupakan ke- luarga adalah dasar permulaan dari pada hubungan antar kelompok yang membentuk masyarakat. Jadi keluarga merupakan unsur yang penting dalam pembentukan suatu masyarakat, Bang- sa dan Negara, tanpa Suami dan Istri tidak ada keluarga, tidak ada masyara- kat dan seterusnya tidak ada Negara. Berbicara tentang hubungan Suami Istri menurut Hukum Islam haruslah dilandasi dengan unsur makruf, saki- nah, mawaddah dan Rahmah. Makruf artinya pergaulan antara Suami Istri itu harus saling hormat menghormati saling menjaga rahasia masing-masing, terutama sang suami haruslah berusaha sebagai Top Figur, sebagai Nakhoda, ibarat Kapten yang memimpin pelayaran sebuah kapal me- ngarungi samudra yang luas dan penuh dengan godaan tiupan badai, topan dan alunan gelombang yang kadang- kadang maha dahsyat, dia harus dapat menenangkan jiwa baik penumpang maupun seluruh Crew, walaupun kapal Oleh: M. Idris Ramulyo diamuk tiupan angin dan gelombang yang menggunung besarnya. Sebagai kepala keluarga berusaha menjaga pergaulan yang harmonis baik antara Suami dan Istri maupun hubung an dengan anak-anak serta pendi annya. Sakinah dimaksudkan di sini ialah penjabaran lebih lanjut dari makruf yang disebutkan di atas yaitu agar suasana kehidupan dalam rumah tangga suami Istri itu terdapat keadaan yang aman dan tentram gemah ripah Joh jinawi, tidak terjadi silih sengketa atau pertentangan pendapat yang prin- sipiil. Disamping suasana makruf dan saki- nah tersebut dituntut kalau tidak boleh dikatakan merupakan pra syarat bahwa antara Suami Istri dalam ru- mah tangga itu harus selalu dijamin akan tetap saling cinta mencintai, sayang menyayangi, seia sekata, ke lurah sama menurun ke gunung sama mendaki, seciok bak ayam sedancing bagaikan besi, terendam sama basah, terapung sama hanyut. Itulah yang disebut mawaddah yang harus dipupuk terus menerus, tidak saja selagi muda mudi atau penganten baru tetapi sam- pai hubungan suami Istri itu menjadi kakek nenek dan tua renta, sesuai de- ngan petunjuk allah Subhanahuwata’ ala dalam firmannya Al Qur’anul karim surah IV ayat (19), surah IV ayat (21) dan surah XXX ayat 21. Quran surah IV : 21 (Surah Al Nisa) memberikan petunjuk sebagai berikut: Harta Bersama Wa aakhadza minkum mitshaaghaan ghaliizhaan.'_ Bahwa perkawinan itu adalah suatu perjanjian yang suci dan kuat.” Qur’an surah IV : 19 (Q. IV:19) (Su- rah Al Nisaa). Dan pergauilah Istri kamu itu secara (baik-baik), atau makruf kemudian apabila kamu tidak menyukainya hendaklah kamu bersabar, karena mungkin kamu tidak me- nyukai sesuatu , tetapi Allah menjadikan kepadanya kebaikan yang banyak.> Qur’an surah XXX ayat 21 (surah Al Ruum). Dan diantara tanda-tanda kekwasaan NYA ialah diciptakan NYA untuk istri- istri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram (sakinah) kepadanya dan dijadikan NYA diantara ka- mu mawaddataa dan Rahmah atau rasa sa- ling cintai mencintai dan santun menyan- tun.* Demikianlah seharusnya hubungan antara Suami Istri dalam rumah tang- ga Islam, namun dalam kenyataan ka- dang-kadang pasangan Suami Istri itu karena kesibukan masing-masing mere- ka sehari-hari, lupa menerapkan petun- juk-petunjuk Allah Subhanahuwata’ala tersebut, dan tergelincir ke lembah pertengkaran yang hebat diantara me- teka, dan terjadilah apa yang sebenar- nya tidak dikehendaki serta paling di- benci oleh Allah yaitu putusnya hu- bungan perkawinan antara Suami Istri tersebut. Salah satu perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah Talaq (putusnya hubungan per- kawinan antara Suami dan Istri), demi- kian menurut Hadits Rasul Allah yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud 1) Departemen Agama R.I. Terjemahan Ki- tab Suci Al Qur'an Jakarta P.T. Bumi Restu 1974, halaman 120. 2) Thalib Sayuti, SH. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta Universitas Indonesia 1974, halaman 47. 3) Op. Cit. halaman 119. 4) Op. Git. halaman 644. 43 dan Ibnu Madjah. * Sekarang timbul pertanyaan bagai- mana akibat hukum dari putusnya hu- bungan perkawinan itu? Inilah yang merupakan masalah ka- takanlah problema, yang harus dicari pemecahannya bila mungkin dengan mengadakan pendekatan ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri, untuk sementara dapat dikemukakan suatu asumsi sebagai berikut: Dengan putusnya hubungan perka- winan baik dalam bentuk Talaq mau- pun cerai. (Talaq dalam bahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indo- nesia, pengertiannya adalah putusnya hubungan perkawinan antara Suami Istri (cerai). Dalam Peraturan Menteri Agama No.3 Tahun 1975 pasal 28 dan pasal 30 di- bedakan istilah Talaq dan cerai, Talaq pemutusan hubungan perkawinan atas permohonan Suami sedangkan cerai gugatan pemutusan hubungan perka- winan yang datangnya dari pihak Is- tri , maka timbul pula beberapa per- soalan antara lain yaitu:® 1) Apakah dikenal harta bersama (har ta gonogini atau harta sarikat) da- lam Lembaga Islam?” 2) Tentang siapa yang harus ditunjuk menjadi wali dan memeliharaan anak-anak (hadhanah. 3) Tentang nafkah Idah, nafkah Istri dan uang mut‘ah (uang pesangon) yang harus dibayar oleh Suami. Bukanlah maksud penulis di sini un- tuk mengemukakan seluruh masalah yang begitu kompleks, luas sekali, jauh jangkauannya meliputi hampir seluruh aspek kehidupan Suami Istri bahkan 5) Rasyid Sulaiman H. Figh Istam, Jakarta Penerbit Attahiriyah Jatinegara 1954 halaman 379. 6). Asnawi Moch, Himpunan Peraturan dan Undang Undang R.I. Tentang Perkawinan, Semarang, 1975, hal. 81 dan 82, Januari 1984 44 masyarakat, dan sesuai pula dengan judul yang dikemukakan dalam tulisan ini, maka penulis terpaksa membatasi diri hanya mencoba menggambarkan secara deskriptif tentang permasalah- an, katakanlah juga problema yang dihadapi oleh bekas Suami Istri. Sebagai akibat putusnya hubungan perkawinan baik itu karena cerai mau- pun atas permohonan talaq, ialah ten- tang harta bersama Suami Istri terse- but. IL.Tentang harta bersama antara Suami Istri. ‘Ada beberapa macam harta, yang la- zim dikenal di Indonesia antara lain. 1. Harta yang diperoleh sebelum per- kawinan oleh para pihak karena usaha mereka masing-masing, di Bali disebut Guna Kaya (lain dari guna kaya sunda). Di Sumatera Se- latan disebut harta pembujangan bi- la dihasilkan oleh perawan (gadis), harta jenis ini adalah hak dan diku- asai oleh masing-masing pihak (Sua- mi atau Istri), di Minangkabau di- kenal harta pembujang, menurut pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, tetap dibawah pengawasan masing-masing pihak. . Harta yang pada saat mereka meni- kah diberikan kepada kedua mem- pelai itu, mungkin berupa modal usaha, atau perabot rumah tangga ataupun rumah tempat tinggal me- reka Suami Istri. Apabila terjadi perceraian maka harta ini kembali pada orang tua (keluarga) yang memberikan semula di Minangke- bau dikenal harta asal. 3. Harta yang diperoleh selama per kawinan berlangsung tetapi karena hibah atau warisan dari orang tua mereka atau keluarga terdekat, di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jog- yakarta disebut harta Gawan, Jakar- ta Barang Usaha, Banten disebut nv Hukum dan Permbangunan Barang Sulu, Jawa Barat dikatakan Barang Banda atau Barang Asal (Barang Pusaka). Di Aceh terkenal dengan istilah Hareuta Tuha (Ha- reuta Asal atau Pusaka dan di Nga- ju Dayak dikenal dengan Pimbit. Sedangkan di Minangkabau dikenal dengan Harta Pusaka Tinggi.” Harta yang diperoleh sesudah mere- ka berada dalam hubungan perka- winan berlangsung atas usaha mere- ka berdua atau usaha salah seorang mereka atau disebut harta pencaha- rian.® Harta ini menjadi harta bersama menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 35 ayat (1), yang menyatakan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan men- jadi harta bersama. Harta jenis ke IV ini di Aceh disebut Hareuta Sihareukat, sedangkan di Bali dise- but Druwe-gabro, di Jawa dikenal dengan harta Gonogini atau Barang Guna, di Kalimantan lazim disebut Barang papantangan, di Minangka- bau dipergunakan istilah Harta Sua- rang nan babagi, di Madura disebut di Madura disebut istilah Ghuna ghana, di Jawa Barat dikatakan Gu- na Kaya, disamping itu ada istilah lain dengan pengertian agak berbe- da yaitu dalam perkawinan mang- gih Kaya dan Nyalindung Kage- lung. Di Daerah Bugis (Makasar) terkenal dan lazim disebut dengan istilah makruf dengan Barang-ba- rang Cakkara’.” Tentang harta jenis pertama, kedua dan ketiga tidak menjadi persoalan lagi 1. 8). 9) Ismuha H. Drs. Pencaharian Bersama Suami Istri di Indonesia, Jakarta Bu- Jan Bintang 1978 Cetakan ke Il. ha- Jaman 41. Thalib Sayuti, SH. Hukum Kekelu- argaan Indonesia, Jakarta Penerbit Universitas Indonesia 1974, halaman 90. Ismuha H. Drs. Op. Cit. halaman 42. Harta Bersama karena sudah pasti statusnya dikuasai masing-masing pihak (jenis pertama) Kembali kepada asal dari mana datang- nya semula (jenis kedua) dan tetap di- kuasai mamak kepala waris atau pe- nguasa adat yang bersangkutan (jenis ketiga). Yang menjadi masalah sekarang ini adalah harta jenis keempat yakni har- ta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Untuk menjawab perta- nyaan tersebut di atas menurut Hu- kum Islam terdapat dua versi jawaban yang dapat dikemukakan tentang harta bersama yaitu : Ill. Tidak dikenal harta bersama dalam Lembaga Islam kecu- ali dengan Syirqah. Berbeda dengan sistem Hukum Per- data Barat (BW) dalam Hukum Islam tidak dikenal percampuran harta keka- yaan antara Suami dan Istri karena perkawinan. Harga kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepe- nuhnya oleh istri tersebut, demikian juga harta kekayaan suami tetap men- jadi hak milik Suami dan dikuasai se- penuhnya olehnya, oleh karena itu pula wanita yang bersuami tetap di- anggap cakap bertindak tanpa bantu- an Suami dalam soal apapun juga ter masuk mengurus harta benda, sehing- ga ia dapat melakukan segala perbuat- an Hukum dalam masyarakat.'° Lihat juga Al Qur’an Surah IV ayat 32 jo QL: 228. Lain halnya wanita yang bersuami menurut Hukum Barat (Kitab Undang- Undang Hukum Perdata dapat dilihat dalam pasal 119 BW). "Mulai saat perkawinan dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan Suami Istri, seke- 10). Latif Djamil H.M. SH, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta Gha- tia Indonesia 1982 halaman 82. dan seterusnya. 45 dar mengenai itu dengan perjanjian ka- win tidak diadakan ketentuan lain. Per- aturan itu sepanjang perkawinan tak bo- leh ditiadakan atau diubah dengan se- suatu persetujuan antara Suami Istri. Segala hasil dan pendapatan, sepertipun segala hutang dan rugi sepanjang perka- winan harus diperhitungkan atas mujur malang persatuan (pasal 122, Kitab Un- dang-Undang Hukum Perdata atau Bur- gerlijk Wetbook).!" Dengan demikian menurut K.U.H. Per (BW). Istri tidak dapat bertindak sen- diri tanpa bantuan Suami. Berbeda de- ngan itu maka baik Suami maupun Is- tri menurut Hukum Islam berhak dan berwenang atas Harta kekayaan masing- masing. Suami tidak berhak atas harta istri- nya karena kekuasaan Istri terhadap hartanya tetap dan tidak berkurang di- sebabkan perkawinan. Karena itu sang suami tidak boleh mempergunakan harta istri untuk membelanjai rumah tangga kecuali de- ngan izin sang Istri, bahkan harta ke- punyaan Istri yang dipergunakan untuk membelanjai rumah tangga, menjadi hutang Suami dan Suami wa- jib membayar kepada Istrinya kecuali apabila Istri mau membebaskannya.'? Namun menurut Hukum Islam de- ngan perkawinan menjadilah sang Istri syarikatur rajuli filhayati = Kongsi sekutu seorang Suami dalam melayari bahtera hidup, maka antara Suami Istri dapat terjadi Syarikah Abdan (Perkongsian tidak terbatas)'? Dalam hal harta kekayaan bersatu karena Syirqah (Syirkah) seakan-akan merupakan harta kekayaan tambahan karena usaha bersama Suami Istri se- Ti). Subekti R. Mr dan Tjitrosudibio R. Kitab Undang-Undang Hukum Per data Jakarta J.B. Wolters 1960, Ce- takan ketiga. halaman 35 dan 36. 12). Op. Cit halaman 83. 13), Siddiqi Ash Hasbi. T.M. Prof. Pedo- man Rumah Tangga, Medan, Pustaka Maju 1971 halaman 9. Januari 1984 46 lama perkawinan menjadi milik bersa- ma, Karena itu apabila kelak perjanji- an perkawinan itu terputus karena per- ceraian atau talaq, maka harta syir- qah tersebut dibagi antara Suami Is- tri menurut perimbangan sejauh mana usaha mereka Suami/Istri turut berusa- ha dalam syirkah. Dalam Jurispruden- si di Indonesia dapat dilihat keadaan ini pada Keputusan Landraad Serang 29 Agustus 1929 yang didasarkan ke- pada pendapat Raad Van Justitie Ja- karta Tanggal 28 Desember 1928, me- netapkan bahwa tidak ada milik ber- sama antara Suami Istri meskipun ba~ rang diperoleh karena pekerjaan dan kerajinan bersama kecuali jika hal itu dengan jelas disetujui pada waktu per- kawinan (Syirqah atau Syirkah)'* Lihat juga ketetapan Fatwa Syari- kah tentang harta bersama antara Sua- mi Istri yang ditetapkan oleh Penga- dilan Agama Jakarta Timur tanggal 7 Februari 1978 No. 21/C/1978 dalam pertimbangan hukumnya mengemuka- kan: Apabila telah terjadi syirkah (harta bersama) pada suatu masa tertentu, se- telah berpindah dan tidak dapat di- bolehkan dari masing-masing harta Syarikah itu, maka harta tersebut di- bagi dua.'® Fatwa Pengadilan Agama di Jakarta Timur tanggal 28 April 1975 No. 54/ C/1975, mengemukakan Lilridjaali nashiibun mimmak Ktasabuu'lwa linnisaa'it nashiibnu’m mimma’k Ktasabna (Q4V: 32), Bagi lakiaki ada bagian harta pening- galan dari usahanya dan bagi perempu- 14). Lihat juga T. Bg. 133 halaman 133. Bandingkan Ismuha, H. Drs. Penca- harian bersama Suami Istri di Indo- nesia, Jakarta Bulan Bintang 1978 Cetakan ke I halaman 43. 15). Proyek Pembinaan Peradilan Agama, Departemen Agama, — Himpunan Fatwa Pengadilan Agama Jakarta 1980/1981 halaman 63. Hukum dan Pembangunan an mempunyai pula bahagia dalam usa- hanya.!® Penulis berpendapat dari beberapa argumentasi yang dikemukakan pada bagian pertama ini tidak ada harta ber- sama menurut Hukum Islam antara Suami Istri, kecuali adanya Syirqah, hal itu mungkin bertitik dari beberapa ayat Qur'an antara lain. Q.IV ; 34 bahwa Suami kepala keluarga dan mempunyai kewajiban mutlak harus memberi nafkah kepada baik Istri mau- pun anak-anak.!7 Q.LXV: 6. Berikanlah tempat tinggal kepa- da Istri (para Istri) kamu di mana bertem- pat tinggal dan jangan kamu menyusah- kan mereka. Karena Istri mendapat perlindungan dari Suami baik’ tentang nafkah lahir, sandang pangan, nafkah bathin dan moral dan material maupun papan ru- mah tempat tinggal demikianpun biaya kesehatan, pemeliharaan serta pendi- dikan anak-anak menjadi tanggung ja- wab penuh Suami sebagai kepala ke- luarga. Sebagaimana ditentukan oleh Q.IV : 34 dan Q. LXV : 6 tersebut di atas, berarti sang Istri dianggap passif menerima apa yang datang dari Suami, maka menurut tafsiran ini tidak ada harta bersama antara Suami dan Istri. Sepanjang apa yang diberikan oleh Suami kepada Istri di luar pembiaya- an rumah tangga dan pendidikan anak- anak, misalnya hadiah perhiasan, an- ting, gelang, cincin dan yang serupa itu, maka itulah yang menjadi hak Istri dan tidak boleh diganggu gugat lagi oleh Suami, apa yang diusahakan oleh Suami keseluruhannya tetap menjadi hak milik Suami, kecuali bila ada Syir- 16). Ibid halaman 68. 17). Departemen Agama R.L0 Al Qur'an dan Terjemahannya Jakarta Proyek Penerbit Kitab Suci Al Qur'an PT Bumi Restu 1974. halaman 123 (Surah Al Nisaa) 18). Ibid halaman 946 Harta Bersama qah (perjanjian bahwa harta mereka itu bersatu). IV. Pendapat kedua menyatakan bahwa ada harta bersama antara Suami dan Istri menurut Hukum Islam. Pen- dapat yang kedua ini disamping me- ngakui bahwa apa yang diatur oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, se- panjang mengenai harta bersama seper- ti tersebut dalam pasal 35, 36 dan 37, sesuai dengan kehendak dan/atau aspi- rasi Hukum Islam, sebagaimana ter- maktub dalam Q. I : 228. Q. IV : 21. Q.IV :34.Q. IV: 19. Q.XXX : 21. Menurut Undang-Undang No. 1 Ta- hun 1974, termuat dalam Bab VII pasal 35, 36 dan 37, tentang harta ben- da dalam perkawinan mengatur : Pasal 35 (1). Harga benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta ber- sama. Pasal 36 (1). Mengenai harta bersama Su- ami atau Istri dapat bertindak atas per- setujuan kedua belah pikak. Pasal 37. Bila perkawinan putus karena per- ceraian, maka harta bersama diatur me- nurut hukumnya masing-masing.'° Jelaslah bahwa harta jenis keempat yang penulis kemukakan pada bagian kedua tulisan ini yang perumusannya berbunyi: Bahwa harta yang diperoleh selama per- Kawinan berlangsung karena usahanya menjadi harta bersama. Kita coba telusuri sekarang penda- pat Sarjana Islam yang mengatakan bahwa ada harta bersama dalam per- kawinan antara Suami Istri, Q. IV : 19. Pergaulilah Istri kamu itu se- cara makruf, dan manakala kamu benci kepadanya hendaklah kamu bersabar ke- 19). Saleh ,Wantjik K. SH: Hukum Perka- winan Indonesia, Jakarta Ghalia In- donesia Cet. ke IV 1976, halaman 60. 20). Thalib Sayuti, SH. Hukum Keke- Iuargaan Indonesia, Jakarta Universi- tas Indonesia 1974 halaman 41. 47 mungkinan ketidak setujuan kamu itu (benci) Allah akan menjadikannya keba- ikan yang banyak.” Q. IV : 21, Bahwa perkawinan itu adalah perjanjian yang suci kuat dan kokoh. (mitsaaghaan ghaliizhaan).?* Q. IV : 34. Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan laki-laki dari wanita, oleh sebab itu laki-laki sebagai Suami adalah kepala keluarga dan berkewajiban mem- biayai Istri dan anak-anaknya atau ke- luarga. > Q. XXX: 21. Diantara tanda-tanda kekuasa- an Tuhan diciptakan NYA untukmu Is- tréistri dari jenismu supaya kamu cen- derung dan merasa aman dan tentram (Sakinah), saling cintai mencintai (mawa- ddah) dan, saling santun menyantuni (Rahmah).** Q. Hf : 228. Hak Istri seimbang dengan ke- wajiban Suami yang diberikan_kepada- nya secara baik-baik (makruf).?> Bertitik tolak dari ayat ayat Al Qur’ an tersebut, penulis sependapat dengan kesimpulan yang diambil oleh bebe- rapa Sarjana Islam dewasa ini di Indo- nesia terutama Sayuti Thalib, SH. Ichtianto, SA. SH, Prof. Dr. Hazairin SH. (almarhum) bahwa menurut Hu- kum Islam harta jenis ke empat, se- perti yang telah dikatakan terdahulu dalam tulisan ini yakni, harta yang di- peroleh Suami dan Istri karena usaha- nya, adalah harta bersama, baik mere- ka bekerja bersama-sama ataupun hanya Sang Suami saja yang bekerja sedangkan Istri hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anak saja di ru- mah, sekali mereka itu terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai Suami Istri maka semuanya menjadi bersatu baik harta maupun anak-anak, seperti yang teratur oleh Qur'an Surah IV : 21. 21). Departemen Agama R.I. Terjemahan Al Qur'an Jakarta, P.T. Bumi Restu 1974. halaman 120. 22). Ibid halaman 119. 23). Ibid halaman 123. 24). Ibid halaman 644. 25). Ibid halaman 55. Januari 1984 48 Tidak perlu diiringi dengan Syirkah, sebab perkawinan dengan jjab gabul serta memenuhi persyaratan lainnya seperti adanya wali, saksi, mahar, wa- limah dan ‘ilanun nikah sudah dapat dianggap syirqah antara Suami Istri itu. Bilamana Istri dari seorang Suami hamil kemudian melahirkan anak, se- dangkan Suami tidak turut serta me- ngandung anak yang dikandung Istri- nya itu dan tidak turut serta menderita melahirkan anak tetapi anak tersebut tidak dapat dikatakan anak si istri saja tentulah anak dati Suami Istri bahkan lebih ditonjolkan Nama Suami (ayah) di belakang nama anak. Demikian pula halnya bilamana Suaminya yang be- kerja, berusaha dan mendapat harta tidak dapat dikatakan bahwa harta itu hanya harta Suami saja tentulah men- jadi harta Suami Istri bersama, apabila terjadi putus hubungan perkawinan baik karena cerai atas gugatan pihak Istri, atau karena talaq atas permohon- an Suami maka harta bersama itu ha- tus dibagi antara Suami Istri itu. Demikian juga apabila putusnya hu- bungan perkawinan karena kematian maka sebelum harta peninggalan itu di- bagi antara para ahli waris, haruslah dikeluarkan lebih dahulu harta ber- sama antara Suami Istri itu, barulah kemudian dikeluarkan hutang simati dan wasiat kalau ada, terakhir sisa- nya diserahkan kepada para dzulfa- raidh dan dqulqarabat asbabah)® V. Suami bernama Ir. N. yang menikah pada tanggal 20 September 1970 pa- da Kantor Urusan Agama Kecamatan Kemayoran telah mengajukan per mohonan kepada Pengadilan Agama 26) Lihatlah Sayuti Thalib SH. Kuliah Hukum Islam IH pada Fakultas Hu- kum Universitas Indonesia Tahun 1979, dihimpun oleh M. Idris Ra- mulyo, SH. Bursa Buku ¥.H.U.I. 1981, Hukum dan Pembcngunan Jakarta Selatan untuk diperkenankan menjatuhkan Talaq pada tanggal 5 Fe- bruari 1982, terhadap Istrinya Ny. Am permohonan mana dikabulkan dengan penetapannya tanggal 22 April 1982 No. 109/1982, Ny. Am Istri Ir. N. ter- sebut menolak talaq (pemutusan hu- bungan perkawinan) tersebut karena tanpa alasan, baik alasan menurut Hu- kum Islam maupun menurut Undang Undang No. 1 Tahun 1974. dan me- nyatakan banding kepada Pengadilan Tinggi Agama cabang Bandung. Pengadilan Tinggi Agama cabang Bandung, menguatkan keputusan Pe- ngadilan Agama Jakarta Selatan de- ngan keputusannya tanggal 19 Agus- tus 1982 No. 14/1982, dan meme- rintahkan Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talaq oleh pemohon Ir. N. terhadap Istrinya Ny. Am, tersebut. Keputusan Banding itu baru diterima oleh Ny. Am, pada tang- gal 25 Oktober 1982. Sebelum ikrar talaq diucapkan da- lam sidang Pengadilan Agama Jakarta Selatan tersebut, Ny. Am. dengan perantaraan Advokatnya mengajukan keberatan lagi terhadap putusan Pe- ngadilan Tinggi Agama cabang Ban- dung dengan mengajukan kasasi kepa- da Mahkamah Agung tanggal 25 Ok- tober 1982 dan Risalah kasasi diteri- ma melalui Pengadilan Agama Jakarta Selatan tanggal 6 Nopember 1982. Berdasarkan keputusan Pengadilan Tinggi cabang Bandung yang menguat- kan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Ir. N. dengan perantara kuasa- nya mengajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 28 Juli 1982. Dengan rol perkara No. 207/ Ys/1982-G. agar harta pencaharian yang diperoleh selama mereka berada dalam hubungan perkawinan (harta bersama) yang berada dalam penguasa- Harta Bersama an Istri agar dibagi dua setengah untuk Istri dan setengah untuk Suami VI. Apakah harta bersama anta- ra Suami Istri dalam proses pemutusan hubungan perka- winan itu dapat dibagi ? Harta bersama antara Suami Istri baru dapat dibagi apabila hubungan perkawinan itu sudah terputus. Hu- bungan perkawinan itu dapat terputus karena kematian, perceraian.dan dapat juga oleh keputusan Pengadilan. Bilamana kita pelajari_ staatblad 1882 No. 152 pasal 7. g, maka kepu- tusan Pengadilan Agama Jakarta Sela- tan yang dikuatkan putusan Pengadil- an Tinggi Agama cabang Bandung yang kita kemukakan di atas telah mempunyai Kekuatan Hukum yang pasti (in Kracht Van Gewijsde), de- ngan demikian ada alasan bahwa har- ta bersama itu dapat dibagi. Tetapi kalau kita pertimbangkan dengan Undang-Undang Pokok kekua- saan Kehakiman No. 14 Tahun 1970, dihubungkan pula dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1977 yang mengatur tentang Kasasi, semen- tara menunggu ditetapkan Undang- Undang Tentang Kasasi tentulah Pe- ngadilan Negeri, rational yuridis me- nyatakan gugatan pembagian harta gonogini itu ditolak atau sekurang- kurangnya tidak dapat diterima. Oleh karena Risalah kasasi yang membantah putusan Pengadilan Ting- gi Agama cabang Bandung telah di- serahkan dan diterima melalui Penga- dilan Agama Jakarta Selatan dalam tenggang waktu yang ditentukan, maka Efektif putusan tersebut men- jadi mentah kembali. Betapa lagi bila dihubungkan dengan pasal 34 ayat (1), jo pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Setiap putusan Pengadilan Agama harus dikukuhkan 49 oleh Pengadilan Negeri vide pasal 63 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974: Menurut putusan Pengadilan Tinggi Agama Cabang Bandung ikrar talag itu harus diucapkan dalam sidang Penga- dilan Agama, sedangkan Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 5 Nopem- ber 1980 No. 18.K/Ag/1980, menen- tukan bahwa ikrar talaq baru dapat di- ucapkan setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan pasti (in Kracht Van Gewijsde). Putusan Pengadilan Agama itu baru mempunyai kekuatan Hukum pasti se- telah kasasi yang dimajukan kepada Mahkamah Agung dikabulkan dan di- kukuhkan oleh Pengadilan Negeri, ber- arti masih ada dua lembaga lagi yang harus dilalui untuk sampai mempu- nyai kekuatan Hukum yang pasti. VII. Kesimpulan. Dengan beberapa argumentasi yang penulis kemukakan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa sampai se- karang ini masih tetap belum terdapat kesatuan pendapat menurut Hukum Is- lam tentang harta bersama antara Suami Istri apakah diakui ada atau tidak Ada pendapat yang mengemukakan tidak ada harta bersama kecuali me- lalui Syirqah (perjanjian) antara suami Istri sebelum atau pada saat perka- winan berlangsung di satu pihak se- dangkan di lain pihak ada kecende- rungan bahwa otomatis ada harta ber- sama antara Suami dan Istri itu setelah perkawinan berlangsung baik mereka bekerja bersamasama maupun salah seorang saja dari mereka yang bekerja sedangkan yang lainnya mungkin me- ngurus rumah tangga Suami dan anak- anaknya saja. ‘Apabila dianggap ada harta bersa- ma, maka Harta bersama yang merupa- kan harta pencaharian Suami Istri itu baru dapat dibagi apabila hubungan Januari 1984 least tata eee ee em 50 perkawinan terputus. Putusnya hu- bungan perkawinan karena kematian, mempunyai kekuatan pasti sejak saat kematian salah satu pihak, formal mu- lai saat itu harta bersama sudah boleh dibagi, tetapi dalam kenyataannya pembagian itu baru dilaksanakan sete- lah selesai upacara penguburan, bah- kan ada yang menunggu setelah empat puluh atau upacara seratus hari sime- ninggal. Dalam masalah yang diper- soalkan di sini karena putusan Hakim yang menentukan putusnya hubungan perkawinan itu belum mempunyai ke- kuatan pasti maka harta bersama an- tara Suami Istri itu belum dapat di- bagi. Apalagi bila ditafsirkan dari Arrest Mahkamah Agung tanggal 9 Ok- tober 1968 No. 89.K/Sip/1968 yang menyatakan, selama seorang janda ti- dak kawin lagi dan selama hidupnya harta bersama yang dipegang olehnya ~Hukum dan Pembangunan tidak dapat dibagikan guna menjamin penghidupannya. Demikian juga pertimbangan da- lam Arrest Mahkamah Aging tanggal 8 Juli 1959 No. 187 K/Sip/1959, se- pecti juga dituntut oleh pasal 41, jo pasal 45 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang mencerminkan aspirasi Hu- kum Islam dalam Al Qur’an surah XXXII ayat 48 (Al Ahzab) Q. I : 236, (Al Bagorah) jo Qur'an surah II : 241, harta bersama tersebut harus tetap tidak terbagi, menjadi ja- minan nafkah Istri, biaya pemelihara- an dan pendidikan anak, inclusif uang mut’ah (uang pesangon) atau uang bersenang-senang, Dalam tulisan ini ti- dak kita pertimbangkan apakah putus- an Pengadilan Agama itu memenuhi persyaratan Yuridis religius Islam atau tidak. a il. 12. 13. 14. DAFTAR KEPUSTAKAAN Asnawi Mohd., Himpunan Peraturan dan Undang-Undang R.I. Tentang Perkawinan. Semarang, Perwakilan Departemen Agama 1975, Departemen Agama R.I., Al Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta PT. Bumi Restu 1974, Departemen Agama R.I., Himpunan Fatwa Pengadilan Agama, Sakarta Proyek Pem- binaan Peradilan Agama 1980/1981. Ismuha H. Drs., Pencaharian Bersama Suami Istri di Indonesia, Jakarta Bulan Bin- tang 1978. Latif Djamil, H.M. SH., Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta, Ghalia In- donesia 1982 Rasyid Sulaiman H., Figh Islam, Jakarta Attahiriyah Jatinegara, 1954. Ramulyo Idris Mohd., SH., Akibat Yuridis dari Perkawinan di bawah Tangan, Jakarta Majalah Hukum dan Pembangunan Tahun ke X 1982. Ramulyo Idris Mohc., S.H., Himpunan Kulian Hukum Islam If Jakarta Bursa Buku Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1981. Subekti Mr. dan Tjitrosudibio R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata J.B. Wolters 1980. Siddiqi Ash Hasbi T.M.T.M. Prof., Pedoman Rumah Tangga, Medan, Pustaka Maju 1971. Saleh Wantjik K. SH., Hukum Perkawinan Indonesia Jakarta Ghalia Indonesia 1976. ‘Thalib Sayuti SH., Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia 1974. Thalib Sayuti SH., Kuliah Hukum Islam II pada Fakultas Hukum Universitas In- donesia 1979/1980. Ramulyo Idris Mohd., SH, Bunga rampai Hukum Perorangan dan Kekeluargaan & Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Jakarta Lihat 1982.

You might also like