You are on page 1of 83

KESESUAIAN LAHAN DAN PERENCANAAN

PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI KAWASAN


PESISIR KABUPATEN KULON PROGO, YOGYAKARTA

ARIF MARTONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Penggunaan Lahan untuk Pertanian di Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo,
Yogyakarta adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Bogor, Maret 2007

Arif Martono
NRP A-253050104
ABSTRACT

ARIF MARTONO. Land Suitability and Landuse Planning for Agriculture at


Coastal Area of Kulon Progo District, Yogyakarta. Supervised by SUWARDI and
DWI PUTRO TEJO BASKORO.
Kulon Progo district has very large of coastal area covering 14,579.79 ha or
about 25% of the total district area. The coastal soils are relatively fertile, so that
they area very potential for agricultural development. Along with the development
of the district area in the recent years, the coastal area is also developing very
fast. For anticipating the development of coastal area, and maintaining the
sustainability of the environment landuse planning must be arranged based on
land evaluation approach. The objectives of this research are to identify the
physical characteristic, financially farm enterprise of the coastal area and to
evaluate the suitability of that area for red chili, melon and watermelon cultivation.
The result showed that the area is dominated by flat to undulating area and
relatively fertile soils of Inceptisol, Alfisol, Mollisol and Vertisol. More than 75% of
32,442 households are farmers or farm workers. Red chili is the main commodity
at Temon, Wates and Panjatan Sub District, while melon and watermelon are the
main commodities at Galur Sub District. Land suitability analysis for three
commodities indicates that most of the land is classified as moderately suitable
(S2) with the limiting factor of over rainfall. Therefore, the arrangement of landuse
calendar and water management becomes keys for the successful farm
enterprise for red chili, melon, and water melon. Financial analysis showed that
farm enterprise for red chili, melon and watermelon are financially feasible.
Potential land for development of those commodities is 5,617.9 ha. Based on the
above analysis, the area development for red chili cultivation is directed at
Temon, Wates, Panjatan and part of Galur Sub Districts, especially on existing
landuse of grass, paddy field, dry land and shrub; where as the area
development for melon and watermelon cultivation is directed at Galur Sub
District, particularly on paddy field existing landuse.
ABSTRAK

ARIF MARTONO. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Penggunaan Lahan


untuk Pertanian di Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
Dibimbing oleh SUWARDI dan DWI PUTRO TEJO BASKORO.
Kabupaten Kulon Progo memiliki kawasan pesisir sangat luas meliputi
14.579,79 ha atau sekitar 25% dari wilayah kabupaten. Kawasan pesisir tersebut
relatif subur sehingga sangat potensial untuk pengembangan pertanian. Seiring
dengan perkembangan wilayah, kawasan pesisir berkembang sangat pesat
dalam beberapa tahun terakhir ini. Untuk mengantisipasi perkembangan
kawasan pesisir, maka penataan lahan perlu dilakukan dengan pendekatan
evaluasi lahan sehingga pengembangannya sesuai dengan kemampuan lahan
dengan tetap mempertahankan kelestarian lingkungan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi karakteristik fisik, finansial usaha tani dan mengevaluasi
kesesuaian lahan untuk pertanian khususnya tanaman cabai merah, melon dan
semangka. Hasil identifikasi karakteristik fisik menunjukkan bahwa daerah
penelitian bertopografi datar sampai berombak dengan kondisi tanah relatif subur
dengan order Inceptisol, Alfisol, Mollisol dan Vertisol. Sekitar 75% dari sebanyak
32.442 rumah tangga di kawasan ini berprofesi sebagai petani atau buruh tani.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa, cabai merah menjadi komoditas basis di
Kecamatan Temon, Wates dan Panjatan, sedangkan melon dan semangka
menjadi komoditas basis di Kecamatan Galur. Analisis kesesuaian lahan untuk
ketiga komoditas tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar lahan termasuk
sesuai (S2) dengan faktor pembatas utama kelebihan curah hujan tahunan. Oleh
karena itu pengaturan pola tanam dan manajemen air menjadi kunci pokok
suksesnya usaha tani cabai merah, melon dan semangka. Hasil analisis finansial
menunjukkan bahwa usaha tani cabai merah, melon dan semangka adalah layak
untuk diusahakan. Luas lahan yang berpotensi untuk pengembangan ketiga
komoditas tersebut adalah 5.617,9 ha. Berdasarkan berbagai hasil analisis
tersebut di atas maka pengembangan komoditas cabai merah diarahkan di
wilayah Kecamatan Temon, Wates, Panjatan dan sebagian Kecamatan Galur
pada existing landuse, rumput, sawah, ladang dan belukar; sedangkan
komoditas melon dan semangka diarahkan ke Kecamatan Galur terutama pada
existing landuse sawah.
KESESUAIAN LAHAN DAN PERENCANAAN
PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI KAWASAN
PESISIR KABUPATEN KULON PROGO, YOGYAKARTA

ARIF MARTONO

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Perencanaan Wilayah (PWL)

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Tesis : Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Penggunaan Lahan
untuk Pertanian di Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon
Progo, Yogyakarta
Nama : Arif Martono
NIM : A-253050104

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suwardi, M.Agr. Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc.
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian: 2 Maret 2007 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas segala karunia dan hidayah-
Nya, karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini mengambil
judul Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Pertanian
di Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
Proses penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan dan
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis
menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Bapak Dr.
Ir. Suwardi, M.Agr. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Dwi Putro
Tejo Baskoro, M.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala motivasi,
arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga
penyelesaian tesis ini. Rasa terima kasih dan penghargaan juga penulis tujukan
kepada Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan kesempatan dan
fasilitas beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Institut
Pertanian Bogor. Kepada keluarga, teman dan semua pihak yang telah
memberikan motivasi dan dukungan bagi kelancaran penulisan tesis ini, penulis
ucapkan terima kasih.
Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca.
Amin.

Bogor, Maret 2007

Arif Martono
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 5 Maret 1968 sebagai putra


ketujuh dari delapan bersaudara, pasangan Bapak Safuan dan Almh. Ibu
Rodjiyah. Menikah dengan Ernawati Purwaningsih dan telah dikarunia tiga orang
anak bernama; Muhammad Nadhif Akbari, Talitha Syifa Zayyana, dan Nasywa
Yumna Khairunnisa.
Pendidikan SD dan SMP diselesaikan di Yogyakarta, SMA di Bantul,
sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Geografi Manusia
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, lulus pada tahun 1996.
Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2005 dan diterima di Program Studi
Perencanaan Wilayah, melalui fasilitas beasiswa dari Pusat Pembinaan,
Pendidikan dan Pelatihan Perencana, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Pusbindiklatren Bappenas).
Penulis sekarang bekerja sebagai staf di Bagian Pemerintahan, Sekretariat
Daerah Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta mulai tahun 2000. Pada tahun 1997
sampai dengan 2000 menjadi staf di Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah.
”M aka, sesungguhnya bersama dengan kesulitan itu
ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu
ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah: 5-6)

”Dan, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah


niscaya Allah akan menjadikan baginya jalan kemudahan
dalam urusannya.”
(QS. Ath-Thalaq: 4)
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………………………........ x
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………. xi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………......... xii
PENDAHULUAN …………………………………………………………………........ 1
Latar Belakang .............................................................................................. 1
Identifikasi dan Perumusan Masalah ............................................................ 3
Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………………… 5
Kesesuaian Lahan ………………………………………………………………. 5
Kawasan Pesisir …………………………………………………………………. 7
Analisis Spasial …………………………………………………………………... 8
Sistem Informasi Geografi ............................................................................. 10
METODE PENELITIAN ........................................................................................ 13
Kerangka Pendekatan Studi ......................................................................... 13
Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ 14
Pengumpulan Data ....................................................................................... 14
Analisis Data ................................................................................................. 14
Identifikasi karakteristik fisik, ekonomi, sosial-budaya, dan peman-
faatan lahan ............................................................................................ 15
Analisis sektor basis wilayah .................................................................. 15
Analisis kesesuaian lahan ...................................................................... 18
Analisis usaha tani ................................................................................. 19
Analisis perencanaan penggunaan lahan kawasan pesisir .................... 21
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………………………. 22
Karakteristik Fisik ………………………………………………………………… 22
Geografis …………………………………………………………………….. 22
Iklim …………………………………………………………………………… 23
Hidrologi ………………………………………………………………………. 26
Topografi ……………………………………………………………………… 28
Tanah …………………………………………………………………………. 28
Satuan lahan …………………………………………………………………. 32
Perekonomian Wilayah ………………………………………………………….. 34
Sosial dan Budaya ……………………………………………………………….. 37
Kependudukan……………………………………………………………….. 37
Pendidikan ……………………………………………………………………. 38
Kesehatan ……………………………………………………………………. 39
Kebudayaan …………………………………………………………………. 40
Pemanfaatan Lahan ……………………………………………………………... 41
Analisis Sektor Basis Wilayah ………………………………………………….. 47
Analisis Kesesuaian Lahan ……………………………………………............. 50
Analisis spasial kesesuaian lahan …………………………………………. 51
Integrasi analisis spasial kesesuaian lahan dengan penggunaan lahan
saat ini …………………………………….................................................. 55
Analisis usaha tani ........................................................................................ 58
Komoditas tanaman cabai merah ........................................................... 58
Komoditas tanaman melon dan semangka ………………………............ 60
Perencanaan Penggunaan Lahan Kawasan Pesisir ……………………........ 62
KESIMPULAN DAN SAR AN …………………………………………………………. 66
Kesimpulan ……………………………………………………………………….. 66
Saran ………………………………………………………………………........... 67
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 68

ix
DAFTAR TABEL

No. Halaman
1. Luas wilayah, jumlah desa dan dukuh di daerah penelitian ................... 23
2. Rata-rata curah hujan bulanan menurut kecamatan di daerah
penelitian periode tahun 1994-2004 ....................................................... 24
3. Jenis dan sifat tanah serta luasannya di daerah penelitian tahun 2003 31
4. Satuan lahan di daerah penelitian .......................................................... 34
5. Banyaknya rumah tangga dan penduduk di daerah penelitian tahun
2004 ....................................................................................................... 37
6. Banyaknya kelompok tani, anggota kelompok tani dan petani/buruh
tani di daerah penelitian tahun 2004 ...................................................... 38
7. Banyaknya sarana pendidikan di daerah penelitian tahun 2004 ............ 39
8. Banyaknya sarana dan tenaga kesehatan di daerah penelitian tahun
2004 ....................................................................................................... 40
9. Banyaknya perkumpulan seni musik di daerah penelitian ..................... 41
10. Luas masing-masing jenis penggunaan lahan menurut kecamatan di
daerah penelitian tahun 2004 ................................................................. 42
11. Rekapitulasi analisa LQ, LI dan SI untuk tanaman hortikultura dan
padi/palawija di daerah penelitian tahun 2004 ....................................... 49
12. Luas kesesuaian lahan untuk tanaman cabai merah, melon dan
semangka menurut di daerah penelitian ................................................ 53
13. Luas kesesuaian lahan tanaman cabai merah, melon dan semangka
menurut penggunaan lahan saat ini di daerah penelitian ...................... 56
14. Luas penggunaan lahan saat ini menurut kecamatan di daerah pene-
litian ........................................................................................................ 56
15. Luas existing areal tanam menurut kecamatan di daerah penelitian
tahun 2005 ............................................................................................. 56
16. Integrasi rata-rata curah hujan dan pola tanam (crop calender) usaha
tani tahunan menurut jenis penggunaan lahan saat ini di daerah
penelitian ................................................................................................ 57
17. Hasil perhitungan analisis finansial usaha tani cabai merah di daerah
penelitian ................................................................................................ 58
18. Hasil perhitungan analisis finansial usaha tani melon di daerah pene-
litian ........................................................................................................ 61
19. Hasil perhitungan analisis finansial usaha tani semangka di daerah
penelitian ................................................................................................ 61

x
DAFTAR GAMBAR

No. Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian ............................................................... 13
2. Diagram alir tahapan penelitian ............................................................. 15
3. Daerah penelitian .................................................................................. 23
4. Peta curah hujan rata-rata daerah penelitian ......................................... 25
5. Peta pola drainase daerah penelitian ..................................................... 27
6. Peta kelas lereng daerah penelitian ....................................................... 29
7. Peta tanah daerah penelitian ................................................................. 30
8. Peta satuan lahan daerah penelitian ..................................................... 33
9. Peta jaringan jalan daerah penelitian ..................................................... 36
10. Peta penggunaan lahan daerah penelitian ............................................ 43
11. Tanaman cabai merah tumbuh subur di tanah Entisol .......................... 44
12. Hamparan tanaman cabai merah di lahan semula existing landuse
rumput .................................................................................................... 44
13. ”Sumur renteng” di sela-sela tanaman cabai merah .............................. 45
14. Penyiraman langsung dari pipa paralon ................................................. 45
15. Mesin diesel kapasitas 2 PK untuk memompa air tanah ....................... 45
16. Pekerja perempuan melakukan penyiangan rumput .............................. 45
17. Tanaman semangka tumbuh subur di tanah Inceptisol ......................... 46
18. Tanaman cabai merah dengan penyela tanaman terung ...................... 46
19. Hasil panen cabai merah ....................................................................... 47
20. Hasil panen semangka ........................................................................... 47
21. Lahan ”tidur” di daerah penelitian .......................................................... 51
22. Peta kesesuaian lahan tanaman cabai merah, melon dan semangka
daerah penelitian .................................................................................... 54
23. Peta perencanaan penggunaan lahan untuk pertanian di kawasan
pesisir Kabupaten Kulon Progo .............................................................. 65

xi
DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman
1. Tabel kriteria kesesuaian untuk tanaman cabai merah ......................... 70
2. Tabel kriteria kesesuaian untuk tanaman semangka ............................ 70
3. Tabel analisis kesesuaian lahan untuk tanaman cabai merah masing-
masing satuan lahan di daerah penelitian ............................................. 71
4. Tabel analisis kesesuaian lahan untuk tanaman melon dan semangka
masing-masing satuan lahan di daerah penelitian ................................ 73
5. Tabel analisis LQ, LI dan SI terhadap komoditas subsektor pertanian
tanaman sayuran dan buah semusim di daerah penelitian ................... 75
6. Tabel analisis LQ, LI dan SI terhadap komoditas subsektor pertanian
tanaman padi/palawija di daerah penelitian .......................................... 76
7. Tabel input dan output usaha tani komoditas cabai merah per 2.000
m 2 di daerah penelitian tahun 2006 (selama 6 bulan) dengan harga
Rp. 2.000,00/kg ..................................................................................... 77
8. Tabel input dan output usaha tani komoditas cabai merah per 2.000
m 2 di daerah penelitian tahun 2006 (selama 6 bulan) dengan harga
Rp. 5.000,00/kg ..................................................................................... 79
9. Tabel input dan output usaha tani komoditas cabai merah per 2.000
m 2 di daerah penelitian tahun 2006 (selama 6 bulan) dengan harga
Rp. 10.000,00/kg ................................................................................... 81
10. Tabel input dan output usaha tani komoditas melon per 2.000 m 2 di
daerah penelitian tahun 2006 (selama 4 bulan) dengan harga
Rp. 750,00/kg ........................................................................................ 83
11. Tabel input dan output usaha tani komoditas melon per 2.000 m 2 di
daerah penelitian tahun 2006 (selama 4 bulan) dengan harga
Rp. 1.500,00/kg ..................................................................................... 85
12. Tabel input dan output usaha tani komoditas melon per 2.000 m 2 di
daerah penelitian tahun 2006 (selama 4 bulan) dengan harga
Rp. 2.000,00/kg ..................................................................................... 87
13. Tabel input dan output usaha tani komoditas semangka per 2.000 m 2
di daerah penelitian tahun 2006 (selama 4 bulan) dengan harga Rp.
500,00/kg ............................................................................................... 89
14. Tabel input dan output usaha tani komoditas semangka per 2.000 m 2
di daerah penelitian tahun 2006 (selama 4 bulan) dengan harga Rp.
1.000,00/kg ............................................................................................ 91
15. Tabel input dan output usaha tani komoditas semangka per 2.000 m 2
di daerah penelitian tahun 2006 (selama 4 bulan) dengan harga Rp.
1.250,00/kg ............................................................................................ 93
16. Kuesioner usaha tani komoditas cabai merah, melon dan semangka .. 95

xii
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pembangunan adalah suatu proses untuk meningkatkan taraf kehidupan
manusia melalui berbagai langkah dan interaksi baik antara manusia maupun
antara manusia dengan lingkungannya. Todaro (2000) menyatakan bahwa pem-
bangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan proses
sosial, ekonomi, dan institusional, mencakup usaha-usaha untuk memperoleh
kehidupan yang lebih baik. Proses multidimensional karena tidak saja sasaran-
nya yang mencakup ketiga proses tersebut, namun juga ketiganya secara bersa-
ma akan saling mempengaruhi satu sama lain.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah memiliki dua dimensi penting bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon
Progo dalam membangun daerah. Di satu sisi undang-undang tersebut ber-
dimensi peluang, yaitu memberi kewenangan yang luas bagi daerah untuk meng-
gali dan memberdayakan seluruh potensi yang ada di wilayahnya. Di sisi lain
undang-undang tersebut berdimensi tantangan, karena dibutuhkan kreativitas,
kerja keras dan “effort” yang tinggi untuk mengimplementasikannya, disamping
harus bersaing dengan daerah lainnya dalam memperebutkan investasi-investasi
yang diperlukan dalam pembangunan. Situasi ini telah mendorong Pemerintah
Daerah Kabupaten Kulon Progo terus berupaya menggerakkan seluruh kemam-
puan dan potensi sumberdaya yang dimilikinya, termasuk didalamnya sumber-
daya pesisir.
Berdasarkan kondisi topografi wilayahnya yang cukup beragam mulai dari
wilayah perbukitan dengan lereng cukup curam hingga wilayah pesisir yang
memiliki lereng landai, maka strategi kebijakan pengembangan wilayah Kabu-
paten Kulon Progo dibagi dalam tiga zona. Zona utara, dengan topografi berbukit
dan sebagian besar wilayah berlereng curam diarahkan untuk kawasan konser-
vasi dan budidaya terbatas. Zona tengah, dengan topografi relatif datar diarah-
kan untuk kawasan permukiman, budidaya (industri, perdagangan, jasa, pertani-
an), dan pemerintahan. Zona selatan, yang memiliki topografi wilayah dari datar
hingga landai, diarahkan untuk kawasan permukiman, budidaya (perikanan, pari-
wisata, jasa, dan pertanian), pemerintahan dan sebagian kawasan konservasi.
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir pembangunan di zona selatan, dimana
sebagian wilayahnya berupa kawasan pesisir, menunjukkan perkembangan yang
cukup pesat. Dengan batasan pengertian bahwa yang dimaksud ”kawasan pesi-
2

sir” adalah wilayah dari titik pasang tertinggi air laut ke arah darat hingga batas
administratif kecamatan-kecamatan pesisir maka tidak kurang dari 85% wilayah
zona selatan ini termasuk dalam kawasan pesisir. Oleh karena itu, sudah sewa-
jarnya jika strategi pembangunan yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten
Kulon Progo terutama diarahkan untuk pengembangan sektor perikanan, pertani-
an, dan pariwisata, mengingat potensinya yang cukup besar namun belum tergali
dan termanfaatkan secara optimal.
Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo menyadari bahwa kawasan
pesisir merupakan salah satu sumberdaya yang potensial dikembangkan untuk
kemajuan pembangunan daerah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Dahuri et al.
(1996) bahwa wilayah pesisir merupakan lokasi yang strategis untuk kegiatan
berbagai sektor dalam bidang ekonomi antara lain seperti; pariwisata bahari, in-
dustri perkapalan, pelabuhan transportasi, perikanan budidaya dan tangkap, per-
tambangan, kawasan konservasi, dan lain sebagainya.
Beragamnya sumberdaya alam kawasan pesisir memberi daya tarik yang
besar untuk berbagai penggunaan oleh masyarakat yang pada gilirannya dapat
mempengaruhi lingkungan ekologisnya. Selain itu ketersediaan sumberdaya ka-
wasan pesisir juga sangat terbatas. Oleh karenanya diperlukan strategi pengelo-
laan yang tepat bagi kelestarian lingkungan hidup agar tercipta kemampuan yang
serasi dan seimbang untuk mendukung keberlanjutan kehidupan manusia.
Realitas kawasan pesisir yang demikian dinamis memerlukan suatu penge-
lolaan yang khusus dan terpadu dalam mengakomodasikan berbagai kepenting-
an stakeholders, sekaligus tetap terjaga dan terpeliharanya lingkungan ekosistem
wilayah secara berkelanjutan. Dengan demikian dalam penyusunan arahan pe-
ngembangannya perlu dirumuskan suatu rencana pengelolaan dengan pende-
katan keruangan yang dapat mengakomodasikan kepentingan stakeholders.
Sebagaimana Ellsworth et al. (1997) yang menegaskan bahwa, sesungguhnya
pendekatan dalam perencanaan dan pengelolaan pesisir secara terpadu harus
melibatkan seluruh stakeholders, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah ter-
masuk masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut.
Rencana pengelolaan kawasan pesisir muaranya adalah peningkatan kese-
jahteraan masyarakat dan keberlanjutan sumberdaya dan ekosistem pesisir.
Harapan ini akan lebih realistis dan dapat dipertanggungjawabkan apabila dalam
penetapan pengembangan dan pengelolaan kawasan pesisir adalah berdasar-
3

kan “kesesuaian lahan”, yang dikaji secara ilmiah dengan tetap mempertimbang-
kan kebutuhan dan dinamika masyarakat yang tinggal didalamnya.
Mengingat penduduk yang tinggal di kawasan pesisir ini sebagian besar
petani dengan usaha tani dominan adalah komoditas; cabai merah, melon dan
semangka, maka penelitian ini bertujuan membuat perencanaan ruang kawasan
pesisir Kabupaten Kulon Progo untuk pertanian dengan komoditas; cabai merah,
melon dan semangka.

Identifikasi dan Perumusan Masalah


Kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo mempunyai karakteristik khusus,
karena memiliki sumberdaya alam, aspek lingkungan dan budaya yang unik.
Karakteristik unik yang dimilikinya adalah; (1) bentuk lahan (landform) pesisirnya
relatif landai, (2) sebagian besar penduduk yang bermukim di kawasan pesisir
Kulon Progo adalah petani dan sedikit sekali yang berprofesi sebagai nelayan,
(3) sebagian kecil lahan kawasan pesisir telah dimanfaatkan untuk pertanian
dengan komoditas; cabai merah, melon dan semangka dan mampu menghasil-
kan panen sangat bagus, (4) air tanah relatif dangkal dengan kualitas baik (be-
rasa tawar dan belum terjadi intrusi air laut), dan (5) terdapat lahan-lahan tidur
cukup luas yang belum termanfaatkan untuk berbagai penggunaan.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa; (1) pertanian masih menjadi mata
pencaharian utama di kawasan pesisir, (2) perlunya analisis kesesuaian lahan
untuk pengembangan pertanian, (3) analisis finansial usaha tani diperlukan untuk
melihat kemampuan sektor pertanian sebagai sumber nafkah utama rumah
tangga petani, dan (4) perlu adanya arahan pengelolaan kawasan pesisir yang
ideal (mampu mempertemukan antara budaya masyarakat/stakeholders dengan
kemampuan dan status ekosistem sumberdaya secara ilmiah) sehingga dapat
meminimalisir pemanfaatan yang irasional dan tidak terkendali.
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang terdapat di wilayah
studi dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah karakteristik fisik, finansial usaha tani dan pemanfaatan lahan
di kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo?
2. Apakah pemanfaatan ruang kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo saat ini
sudah sesuai dengan kesesuaian lahan untuk pertanian?
3. Strategi apa yang sebaiknya dilakukan dalam perencanaan penggunaan
lahan untuk pertanian di kawasan pesisir di Kabupaten Kulon Progo?
4

Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi karakteristik fisik, finansial usaha tani dan pemanfaatan
lahan di kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo.
2. Mengevaluasi kesesuaian lahan kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo
untuk pertanian, khususnya tanaman; cabai merah, melon dan semangka.
3. Memberikan alternatif perencanaan penggunaan lahan untuk pertanian di
kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.

Manfaat penelitian ini adalah diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan


dan bahan pertimbangan dalam penyusunan ataupun penyempurnaan kebijakan
dan rencana strategis pemanfaatan lahan di kawasan pesisir Kabupaten Kulon
Progo.
TINJAUAN PUSTAKA

Kesesuaian Lahan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidro-
logi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggu-
naannya termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik
pada masa lalu maupun masa sekarang (FAO, 1976).
Menurut FAO (1976) beberapa ahli mengemukakan bahwa istilah “capabi-
lity” atau kemampuan dan “suitability” atau kesesuaian, merupakan dua istilah
yang mempunyai arti sama sehingga dapat saling menggantikan. Namun demi-
kian, pengertian yang umum dianut dewasa ini adalah bahwa “kemampuan la-
han” (land capability) berarti potensi lahan untuk penggunaan pertanian secara
umum, sedangkan istilah “kesesuaian lahan” (land suitability) berarti potensi la-
han untuk penggunaan jenis tanaman tertentu. Dengan demikian “kesesuaian la-
han” adalah kecocokan suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan (jenis tanaman
dan tingkat pengelolaan) tertentu.
Kesesuaian lahan dilakukan untuk tujuan evaluasi lahan yaitu menentukan
nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan tertentu. Dalam kaitan ini FAO (1976)
menyatakan dalam evaluasi lahan perlu juga memperhatikan aspek ekonomi,
sosial, serta lingkungan dan berkaitan dengan perencanaan tata guna tanah.
Dalam tahapan evaluasi lahan, pertama harus ditetapkan tujuan yang jelas
mengapa evaluasi lahan itu dilakukan. Selanjutnya menentukan faktor-faktor
yang digunakan sebagai penciri, dimana faktor-faktor tersebut harus merupakan
sifat-sifat yang dapat diukur atau ditaksir dan erat hubungannya dengan tujuan
evaluasi. Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan
kualitas lahan masing-masing satuan lahan dengan persyaratan penggunaan la-
han yang akan diterapkan.
Pendekatan dalam evaluasi lahan dapat dilalukan melalui dua cara (FAO,
1976), yaitu:
1. Pendekatan dua tahap (two stage approach)
Tahap pertama dari pendekatan ini adalah merupakan evaluasi lahan
secara kualitatif, sedangkan tahap kedua (kadang-kadang tidak dilakukan)
terdiri dari analisa ekonomi dan sosial. Pendekatan dua tahap ini sering dila-
kukan untuk evaluasi perencanaan penggunaan lahan secara umum dalam
tingkat survai tinjau.
6

Klasifikasi kemampuan lahan dalam tahap pertama didasarkan pada


kecocokan lahan untuk penggunaan tertentu. Peranan analisa ekonomi dan
sosial dalam tahap ini terbatas pada pengecekan terhadap relevansi tipe
penggunaan lahan yang akan diterapkan. Setelah tahap pertama selesai dan
hasilnya disajikan dalam bentuk peta dan laporan, maka tahap kedua yaitu
analisa ekonomi dan sosial dapat dilakukan segera atau beberapa waktu
kemudian. Pendekatan dua tahap ini lebih sistematis karena memiliki ke-
giatan yang jelas terpisah. Survai tanah fisik dilakukan lebih dulu, baru kemu-
dian survai dan analisa ekonomi-sosial, sehingga memungkinkan penjadwal-
an kegiatan dan penggunaan staf.
2. Pendekatan paralel (parallel approach)
Pendekatan paralel merekomendasikan analisa ekonomi dan sosial ter-
hadap jenis penggunaan lahan yang direncanakan dilakukan secara bersa-
maan dengan analisa sifat-sifat fisik dan lingkungan dari lahan tersebut. Hasil
pendekatan ini biasanya memberi petunjuk mengenai modifikasi penggunaan
lahan untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Pendekatan paralel di-
harapkan dapat memberi hasil yang lebih tepat dalam waktu yang lebih
cepat. Cara ini memberi kemungkinan yang lebih baik untuk memusatkan
kegiatan survai dan pengumpulan data pada keterangan-keterangan yang
diperlukan untuk evaluasi.
Ada berbagai sistem evaluasi kesesuaian lahan yang umum dipakai, yaitu;
1. Sistem USDA atau sering juga dikenal sistem Klingebiel dan Montgomery
(1961) dimana dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesama-
an besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah (lahan) dikelompokkan ke da-
lam kelas I sampai kelas VIII, dimana semakin tinggi kelas berbanding lurus
dengan kualitas lahan yang semakin jelek. Ini berarti resiko kerusakan dan
besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan penggunaan lahan yang
dapat diterapkan semakin terbatas.
2. Sistem FAO (1976) membagi kesesuaian lahan menjadi 4 (empat) kategori,
yaitu; ordo, kelas, sub kelas, dan unit. Kesesuaian lahan tingkat ordo dan
kelas biasanya digunakan dalam pemetaan tanah tinjau, sub kelas untuk pe-
metaan tanah semi detail, dan unit biasanya digunakan untuk pemetaan
skala detail (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).
7

Kawasan Pesisir
Berbagai pengertian dan batasan mengenai istilah “pesisir” telah dikemuka-
kan oleh para ahli. Namun dari semua pendapat tersebut tidak ada yang diang-
gap paling benar, karena penggunaan pengertian dan batasan tersebut dapat
dianggap benar apabila sesuai dengan tujuan penelitian atau kajian yang akan
dilakukan.
Pengertian wilayah pesisir menurut Bakosurtanal (1990) dalam Sutikno
(1999) adalah suatu jalur saling pengaruh antara darat dan laut, yang memiliki
ciri geosfer yang khusus, ke arah darat dibatasi oleh pengaruh sifat fisik laut dan
sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah laut dibatasi oleh proses alami serta
akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan di darat. Batas wilayah pesisir arah
ke daratan tersebut ditentukan oleh; (a) pengaruh sifat fisik air laut, yang ditentu-
kan berdasarkan seberapa jauh pengaruh pasang air laut, seberapa jauh flora
yang suka akan air akibat pasang tumbuh (water loving vegetation) dan seberapa
jauh pengaruh air laut ke dalam air tanah tawar, dan (b) pengaruh kegiatan baha-
ri (sosial), seberapa jauh konsentrasi ekonomi bahari (desa nelayan) sampai ke
arah daratan.
Menurut Aprilani (1986) dalam Pethic (1988) yang dimaksud dengan wila-
yah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan laut. Bird (1969) berpen-
dapat bahwa wilayah pesisir adalah mintakat yang lebarnya bervariasi, yang
mencakup tepi laut (shore) yang meluas ke arah daratan hingga batas pengaruh
marine masih dirasakan. Apabila batasan yang dikemukakan Aprilani dan Bird
dipadukan maka mirip dengan pengertian pesisir yang dikemukakan oleh Bako-
surtanal tersebut di atas.
Pandangan yang lebih moderat dikemukakan oleh Dahuri et al. (1996) bah-
wa batas wilayah pesisir umumnya berdasarkan tiga kriteria. Pertama, garis linier
secara arbitrer tegak lurus terhadap garis pantai (coastline atau shoreline).
Kedua, batas-batas administrasi dan hukum. Ketiga, karakteristik dan dinamika
ekologis (biofisik), yaitu atas dasar sebaran spasial dari karakteristik alamiah
(natural features) atau kesatuan proses-proses ekologis, seperti aliran air sungai,
migrasi biota, dan pasang surut. Contoh batas satuan pengelolaan wilayah pesi-
sir menurut kriteria ketiga ini adalah batasan menurut daerah aliran sungai
(catchment area atau watershed).
Batas wilayah atas dasar kriteria ekologi, sekalipun dianggap mengikuti
kaidah-kaidah konservasi, tidak dapat diberlakukan. Akibatnya para perencana
8

dan pengelola cenderung memilih batasan wilayah pesisir menurut kriteria garis
lurus secara arbitrer dan administratif (Nugroho dan Dahuri, 2004). Contoh nyata
dari penerapan kriteria ini adalah Proyek MREP (Marine Resource Evaluation
and Planning atau Perencanaan dan Evaluasi Sumberdaya Kelautan) menetap-
kan batas ke arah laut suatu wilayah pesisir untuk keperluan praktis proyek
adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam peta Lingkungan Pantai
Indonesia (LPI) skala 1:50.000 yang telah diterbitkan Badan Koordinasi dan
Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), sedangkan batas ke arah darat mencakup
batas administratif seluruh desa pantai (Dahuri et al., 1996).
Lingkungan pesisir merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan,
karena daerah tersebut menjadi tempat bertemunya dua kekuatan, yaitu berasal
dari daratan dan dari laut. Perubahan lingkungan pesisir dapat terjadi secara
lambat hingga sangat cepat, tergantung pada imbang daya antara topografi,
batuan dan sifat-sifatnya dengan gelombang, pasang surut dan angin. Perubah-
an lingkungan pesisir sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat lain-
nya, sehingga kajian keruangan dari lingkungan pesisir diperlukan dalam rangka
pengelolaannya.
Lingkungan pesisir perlu dikelola dengan baik mengingat fungsinya dalam
kehidupan manusia sangat besar sejak jaman dahulu hingga jaman sekarang
bahkan di masa mendatang. Selanjutnya Sutikno (1999) menyatakan, berhubung
perubahan wilayah pesisir pasti terjadi maka dalam pemanfaatan pesisir sedapat
mungkin menyesuaikan dengan karakteristiknya. Pendekatan satuan lahan (land
unit) dapat diterapkan untuk identifikasi permasalahan lingkungan pesisir dan
mengevaluasinya.

Analisis Spasial
Pengertian analisa spasial dipahami secara berbeda antara ilmuwan geo-
grafi dengan ilmuwan berlatar belakang sosial (termasuk ekonomi). Perbedaan
keduanya bersumber dari perbedaan dalam dua hal, pertama perbedaan penger-
tian kata “spasial” atau ruang itu sendiri dan kedua perbedaan fokus kajiannya
(Rustiadi et al., 2005). Dari pandangan geografi, pengertian spasial adalah
pengertian yang bersifat rigid (kaku), yakni segala hal yang menyangkut lokasi
atau tempat. Definisi suatu “tempat” atau lokasi dalam sudut pandang geografis
sangat jelas, tegas dan lebih terukur karena setiap lokasi di atas permukaan
bumi dalam ilmu geografi dapat diukur secara kuantitatif. Fokus kajian para ahli
9

geografi tertuju pada cara mendeskripsikan fakta, atau dengan kata lain lebih
memfokuskan pada aspek “apa” (what), “bagaimana” (why), dan bahkan “dima-
na” (where) yang terjadi di atas permukaan bumi. Domain kajian ilmu geografi
lebih banyak menekankan pada bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial,
oleh karenanya ilustrasi-ilustrasi spasial dengan “peta” yang memiliki akurasi
informasi spasial didalamnya sangat penting. Analisis mengenai pola-pola spa-
sial (pemusatan, penyebaran, kompleksitas spasial, dan lainnya), kecenderungan
spasial, bentuk-bentuk dan struktur interaksi spasial secara deskriptif menjadi
kajian yang banyak mendapat perhatian ahli geografi. Semuanya dikaji tanpa
harus mendalami permasalahan sosial ekonomi yang ada di dalamnya.
Dalam kerangka konsep geografis, analisis spasial telah lama dikembang-
kan oleh para ahli geografi untuk memenuhi kebutuhan pemodelan dan analisa
data spasial. Bailey (1995) dalam Rustiadi et al. (2005) mendefinisikan analisis
spasial sebagai upaya memanipulasi data spasial ke dalam bentuk-bentuk dan
mengekstrak pengertian-pengertian tambahan sebagai hasilnya. Analisis data
spasial berbeda dengan spatial summarization of data. Spatial summarization of
data dilakukan untuk menciptakan fungsi dasar pengambilan informasi spasial
secara selektif di suatu areal dengan pendekatan komputasi, tabulasi atau peme-
taan dari berbagai statistik informasi yang dimaksudkan.
Analisis spasial lebih terfokus pada kegiatan investigasi pola-pola dan ber-
bagai atribut atau gambaran di dalam studi kewilayahan dan dengan mengguna-
kan permodelan berbagai keterkaitan untuk meningkatkan pemahaman dan
prediksi atau peramalan. Lebih lanjut Haining (1995) dalam Rustiadi et al. (2005)
mendefinisikan analisis spasial sebagai sekumpulan teknik-teknik untuk peng-
aturan spasial dari kejadian-kejadian tersebut. Kejadian geografis (geographical
event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlo-
kasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-nilai atribut. Dengan
demikian analisis spasial membutuhkan informasi baik berupa nilai-nilai atribut
maupun lokasi-lokasi geografis obyek-obyek dimana atribut-atribut melekat di
dalamnya.
Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis,
tujuan analisis spasial adalah:
1. mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruang geografis (termasuk des-
kripsi pola) secara cermat dan akurat.
10

2. menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau
obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses
yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi.
3. meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadian-
kejadian di dalam ruang geografis.
Berdasarkan atas aplikasinya, Fischer et al. (1996) dalam Rustiadi et al.
(2005) menyatakan bahwa model spasial digunakan untuk tiga tujuan, yaitu;
pertama, peramalan dan penyusunan skenario, kedua, analisis dampak terhadap
kebijakan, dan ketiga, adalah penyusunan kebijakan dan desain.
Data spasial atau data yang mempunyai referensi geografis, visualisasi
digunakan untuk membuktikan hipotesis-hipotesis mengenai pola atau penge-
lompokkan di dalam ruang geografis serta mengenai peranan lokasi terhadap
aktivitas manusia dan sistem lingkungannya (Mac Eachren, 1995 dalam Rustiadi
et al. 2005). Disamping perkembangan metode-metode analisis spasial, peranan
Sistim Informasi Geografis (SIG) di dalam visualisasi data spasial akhir-akhir ini
semakin signifikan. Menurut Getis (1995) dalam Rustiadi et al. (2005), tujuan
utama SIG adalah pengelolaan data spasial. SIG mengintegrasikan berbagai
aspek pengelolaan data spasial seperti pengolahan database, algoritma grafis,
interpolasi, zonasi, dan network analysis.

Sistim Informasi Geografi (SIG)


Sistim Informasi Geografis (SIG) mempunyai peran yang semakin penting
dalam berbagai aspek kehidupan dewasa ini. Melalui SIG berbagai macam
informasi dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisa serta dikaitkan dengan letak-
nya di muka bumi. Menurut Danudoro (2006) SIG tumbuh sebagai respon atas
kebutuhan akan pengelolaan data keruangan yang lebih efisien dan mampu
menyelesaikan masalah-masalah keruangan. Secara garis besar, perkembangan
SIG dipicu oleh setidak-tidaknya tiga hal utama, yaitu; (a) perkembangan tekno-
logi komputer dan sistem informasi, (b) perkembangan metode analisis spasial di
bidang geografi dan ilmu keruangan lainnya, dan (c) tuntutan kebutuhan aplikasi
yang menginginkan kemampuan pemecahan masalah di bidang masing-masing,
yang terkait dengan aspek keruangan (spasial).
Pengertian SIG sendiri telah diuraikan oleh banyak ahli dan memiliki arti
yang relatif sama. Barus dan Wiradisastra (2000), menyatakan SIG adalah suatu
sistim informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi
11

spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu
sistim basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi
spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Sedangkan Aronoff (1989)
dalam Dulbahri (2003) menyebutkan bahwa SIG adalah sistim informasi yang
mendasarkan pada kerja dasar komputer yang mampu memasukkan, mengelola,
memanipulasi dan menganalisis data serta memberi uraian. Pernyataan Aronoff
sejalan dengan pernyataan Danudoro (2006) bahwa SIG adalah sebuah sistim
untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan
penayangan data; yang mana data tersebut secara keruangan (spasial) terkait
dengan muka bumi.
Berdasarkan berbagai pengertian SIG, tercermin adanya pemrosesan data
keruangan dalam bentuk pemrosesan data numerik. Pemrosesan yang menda-
sarkan pada kerja mesin, dalam hal ini komputer yang mempunyai persyaratan
tertentu. Data sebagai masukan harus dalam bentuk numerik, artinya data ma-
sukan apapun bentuknya harus diubah menjadi angka digital, sedangkan data
lain adalah data atribut (Dulbahri, 2003).
Komponen utama SIG terbagi dalam empat kelompok yaitu perangkat
keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pemakai. Porsi masing-
masing komponen tersebut berbeda dari satu sistim ke sistim lainnya, tergantung
dari tujuan dibuatnya SIG (Barus dan Wiradisastra, 2000). Fasilitas perangkat
lunak SIG digital pada dasarnya dapat dirinci menjadi tiga sub sistem yang saling
terkait, yaitu; (1) sub sistem pemasukan data, (2) sub sistem pemrosesan data,
dan (3) sub sistem output data. Sementara itu, Chang (2002) membagi SIG ke
dalam komponen-komponen berikut; (a) sistem komputer meliputi perangkat ke-
ras dan sistem operasinya, (b) perangkat lunak SIG yang meliputi program dan
user interface untuk mengendalikan perangkat keras, (c) brainware untuk pe-
ngendalian aspek tujuan, manfaat, alasan dan justifikasi dalam penggunaan SIG,
dan (d) infrastruktur yang mencakup lingkungan fisik, organisasional, adminis-
tratif, serta kultural untuk mendukung mendukung operasi SIG, yang juga meli-
puti ketrampilan, standarisasi, data clearinghouse, serta pola organisasional.
Salah satu isu utama dalam SIG adalah pemodelan spasial. Pemodelan
spasial digunakan untuk memodelkan dunia nyata (real world), dan hal ini dimak-
sudkan untuk menyelesaikan masalah lingkungan atau kewilayahan. Danudoro
(2006) menyatakan terdapat lima macam model dalam SIG yang biasanya digu-
nakan untuk pemodelan lingkungan dan kewilayahan, yaitu:
12

(1) Model biner, yang bertumpu pada logika biner (boolean logic) pada peng-
ambilan keputusan masuk-tidaknya (atau memenuhi-tidaknya) suatu informa-
si digunakan pada tahap proses selanjutnya. Karena dasar pengambilan ke-
putusan adalah logika biner (ya atau tidak), risiko kekeliruan pada penentuan
nilai/kondisi ambang (threshold) juga cukup tinggi. Model ini biasanya hanya
sesuai diterapkan pada skala kecil, di mana tidak tersedia cukup informasi
rinci sebagai dasar pengambilan keputusan. Model biner dapat diterapkan
dengan SIG vektor maupun raster,
(2) Model indeks, melibatkan penggunaan skor untuk setiap kategori yang ber-
beda dalam suatu peta tematik. Tumpangsusun peta-peta dengan model in-
deks biasanya akan melibatkan proses kalkulasi aritmetik, baik penjumlah-
an, pengurangan, perkalian atau pembagian. Indeks atau skor akhir yang di-
miliki oleh satuan-satuan pemetaan baru pada peta turunan (peta baru) akan
menggambarkan kondisi atau performa gabungan dari berbagai kriteria, yang
dijadikan dasar pengambilan keputusan. Model ini dapat diterapkan pada SIG
vektor maupun raster,
(3) Model regresi, merupakan model yang memanfaatkan persamaan regresi
untuk mengubah nilai pada peta menjadi nilai baru yang menggambarkan
suatu kecenderungan (trend) fenomena tertentu. Model ini biasa diterapkan
pada SIG raster, di mana nilai piksel diubah melalui persamaan regresi, dan
peta raster berubah menjadi peta kuasi-kontinyu nilai kuantitatif,
(4) Model proses, adalah model yang menggunakan pengetahuan mengenai
proses lingkungan di dunia nyata ke dalam suatu himpunan persamaan untuk
mengkuantifikasi proses tersebut. Model ini lebih efektif dijalankan dalam
lingkungan SIG raster, khususnya apabila datanya bersifat kuasi-kontinyu,
dan
(5) Model jaringan, merupakan jenis pemodelan SIG yang hanya dapat dijalan-
kan pada SIG vektor yang mempunyai struktur topologi (topological vector).
Struktur topologi dalam data vektor itu secara eksplisit menyatakan hubungan
antar-entitas spasial dalam peta; titik (point), garis (arc) dan area (polygon).
METODE PENELITIAN

Kerangka Pendekatan Studi


Penatagunaan lahan kawasan pesisir di Kabupaten Kulon Progo didasar-
kan pada karakteristik fisik, finansial usaha tani dan pemanfaatan saat ini. Karak-
teristik fisik adalah kondisi sumberdaya alam kawasan menurut parameter fisik
dan biotik yang berinteraksi satu sama lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh
manusia untuk kelangsungan hidupnya. Karakteristik finansial usaha tani adalah
kemampuan manusia dalam mengekspoitasi sumberdaya alam secara lestari
untuk pemanfaatannya yang berkelanjutan. Sedangkan pemanfaatan saat ini
adalah penggunaan lahan existing yaitu antara lain kegiatan; perikanan, pari-
wisata, pertanian, perdagangan/jasa, permukiman, dan sebagainya.
Selanjutnya dengan menggunakan kriteria kesesuaian lahan, dilakukan
analisis terhadap ketiga karakteristik untuk memberikan alternatif penggunaan
lahan kawasan pesisir untuk pertanian yang sesuai dengan kondisi sumberdaya
alam dan kebutuhan manusia dalam konteks pembangunan berwawasan ling-
kungan dan berkelanjutan. Selengkapnya Gambar 1 menunjukkan pendekatan
yang digunakan dalam studi ini.

Kawasan Pesisir
Kabupaten Kulon Progo

Karakte- Karakte-
ristik Pemanfaatan/Penggunaan ristik
Fisik Lahan Saat Ini Finansial
Usaha Tani

Kriteria Kesesuaian Lahan


Fisik dan Finansial Usaha Tani

Perencanaan Penggunaan
Lahan Kawasan Pesisir

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendekatan “kesesuaian lahan”


dapat digunakan untuk membuat perencanaan penggunaan lahan untuk perta-
nian (khususnya komoditas hortikultura) di kawasan pesisir secara terpadu dan
berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi penting untuk
14

meminimalisir terjadinya degradasi lingkungan akibat dari perkembangan kota


yang tidak terarah (urban sprawl).

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo yang men-
cakup 4 (empat) kecamatan yaitu; Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, dan
Galur. Penelitian dan pengolahan data berlangsung selama 6 (enam) bulan
dimulai pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Desember 2006.

Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari data fisik, ekonomi, sosial dan budaya.
Data fisik meliputi; peta lereng (Shuttle Radar Topographic Mapper/SRTM) skala
1:100.000, peta tanah (BPTP Yogyakarta) skala 1:50.000, peta administrasi, ja-
lan dan penggunaan lahan (Bappeda Kabupaten Kulon Progo dan South Java
Flood Control Sector Project/SJFCSP Yogyakarta) skala 1:50.000, peta drainase
skala 1:50.000 dan data curah hujan (Dinas Pertanian dan Kelautan Kabupaten
Kulon Progo). Data sosial budaya meliputi; kependudukan, pendidikan, kesehat-
an, sarana prasarana, dan kesenian (BPS Kabupaten Kulon Progo). Keseluruhan
data fisik dan sosial budaya merupakan data sekunder. Data ekonomi meliputi;
modal, tenaga kerja, biaya produksi, dan jumlah produksi usaha tani; cabai
merah, melon dan semangka diperoleh melalui wawancara langsung dengan
sebanyak 15 petani sebagai responden yang ada di daerah penelitian.

Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini, meliputi; (a) identifikasi
karakteristik fisik, ekonomi, sosial budaya dan pemanfaatan lahan kawasan
pesisir, (b) analisis sektor basis wilayah dengan metode Location Quetient (LQ),
(c) analisis kesesuaian lahan secara spasial dengan memanfaatkan kemampuan
Sistim Informasi Geografi (SIG), dan (d) analisis finansial usaha tani. Selanjutnya
dengan menggabungkan keseluruhan hasil analisis tersebut, dirumuskan peren-
canaan penggunaan lahan wilayah pesisir. Gambar 2 di bawah ini menunjukkan
diagram alir tahapan penelitian.
15

Karakteristik Fisik
- Peta lereng
Karakteristik Karakteristik
- Peta curah hujan
Ekonomi Sosial
- Peta tanah
Budaya

overlay

Satuan Lahan Persyaratan


(Land Units) Penggunaan Analisis
Lahan Location Finasial
Quetient (BCR, IRR,
matching (LQ ) NPV)

Kesesuaian Peta Penggunaan


Lahan untuk Lahan Saat Ini
Hortikultura

Sektor
overlay Basis Analisis
Wilayah Usaha Tani

Sesuai Tidak Sesuai

PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN PESISIR

Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian.

Identifikasi karakteristik fisik, ekonomi, sosial-budaya, dan pemanfaatan


lahan

Identifikasi karakteristik fisik, ekonomi, sosial-budaya, dan pemanfaatan la-


han dilakukan secara deskriptif. Dengan demikian keseluruhan karakteristik fisik,
ekonomi, sosial-budaya, dan pemanfaatan lahan di daerah penelitian dijelaskan
secara lengkap sesuai data dan fakta yang ada di lapangan.

Analisis sektor basis wilayah


Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah sangat tergantung dari
keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis
setiap sektor di dalam memacu dan menjadi pendorong utama (prime mover)
pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda.
Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu
sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses peme-
nuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan
16

impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan
jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar daerah. Sedangkan
sektor nonbasis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani
pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum
berkembang.
Untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan basis dan
nonbasis dapat digunakan metode Location Quotient (LQ), yang merupakan per-
bandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih
luas dalam suatu wilayah (Rustiadi et al.,2005). Asumsi dalam LQ adalah terda-
pat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi dan produktivitas
tenaga kerja seragam serta masing-masing industri menghasilkan produk atau
jasa yang seragam. Berbagai dasar ukuran dalam pemakaian LQ harus disesuai-
kan dengan kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia. Jika pene-
litian dimaksudkan untuk mencari sektor yang kegiatan ekonominya dapat mem-
berikan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya maka dipakai sebagai dasar
ukuran adalah jumlah tenaga kerja, sedangkan jika hasil produksi apa yang
berperan dalam ekonomi wilayah maka jumlah hasil produksi yang dipilih sebagai
dasar ukurannya. Secara matematis formula LQ adalah sebagai berikut:

Xij Xi .
LQij =
X . j X ..

Keterangan:
LQij = Location Quotient
Xij = derajat aktifitas ke-j di wilayah ke-i.
Xi. = total aktifitas di wilayah ke-i.
X.j = total aktifitas ke-j di semua wilayah.
X.. = derajat aktifitas total wilayah.

Kriteria yang muncul dari perhitungan ini adalah:


§ jika LQ > 1 : sektor basis; artinya komoditas j di daerah penelitian memi-
liki keunggulan komparatif,
§ jika LQ = 1 : sektor nonbasis; artinya komoditas j di daerah penelitian
tidak memiliki keunggulan, produksinya hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan di daerah penelitian sendiri.
§ Jika LQ < 1 : sektor nonbasis; artinya komoditas j di daerah penelitian
tidak dapat memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri sehingga diperlu-
kan pasokan dari luar daerah.
17

Untuk lebih memperdalam analisis LQ selanjutnya dilakukan analisis Loca-


lization Index (LI) dan Specialization Index (SI). Analisis koefisien lokalisasi ( α )
merupakan ukuran relatif konsentrasi pengembangan komoditas tertentu di suatu
daerah dibandingkan dengan daerah yang lebih luas dengan besaran tertentu
(Warpani, 2000). Hasil perhitungan analisis LI akan menunjukkan apakah pe-
ngembangan suatu komoditas terkonsentrasi di daerah tertentu atau tersebar di
beberapa daerah. Atau secara umum analisis ini digunakan untuk menentukan
daerah mana yang potensial untuk mengembangkan komoditas tertentu. Secara
matematis formula LI adalah sebagai berikut:

α = 1 2∑ {( pi Pi ) − ( pt Pt )}× 100 %

Setelah diperoleh hasilnya maka hasil perhitungan bernilai positif saja yang
dijumlahkan searah dengan komoditas yang diselidiki, dengan kriteria sebagai
berikut:
§ jika 0 < α < 1, artinya pengusahaan komoditas i tersebut menyebar,
§ jika α > 1, artinya pengusahaan komoditas i tersebut terkonsentrasi di daerah
penelitian.
Analisis koefisien spesialisasi (β ) merupakan ukuran relatif suatu daerah

dalam melakukan pengkhususan untuk menanam komoditas tertentu dan dihi-


tung berdasarkan formula (Warpani, 2000):

β = 1 2∑ {( pi pt ) − ( Pi Pt )}×100%

Hasil perhitungan bernilai positif saja yang dijumlahkan searah dengan daerah
yang diselidiki, dengan kriteria:
§ jika 0 < β < 1, artinya bahwa daerah penelitian tidak menspesialisasikan untuk

menanam komoditas i,
§ jika β > 1, artinya bahwa daerah penelitian telah menspesialisasikan untuk

menanam komoditas i.
18

Analisis kesesuaian lahan

Tahapan dalam evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara, yaitu:


1. Masing-masing komponen karakteristik lahan (karakteristik fisik) dipetakan
sehingga diperoleh peta tematik/layer untuk masing-masing karakteristik la-
han, yaitu; lereng, curah hujan, dan tanah.
2. Selanjutnya peta tematik/layer yaitu; peta lereng, peta curah hujan, dan peta
tanah dilakukan operasi tumpang tindih (overlay) untuk mendapatkan peta
satuan lahan (land units)/SPT.
3. Langkah berikutnya adalah mencocokkan (matching) masing-masing satuan
lahan (land units)/SPT pada peta satuan lahan dengan persyaratan/kriteria
penggunaan lahan (land requirements) untuk mendapatkan peta kesesuaian
lahan masing-masing jenis tanaman. Pekerjaan pada proses matching ba-
nyak dilakukan dalam data tabular. Dalam penelitian ini kelas kesesuaian
lahan menggunakan kriteria FAO dalam ”Framework of Land Evaluation”
(FAO, 1976) dan mempertimbangkan kriteria kesesuaian lahan untuk komo-
ditas pertanian yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Tanah (BPT, 2003) de-
ngan beberapa penyesuaian. Kelas kesesuaian lahan dibagi menjadi empat
kelas yaitu:
Kelas S1 : Sangat Sesuai (Highly Suitable)
Daerah ini tidak mempunyai pembatas (penghambat) yang
serius untuk menetapkan perlakuan yang diberikan atau ha-
nya mempunyai pembatas yang tidak berarti terhadap peng-
gunaannya dan tidak akan menaikkan tingkatan perlakuan
yang diberikan.
Kelas S2 : Sesuai (Moderately Suitable)
Daerah ini mempunyai pembatas (penghambat) yang agak
serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus
ditetapkan. Pembatas ini akan meningkatkan tingkatan perla-
kuan yang diperlukan.
Kelas S3 : Sesuai Bersyarat (Marginally Suitable)
Daerah ini mempunyai pembatas (penghambat) yang serius
untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus dite-
rapkan. Pembatas akan lebih meningkatkan masukan/ting-
katan perlakuan yang diperlukan.
19

Kelas N : Tidak Sesuai (Not Suitable)


Daerah ini mempunyai pembatas (penghambat) permanen
sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan.
Kesesuaian lahan akan ditunjukkan oleh nilai komposit satuan layer yang
dilakukan operasi tumpang tindih. Selanjutnya dari angka komposit hasil overlay,
kita dapat melakukan penilaian kesesuaian lahan tiap-tiap satuan lahan dengan
cara mencocokkan (matching) antara peta hasil overlay dengan faktor pembatas-
nya berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (lihat pada Lampiran). Pada tahap
ini hasil yang diperoleh adalah peta kesesuaian lahan untuk masing-masing ta-
naman basis yang telah terpilih pada analisis sektor basis wilayah.
Tahap berikutnya dilakukan operasi overlay antara peta kesesuaian lahan
tiap-tiap satuan lahan untuk masing-masing tanaman dengan peta penggunaan
lahan saat ini (existing landuse) sehingga akan diperoleh peta yang menunjukkan
sebaran spasial kesesuaian lahan menurut karakteristik penggunaan lahan saat
ini. Terakhir dilakukan overlay antara peta kesesuaian lahan menurut karakteris-
tik penggunaan lahan saat ini dengan peta administrasi kecamatan pesisir. Mela-
lui analisa data tabular pada peta hasil overlay tahap akhir ini dapat dilakukan
pemilihan alternatif wilayah pengembangan usaha tani untuk komoditas terpilih.
Keseluruhan pengolahan data keruangan (spasial) dalam analisis kesesuaian
lahan tersebut di atas dilakukan dengan memanfaatkan SIG, yaitu dengan pe-
rangkat lunak ArcView versi 3.2.

Analisis usaha tani


Pendekatan yang digunakan untuk memperhitungkan usaha tani adalah
berdasarkan kajian ekonomi yaitu melalui analisis finansial. Analisis finansial da-
lam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah pemanfaatan lahan
untuk pertanian (dalam hal ini usaha tani komoditas basis terpilih) secara ekono-
mis layak atau tidak layak. Dengan pendekatan analisis finansial maka kriteria
yang umum digunakan untuk menilai suatu usaha layak atau tidak layak adalah;
(1) Benefit Cost Ratio (B/C ratio), (2) Internal Rate of Return (IRR), dan (3) Net
Present Value (NPV).
Benefit Cost Ratio, merupakan merupakan cara evaluasi usaha dengan
membandingkan nilai sekarang seluruh hasil yang diperoleh dengan nilai seka-
rang seluruh biaya usaha. Hasil perhitungan B/C ratio ini akan memiliki dua ka-
tegori, yaitu jika Net B/C > 1 maka pengusahaan komoditas terpilih tersebut la-
20

yak, namun jika nilai Net B/C < 1 maka pengusahaan komoditas terpilih tersebut
tidak layak.
Rumus matematis B/C ratio adalah sebagai berikut:

∑ (B − C )/ (1 + i )
n

C Ratio =
B t
t t
t =1

B = manfaat yang diperoleh sehubungan dengan suatu usaha


t
pada (tahun, bulan, minggu, dan sebagainya) ke-t (Rp.)
C = biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan suatu usaha
t
pada waktu ke-t, tidak dilihat apakah biaya tersebut diang-
gap bersifat modal (pembelian peralatan, tanah, konstruksi,
dan sebagainya) (Rp.)
i = merupakan tingkat suku bunga (15%)
t = periode (1,2,3,...,n)

Internal Rate of Return, merupakan tingkat suku bunga dari unit usaha da-
lam jangka waktu tertentu yang membuat NPV dari unit usaha sama dengan 0
(nol). Kriteria dari perhitungan ini adalah, apabila IRR > discount rate maka maka
pengusahaan komoditas terpilih layak, namun jika nilai IRR < discount rate maka
pengusahaan komoditas terpilih tidak layak. Secara matematis IRR dapat ditulis
sebagai berikut:

(i − i ) (
'

IRR = i + NPV
)
' " '

NPV − NPV
' "

'
i = tingkat discount rate (DR) pada saat NPV positif
"
i = tingkat discount rate pada saat NPV negatif
'
NPV = nilai NPV positif
"
NPV = nilai NPV negatif

Net Present Value, merupakan selisih antara nilai saat ini (present) dari
penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu.
Dari hasil perhitungan NPV ini akan diperoleh dua kriteria, yaitu usaha pertanian
komoditas terpilih layak diusahakan jika NPV > 0, atau usaha pertanian komodi-
tas terpilih tidak layak diusahakan jika NPV < 0. Formula matematis dari NPV
dapat ditulis sebagai berikut:
21

n (B − C )
NPV = ∑
(1 + i )
t t
t
t =1

B = manfaat yang diperoleh sehubungan dengan suatu usaha


t
pada (tahun, bulan, minggu, dan sebagainya) ke-t (Rp.)
C t
= biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan suatu usaha
pada waktu ke-t, tidak dilihat apakah biaya tersebut diang-
gap bersifat modal (pembelian peralatan, tanah, konstruksi,
dan sebagainya) (Rp.)
i = merupakan tingkat suku bunga (15%)
t = periode (1,2,3,...,n)

Analisis perencanaan penggunaan lahan kawasan pesisir


Analisis yang digunakan membuat alternatif penggunaan lahan untuk perta-
nian di wilayah pesisir Kabupaten Kulon Progo adalah dengan menggabungkan
hasil analisis; identifikasi karakteristik fisik, ekonomi, sosial budaya dan peman-
faatan lahan, sektor basis wilayah, kesesuaian lahan, dan finansial usaha tani di
daerah penelitian.
Hasil akhir dari seluruh rangkaian analisis tersebut di atas berupa peta pe-
rencanaan penggunaan lahan kawasan pesisir untuk pertanian. Untuk lebih me-
yakinkan hasil perencanaan ruang yang telah dibuat maka perlu dilakukan
ground check secara acak terhadap daerah-daerah yang terpilih, sehingga hasil
perencanaan tersebut sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Fisik
Geografis
Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak paling barat, dengan posisi
geografis pada 110o1’37”-110o16’26” Bujur Timur dan 7o38’42”-7o 59’3” Lintang
Selatan (Gambar 3). Secara administrasi maka batas wilayahnya adalah:
- Sebelah barat : Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah
- Sebelah timur : Kabupaten Sleman dan Bantul Provinsi DI Yogyakarta
- Sebelah utara : Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah
- Sebelah selatan : Samudera Hindia.
Kabupaten Kulon Progo yang beribukota Wates memiliki luas wilayah da-
ratan kurang lebih 586,28 km 2 terdiri dari 12 kecamatan, 88 desa, dan 930 pedu-
kuhan. Berdasarkan karakteristik topografinya maka wilayah ini dikategorikan
menjadi tiga bagian yaitu:
- Bagian utara : merupakan dataran tinggi/perbukitan Menoreh dengan ke-
tinggian antara 500-1.000 meter dari permukaan air laut,
meliputi kecamatan; Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang,
dan Kokap.
- Bagian tengah : merupakan daerah punggung perbukitan dengan ketinggi-
an antara 100-500 meter dari permukaan air laut, meliputi
kecamatan; Nanggulan, Sentolo, Pengasih, dan sebagian
Lendah.
- Bagian selatan : merupakan dataran rendah dengan ketinggian sampai de-
ngan 100 meter dari permukaan air laut, meliputi kecamat-
an; Temon, Wates, Panjatan, Galur, dan sebagian Keca-
matan Lendah.
Daerah penelitian termasuk dalam kategori bagian selatan secara adminis-
tratif meliputi 4 kecamatan, 41 desa, dan 339 pedukuhan. Adapun luas wilayah,
jumlah desa dan dukuh yang ada di daerah penelitian secara rinci disajikan pada
Tabel 1 di bawah ini.
23

Tabel 1 Luas wilayah, jumlah desa dan dukuh di daerah penelitian.


No. Kecamatan Luas (ha) Jumlah desa Jumlah dukuh
1. Temon 3.629,09 15 96
2. Wates 3.200,24 8 68
3. Panjatan 4.459,23 11 100
4. Galur 3.291,23 7 75
Total 14.579,79 41 339
Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo

390 000 400 000 410000 420000

KAB UPAT EN MAGE LANG


PETA DAERAH PENELITIAN
915 0000

91500 00
N

2 0 2 km
KABUPATEN
KABUPATE N
PURWOREJO
SLEMAN
LEGEN D A
9 140000

9140000
bat as kecamat an Kecamatan:
KAB UPAT EN bat as kabupat en Temon
KULON PROGO bat as propinsi Wat es
bat as pant ai Panj at an
Galur
9 13000 0

91 30000

Sumber data:
Bappeda Kab. KulonP rogo

GA M BAR S ITU A S I

LAU T J AW A

SA
MU
912 000 0

91 200 00

DE KABUPATE N
RA J AWA TENGAH

HIN BANTUL
DIA Daer ah
Penelitian

N
DI YO GYAKARTA

SAMUDERA HIND IA
390 000 400 000 410000 420000

Gambar 3 Daerah penelitian.

Iklim
Daerah penelitian memiliki iklim tropis dengan temperatur rata-rata bulanan
antara 25,2o - 27,8 o C, dengan suhu maksimum mencapai 31,5 o C sedangkan
suhu minimum dapat mencapai 22,8 o C. Kelembaban udara di daerah penelitian
berkisar antara 81% hingga 86%. Data curah hujan yang dikumpulkan dari sta-
siun pengamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur memperlihatkan bahwa
curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember hingga Januari sedangkan
curah hujan terendah antara bulan Agustus hingga September setiap tahunnya.
Tabel 2 menunjukkan secara rinci rata-rata curah hujan bulanan di masing-ma-
24

sing kecamatan yang ada di daerah penelitian selama periode tahun 1994 hing-
ga 2004.
Tabel 2 Rata-rata curah hujan bulanan menurut kecamatan
di daerah penelitian periode tahun 1994-2004.
Kecamatan
Bulan
Temon Wates Panjatan Galur
Januari 333 398 164 372
Pebruari 344 402 173 372
Maret 201 239 125 312
April 167 113 83 153
Mei 54 41 27 52
Juni 66 46 13 35
Juli 33 12 8 21
Agustus 8 16 2 6
September 22 4 2 14
Oktober 168 92 93 113
Nopember 368 662 122 290
Desember 341 684 148 421
Jumlah 2.104 2.711 960 2.161
Sumber data: Dinas Pertanian dan Kelautan Kab. Kulon Progo

Secara umum , dari Tabel 2 di atas dapat disimpulkan bahwa; (1) Bulan
Basah (yaitu curah hujan > 200 mm/bulan) terjadi pada bulan Nopember, De-
sember, Januari, Pebruari, dan Maret, (2) Bulan Lembab (yaitu curah hujan
antara 100 - 200 mm/bulan) terjadi pada bulan April, dan Oktober, dan (3) Bulan
Kering (yaitu curah hujan < 100 mm/bulan) terjadi pada bulan Mei, Juni, Juli,
Agustus, dan September. Sedangkan menurut rata-rata curah hujan tahunan
dikategorikan sedang dengan curah hujan antara 2.000 hingga 2.500 mm/tahun
(Gambar 4).
Berdasarkan klasifikasi Oldeman (1979) daerah penelitian masuk ke dalam
zona agroklimat C2 (5 bulan basah dan 5 bulan kering). Dengan kondisi ini, khu-
susnya pada lahan sawah di daerah penelitian dapat dilakukan usaha tani
dengan 2 kali periode tanam, yaitu 1 kali penanaman padi dan 1 kali penanaman
palawija atau masing-masing satu kali penanaman padi atau jagung dan palawi-
ja. Secara umum ketersediaan air untuk pertanian tidak menjadi kendala bagi
para petani, karena di daerah penelitian terdapat jaringan irigasi yang cukup baik
dan sumur dengan kedalaman air tanah cukup dangkal.
25

(Gambar 4_peta curah hujan)


26

Hidrologi
Kondisi topografi, geologi dan geomorfologi wilayah secara bersama-sama
akan membentuk pola-pola aliran sungai yang ada di wilayah tersebut. Pola drai-
nase di bagian hulu termasuk tipe dendritik dan bagian hilirnya berpola paralel.
Daerah penelitian dilalui oleh tiga sungai yang relatif besar yaitu; (1) Kali Progo
dengan lebar + 50 meter memiliki debit air normal 34 m3/detik terletak pada
bagian timur daerah penelitian sekaligus menjadi batas administrasi antara
Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, (2) Kali Serang dengan lebar + 20 meter mempunyai debit air
normal 12 m 3/detik melewati bagian tengah daerah penelitian, dan (3) Kali
Bogowonto mempunyai lebar + 25 meter dengan debit air normal 15 m3/detik
terletak di bagian barat daerah penelitian yang sekaligus berbatasan dengan Ka-
bupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah, dan beberapa sungai kecil (sebagai-
mana ditunjukkan pada Gambar 5).
Sebelum dibangun Waduk Sermo yang terletak di Kecamatan Kokap, dae-
rah penelitian terutama sebagian besar wilayah Kecamatan Temon sering me-
ngalami banjir apabila musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau.
Saat ini, bencana banjir dan kekeringan dapat diatasi dengan perbaikan jaringan
irigasi yaitu pembangunan saluran irigasi Sapon yang melintasi empat kecamat-
an di daerah penelitian. Hingga saat ini saluran irigasi Sapon merupakan satu-
satunya sarana irigasi terbesar yang ada di daerah penelitian dengan fungsi
utama sebagai pendistribusi air untuk irigasi areal-areal pertanian yang ada di
wilayah ini.
Sebagian besar penduduk, terutama yang tinggal di desa-desa pesisir di-
mana saluran irigasi tidak dapat menjangkau wilayah mereka, selain memanfaat-
kan air sungai juga memanfaatkan air tanah dengan cara membuat sumur bor
untuk keperluan irigasi. Kedalaman air tanah di daerah penelitian berkisar antara
1,5 hingga 2,5 meter dengan kualitas cukup baik. Santosa (2004) dalam peneli-
tiannya menyatakan bahwa sepanjang kepesisiran Kabupaten Kulon Progo me-
ngandung air tanah tawar termasuk pada sepanjang satuan gumuk pasir hingga
kedalaman + 40 meter dari permukaan tanah. Air tanah payau ditemukan pada
sebagian kecil wilayah, yaitu di bagian sebelah barat daerah penelitian mendeka-
ti Kali Bogowonto. Selanjutnya Santoso (2004) menyatakan sepanjang pantai
Kulon Progo dan wilayah kepesisirannya belum terjadi intrusi air laut melalui
akuifer.
27

( Gambar 5_peta sungai)


28

Topografi
Secara umum karakteristik lereng daerah penelitian sebagian besar relatif
datar, yaitu lebih dari 90% wilayah memiliki lereng kurang dari 8% sedangkan
sisanya dengan lereng 9 hingga 16%. Secara spasial dapat dikatakan bahwa,
Kecamatan Galur seluruh wilayahnya memiliki lereng < 3%, Kecamatan Panjatan
dengan lereng < 3-5%, Kecamatan Wates lereng tertinggi 6-8%, dan sebagian
kecil wilayah Kecamatan Temon dengan lereng 9-16%. Gambar 6 menunjukkan
kondisi kelerengan daerah penelitian.
Tanah
Secara garis besar di daerah penelitian terdapat 5 ordo tanah, yaitu; Enti-
sol, Inceptisol, Alfisol, Mollisols, dan Vertisol (BPPT, 2003). Tanah-tanah ordo
Inceptisol, Vertisol, dan Mollisols, di daerah penelitian umumnya bertekstur berat
(liat). Sedangkan ordo Entisol memiliki tekstur pasir lebih dari 90%. Ordo Entisol
terdapat dua sub group yaitu; Typic Tropopsamments dan Typic Udipsamments.
Ordo Inceptisol terdapat tiga sub group yaitu; Aeric Halaquepts, Typic Endo-
aquepts, dan Typic Eutrudepts. Ordo Alfisol memiliki satu sub group yaitu Typic
Endoaqualfs. Ordo Mollisols dengan dua sub group yaitu; Pachic Argiudolls dan
Typic Argiudolls. Sedangkan ordo Vertisol mempunyai dua sub group yaitu; Lep-
tic Hapluderts/Chromuderts dan Typic Haplusterts.
Jika dilihat persebaran jenis tanah menurut wilayah maka untuk Kecamatan
Temon didominasi tanah dengan sub group Typic Endoaqualfs. Sub ordo Pachic
Argiudolls dominan terdapat di Kecamatan Wates, sedangkan sub group Typic
Endoaquepts dominan terdapat di Kecamatan Panjatan dan Kecamatan Galur.
Gambar 8 memperlihatkan sebaran spasial jenis tanah hingga tingkat sub grup
yang ada di daerah penelitian.
Pada tanah-tanah ordo Alfisol, Mollisols dan Vertisol kandungan mineral
liatnya didominasi oleh mineral liat tipe 2:1 dengan kandungan KTK liat lebih dari
60 me/100 g liat. Untuk tanah ordo Inceptisol dan Entisol di daerah penelitian
didominasi oleh mineral liat campuran. Jika dikaitkan dengan batuan pembentuk-
nya maka sebagian besar daerah penelitian merupakan campuran batu pasir dan
batu gamping yang dikenal dengan formasi Sentolo, sebagian wilayah
Kecamatan Galur berbahan induk endapan liat dan tufa napalan, dan bahan
induk aluvium terdapat di sebagian kecil wilayah Kecamatan Temon. Tabel 3
menunjukkan jenis dan sifat tanah serta luas masing-masing jenis tanah yang
ada di daerah penelitian.
29

(Gambar 6_peta lereng)


30

(Gambar 7_peta tanah)


31

(Tabel 3_jenis dan sifat tanah)


32

Tabel 3 di muka memperlihatkan bahwa di daerah penelitian 46,0% wila-


yahnya dengan jenis tanah ordo Inceptisol (meliputi sub group; Typic Endo-
aquepts sebesar 32,8%, Typic Eutrudepts sebanyak 11,1%, dan Aeric Hala-
quepts sebesar 2,1%). Sarwono (2002) menyatakan jenis tanah ini merupakan
tanah muda, namun lebih berkembang dibandingkan ordo Entisol. Umumnya
jenis tanah Inceptisol memiliki horison kambik (yaitu horison bawah yang telah
terbentuk struktur tanah atau warna sudah lebih merah daripada bahan induk).
Karena tanah belum berkembang lanjut, kebanyakan tanah ini cukup subur.
Selanjutnya ordo Entisol sebesar 19,7% yang meliputi sub group; Typic
Tropopsamments sebesar 18,9% dan Typic Udipsamments sebanyak 0,8%.
Tanah ordo Entisol merupakan tanah yang masih sangat muda yaitu baru tingkat
permulaan dalam perkembangan. Tidak ada horison penciri lain kecuali epipedon
ochrik atau histik apabila tanah sangat lembek. Tanah ini dahulu disebut tanah
Aluvial atau Regosol. Karena masih dalam taraf permulaan perkembangan maka
tanah Entisol relatif kurang subur dibandingkan tanah Inceptisol.
Ordo Alfisol ditemukan pada sub group Typic Endoaqualfs sebesar 14,5%.
Tanah ordo Alfisol dicirikan terdapat penimbunan liat di horison bawah dan mem-
punyai kejenuhan basa (berdasar jumlah kation) tinggi yaitu lebih dari 35% pada
kedalaman 180 cm dari permukaan tanah. Selanjutnya di daerah penelitian,
tanah ordo Mollisols sebesar 11,2% yang meliputi sub group; Pachic Argiudolls
sebanyak 7,0% dan Typic Argiudolls sebanyak 4,2% sedangkan ordo Vertisol
sebesar 8,6% dengan sub group; Leptic Hapluderts/Chromuderts sebesar 6,2%
dan Typic Haplusterts sebesar 2,4%.
Jadi secara umum daerah penelitian memiliki tingkat kesuburan yang relatif
tinggi dengan jenis tanah; Alfisol, Mollisols dan Vertisol. Dengan kondisi ini maka
berbagai jenis tanaman baik padi, palawija, hortikultura, dan buah-buahan me-
mungkinkan tumbuh baik di daerah penelitian.
Satuan lahan
Satuan lahan merupakan lahan yang memiliki karakteristik fisik yang
seragam yang digunakan sebagai unit analisis. Satuan lahan diperoleh dengan
cara melakukan overlay antara peta lereng, peta curah hujan dan peta tanah.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh 20 satuan lahan (lihat Gambar 8). Deskripsi
masing-masing satuan lahan secara lengkap disajikan pada Tabel 4.
33

(Gambar 8_satuan lahan)


34

Tabel 4 Satuan lahan di daerah penelitian.


Satuan Kelas Curah hujan Luas
Nama tanah %
lahan lereng (%) (mm/thn) (ha)
1 Aeric Halaquepts <3 2.000-2.500 303,3 2,1
2 Typic Tropopsamments <3 2.000-2.500 2.713,9 18,9
3 Typic Endoaquepts <3 2.000-2.500 4.452,7 31,1
4 Typic Endoaqualfs <3 2.000-2.500 140,6 1,0
5 Typic Endoaqualfs <3 2.000-2.500 1.337,2 9,3
6 Typic Endoaqualfs <3 2.500-3.000 338,3 2,4
7 Leptic Hapluderts/Chromuderts <3 2.000-2.500 610,9 4,3
8 Typic Endoaqualfs 6-8 2.500-3.000 90,7 0,6
9 Typic Endoaqualfs 9-16 2.500-3.000 168,0 1,2
10 Pachic Argiudolls <3 2.000-2.500 831,8 5,8
11 Typic Eutrudepts <3 2.000-2.500 876,3 6,1
12 Typic Eutrudepts 3-5 2.000-2.500 241,6 1,7
13 Pachic Argiudolls 6-8 2.500-3.000 177,6 1,2
14 Typic Eutrudepts <3 1.500-2.000 468,2 3,3
15 Leptic Hapluderts/Chromuderts <3 1.500-2.000 280,7 2,0
16 Typic Endoaquepts <3 1.500-2.000 101,9 0,7
17 Typic Haplusterts <3 2.000-2.500 341,9 2,4
18 Typic Endoaquepts <3 2.000-2.500 153,7 1,1
19 Typic Argiudolls <3 2.000-2.500 603,7 4,2
20 Typic Udipsamments <3 2.000-2.500 104,2 0,7
Jumlah 14.337,2 100,0
Sumber: Hasil Analisis, 2006

Perekonomian Wilayah
Struktur perekonomian wilayah Kabupaten Kulon Progo utamanya bertum-
pu pada sektor pertanian, hal ini mengingat sebagian besar penduduknya masih
mengandalkan mata pencaharian pokok dari bercocok tanam di areal pertanian
yang ada. Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo menunjukkan dari
total 103.271 rumah tangga, sebanyak 78,13% (80.685 rumah tangga) merupa-
kan rumah tangga pertanian dengan nilai PDRB sebesar Rp. 388.269.000,00
dan 21,87% (22.586 rumah tangga) merupakan rumah tangga nonpertanian.
Selanjutnya dari total PDRB Kabupaten Kulon Progo tahun 2004 sebesar Rp.
1.399.243.000,00 (atas dasar harga konstan tahun 2000) sebanyak; 27,75% ber-
asal dari sektor pertanian, 17,97% dari sektor jasa, 16,23% dari sektor perda-
gangan, hotel dan restoran, 16,02% dari industri pengolahan, 10,03% dari sektor
35

angkutan dan komunikasi, serta sisanya dari sektor keuangan, bangunan/kon-


struksi, pertambangan dan penggalian, dan listrik, gas dan air bersih. Nilai PDRB
per kapita pada tahun yang sama adalah sebesar Rp. 3.722.539,00 (BPS, 2004).
Jika dilihat perkembangan persentase PDRB dari tahun 2002-2004 (atas
dasar harga konstan tahun 2000) untuk lapangan usaha pertanian menunjukkan
tren yang cenderung menurun, yaitu; 28,28% di tahun 2002, turun menjadi
27,96% di tahun 2003, dan menjadi 27,75% di tahun 2004. Penurunan persen-
tase PDRB ternyata diimbangi dengan kenaikan di sektor lapangan usaha; ang-
kutan dan komunikasi, dan keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, walau-
pun kenaikannya relatif kecil. Walaupun terjadi tren penurunan sumbangan
PDRB dari lapangan usaha pertanian, namun secara keseluruhan untuk tiap-tiap
tahun tersebut sumbangan PDRB sektor pertanian tetap paling tinggi dibanding-
kan sektor lainnya. Dengan demikian peranan sektor pertanian dalam struktur
PDRB Kabupaten Kulon Progo masih dominan dan mempunyai peluang untuk
ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang.
Perkembangan perekonomian wilayah tentu tidak terlepas dari kemajuan di
bidang infrastruktur, baik; jalan, perbankan atau jasa keuangan, pos dan teleko-
munikasi. Secara lokasi, wilayah kecamatan pesisir Kulon Progo mempunyai
letak yang strategis. Wilayah ini dilalui jalan negara yang menghubungkan Yog-
yakarta ke Jakarta atau Bandung dengan melewati jalur selatan Jawa. Informasi
yang diperoleh dari instansi terkait menyebutkan bahwa secara bertahap dengan
kegiatan awal pada tahun 2004 berupa pendataan kepemilikan tanah, maka jalan
Daendels yang statusnya merupakan jalan propinsi akan ditingkatkan statusnya
menjadi jalan nasional. Dengan adanya rencana pembangunan jalur jalan lintas
selatan Jawa ini, memungkinkan lebih terbukanya aksesibilitas dan diharapkan
dapat meningkatkan perekonomian di wilayah pesisir Kulon Progo. Adapun pola
jaringan jalan di daerah penelitian ditunjukkan pada Gambar 9.
Di sektor perbankan atau jasa keuangan (termasuk didalamnya koperasi)
maka terdapat kurang lebih 13 lembaga perbankan, 12 lembaga KUD, 210 lem-
baga non KUD. Peranan lembaga perbankan atau jasa keuangan cukup penting
karena menjadi salah satu sarana bagi petani untuk mendapatkan modal atau
menyimpan dananya. Yang cukup menarik, keberadaan lembaga non KUD dima-
na jumlahnya cenderung meningkat, yaitu dari sebanyak 184 lembaga di tahun
2000 menjadi 210 lembaga di tahun 2004. Ini berarti lembaga non KUD telah
menggeser peran KUD dalam penyediaan jasa keuangan di daerah penelitian.
36

( Gambar 9_peta jalan )


37

Sosial dan Budaya


Kependudukan
Jumlah penduduk di kecamatan pesisir Kabupaten Kulon Progo pada tahun
2004 sebesar 152.287 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 73.893 jiwa
dan perempuan 78.394 jiwa, dengan rasio jenis kelamin 94 dan jumlah rumah
tangga 32.244 kepala keluarga. Keadaan jumlah penduduk berdasarkan jenis
kelamin, rasio jenis kelamin, dan rumah tangga di masing-masing kecamatan
pesisir secara lengkap disajikan pada tabel 5 berikut:
Tabel 5 Banyaknya rumah tangga dan penduduk
di daerah penelitian tahun 2004.
Rumah Penduduk Sex Jumlah
Kecamatan
Tangga Laki-laki Perempuan Ratio Penduduk
1. Temon 6.756 15.308 16.311 94 31.619
2. Wates 10.173 23.434 24.742 95 48.176
3. Panjatan 8.139 19.337 20.540 94 39.877
4. Galur 7.176 15.814 16.801 94 32.615
Jumlah 32.244 73.893 78.394 94 152.287
Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo

Apabila dikaitkan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah masing-


masing kecamatan (sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1 di muka) maka wila-
yah dengan kepadatan tertinggi adalah Kecamatan Wates yaitu 1.505 jiwa/km 2
dan terendah Kecamatan Temon sebesar 871 jiwa/km 2, sedangkan secara total
wilayah kecamatan pesisir mempunyai kepadatan penduduk 1.044 jiwa/km 2.
Kepadatan penduduk yang tinggi di Kecamatan Wates dikarenakan pada wilayah
ini pusat pemerintahan Kabupaten Kulon Progo berlokasi yaitu tepatnya di Desa
Wates. Berdasarkan pengamatan di lapangan tampak bahwa distribusi penduduk
di wilayah pesisir pada umumnya membentuk pola linear terkonsentrasi di
sepanjang jalan arteri primer. Khusus di Desa Wates permukiman membentuk
pola radial dengan zona inti (core) adalah pusat pemerintahan kabupaten se-
dangkan permukiman atau gedung lainnya melingkar di wilayah pinggiran (pheri-
pheri), sebagaimana umumnya yang terjadi pada kota-kota lain yang memiliki
topografi wilayah relatif datar.
Peranan strategis sektor pertanian sebagai ”prime mover” dalam pengem-
bangan wilayah kecamatan pesisir khususnya dan kabupaten pada umumnya,
selain kontribusinya terhadap PDRB wilayah, juga dapat dilihat dari keterlibatan
penduduk dalam sektor ini. Data yang diperoleh dari instansi terkait menunjukkan
bahwa penduduk yang berprofesi sebagai ”petani atau buruh tani” yaitu; di Keca-
38

matan Temon sebanyak 34,06%, Kecamatan Wates sebesar 23,35%, Kecamat-


an Panjatan sebanyak 34,33%, dan di Kecamatan Galur sebesar 17,72%. Seca-
ra rinci banyaknya penduduk yang berprofesi sebagai petani atau buruh tani di
masing-masing kecamatan pesisir ditunjukkan pada Tabel 6 di bawah ini:
Tabel 6 Banyaknya kelompok tani, anggota kelompok tani
dan petani/buruh tani di daerah penelitian tahun 2004.
Anggota
Kecamatan Kelompok Tani Petani/Buruh Tani
Kelompok Tani
1. Temon 76 3.038 10.770
2. Wates 50 5.517 11.250
3. Panjatan 62 4.529 13.689
4. Galur 51 4.126 5.778
Jumlah 239 17.210 41.487
Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo

Masyarakat kecamatan pesisir Kabupaten Kulon Progo pada umumnya me-


meluk agama Islam. Pada tahun 2004 komposisi penduduk menurut agama di
daerah penelitian menunjukkan bahwa dari sejumlah 152.864 jiwa, sebanyak
97,30% memeluk agama Islam, 1,8% beragama Protestan, 0,9% memeluk aga-
ma Katolik, dan sisanya beragama Hindu dan Budha.
Kehidupan keagamaan yang menyatu dengan aktifitas penduduk di wilayah
ini tidak terlepas dari tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Secara
keseluruhan di wilayah kecamatan pesisir terdapat 620 masjid/mushola/langgar,
9 gereja/rumah kebaktian, dan ditunjang dengan keberadaan berbagai perkum-
pulan majelis taklim serta Tempat Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Kesemarakan
kehidupan keagamaan yang mewarnai dinamika kehidupan penduduknya ter-
nyata tidak mengurangi rasa kebersamaan antar pemeluk agama dalam kehidup-
an bermasyarakat dan pembangunan wilayah, terbukti bahwa selama ini tidak
pernah terjadi konflik antar pemeluk agama.
Pendidikan
Tingkat kesadaran masyarakat di wilayah ini akan arti pentingnya pendi-
dikan sudah cukup tinggi, hal ini tampak pada ketersediaan sarana dan prasa-
rana yang ada. Secara keseluruhan di wilayah ini terdapat 122 sekolah TK, 125
jenjang Sekolah Dasar (SD), 20 sekolah jenjang SMP, 8 sekolah jenjang SMA,
dan 2 sekolah jenjang Perguruan Tinggi. Sesuai dengan kebijakan Pemerintah
Daerah dimana salah satu programnya adalah peningkatan dan pengembangan
pembangunan sektor kelautan, maka di wilayah Kecamatan Temon sejak tahun
2003 telah dibuka Sekolah Menengah Atas Kejuruan Negeri Minat Kelautan de-
39

ngan tujuan pokok menyiapkan sumberdaya manusia yang handal dalam pe-
ngelolaan sumberdaya alam kelautan.
Selain itu di Kecamatan Wates terdapat dua perguruan tinggi yaitu; Univer-
sitas Negeri Yogyakarta Cabang Wates dan IKIP PGRI. Kedua perguruan tinggi
tersebut tidak hanya menarik minat warga masyarakat Kabupaten Kulon Progo,
tetapi juga mampu menyerap mahasiswa yang berasal dari kabupaten lainnya
seperti dari Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa
Tengah. Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan di wilayah kecamatan
pesisir secara lengkap ditunjukkan pada tabel 7 di bawah ini:
Tabel 7 Banyaknya sarana pendidikan
di daerah penelitian tahun 2004.
Sarana Jenjang Pendidikan
Kecamatan
TK SD SMP SMA PT
1. Temon 25 27 3 1 -
2. Wates 33 41 9 5 2
3. Panjatan 25 29 4 - -
4. Galur 39 28 4 2 -
Jumlah 122 125 20 8 2
Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo

Kesehatan
Disamping akses terhadap pendidikan, kemajuan suatu wilayah juga sa-
ngat dipengaruhi oleh akses masyarakat terhadap sarana dan prasarana kese-
hatan. Ketersediaan dan keterjangkauan (baik dalam arti jarak maupun biaya)
atas sarana dan prasarana kesehatan berpengaruh signifikan terhadap derajat
kesehatan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Derajat kesehatan ma-
syarakat yang tinggi mencerminkan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi
pula, sehingga ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan di suatu wilayah
memiliki peranan penting untuk menggambarkan kemajuan wilayah tersebut.
Di daerah penelitian, ketersediaan dan keterjangkauan sarana dan prasara-
na kesehatan oleh masyarakat dapat dikatakan sudah cukup memadai. Hal ini
dapat dilihat dari ketersediaan 6 rumah sakit, 6 unit Puskesmas, 21 unit Puskes-
mas Pembantu (Pustu), 62 tenaga dokter, dan 292 tenaga paramedis. Komitmen
Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo dalam upaya peningkatan derajat
kesehatan masyarakatnya tampak dari usaha terus-menerus untuk meningkat-
kan status Rumah Sakit Umum Daerah Wates dari rumah sakit tipe C menjadi
tipe B. Demikian pula halnya pada pelayanan kesehatan di tingkat lini, yakni
melalui upaya peningkatan dana dan peralatan bagi Puskesmas -Puskesmas
40

yang ada agar mampu melayani masyarakat dengan menjadikannya sebagai


Puskesmas Rawat Inap.
Di sektor swasta, kemajuan pelayanan bidang kesehatan juga semakin
tampak hasilnya. Terbukti, dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, telah ber-
diri beberapa rumah sakit (umumnya rumah sakit ibu dan anak tipe kecil) yaitu; 1
rumah sakit di Kecamatan Temon, 2 rumah sakit di Kecamatan Wates, dan 1 ru-
mah sakit di Kecamatan Panjatan. Data selengkapnya ketersediaan sarana dan
tenaga kesehatan yang ada di daerah penelitian ditunjukkan pada tabel 8 di ba-
wah ini:
Tabel 8 Banyaknya sarana dan tenaga kesehatan
di daerah penelitian tahun 2004.
Sarana dan Tenaga Kesehatan
Kecamatan
Rumah Sakit Puskesmas Pustu Dokter Paramedis
1. Temon 1 2 4 10 47
2. Wates 4 1 6 41 178
3. Panjatan 1 1 7 3 27
4. Galur - 2 4 8 40
Jumlah 6 6 21 62 292
Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo

Kebudayaan
Nilai-nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat sangat mem -
pengaruhi perilaku kehidupan sehari-hari mereka. Demikian juga halnya di dae-
rah penelitian. Sebagian besar penduduk, yakni lebih dari 75% dari sebanyak
32.442 rumah tangga yang tinggal di wilayah pesisir Kulon Progo, berprofesi
sebagai petani atau buruh tani sedangkan yang berprofesi sebagai nelayan jum-
lahnya relatif kecil. Sebagian besar nelayan yang berdomisili di wilayah ini adalah
para nelayan perantau, umumnya berasal dari Cilacap Jawa Tengah. Sehingga,
walaupun wilayah daerah penelitian berbatasan langsung dengan Samudera
Hindia namun budaya melaut merupakan budaya asing terutama bagi sebagian
besar penduduk asli.
Namun demikian, bukan berarti para petani atau buruh tani di wilayah pesi-
sir Kulon Progo adalah petani atau buruh tani yang memiliki sifat lemah dan tidak
kreatif. Keterbatasan kesuburan tanah dan kondisi iklim lingkungan pesisir juste-
ru mendorong para petani dan buruh tani menjadi pribadi yang ulet dan penuh
kreatifitas. Dinamisasi kehidupan para petani, buruh tani, dan nelayan serta
masyarakat lainnya di wilayah pesisir tercermin dari berkembangnya perkum-
pulan seni tari tradisional yang memiliki bobot gerak dinamis tinggi, seperti;
41

jatilan sebanyak 42 perkumpulan, reog sebanyak 4 perkumpulan, dan angguk


sebanyak 3 perkumpulan.
Selain perkumpulan seni tari, di daerah penelitian juga berkembang per-
kumpulan seni musik. Jenis seni musik yang banyak diminati oleh penduduk di
wilayah ini antara lain adalah; qasidah, campursari, karawitan, dan keroncong.
Seni musik lainnya walaupun jumlahnya relatif sedikit namun tetap bertahan
dalam kehidupan masyarakat pesisir Kulon Progo. Adapun jumlah perkumpulan
seni musik menurut kecamatan di wilayah pesisir Kulon Progo secara rinci ditun-
jukkan pada tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9 Banyaknya perkumpulan seni musik
di daerah penelitian tahun 2004.
Jenis Perkumpulan Seni Musik
Kecamatan Kara- Keron- Qosi- Orkes Musik Paduan Campur
Band
witan cong dah Melayu Bambu Suara Sari
1. Temon 8 2 32 2 1 1 1 5
2. Wates 10 2 32 3 2 - - 11
3. Panjatan 5 6 48 - 1 - - 5
4. Galur 4 2 32 1 1 - - 9
Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo

Pasar sebagai wujud budaya masyarakat juga tersedia di daerah pene-


litian. Hingga tahun 2004 di wilayah ini terdapat; kurang lebih 14 pasar umum, 6
unit tempat pelelangan ikan (TPI), 2 pasar hewan, dan 1 pasar unggas/burung.
Keberadaan pasar dan TPI telah mampu menghidupkan roda perekonomian
wilayah. Selain berfungsi sebagai tempat untuk mendapatkan kebutuhan sehari-
hari, keberadaan pasar dan TPI juga dimanfaatkan penduduk sebagai tempat
menjual hasil pertanian dan perikanan.

Pemanfaatan Lahan
Pemanfaatan lahan menunjukkan bagaimana suatu lahan digunakan oleh
manusia yang tinggal di atasnya, atau dengan kata lain bagaimanakah lahan
digunakan oleh manusia untuk berbagai aktifitas kehidupannya. Penggunaan
lahan umum (major kinds of landuse) adalah penggolongan penggunaan lahan
secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput,
kehutanan, atau daerah rekreasi (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Berda-
sarkan pengertian penggunaan lahan secara umum tersebut, di daerah
penelitian terdapat beberapa jenis penggunaan lahan saat ini (existing landuse)
yaitu; pasir pantai, air tawar, belukar, gedung, kebun, pemukiman, rumput,
sawah, dan tanah ladang (lihat Tabel 10).
42

Tabel 10 Luas masing-masing jenis penggunaan lahan


menurut kecamatan di daerah penelitian tahun 2004.
Galur Panjatan Temon Wates
Penggunaan
Lahan Luas Luas Luas Luas
% % % %
(ha) (ha) (ha) (ha)
- Pasir pantai 1,0 0,03 0,0 0,00 0,4 0,01 0,0 0,00
- Air tawar 29,1 0,90 4,4 0,10 50,0 1,40 41,2 1,31
- Belukar 0,0 0,00 4,4 0,10 20,7 0,58 0,0 0,00
- Gedung 0,3 0,01 42,5 0,97 1,1 0,03 2,5 0,08
- Kebun 1.234,4 38,14 2.432,4 55,47 1.085,6 30,42 1.147,1 36,45
- Pemukiman 138,9 4,29 81,1 1,85 247,0 6,92 418,6 13,30
- Rumput 173,3 5,35 186,8 4,26 301,2 8,44 167,7 5,33
- Sawah 1.383,3 42,74 364,0 8,30 1.109,9 31,10 262,8 8,35
- Tanah ladang 276,2 8,53 1.269,5 28,95 753,0 21,10 1.107,1 35,18
Jumlah 3.236,5 100 4.385 100 3.568,7 100 3.147 100
Sumber data: - BAPPEDA Kabupaten Kulon Progo
- South Java Flood Control Sector Project (SJFCSP) Yogyakarta

Data diatas memperlihatkan bahwa, secara umum jenis penggunaan la-


han; kebun, tanah ladang, dan sawah, merupakan penggunaan lahan yang domi-
nan di 4 kecamatan, kecuali di Kecamatan Wates dimana penggunaan lahan pe-
mukiman lebih besar angkanya dibandingkan penggunaan lahan sawah. Kebera-
daan ibukota Kabupaten Kulon Progo di Kecamatan Wates kemungkinan besar
telah mengkonversi lahan-lahan sawah yang ada menjadi pemukiman sebagai
dampak pemusatan penduduk di wilayah ini. Konversi lahan sawah menjadi
pemukiman atau industri merupakan fenomena umum yang terjadi pada wilayah
“urban fringe” atau wilayah-wilayah pinggiran dari perkembangan suatu kota atau
pusat aktifitas. Namun, hal ini harus ada pembatasan agar ketahanan pangan
wilayah tetap dapat dipertahankan karena sawah merupakan lahan utama peng-
hasil beras. Yeh dan Li (1999) menyebut pembatasan ini sebagai model pemba-
ngunan berkelanjutan yaitu sebuah arahan dan pola perkembangan kota ke de-
pan yang dibutuhkan untuk pengembangannya sekaligus meminimalisir berku-
rangnya lahan pertanian dalam kegiatan pengembangan kota itu sendiri.
Luas penggunaan lahan sawah tertinggi di Kecamatan Galur, diikuti Keca-
matan Temon, Kecamatan Panjatan, dan Kecamatan Wates. Kecamatan Galur
merupakan salahsatu wilayah lumbung beras utama bagi Kabupaten Kulon Pro-
go. Untuk jenis penggunaan lahan kebun luas terbesar di Kecamatan Panjatan
selanjutnya kecamatan; Galur, Wates, dan Temon. Gambar 10 menunjukkan se-
baran spasial jenis penggunaan lahan di daerah penelitian.
43

(Gambar 10_peta landuse)


44

Lahan sawah selain digunakan untuk usaha tani komoditas padi atau pala-
wija, kadangkala juga ditanami dengan komoditas; cabai merah, melon, atau
semangka. Khususnya komoditas cabai merah, dalam kurun enam tahun terakhir
pengusahaannya mulai berkembang dari semula hanya pada lahan sawah ber-
kembang ke lahan existing landuse rumput. Sebagian besar lahan existing land-
use rumput ini adalah lahan dengan kondisi tanah dominan tekstur pasir yaitu
ordo Entisol khususnya sub ordo Psamments .
Sebanyak 10 responden dari sebanyak 15 petani yang berhasil diwawan-
carai menyatakan bahwa, komoditas utama yang ditanam di lahan dengan jenis
tanah Entisol ini adalah cabai merah. Pada awalnya para petani pesimistis ter-
hadap keberhasilan usaha tani di lahan dengan jenis tanah yang dominan tekstur
pasir. Lambat laun rasa pesimis tersebut terhapus setelah tiga tahun berikutnya
tanaman cabai merah tumbuh subur (sebagaimana tampak pada Gambar 11 dan
12 di bawah ini).

Gambar 11 Tanaman cabai merah Gambar 12 Hamparan tanaman


tumbuh subur di tanah Entisol Cabai merah di lahan semula
(latar belakang sanddune). existing landuse rumput.

Keberhasilan petani dalam usaha tani di tanah yang tergolong ’marginal’ ini
sebanding dengan kerja keras yang dilakukannya. Untuk mengatasi tingkat ke-
suburan tanah yang rendah, para petani menambahkan pupuk kandang yang
berasal dari kotoran kambing atau sapi. Pemberian mulsa atau jerami diatas ta-
nah yang akan digunakan bercocok tanam dimaksudkan untuk mengatasi sifat
tekstur pasir yang cepat melalukan air, yang merupakan sifat pembatas dari jenis
tanah ini. Kendala alam yang lain, selain tingkat kesuburan tanah dan kecepatan
drainase, terutama bagi petani yang mengusahakan di lahan mendekati garis
pantai adalah kecepatan angin laut yang cukup tinggi. Terhadap kendala ini,
umumnya petani di daerah penelitian memanfaatkan daun-daun pohon kelapa
45

yang banyak tumbuh di wilayah ini sebagai pagar mengelilingi lahan pertanian-
nya agar dapat menahan laju kecepatan angin.
Ketersediaan air untuk irigasi tidak menjadi kendala dalam usaha tani.
Petani menggunakan pompa diesel untuk memompa air tanah. Bagi petani yang
bermodal kecil, air yang telah dipompa selanjutnya disalurkan pada bak-bak
penampung yang terbuat dari beton berdiameter 60 cm, dimana satu bak dengan
bak lainnya dihubungkan dengan pipa paralon berdiameter 3 inchi. Masyarakat di
daerah penelitian menyebutnya dengan istilah ”sumur renteng”. Biaya pembuat-
an ”sumur renteng” beserta pompa dieselnya rata-rata sebesar Rp. 1.500.000,00
lebih rendah dibandingkan metode pembuatan saluran paralon tanpa bak-bak
penampung air yang dapat mencapai Rp. 2.500.000,00. Penyiraman tanaman
dilakukan sekali dalam sehari yaitu antara pukul 08.00 hingga 10.00 pagi. Peker-
jaan penyiraman umumnya dilakukan oleh laki-laki sedangkan kaum perempuan
melakukan penyiangan rumput atau memetik buah yang telah siap panen.

Gambar 13 ”Sumur renteng” di sela-sela Gambar 14 Penyiraman langsung


tanaman cabai merah. dari pipa paralon.

Gambar 15 Mesin diesel kapasitas 2 PK Gambar 16 Pekerja perempuan


untuk memompa air tanah. melakukan penyiangan rumput.

Bibit tanaman, baik untuk komoditas; cabai merah, melon, atau semangka
dibeli petani dari toko bibit yang tersebar di kota Wates. Untuk komoditas cabai
46

merah terdapat dua jenis bibit yang umum ditanam oleh para petani, yaitu; Lado
dan Helix. Kedua jenis bibit cabai merah mempunyai keunggulan dan kelemahan
berbeda. Menurut petani setempat, bibit jenis Helix lebih tahan terhadap jamur
pada awal masa pertumbuhan tanaman. Sedangkan bibit jenis Lado memiliki
keunggulan pada hasil panen lebih banyak dibandingkan Helix. Begitu juga
halnya untuk komoditas melon atau semangka, terdapat dua jenis bibit yang
sangat dikenal petani di daerah penelitian yaitu merek Tanindo dan Kapal
Terbang. Secara umum harga bibit komoditas melon lebih mahal dibandingkan
komoditas semangka, yaitu; Rp. 85.000,00/bungkus untuk melon sedangkan
semangka Rp. 80.000,00/bungkus.
Komoditas melon dan semangka lebih banyak ditanam di lahan sawah atau
tanah ladang. Hal ini tidak lepas dari kemampuan kedua komoditas tersebut ber-
tahan pada kondisi tanah yang memiliki drainase kurang baik, sebagaimana
dijumpai pada lahan sawah atau tanah ladang. Selanjutnya pengamatan di
lapangan menjumpai sebanyak 5 orang responden sedang mencoba melakukan
usaha tani komoditas semangka di lahan dengan jenis tanah bertekstur campur-
an pasir dan liat. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dan dicocok-
kan dengan peta tanah maka tanah ini termasuk dalam ordo Inceptisol, yaitu
jenis tanah ini lebih berkembang dibandingkan tanah ordo Entisol. Tanah ordo
Inceptisol karena belum berkembang lanjut maka tanahnya relatif subur sehingga
memungkinkan tanaman tumbuh dengan baik (tampak pada Gambar 17 di ba-
wah ini).

Gambar 17 Tanaman semangka Gambar 18 Tanaman cabai merah


tumbuh subur di tanah Inceptisol. dengan penyela tanaman terung.

Terutama dalam usaha tani komoditas cabai merah, petani seringkali juga
menanam tanaman penyela yaitu ketela pohon atau terung. Gambar 18 di atas
menunjukkan tanaman terung tampak tumbuh subur di sela komoditas cabai
merah di daerah penelitian. Selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sebagian
47

hasil panen terung dijual di pasar lokal dengan harga berkisar Rp. 600,00 – Rp.
700,00/kg. Harga jual panen terung yang relatif murah dibandingkan komoditas;
cabai merah, melon atau semangka, membuat sebanyak 8 responden yang
berhasil diwawancarai, kurang berminat menanam terung sebagai komoditas
utama dalam usaha taninya. Dengan demikian komoditas; cabai merah, melon,
dan semangka masih menjadi komoditas andalan petani di daerah penelitian.
Pada umumnya rata-rata luas kepemilikan lahan pertanian di daerah pene-
litian adalah; lahan sawah dengan luas 5.000 m2 dan lahan kering sebesar 2.000
m 2 untuk masing-masing petani. Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa,
dengan luas lahan sebesar 2.000 m2 dapat dihasilkan produk rata-rata untuk;
cabai merah mencapai 5,5 ton sedangkan melon atau semangka sebesar 10 ton
per satu kali masa tanam. Khususnya komoditas cabai merah, hasil panen 5,5
ton dalam satu kali masa tanam merupakan total pemanenan buah yang dapat
mencapai 20 kali pemetikan. Tahap perawatan dalam masa tumbuh tanaman
sangat berpengaruh tidak hanya pada kualitas buah yang dihasilkan tetapi juga
terhadap frekuensi pemetikan. Jika perawatan kurang maka dalam satu kali
masa tanam hanya mampu melakukan proses pemetikan buah sebanyak 15 kali
pemetikan dan jika perawatannya baik maka dapat dilakukan hingga 25 kali
pemetikan buah.
Gambar 19 dan 20 menunjukkan hasil panen cabai merah dan semangka
di daerah penelitian. Sebagian besar hasil panen dipasarkan ke Jakarta melalui
para ”pengepul”, yaitu petani lokal yang bermodal besar dan telah mempunyai
jaringan pemasaran ke pasar luar daerah terutama Jakarta.

Gambar 19 Hasil panen cabai merah. Gambar 20 Hasil panen semangka.

Analisis Sektor Basis Wilayah


Ekonomi wilayah tersusun atas berbagai aktifitas-aktifitas ekonomi sehing-
ga pemerintah dituntut melakukan perhitungan-perhitungan yang cermat dan teliti
48

dalam melakukan berbagai bentuk investasi pembangunan khususnya untuk


akti-fitas-aktifitas berbentuk usaha. Idealnya, secara sosial dari kacamata
ekonomi setiap bentuk investasi pembangunan harus dapat memberikan
manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya bagi wilayah tersebut. Di sisi lain,
idealnya secara finan-sial setiap aktifitas dapat berjalan secara berkelanjutan.
Suatu sistem usaha yang mandiri dan berkelanjutan harus menjadi usaha yang
sehat, menguntungkan dan mampu melakukan investasi-investasi dalam jangka
pendek dan jangka panjang (Rustiadi et al., 2005).
Perekonomian suatu wilayah dapat dikategorikan dalam dua sektor utama
yaitu; sektor basis dan sektor non basis. Potensi aktivitas ekonomi masuk dalam
kategori basis atau non basis dapat diketahui dengan analisis Location Quotient
(LQ), yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang
sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Dalam penelitian ini ber-
hubung data yang tersedia adalah produksi sub sektor pertanian tanaman horti-
kultura dan padi/palawija hanya sampai tingkat kecamatan, maka analisis LQ
merupakan perbandingan relatif kemampuan tingkat kecamatan dengan kemam-
puan tingkat kabupaten. Untuk melengkapi analisis LQ maka dilakukan pula ana-
lisis LI dan SI.
Berdasarkan data produksi pertanian subsektor tanaman pangan padi/pala-
wija dan hortikultura tahun 2004 yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Kelaut-
an Kabupaten Kulon Progo, maka hasil analisis LQ, LI dan SI untuk ketiga komo-
ditas yaitu; cabai merah, melon dan semangka di daerah penelitian ditunjukkan
pada Tabel 11. Hasil analisis memperlihatkan bahwa, komoditas cabai merah
menjadi komoditas basis di Kecamatan Temon, Wates, dan Panjatan dengan
nilai LQ masing-masing adalah; 2,31, 1,16, dan 1,40. Selanjutnya komoditas me-
lon dengan nilai LQ sebesar 1,77 dan semangka dengan nilai LQ sebesar 1,46
menjadi komoditas basis di Kecamatan Galur. Walaupun beberapa komoditas
lainnya juga memiliki nilai LQ lebih dari 1, namun karena komoditas tersebut ku-
rang diminati petani dan hanya sedikit petani yang menanamnya, di sisi lain
cabai merah, melon dan semangka merupakan komoditas yang cukup diminati
petani maka ketiganya dikategorikan menjadi komoditas basis di daerah pene-
litian.
49

(Tabel 11_rekap LQ, LI, dan SI)


50

Selanjutnya hasil analisis LI menunjukkan bahwa untuk komoditas; cabai


merah, melon dan semangka, pengusahaannya tidak terkonsentrasi di wilayah
itu saja namun juga diusahakan di kecamatan lainnya di Kabupaten Kulon Progo.
Nilai koefisien lokasional ketiga komoditas masing-masing; cabai merah (0,34),
melon (0,17) dan semangka (0,13) atau memiliki nilai lebih kecil dari 1 (begitu
pula dengan komoditas lainnya). Analisis SI menunjukkan nilai koefisien spesia-
lisasi tidak ada yang lebih besar dari 1, atau dengan kata lain bahwa daerah pe-
nelitian tidak terjadi spesialisasi untuk menanam komoditas baik hortikultura
maupun padi/palawija. Ini berarti terdapat variasi usaha tani yang dilakukan oleh
petani di daerah penelitian.
Hasil analisis LQ, LI dan SI tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, mes-
kipun tidak terjadi spesialisasi dan konsentrasi pengusahaan komoditas pertani-
an baik hortikultura maupun padi/palawija, namun komoditas; cabai merah,
melon dan semangka merupakan komoditas basis di daerah penelitian. Ini ber-
arti, sebagai komoditas basis maka pengembangan usaha tani komoditas; cabai
merah, melon dan semangka mempunyai peluang besar untuk menggerakkan
perekonomian wilayah. Untuk mewujudkan kondisi tersebut dibutuhkan dukung-
an yang kuat dan langkah nyata dari seluruh stakeholder yang ada di daerah
penelitian, termasuk didalamnya pemerintah daerah Kabupaten Kulon Progo.
Dengan langkah nyata dari seluruh stakeholder maka sangat mungkin ketiga
komoditas tersebut menjadi ”prime mover” dan secara simultan mampu mengge-
rakkan sektor-sektor lainnya.

Analisis Kesesuaian Lahan


Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dapat direalisir secara efektif
dan efisien apabila didukung ketersediaan data dan informasi keruangan yang
lengkap dan akurat. Ketersediaan data dan informasi dengan sendirinya akan
da-pat membantu dalam menentukan daerah pengembangan berdasarkan
kriteria peruntukan dan ketersediaan lahan.
Dalam aspek pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu, maka infor-
masi keruangan memiliki peranan sangat penting, diantaranya adalah:
1. Penyediaan dan penataan ruang untuk tujuan pengelolaan dengan cara
membuat batas (boundaries) yang membutuhkan pemahaman mendalam
menyangkut karakteristik, struktur, fungsi dan dinamika perubahan lingkung-
an pesisir, baik secara fisik maupun manusia sebagai pelakunya.
51

2. Meminimalisir atau menghindari dampak negatif jangka panjang yang mung-


kin muncul akibat dari pemanfaatan wilayah pesisir itu sendiri. Indikatornya
adalah berupa adanya ”incompatibility” atau terjadinya tumpang tindih dalam
pemanfaatan ruang pesisir sehingga diperlukan ”batas” untuk berbagai peng-
gunaannya. Batas dalam hal ini dapat memiliki dimensi ”ruang” dan ”waktu”.
Analisis spasial kesesuaian lahan
Di muka telah dijelaskan bahwa kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu
lahan untuk tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) ter-
tentu. Berdasarkan kondisinya, kesesuaian lahan dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu; kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial (Hardjo-
wigeno dan Widiatmaka, 2001). Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian
lahan saat ini dalam keadaan alami, tanpa ada upaya perbaikan lahan. Sedang-
kan kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan setelah dilakukan upa-
ya perbaikan lahan, misalnya; pemberian pupuk, pembuatan teras, pemberian
kapur, dan lain sebagainya.
Observasi lapangan menunjukkan bahwa, selain padi maka komoditas hor-
tikultura yaitu; cabai merah, melon, dan semangka merupakan komoditas perta-
nian andalan yang banyak diusahakan penduduk di daerah penelitian (yang me-
rupakan wilayah pesisir Kabupaten Kulon Progo). Hasil pengamatan juga men-
dapatkan di beberapa wilayah dalam daerah penelitian terdapat lahan yang
belum termanfaatkan ataupun kalau sudah termanfaatkan namun belum optimal.
Lahan ”tidur” (sebagaimana ditunjukkan Gambar 21 di bawah) memungkinkan
pengembangan luas areal untuk usaha tani komoditas tersebut, yaitu; cabai
merah, melon, dan semangka. Untuk mengidentifikasi kebutuhan ruang atau
lahan maka perlu dilakukan evaluasi kesesuaian lahan yang cocok untuk
pengembangan usaha pertanian komoditas; cabai merah, melon, dan semangka.

Gambar 21 Lahan ”tidur” di daerah penelitian.


52

Hasil analisis evaluasi lahan tiap-tiap satuan lahan di daerah penelitian di-
dapatkan bahwa, seluruh satuan lahan atau sebanyak 20 satuan lahan mem-
punyai kelas kesesuaian aktual “sesuai bersyarat atau S3”. Selanjutnya hasil
analisis menunjukkan, kelas kesesuaian lahan aktual S3 tersebut dibedakan atas
dua subkelas kesesuaian lahan aktual yaitu; S3wa dan S3wa.rc1 (Tabel 12).
Berdasarkan kriteria kesesuaian untuk tanaman cabai merah, melon dan
semangka yang ditetapkan (lihat Lampiran) maka tanah dengan subkelas kese-
suaian lahan aktual S3wa ini memiliki faktor pembatas berupa curah hujan rata-
rata tahunan yang cukup tinggi, yaitu > 1.400 mm. Selanjutnya untuk subkelas
kesesuaian lahan aktual S3wa.rc1 adalah kelas ”sesuai” dengan dua faktor pem-
batas, yaitu; subkelas ”wa” yaitu curah hujan rata-rata tahunan > 1.400 mm dan
subkelas ”rc1” yaitu tekstur tanahnya agak kasar. Subkelas kesesuaian lahan
aktual S3wa.rc1 ini secara spasial tersebar pada lahan sepanjang garis pantai
kawasan pesisir Kulon Progo dengan jenis tanah dominan pasir yaitu group Enti-
sol.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah dapatkah dan bagaimanakah
usaha perbaikan dilakukan pada kondisi kualitas lahan yang demikian? Perkem-
bangan teknologi yang pesat saat ini memungkinkan berbagai usaha perbaikan
kualitas lahan, namun dalam pelaksanaannya sangat perlu mempertimbangkan
aspek ekonomi. Bahkan secara tegas dikemukakan oleh Djaenudin et al. (2003),
usaha perbaikan yang dilakukan harus memperhatikan aspek ekonominya. Apa-
bila lahan tersebut diatasi kendala-kendalanya apakah secara ekonomis akan
dapat memberikan keuntungan, artinya antara modal atau investasi dan tekno-
logi yang diberikan dibandingkan dengan nilai produksi yang dihasilkan masih
mampu memberikan keuntungan.
Subkelas kesesuaian lahan aktual S3wa dengan faktor pembatas berupa
curah hujan rata-rata tahunan yang cukup tinggi yaitu > 1.400 mm, dapat saja
dilakukan perbaikan dengan cara pembuatan semacam ”rumah kaca” pada la-
han-lahan pertanian yang ada, namun secara ekonomi sulit diterapkan oleh peta-
ni di perdesaan Jawa dengan skala usaha tani kecil (lahan garapan < 5 ha). Apa-
kah dengan demikian tidak ada cara untuk mengatasi hambatan ini? Jika dicer-
mati lebih jauh pada kondisi iklimnya, daerah penelitian memiliki fluktuasi rata-
rata curah hujan bulanan yang cukup besar, yaitu pada bulan Nopember hingga
April curah hujan mencapai > 100 mm sedangkan bulan Mei hingga Oktober cu-
rah hujan < 100 mm. Terjadinya variasi curah hujan bulanan tersebut memberi
53

peluang diminimalisirnya kendala curah hujan dengan pelaksanaan pola tanam,


yaitu untuk bulan-bulan dengan curah hujan > 100 mm dapat ditanam komoditas;
cabai merah, melon, semangka dan padi sedangkan pada bulan-bulan dengan
curah hujan < 100 mm dapat ditanam komoditas palawija.
Subkelas kesesuaian lahan aktual S3wa.rc1 adalah kelas ”sesuai” dengan
dua faktor pembatas, yaitu; subkelas ”wa” yaitu curah hujan rata-rata tahunan >
1.400 mm dan subkelas ”rc1” yaitu tekstur tanahnya agak kasar karena dominan
pasir. Tanah-tanah yang bertekstur pasir, karena butir-butirannya berukuran lebih
besar maka setiap satuan berat mempunyai luas permukaan lebih kecil sehingga
sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara. Secara fisik tekstur tanah sulit un-
tuk dilakukan perbaikan, namun teknologi yang sederhana dapat diterapkan
untuk mengatasi faktor pembatas ini yaitu dengan pemberian mulsa atau jerami
dan pupuk kandang. Pemberian mulsa atau jerami akan meningkatkan daya se-
rap air. Pemberian pupuk kandang disamping bertujuan meningkatkan kesubur-
an tanah, juga meningkatkan terjadinya reaksi kimia dalam tanah. Metode inilah
yang banyak dilakukan oleh para petani di daerah penelitian dan fakta di lapang-
an menunjukkan tanaman komoditas; cabai merah, melon dan semangka yang
diusahakan dapat tumbuh subur dan produksi buah baik.
Dengan demikian jika upaya perbaikan dapat dilakukan pada seluruh faktor
pembatas yang ada sehingga kelasnya naik satu tingkat maka kelas kesesuaian
lahan di daerah penelitian menjadi ”sesuai atau S2”. Tabel 12 di bawah ini me-
nunjukkan luas kesesuaian lahan masing-masing satuan lahan di daerah pene-
litian sedangkan sebaran spasialnya ditunjukkan pada Gambar 22.
Tabel 12 Luas kesesuaian lahan untuk tanaman cabai merah,
melon dan semangka di daerah penelitian.
Kelas kesesuaian Satuan Kecamatan (ha) Jumlah
aktual potensial lahan Temon Wates Panjatan Galur (ha)

S3wa S2wa 1,3,4,5,6, 3.741,3 2.867,4 3.256,2 1.681,5 11.546,3


7 s/d 19
S3wa.rc1 S2wa.rc1 2 dan 20 579 391 1.085,4 755,4 2.790,9
Jumlah total 4.300,3 3.258,4 4.341,6 2.436,9 14.337,2
Sumber: Hasil Analisis, 2006

Tabel 12 di atas memperlihatkan bahwa, lahan yang ada di daerah peneli-


tian dapat diusahakan untuk penanaman komoditas cabai merah (Capsicum
annuum), melon (Citrulus vulgaris SHRAD) dan semangka (Colocynthis citrulus)
dengan dominasi subkelas kesesuaian S2wa.
54

( Gambar 22_peta suit cabai )


55

Integrasi analisis spasial kesesuaian lahan dengan penggunaan lahan saat


ini
Mengingat wilayah pesisir adalah suatu kawasan yang merupakan zona
peralihan antara daratan dan lautan maka dalam pemanfaatan ruang pesisir per-
lu memperhatikan karakteristik fisik lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya se-
tempat. Pemanfaatan sumberdaya pesisir terutama pada aspek fisik lingkungan
harus menjadi perhatian khusus, karena sumberdaya dan ekosistem pesisir
memiliki kaitan yang erat satu sama lainnya. Perubahan yang terjadi pada satu
ekosistem pesisir akan mempengaruhi ekosistem lainnya, demikian pula seba-
liknya. Disamping faktor alamiah, wilayah pesisir dapat juga berubah akibat dari
aktifitas manusia, seperti; kegiatan reklamasi, lagunisasi, dan konservasi hutan
mangrove.
Berdasarkan pada strategisnya kawasan pesisir ini Dahuri et al. (1996) me-
nyatakan bahwa pesisir merupakan kawasan di permukaan bumi yang paling
padat dihuni oleh umat manusia. Konsentrasi penduduk dan aktifitas pem-
bangunan di wilayah pesisir bukan suatu hal yang sifatnya kebetulan, namun di-
dasarkan pada tiga alasan ekonomis yaitu; (a) wilayah pesisir merupakan salah
satu kawasan yang secara biologis sangat produktif, (b) wilayah pesisir menye-
diakan berbagai kemudahan praktis dan mudah untuk aktifitas industri, permu-
kiman dan kegiatan lainnya, dibandingkan dengan kawasan atasnya, dan (c)
wilayah pesisir umumnya memiliki panorama keindahan yang dapat dijadikan ob-
yek rekreasi dan pariwisata yang menguntungkan (Bengen dalam Syukri, 2003).
Oleh karena wilayah pesisir mempunyai peluang ekonomis yang tinggi pada
akhirnya wilayah ini mendapatkan tekanan yang serius dan membahayakan
kelestariannya.
Melihat posisi strategis wilayah pesisir maka perlu dilakukan analisis kese-
suaian lahan (dalam hal ini kesesuaian lahan untuk komoditas; cabai merah,
melon, dan semangka) dengan penggunaan lahan saat ini di daerah penelitian.
Integrasi ini dilakukan untuk melihat apakah penggunaan lahan saat ini sudah
sesuai dengan kesesuaian lahannya.
Untuk kepentingan analisis maka beberapa jenis penggunaan lahan yang
bersifat ’given’ atau tidak mungkin diubah perlu dibuang atau dikeluarkan, yaitu;
pasir pantai, air tawar, bangunan, pemukiman, dan kebun sehingga lahan yang
mungkin dikembangkan adalah lahan dengan penggunaan lahan saat ini sawah
56

(rotasi), tanah ladang, rumput dan belukar. Hasil analisis menunjukkan sebagai
berikut:
Tabel 13 Luas kesesuaian lahan tanaman cabai merah, melon dan
semangka menurut penggunaan lahan saat ini di daerah penelitian.
Kelas Penggunaan lahan saat ini (ha)
kesesuaian Sawah Tanah Rumput Belukar Jumlah
lahan ladang
S2wa 2.934,3 2.382,5 461,0 13,5 5.791,5
S2wa.rc1 90,7 973,1 519,8 5,0 1.588,6
Jumlah 3.025, 0 3.355,6 980,8 18,5 7.379,9
Sumber: Hasil Analisis, 2006

Apabila seluruh penggunaan lahan saat ini (existing landuse) pada Tabel
13 di atas dimanfaatkan untuk pengembangan usaha tani komoditas; cabai me-
rah, melon dan semangka maka di daerah penelitian terdapat kesesuaian lahan
seluas 7.379,9 Ha. Data Dinas Pertanian dan Kelautan Kabupaten Kulon Progo
menyatakan bahwa pada tahun 2005 luas areal tanam ketiga komoditas di dae-
rah penelitian adalah seluas 1.762 Ha. Berdasarkan data areal tanam tersebut
maka di daerah penelitian masih terdapat potensi lahan seluas (7.379,9 –1.762)
Ha atau 5.617,9 Ha yang dapat dikembangkan untuk usaha tani komoditas; ca-
bai merah, melon, dan semangka. Selanjutnya untuk melihat pengembangan ke-
tiga komoditas jika menurut wilayah administrasi di daerah penelitian, maka perlu
dilakukan perhitungan dengan mengintegrasikan antara data penggunaan lahan
saat ini (existing landuse) dengan existing luas areal tanam tahun 2005, yaitu:
Tabel 14 Luas penggunaan lahan saat ini menurut kecamatan
di daerah penelitian.
Penggunaan Luas (ha)
Jumlah
lahan Temon Wates Panjatan Galur
Belukar 20,7 0,0 4,4 0,0 25,1
Rumput 301,2 167,7 186,8 173,3 829,0
Ladang 753,0 1.107,1 1.269,5 276,2 3.405,8
Sawah 1.109,9 262,8 364,0 1.383,3 3.120,0
Total 2.184,8 1.537,6 1.824,7 1.832,8 7.379,9
Sumber: Hasil Analisis, 2006

Tabel 15 Luas existing areal tanam menurut kecamatan


di daerah penelitian tahun 2005.
Komoditas Luas tanam (ha)
Jumlah
Temon Wates Panjatan Galur
Cabai merah 399 76 131 47 653
Melon 72 6 40 362 480
Semangka 153 45 141 290 629
Total 624 127 312 699 1.762
Sumber: Dinas Pertanian dan Kelautan Kab. Kulon Progo
57

Hasil perhitungan luas pengembangan ketiga komoditas untuk; kecamatan


Temon adalah (2.184,8 – 624) Ha atau 1.560,8 Ha, kecamatan Wates sebesar
(1.537,6 – 127) Ha atau 1.410,6 Ha, kecamatan Panjatan seluas (1.824,7 – 312)
Ha atau 1.512,7 Ha, dan kecamatan Galur sebesar (1.832,8 – 699) Ha atau
1.133,8 Ha. Luas pengembangan tersebut dengan asumsi seluruh existing land-
use (yaitu; belukar, rumput, tanah ladang dan sawah) di daerah penelitian me-
mungkinkan dimanfaatkan untuk usaha tani ketiga komoditas.
Optimalisasi potensi lahan untuk pengembangan ketiga komoditas tersebut
juga perlu memperhatikan rata-rata curah hujan bulanan sehingga dapat dilaku-
kan pola tanam (crop calender), sebagaimana Tabel 16 berikut:
Tabel 16 Integrasi rata-rata curah hujan dengan pola tanam (crop calender)
usaha tani tahunan menurut jenis penggunaan lahan saat ini di daerah penelitian.
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
Pola 1 S
Pola 2 S
Pola 3 R
Pola 4 R
Pola 5 L
Pola 6 L
Pola 7 B
Pola 8 B
Keterangan: S = sawah, L = tanah ladang, R = rumput, B = belukar
= padi, = cabai merah, = melon/semangka, = palawija
Sumber: Hasil Analisis, 2006
58

Analisis Usaha Tani


Dilihat dari aspek ekonomi, sumberdaya pesisir menyimpan potensi yang
besar untuk dikembangkan. Kekayaan biota dan bentang lahannya yang indah
mengakibatkan saling berebutnya berbagai kepentingan dalam pemanfaatan la-
han wilayah pesisir. Dinamika perekonomian wilayah mengakibatkan perubahan
yang sangat cepat pada nilai atau opportunity cost dari lahan pesisir, misalnya;
adanya pengembangan pelabuhan, tambak udang, atau bahkan permukiman
penduduk berpendapatan menengah ke atas sebagaimana yang terjadi di pantai
utara Jakarta.
Berpijak dari kenyataan tersebut di atas, perlu dilakukan analisis yang da-
pat menunjukkan nilai ekonomi pemanfaatan ruang pesisir untuk usaha tani ko-
moditas; cabai, melon dan semangka. Di satu sisi, analisis ini mampu memper-
lihatkan opportunity cost lahan pesisir yang dapat dinikmati petani setempat
untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sedangkan di sisi lainnya, analisis ini
bertujuan untuk memprediksikan apakah usaha tani tersebut menguntungkan
atau tidak, sehingga dapat menjawab pertanyaan apakah dalam jangka panjang
usaha tani tersebut layak dipertahankan atau tidak. Metoda analisis yang diguna-
kan adalah melalui analisa finansial, yaitu menghitung nilai ekonomis usaha tani
komoditas; cabai, melon dan semangka, melalui perhitungan nilai; IRR, B/C
Rasio, dan NPV.
Komoditas tanaman cabai merah
Hasil wawancara dengan sebanyak 15 petani yang menjadi responden
dalam penelitian ini diperoleh informasi bahwa jual harga cabai merah di tingkat
petani sangat berfluktuasi setiap harinya yaitu antara Rp. 2.000,00 hingga Rp.
12.000,00 per kilogram. Berdasarkan analisis finansial usaha tani komoditas ca-
bai merah dengan luas lahan 2.000 m2, tingkat suku bunga 15% dan jumlah pa-
nen 5,5 ton adalah sebagai berikut:
Tabel 17 Hasil perhitungan analisis finansial
usaha tani cabai merah di daerah penelitian.
Harga Input Output B/C IRR NPV
(Rp./kg) (Rp.) (Rp.) Rasio (Rp.)
2.000,00 4.020.000,00 11.000.000,00 1,68 39,25 2.257.000,00
5.000,00 4.020.000,00 27.500.000,00 4,20 56,93 10.616.000,00
10.000,00 4.020.000,00 55.000.000,00 8,40 62,09 24.548.000,00
Sumber: Hasil Analisis, 2006
59

Hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan harga cabai merah di tingkat


petani berada pada tingkat paling rendah sekalipun, yaitu Rp. 2.000,00/kg; nilai
B/C Rasio lebih dari 1, nilai IRR lebih dari 15% (tingkat suku bunga yang ditetap-
kan), dan NPV lebih dari 0, atau dengan kata lain usaha tani komoditas cabai
merah di daerah penelitian layak untuk dilaksanakan.
Walaupun hasil analisis finansial menunjukkan kelayakan usaha tani
cabai merah dengan harga jual Rp. 2.000,00/kg, namun wawancara dengan 15
petani responden di daerah penelitian menyatakan bahwa mereka merasa rugi
apabila harga cabai merah pada tingkat petani hanya mencapai Rp. 2.000,00/kg.
Para petani lebih lanjut menyatakan bahwa usaha tani yang dilakukannya berada
pada titik impas (petani secara finansial tidak untung dan tidak pula rugi) jika
harga jual berada di kisaran Rp. 4.000,00 hingga Rp. 5.000,00/kg.
Hasil analisis memperkuat pernyataan para petani tersebut, dimana jika
harga jual hanya sebesar Rp. 2.000,00/kg dengan nilai NPV sebesar Rp.
2.257.000,00 diperoleh pendapatan Rp. 376.000,00 per bulan (nilai NPV sebesar
Rp. 2.257.000,00 dibagi lamanya usaha tani yaitu 6 bulan). Dengan pendapatan
sebesar Rp. 376.000,00 per bulan tentulah tidak mencukupi berbagai keperluan
hidup mereka sehari-hari termasuk untuk keperluan operasional usaha taninya.
Jika harga jual cabai merah mencapai Rp. 5.000,00/kg dengan nilai NPV sebesar
Rp. 10.616.000,00 maka pendapatan yang dapat diperoleh petani bisa mencapai
Rp. 1.769.000,00 per bulan. Keuntungan yang cukup besar bagi petani apabila
harga cabai merah bisa mencapai Rp. 10.000,00/kg, dimana petani akan mem-
peroleh pendapatan Rp. 4.091.000,00 per bulannya.
Meskipun harga jual cabai merah cenderung berfluktuasi sangat cepat
setiap hari bahkan dalam hitungan jam, para petani di daerah penelitian tetap
menjadikan cabai merah sebagai komoditas andalannya. Tentu hal ini beralasan,
karena jika harga jual cabai merah dapat mencapai angka di atas Rp.
5.000,00/kg, dipastikan petani akan memperoleh keuntungan cukup besar. Untuk
alasan inilah, para petani menerapkan strategi menunda panen jika pada saat itu
harga jual cabai merah kurang memberikan keuntungan yang memadai.
Salah satu penyebab terjadinya fluktuasi harga yang sangat dinamis/ce-
pat adalah panen yang melimpah, disamping lemahnya posisi tawar harga (bar-
gaining position of price) petani terhadap produk mereka. Untuk mengantisipasi
melimpahnya hasil panen sebagai akibat dari panen yang bersamaan waktunya,
maka masing-masing kelompok tani membuat strategi penjadwalan pada kegiat-
60

an paling awal dalam usaha tani, yaitu tahap penanaman. Perbedaan waktu ta-
nam diharapkan berimbas pada terjadinya perbedaan waktu panen cabai merah
di masing-masing kelompok tani.
Terhadap permasalahan kedua, yakni posisi tawar harga, umumnya sulit
diatasi oleh petani bermodal kecil, yang merupakan kelompok dominan di daerah
penelitian. Hingga saat wawancara dilakukan, sebagian besar hasil panen cabai
merah dijual kepada para ”pengepul”, yaitu petani lokal yang mempunyai modal
besar dan memiliki akses terhadap pemasaran. Selanjutnya dari para ”pengepul”
akan dikirim ke pasar utama yaitu di Jakarta atau kota besar lainnya. Disamping
modal, lemahnya akses komunikasi pasar (misalnya; informasi harga, jumlah
permintaan, tujuan pasar, dan sebagainya) ke pasar utama adalah kendala lain
yang harus dihadapi para petani bermodal kecil. Kondisi ini mengakibatkan ter-
jadinya ketergantungan yang semakin besar para petani (utamanya yang bermo-
dal kecil) terhadap peran ”pengepul” dalam menjual hasil panennya. Dengan
demikian kelembagaan pasar yang dijumpai di daerah penelitian adalah; petani
ke ”pengepul” dan selanjutnya dari ”pengepul” ke pasar utama (pabrik mie instan
atau pasar sayur mayur).
Berkaitan dengan jumlah/kuantitas panen dengan pasar, seluruh respon-
den di daerah penelitian menyatakan bahwa tidak ada permasalahan, atau de-
ngan kata lain seluruh hasil panen dapat diserap pasar. Jika petani memilih un-
tuk menunda waktu panen, bukan disebabkan pasar yang tidak mampu menye-
rap, namun lebih didasarkan pada kepentingan petani menunggu tingkat harga
lebih tinggi dengan perhitungan mereka tidak rugi.
Komoditas tanaman melon dan semangka
Tanaman melon dan semangka termasuk dua komoditas yang diusaha-
kan oleh petani di wilayah pesisir Kulon Progo. Dibandingkan dengan usaha tani
komoditas cabai merah, perkembangan usaha tani komoditas melon dan se-
mangka relatif baru bagi para petani di daerah penelitian. Operasional pemeli-
haraan yang lebih rumit dan membutuhkan ketelitian tinggi dibandingkan komo-
ditas cabai merah, merupakan salah satu penyebab petani relatif lambat dalam
merespon usaha tani komoditas melon dan semangka. Nilai jual dari produk
komoditas melon dan semangka sangat ditentukan oleh kualitas hasil panen.
Selain ukuran buah (yang mempengaruhi bobot buah), kriteria kualitas buah juga
didasarkan pada bentuk (bulat, lonjong, atau kurang beraturan) dan kehalusan
dari permukaan buah melon atau semangka.
61

Wawancara langsung dengan petani diperoleh keterangan bahwa harga


jual buah melon dibedakan berdasarkan kualitas buahnya yaitu untuk; kualitas A
(kategori baik) bisa mencapai Rp. 2.000,00/kg, kualitas B (kategori sedang) se-
besar Rp. 1.500,00/kg, dan kualitas C (kategori jelek) sebesar Rp. 750,00/kg. Se-
dangkan untuk komoditas semangka harganya lebih rendah, yaitu; kualitas A
(kategori baik) mencapai Rp. 1.250,00/kg, kualitas B (kategori sedang) sebesar
Rp. 1.000,00/kg, dan kualitas C (kategori jelek) sebesar Rp. 500,00/kg. Dengan
luas lahan rata-rata sebesar 2.000 m2, harga jual kualitas B (kategori sedang),
dan hasil panen 10 ton maka hasil analisis finansial untuk komoditas melon dan
semangka adalah sebagai berikut:
Tabel 18 Hasil perhitungan analisis finansial
usaha tani melon di daerah penelitian.
Harga Input Output B/C IRR NPV
(Rp./kg) (Rp.) (Rp.) Rasio (Rp.)
750,00 3.664.500,00 7.500.000,00 1,26 25,16 889.800,00
1.500,00 3.664.500,00 15.000.000,00 2,52 50,80 5.178.000,00
2.000,00 3.664.500,00 20.000.000,00 3,36 55,25 8.036.800,00
Sumber: Hasil Analisis, 2006

Selanjutnya hasil analisis memperlihatkan bahwa dengan harga jual


melon Rp. 750,00/kg petani hanya memperoleh pendapatan Rp. 222.450,00 per
bulan, harga jual Rp. 1.500,00/kg dengan pendapatan Rp. 1.294.500,00 per bu-
lan, dan harga jual Rp. 2.000,00/kg pendapatan petani Rp. 2.009.000,00 per
bulan. Angka ini menunjukkan bahwa dengan asumsi hasil panen 10 ton dan
tingkat suku bunga 15%, keuntungan usaha tani melon dapat dicapai petani jika
margin harga jual buah adalah Rp. 1.500,00/kg.
Tabel 19 Hasil perhitungan analisis finansial
usaha tani semangka di daerah penelitian.
Harga Input Output B/C IRR NPV
(Rp./kg) (Rp.) (Rp.) Rasio (Rp.)
500,00 3.374.500,00 5.000.000,00 0,92 - 16,48 - 249. 500,00
1.000,00 3.374.500,00 10.000.000,00 1,84 43,37 2.609.000,00
1.250,00 3.374.500,00 12.500.000,00 2,30 49,12 4.039.000,00
Sumber: Hasil Analisis, 2006

Hasil analisis tersebut di atas menunjukkan bahwa dengan harga jual Rp.
500,00/kg maka usaha tani komoditas semangka memiliki B/C rasio < 1, IRR <
tingkat suku bunga yang ditetapkan, dan NPV < 0 maka tidak layak diusahakan.
Jika harga jual semangka mencapai Rp. 1.000,00/kg ke atas maka usaha tani
semangka layak diusahakan. Petani akan memperoleh pendapatan Rp.
62

652.000,00 per bulan jika harga jual semangka adalah Rp. 1.000,00/kg, dan
keuntungan akan diperoleh apabila harga jual bisa mencapai Rp. 1.250,00/kg.
Hasil panen petani dalam usaha tani melon dan semangka ini, sebagai-
mana usaha tani cabai merah, adalah melalui para ”pengepul” yang selanjutnya
dari ”pengepul” akan dimasukkan ke pasar utama di Jakarta dan sebagian ke
Yogyakarta atau kota-kota lainnya. Berbeda dengan komoditas cabai merah
dimana para petani melalukan pemanenan sendiri, para petani melon dan se-
mangka diberikan pilihan apakah pemanenan dilakukan dengan sistim ”tebasan”
atau pemanenan sendiri oleh petani. Sistim ”tebasan” adalah pemanenan dilaku-
kan oleh ”pengepul” sehingga seluruh biaya tenaga kerja mulai dari proses pe-
metikan hingga pengangkutan buah ke alat transportasi (truk) menjadi tanggung
jawab ”pengepul”. Jika petani memilih pemanenan dilakukan sendiri oleh mereka
maka ”pengepul” akan memberi ganti ongkos/biaya panen (dari pemetikan hing-
ga buah siap angkut) sebesar Rp. 100.000,00 kepada petani.
Sebagaimana cabai merah, hasil panen melon atau semangka hingga pe-
nelitian dilakukan menurut para petani dapat terserap seluruhnya di pasar, baik
lokal maupun luar daerah. Pasar lokal adalah pedagang buah yang selama dua
tahun terakhir ini banyak bermunculan di sepanjang jalur utama jalan Yogyakarta
– Jakarta atau Bandung, terutama sebelum masuk kota Wates. Pasar luar dae-
rah adalah Jakarta, Yogyakarta, Purworejo, Magelang atau kota-kota lain di Jawa
Tengah. Khususnya Yogyakarta, dimana kota ini dikenal sebagai kota wisata
dengan banyak fasilitas akomodasi seperti hotel, tempat penginapan (guest
house), dan restoran atau rumah makan, menjadikan kota ini merupakan pasar
cukup besar dalam penyerapan hasil-hasil pertanian termasuk buah-buahan se-
perti melon dan semangka.

Perencanaan Penggunaan Lahan Kawasan Pesisir


Hasil identifikasi fisik menunjukkan bahwa, 90% daerah penelitian memiliki
lereng kurang dari 8% atau bertopografi landai hingga datar, berada pada posisi
strategis karena merupakan simpul akses ke kota Jakarta dan Bandung, dengan
curah hujan tahunan rata-rata kategori sedang yaitu antara 2.000-2.500 mm/ta-
hun. Ketersediaan air untuk irigasi memadai dengan kedalaman air tanah berki-
sar antara 1,5 hingga 2,5 meter dengan kualitas baik. Kondisi tanah di daerah
penelitian relatif cukup subur dengan jenis tanah; Alfisol, Mollisols dan Vertisol.
63

Perekonomian wilayah bertumpu pada sektor pertanian sebagai penyum-


bang terbesar dalam struktur PDRB daerah. Peranan stategis sektor pertanian
dalam perekonomian wilayah didukung oleh jumlah penduduk yang terlibat da-
lam aktifitas ”on farm” yaitu sebanyak 41.487 jiwa. Secara sosial, mayoritas pen-
duduk di daerah penelitian memeluk agama Islam yaitu sebanyak 97,30% dan
terdapat lebih 75% dari sebanyak 32.442 rumah tangga yang tinggal di daerah ini
berprofesi sebagai petani atau buruh tani.
Pemanfaatan lahan di daerah penelitian berdasarkan luas arealnya yang
terbesar adalah; kebun, sawah, tanah ladang, rumput, dan pemukiman. Khusus-
nya di Kecamatan Wates, penggunaan lahan untuk pemukiman lebih besar di-
bandingkan penggunaan lahan sawah karena konsentrasi penduduknya yang
besar di wilayah ini. Lahan sawah selain diusahakan dengan komoditas utama
padi, juga diselingi dengan komoditas; cabai merah, melon, atau semangka. Da-
lam kurun waktu enam tahun terakhir, usaha tani komoditas cabai merah berge-
ser ke areal dengan existing landuse rumput. Pengamatan di lapangan menun-
jukkan, sebanyak 5 petani yang melakukan usaha tani komoditas cabai merah di
lahan dengan jenis tanah ordo Entisol mampu menghasilkan tanaman dengan
hasil yang baik.
Selanjutnya berdasarkan analisis sektor basis wilayah, cabai merah meru-
pakan komoditas basis di wilayah; Kecamatan Temon (LQ=2,31), Kecamatan
Wates (LQ=1,16) dan Kecamatan Panjatan (LQ=1,40). Komoditas melon dengan
nilai LQ=1,77 dan semangka dengan nilai LQ=1,46 menjadi komoditas basis di
Kecamatan Galur. Hasil analisis juga mengungkapkan bahwa tidak terjadi spe-
sialisasi dan konsentrasi pengusahaan komoditas pertanian baik komoditas hor-
tikultura maupun padi/palawija di daerah penelitian.
Analisis kesesuaian lahan di daerah penelitian untuk komoditas cabai me-
rah, melon dan semangka terdapat satu kelas kesesuaian lahan yaitu ”sesuai
atau S2”. Selanjutnya luas lahan potensial untuk pengembangan komoditas ca-
bai merah, melon dan semangka di daerah penelitian adalah 5.617,9 Ha (tidak
termasuk lahan yang sudah diusahakan komoditas yang sama seluas 1.762 Ha).
Dikaitkan dengan kondisi existing landuse dan memperhatikan curah hujan bu-
lanan maka optimalisasi lahan dilakukan dengan pelaksanaan pola tanam, baik
pada penggunaan lahan; sawah, tanah ladang, rumput, atau belukar.
Analisis usaha tani diperoleh hasil bahwa, usaha tani komoditas; cabai me-
rah, melon dan semangka untuk seluruh harga jual adalah layak, terkecuali pada
64

komoditas semangka pada harga jual panen Rp. 500,00/kg adalah tidak layak
diusahakan.
Memperhatikan hasil identifikasi fisik, ekonomi, sosial budaya, analisis sek-
tor basis wilayah, analisis kesesuaian lahan, dan analisis usaha tani, dirumuskan
perencanaan penggunaan lahan kawasan pesisir (secara spasial ditunjukkan
pada Gambar 23) sebagai berikut:
q Untuk mencapai ”economic of scale” maka pengembangan komoditas cabai
merah; (a) prioritas I pada areal penggunaan lahan saat ini (existing landuse)
”rumput dan belukar” yang mencakup 4 kecamatan, yaitu; Temon, Wates,
Panjatan dan Galur, (b) prioritas II pada areal penggunaan lahan saat ini
(existing landuse) ”tanah ladang” kecamatan, yaitu; Temon, Wates dan Pan-
jatan, (c) prioritas III pada areal penggunaan lahan saat ini (existing landuse)
”sawah” yang mencakup 3 kecamatan yaitu; Temon, Wates dan Panjatan.
q Pengembangan komoditas melon dan semangka diarahkan di Kecamatan
Galur pada areal penggunaan lahan saat ini (existing landuse) ”sawah dan
tanah ladang”.
q Untuk mendukung tetap terjaganya ketahanan pangan wilayah (khususnya
beras) maka optimasi pemanfaatan lahan sawah untuk pengembangan ko-
moditas; cabai merah, melon dan semangka dapat dilakukan dengan pelak-
sanaan pola tanam (crop calender), yaitu; (1) pola 1 (kombinasi padi – cabai
merah), musim tanam padi dilakukan pada bulan Nopember hingga Pebruari
sedangkan cabai merah pada bulan Maret hingga Agustus, dan (2) pola 2
(kombinasi padi – melon/semangka), musim tanam padi dapat dilakukan mu-
lai bulan Nopember hingga Pebruari sedangkan melon atau semangka dapat
ditanam mulai bulan Maret hingga Juni.
65

(Gambar 23_peta perencanaan)


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo memiliki potensi yang cukup be-
sar untuk pengembangan pertanian, khususnya komoditas; cabai merah, melon
dan semangka. Potensi tersebut dicerminkan dari karakteristik fisik wilayahnya
yang sebagian besar berlereng datar hingga berombak, tanahnya relatif subur
dengan order Inceptisol, Alfisol, Mollisol, dan Vertisol, serta penduduknya seba-
gian besar masih menggantungkan hidupnya pada aktifitas ”on farm”.
Analisis potensi basis wilayah menunjukkan bahwa, cabai merah menjadi
komoditas basis di kecamatan; Temon, Wates dan Panjatan, sedangkan komodi-
tas melon dan semangka menjadi komoditas basis di Kecamatan Galur. Selan-
jutnya, kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo terdapat satu kelas kesesuaian
lahan yaitu ”sesuai atau S2” dengan potensi lahan untuk pengembangan ketiga
komoditas tersebut adalah 5.617,9 Ha pada existing landuse; sawah, rumput,
ladang dan belukar. Optimalisasi pemanfaatan lahan dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan seluruh existing landuse melalui pelaksanaan pola tanam (crop
calender).
Usaha tani komoditas cabai merah dan melon dengan luas lahan 2.000
m 2 dan asumsi bunga 15% adalah layak untuk diusahakan di daerah penelitian,
kecuali semangka jika harga jual panen hanya mencapai Rp. 500,00/kg maka
usaha tani tersebut tidak layak. Petani akan memperoleh pendapatan yang layak
untuk usaha tani komoditas cabai merah jika harga jual buah mencapai lebih dari
Rp. 5.000,00/kg. Usaha tani komoditas melon dengan harga jual lebih dari Rp.
1.500,00/kg akan memberikan pendapatan yang layak untuk petani, sedangkan
untuk komoditas semangka dengan harga jual minimal Rp. 1.000,00/kg.
Berdasarkan berbagai hasil analisis tersebut di atas maka pengembangan
komoditas cabai merah diarahkan di wilayah Kecamatan Temon, Wates, Panja-
tan dan sebagian Kecamatan Galur pada existing landuse, rumput, sawah, la-
dang dan belukar; sedangkan komoditas melon dan semangka diarahkan ke Ke-
camatan Galur terutama pada existing landuse sawah.

Saran
1. Pemerintah daerah harus mendorong dan memfasilitasi terciptanya kemu-
dahan akses dan informasi pasar, khususnya untuk para petani yang bermo-
dal kecil.
67

2. Pemerintah daerah harus mendorong tumbuhnya industri pengolahan yang


berbasis produk komoditas; cabai merah, melon, dan semangka di wilayah
ini, sehingga keuntungan lokal (value added) dapat diciptakan diantaranya;
hasil panen tetap terserap, fluktuasi harga dapat ditekan, dan terciptanya pe-
luang kerja di sektor ”off-farm”.
3. Pemerintah daerah dan atau petani perlu mengatur pola tanam (crop calen-
der) dan manajemen air secara tepat sehingga tercipta optimalisasi lahan
yang ada dan diperoleh hasil panen yang maksimal.
4. Pemerintah daerah perlu mengendalikan konversi lahan untuk penggunaan
yang bersifat ”irreversible” (tidak dapat balik), misalnya; permukiman, industri,
gedung dan lain sebagainya, agar tetap terjaganya kelestarian lingkungan.
5. Penelitian lebih mendalam terkait pendapatan petani, khususnya aspek
aktivitas ”on-farm” dan ”off-farm”, serta skala ekonomi perlu dilakukan untuk
melengkapi dan menjelaskan secara utuh peranan usaha tani ketiga komodi-
tas tersebut dalam menggerakkan perekonomian wilayah pesisir.
DAFTAR PUSTAKA

[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kulon Pro-


go. 2003. Status dan Luas Tanah Pesisir Kabupaten Kulon Progo.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo. 2005. Kulon Progo Dalam
Angka 2004. Kerjasama BPS dan BAPPEDA Kabupaten Kulon Progo.

[BPT] Balai Penelitian Tanah. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Ko-
moditas Pertanian. Puslittanak Badan Litbang Departemen Pertanian.

[BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. 2003. Laporan Ke-


giatan TA. 2003: Karakterisasi Zona Agroekologi dan Pewilayahan Komo-
ditas Pertanian Skala 1:50.000.

Barus, B., dan U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografi: Sarana Ma-
najemen Sumberdaya. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi
Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Bird, E.C.F. 1969. Coasts An Introduction to Systematic Geomorphology. The


M.I.T. Press. Cambridge.

Chang, K.T. 2002. Introduction to Geographic Information Systems. Prentice Hall.


New York.

Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Ja-
karta.

Danudoro, P. 2006. Sains Informasi Geografis: Dari Perolehan dan Analisis Citra
hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial. Jurusan Kartografi dan Peng-
inderaan Jauh Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.

Djaenudin, D., Marwan H., Subagjo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis
Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Penerbit: Balai Penelitian Ta-
nah, Puslitbangtanak-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor.

Dulbahri. 2003. Sistem Informasi Geografi. Pelatihan Sistem Informasi Geografis


Tingkat Operator untuk Staf UPT Direktur Jenderal RPLS. Departemen
Kehutanan.

Ellsworth, J.P., L.P. Hildebrand dan E.A. Glover. 1997. Canada’s Atlantic Coastal
Action Program: A community-based approach to collective governance.
Ocean and Coastal Management, Vol. 36, No. I-3, pp. 121-142.

[FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nations. 1976. A Frame-
work for Land Evaluation. FAO Soil Bulletin 32. FAO. Rome.

Hardjowigeno, S., dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan


Tataguna Tanah: Buku Pegangan Mata Kuliah. Departemen Ilmu Tanah
dan Manajemen Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
69

Nugroho, I., dan R. Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi,


Sosial dan Lingkungan. Penerbit LP3ES. Jakarta.

Pethic, J. 1988. An Introduction to Coastal Geomorphology. Edward Arnold. Lon-


don.

Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten Kulon Progo.

Rustiadi, E., S. Saefulhakim dan Dyah R.P. 2005. Diktat Perencanaan dan Pe-
ngembangan Wilayah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Santosa, L.W. 2004. Studi Akuifer Pada Bentanglahan Kepesisiran Kabupaten


Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia,
Vol. 18, Nomor 2, September 2004.

Sutikno. 1999. Karakteristik Bentuk Pantai. Pelatihan Aplikasi Sistem Informasi


Geografis untuk Pesisir dan Kelautan Tingkat Pengelola (Manager) Basis
Data. PUSPICS-Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.

Syukri, M. 2003. Studi Kesesuaian dan Pemanfaatan Ruang untuk Pengem-


bangan Wisata Bahari di Kawasan Pesisir Bandara Ketaping, Kecamatan
Batang Anai, Padang Pariaman. [thesis]. Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Todaro, M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Alih Bahasa Drs.
Hari Munandar, MS. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Warpani, S. 2000. Analisis Kota dan Daerah. Penerbit ITB. Bandung.

Wiradisastra, U.S. 1989. Metodologi Evaluasi Lahan Dalam Hubungan Sistem


Informasi Sumberdaya Lahan. Lokakarya Sistem Informasi Sumberdaya
Lahan Untuk Perencanaan Tata Ruang. Kerjasama Fakultas Geografi
UGM bersama Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKO-
SURTANAL). Yogyakarta 24-25 Desember 1989.

Yeh, A.G., dan X. Li, 1999. Economic Development and Agricultural Land Loss in
The Pearl River Delta, China. Habitat International, Vol. 23, No. 3, pp.
373-390.
70

Tabel lampiran 1 Kriteria kesesuaian untuk tanaman cabai merah.


Kelas kesesuain lahan untuk tanaman Cabai merah
Karakteristik (Capsicum annuum )
S1 S2 S3 N
1. Temperatur (tc)
Temperatur rata-rata (oC) 21-27 27-28 28-30 > 30
16-21 14-16 < 14
2. Ketersediaan air (wa)
Curah hujan (mm) 600-1.200 500-600 400-500 < 400
1.200-1.400 > 1.400
3. Ketersediaan oksigen (oa)
Drainase baik, agak agak cepat, terhambat sangat ter-
terhambat sedang hambat, cepat
4. Media perakaran (rc)
Tekstur (rc1) halus, agak - agak kasar kasar
halus, sedang
Kedalaman tanah (cm) (rc2) > 75 50-75 30-50 < 30
5. Retensi hara (nr)
KTK liat (emol(+) kg-1) (nr1) > 16 < 16 - -
pH H 2O (nr2) 6,0-7,6 5,5-6,0 < 5,5 -
7,6-8,0 > 8,0
C-organik (%) (nr3) > 0,8 < 0,8
6. Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) <8 8-16 16-30 > 30
7. Bahaya banjir (fh)
Genangan F0 - F1 > F1
Sumber: BPT, 2003 (dengan penyesuaian)

Tabel lampiran 2 Kriteria kesesuaian untuk tanaman semangka.


Kelas kesesuain lahan untuk tanaman Semangka
Karakteristik (Colocynthis citrullus)
S1 S2 S3 N
1. Temperatur (tc)
Temperatur rata-rata (oC) 22-30 30-32 32-35 > 35
20-22 18-20 < 18
2. Ketersediaan air (wa)
Curah hujan (mm) 400-700 700-1.000 > 1.000
300-400 200-300 < 200
3. Ketersediaan oksigen (oa)
Drainase baik, agak agak cepat, terhambat sangat ter-
terhambat sedang hambat, cepat
4. Media perakaran (rc)
Tekstur (rc1) halus, agak - agak kasar kasar
halus, sedang
Kedalaman tanah (cm) (rc2) > 50 > 50 30-50 <30
5. Retensi hara (nr)
KTK liat (emol(+) kg-1) (nr1) > 16 < 16 - -
pH H 2O (nr2) 5,8-7,6 5,5-5,8 < 5,5 -
7,6-8,0 > 8,0
C-organik (%) (nr3) > 1,2 0,8-1,2 < 0,8
6. Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) <8 8-16 16-30 > 30
7. Bahaya banjir (fh)
Genangan F0 - F1 > F1
Sumber: BPT, 2003 (dengan penyesuaian)

Kriteria kesesuaian untuk tanaman melon (Citrulus vulgaris SHRAD) adalah sama de-
ngan kriteria kesesuaian untuk tanaman semangka (Colocynthis citrullus) (BPT, 2003).

You might also like