You are on page 1of 4

Hadits qudsi dan hadits nabawi

Hadits Qudsi

Secara bahasa, kata qudsi adalah nisbah dari kata quds

Hadits qudsi adalah firman atau perkataan Allah SWT, namun jenis firman Allah SWT yang tidak
termasuk Al-Quran. Hadits qudsi tetap sebuah hadits, hanya saja Nabi Muhammad SAW
menyandarkan hadits qudsi kepada Allah SWT. Maksudnya, perkataan Allah SWT itu diriwayatkan
oleh Nabi Muhammad SAW dengan redaksi dari diri beliau sendiri. Bila seseorang meriwayatkan
hadis qudsi, maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah SAW dengan disandarkan kepada Allah,
dengan mengatakan:

Rasulullah SAW mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya`, atau ia
mengatakan:

Rasulullah SAW mengatakan: Allah Ta`ala telah berfirman atau berfirman Allah Ta`ala.`

Contoh hadits qudsi antara lain:

Dari Abu Hurairah ra. Dari Rasulullah SAW yang meriwayatkan dari Allah azza wajalla: Tangan Allah
penuh, tidak dikurangi lantaran memberi nafkah, baik di waktu siang maupun malam.

Contoh yang lainnya:

Dari Abu Hurairah Ra, bahwa Rasulullah SAW berkata: ` Allah ta`ala berfirman: Aku menurut
sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila ia menyebut-Ku.bila menyebut-KU di dalam
dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan bila ia menyebut-KU di kalangan orang
banyak, maka Aku pun menyebutnya di dalam kalangan orang banyak lebih dari itu.

Hadits Nabawi

Sedangkan hadits nabawi adalah segala yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat.
Yang berupa perkataan seperti perkataan Nabi SAW:

Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niat. Dan setiap orang bergantung pada niatnya.

Sedangkan yang berupa perbuatan ialah seperti ajaranya pada sahabat mengenai bagaimana
caranya mengerjakan shalat, kemudian ia mengatakan:

Shalatlah seperti kamu melihat aku melakukan shalat.

Juga mengenai bagaimana ia melakukan ibadah haji, dalam hal ini Nabi saw. Berkata:

Ambilah dari padaku manasik hajimu.

Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti beliaumenyetujui suatu perkara yang dilakukan salah
seorang sahabat, baik perkataan atau pun perbuatan, baik dilakukan di hadapan beliau atau tidak,
tetapi beritanya sampai kepadanya. Misalnya mengenai makanan biawak yang dihidangkan
kepadanya, di mana beliaudalam sebuah riwayattelah mendiamkannya yang berarti menunjukkan
bahwa daging biawak itu tidak haram dimakan.

Perbedaan Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi

Hadis nabawi itu ada dua macam, yaitu:

a. Tauqifi

Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW dari wahyu, lalu ia
menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun kandungannya
dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih dinisbahkan kepada Rasulullah SAW,
sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat
makna yang diterima dari pihak lain.

b. Taufiqi
Yang bersifat taufiqi yaitu: yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut pemahamannya terhadap
Quran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran atau menyimpulkannya dengan
pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulannyang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia
benar, dan jika terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya.
Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.

Dari sini jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan taufiqi dengan
ijtihad yang diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Da inilah makna dari firman Allah tentang
Rasul kita Muhammad saw.:

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (QS An-Najm:3-4).

Hadis qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui salah satu cara
penurunan wahyu, sedang lafadznya dari Rasulullah SAW, inilah pendapat yang kuat.
Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah SWT adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah
mengenai lafadznya. Sebab seandainya hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi
perbedaan antara hadis qudsi dengan Al-Quran. Dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk
ditantang, serta membacanya pun diangggap ibadah.

Mengenai hal ini timbul dua pertanyaan menggelitik:

Pertama, bahwa hadis nabawi ini juga wahyu secara maknawi, yang lafaznya dari Rasulullah SAW,
tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadits qudsi?

Jawabnya ialah bahwa kita merasa pasti tentang hadis qudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari
Allah karena adanya nash syara` yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah
SAW: “Allah Ta`ala telah berfirman..., atau Allah Ta`ala berfirman....” Itulah sebabnya kita namakan
hadis itu adalah hadis qudsi. Hal ini berbeda dengan hadis-hadis nabawi, kerena hadis nabawi tidak
memuat nash tentang hal seperti ini.

Di samping itu bisa jadi isinya diberitahukan (kepada Nabi) melalui wahyu (yakni secara tauqifi),
namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad (yaitu secara taufiqi), dan oleh sebab itu kita
namakan masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita
mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi, tentulah hadis nabawi itu kita namakan
pula hadis qudsi.

Pertanyaan kedua, bila lafal hadis qudsi itu dari Rasulullah SAW, maka dengan alasan apakah hadits
itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi?
Jawabnya ialah bahwa hal yang demikian ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang menisbahkan
kalam berdasarkan kandungannya bukan berdasar lafadznya. Misalnya ketika kita mengubah sebait
syair menjadi prosa, kita katakan `si penyair berkata demikian`. Juga ketika kita menceritakan apa
yang kita dengar dari seseorang kita pun mengatakan `si fulan berkata demikian`.

Begitu juga Al-Quran menceritakan tentang Nabi Musa, Fir`aun dan sebagainya isi kata-kata mereka
dengan lafal mereka dan dengan gaya bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka, tetapi
dinisbatkan kepada mereka.

`Dan ketika Tuhanmu menyeru Musa: `Datangilah kaum yang zalim itu, kaum Fir`aun. Mengapa
mereka tidak bertakwa?` Berkata Musa: `Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan
mendustakan aku. Dan sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah kepada Harun. Dan
aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.Maka datanglah kamu
berdua kepada Fir`aun dan katakanlah olehmu: `Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta
alam, lepaskanlah Bani Israil beserta kami`.Fir`aun menjawab: `Bukankah kami telah mengasuhmu di
antara kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari
umurmu. Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk
golongan orang-orang yang tidak membalas guna. Berkata Musa: `Aku telah melakukannya, sedang
aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut
kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di
antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah kamu telah memperbudak Bani
Israil`.Fir`aun bertanya: `Siapa Tuhan semesta alam itu?` Musa menjawab: `Tuhan Pencipta langit
dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya, jika kamu sekalian mempercayai-Nya`. (Asy-Syuara`:
10-24)

You might also like