You are on page 1of 17

MAKALAH

SEJARAH RABIAH AL- ADAWIYA DAN KONSEP TASAWUFNYA


(MAHABBAH)

DOSEN : Dr. Abbas S. Ag, M.A,

KELPOMPOK 9

NAMA KELOMPOK :

1. SUTI ATMINI/
2. SITTI. MUTHIA MUTMAINNAH AS/19010101165
3. YEYEN NOVALIA/
4. NI’MATU SA’DIYAH
5. SAHRINI/

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KENDARI
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan mengucapkan puji syukur kita atas kehadirat Allah SWT. Atas kehendak-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah ini. Meskipun banyak kekurangan dan kesalahan
didalamnya. Namun saya berharap bisa memberikan sedikit pengetahuan tentang hal-hal
yang saya tulis.

Sholawat serta salam tak lupa pula penulis haturkan kepada baginda kita Rasulullah
SAW, sebagai (uswatun hasanah) contoh teladan yang baik bagi kita semua, yang telah
membawa umat islam dari zaman jahiliyyah menuju zaman yang terang menerang seperti
sekarang ini.

Dalam kesempatan ini tidak lupa kami ucapkan banyak trima kasih kepada bapak Dr. Abbas
S. Ag, M.A, dosen pembimbing dan kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Makalah ini yang saya buat berjudul tentang SEJARAH RABIAH
AL- ADAWIYA DAN KONSEP TASAWUFNYA(MAHABBAH). Semoga makalah ini
dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pempaca dan pendengar. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk lebih maju lagi kedepannya dan
semoga makalah dari saya bisa bermanfaat bagi kita semua. Sekian dan terimakasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kendari, 10 – Desember – 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………………

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………….

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………....

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………....

A. Latar Belakang …………………………………………………………………...

B. Rumusan Masalah ………………………………………………………….….…

C. Tujuan Penulisan ……………………………………………………………..…..

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………….

A. Sejarah Hidup Rabi’ah al-adawiyah……………………………………………...

B. Apa Pengertian Mahabbah……………………………………………………….

C. Konsepsi Hub al-Illah yang dimilki Rabi’ah al-adawiyah……………………….

BAB III PENUTUP …………………………………………………………………….

A. Simpulan …………………………………………………………………………

B. Saran ……………………………………………………………………...………

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu pilar Islam. Ia adalah ajaran dan amalan Rasulullah saw.
Beserta para sahabatnya. Seungguhnya tanpa tasawuf agama ini akan kehilangan ruhnya
dan tidak ada bedanya dengan ideologi buatan manusia. Sepeninggal Rasulullah dan para
sahabatnya, setelah Islam berkembang, ilmu-ilmu Islam pun mengalami perkembangan
yang hebat. Jika tadinya hanya iman, Islam, dan Ihsan, maka mulai muncul ilmu-ilmu
baru seperti ilmu tafsir, nahwu sharaf, musthalah hadits, ushul fiqih dan lain-lain. Umat
Islam pun terdiri dari berbagai macam bangsa dengan berbagai bahasa. Untuk
memudahkan dalam mempelajari Islam, para ulama Islam membagi ilmu-ilmu dengan
memberinya istilah baru seperti aqidah untuk iman, fiqih untuk Islam, dan tasawuf untuk
ikhsan. Dalam mempelajari ilmu Islam dibolehkan secara terpisah, tetapi dalam
mengamalkan wajib serentak antara iman, Islam, dan ikhsan.
Tasawuf merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sebuah
kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Tasawuf sangat erat hubungannya
dengan keadaan menjauhi hidup duniawi dan kesenangan material atau biasa disebut
dengan istilah zuhud. Sedang orang yang mempunyai sifat zuhud disebut zahid. Setelah
itu barulah barulah meningkat menjadi sufi. Dalam perkembangan zuhud terdapat dua
golongan zahid. Satu golongan zahid meninggalkan kehidupan dunia serta serta
kesenangan material dan memusatkan perhatian pada ibadah karena didorong oleh
perasaan takut akan masuk neraka di akhirat kelak. Tuhan dipandang sebagai suatu dzat
yang ditakuti, dan perasaan takutlah yang menjadi pendorong mereka. Satu golongan lain
didorong oleh perasaan cinta kepada Tuhan. Bagi mereka, Tuhan bukanlah dzat yang
harus ditakuti dan dijauhi, namun harus dicintai dan didekati. Maka mereka
meninggalkan kehidupan duniawi dan banyak beribadah karena ingin mendekatkan diri
kepada Tuhan. Kalangan sufi yang termasuk dalam kalangan ini adalah Rabi’ah al-
Adawiyah, dengan konsep pemikiran tasawufnya yaitu mahabbah illahiyah (kecintaan
kepada Tuhan). Seorang wanita sufi dari Basrah yang terkenal dengan ibadah dan
kedekatannya dengan Allah Swt dengan memasukkan konsep kecintaan terhadap Tuhan
dalam dunia tasawuf.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang mengenai perjalanan singkat Rabi’ah al-adawiyah, kami
merumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah, diantaranya:
1. Bagaimana sejarah hidup Rabi’ah al-adawiyah?
2. Apa pengertian mahabbah?
3. Bagaimanakah konsepsi Hub al-Illah yang dimilki Rabi’ah al-adawiyah?

C. Tujuan Penulisan
Dalam makalah ini kami memiliki tujuan pembahasan sebagaimana berikut :
1. Mengetahui sejarah perjalanan hidup Rabi’ah al-adawiyah.
2. Megetahui dan memahami arti dari mahabbah.
3. Mengetahui konsep Falsafah Hub al-Illah dari Rabi’ah al-adawiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Rabi’ah al-Adawiyah
Di dalam sejarah Islam klasik, ada dua tokoh terkenal yang bernama Rabî’ah; dan
kesamaan nama ini terkadang mengaburkan penisbahan riwayat-riwayat kepada masing-
masing tokoh. Rabî’ah yang pertama hidup di Yerussalem, Palestina, dan wafat pada
tahun 135 H/753 M, sedangkan Rabi’ah yang lebih muda berasal dan hidup di Bashrah,
serta wafatnya pada tahun 185H/800M. Tokoh yang dimaksudkan di sini adalah Rabi’ah
muda yang secara lengkap bernama Ummu al-Khair Rabî’ah binti Ismâ’îl al-Adawiyyah
al-Qishiyyah. Dia hidup padaabad IIH/VIIIM. Dia dilahirkan dalam keluarga yang saleh
namun sangat miskin, dalam suasana kacau akibat terjadinya kelaparan di Bashrah.
Menurut riwayat, prosesi kelahirannya di malam hari berlangsung dalam suasana yang
sangat gelap lantaran ketidak-mampuan sang Ayah membeli minyak untuk menyalakan
lampu, sementara dia merasa “malu” untuk mengadu kepada sesama manusia.
Untungnya, disebutkan bahwa orangtua Rabi’ah mendapatkan hadiah secara mendadak
dari Gubernur Bashrah sehingga dapat memenuhi hajat hidup mereka kala itu. Beliau
berkembang dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang biasa dengan kehidupan orang
saleh dan penuh zuhud, sejak kecil beliau sudah tampak kecerdasannya, sesuatu yang tak
biasa tampak pada anak kecil seusianya. Oleh karena itu beliau amat sangat menyadari
panderitaan dan keadaan yang dihadapi orang tuanya, kendatipun demikian tidak
mengurangi ketaqwaan dan pengabdian beliau dan keluarga kepada Allah SWT. semasa
kecil beliau cendrung pendiam dan tidak banyak menuntut kepada orang tuanya seperti
gadis yang lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari beliau selalu memperhatikan
bagaimana Ayahnya beribadah kepada Allah, seperti berzikir, membaca Al-qur’an dan
ibadah yang lainnya yang beliau teladani dari Ayahnya, termasuk dalam hal memilih
makanan yang halal, sampai suatu ketika Rabi’ah kecil berdiri di samping Ayahnya yang
hendak makan di meja makan, kemudian Rabi’ah terdiam seolah meminta penjelasan dari
Ayahnya tentang makanan yang telah disajikan, kemudian Rabi’ah berkata: ”Ayah, aku
tidak ingin Ayah menyediakan makanan yang tidak halal”, dengan wajah penuh heran
Ayahnya menatap wajah Rabi’ah kecil itu sambil bertanya balik:”bagaimana pendapatmu
jika tidak ada yang diperoleh selain yang tidak halal?”, beliau menjawab:”biar saja kita
menahan lapar di dunia, lebih baik kita menahan pedihnya api neraka”, ini membuktikan
bahwa sejak kecil beliau sudah menunjukkan kematangn pemikiran dan memiliki akhlak
yang baik. Beliau ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya ke rahmatullah di usianya
yang masih kecil bersama ketiga orang saudara perempaunnya tanpa diwarisi sepeser
uang pun, hanya perahu yang sehari-hari digunakan Ayahnya untuk menyebrangi orang
ke tepi sungai Dajlah. Semenjak itulah beliau selalu merasakan kesedihan yang amat
sangat mendalam yang hanya bisa terobati ketika beliau beribadah dan bernmunajat
kepada Allah SWT, sampai akhirnya beliau di datangi para malaikat yang bercahaya
yang memberikan kabar bahwa beliau adalah orang pilihan Allah, dan sejak saat itu
beliau memutuskan untuk tidak memperdulikan dunia dan memilih untuk mengabdi
kepada Allah. Bahkan yang lebih hebat beliau memutuskan untuk tidak mau menikah
karena alasan yang bersifat moral dan spiritual. sebagaimana Hasan Al-bashri yang
hendak bertanya kepada beliau tentang alasan kenapa beliau tidak mau menikah, beliau
menjawab:”Pernikahan merupakan keharusan bagi orang yang memiliki pilihan,
sedangkan aku tidak ada pilihan dalam hatiku. Aku hanya untuk Tuhanku dan taat pada
perintahNya”. Sedangkan dalam riwayat lain beliau ditanya kenapa memutuskan untuk
tidak menikah, beliau menjawab:”Di dalam hatiku terdapat tiga keprihatinan, barang
siapa yang dapat melenyapkannya, maka aku akan mutuskan untuk menikah dengannya,
yang pertama apabila aku mati, apakah ada yang bisa menjamin jika aku menghadap
Allah dalam keadaan beriman dan suci?, kedua apakah ada yang bisa menjamin bahwa
aku akan menerima catatan amalku dengan tangan kanan?, dan yang ketiga apakah ada
yang mengetahu kalau nanti aku akan masuk golongan kanan (surga) atau kiri (neraka)?
Jika tidak ada yang dapat menghilangkan rasa cemas dan keprihatinanku, maka
bagaimana mungkin aku akan mampu berumah tangga, apalagi meninggalkan zikir
kepada Allah, walaupun sekejap”. Rasa cinta tak mungkin terwujud kecuali setelah
tertanam keyakinan yang teguh, dan karena itu pula orang yang paling sempurna
cintanya kepada Allah adalah Nabi Muhammad SAW sehingga orang-orang Arab
memberikan julukan “Muhammad adalah kekasih Allah”. Nabi Muhammad SAW telah
menjelaskan bahwa cinta adalah jalan untuk merasakan kenikmatan iman, mengenai hal
ini beliau bersabda:”ada tiga hal jika dimiliki seseorang, ia akan merasakan betapa
nikmat dan manisnya iman. Pertama bahwa ia lebih mencintai Allah dan RasulNya dari
pada apapun, yang kedua jika ia mencintai seseorang, maka cintanya karena Allah, dan
yang ketiga ia benci menjadi kafir lagi setelah Allah menyelamatkannya seperti ia tidak
senang dilempar ke dalam neraka”. Selain itu rasa cinta sulit sekali untuk didefinisikan,
sebab perasaan yang terkandung di dalam sanubari manusia terlalu luas untuk
didefinisikan, namun diantara tanda-tanda seorang yang cinta kepadaNya adalah selalu
menyambut seruan orang yang dicintainya, melaksanakan segala yang diperintahNya,
selain itu ia melepaskan dirinya dari ikatan dosa dan maksiat, lalu bergerak maju menuju
yang maha esa, ingin selalu dekat padaNya dengan, selalu rindu padaNya, ingin selalu
menghadap dan bermunajat padaNya dan jika berjauhan ia selalu merasa tersiksa.
Sedangkan kerinduan adalah keinginan hati untuk melihat kekasih, bagaikan api Alloh
yang dikobarkan di hati kekasihNya sehingga membakar kecemasan, nafsu yang
terpendam di hati mereka. Bila seorang hamba telah mencapai batas kerinduan maka ia
ingin segera menemui kekasihnya, sekan-akan ia ingin terbang menemuiNya. Kalau cinta
sudah mencapai tingkat kerinduan, maka lama kelamaan perasaan itu berkembang
menjadi cinta yang membara, sehingga bila mendengar nama Allah yang maha suci,
bergetar seluruh jiwa raganya dan berkobar rasa rindu dalam hatinya. Bila kerinduan dan
keinginan yang menggelora semakin besar, maka cinta pun akan meningkat pada derajat
fana (tidak merasakan apa yang dilihat secara dzohir, karena yang dirasakan hanyalah
Allah semata) ia tidak lagi merasakan penderitaan, kepedihan, atau cobaan apapun yang
menimpanya. Ja’far sulaiman, beliau menuturkan bahwa Sufyan ats-tsauri memegang
tanganku dan berkata tentang Rabiatul adawiyyah: ‘bawalah aku kepada guru (Rabi’ah),
sebab jika aku berpisah darinya makaa aku tidak akan mendapatkan ketentraman”. Dan
ketika kami sampai di rumah Rabi’ah, sufyan mengangkat tangannyadan berkata:”wahai
tuhan, berilah aku keselamatan!”. Mendengar itu Rabi’ah menangis sambil
berkata:”tidaklah engkau tahu bahwwa keselamatan sejati dari dunia hanya dapat dicapai
dengan meninggalkan semua yang ada di dalamnya, jadi bagaimana kau bisa meminta
seperti itu jikalau masih berlumuran dunia?”. Syaiban al-ubulli menuturkan: aku
mendengar Rabi’ah berkata “setiap sesuatu memiliki buah, dan buah pengetahuan tentang
tuhan (marifat) adalah orientasi diri kepada tuhan setiap saat”. Dan dalam penuturan
yang lain Rabi’ah pernah ditanya tentang kecintaannya kepada nabi Muhammad SAW,
beliau menjawab “sungguh aku cinta kepadanya, tetapi cinta kepada sang pencipta telah
memalingkan aku dari cinta kepada mkhluk”. Muhammad bin Washi pernah bertanya
kepada Rabi’ah, kenapa kau (Rabi’ah) berjalan seperti orang mabuk (terduyun-duyun),
Rabi’ah menjawab “semalam aku mabuk oleh cinta kepada tuhanku hingga aku bangun
dalam keadaan mabuk karenanya”. Sufyan ats-tsauri bertanya kepada Rabi’ah
“bagaimanakah cara yang paling baik untuk mendekatkan diri kapada Allah?”, beliau
menjawab sambil menangis;”cara yang terbaik bagi seorang hamba untuk mendekati
Allah adalah dia harus tahu bahwa dia tidak boleh mencintai apapun di dunia atau
diakhirat ini selain Dia”. Akhir hidup Rabi’ah, Muhammad bin Amr berkata, “Aku
datang melihat Rabi’ah, ia seorang wanita yang sudah tua, berusia delapan puluh tahun,
seolah-olah kelihatan seperti tempat air yang hampir jatuh dari gantungannya. Ketika
ajalnya hampir tiba, ia memanggil Abdah binti Abi Shawwal yang telah menemaninya
dengan baik, sehingga ia merupakan sahabatnya dan pembantunya yang paling baik dan
setia. Kepada Abdah ia berpesan, “Janganlah kematianku sampai menyusahkan orang
lain, bungkuslah mayatku dengan jubahku.” Rabi’ah memang tidak ingin menyusahkan
orang lain. Beberapa orang saleh ingin mendampingi di saat-saat terakhirnya, tetapi
Rabi’ah menolak didampingi pada saat-saat seperti itu. “bangunlah dan keluarlah !”
lapangkanlah jalan untuk utusan Allah (malaikat) yang akan datang menjemputku.”
Mereka bangkit lalu keluar. Ketika mereka menutup pintu, terdengar suara Rabi’ah
mengucapkan syahadat, lalu dijawab oleh suara: Artinya : “Hai jiwa yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah
ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. masuklah ke dalam syurga-Ku.” (Al-Fajr27-30).
Rabi’ah telah membukakan jalan menuju ma’rifah Ilahi, sehingga ia menjadi teladan bagi
orang-orang yang menuju jalan Allah, seperti Sofyan ats-Sauri, Rabah bin Amr al-Qaysi,
dan Malik bin Dinar. Teladan yang ditinggalkan Rabi’ah masih terus hidup sepanjang
masa bagi orang-orang yang menuju jalan Allah.

B. Pengertian Mahabbah
Secara etimologi, mahabbah adalah bentuk masdar dari kata: ‫ حب‬yang mempunyai
arti: a) membiasakan dan tetap, b) menyukai sesuatu karena punya rasa cinta. Dalam
bahasa Indonesia kata cinta, berarti: a) suka sekali, sayang sekali, b) kasih sekali, c) ingin
sekali, berharap sekali, rindu, makin ditindas makin terasa betapa rindunya, dan d) susah
hati (khawatir) tiada terperikan lagi. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami
bahwa mahabbah (cinta) merupakan keinginan yang sangat kuat terhadap sesuatu
melebihi kepada yang lain atau ada perhatian khusus, sehingga menimbulkan usaha
untuk memiliki dan bersatu dengannya, sekalipun dengan pengorbanan. Sedangkan
secara terminologi, terdapat perbedaan defenisi di kalangan ulama. Pendapat kaum
Teologi yang dikemukakan oleh Webster bahwa mahabbah berarti; a) keredaan Tuhan
yang diberikan kepada manusia, b) keinginan manusia menyatu dengan Tuhan, dan c)
perasaan berbakti dan bersahabat seseorang kepada yang lainnya. Pengertian tersebut
bersifat umum, sebagaimana yang dipahami masyarakat bahwa ada mahabbah Tuhan
kepada manusia dan sebaliknya, ada mahabbah manusia kepada Tuhan dan sesamanya.
Imam al-Gazāli mengatakan bahwa mahabbah adalah kecenderungan hati kepada
sesuatu. Kecenderungan yang dimaksud oleh al-Gazali adalah kecenderungan kepada
Tuhan karena bagi kaum sufi mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya mahabbah
kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya, “Barangsiapa yang mencintai
sesuatu tanpa ada kaitannya dengan mahabbah kepada Tuhan adalah suatu kebodohan
dan kesalahan karena hanya Allah yang berhak dicintai.” Al-Gazali berkata, “ Cinta
adalah inti keberagamaan. Ia adalah awal dan juga akhir dari perjalanan kita. Kalau pun
ada maqam yang harus dilewati seorang sufi sebelum cinta, maqam itu hanyalah
pengantar ke arah cinta, maqam itu akibat dari cinta saja.”
Sementara itu, Harun Nasution (w.1998 M) mengemukakan bahwa mahabbah
mempunyai beberapa pengertian:
1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sifat melawan pada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galnya kecuali dari diri yang dikasihi. Yang
dimaksud dengan kekasih ialah Allah.
Pengertian tersebut di atas sesuai dengan tingkatan kaum muslimin dalam
pengalamannya terhadap ajaran agama, tidak semuanya mampu menjalani hidup
kesufian, bahkan hanya sedikit saja yang menjalaninya, yang terbanyak adalah kelompok
awam mahabbah-nya termasuk pada pengertian yang pertama. Sejalan dengan itu, al-
Sarraj (w. 377 H) membagi mahabbah kepada tiga tingkatan yaitu:
1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, senantiasa menyebut nama-
nama Allah dan memperoleh kesenangan dalm berdialog dengan Tuhan.
2. Cinta orang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya tabir
yang memsahkan diri seseorang dari Tuhan dan denagn demikian dapat melihat
rahasia-rahasia pada Tuhan
3. Cinta orang ‘arif, yaitu mengetahui betul Tuhan, yang dilihat dan yang dirasa bukan
lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke
dalam ciri yang mencintai. Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan
“seluk-beluk” cinta atau mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada
dasarnya merupakan sebuah sikap operasional. Dengan kata lain, konsep mahabbah
(cinta kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang memungkinkan Islam
membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya bukanlah sebutan
untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin saja, akan tetapi ia
adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan nyata sekaligus menjadi
sumber keutamaan moral.
Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat Islam, term “cinta” atau “mahabbah” telah
menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi. Mereka menggeser penekanan
cinta kea rah idealism emosional yang dibatinkan secara murni. Sehingga di kalangan
sufi, mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifat,
baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau makrifat merupakan
tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah adalah merupakan
perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa terisi oleh rasa kasih dan
kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan
kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan
cinta, tetapi”diri yang dicintai”. Oleh karena itu menurut al-Gazali, mahabbah itu adalah
manifestasi dari makrifat kepada Tuhan.
Demikian cintanya orang-orang sufi kepada Tuhan, mereka rela mengorbankan
dirinya demi memenuhi keinginan Tuhannya. Olehnya itu, cinta atau mahabbah pada
hakikatnya adalah lupa terhadap kepentingan diri sendiri, karena mendahulukan
kepentingan yang dicintainya yaitu Tuhan. Mahabbah adalah suatu ajaran tentang cinta
atau kecintaan kepada Allah. Tetapi bagaimana bentuk pelaksanaan kecintaan kepada
Allah itu tidak bisa dirumuskan secara pasti karena hal itu menyangkut perasaan dan
penghayatan subyektif tiap sufi.
C. Konsep Falsafah Hub al-Illah Rabi’ah Rabi’ah
Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur
Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi.
Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada
“kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The
Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah
yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap
akan pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan
untuk menyelami keindahan–Nya yang azali. Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru
dalam masalah ubudiyah kedekatan pada Tuhan.
Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat kemiskinan demi cintanya pada
Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah
cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama,
cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa
seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya
tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung
ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih
sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian
itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat
sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”. Pengetahuan itu datang
langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului
perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab. Rabi’ah merupakan orang pertama yang
membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam.
Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia
tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur
bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa
yang mirip syair, ia berujar: Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut
neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan
ke dalamnya. Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan
dariku keindahan abadi-Mu.
Dalam fase selanjutnya, hidup Rabia'ah hanya diisi dengan dzikir, tilawah, dan wirid.
Duduknya hanya untuk menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum sufi yang
memohon restu dan fatwanya. Rabi'ah berusaha mengajarkan generasi Muslim
sesudahnya sehingga mereka mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu rendah.
Sebab kondisi masyarakat Basrah pada waktu itu terlena dalam kehidupan duniawi,
berpaling dari Allah Swt dan menjauhi orang-orang yang mencintai Allah serta segala
sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada Allah Swt. Mengajarkan pada manusia arti
cinta ilahi dengan mendidik manusia dengan akhlaq yang mulia sehingga mendapatkan
kedudukan tinggi. Hidup Rabi'ah penuh untuk beribadah kepada Tuhan hingga akhir
hayatnya.
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi.
Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam
ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain
tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan
ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa
pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh
dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan).
Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan
masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya.
Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan
surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena
Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut:
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu,demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.
Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya
pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya,
“Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya,
tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.”
Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab,
“Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku
untuk rasa membenci syetan.”
Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi,
hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan
keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam
hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rbi’ah kepada
Teman dan Kekasihnya itu:
Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam
mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut,
Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan
syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada
Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum
terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-
hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun
Cinta kepadanya.
Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada
Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah
memenuhi ruang hatinya. Doanya:
Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya
selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta
adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang
mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla
kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya
kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan
sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia
mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang
selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan :
Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.
Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta
rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi
kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan)
berupa rahmat dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan
pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini
serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya
kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap
Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatnya
dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya dari keinginan
duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas
memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya,
hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak
memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya. Al-Makki
melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di muka bumi
ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu
akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia
akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang
layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya di
antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat) (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H,
dalam Margaret Smith, 1928).
Dalam shahih Bukhari-Muslim, sebuah hadis diriwayatkan oleh Anas bin Malik
menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Kamu belum beriman sebelum Allah dan
RasulNya lebih kamu cintai daripada selain keduanya.” Tirmidzi pun meriwayatkan
bahwa Rasullullah bersabda, “ Cintailah Allah karena nikmat yang dianugerahkanNya
kepadamu. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan Cintailah keluargaku
karena kecintaanmu kepadaku.”
Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan
akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan
bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Rabi'ah al-Adawiyah adalah sufi wanita yang memberi nuansa tersendiri dalam dunia
tasawuf dengan pengenalan konsep mahabbah. Sebuah konsep pendekatan diri kepada
Tuhan atas dasar kecintaan, bukan karena takut akan siksa neraka ataupun mengharap
surga. Cinta Rabiah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Rabiah adalah
seorang zahidah sejati. Beliau merupakan pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan
diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The
Mother of The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah
SWT). 
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi.
Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam
ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain
tidak bisa dipisahkan.

B. Saran

Kami banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi penulis
pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/doc/269190165/Makalah-Ilmu-Tasawuf-Konsep-Mahabbah-Rabi

You might also like