You are on page 1of 6

1. Hukum laut lebih mengarah kepada aturan – aturan yang bersifat public.

Dalam hukum
ini membahas masalah terkait kedaulatan suatu negara, pengaturan hak lintas kapa lasing,
sengketa yang timbul, status hukum, dan hak serta kewajiban negara pantai dan negara
lain/negara pengguna. Sementara itu, hukum maritime mengatur akibat – akibat hukum
dari penggunaan laut sebagai sarana transportasi mencakup hal – hal, seperti collision,
salvage, towage, pilotage, serta marine insurance. Dengan demikian, hukum maritime
lebih mengarah kepada aturan – aturan yang bersifat privat sehingga sengketa yang
timbul dari pelaksanaan hukum maritime akan diselesaikan secara privat oleh para pihak
yang bersengketa tidak harus melibatkan negara – negara

2. A. Terdapat beberapa hal penting dalam keputusan mahkamah internasional yang dapat
dicermati.
- The parties being in agreement on the figure of 4 miles for the breadth of the territorial
sea, the problem which arises is from what baseline this breadth is to be reckoned.
According to the UK… the baseline must be low water mark on permanently by land
which is part of Norwegian territory… The parties agree as to this criterion, but….differ
as to its application
- The parties also agree that in the case of a low tide elevation (drying rock) the outer
edge at low water of this love tide elevation may be taken into account as a basepoint for
calculating the breadth of the territorial sea
- The Norwegian Government in fixing the baseline for the delimitation of the Norwegian
fisheries zone by the 1936 decree has not violated international law
-The delimitation of the sea areas has always an international aspects ; it cannot be
dependent merely upon the will of the coastal state as expressed in its municipal law.
Although it is true that act of the delimitation is necessarily a unilateral act because only
the coastal state is competent to undertake it, the validity with regard to other staes
depend upon international law
- Some reference must be made to the close dependence of the territorial sea upon the
land domain. It is the land which confers upon the coastal state a right to the waters off its
coasts… The drawing of the baseline must not depart to any appreciate extent from the
general direction of the coast
-The real questioned in the choice of baselines in in effect ehether cartain sea areas lying
within these lines are sufficiently closely linked to the land domain to be subject to the
regime of internal waters. The idea which is at the basis of the determination of the rules
relating to vays should be liberally applied in to case of a coast the geographical
configuration of which is as unusual as that of Norway
-Finally. There is one consideration not be over looked the schope of which extends
beyond purely geographical factors : that certain economic interests peculiar to a region
the reality and importance of which are clearly evidenced by a long usage
Perkara ini timbul karena Inggris menggugat sahnya penetapan batas perikanan eksklusif
yang ditetapkan oleh Norwegia dalam Firman Raja (Royal Decree) tahun 1935 menurut
hukum internasional. Hal yang digugat Inggris adalah cara penarikan garis pangkal lurus
yang dilakukan Norwegia yang menghubungkan titik terluar pada pantai Norwegia. Dalam
penarikan garis pangkal lurus ini, deretan pulau di muka pantai dianggap sebagai bagian dari
pantai Norwegia. Menurut Inggris, gugusan pulau yang terletak di hadapan pantai Norwegia
tidak merupakan bagian dari daratan utama Norwegia. Pada intinya, Hasilnya ICJ
menyatakan dalam putusannya bahwa cara penarikan garis pangkal lurus yang dilakukan
oleh Norwegia merupakan suatu penerapan dari kaidah hukum internasional yang berlaku
umum pada suatu keadaan khusus sehingga tidak ada alasan mengapa garis lurus tidak dapat
ditarik diantara pulau – pulau kecil yang terletak diantara dua titik daripada pantai daratan.

B. Peran dari keputusan ini bagi Indonesia adalah metode penarikan garis pangkal lurus sebagai
keputusan dari ICJ dalam sengketa antara Norwegia dan Inggris ini dapat digunakan Indonesia
dalam wilayah lautnya. Dari sinilah kemudian muncul gagasan Deklarasi Djuanda untuk dapat
menerapkan garis pangkal lurus kepulauan yang kemudian dalam perkembangannya diakui oleh
UNCLOS 1982 dan memberikan perluasan kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia atas wilayah
laut.
3. A. Macam – macam garis pangkal menutut UNCLOS 1982
a. Garis pangkal biasa  garis air rendah yang mengikuti lika liku pantai. Titik – titik terluarnya
adalah titik – titik terluar yang ditarik ketika laut surut. Garis pangkal ini digunakan untuk garis
pantai yang relatif lurus

Laut

Darat

b. Garis pangkal lurus  garis – garis lurus yang menghubungkan titik – titik pangkal pada
tempat tertentu dengan persyaratan tertentu. Garis pangkal ini digunakan untuk negara yang
pantainya berliku – liku ( terdapat selat, sungai, muara, dsb)

c. Garis pangkal lurus kepulauan  garis – garis lurus yang menghubungkan titik pangkal pada
pulau – pulau terluar dari suatu negara kepulauan. Jadi, garis pangkal ini digunakan khusus bagi
negara kepulauan

Pulau B
Pulau A

Pulau C
B. Perbedaan antara hak lintas damai dan hak lintas alur laut kepulauan
Hak Lintas Damai Hak Lintas Alur Laut Kepulauan
Dasar Hukum : Pasal 17-32 dan 52 KHL 1982 Dasar Hukum : Pasal 53-54 KHL 1982
Merupakan lintas yang tidak merugikan Merupakan hak pelayaran serta penerbangan
terhadap kedamaian, ketertiban, dan dalam mode normal dengan langsung dan
keamanann negara pantai yang dilakukan terus menerus di alur alur laut kepulauan yang
sesuai dengan KHL 1982 ditentukan negara kepulauan
Dapat dilakukan di wilayah perairan laut Dapat dilakukan di wilayah perairan alur –
territorial, perairan kepulauan di luar alur – alur laut kepulauan yang ditentukan negara
alur laut kepulauan yang ditentukan negara kepulauan
kepulauan, dan selat yang menghubungkan
satu bagian laut bebas/ZEE dengan bagian
laut territorial negara lain

4. A. Kedaulatan bermakna bahwa suatu negara memiliki kekuasaan penuh atas laut (kolom air,
dasar laut), ruang angkasa, dan ruang angkasa di atasnya Jadi, disini negara memiliki
kekuasaan penuh dalam menerapkan hukum nasionalnya. Hal ini berbeda dengan
yurisdiksi. Yurisdiksi sebenarnya merupakan bagaimana menjalankan kedaulatan tersebut.
Akan tetapi, dalam hukum laut, yurisdiksi ini telah ditentukan. Seperti misalnya dalam ZEE
yurisdiksi negara pantai hanya ditentukan dalam hal : (i) pembuatan dan pemakaian pulau
buatan, instalasi dan bangunan; (ii) riset ilmiah kelautan; (iii) perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut. Jadi, negara tidak memiliki kekuasaan seperti halnya sebuah kedaulatan.
Dalam menjalankan yurisdiksinya, terdapat yurisdiksi negara lain yang harus diperhatikan.
B. Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 diatur bahwa hak negara-negara untuk melakukan
klaim atas berbagai macam zona maritim sudah diakui dalam pengaturan dan tentunya dengan
status hukum yang berbeda-beda, yang dibagi sebagai berikut:
1. berada di bawah kedaulatan penuh negara meliputi laut pedalaman, laut teritorial dan selat
yang digunakan untuk pelayaran;
2. negara mempunyai yurisdiksi khusus dan terbatas yaitu zona tambahan;
3. negara mempunyai yuridiksi eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya alamnya, yaitu
zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen;
4. berada dibawah suatu pengaturan internasional khusus, yaitu daerah dasar laut samudra
dalam, atau lebih dikenal sebagai Kawasan (international sea-bed atau area); dan tidak
berada dibawah kedaulatan maupun yurisdiksi negara manapun, yaitu laut lepas.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa negara memiliki kedaulatan atas
perairan pedalaman/perairan kepulauan (untuk negara kepulauan), laut territorial, dan selat
yang digunakan untuk pelayaran, sedangkan yurisdiksi, negara memiliki yurisdiksi di wilayah
laut atas ZEE, zona tambahan, dan landas kontinen

5. Konsep mengenai rezim zona tambahan lahir dari hovering act, yaitu sebuah
perundang – undangan Inggris yang diformulasikan berdasarkan ditangkapnya kapal asing
penyelundup yang melakukan penyelundupan pada jarak 24 mil dari laut pantai. Konsep
mengenai zona tambahan diatur dalam pasal 33 UNCLOS 1982. Dalam pasal tersebut
dirumuskan bahwa “ 1. In a zone contiguous to its territorial sea, described as the contiguous
zone, the coastal State may exercise the control necessary to:
(a) prevent infringement of its customs, fiscal, immigration or sanitary laws and regulations
within its territory or territorial sea;
(b) punish infringement of the above laws and regulations committed within its territory or
territorial sea.
2. The contiguous zone may not extend beyond 24 nautical miles from the baselines from
which the breadth of the territorial sea is measured” Berdasarkan pasal tersebut dapat
diketahui bahwa, zona tambahan adalah zona perairan setelah laut territorial dimana negara
pantai hanya mempunyai kewenangan, yaitu dalam hal penegakan hukum terhadap bea
cukai, fiskal, sanitari, dan imigrasi.

Fungsi dari zona tambahan bagi negara pantai adalah pada prinsipnya untuk melindungi
laut teritorialnya (wilayah territorial negara pantai). Dalam zona ini negara pantai sebagaimana
penjelasan pada poin A memiliki kewenangan dalam hal penegakan hukum terhadap bea cukai,
fiskal, sanitari, dan imigrasi. Secara lebih rinci disebutkan dalam pasal 33 UNCLOS yang
terjemahannya : Negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk :
(a) mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi
atau saniter di dalam wilayah atau laut teritorialnya;
(b) menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di atas yang
dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya.

You might also like