You are on page 1of 31

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Landasan Teori

1. Tekanan darah

a. Pengertian

Tekanan darah adalah gaya darah pada dinding arteri yang dipompa

keluar jantung menuju seluruh tubuh atau dapat juga disebutkan

bahwa tekanan darah merupakan pengukuran gaya yang dialami oleh

dinding arteri. Hasil pengukuran tekanan darah ini berupa dua angka

yang menunjukkan tekanan sistolik dan diastolik. Sistolik merupakan

tekanan darah di arteri saat jantung memompa darah melalui

pembuluh darah tersebut atau tekanan saat jantung berdenyut dan

berkontraksi memompa darah ke sirkulasi. Sedangkan diastolik

merupakan tekanan di arteri saat jantung berelaksasi diantara dua

denyutan (kontraksi) dan tekanan ini merupakan tekanan paling

rendah yang terjadi diantara dua denyut jantung. Angka-angka ini

memiliki satuan milimeter merkuri (mmHg). Hg adalah simbol kimia

untuk merkuri (Palmer & Williams, 2007).

9
10

b. Faktor yang mempengaruhi tekanan darah

Menurut Kozier (2009), faktor yang mempengaruhi tekanan darah

yaitu:

1) Faktor yang tidak dapat diubah:

a) Usia

Bayi baru lahir memiliki tekanan sistolik rata-rata 73 mmHg.

Tekanan sistolik dan diastolik meningkat secara bertahap

sesuai usia hingga dewasa. Pada lansia, arterinya lebih keras

dan kurang fleksibel terhadap tekanan darah. Hal ini

mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik. Tekanan

diastolik meningkat karena dinding pembuluh darah tidak lagi

retraksi secara fleksibel pada penurunan tekanan darah.

b) Jenis kelamin

Wanita umumnya memiliki tekanan darah lebih rendah

daripada pria yang berusia sama, hal ini lebih cenderung

akibat variasi hormon. Setelah menopause, wanita umumnya

memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dari sebelumnya.

c) Ras

Pria Amerika-Afrika berusia diatas 35 tahun memiliki tekanan

darah yang lebih tinggi daripada pria Amerika-Eropa dengan

usia yang sama.


11

2) Faktor yang dapat diubah:

a) Olahraga

Aktivitas fisik meningkatkan tekanan darah. Untuk

mendapatkan pengkajian yang dapat dipercaya dari tekanan

darah saat istirahat, tunggu 20 sampai 30 menit setelah

olahraga.

b) Obat-obatan

Beberapa jenis obat-obatan bebas yang mengandung

vasokontriktor (menyempitkan pembuluh darah), dapat

menaikkan tekanan darah.

c) Stress

Stimulasi sistem saraf simpatis meningkatkan curah jantung

dan vasokontriksi arteriol, sehingga meningkatkan hasil

tekanan darah.

d) Obesitas

Obesitas baik pada msa anak-anak maupun dewasa

merupakan faktor predisposisi hipertensi.

e) Variasi diurnal

Tekanan darah umumnya paling rendah pada pagi hari, saat

laju metabolisme paling rendah, kemudian meningkat

sepanjang hari dan mencapai puncaknya pada akhir sore atau

awal malam hari.


12

f) Demam/panas/dingin

Demam dapat meningkatkan tekanan darah karena

peningkatan laju metabolisme. Namun, panas eksternal

menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah.

Dingin menyebabkan vasokontriksi dan meningkatkan

tekanan darah.

c. Klasifikasi tekanan darah

Tekanan darah manusia digolongkan menjadi 3 kelompok yaitu

hipotensi, normotensi dan hipertensi. Menurut Triyanto (2014),

tekanan darah dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Tabel 2
Klasifikasi tekanan darah
Kategori Tekanan darah Tekanan darah
sistolik diastolik
Normal < 130 mmHg < 85 mmHg
Normal tinggi 130-139 mmHg 85-89 mmHg
Stadium I (hipertensi 140-159 mmHg 90-99 mmHg
ringan)
Stadium II (hipertensi 160-179 mmHg 100-109 mmHg
sedang)
Stadium III (hipertensi 180-209 mmHg 110-119 mmHg
berat)
Stadium IV (hipertensi 210 mmHg atau 120 mmHg atau lebih
maligna) lebih
Sumber: Triyanto (2014)

Hipertensi menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius, karena

jika tidak terkendali akan berkembang dan menimbulkan komplikasi

yang berbahaya. Akibatnya bisa fatal karena sering timbul komplikasi,

misalnya stroke (pendarahan otak), penyakit jantung koroner dan

gagal ginjal.
13

1) Hipertensi

a) Pengertian hipertensi

Hipertensi atau penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan

dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas

normal yang ditunjukkan oleh angka sistolik (bagian atas) dan

angka bagian bawah (diastolik) pada pemeriksaan tekanan

darah baik alat yang berupa cuff air raksa (sphymomanometer)

ataupun alat digital lainnya (Herlambang, 2013).

b) Penyebab hipertensi

Peningkatan kejadian hipertensi akan bertambah seiring dengan

pertambahan usia seseorang. Meskipun demikian, terjadinya

hipertensi bisa disebabkan oleh adanya penyakit, seperti

penyakit ginjal kronis, penyakit tiroid, obesitas, atau gangguan

tidur, (sleep apnea), dan beberapa jenis obat dapat memicu

terjadinya hipertensi. Konsumsi pil pengontrol kelahiran,

kehamilan, dan terapi hormon merupakan beberapa penyebab

terjadinya hipertensi. Wanita yang mengkonsumsi pil

pengontrol kelahiran biasanya akan mengalami peningkatan

tekanan darah sistolik dan diastolik. Sementara itu, terapi

hormon untuk mengurangi gejala menopause menyebabkan

sedikit peningkatan tekanan darah sistolik (Prasetyaningrum,

2014).
14

c) Faktor resiko terjadinya hipertensi

Beberapa karakteristik, kondisi, dan kebiasaan seseorang dapat

meningkatkan resiko terjadinya hipertensi. Berikut beberapa

faktor resiko utama terjadinya hipertensi.

(1) Usia

Kejadian hipertensi cenderung meningkat seiring dengan

pertambahan usia. Sebanyak 65% orang Amerika berusia 60

tahun atau lebih, mengalami hipertensi. Jenis hipertensi yang

banyak dijumpai pada kelompok lanjut usia (lansia) adalah

isolated hypertension, meskipun demikian, hipertensi tidak

selalu hadir seiring dengan proses penuaan.

(2) Ras

Setiap orang memiliki kemungkinan yang sama untuk

mengalami hipertensi. Ras Afrika-Amerika lebih beresiko

mengalami hipertensi dibandingkan ras Amerika-Eropa

(Hispanik). Ras Afrika-Amerika cenderung lebih cepat

mengalami hipertensi dan banyak kematian akibat hipertensi

(mengalami penyakit jantung koroner, stroke dan kerusakan

ginjal).

(3) Jenis kelamin

Laki-laki atau perempuan memiliki kemungkinan yang sama

untuk mengalami hipertensi selama kehidupannya. Namun,

laki-laki beresiko mengalami hipertensi dibandingkan


15

perempuan saat berusia sebelum 45 tahun. Sebaliknya, saat

usia 65 tahun keatas, perempuan lebih beresiko mengalami

hipertensi dibandingkan laki-laki karena pengaruh hormon.

Wanita yang mengalami menopause, lebih beresiko

mengalami obesitas yang akan meningkatkan resiko

terjadinya hipertensi.

(4) Obesitas

Seseorang yang mengalami obesitas atau kegemukan

memiliki resiko lebih besar mengalami prehipertensi atau

hipertensi. Indikator yang biasa digunakan untuk

menentukan ada tidaknya obesitas pada seseorang adalah

melalui pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) atau lingkar

perut. Kedua indikator tersebut bukanlah indikator terbaik

untuk menentukan adanya hipertensi tetapi menjadi salah

satu faktor resiko yang dapat mempercepat terjadinya

hipertensi.

(5) Kurang aktivitas fisik

Aktivitas fisik merupakan pergerakan otot anggota tubuh

yang membutuhkan energi atau pergerakan yang bermanfaat

untuk meningkatkan kesehatan. Aktivitas fisik sangat

bermanfaat bagi tubuh, khususnya organ jantung dan paru-

paru, pembuluh darah dan mencegah hipertensi.


16

(6) Kebiasaan merokok dan konsumsi minuman beralkohol

Kebiasaan merokok menyebabkan 1 dari 5 kasus kematian

di Amerika setiap tahun. Merokok merupakan penyebab

kematian dan kesakitan yang paling bisa dicegah.

(7) Faktor lain

Riwayat keluarga penderita hipertensi turut meningkatkan

resiko kejadian hipertensi. Stress berkepanjangan dapat

meningkatkan resiko terjadinya hipertensi (Prasetyaningrum,

2014).

d) Gejala dan tanda hipertensi

Kejadian hipertensi biasanya tidak memiliki tanda dan gejala.

Gejala yang sering muncul adalah sakit kepala, rasa panas

ditengkuk atau kepala berat. Namun, gejala tersebut tidak bisa

dijadikan patokan ada tidaknya hipertensi pada diri seseorang.

Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan

melakukan pengecekkan tekanan darah. Pasien tidak menyadari

bahwa dirinya mengalami hipertensi hingga ditemukan

kerusakan dalam organ, seperti terjadinya penyakit jantung

koroner, stroke, atau gagal ginjal (Prasetyaningrum, 2014).

Menurut Corwin (2009), manifestasi klinis hipertensi sebagai

berikut:

(1) Sakit kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan

muntah akibat peningkatan tekanan darah intrakranium.


17

(2) Penglihatan kabur akibat kerusakan hipertensif pada retina.

(3) Cara berjalan yang tidak mantap karena kerusakan susunan

saraf pusat.

(4) Nokturia yang disebabkan peningkatan aliran darah ginjal

dan filtrasi glomerulus.

(5) Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan

tekanan kapiler.

e) Patofisiolgi hipertensi

Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui

beberapa cara yaitu jantung memompa lebih kuat sehingga

mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya arteri

besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku sehingga

mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa

darah melalui arteri tersebut. Darah pada setiap denyut jantung

dipaksa untuk melalui pembuluh darah yang sempit dari

biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan darah. Inilah yang

terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal

dan kaku karena arteriosklarierosis.

Cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi

vasokontriksi yaitu arteri kecil (arteriola) untuk sementara

waktu mengerut karena perangsangan saraf atau hormon di

dalam darah. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa


18

menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika

terdapat kelainan fungsi ginjal tidak dapat membuang sejumlah

garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh

meningkat sehingga tekanan darah juga meningkat.

Sebaliknya, jika aktivitas memompa jantung berkurang arteri

mengalami pelebaran, banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka

tekanan darah akan menurun. Penyesuaian terhadap faktor-

faktor tersebut dilaksanakan oleh perubahan didalam fungsi

ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang

mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis). Perubahan

fungsi ginjal, ginjal mengendalikan tekanan darah melalui

beberapa cara: jika tekanan darah meningkat, ginjal akan

menambah pengeluaran garam dan air yang akan menyebabkan

berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekanan darah

ke normal.

Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi

pembuangan garam dan air volume darah bertambah dan

tekanan darah kembali ke normal. Ginjal juga bisa

meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang

disebut renin, yang memicu pembentukkan hormon

angiotensin, yang akan selanjutnya memicu pelepasan hormon


19

aldesteron. Ginjal merupakan organ penting dalam

mengendalikan tekanan darah, karena itu berbagai penyakit dan

kelainan pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya tekanan

darah tinggi. Misalnya penyempitan arteri yang menuju ke

salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) bisa menyebabkan

hipertensi. Peradangan dan cidera pada salah satu atau kedua

ginjal juga bisa menyebabkan naiknya tekanan darah.

Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari sistem saraf

otonom yang untuk sementara waktu akan meningkatkan

tekanan darah selama respon fight-or-fight (reaksi fisik tubuh

terhadap ancaman dari luar), meningkatkan kecepatan dan

kekuatan denyut jantung dan juga mempersempit sebagian

besar arteriola tetapi memperlebar arteriola di daerah tertentu

(misalnya otot rangka yang memerlukan pasokan darah yang

lebih banyak), mengurangi pembuangan air dan garam oleh

ginjal, sehingga akan meningkatkan volume darah dalam tubuh,

melepaskan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin

(noradrenalin), yang merangsang jantung dan pembuluh darah.

Faktor stress merupakan satu faktor pencetus terjadinya

peningkatan tekanan darah dengan proses pelepasan hormon

epinefrin dan norepinefrin (Triyanto, 2014).


20

f) Komplikasi hipertensi

Menurut Corwin (2009), hipertensi dapat menyebabkan:

(1) Stroke

Stroke dapat terjadi akibat hemoragi tekanan tinggi di otak

atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh selain otak

yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada

hipertensi kronis apabila arteri yang memperdarahi otak

mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah

ke area otak yang diperdarahi berkurang. Arteri otak yang

mengalami aterosklerosis dapat melemah sehingga

meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma.

(2) Infark miokard

Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang

aterosklerotik tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke

miokardium atau apabila terbentuk trombus yang

menghambat aliran darah melewati pembuluh darah. Pada

hipertensi kronis dan hipertrofi ventrikel, kebutuhan oksigen

miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi

iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga,

hipertrofi ventrikel dapat menyebabkan perubahan waktu

hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia,

hipoksia jantung dan peningkatan resiko pembentukkan

bekuan.
21

(3) Gagal ginjal

Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat

tekanan darah tinggi pada kapiler glomerulus ginjal. Dengan

rusaknya glomerulus, aliran darah ke unit fungsional ginjal,

yaitu nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi

hipoksis dan kematian. Dengan rusaknya membran

glomerulus, protein akan keluar melalui urine sehingga

tekanan osmotik koloid plasma berkurang dan menyebabkan

edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronis.

(4) Ensefalopati

Ensefalopati ( kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada

hipertensi maligna (hipertensi yang mengikat cepat dan

berbahaya). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini

menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong

cairan ke ruang interstisial di seluruh susunan saraf pusat.

Neuron-neuron disekitarnya kolaps dan terjadinya koma

serta kematian.

(5) Kejang

Kejang dapat terjadi pada wanita preeklampsi. Bayi yang

lahir mungkin memiliki berat lebih kecil dari masa

kehamilan akibat perfusi plasenta yang tidak adekuat,

kemudian dapat mengalami hipoksia dan asidosis jika ibu

mengalami kejang selama atau sebelum proses persalinan.


22

g) Pencegahan hipertensi

Menurut Junaidi (2010), beberapa tindakan yang dapat

membantu mencegah terjadinya hipertensi, sebagai berikut:

(1) Olahraga

Aktivitas fisik yang cukup dan teratur dapat menguatkan

otot jantung sehingga jantung dapat memompa lebih banyak

darah dengan usaha yang minimal, efeknya kerja jantung

menjadi lebih ringan sehingga hambatan pada dinding arteri

berkurang.

(2) Mengolah stress

Stress dapat menjadi faktor utama penyebab hipertensi.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi stress, mulai dari

teknik relaksasi seperti meditasi, latihan pernafasan dalam,

relaksasi otot progresif dan sebagainya. Kegiatan tersebut

sangat sederhana tetapi mampu memberikan respon rileks

yang dibutuhkan oleh tubuh yang tengah stress, seperti

duduk dengan santai, menonton televisi, membaca buku,

menyanyikan lagu yang lembut, berbaring santai, dan lain

sebagainya.

(3) Tidak merokok

Di dalam rokok terkandung berbagai zat yang dapat merusak

lapisan dinding arteri yang pada akhirnya akan membentuk

plak atau kerak di arteri. Kerak atau plak ini menyebabkan


23

penyempitan lumen atau diameter arteri, sehingga

diperlukan tekanan yang lebih besar untuk memompa darah

hingga tiba di organ-organ yang membutuhkan. Merokok

mengurangi kemampuan seseorang dalam menanggulangi

stress karena zat kimia dalam rokok, terutama

karbonmonoksida akan mengikat oksigen dalam darah

berkurang. Akibatnya metabolisme tidak berjalan dengan

baik sehingga energi pun berkurang.

(4) Membatasi konsumsi alkohol

Alkohol atau etanol jika diminum dalam jumlah besar akan

meningkatkan tekanan darah. Hal tersebut terjadi karena

alkohol merangsang dilepaskannya epinefrin atau adrenalin,

yang membuat arteri menciut dan menyebabkan penimbunan

air dan natrium, yaitu antara 15-45 mililiter sehari justru

dapat menurunkan kemungkinan terjadinya penggumpalan

darah serta meningkatkan kadar kolesterol HDL dalam

darah. Dalam tubuh, alkohol akan dipersepsikan sebagai

racun tubuh, dalam hal ini hati akan memusatkan

perhatiannya untuk menyingkirkan racun (alkohol) tersebut.

(5) Batasi konsumsi kafein

Efek kafein pada setiap individu tidak sama, kafein bisa

meningkatkan tekanan darah pada sebagian orang tetapi

sebagian orang lainnya tidak memperlihatkan efek tersebut.


24

Cara kafein meningkatkan tekanan darah adalah dengan

memblok kerja hormon adenosin atau merangsang kelenjar

adrenal melepaskan lebih banyak adrenal dan kortisol,

sehingga arteri berkontraksi. Untuk mengurangi efeknya,

batasilah konsumsi kafein dengan meminum dua cangkir

kopi atau tiga cangkir teh atau dua kaleng soft drink dalam

sehari.

(6) Mengatasi kegemukan

Obesitas atau kegemukan adalah kelebihan berat badan

sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang

berlebihan. Seseorang yang memiliki berat badan 20% lebih

dari nilai tengah kisaran berat badan normal juga dianggap

mengalami obesitas. Pembatasan kalori dan peningkatan

aktivitas fisik merupakan komponen terpenting dalam

pengaturan berat badan, kedua komponen ini juga penting

dalam mempertahankan berat badan setelah terjadi

penurunan berat badan. Selain itu, perubahan pola aktivitas

fisik dan pola makan yang sehat perlu diterapkan.

(7) Kontrol tekanan darah

Kontrol tekanan darah adalah aktivitas yang dilakukan oleh

penderita hipertensi dalam mengontrolkan tekanan darah di

pelayanan kesehatan (Martins, Atallah dan Silva dalam Sari

2015). Melakukan kontrol tekanan darah secara teratur dapat


25

mencegah terjadinya komplikasi hipertensi yang

memerlukan penatalaksanaan hipertensi secara tepat (Adib

dalam Sari 2015). Menurut Kozier (2010), faktor yang

mempengaruhi kontrol tekanan darah secara teratur adalah:

(a) Motivasi pasien untuk sembuh

(b) Tingkat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan

(c) Persepsi keparahan masalah kesehatan

(d) Nilai upaya mengurangi ancaman penyakit

(e) Kesulitan memahami dan melakukan perilaku khusus

(f) Tingkat gangguan penyakit atau rangkaian terapi

(g) Keyakinan bahwa terapi atau rejimen yang diprogramkan

akan membantu atau tidak membantu

(h) Kerumitan, efek samping dan durasi terapi diajukan

(i) Warisan budaya tertentu yang membuat kepatuhan

menjadi sulit dilakukan

(j) Tingkat kepuasan dan kualitas serta jenis hubungan

dengan penyedia layanan kesehatan

(k) Seluruh biaya terapi yang diprogramkan

h) Penatalaksanaan hipertensi

Menurut Corwin (2009), untuk mengobati hipertensi, dapat

dilakukan dengan menurunkan kecepatan denyut jantung,

volume sekuncup atau TPR (total perifer resistensi). Intervensi


26

farmakologis dan nonfarmakologis dapat membantu individu

mengurangi tekanan darahnya.

(1) Pada sebagian orang, penurunan berat badan dapat

mengurangi tekanan darah, kemungkinan dengan

mengurangi beban kerja jantung sehingga kecepatan denyut

jantung dan volume sekuncup juga berkurang.

(2) Olahraga, terutama bila disertai penurunan berat badan,

menurunkan tekanan darah dengan menurunkan kecepatan

denyut jantung istrahat dan mungkin TPR. Olahraga

meningkatkan kadar HDL, yang dapat mengurangi

terbentuknya aterosklerosis akibat hipertensi.

(3) Teknik relaksasi dapat mengurangi denyut jantung dan TPR

dengan cara menghambat respons stress saraf simpatis.

(4) Berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka

panjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan

aliran darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan kerja

jantung.

(5) Diuretik bekerja melalui berbagai mekanisme untuk

mengurangi curah jantung dengan mendorong ginjal

meningkatkan ekskresi garam dan airnya. Sebagian diuretik

(tiazid) juga dapat menurunkan TPR.

(6) Penyekat saluran kalsium menurunkan kontraksi otot polos

jantung atau arteri dengan mengintervensi influksi kalsium


27

yang dibutuhkan untuk kontraksi. Sebagian penyekat saluran

kalsium lebih spesifik untuk saluran lambat kalsium otot

jantung, sebagian yang lain lebih spesifik untuk saluran

kalsium otot polos vaskuler. Dengan demikian, berbagai

penyekat kalsium memiliki kemampuan yang berbeda-beda

dalam menurunkan kecepatan denyut jantung, volume

sekuncup dan TPR.

(7) Penghambat enzim pengubah angiotensin II atau inhibitor

ACE (Angiotensin Receptor Blocker) berfungsi untuk

menurunkan angiotensin II dengan menghambat enzim yang

diperlukan untuk mengubah angiotensin I menjadi

angiotensin II. Kondisi ini menurunkan tekanan darah secara

langsung dengan menurunkan TPR, dan secara tidak

langsung dengan menurunkan sekresi aldosteron, yang

akhirnya meningkatkan pengeluaran natrium pada urine

kemudian menurunkan volume plasma dan curah jantung.

Inhibitor ACE juga menurunkan tekanan darah dengan efek

bradikinin yang memanjang, yang normalnya memecah

enzim. Inhibitor ACE dikontraindikasikan untuk kehamilan.

(8) Antagonis (penyekat) reseptor beta (β-blocker), terutama

penyekat selektif, bekerja pada reseptor beta di jantung

untuk menurunkan kecepatan denyut dan curah jantung.


28

(9) Antagonis reseptor alfa (α-blocker) menghambat reseptor

alfa di otot polos vaskular yang secara normal berespons

terhadap rangsangan simpatis dengan vasokontriksi. Hal ini

akan menurunkan TPR.

(10) Vasodilator arteriol langsung dapat digunakan untuk

menurunkan TPR.

2. Self efficacy

a. Pengertian

Teori self efficacy (efikasi diri) dikembangkan oleh Albert Bandura,

yang mana self efficacy mempengaruhi pola berpikir, merasa dan

bertindak. Menurut Baron and Byrne (2007), self efficacy adalah

penilaian individu terhadap kemampuan dan kompetensinya

melakukan tugas, mencapai suatu tujuan dan menghasilkan sesuatu.

Self efficacy dapat digunakan untuk mengevaluasi kesuksesan

seseorang dan menetapkan prioritas serta menentukan seberapa tinggi

tujuan yang ditetapkan. Efikasi diri mempengaruhi kognitif,

ketrampilan, pengambilan keputusan, mempertahankan motivasi, daya

tahan terhadap masalah, menanggulangi sesuatu yang baru, eksplorasi

lingkungan dan pengaruh terhadap diri-sendiri untuk tidak mudah

menyerah (Bandura, 2006).

Self efficacy melalui empat mekanisme yaitu pengamatan role model

terutama dari rekan dalam satu kelompok (peer group), menguasai


29

bidang-bidang secara progresif melalui upaya yang berulang, umpan

balik dari kinerja yang sudah dilakukan serta dorongan dan dukungan

(Bandura dalam Nikmah, 2015). Pengaruh efikasi diri tampak dari

bagaimana seseorang belajar, memotivasi diri dan cara kerja, sehingga

seseorang cenderung untuk mengerjakan sesuatu yang diyakini melalui

kemampuan dirinya akan berhasil. Individu yang memiliki efikasi diri

yang tinggi akan berusaha lebih keras dan lebih tangguh ketika

menghadapi tantangan dibandingkan dengan individu yang efikasi

rendah. Dengan keyakinan diri yang tinggi dan tekad untuk

menyelesaikan tugas dengan baik, semakin meningkatkan hasrat untuk

berprestasi yang mengarahkan seseorang untuk menuju keberhasilan

(Bandura, 2006).

b. Dimensi Self Efficacy

Terdapat tiga dimensi yang diuraikan menurun Bandura (dalam

Nikmah, 2015), yaitu:

1) Tingkat (magnitude)

Tingkat (magnitude) menunjukkan seberapa sulit tugas yang

dianggap mampu diselesaikan oleh dirinya sendiri. Individu dapat

terbatas dalam tugas dengan tingkat kesulitan bervariasi, sehingga

cenderung menyelesaikan tugas sesuai kemampuannya dan

berusaha menghadapi situasi kompetitif. Tingkat (magnitude) juga

akan menentukan seberapa besar langkah usaha yang akan

dilakukan. Individu akan lebih merasa mampu mengerjakan tugas


30

yang mudah apabila memiliki tingkat ( magnitude) yang rendah.

Sebaliknya, pada individu dengan tingkat (magnitude) yang tinggi

akan lebih mampu mengerjakan tugas sulit.

2) Keluasan (generality)

Keluasan adalah mengenai kemampuan penguasaan bidang atau

tugas tertentu secara menyeluruh terhadap segala kondisi. Individu

cenderung mengerjakan bagian tugas yang diyakini memiliki

efikasi diri yang tinggi daripada tugas dengan efikasi yang rendah.

Individu dapat mengerjakan beberapa bidang dalam suatu tugas

sekaligus jika memiliki efikasi diri yang tinggi. Individu yang

memiliki efikasi yang rendah cenderung menguasai sedikit bidang.

3) Kekuatan (strength)

Pada dimensi ini akan menunjukkan keyakinan dan kemantapan

individu pada setiap tugas yang dihadapi. Kekuatan (strength)

menunjukkan keyakinan dimiliki individu untuk sukses dalam

menyelesaikan tugas. Individu dengan efikasi diri yang tinggi akan

meningkatkan usaha untuk menyelesaikan tugasnya ketika

menghadapi rintangan hingga memperoleh hasil yang diharapkan

dan memiliki percaya diri, evaluasi diri yang baik serta tidak takut

mengambil resiko. Disisi lain, individu dengan efikasi diri rendah

cenderung takut gagal dan takut menghadapi segala resiko.


31

c. Faktor yang mempengaruhi self efficacy

Menurut Schultz (2007), self efficacy atau keyakinan dapat diperoleh,

dirubah, ditingkatkan atau diturunkan melalui salah satu atau

kombinasi empat sumber, yaitu:

1) Pengalaman performance atau pengalaman akan kesuksesan

Pengalaman performansi adalah prestasi yang pernah dicapai pada

masa yang telah lalu. Sebagai sumber performansi masa lalu

menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya.

Prestasi (masa lalu) yang bagus meningkatkan ekspektasi efikasi,

sedangkan kegagalan akan menurunkan efikasi. Mencapai

keberhasilan akan memberi dampak efikasi berbeda-beda,

tergantung proses pencapaiannya:

a) Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan membuat efikasi

semakin tinggi.

b) Kerja sendiri, lebih meningkatkan efikasi dibanding kerja

kelompok, dibantu orang lain.

c) Kegagalan menurunkan efikasi, kalau orang merasa sudah

berusaha sebaik mungkin.

d) Kegagalan dalam suasana emosional atau stres, dampaknya

tidak seburuk kalau kondisinya optimal.

e) Kegagalan sesudah orang memiliki keyakinan efikasi yang

kuat, dampaknya tidak seburuk kalau kegagalan itu terjadi

pada orang yang keyakinan efikasinya belum kuat.


32

f) Orang yang biasa berhasil, sesekali gagal tidak memengaruhi

efikasi.

2) Pengalaman vicarious atau pengalaman individu lain

Diperoleh meliputi model sosial. Efikasi akan meningkat ketika

mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi akan

menurun jika mengamati orang yang kira-kira kemampuannya

sama dengan dirinya ternyata gagal. Figur yang diamati berbeda

dengan dari pengamat, pengaruh vikarius tidak besar. Sebaliknya,

ketika mengamati kegagalan figur yang setara dengan dirinya, bisa

jadi orang tidak mau mengerjakan apa yang pernah gagal

dikerjakan figur yang diamatinya itu dalam jangka waktu yang

lama.

3) Persuasi sosial

Efikasi diri juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan

melalui persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi

pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat

memengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada

pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan.

4) Keadaan emosi

Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan

mempengaruhi efikasi dibidang kegiatan itu. Emosi yang kuat,

takut, cemas, stress, dapat mengurangi efikasi diri. Namun, bisa


33

terjadi peningkatan emosi (yang tidak berlebihan) dapat

meningkatkan efikasi diri.

d. Proses Self Efficacy

Baron and Byrne (2007), menguraikan proses self efficacy dalam

mempengaruhi fungsi manusia. Proses self efficacy dibagi menjadi 4,

yaitu:

1) Proses Kognitif

Proses kognitif akan membentuk penghargaan terhadap

kemampuan diri, tujuan hidup, membangun kesuksesan atau

skenario kegagalan dalam masa depan. Pembentukkan kognitif ini

mempengaruhi sejauh mana seorang individu akan memacu

semangatnya untuk berjuang, komitmen yang tinggi dan

mempersiapkan diri untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Proses kognitif ini pula yang menentukan daya tahan, kekuatan

prediktif dan kemampuan berpikir seseorang dalam menghadapi

situasi sulit dan menyiapkan antisipasi apabila terjadi kegagalan.

Semakin tinggi efikasi diri seseorang akan semakin tinggi pula

tujuan yang ingin diraih serta semakin tinggi komitmen dalam

menyelesaikan tugas. Sedangkan pada individu yang meragukan

efikasi pada dirinya cenderung lebih sibuk bergelut dengan

keraguan diri dan membayangkan kegagalan masa depan.


34

2) Proses Motivasi

Motivasi timbul dari suatu pemikiran optimis tentang masa depan

sehingga individu dapat percaya pada kemampuan dirinya yang

akan menuntun setiap tindakan individu yang memiliki efikasi

yang tinggi akan menentukan tujuan tertentu yang diharapkan dan

memotivasi dirinya. Ketika suatu saat mencapai tujuan yang

diharapkan maka akan menciptakan standar baru untuk dirinya dan

semakin memotivasi diri untuk mencapai standar baru tersebut.

3) Proses Afektif

Proses afektif menentukan kemampuan diri untuk mengontrol

emosi, antara lain depresi dan kecemasan agar individu tetap fokus

pada tindakan-tindakan dalam rangka meraih tujuannya. Emosi

yang dapat timbul dalam menghadapi situasi buruk dapat berupa

kegelisahan, kecemasan dan depresi. Individu dengan efikasi diri

tinggi yakin pada dirinya-sendiri mampu mengatasi situasi

mengancam, tidak menimbulkan pola pikiran yang negatif.

Sementara individu dengan efikasi rendah akan timbul stres,

kecemasan yang tinggi, membesar-besarkan masalah dan khawatir

berlebihan terhadap situasi yang dihadapi, sehingga menjadi tidak

fokus dan meremehkan kemampuan diri untuk mengatasi ancaman

tersebut.
35

4) Proses Seleksi

Pada dasarnya seorang individu merupakan hasil pembentukkan

lingkungan. Individu akan cenderung memilih aktivitas dan

lingkungan yang dianggap mampu dihadapi dan tidak melampaui

kemampuannya, hal inilah yang menimbulkan perbedaan

kompetensi, minat dan jaringan sosialnya. Individu tidak akan

menghindari tugas yang tidak melampaui kemampuannya.

e. Alat ukur self efficacy

Kuesioner self efficacy secara umum yang dapat digunakan untuk

mengukur self efficacy adalah general self-efficacy (GSE). Instrumen

kuesioner ini awalnya berisi 20 item, diciptakan oleh Matthias

Jerusalem dan Ralf Schwarzer tahun 1979 di Berlin, Jerman. Namun

saat ini sudah dikurangi menjadi 10 item dan telah diadaptasi dalam 28

bahasa dan 25 negara termasuk negara Indonesia. Kuesioner ini

menggunakan landasan teori Albert Bandura dengan koefisien

reliabilitas skala self efficacy 0,75 sampai 0,91 termasuk reliable

(Warner et al., 2011; Boehmer, 2007). Kuesioner self efficacy ini diberi

4 pilihan jawaban yaitu sangat tidak benar (STB), tidak benar (SB),

cukup benar (CB) dan sangat benar (SB). Pertanyaan ini diberi nilai

tertinggi pada pilihan sangat benar (4), cukup benar (3), tidak benar (2)

dan sangat tidak benar (1).


36

B. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah satu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara
konsep terhadap yang lainnya atau antara variabel yang satu dengan variabel
yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2012).

Karakteristik pasien hipertensi:

Hipertensi adalah suatu - usia


keadaan dimana seseorang - jenis kelamin
mengalami peningkatan - pekerjaan
tekanan darah di atas - tingkat pendidikan
normal yang ditunjukkan - status perkawinan
oleh angka sistol dan - status ekonomi
diastolik pada pemeriksaan - lama menderita hipertensi
tekanan darah - frekuensi melakukan kontrol tekanan
darah
- jarak tempuh
- keluarga yang mendampingi melakukan
kontrol tekanan darah

Self efficacy:
Faktor yang mempengaruhi
self efficacy: - Pengertian
- Dimensi self efficacy
a. Pengalaman keberhasilan
- Faktor yang mempengaruhi
b. Pengalaman orang lain
self efficacy
c. Persuasi sosial
- Proses self efficacy
d. Keadaan fisiologis
- Alat ukur self efficacy

Dimensi self
efficacy :

- Magnitude
- Generality
- Strength

Skema 1
Kerangka Teori
Sumber: Bandura (2006), Corwin (2009), Kozier (2010), Nikmah (2015),
Prasetyaningrum (2014), Triyanto (2014).
37

C. Kerangka Konsep
Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara
konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti.
Variabel
Input Proses Output

Penderita Self efficacy adalah keyakinan Kategori self


Hipertensi yang akan kemampuan atas efficacy:
melakukan kompetensi dalam mencapai
rawat jalan di - Rendah = 10 –
tujuan pada pasien hipertensi di 25
Puskesmas Puskesmas Gondokusuman II
Gondokusuman - Tinggi = 26 -
Yogyakarta yang meliputi: 40
II tahun 2016
- Magnitude
- Generality
- Strength

Karakteristik pasien hipertensi: Faktor yang mempengaruhi self


efficacy:
- Usia
- Jenis kelamin - Pengalaman keberhasilan
- Pekerjaan - Pengalaman orang lain
- Tingkat pendidikan - Persuasi sosial
- Status perkawinan - Keadaan fisiologis dan
- Status ekonomi psikologi
- Lama menderita hipertensi
- Frekuensi melakukan kontrol
tekanan darah
- Jarak tempuh
- Keluarga yang mendampingi
melakukan kontrol tekanan
darah

Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
Skema 2
Kerangka Konsep

Sumber: Bandura (2006), Nikmah (2015), Prasetyaningrum (2014)


38

D. Pertanyaan Penelitian

“Bagaimana self efficacy pada pasien hipertensi di Puskesmas

Gondokusuman II Yogyakarta tahun 2016?”

E. Variabel Penelitian

1. Definisi konseptual

Self efficacy merupakan suatu keyakinan atas kemampuan diri

untuk mengatur dan melaksanakan serangkaian tindakan sehingga

dapat menentukan seberapa baik kinerja untuk memperoleh hasil

yang diharapkan (Bandura, 2006).

You might also like