Professional Documents
Culture Documents
Pertemuan 9 Kebijakan Fiskal Dan Moneter
Pertemuan 9 Kebijakan Fiskal Dan Moneter
DAN MONETER
Tujuan Kebijakan Fiskal-Moneter
B. Pajak Subjektif
a. Pajak Nominal
Adalah pajak yang pengenaannya berdasarkan sejumlah nilai
nominal tertentu.
Misalnya bila pengenaan pajak pendapatan sebesar 50, maka cukup
ditulis T=50
b. Pajak Persentase
Adalah pajak yang ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari
dasar pengenaan pajak.
Y=C+I+G
• Dimana konsumsi (C) sebagai fungsi
dirumuskan sebagai :
C = aY + b
Pendapatan disposibel (YD) sebagai nilai
pendapatan yang dapat dibelanjakan
diformulasikan sebagai :
YD = Y – Tx + Tr
YD = C + S
Dimana :
Tx : Pajak
Tr : Transfer pemerintah
S : Saving
Dimana saving dapat difungsikan sebagai :
S = (1-a)Y – b
60
0
240 960
Pendapatan Nasionbal
(Trilyun Rp)
Suntikan
Bocoran
(Trilyun S+T
Rp) (b). Pendekatan
180 I+G suntikan bocoran
0 240 960
60 Pendapatan Nasionbal
(Trilyun Rp)
Kebijakan Fiskal
Adalah kebijakan ekonomi makro yang implementasinya melalui
penyusunan “anggaran” pemerintah (APBN di Indonesia).
Secara garis besar terdiri 3 pos utama pada sisi pengeluaran
“anggaran”;
1. Belanja barang dan jasa (G),
2. Gaji pegawai (W),
3. Transfer payment/subsisi (Tr).
Sedangkan pada sisi pendapatan terdiri 4 pos yang penting, yaitu:
1. Penerimaan pajak (Tx),
2. Kredit likuiditas bank sentral (U),
3. Pinjaman/obligasi dalam negeri (B),
4. Pinjaman/hutang luar negeri (F)
Masing-masing pos mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap
perekonomian.
“Anggaran” Pemerintah
• Pengeluaran total “anggaran” (APBN di Indonesia) selalu sama
dengan penerimaan totalnya. Dalam pengertian akuntansi ini
“Anggaran” selalu seimbang (anggaran berimbang). Dalam
pengertian ekonomi “anggaran” bisa defisit, surplus atau
berimbang.
• Ada tiga pengertian yang berbeda mengenai arti defisit, surplus
dan “anggaran” berimbang.
1. Penerimaan pajak (Tx) dapat menutup seluruh pengeluaran (G
+ W + Tr), apabila G + W + Tr > Tx maka “anggaran” defisit dan
bila G + W + Tr < Tx maka “anggaran” surplus selanjutnya G +
W + Tr = Tx maka “anggaran” berimbang.
2. Defisit “anggaran” apabila G + W + Tr > Tx + B, surplus
“anggaran” apabila G + W + R < T + B dan berimbang bila G +
W + R = T + B.
3. “Anggaran” defisit bilamana U > 0, “anggaran” surplus bila U < 0
dan berimbang bila U = 0. pada pengertian ini menunjukkan ada
tidaknya pencetakan uang baru untuk membiayai “Anggaran”.
Kebijakan Fiskal
Dalam Gambar 1 kebijakan fiskal ekspansif akan berdampak pada
pergeseran kurva IS dari IS0 ke IS1. Pendapatan naik karena
peningkatan pengeluaran pada output domestik. Tingkat bunga
harus naik untuk menjaga permintaan uang sama dengan jumlah
uang beredar yang tetap, sehingga terjadi aliran masuk dalam
perekonomian, neraca pembayaran surplus dan kurs apresiasi.
Pergeseran kurva BOP dari BOP0 ke BOP1 adalah hasil
dari apresiasi nilai tukar. Karena adanya pergerakan
perbelanjaan dari barang domestik ke barang luar negeri
yang harganya lebih murah sebagai akibat apresiasi
kurs, pada setiap tingkat bunga keseimbangan neraca
pembayaran menghasilkan tingkat pendapatan yang
lebih rendah.
Pengeluaran dialihkan untuk barang dan jasa domestik, di sisi lain ekspor
naik dan kurva IS bergeser ke kanan dari IS0 ke IS1. Depresiasi nilai tukar
domestik membuat kebijakan moneter sebagai instrument yang efektif untuk
mencapai kesimbangan internal (YIB).
Kebijakan moneter dalam sistem nilai tukar fleksibel dan dengan aliran modal
sempurna merupakan kebijakan yang efektif untuk meningkatkan
pendapatan nasional, baik dilakukan secara temporer maupun permanen.
Namun kebijakan yang dilakukan secara permanen lebih efektif dari pada
kebijakan yang dilakukan secara temporer.
Pandangan Kaum Klasik Terhadap Kebijakan
Fiskal dan Moneter
1.Sisi Output
Kenaikan tingkat bunga akan menyebabkan ada
beberapa rencana investasi yang dibatalkan, sebagai
akibatnya pertambahan kapasitas produksi menjadi
kecil.
2.Sisi Biaya
Kenaikan tingkat bunga akan menaikkan biaya
produksi dikarenakan naiknya biaya modal
Multiplier Kebijakan Fiskal
Multiplier kebijakan fiskal menunjukkan seberapa besar
kenaikan pengeluaran pemerintah dapat mengubah tingkat
pendapatan ekuilibrium dengan asumsi kebijakan moneter
adalah konstan.
Dalam hal ini dapat diartikan kebijakan fiskal tersebut dapat berfungsi
mendorong atau memperbaiki tingkat perekonomian, yang ditandai
antara lain, dengan meningkatnya indikator PDB (Produk Domestik
Bruto) atau pertumbuhan PDB, meningkatnya lapangan pekerjaan, dan
menggerakan sektor riil. Apabila hal ini dapat terjadi, maka pemerintah
dapat dikatakan menciptakan stimulus fiscal atau stimulus budget.
Berikut ini ditampilkan beberapa data yang yang
mencerminkan kebijakan fiskal dan juga data mengenai
pertumbuhan PDB, yaitu :
Diterapkannya ITF secara penuh sejak tahun 2005 telah memberikan hasil
yang positip. Hal ini ditandai dengan menurunnya laju inflasi dari 17.11% pada
tahun 2005 dan menurun pada 6.60 % tahun 2006.
Sementara itu, dengan diterapkannya ITF
dapat pula memberikan dampak positip
kepada perkembangan nilai tukar rupiah.
Nilai tukar rupiah cenderung stabil yang
mana datanya menunjukkan 9.713 untuk
tahun 2005; 9.167 (2006), dan 9.140 (2007-
hasil estimasi).
Kesimpulan
Dengan data yang ada sejak tahun 2002 sampai tahun 2006, perkembangan
kebijakan fiskal cenderung ekspansip, ditandai dengan meningkatnya sektor
belanja (G) setiap tahunnya.
Perkembangan ini mendorong naiknya pertumbuhan ekonomi, sehingga dalam
konteks ini kebijakan fiskal dapat dikatakan sebagai stimulus fiscal atau
stimulus budget.
Berdasarkan data pada periode yang sama (2002-2006), perkembangan
kebijakan moneter cenderung juga ekspansip, ditandai dengan meningkatnya
Jumlah Uang Beredar (JUB) dari tahun -ketahun, serta menurunnya tingkat
suku bunga: SBI, Kredit Modal Kerja, Kredit Investasi dan Kredit Konsumsi.
Kecuali pada tahun 2005, tingkat suku bunga meningkat mengingat
perekonomian baru saja dikejutkan oleh naikknya harga BBM secara drastis.
Sejak tahun 2005 Bank Indonesia sebagai bank sentral telah berhasil
menurunkan laju tingkat inflasi dan menstabilkan nilai tukar, dengan
diterapkannya Inflation Targeting Framework (ITF). Penerapan ITF ini,
ditandai dengan digunakannya BI rate sebagai sasaran operasional kebijakan
moneter menggantikan base money.