Professional Documents
Culture Documents
Pelayanan kesehatan pada saat itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang
ada di Indonesia. Kemudian pada tahun 1849, dibuka pendidikan Dokter Jawa di Batavia,
tepatnya di Rumah Sakit Militer Belanda yang sekarang dikenal dengan RSPAD Gatot
Subroto. Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada tahun 1851, dibuka
pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang dokter militer Belanda
bernama dr. W. Bosch. Lulusan sekolah ini kemudian bekerja di rumah sakit dan juga di
masyarakat. Mulai saat itu pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan
bidan.
Pada tahun 1952, mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat
meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Pelatihan untuk para dukun masih
berlangsung sampai sekarang. Pelatihan ini diberikan oleh bidan. Perubahan
pengetahuan dan keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara
menyeluruh di masyarakat di lakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan
istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta, yang akhirnya
dilakukan pula di kota-kota besar lainnya di nusantara ini. Seiring dengan pelatihan
tersebut, didirikan pula Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dengan bidan sebagai
penanggung jawab pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang diberikan mencakup
pelayanan antenatal, postnatal, pemeriksaan bayi dan anak, termasuk imunisasi serta
penyuluhan gizi. Sedangkan di luar BKIA, bidan memberi pertolongan persalinan di
rumah keluarga dan melakukan kunjungan rumah sebgai upaya tindak lanjut
pascapersalinan.
Bermula dari BKIA, kemudian terbentuklah suatu pelayanan terintegrasi bagi masyarakat
yang dinamakan Pusat Kesahatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas
memberi pelayanan di dalam gedung dan di luar gedung dan berorientasi pada wilayah
kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi memberikan pelayanan kesehatan
bagi ibu dan anak, termasuk pelayanan keluarga berencana baik di luar gedung maupun
di dalam gedung. Pelayanan kebidanan yang diberikan di luar gedung adalah pelayanan
kesehatan keluarga dan pelayanan di pos pelayanan terpadu (Posyandu). Pelayanan di
Posyandu mencakup lima kegiatan yaitu pemeriksaan kehamilan, pelayanan keluarga
berencana, imunisasi, gizi, dan kesehatan lingkungan.
Mulai tahun 1990, pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini merupakan Instruksi Presiden (Inpres) yang
disampaikan secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992. Kebijakan ini mengenai
perlunya mendidik bidan untuk ditempatkan di desa. Tugas pokok bidan di desa adalah
sebagai pelaksana kesehatan KIA, khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil,
bersalin, dan nifas, serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk pembinaan
dukun bayi (paraji). Sehubungan dengan itu, bidan desa juga menjadi pelaksana
pelayanan kesehatan bayi dan keluarga berencana yang dilakukan sejalan dengan tugas
utamanya sebagai pemberi pelayanan kesehatan ibu. Dalam melaksanakan tugas
pokoknya, bidan desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang
memerlukannya, mengadakan pembinaan Posyandu di wilayah kerjanya, serta
mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Hal tersebut di atas adalah bentuk pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa.
Pelayanan bidan di desa berorientasi pada kesehatan masyarakat, sedangkan bidan yang
bekerja di rumah sakit berorientasi pada individu. Tugas bidan di rumah sakit mencakup
pelayanan di poliklinik antenatal, poliklinik keluarga berencana, ruang perinatal, kamar
bersalin, kamar operasi kebidanan, dan ruang nifas. Bidan di rumah sakit juga memberi
pelayanan bagi klien yang mengalami gangguan kesehatan reproduksi, mengajarkan
senam hamil, serta memberi pendidikan perinatal.
Titik tolak Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang menekankan
pada kesehatan reproduksi (reproductive health), memperluas area garapan pelayanan
bidan, area tersebut meliputi :
2. Keluarga berencana
Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi, dan tugasnya didasarkan pada kemampuan
serta kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu
mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat serta
kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Permenkes
tersebut terdiri atas :
3. Permenkes No. 572/VI/1996 yang mengatur tentang registrasi dan praktik bidan.
Bidan dalam melaksanakan praktiknya diberi kewenangan yang mandiri. Kewenangan
tersebut disertai kemampuan dalam melaksanakan tindakan. Dalam wewenang tersebut
mencakup
b. Pelayanan keluarga berencana yang meliputi pemberian obat dan alat kontrasepsi
melalui oral, suntikan, pemasangan dan pencabutan AKDR dan AKBK tanpa penyulit.
Permenkes tersebut juga menegaskan bahwa bidan dalam menjalankan praktiknya harus
sesuai dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman, serta berdasarkan
standar profesi. Di samping itu, bidan diwajibkan merujuk kasus-kasus yang tidak dapat
ditangani, menyimpan rahasia, meminta persetujuan untuk tindakan yang akan
dilaksanakan, memberi informasi, serta membuat rekam medis dengan baik. Petunjuk
pelaksanaan yang lebih rinci mengenai kewenangan bidan terdapat pada petunjuk
pelaksanaan (jutlak) yang dituangkan dalam Lampiran Keputusan Dirjen Binkesmas No.
1506/tahun 1997.
Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Permenkes 572/1996 tidak mudah, karena
kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan mengandung tuntutan bahwa
bidan sebagai tenaga profesional harus memiliki kemampuan profesi yang mandiri.
Pencapaian kemampuan tersebut diperoleh melalui institusi pelayanan yang
meningkatkan kemampuan bidan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.