You are on page 1of 22

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan manusia dimulai sebagai organisme bersel dua selama fertilisasi.

Pertumbuhan dan perkembangan organ terjadi di uterus. Semua organ berkembang melalui fase-fase pematangan dan tidak mampu mempertahankan hidup pada awal perkembangannya, sehingga memerlukan plasenta maternal untuk bertahan hidup dalam uterus. Suatu titik kritis dicapai saat organ-organ telah berkembang hingga fase matang yang mampu bertahan hidup tanpa bantuan plasenta ibu dan pada saat inilah kelahiran terjadi. Jika fetus dilahirkan prematur, organ-organ tidak akan berkembang dengan sempurna dan tidak selalu mampu bertahan hidup diluar uterus. Anak-anak adalah mahluk yang sedang tumbuh dengan organ yang secara anatomi dan fisiologi belum matang dan harus beradaptasi dengan dunia yang dinamis. Proses adaptasi paling awal adalah perubahan lingkungan dari intrauterin ke lingkungan ekstrauterin. Seorang anak bisa menjadi sangat sakit dalam beberapa menit hingga jam akibat tidak matangnya sistem fisiologi tidak adanya perlindungan tubuh. Perkembangan dari hidung tersumbat menjadi meningitis preterminal bisa terjadi dalam beberapa jam. Gastroenteritis bisa berkembang menjadi dehidrasi preterminal dan syok dalam hitungan menit. Sebaliknya, seorang anak yang menerima terapi yang tepat dapat sembuh dengan cepat dan pulih sempurna. Selama 30 tahun belakangan ini, anestesi regional telah berkembang pesat menjadi teknik utama manajemen nyeri pasien pediatri dalam bidang bedah dan nonbedah. Hal ini makin dipermudah oleh perkembangan jarum dan kateter yang didesain khusus untuk pasien pediatri. Beberapa tahun terakhir, banyak penelitian pediatri yang melibatkan banyak pasien dari masa neonatus hingga akhir masa remaja telah menguji hampir semua teknik blok saraf, sehingga mempermudah kita menentukan indikasi yang tepat, kontraindikasi, dan efek sampingnya. Dengan penggunaan stimulator saraf, blok perifir sekarang bisa dilakukan dengan aman pada pasien yang teranestesi jika sebelumnya tidak pernah diberi pelumpuh otot.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perbedaan Antara Anak-Anak dan Dewasa Pasien pediatri bukanlah manusia dewasa dalam bentuk kecil. Neonatus (0-1 bulan), bayi (1-12 bulan), batita (1-3 tahun), dan anak kecil (4-12 tahun) memiliki kebutuhan anestesi yang berbeda. Manajemen anestesi yang aman membutuhkan perhatian yang penuh terhadap karakteristik fisiologi, anatomi, dan farmakologi masing-masing kelompok umur. Karakteristik yang berbeda antar anak-anak dan anak-anak dengan dewasa, memerlukan modifikasi peralatan dan teknik anestesi. Bayi memang memiliki risiko besar mengalami morbiditas dan mortalitas akibat anestesi dibandingkan anak-anak yang lebih tua. Risiko ini berbanding terbalik dengan usia, dimana neonatus memiliki risiko yang paling besar. Selain itu pasien pediatri rentan terhadap penyakit sehingga membutuhkan strategi operasi dan anestesi yang unik. 2.1.1 Ukuran Tubuh Perbedaan yang paling jelas antara anak-anak dan dewasa bisa dilihat dari ukuran tubuh. Neonatus cukup bulan yang normal memiliki berat 3 sampai 3,5 kg dengan tinggi 50 cm, dan dalam 10 hingga 15 tahun mereka akan bertambah berat hingga lebih dari 12 kali berat mereka sekarang dan tinggi badan mereka bertambah hingga lebih dari 3 kali tinggi mereka sekarang. Selama tahap awal perkembangan, medula spinalis menempati seluruh ruang spinal, tapi kemudian pertumbuhan vertebra melebihi pertumbuhan medula spinalis, dan saraf spinal terakhir, medula dan pembungkusnya tertarik di dalam ruang spinal. Pada saat lahir dura mater berakhir pada tingkat vertebra sakrum ketiga atau keempat dan conus medularis pada ketinggian L3 atau L4. Pada umur 1 tahun, ketinggian konus medularis dan kantong dura sudah sesuai dengan ketinggian normal orang dewasa. Hubungan anatomis dan penanda permukaan berubah secara konstan sepanjang masa balita dan anak-anak, sehingga menyulitkan prosedur regional dan memerlukan pengetahuan yang cukup banyak tentang anatomi perkembangan dan bantuan teknik yang akurat untuk penentuan ruang anatomi dan serabut saraf.

Kejadian malformasi kongenital, kelainan genetik, dan konsekuensi dari asfiksia fetal/neonatal (serebral palsy) cukup sering ditemui dan terjadi hanya pada masa anak-anak. Hal ini menyebabkan perkembangan abnormal dan deformitas dari tulang/sendi dan struktur neurologis yang cenderung bertambah buruk selama masa kanak-kanak. Faktor anatomi pediatri yang mempengaruhi indikasi atau pilihan prosedur blok regional diperlihatkan dalam tabel. Faktor Anatomi Pediatri yang Mempengaruhi Indikasi atau Pilihan Prosedur Blok Regional Faktor Pediatri (Khususnya Bayi) Ujung medula spinalis yang lebih rendah Proyeksi kantong dura yang lebih rendah. Belum sempurnanya mielinisasi serabut saraf Bahaya yang Diakibatkan Peningkatan risiko trauma langsung medula spinalis. Peningkatan risiko penetrasi dura mater yang tidak disengaja. Pengaruh Terhadap Anestesi Regional Hindari pendekatan epidura di atas vertebra L3 bila memungkinkan. Periksa adanya refluks cairan serebrospinal, termasuk selama pendekatan kaudal. Pendekatan ruang epidura yang lebih redah lebih mudah dilakukan. Waktu onset memendek, dan anestesi lokal encer sama efektifnya dengan anestesi yang lebih pekat pada orang dewasa. Hindari menggunakan jarum tipis dan panjang, gunakan jarum pendek dan jarum beveled pendek. Jangan menekan jarum terlalu keras. Jika terasa ada tahanan, hentikan usaha menusukkan jarum lebih jauh. Pendekatan epidural pada intervertebra sakrum bisa dilakukan selama usia anak-anak. Sampai usia 6 bulan, orientasi jarum epidural bisa dilakukan pada posisi biasa, setelah itu disesuaikan dengan lengkung vertebra.

Memudahkan penetrasi anestesi lokal ke intraneural. Menurunkan tahanan terhadap penetrasi oleh jarum tajam. Trauma langsung dan kontaminasi bakteri pada nuklei osifikasi bisa menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang/sendi. Ruang intervertebra sakrum masih longgar. Lordosis servikal (3-6 bulan) Lordosis lumbar (8-9 bulan)

Struktur tulang dan vertebra yang masih bersifat tulang rawan

Fusi vertebra sakrum yang belum sempurna Belum sempurnanya perkembangan lengkung vertebra.

Faktor Pediatri (Khususnya Bayi) Perubahan aksis coccyx dan tidak terjadinya pertumbuhan hiatus sakrum. Belum terjadinya osifikasi dan pertumbuhan spina iliaka.

Bahaya yang Diakibatkan Hiatus sakrum menjadi mengecil seiring dengan penambahan usia. Garis Tuffier, yang menghubungkan spina ilaka superior anterior, memotong vertebra pada tingkat L5 atau lebih rendah pada bayi.

Pengaruh Terhadap Anestesi Regional Menyulitkan dalam mengidentifikasi hiatus sakrum diatas usia 6-8 tahun (meningkatkan risiko kegagalan anestesi kaudal)

Garis ini melintasi L5, sedangkan pada dewasa melintasi L4-L5.

2.1.2 Sistem Respirasi Dibandingkan dengan anak yang lebih tua, neonatus dan bayi memiliki efisiensi ventilasi yang lebih sedikit karena otot interkostal dan diafragma yang lebih lemah (karena serabut saraf tipe I yang masih sedikit), tulang costae yang horizontal dan lebih fleksibel, dan abdomen yang menggelembung. Laju respirasi meningkat pada masa neonatus dan menurun secara bertahap hingga mencapai tingkat dewasa pada saat remaja. Volume tidal dan ruang rugi per kilogram masih konstan selama perkembangan. Sedikitnya jumlah relatif jalur udara kecil meningkatkan tahanan jalur udara. Pematangan alveolar tidak terjadi secara sempurna sampai akhir masa kanak-kanak (kira-kira pada usia 8 tahun). Usaha untuk bernafas meningkat dan otot pernafasan mudah menjadi lelah. Terbatasnya jumlah alveoli pada neonatus dan bayi menurunkan compliance paru-paru, tapi tulang costae yang masih bersifat tulang rawan menyebabkan dinding dada mereka memiliki compliance yang lebih besar. Kombinasi kedua karakteristik ini menyebabkan kolaps dinding paru-paru saat inspirasi dan volume residu paruparu menjadi lebih rendah pada saat ekspirasi. Terjadinya penurunan functional residual capacity (FRC) penting untuk diperhatikan karena hal ini membatasi cadangan oksigen selama periode apneu (misalnya pada saat intubasi) dan dapat segera menyebabkan terjadinya atalektasis dan hipoksemia pada neonatus dan bayi. Hal ini bisa diperberat oleh kebutuhan oksigen yang lebih tinggi pada neonatus dan bayi. Selain itu, dorongan ventilasi pada saat hipoksia dan

hiperkapnia belum berkembang dengan baik pada neonatus dan bayi. Sebaliknya terjadinya hipoksia dan hiperkapnia menekan sistem respirasi pada pasien ini. Secara proporsional, neonatus dan bayi memiliki kepala dan lidah yang lebih besar, jalan nafas yang lebih sempit, laring yang terletak lebih anterior dan cephal (pada tingkat vertebra C4, dibandingkan dengan C6 pada orang dewasa, epiglotis yang panjang, dan trakea dan leher yang pendek. Bentuk anatomis seperti ini menyebabkan neonatus dan kebanyakan bayi yang lebih muda bernafas hanya lewat hidung hingga usia 5 bulan. Kartilagi krikoid adalah titik tersempit pada jalan nafas bayi usia dibawah 5 tahun (pada orang dewasa titik tersempit adalah pada glotis). Satu milimeter edema memiliki efek yang lebih besar pada anak-anak, karena diameter trakea yang lebih kecil. 2.1.3 Sistem Kardiovaskular Stroke volume ditentukan oleh ventrikel kiri neonatus dan bayi yang noncompliant dan belum berkembang sempurna. Oleh karena itu cardiac output sangat tergantung dari denyut jantung. Meskipun denyut jantung basal lebih tinggi dari orang dewasa, aktivasi sistem saraf parasimpatis, overdosis anestesi, atau hipoksia bisa menyebabkan bradiakrdia dan penurunan cardiac output yang banyak. Bayi yang sedang sakit yang menjalani operasi darurat atau lama, terlihat lebih rentan mengalami episode bradikardia yang bisa menyebabkan hipotensi, asistol, dan kematian intraoperatif. Sistem saraf simpatis dan refleks baroreseptor belum berkembang sempurna. Sistem kardiovaskular pada bayi memiliki cadangan katekolamin yang rendah dan tampaknya tidak terpengaruh terhadap pemberian katekolamin eksogen. Jantung yang belum matang lebih sensitif terhadap efek calcium channel blocker akibat anestesi volatil dan bradikardi yang disebabkan oleh opioid. Pembuluh darah kurang mampu merespon dengan vasokonstriksi saat terjadi hipovolemi. Oleh karena itu, tanda khas menurunnya cairan intravaskular pada neonatus dan bayi adalah hipotensi tanpa bradikardia. 2.1.4 Pengaturan Metabolisme dan Temperatur Pasien pediatri memiliki permukaan tubuh yang lebih luas per kilogram dibandingkan orang dewasa (rasio luas permukaan : berat yang lebih tinggi). Metabolisme dan parameter yang lain (kebutuhan oksigen, produksi CO2, CO, dan

ventilasi alveolar) memiliki korelasi yang lebih baik dengan luas permukaan tubuh dibandingkan berat badan. Kulit yang tipis, kandungan lemak yang rendah, dan rasio luas permukaan:berat badan yang lebih tinggi menyebabkan kehilangan panas yang lebih tinggi pada neonatus. Masalah ini diperberat oleh ruang operasi yang dingin, paparan luka, pemberian cairan intravena, gas anestesi yang kering, dan efek langsung obat anestesi pada pengaturan suhu. Hipotermia adalah masalah serius yang sering menyebabkan tertundanya membangunkan dari anestesi, iritabilitas jantung, depresi nafas, peningkatan tahanan pembuluh darah pulmoner, dan perubahan respon obat. Mekanisme utama terjadinya produksi panas pada neonatus adalah termogenesis melalui metabolisme lemak cokelat dan mengalihkan fosforilasi oksidatif hati menjadi alur thermogenic proton leak. Metabolisme lemak cokelat sangat terbatas pada bayi prematur dan neonatus yang sakit yang memiliki sedikit cadangan lemak. Selain itu, anestesi volatil menghambat termogenesis pada sel lemak cokelat. 2.1.5 Fungsi Renal dan Gastrointestinal Fungsi ginjal normal tidak terjadi hingga usia 6 bulan. Fungsi ginjal bisa saja tidak mencapai tingkat dewasa hingga usia 2 tahun. Neonatus prematur seringkali memiliki defek renal multipel, termasuk penurunan klirens kreatinin (gangguan pada retensi natrium, ekskresi glukosa, dan reabsorpsi bikarbonat), dan kemampuan melarutkan dan memekatkan yang buruk. Kelainan-kelainan ini menyebabkan perlunya perhatian yang tinggi pada pemberian cairan pada awal masa kehidupan. Imaturitas saluran pencernaan hingga usia 2 tahun menyebabkan absorpsi cairan yang buruk pada kolon dan usus halus. Sehingga feses bayi biasanya memiliki kandungan air lebih banyak. Akibatnya, bayi bisa mengalami pra gagal ginjal dalam 24 jam setelah menderita gastroenteritis. Hilangnya 400 ml cairan pada bayi berbobot 4 kg sama dengan kehilangan 10% massa tubuh. Ketidaktahuan mengenai hal ini sering menyebabkan kesalahan identifikasi feses cair dan urin.

Neonatus

juga

memiliki

kecenderungan

mengalami

refluks

gastroesofageal. Organ hati yang belum matang menyebabkan gangguan konjugasi hepatik pada awal kehidupan. 2.1.6 Homeostasis Glukosa Neonatus memiliki cadangan glukosa yang rendah yang membuat mereka rentan mengalami hipoglikemia. Gangguan ekskresi glukosa oleh ginjal kemungkinan bisa mengimbangi kecenderungan tersebut. Neonatus yang memiliki risiko paling besar mengalami hipoglikemia adalah yang prematur dan yang berukuran kecil untuk usia kehamilan, menerima hiperalimentasi, dan lahir dari ibu yang menderita diabetes. 2.1.7 Volume Darah Bayi memiliki 80 ml/kg darah dalam tubuhnya, dibandingkan dengan volume darah pada dewasa 70 ml/kg. Total volume darah dari neonatus dengan berat badan 3,5 kg 300 ml dan kehilangan 30 ml darah akan sama dengan kehilangan 10% total volume darah. Dibandingkan dengan neonatus kehilangan darah sebesar 30 ml pada orang dewasa, bisa diabaikan. 2.1.8 Sistem Saraf Pusat Mielinisasi pada sistem saraf pusat dan koneksi kortikal bayi pada belum berkembang sempurna. Inilah yang menyebabkan bayi belum bisa berjalan, menoleh, mengangkat kepala atau mengendalikan suhu tubuhnya. Perkembangan otak mulai terjadi secara pesat pada 6 bulan pertama kehidupan. Misalnya, lingkar kelapa neonatus membesar hingga dua kali pada 6 bulan pertama kehidupan dan pada usia 1 tahun mencapai setengah dari ukuran kepala dewasanya. Hal ini menjadi masa yang sangat kritis, dimana bayi perlu menjalani puasa untuk persiapan pembedahan. Oleh karena itu, semua bayi yang tidak mendapat nutrisi enteral lebih dari 5 hari segera dirawat dengan hiperalimentasi seimbang yang mencakup karbohidrat, protein, lemak, trace element dan vitamin. 2.2 Persepsi Nyeri Nyeri somatis adalah pengalaman sensori subyektif yang disebabkan oleh interaksi tiga komponen: motivational-directive, sensory-discriminatory, dan cognitive-evaluative. Komponen motivational-directive dihantarkan oleh serabut C yang tidak bermielin (nyeri lambat atau nyeri sebenarnya). Nyeri tersebut

menyebabkan refleks protektif seperti pada reaksi otonom, kontraksi otot, dan rigiditas. Serabut C berfungsi sempurna sejak masa dalam kandungan. Hubungan antara serabut C dan neuron kornu dorsalis belum matang sebelum minggu kedua setelah kelahiran. Akan tetapi, stimulasi nosiseptif yang ditransmisikan ke kornu dorsalis oleh serabut C memicu respon yang bertahan lama, hal ini mungkin disebabkan oleh depolarisasi ekstensif neuron di sekitarnya karena produksi substansi P yang banyak. Karena jumlah reseptor substansi P pada kornu dorsalis menurun selama 2 minggu setelah kelahiran, respon yang berlebihan neonatus terhadap stimulasi nosiseptif menghilang secara bertahap. Pada saat yang sama juga berkembang jalur kontrol penghambatan (inhibitory control pathway) yang masih sangat muda pada waktu lahir. Prosedur menyakitkan yang dilakukan selama masa neonatus menentukan respon nyeri berikutnya pada masa bayi dan anak-anak, tergantung dari tahap perkembangan bayi (cukup bulan atau kurang bulan) dan pengalaman kumulatif nyeri dari neonatus. Neonatus yang cukup bulan mengalami peningkatan respon behavioral terhadap prosedur yang menyakitkan selanjutnya, sedangkan neonatus kurang bulan mengalami penurunan respon. Dengan pemberian obat anestesi (anestesi lokal maupun opioid) sebelum prosedur yang menyakitkan, bayi memperlihatkan penurunan nyeri prosedural dan penurunan respon nyeri jangka panjang. Kesulitan utama adalah penilaian dan kadang-kadang identifikasi nyeri pada anak-anak, karena ketidakmampuan mereka dalam berkomunikasi dengan pengasuhnya dan mengekspresikan ketidaknyamanan dan keluhan dengan tepat. Selama dua dekade terakhir, nyeri pediatri telah mendapat perhatian yang besar, dan skala nyeri sesuai-usia yang baik telah dikembangakan untuk mengevaluasi tingkat keparahan nyeri dan efektivitas perawatan. 2.4 Anestesi Epidural pada Pediatri 2.4.1 Anatomi dan Fisiologi Ruang Epidura Ruang epidura mengelilingi medula spinalis dan meningen dari foramen magnum hingga hiatus sakrum. Bagian posterior dibatasi oleh lamina vertebra dan ligamenta flava, berhubungan dengan bebas dengan ruang paravertebra dan tempat keluar nervus spinalis. Bagian dura di dekat ganglia spinalis berhubungan

langsung dengan ruang subaraknoid karena protrusi granulasi araknoid, yang mudah dilewati oleh anestesi lokal. Ruang ini berisi pembuluh darah dan pembuluh limfa dan berisi jaringan lemak longgar pada bayi dan anak-anak hingga usia 6-8 tahun. Garis yang menghubungkan dua iliac crest (garis Tuffier) melewati garis prosesus spinosus pada L5-S1 hingga usia 1 tahun, di atas usia tersebut garis itu melewati L4-L5. Penekukan tulang belakang (seperti pada saat melakukan blok epidura) mengubah tingkat dimana garis Tuffier melewati vertebra pada 58,3% pasien. Anak-anak biasanya bisa mentolerir anestesi epidura dengan baik tanpa terjadinya perubahan tekanan darah yang signifikan atau bradikardi. 2.4.2 Indikasi dan Kontra Indikasi Epidural anestesi direkomendasikan untuk semua operasi besar pada abdomen, retroperitoneal, pelvis, dan toraks, termasuk perbaikan pektus ekskavatum dan operasi skoliosis, terutama dengan teknik dua-kateter. Teknik ini juga digunakan untuk operasi jantung pada beberapa institusi, tapi indikasi ini masih kontroversial. Prosedur regional dilakukan pada pasien dewasa yang sadar, dengan atau tanpa sedasi, tapi biasanya tidak dilakukan dengan anestesi umum. Pada beberapa pasien pediatri, manajemen yang sama bisa ditawarkan dan kadang-kadang diminta oleh anak. Akan tetapi, kebanyakan anak-anak harus berada dalam keadaan tidak sadar selama prosedur blok. Jika tidak ada kontraindikasi untuk anestesi umum, blok regional bisa dilakukan dalam pengaruh anestesi ringan. Tingkat intervertebra dimana akan dilakukan pendekatan ruang epidura masih menjadi perdebatan dan tergantung dari usia pasien dan pengalaman ahli anestesi. Jika teknik suntikan tunggal direncanakan untuk operasi di bawah umbilikus, pendekatan kaudal lebih sering dipilih pada bayi dan anak-anak dan pendekatan lumbar pada anak-anak yang lebih tua. Jika akan dilakukan pemasangan kateter pendekatan lumbar lebih dipilih pada semua pasien untuk menurunkan risiko kontaminasi bakteri dari anus. Jika membutuhkan blok sensori pada dermatom toraks yang tinggi, pendekatan paling baik adalah blok epidura toraks, yang membutuhkan keahlian

lebih karena bisa menyebabkan kerusakan medula spinalis. Jika ahli anestesi tidak terbiasa melakukan blok epidura toraks pada bayi, disarankan untuk melakukan pendekatan kaudal dengan mengarahkan kateter hingga mencapai level toraks. Teknik ini juga membutuhkan pengalaman dan keberuntungan, karena pada 30% kasus kateter yang dimasukkan mengalami misplace, bahkan pada orang yang berpengalaman. Kemungkin komplikasi yang berat bisa terjadi (misalnya trauma medula spinalis atau pembuluh darah saat pemasukan, kontaminasi bakteri, kateter melingkar di radiks spinalis saat berusaha mengelurakan). Kontraindikasi spesifik anestesi epidura termasuk malformasi berat dari vertebra dan medula spinalis (bukan spina bifida okulta), lesi intraspinal atau tumor, dan tethered cord syndrome. Pada kebanyakan kasus anestesi epidura harus dihindari pada anak dengan riwayat hidrosefalus, peningkatan tekanan intrakranial, unstable epilepsy, atau penurunan compliance intrakranial, tapi kelainan ini bukan merupakan kontraindikasi absolut, tergantung dari situasi. Riwayat operasi pada spinal biasanya membuat teknik anestesi spinal dan epidura susah dilakukan atau bahkan tidak mungkin dilakukan, tapi tidak merupakan kontraindikasi jika tidak ada lesi di medula spinalis. Penolakan dari orang tua merupakan kontraindikasi absolut nonmedis. 2.4.3 Teknik Anestesi Epidura Lumbal Ruang epidura biasanya dicari pada pasien yang teranestesi melalui jalur midline dibawah ruang antara L2-L3, yang merupakan batas bawah konus medularis.

Gambar posisi tusukan pada anestesi epidura

10

Pendekatan paramedian bisa digunakan pada anomali prosesus spinosa atau deformitas vertebra. Anak diposisikan dalam posisi setengah tertelungkup dengan sisi yang akan dioperasi berada paling bawah, dan vertebra ditekuk untuk memperbesar ruang interspinous. Posisi duduk bisa digunakan pada pasien sadar. Media yang dipilih untuk teknik loss of resistance (LOR) telah memunculkan perdebatan di masa lalu. Pada bayi, yang paling baik adalah gas (udara atau CO2), sedangkan pada anak-anak yang lebih tua dari 8 hingga 10 tahun, penggunaan larutan saline lebih dipilih. Jarak dari kulit ke ruang epidura berkorelasi dengan usia pasien dan ukuran, kira-kira 1mm/kg untuk usia 6 bulan 10 tahun. Penggunaan ultrasound mempermudah pengukuran jarak antar kulit dan ligamenta flava. Saat ujung jarum sudah menembus ruang epidura, pada teknik LOR saat syringe dilepaskan, tidak ada refluks cairan biologis (darah atau CSF) pada bekas syringe. Langkah selanjutnya adalah memasukkan anestesi lokal dengan kecepatan rendah, baik melalui jarum epidural atau melalui kateter. Saat memasukkan kateter, tidak boleh dimasukkan lebih dari 3 cm untuk menghindari mendesak, mengikat, dan lateralisasi blok atau penyebaran yang tidak terkendali. Penyusuran kateter menurunkan kejadian pelepasan yang tidak disengaja dan kontaminasi bakteri. Volume larutan anestesi tergantung pada batas atas tingkat analgesia yang diperlukan untuk mengerjakan operasi. Kira-kira diperlukan 0,1 ml per tahun usia diperlukan untuk memblok 1 neuromere. Volume yang biasa diinjeksikan berkisar antara 0,5 hingga 1 ml/kg (hingga 20 ml), dan batas atas blok sensori berkisar antara T9 dan T6 pada lebih dari 80% pasien. Blok epidura suntikan tunggal cocok digunakan untuk berbagai operasi pediatri, khususnya jika ditambahkan adjuvant seperti klonidin (1-2 g/kg), ketamin bebas pengawet (0,25-0,5 mg/kg), dan, untuk indikasi yang tepat, morfin (30 g/kg) juga diberikan bersamaan. Operasi besar yang menyebabkan nyeri pascaoperasi lama membutuhkan pemasangan kateter epidural dan infus anestesi lokal pascaoperatif.

11

Dosis yang biasa digunakan dan pemberian infus untuk anestesi epidura pada pasien pediatri Infus Berkelanjutan Suntikan Obat Dosis Awal (Dosis Makimal) Berulang <4bln: 0.2 mg/kg/jam (0.15 mL/kg/jam dalam larutan 0,125% atau 0.3 mL/kg/jam dalam larutan 0,0625%) 4-18bln: 0.25 mg/kg/jam (0.2 mL/kg/jam dalam larutan 0.125% atau 0.4 mL/kg/jam dalam larutan 0.0625%) >18 mo: 0.30.375 mg/kg/jam (0.3 mL/kg/jam dalam larutan 0.125% atau 0.6 mL/kg/jam dalam larutan 0.0625%) Sama seperti bupivacaine (konsentrasi ropivakain yang biasa digunakan: 0.1%, 0.15%, atau 0.2%) Jangan berikan infus lebih dari 36 jam pada bayi < 3 bulan. Gunakan hanya satu adjuvant: Fentanyl: 1-2 g/mL Sufentanil: 0.250.5 g/mL Morfin: 10 g/mL Hydromorphone: 13 g/mL Clonidine 0.3 dalam larutan 1 g/mL

Larutan: 0.25% + 5 g/mL (1/200,000) epinefrin Dosis: Bupivacaine, <20 kg: 0.75 mL/kg levobupivacaine 20-40 kg: 8-10 mL (or 0.1 mL/tahun/jumlah metamer) >40 kg: sama seperti pada orang dewasa

0.1-0.3 mL/kg tiap 6-12 jam larutan 0.25% atau 0.125% (sesuai skor nyeri)

Ropivacaine

Larutan: 0.2% Dosis: sama seperti bupivakain

0.1-0.3 mL/kg setiap 6-12 jam larutan 0.15% atau 0.2% (sesuai skor nyeri)

Adjuvant

Hindari penggunaan untuk bayi < 6 bln Fentanyl (1-2 g/kg) atau sufentanil (0.10.6 g/kg) atau clonidine (1-2 g/kg)

Morfine (tanpa pengawet): 2530 g/kg setiap 8 jam

Anestesi Epidura Sakrum Anestesi epidura sakrum adalah alternatif dari anestesi kaudal, baik pada bayi dengan lesi kulit yang menyebabkan kontraindikasi pendekatan kaudal atau pada 12

anak-anak di atas usia 6-7 tahun, dimana anestesi kaudal menjadi lebih sulit dan kurang bisa diandalkan. Dosis dan volume anestesi lokal yang diberikan sama seperti pada anestesi kaudal. Penggunaan ultrasound bisa digunakan untuk mengevaluasi jarak dari kulit ke ruang epidura dan, terutama pada bayi, untuk melihat pergerakan jarum dan kateter dan penyebaran anestesi lokal. Karena ruang antara sakrum masih belum menyatu sampai awal usia dewasa, ruang epidura sakrum anak-anak bisa dicapai dari bagian posterior melalui ruang antara S2-S3, yang bisa dirasakan dengan palpasi 0,5 hingga 1 cm di bawah garis yang menghubungkan 2 spina iliakan posterior superior (SIPS), tapi ruang antar sakrum yang lain bisa digunakan. Prosedurnya sama seperti pendekatan untuk lumbar. Karena prosesus spinous sakrum mengalami atrofi, jarum Tuohy bisa diarahkan ke sefal atau ke kauda untuk menghubungkan dura mater dengan bagian konveks dari ujung jarum, sehingga mengurangi bahaya penetrasi dura yang tidak disengaja. Perlu diperhatikan bahwa jarak antara kulit dan ruang epidural lebih dekat dibandingkan pendekatan lumbar. Jika diperlukan, bisa dimasukkan kateter epidura (menggunakan teknik yang sama untuk penempatan kateter epidura lumbar) untuk menghilangkan nyeri pascaoperatif yang berlangsung lama.

Anestesi Epidura Toraks Blok epidura toraks diindikasikan untuk operasi besar yang membutuhkan penghilang nyeri jangka panjang, sehingga membutuhkan kateter epidura untuk injeksi anestesi lokal berulang atau infus anestesi lokal berkelanjutan. Teknik ini jarang digunakan pada anak-anak karena indikasinya terbatas untuk operasi toraks dan abdomen bagian atas dan ada kekhawatiran terjadinya kerusakan medula spinalis. Pada anak usia dibawah 1 tahun, prosedur ini mirip dengan pendekatan lumbar, dengan memasukkan jarum tegak lurus garis prosesus spinosus, karena vertebra hanya memiliki satu fleksura, terutama saat ditekuk. Setelah pasien tumbuh dan fleksura juga terbentuk, teknik ini menjadi semakin mirip dengan pendekatan toraks pada orang dewasa, membutuhkan orientasi sefalik jarum

13

Tuohy pada sudut 45 derajat terhadap kulit. Pendekatan paramedian bisa digunakan, tapi jarang diperlukan pada anak-anak. Pada bayi, USG membuat dura mater, pergerakan jarum Tuohy, dan pergerakan serta posisi akhir ujung kateter epidura bisa terlihat dengan jelas. Anestesi Epidura Cervikal Tidak ada indikasi operasi untuk blok epidura cervikal pada anak-anak. Kadangkadang teknik ini digunakan untuk pasien nyeri kronis atau untuk mencegah phantom limb pain sebelum amputasi lengan atas pada tingkat skapula (osteosarkoma humerus), yang dilakukan hanya pada orang dewasa. 2.4.4 Komplikasi Komplikasi yang bisa muncul sama seperti orang dewasa (local anesthetic induced systemic toxicity karena masuknya obat anestesi ke aliran darah sitemik, risiko lesi sistem saraf, penurunan tekanan darah arteri dan penurunan denyut jantung), tapi tingkat keparahan dan angka kejadiannya lebih parah. 2.4.5 Tindakan Pencegahan Terjadinya Bahaya dan Kriteria Pemulangan Anestesi regional adalah teknik anestesi, jadi harus dilakukan hanya pada tempat dimana tersedia alat-alat monitoring, anestesi dan resusitasi (termasuk obat-obat anestesi dan gawat darurat). Selain itu, ahli anestesi harus dibantu oleh anggota staf yang mampu menyediakan pengawasan pasien yang memadai dan terlatih untuk membantu dalam situasi gawat. Kamar operasi merupakan tempat yang paling tepat untuk melakukan semua jenis anestesi regional dengan aman. Meskipun anestesi umum tidak digunakan, teknik regional harus dilakukan oleh ahli anestesi dalam lingkungan kamar operasi dengan monitoring yang direkomendasikan untuk anestesi umum pediatri, yaitu: monitor EKG, tekanan darah, temperatur, laju respirasi, dan pengukuran saturasi oksigen. Jalur intravena harus disiapkan sebelum penyuntikan anestesi lokal, dan parameter vital dan teknik serta dosis anestesi lokal harus dilaporkan dalam diagram anestesi Teknik penyuntikan pada orang dewasa dan anak-anak sama. Yang perlu diperhatikan adalah mengevaluasi efek dosis uji yang berisi epinefrin (0,1 ml/kg hingga 3 ml yang berisi 0,5-1 g/kg epinefrin) pada gambaran EKG selama 30-60 detik. Jika terjadi elevasi segmen ST atau peningkatan amplitudo gelombang T, diikuti peningkatan tekanan darah, kadang-kadang diikuti takikardia, berarti telah 14

terjadi penyuntikan ke intravena yang tidak disengaja dan harus prosedur harus dihentikan. Jika pemberian epinefrin merupakan kontraindikasi, bisa digunakan isoproterenol (0,05 sampai 0,1 g/kg) Pada setiap prosedur blok, kualitas dan ekstensi analgesia harus dievaluasi sebelum operasi dimulai. Namun, evaluasi ini sulit dilakukan bahkan pada anak yang sadar. Pencubitan lembut pada kulit adalah teknik yang paling baik untuk menguji sensori, khususnya pada anak yang teranetesi ringan. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada pasien setelah prosedur regional, yang pertama dipersalahkan adalah prosedur blok meskipun setelah dianalisis jarang menjadi penyebab ketidaknyamanan atau kerusakan. Untuk meminimalkan klaim medikolegal yang tidak relevan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan: 1. Evaluasi status fisik pasien dan tanyakan hasil pemeriksaan laboratorium, radiologi, atau pemeriksaan lain yang bisa berguna. 2. Pilih teknik yang paling tidak berbahaya untuk suatu blok. 3. Jelaskan dengan detil manajemen anestesi yang akan direncanakan, termasuk keuntungan dan efek yang membahayakan, bahkan pada situasi gawat. 4. Diskusikan kemungkinan kegagalan blok dan jelaskan apa prosedur pengganti yang akan digunakan. 5. Minta izin tertulis pada pasien untuk perawatan anestesi. 6. Tangani pasien dengan cara yang sama dan dengan prosedur monitor yang sama seperti direkomendasikan untuk prosedur operasi yang sama dalam pengaruh anestesi umum. 7. Isi diagram anestesi dengan detil prosedur monitoring, parameter vital, teknik dan dosis yang digunakan, dan efek samping jika ada. 8. Tangani semua komplikasi dan catat dengan detil dengan waktu yang tepat. 9. Transfer semua pasien pediatri ke postanesthesia care unit (PACU) yang membutuhkan monitoring tanda vital yang memadai dan evaluasi ulang ekstensi dan kualitas blok. Data tersebuk kemudan ditulis dalam diagram

15

paskaanestesi yang mendetil, dan pemulangan boleh dilakukan saat ada tanda objektif pemulihan. 10. Semua pasien yang diberikan morfin epidura dan intratekal harus dirawat inap setidaknya satu malam dalam unit dimana fungsi respirasinya akan dimonitor dengan teratur.

16

BAB III LAPORAN KASUS

I. EVALUASI PRA ANESTHESIA a. Identitas Pasien 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Nama Umur Suku Agama Alamat No CM. Diagnosis Bedah Tindakan MRS : Putu Yuliantini : 7 tahun : Bali : Hindu : Br. Munduk, Buleleng : 01279099 : Hisprung Disease : Duhamel procedure dengan stapler : 23/12/2009

Jenis Kelamin : Perempuan

b. Anamnesis Anamnesis khusus (heteroanamnesis): Post colostomy 5 bulan yang lalu di RS Sanglah. Keluhan awal BAB tidak lancar dan perkembangan terhambat. Anamnesis umum: Riwayat penyakit sistemik dan penyakit bawaan disangkal oleh orang tua penderita. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal oleh orang tua penderita. Riwayat operasi sebelumnya: (08/06/2009) colostomy dengan GA-OTT + Epidural anestesi + PET 4,5 cuff (+). c. Status present Kesadaran Nadi Respirasi : Kompos mentis : 112 kali/menit : 18 kali/menit 17

Suhu axila BB

: 36,5 derajat celcius : 16,5 kg

d. Pemeriksaan fisik Sistim saraf pusat Respirasi Sirkulasi Saluran cerna Hepatobilier Ginjal Metabolik Hematologi Otot Rangka : Kompos mentis, refleks pupil +/+, anisokor -/-, : RR: 18 kali/menit, ves +/+, rh -/-, wh -/: HR: 112 kali/menit, S1S2 tunggal reguler murmur (-) : Kolostomy (+) baik, distensi (-), BU (+) Normal : Normal : BAK (+) baik : Underweight : Normal : Mallampati II, F/d leher dalam batas normal gangguan tumbuh kembang.

e. Pemeriksaan penunjang 1. 2. 3. Sistem respirasi Sistem kardiovaskuler Sistem hematologi WBC HGB HCT PLT BT CT : 8,22 x 103/L : 11,0 g/dL : 35,7 % : 138.000 : 200 :1030 : foto toraks: paru dalam batas normal : foto toraks: jantung dalam batas normal :

III. PERSIAPAN PRA-ANESTESIA 1. Persiapan di ruang perawatan Persiapan psikis (orang tua pasien)

18

Memberikan penjelasan tentang bagaimana anesthesi akan dilakukan pada pasien dari persiapan di ruang persiapan, di ruang operasi sampai di ruang pemulihan.

Persiapan fisik sepuasnya. Lain-lain 2. Menyiapkan darah. Memastikan kelengkapan surat persetujuan operasi. Usaha pengosongan lambung dengan puasa selama 4 jam tetapi diijinkan minum air non partikel sampai 2 jam sebelum operasi

Persiapan di ruang persiapan anesthesi (OK bedah sentral) Memeriksa kembali catatan medik pasien dan surat persetujuan Menanyakan kembali persiapan yang sudah dilakukan di bangsal. Mengevaluasi kembali status fisik pasien. Menjelaskan kembali kepada orang tua pasien bahwa pasien akan operasi.

dihantar ke dalam ruang operasi dalam keadaan sadar kemudian dilakukan pembiusan umum + epidural anestesi di dalam ruang operasi. 3. Membawa penderita ke dalam ruang operasi.

Persiapan di kamar operasi: Mengatur suhu ruangan operasi. Menyiapkan selimut penghangat. Menyiapkan mesin anesthesi dan sirkuit nafas. Menyiapkan alat pantau tekanan darah, EKG dan pulse oksimetri. Menyiapkan obat dan alat anesthesi. Menyiapkan obat resusitasi. 19

V. PENGELOLAAN ANESTESIA 1. Jenis anesthesi 2. Teknik anesthesi a. volume %. b. packing tidak ada. c. d. e. f. 3. Respirasi 4. Posisi 5. Durante operasi 6. Lama operasi 7. Lama anesthesi 9. Rekapitulasi: VI.PASCA OPERASI 1. Nadi RR Alderet skor 2. Di ruangan 20 Di ruang pemulihan : 100 x kali per menit : 24 kali per menit : 10 Jumlah cairan masuk : 700 cc Jumlah perdarahan : 50 cc : Kendali. : Supine - Litotomy. : tekanan darah terendah-tertinggi : 88-117/45-62 mmHg : 3 jam 45 menit. : 4 jam 45 menit. Tekanan darah Nadi SaO2 : 92/56 mmHg : 80 kali/menit : 99% Pemeliharaan inhalasi. Tuohy di L2-3 LOR 2 cm, level kateter di kulit 10 cm Test dose (-) Intubasi PET No. 5,00 cuff (+) kinking, : Anesthesi umum + epidural anestesi. : Anesthesi umum inhalasi dengan pemasangan PET + Epidural anestesi. Induksi inhalasi N2O:O2, Sevofluran 2.5

8. Keadaan akhir pembedahan:

10. Aldrete skor dari kamar operasi ke ruang pulih: 9

a. 12 jam b.

Analgesia: epidural analgesia: Bupivacain 0,125 % + MO 0,25 mg/5cc tiap Antibotik: sesuai TS bedah. c. Makan minum bebas bila kesadaran penderita pulih dengan baik. d. Infus : kristaloid maintenance

21

BAB 4 PEMBAHASAN Pasien perempuan 7 tahun dengan diagnosis Hisprung disease, dilakukan tindakan Duhamel procedure dengan stapler. Pasien pasca colostomy 5 bulan yang lalu di RSUP Sanglah. Pasien datang dengan keluhan BAB tidak lancar dan perkembangan terhambat. Riwayat penyakit sistemik dan penyakit bawaan disangkal oleh orang tua penderita. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal oleh orang tua penderita. Riwayat operasi sebelumnya: (08/06/2009) colostomy dengan GA-OTT + Epidural anestesi + PET 4,5 cuff (+). Status present : keadaan umum baik, GCS 15, tekanan darah 120/50 mmHg, nadi 92 kali/menit. Dari pemeriksaan fisik pasien ditemukan gagal tumbuh kembang, kolostomi (+) baik, underweight. Pada kasus ini dipilih anestesi umum + epidural karena pasien adalah anakanak usia 7 tahun dan pembedahan dilakukan pada perut bagian bawah di bawah umbilikus yang merupakan salah satu indikasi untuk dilakukannya anestesia epidural. Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah Midazolam 2 mg dengan tujuan memberi efek sedasi sehingga dapat mengurangi kecemasan pasien selama menjalani operasi. Selain Midazolam obat premedikasi yang diberikan adalah ketamin. Ketamin disini berfungsi sebagai analgetik atau anti nyeri, diberikan secara intravena dengan dosis 10 mg. Prosedure pembedahan yang dijalani menimbulkan rasa nyeri sehingga perlu diberikan analgetik untuk membuat pasien merasa lebih nyaman. Pada kasus ini pemberian obat premedikasi sudah sesuai dengan tujuan premedikasi pada umumnya. Untuk induksi pasien ini diberikan Fentanyl 25 mg. Obat ini dipilih karena merupakan golongan anestetik opioid dengan mula kerja cepat dan durasi kerja yang lama (240-480 menit) dan toksisitasnya rendah. Sebagai maintenance diberikan O2 2 ltr/menit, dimana oksigen dapat diberikan dalam rentang 2-4 lt/menit. Selain itu, pasien diberikan epidural analgesia: Bupivacain 0,125 % + MO 0,25 mg/5cc tiap 12 jam untuk mengurangi rasa nyeri pasca pembedahan bila efek anastesianya sudah hilang.

22

You might also like