You are on page 1of 68

BAB II

PEMBAHASAN

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Hak Tanggungan

1.1 Jaminan Hak Tanggungan

Sebelum membahas mengenai inti dari permasalahan, maka perlu

diketahui terlebih dahulu mengenai apa itu Jaminan. “Jaminan

merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu zekerbeid atau cautie

yang mencakup secara umum cara – cara kreditor menjamin dipenuhinya

tagihannya disamping pertanggungan jawab umum debitor terhadap

barang – barangnya. Dalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional

yang diselenggarakan di Yogyakarta, dari tanggal 20 sampai dengan 30

Juli 1977, disimpulkan bahwa pengertian jaminan adalah „menjamin

dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari

suatu perikatan hukum. Oleh karena itu hukum jaminan erat sekali

dengan hukum benda‟. Bahkan hukum jaminan adalah merupakan hukum

benda“1.

1
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fidusia,
Cetakan ke IV, Alumni, Bandung, 1987, h. 227-265. dikutip dari Herowati Poesoko, Dinamika
Hukum Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, Aswaja Pressindo, edisi revisi, Yogyakarta,
2013, h. 25.

12
Menurut Hartono hadisoeprapto2 jaminan adalah “sesuatu yang

diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor

akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul

dari suatu perikatan”. Adanya lembaga hak tanggungan dimaksudkan

sebagai pengganti dari hypotheek (hipotik) sebagaimana diatur dalam

Buku II Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang

mengenai tanah, dan Credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908-

542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang

berdasarkan Pasal 51 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 masih diberlakukan

walaupun telah lahir Undang – Undang tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Nomor 4

Tahun 19963.

“Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan

utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor

tertentu terhadap kreditor – kreditor lain. Dalam arti jika debitor cidera

janji, kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui

pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan

peraturan perundang – undangan yang bersangkutan, dengan hak

mendahulu daripada kreditor lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah

2
Hartono Hadisoeprapto, 1984, h. 50. Dikutip dari Herowati Poesoko, Ibid., h. 26.
3
Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan
Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak
Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999. H. 1., lihat juga buku A.P. Parlindungan, Komentar
Undang-Undang tentang Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan
Tanah (UU No. 4 Tahun 1996 April 1996/LN No. 42) dan sejarah terbentuknya, Mandar Maju,
Bandung, 1996, h. 1., lihat juga Sudargo Gautama, Komentar Peraturan Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Pokok Agraria (1996) trntang Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Pakai, Hak Tanggungan, Rumah Tinggal untuk Orang Asing dan Rumah Susun, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 1. Dikutip dari Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar
Grafika, edisi 1 Cetakan kedua, Jakarta, 2012, h. 1.

13
barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang Negara menurut

ketentuan hukum yang berlaku”4.

1.2 Pembebanan Hak Tanggungan

Sebagai syarat pembebanan Hak Tanggungan mencakup dua hal

berikut:

1.2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan5 (SKMHT)

Dalam Penjelasan Umum angka 7 dan penjelasan Pasal 15

ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan

wajib dilakukan sendiri oleh Pemberi Hak Tanggungan dengan

cara hadir dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).

Dalam hal suatu sebab tidak dapat hadir sendiri di hadapan

PPAT, maka wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya

dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

(disingkat SKMHT) yang berbentuk akta autentik.

Pembuatan SKMHT selain oleh Notaris juga ditugaskan

kepada PPAT, karena PPAT ini yang keberadaannya sampai

pada wilayah Kecamatan dalam rangka pemerataan pelayanan

di bidang pertanahan. Isi dalam SKMHT harus memenuhi

persyaratan berikut:6

a) Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan

hukum lain diluar pembebanan Hak Tanggungan.

b) Tidak memuat kuasa substitusi.


4
Ibid., h. 5.
5
Adrian Sutedi, Op.Cit., h. 60-61.
6
Ibid.

14
c) Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan,

jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya,

nama dan identitas debitur apabila debitur bukan

pemberi hak tanggungan.

Dalam Penjelasan Umum angka 7 UUHT dijelaskan

kewenangan dari PPAT dalam membuat SKMHT yang di

antaranya menyatakan:

(1) PPAT adalah pejabat umum yang berwenang membuat

akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam

rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk

aktanya ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya

perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak

dalam daerah kerjanya masing–masing. Sebagai pejabat

umum tersebut akta–akta yang dibuat oleh PPAT

merupakan akta autentik.

(2) Pembuatan SKMHT selain kepada Notaris, juga

ditugaskan kepada PPAT yang keberadaannya sampai

pada wilayah kecamatan untuk memudahkan pelayanan

kepada pihak–pihak yang memerlukan.

Dengan demikian jika notaris berwenang membuat SKMHT untuk

tanah – tanah di seluruh wilayah Indonesia, maka PPAT hanya

boleh membuat SKMHT di wilayah jabatannya terutama di tempat

– tempat di mana tidak ada Notaris yang bertugas. Apabila

ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) tersebut tidak dapat terlaksana,

15
maka Surat Kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, artinya

Surat Kuasa itu tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan

Akta Pemberian Hak Tanggungan. 7

Dalam SKMHT terdapat dua aspek yaitu:

a. Pembatasan Isi / Muatan dalam SKMHT

Isi atau muatan yang terkandung di dalam SKMHT

hanya boleh memuat perbuatan hukum membebankan Hak

Tanggungan, maka itu tidak diperbolehkan membuat kuasa –

kuasa melakukan perbuatan hukum lain yang bermaksud

mendukung tercapainya maksud pemberian jaminan yang

bersangkutan, misalnya, tidak memuat kuasa untuk menjual,

menyewakan obyek Hak Tanggungan, memperpanjang hak

atas tanah atau untuk mengurus perpanjangan sertifikat,

mengurus balik nama dan sebagainya. Jika memang

dikehendaki, hal–hal semacam itu dapat dimuat di dalam

APHT, namun bukan sebagai kuasa tetapi hanya berupa janji –

janji antara pemberi Hak Tanggungan dengan pemegang Hak

Tanggungan8

b. Pembatasan Jangka Waktu

Untuk mencegah berlarut – larutnya pemberian hak kuasa

dan terjadinya penyalahgunaan serta demi tercapainya

kepastian hukum, maka berlakunya SKMHT dibatasi jangka

7
Ibid., h. 61.
8
Yudo Paripumo, “Pengaturan dan Pelaksanaan Surat Kuasa Memasang Hipotik
(SKMH) dalam Kaitannya dengan UU Hak Tanggungan,” Makalah, UI Depok, 9 Mei, 1996, h. 6.
dikutip dari Adrian Sutedi, Ibid., h. 62.

16
waktunya. Untuk hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib

diikuti dengan pembuatan APHT selambat – lambatnya 1

(satu) bulan sesudah diberikan, tetapi hak atas tanah yang

belum terdaftar harus dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan.

Kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat

ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun

kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau telah

habis jangka waktunya. Aturan tersebut sebenarnya

menampakan suatu penyimpangan dari KUH Perdata Pasal

1813 KUH Perdata dimana pemberian kuasa berakhir dengan

ditariknya kembali kuasanya si penerima kuasa melalui

pemberitahuan penghentian kuasa karena meninggalnya,

pengampuannya, atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si

penerima kuasa, dengan perkawinannya si perempuan yang

memberikan kuasa atau menerima kuasa9.

1.2.2 Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT)

Suatu Akta Pembebanan Hak Tanggungan memuat

substansi yang sifatnya wajib, yaitu berkenaan dengan 10 :

a) nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan;

b) domisili pihak – pihak yang bersangkutan;

c) penunjukan secara jelas utang atau utang – utang yang

dijamin;

9
Ibid.
10
Ibid., h. 72.

17
d) nilai tanggungan dan,

e) uraian yang jelas tentang obyek hak tanggungan.

Selain itu dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan itu

para pihak juga dapat mencantumkan janji – janji yang

bersifat fakultatif, yang bertujuan untuk melindungi

kepentingan kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan.

Walaupun janji – janji tersebut sifatnya fakultatif, tetapi hal

itu selalu dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak

Tanggungan.

Akta Pemberian Hak Tanggungan mengatur

persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian Hak

Tanggungan dari debitur kepada kreditor sehubungan dengan

utang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan. Pemberian

hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada kreditor yang bersangkutan (kreditor

preferen) daripada kreditor–kreditor lain (kreditor

konkuren)11.

Pembebanan Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat yang

ditetapkan dalam UUHT, yaitu:12

a. didahului dengan janji untuk memberikan Hak

Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu

yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang

11
Ibid.
12
Ibid., h. 72-73.

18
tidak terpisahkan dari perjanjian kredit yang bersangkutan

atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.

b. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat

spesialitas yang meliputi: nama dan identitas pemegang

dan pemberi Hak Tanggungan, domisili para pihak,

pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, penunjukan

secara jelas utang atau utang–utang yang dijaminkan

pelunasannya dengan Hak Tanggungan, nilai tanggungan,

dan uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.

c. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi persyaratan

publisitas melalui pendaftaran Hak Tanggungan pada

Kantor Pertanahan setempat (Kotamadya / Kabupaten).

d. Sertifikat Hak Tanggungan sebagai tanda bukti adanya Hak

Tanggungan memuat title eksekutorial dengan kata–kata

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”.

e. Batal demi hukum jika diperjanjikan bahwa pemegang Hak

Tanggungan akan memiliki obyek Hak Tanggungan

apabila debitur cidera janji (wanprestasi).

Di dalam APHT disebutkan syarat – syarat spesialitas, jumlah

pinjaman, penunjukan obyek Hak Tanggungan, dan hal – hal yang

diperjanjikan (Pasal 11 ayat (2) UUHT) oleh kreditor dan debitur,

termasuk janji roya partial (Pasal 2 ayat (2) UUHT) dan janji

19
penjualan obyek Hak Tanggungan di bawah tangan (Pasal 20

UUHT)13.

Untuk kepentingan kreditor dikeluarkan kepadanya tanda bukti

adanya Hak Tanggungan, yaitu Sertifikat Hak Tanggungan yang

terdiri salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan APHT. Akta

pembebanan hak di daftarkan Kantor Pertanahan setempat sehingga

memiliki kekuatan hukum yang pasti dan semua isi yang termuat

dalam akta tersebut berlaku terhadap pihak ketiga. Demikian juga

apabila debitur cidera janji, maka pihak kreditor memiliki

kewenangan untuk melakukan eksekusi secara langsung tanpa perlu

lagi meminta persetujuan dari pihak debitur. Berpegang pada arti yang

diberikan oleh doktrin terhadap hak untuk menjual atas kekuasaan

sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji merupakan

pelaksanaan hak eksekusi yang disederhanakan yang diberikan oleh

undang – undang sendiri kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan

pertama dalam arti bahwa pelaksanaan hak seperti itu tidak usah

melalui pengadilan dan tidak perlu diturut hukum acara, cara itu

tampak seperti eksekusi yang selalu siap di tangan kalau dibutuhkan

dan itulah sebabnya eksekusi yang demikian disebut parate

eksekusi14.

1.3 Dasar Hukum Pelaksanaan Eksekusi dan Lelang Obyek Hak

Tanggungan

13
Ibid., h. 73.
14
Ibid., h. 74-75.

20
Pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan diatur di dalam

pasal 20 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda yang Berkaitan dengan

Tanah (UUHT) yang memberikan pilihan eksekusi sebagai berikut:15

1. “Apabila debitor cidera janji maka:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek

Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam pasal 6 UUHT,

atau

b. Title eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2) di

mana obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum

menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang

– undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak

Tanggungan dengan hak mendahului kreditor – kreditor

lainnya.

2. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan untuk

penjualan obyek Hak Tanggungan dilaksanakan di bawah tangan

untuk memperoleh harga tertinggi yang akan menguntungkan

semua pihak.

3. Pelaksanaan penjualan sebagaimana dalam ayat (2) hanya dapat

dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan

secara tertulis oleh pemberi dan/ atau pemegang Hak Tanggungan

kepada pihak – pihak yang berkepentingan dan diumumkan

15
Herowati Poesoko, Op.Cit., h. 251-252.

21
sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang

bersangkutan dan / atau media massa setempat serta tidak ada pihak

yang menyatakan keberatan.

4. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan

cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2)

dan ayat (3) batal demi hukum.

5. Sampai saat pengumuman lelang dikeluarkan, penjualan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan

pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta

biaya – biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.”

2. Kewenangan Hakim dalam Peradilan

Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam

Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa

hakim diberi jaminan atas kuasa yang merdeka (bebas) untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,

serta dijelaskan pula dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Kekuasaan Kehakiman adalah

kekuasaan Negara yang Merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Dalam Pasal 5

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

22
Kehakiman dijelaskan pula kewenangan Hakim yaitu “Hakim dan Hakim

konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum

dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Oleh dari itu Hakim

di dalam hubungan ini, pekerjaan Hakim menjadi lebih kompleks.

Seorang hakim bukan hanya seorang teknisi UU, tetapi juga mahluk

sosial. Karena itu pekerjaan hakim sungguh mulia karena ia bukan hanya

memeras otak tetapi juga nuraninya16.

Hakim dalam memeriksa perkara yang diajukan kepadanya

diharapkan didasari dengan sikap tidak memihak dalam menentukan

siapa yang benar dan siapa yang tidak benar dalam suatu perkara dan

mengakhiri sengketa atau perkaranya. Bagi hakim dalam mengadili suatu

perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan

bukan hukumnya. Untuk dapat menyelesaikan atau mengakhiri suatu

perkara atau sengketa setepat-tepatnya hakim harus terlebih dahulu

mengetahui secara obyektif tentang duduknya perkara sebenarnya

sebagai dasar putusannya dan bukan secara a priori menemukan

putusannya sedang pertimbangannya baru kemudian dikonstruir.

Dalam perspektif ideal dikatakan bahwa “optimam esse legem,

quae minimum relinquit arbitrio judicis ; id quod certitude ejus

praestat”, hukum yang baik adalah hukum yang nyaris tidak

memberikan peluang diskresi bagi hakim, guna mewujudkan ketertiban,

menciptakan keadilan dan menjamin kepastian hukum dalam

16
Aloysius Soni BL de Rosari, ed., Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif
Satjipto Rahardjo, Kompas, 2010, h. 191.

23
masyarakat17. Peristiwa sebenarnya akan diketahui hakim dari

pembuktian, jadi bukannya putusan itu lahir dalam proses secara a priori

dan kemudian baru dikonstruksi atau direka pertimbangan

pembuktiannya, tetapi harus dipertimbangkan lebih dahulu tentang

terbukti tidaknya baru kemudian sampai pada putusan18.Hakim dianggap

tahu akan hukumnya (ius curia novit). Soal menemukan hukumnya

adalah urusan hakim dan bukan soalnya kedua belah pihak. Maka dari itu

hakim dalam mempertimbangkan putusannya wajib karena jabatannya

melengkapi alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para

pihak (Pasal 176 ayat 1 HIR dan Pasal 189 ayat 1 Rbg) 19.

Sumber-sumber untuk menemukan hukum bagi hakim kadang-

kadang sukar untuk menemukan hukumnya, tetapi menerapkan ketentuan

undang-undang pada peristiwa konkrit yang harus dibuktikan pada

umumnya dapat dikatakan mudah. Hukum yang tidak tertulis yang hidup

di masyarakat merupakan sumber bagi hakim untuk menemukan hukum.

Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 27

ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang saat ini menjadi Pasal 5 ayat (1)

UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Hakim harus

memahami kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat dan ia harus

memberi putusan berdasar atas kenyataan sosial yang hidup dalam

17
Johnny Ibrahim, Op.Cit., h. 239.
18
Sudikno Mertokusumo dan A. Pilto, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Cetakan I,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h. 32.
19
Sudikno Mertokusumo dan A. Pilto, Op.Cit., h. 33.

24
masyarakat itu. dalam hal ini hakim dapat minta keterangan dari para

ahli, kepala adat dan sebagainya 20.

2.1 Tugas Hakim

Tugas Hakim dalam mengemban tugas pokok peradilan

adalah menerima, memeriksa, dan mengadili (menentukan) serta

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya baik

perkara perdata dan perkara pidana yang rincinya diatur dalam

Pasal 2, Pasal 5 ayat (1) dan (2), dan Pasal 16 ayat (1) serta Pasal

28 ayat (1) Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1970 tentang

Pokok–Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diganti dengan

Undang–Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan diperbarui dengan

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman21. Pada hakekatnya Hakim hanya diminta atau

diharapkan untuk mempertimbangkan benar tidaknya peristiwa

yang diajukan kepadanya, tetapi hakim dalam menjalankan

tugasnya harus bersikap adil bagi para pihak yang berperkara dan

menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum acara perdata yang

berlaku, karena hukum acara perdata pada asasnya bersifat

mengikat22.

20
Supomo Menyebutkan Putusan Pengadilan yang Mendasarkan pada Ken yataan
Sosial, Hukum Acara Perdata Negeri, Fasco, Jakarta, 1958, h. 128. dikutip dari Sudikno
Mertokusumo, Op.Cit., h. 37-38.
21
Herowati Poesoko, Op.Cit., h. 93-94.
22
C.W. Star Busmann, Hoofdstukken van Burgerlijke Rechtsvordering, no. 18. Dikutip
dari Herowati Poesoko, Ibid., h. 94.

25
Maka oleh karena itu hakim sebagai stabilisator hukum23, harus

sungguh–sungguh menguasai hukum acara perdata. Kurangnya

pengetahuan tentang hukum acara pada umumnya atau hukum acara

perdata pada khususnya atau tidak menguasainya hukum acara

perdata merupakan salah satu faktor terhambatnya jalannya

peradilan24, dan bahkan bukan hanya sebagai penghambat melainkan

dapat merugikan para pihak yang berperkara25.

2.2 Tahap-Tahap dalam Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata meliputi 3 (tiga) tahap tindakan, yaitu

tahap pendahuluan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. dalam

tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian

sekaligus sampai kepada putusannya. sedangkan dalam tahap

pelaksanaan diadakan pelaksanaan putusan. Hukum acara perdata

bukanlah sekedar merupakan pelengkap saja, tetapi mempunyai

kedudukan yang penting dalam melaksanakan atau menegakkan

hukum perdata materiil, yaitu sarana peraturan hukum yang memuat

tentang hak dan kewajiban yang ditimbulkan hubungan hukum antar

pribadi26.

2.3 Asas dalam Peradilan

23
Sunaryati Hartono, Peranan Peradilan Dalam Rangka Pembinaan dan Pembaharuan
Hukum Nasional, h. 8. dikutip dari Herowati Poesoko, Ibid.
24
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi kedua, Liberty,
Yogyakarta, 1985, h. 1-2. Dikutip dari Herowati Poesoko, Ibid.
25
Herowati Poesoko, Ibid.
26
Ibid., h. 96.

26
Dalam menjalankan tugasnya Hakim mengacu pada Hukum

Acara Perdata yang asas – asasnya adalah:

1) Asas Religiusitas Putusan yang Memuat Irah – Irah demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di mana irah – irah yang berdasarkan penjelasan Pasal 2

ayat (1) Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, mengandung arti bahwa setiap Hakim

yang mengadili dan memutus perkara harus berlaku adil

dengan mengingat tanggung jawabnya tidak hanya pada diri

sendiri melainkan pula bertanggung jawab kepada Tuhan Yang

Maha Esa27.

Setiap putusan Hakim harus dipertanggungjawabkan dan

pertanggungjawaban seorang Hakim ternyata tidaklah berhenti

pada kehidupan duniawi saja tetapi di dalamnya tercakup juga

pertanggungjawaban ukhrawi (Arab:Akhirat)28.

Walaupun sesungguhnya seluruh kehidupan manusia

memang harus dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun

di akhirat, namun terhadap jabatan Hakim dalam berbagai

agama diatur secara lex spesialis, di mana hal ini menunjukkan

demikian pentingnya jabatan ini karena jabatan inilah yang

27
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 2000, h. 152. dikutip dari H. Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata,
Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, h. 27.
28
Ansjahrul, Pemuliaan Peradilan, Dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, Dan
Hukum Acara (Kumpulan Makalah), Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, h. 2. dikutip dari H.
Sunarto, Ibid.

27
menyelamatkan pergaulan hidup dan peradaban umat

manusia29.

2) Asas Peradilan Diselenggarakan Secara Sederhana, Cepat, dan

Biaya Ringan.

Salah satu asas dalam sistem peradilan di Indonesia

sebagaimana di amanatkan oleh kententuan Pasal 2 ayat (4)

Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 adalah bahwa

peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Ketentuan tersebut dicantumkan untuk memenuhi harapan para

pencari keadilan agar para pencari keadilan dalam

mempertahankan hak, kapan dapat memperoleh hak tersebut

serta berapa biaya yang harus dikeluarkan guna memperoleh

hak tersebut30.

3) Asas Hakim Pasif

Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif

dalam arti bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang

diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada dasarnya

ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan

ditentukan oleh hakim dan para pihak secara bebas sewaktu –

waktu sesuai dengan kehendaknya dapat mengakhiri sendiri

sengketa yang telah diajukannya ke muka persidangan

pengadilan. Bilamana para pihak yang bersengketa di

persidangan tersebut sudah memutuskan untuk mengakhiri

29
Ibid.
30
H. Sunarto, Ibid., h. 29.

28
persengketaannya dan tidak menginginkan pemeriksaan

perkara yang sedang berlangsung diteruskan maka hakim tidak

dapat menghalang – halanginya karena inisiatif maupun luas

pokok sengketa sepenuhnya ada pada pihak yang bersengketa

dan hakim hanya mencari kebenaran formil31.

4) Asas Ultra Petitum Partium

Sistem hukum acara perdata yang terdapat pada HIR/RGB

adalah menyerahkan kepada hakim agar berperan untuk

memimpin persidangan mulai dari permulaan proses

berperkara sampai dengan berakhirnya proses perkara tersebut.

Hakim dalam memimpin persidangan dapat melakukan

beberapa tindakan yang terkait pemanggilan para pihak yang

bersengketa dan menentukan hari dan tanggal persidangannya

untuk mendengar kedua belah pihak yang berperkara dan

berusaha untuk mendamaikan serta memerintahkan para pihak

yang berperkara untuk membawa dan menunjukkan bukti –

bukti yang dimilikinya ke persidangan32.

Sistem hukum acara acara yang menyerahkan pimpinan

proses kepada hakim adalah sesuai dengan aliran pikiran

tradisional Indonesia yang mengutamakan kepentingan

masyarakat yang menghendaki bahwa sekali suatu perkara

diajukan kepada hakim, negara wajib menyelesaikan perkara

31
Ibid., h. 34.
32
Ibid., h. 36.

29
tersebut sedemikian rupa sehingga hukum dipulihkan kembali

(Rechtsherstel) dan perkara dapat berakhir secara mutlak33.

5) Asas Ex Aequo Et Bono (Putusan Yang Adil)

Petitum atau tuntutan adalah apa yang diminta atau

diharapkan penggugat dan agar tuntutan itu dikabulkan oleh

hakim. Hakim akan menjawab petitum penggugat tersebut di

dalam putusannya setelah hakim mendengar kedua belah pihak

yang berperkara dan setelah hakim memeriksa dan

mempertimbangkan bukti – bukti yang diajukan oleh para

pihak di persidangan34.

Menurut Harifin A Tumpa, dalam praktek hukum acara

perdata di pengadilan, petitum penggugat dalam surat gugatan

dapat berbentuk:

1. Petitum tunggal dengan perincian apa yang dituntut;

2. Petitum yang berbentuk subsidaritas yang terdiri dari:

a. Primair dan subsidair masing–masing diperinci satu

persatu.

b. Primairnya diperinci satu per satu sedangkan

petitum subsidair tidak diperinci dan hanya

dirumuskan dalam kalimat ex aequo et bono atau

mohon keadilan35.

33
R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta,
Cet. 12, 1993, h. 19. dikutip dari H. Sunarto, Ibid.
34
H. Sunarto, Ibid., h. 41.
35
Harifin A Tumpa, Pengkajian Beberapa Topik Hukum Acara Perdata, Makalah
Disampaikan Pada Pelatihan Tehnis Fungsional Hakim Peradilan Umum Tahun 2002, Dalam

30
6) Asas Tidak Berpihak (Imparsialitas)

Asas imparsialitas (tidak memihak) ini tercantum dalam

Pasal 4 ayat (1) Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda

– bedakan orang”. Dengan adanya asas imparsialitas, hakim di

dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara harus obyektif

dan netral serta tidak berpihak kepada siapa pun kecuali

kepada hukum dan keadilan sehingga para pihak yang

berperkara di pengadilan akan percaya sepenuhnya bahwa apa

yang akan diputuskan oleh hakim nantinya putusannya akan

sesuai dengan ketentuan hukum dan rasa keadilan yang

diinginkan36.

7) Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum

Pasal 13 Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman mengatur perihal atas sidang terbuka

untuk umum sehingga hakim ketika memeriksa dan mengadili

suatu perkara tidak diperkenankan dilakukan dalam

persidangan yang tertutup untuk umum, kecuali undang-

undang menentukan lain. Asas tersebut menjadi syarat sahnya

suatu putusan hakim karena putusan hakim tidak akan sah dan

Bunga Rampai Makalah Hukum Acara Perdata, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2005. h. 70.
dikutip dari H. Sunarto, Ibid., h. 41.
36
H. Sunarto, Ibid., h . 45-46.

31
mempunyai kekuatan hukum bila diucapkan dalam

persidangan untuk umum37.

8) Asas Audi Et ALteram Partem (Mendengar Kedua Belah

Pihak)

Pasal 4 ayat (1) Undang–Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan keberadaan dari

asas audi et alteram partem (mendengar kedua belah pihak) ini

dengan menyebutkan bahwa “Pengadilan mengadili menurut

hukum dengan tidak membeda – bedakan orang”38.

Asas ini mengandung arti bahwa di dalam hukum acara

perdata yang berperkara harus sama – sama diperhatikan,

berhak atas perlakuan yang sama adil serta masing – masing

diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya 39.

9) Asas Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman

Salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya

jaminan penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman yang

merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan, namun ada yang masih skeptis terhadap eksistensi

asas kemandirian kekuasaan Kehakiman itu dengan

mengatakan “It is easy to believe in judicial independence but

it seems much harder to appreciate independent judges.

37
Ibid., h. 48.
38
Ibid., h. 50.
39
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan 1, edisi 7, Liberty,
Yoyakarta, 2006, h. 14-15. dikutip dari H. Sunarto, Ibid., h. 50.

32
Judicial independence is a fragile concept”40. Setiap negara

hukum minimal memiliki tiga ciri pokok yaitu:

1. Adanya asas legalitas.

2. Adanya pengakuan dan penghargaan terhadap hak

asasi manusia.

3. Adanya peradilan yang bebas41.

“Kekuasaan Kehakiman yang merdeka merupakan salah

satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara

hukum. Prinsip ini menghendaki kekuasaan Kehakiman yang

bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk

apapun sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya

ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan Kehakiman kecuali

terhadap hukum dan keadilan42.

Atas dasar itu pula maka penilaian apakah putusan yang

dibuat oleh hakim itu bertanggung jawab dapat dicocokkan

dengan tingkatan kepuasan masyarakat selaku pemberi

kebebasan sosial, dengan menilai apakah putusan itu telah

memenuhi rasa keadilan atas kebebasan sosial yang dilanggar

oleh orang yang dikenai putusan hakim. Dan seorang hakim

akan mampu memuaskan tuntutan itu sejauh ia menggunakan

40
Steven Lubet, Judicial Independence And Independence Judges, Hofstra Law
Review, Vol. 25, 1997, h. 745. dikutip dari H. Sunarto, Ibid., h. 52.
41
Purwoto S. Ganda Subrata, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI),
Cetakan 1, Jakarta, h. 93. dikutip dari, H. Sunarto, Ibid.
42
H. Sunarto, Ibid., h. 53.

33
kebebasan eksistensialnya dalam membuat keputusan

memperhitungkan objektivitas tindakan43.

2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Putusan Hakim

2.4.1 Faktor Struktur Organisasi

Faktor struktur organisasi akan berpengaruh ketika struktur

itu bukan sebagai lembaga otonom yang merdeka, melainkan

sebagai struktur yang tergantung di bawah kekuasaan struktur lain.

Ketika sebuah struktur atau institusi menjadi subordinasi dengan

struktur lain44 maka struktur yang tersubordinasi akan menjadi

penyebab lembaga itu tidak bebas dan mandiri. Demikian yang

terjadi pada lembaga pengadilan selama ini, di mana struktur

organisasinya menjadi bagian dan tidak terpisahkan dengan

lembaga eksekutif45.

Jaminan untuk tidak tersubordinasi kepada kekuasaan lain

adalah syarat mutlak bagi suatu lembaga peradilan dalam

menyelesaikan suatu perkara-perkara, namun pada kenyataannya

peradilan di Indonesia telah menjadi subordinasi dari lembaga lain.

Promosi dan mutasi nasib serta kesejahteraan hakim-hakim berada

di tangan departemen-depatemen eksekutif yang secara psikologis

hakim harus tunduk atas perintah eksekutif yang dapat

mempengaruhi pengembangan kebebasan hakim dalam

43
Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana, Cetakan I, Jakarta, 2012, h. 173.
44
Asrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto,ELSAM, Cetakan I,
Jakarta, 2004, h. 128. dikutip dari Ahmad Kamil, Ibid., h. 248.
45
Ahmad Kamil, Ibid., h. 249.

34
menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman secara bebas dan

mandiri46 yang kemudian mempengaruhi putusan hakim dalam

penyelesaian sebuah perkara yang ditanganinya.

2.4.2 Faktor Pemahaman

Perasaan ewoh pakewoh terhadap atasan menjadikan hakim

tidak berani mengambil sikap sendiri dalam menjatuhkan putusan,

semuanya diserahkan kepada atasan, sikap seperti ini adalah bagian

dari budaya paternalistis yang ternyata masih menjadi bagian dari

kehidupan beberapa hakim. Sepanjang budaya paternalistis ini tetap

di pertahankan, sepanjang itu pula kebebasan hakim tidak akan

berkembang baik47.

Integritas moral para hakim adalah persoalan utama dan faktor

penting bagi pembinaan kebebasan hakim dan kemandirian lembaga

peradilan. Bukan rahasia lagi bahkan selalu menjadi pembicaraan

bahwa moralitas para hakim telah berada pada titik rendah.

Rendahnya moral para hakim sering dikaitkan dengan baik buruknya

citra lembaga peradilan48.

Sebuah gejala yang mengkhawatirkan penegakan hukum dan

keadilan di Indonesia, adalah keadilan hukum negara yang tidak

sejalan dengan keadilan moral dan keadilan masyarakat. Dengan

kata lain adanya putusan pengadilan yang tidak sejalan dengan nilai-

46
Ibid., h. 250-251.
47
Ibid., h. 251-252.
48
Rifyal Ka‟Bah, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia, Khairul Bayan, Jakarta, 2004,
h. 144. dikutip dari Ahmad Kamil, Ibid., h. 252.

35
nilai ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Dampak

langsung gejala ini pertama adalah hilangnya kepercayaan

masyarakat kepada keadilan hukum, dan timbulnya inisiatif

masyarakat untuk membuat pengadilan sendiri yang disebut sebagai

main hakim sendiri49.

2.4.3 Faktor Peraturan Perundangan

Menempatkan peraturan hukum sebagai faktor yang

berpengaruh terhadap kemandirian lembaga peradilan seperti agak

aneh dan tidak masuk akal tapi pada kenyataannya demikian karena

ternyata dari peraturan hukumlah menjadikan lembaga peradilan itu

menjadi tidak mandiri dan sebaliknya dari peraturan hukum itu

pulalah kemandirian lembaga peradilan terwujud. Memang peraturan

hukum tidak selamanya mengandung nilai-nilai positif bagi

kehidupan manusia, melainkan pula mengandung nilai-nilai

negatif50. Penegakan hukum yang hanya berpijak pada nilai

positivisme menganggap hukum sebagai sebuah bangunan atau

tatanan logis-rasional, yakni membuat rumusan-rumusan atau

definisi yang spesifik hukum, memilahkan, menggolongkan,

mensistematisir, diterapkan belaka terhadap undang-undang. Dengan

demikian hukum hanya benar-benar menjadi wilayah esotetris bagi

praktisi hukum. Cara tersebut hukum dipisahkan dari realitasnya

yang penuh, dan jauh dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang
49
Ahmad Kamil, Ibid., h. 252.
50
Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, h.
76. dikutip dari Ahmad Kamil, Ibid., h. 254.

36
dalam sosialnya 51. Cara memahami dan menerapkan hukum seperti

itu jelas bertentangan dengan amanat undang-undang kekuasaan

kehakiman yang mendorong agar para hakim dalam menerapkan

hukum dan keadilan harus mendasar pada nilai-nilai Pancasila dan

UUD 194552.

Pikiran legistik, formalistik seperti tersebut telah menjadikan

kebekuan pola pikir hakim, sehingga hakim merasa bangga sebagai

corong undang-undang semata dengan mengabaikan hati nuraninya

sebagai manusia, hal ini menjadi kendala besar dalam proses

pengembalian pola pikir kebebasan hakim dalam menemukan hukum

yang adil, dan hukum yang bermoral dalam kasus konkret53.

2.4.4 Faktor Kekuasaan

Intervensi kekuasaan dapat terjadi dari dalam kekuasaan

kehakiman sendiri. Lembaga pengawasan yang dijalankan oleh

Mahkamah Agung atau lapisan stuktur yang lebih tinggi juga

berpotensi merusak pengembangan kebebasan hakim dalam

menjalankan tugasnya. Untuk menghindari ikut campurnya lembaga

kekuasaan dalam organisasi kekuasaan kehakiman terhadap

kebebasan hakim, maka Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 39 ayat (4) secara tegas

dinyatakan bahwa tindakan pengawasan yang dijalankan oleh

51
Satjipto Rahardjo, Ibid., h. 17. dikutip dari Ahmad Kamil, Ibid., h. 255.
52
Ahmad Kamil, Ibid., h. 255.
53
Ibid., h. 256.

37
internal Mahkamah Agung tidak boleh mengurangi kebebasan hakim

dalam memeriksa dan memutus perkara54.

2.4.5 Faktor Politik

Faktor politik juga merupakan faktor yang dapat memengaruhi

lemah dan kuatnya kebebasan hakim dalam membangun

kemandirian lembaga peradilan. Dalam kajian-kajian sosio-politik

dan sosio-yuridis, terkadang politik dijadikan sebagai variable yang

berpengaruh. Hukum dipandang sebagai dependent variable

(variabel terpengaruh) sedangkan politik diletakkan sebagai variabel

terpengaruh. Hukum merupakan produk politik sehingga karakter

setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh

imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya 55.

2.4.6 Faktor Kesadaran Hukum Masyarakat

Kesadaran hukum masyarakat adalah faktor yang berpengaruh

terhadap kemandirian lembaga peradilan. Bilamana kondisi

kesadaran hukum masyarakat tinggi akan mendukung pula tingginya

kesadaran hukum masyarakat56.

3 Legal Reasoning

54
Ibid., h. 256-257.
55
Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta,
1999, h. 4. dikutip dari Ahmad Kamil, Ibid., h. 258.
56
Ahmad Kamil, Ibid., h. 259.

38
Penalaran Hukum (legal reasoning) merupakan salah satu unsur

utama yang harus dipahami oleh seorang peneliti hukum. Tanpa

pemahaman terhadap penalaran hukum, maka seorang peneliti akan

kehilangan arah dan bahkan menemui kesulitan besar dalam

menyistematisasi bahan hukum yang menjadi topik, serta memengaruhi

kualitas ilmiah kesimpulan penelitiannya 57. Hakim menggunakan legal

reasoning ini sebagai pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara

guna mendapatkan putusan yang benar dan adil. Selain itu dalam

menjatuhkan suatu keputusan terhadap suatu perkara yang diajukkan

kepadanya, hakim mempertimbangkan berdasarkan hukum dan peristiwa

hukum yang saling berkaitan.

Penulis membandingkan legal reasoning yang dipakai oleh hakim

Pengadilan Negeri Salatiga dengan teori Eksaminasi Publik yang

diamanatkan di dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung sebagaimana diperbarui dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang mengamanatkan adanya sebuah

pengawasan di lembaga tersebut. Pengawasan tertinggi terhadap jalannya

peradilan dan perilaku Hakim dalam melaksanakan kekuasaan

kehakiman58.

3.1 Eksaminasi Publik

57
Johnny Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cetakan kedua,
Bayumedia Publishing, Jakarta, 2006, h. 239.
58
Emerson Yuntho, Aris Purnomo, Wasingatu Zakiyah, ed., Panduan Eksaminasi
Publik (Edisi Revisi), Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2011, h. 19-20.

39
Pengawasan terhadap peradilan terdiri dari pemantauan internal

yang selama ini sudah dilaksanakan oleh institusi hukum yang ada,

sedangkan pemantauan eksternal lebih dikenal dengan pemantauan

masyarakat, yaitu dengan melakukan pengawasan dengan cara

pengkritisan atau pengujian terhadap produk-produk yang dihasilkan

oleh lembaga peradilan (Eksaminasi) yang selama ini dikenal dengan

istilah Eksaminasi Publik. Eksaminasi Publik atau pengujian yang

dilakukan oleh masyarakat terhadap putusan peradilan tidak terlepas

dari kerangka pemantauan atau pengawasan peradilan secara umum.

Pemahaman ini perlu dibangun karena eksaminasi hanya merupakan

salah satu bagian dari proses publik dalam mengawasi lembaga

peradilan59.

Penambahan kata “publik” setelah kata eksaminasi lebih

dimaksudkan untuk membedakan dengan eksaminasi yang dilakukan

oleh Kejaksaan dan Pengadilan. Tambahan istilah public pada

eksaminasi lebih bernuansa memberikan aksentuasi distingsi antara

latar belakang pemikiran eksaminasi internal dan eksternal

sebagaimana diuraikan sebelumnya. Di samping itu, hal ini juga dapat

dimaknai sebagai aktivitas, yang sejak dari inisiasi, proses, sampai

finalisasinya, diasumsikan untuk dihajatkan untuk kepentingan

masyarakat (rasa keadilan hukum masyarakat) – jadi bukan semata-

mata untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu dari pihak yang

bersengketa di pengadilan ¾ dan oleh sebab itu akuntabilitas

59
Ibid., h. 8-9.

40
kinerjanya perlu dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dinilai dan

diukur oleh masyarakat60.

Essensi dari eksaminasi adalah pengujian atau penilaian dari

sebuah putusan (hakim) dan atau dakwaan (jaksa) maupun produk

hukum yang dibuat oleh pejabat publik, apakah pertimbangan

hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip kehakiman, apakah

prosedur hukumnya telah sesuai dengan prinsip dalam Undang-

Undang dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan

benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan

masyarakat61. Faktor utama yang mendasari eksaminasi publik ini

adalah untuk mendorong dan memberdayakan partisipasi masyarakat

agar dapat terlibat lebih jauh dalam mempersoalkan proses sesuatu

perkara dan putusan atas perkara itu yang dinilai kontroversial dan

melukai rasa keadilan masyarakat. Dengan membiasakan publik

terutama kalangan akademis dan profesi hukum melakukan penilaian

dan pengujian terhadap proses peradilan dan putusan lembaga

pengadilan atau keputusan-keputusan lembaga penegak hukum

lainnya yang dirasakan dan dinilai bertentangan dengan prinsip-

prinsip hukum dan rasa keadilan masyarakat. Maka hal yang

selanjutnya ingin dicapai setelah masyarakat mampu melakukan

60
Hasrul Halili:2005, dikutip dari Emerson Yuntho, Aris Purnomo, Wasingatu Zakiyah,
ed., Panduan Eksaminasi Publik (Edisi Revisi), Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2011,
h. 27.
61
Ibid.

41
eksaminasi ini, adalah tersosialisasikan lembaga eksaminasi secara

luas62.

Eksaminasi juga diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi MA

dan Kejaksaan Agung dalam melakukan koreksi terhadap hakim dan

jaksa. Bukan hanya dalam bentuk sanksi administrasi tetapi kepada

proses hukum lebih lanjut. Hasil eksaminasi tidak bermaksud untuk

melakukan intervensi terhadap proses hukum di MA, tapi hanya

sumbangan pemikiran dari komunitas masyarakat hukum. Namun

eksaminasi terhadap putusan-putusan atau produk hukum yang

dianggap menyimpang lebih merupakan sebagai ruang publik yang

harus mulai dibangun agar lembaga-lembaga negara tidak lepas dari

kontrol masyarakat63.

Kegiatan eksaminasi publik dapat dilakukan atas permintaan

masyarakat atau tidak. Putusan pengadilan yang dieksaminasi adalah

putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang mengandung

indikasi awal bahwa :

1. Tahapan proses pengadilan terdapat kejanggalan atau cacat

hukum;

2. Hukum formil dan hukum materiil tidak diterapkan secara baik

dan benar atau bertentangan dengan asas-asas penerapan hukum;

3. Ada indikasi KKN (judicial corruption), penyalahgunaan

wewenang, atau bentuk pelanggaran hukum pidana lainnya yang

62
Ibid., h. 29.
63
Ibid., h. 30.

42
menyebabkan hukum tidak diterapkan secara baik dan benar;

dan;

4. Putusan tersebut menjadi perhatian masyarakat atau membawa

dampak terhadap kehidupan hukum dalam masyarakat64.

3.2 Bagian-Bagian Yang Dieksaminasi65

3.2.1 Administrasi Perkara :

- Gugatan/permohonan yang meliputi : identitas para pihak, posisi

para pihak, posita gugatan (kejadian dan hukumnya), petitum dan

hubungannya dengan posita, tanda tangan surat

gugatan/permohonan.

- Format PHS yang disertai sita jaminan, nomor, hari sidang pertama

dan tenggang waktunya, ketua majelis dan masing-masing hakim.

- Penunjukkan panitera.

- Penunjukkan juru sita/JSP.

- Administrasi lainnya yaitu : registrasi perkara, jurnal keuangan,

pelaporan dan pengarsipan perkara.

- Eksekusi putusan meliputi : sita eksekusi, aanmaning serta berita

acaranya, pelaksanaan putusan (eksekusi).

3.2.2 Administrasi Persidangan :

- Pemanggilan para pihak meliputi : nomor, nama para pihak, waktu

pemanggilan, panggilan saksi/saksi ahli (jika ada), keterangan pihak

64
Susanti Adi Nugroho, et.al., Eksaminasi Publik: Partisipasi Masyarakat Mengawasi
Peradilan, Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2003, h. 100-101.
65
Pedoman Dasar Eksaminasi Putusan, sesuai SK Dirjen Badilag No.
1207/DJA/HK.00.7/SK/VII/2012 tentang Pedoman Pemberdayaan Hakim Tinggi Sebagai Kawal
Depan Mahkamah Agung, h. 2-3.

43
yang dipanggil (misalnya, bertemu dan berbicara kepada tergugat),

nama dan tanda tangan pihak lurah atau kepala desa dan capnya

(dalam hal tidak bertemu dengan pihak yang dipanggil),

pengumuman/ penempelan surat panggilan (jika ada), tanda tangan

JS/JSP, pemberitahuan isi putusan (PBT)

- Berita Acara Sidang (BAS) meliputi : tempat/waktu sidang, posisi

para pihak, susunan majelis yang bersidang, kehadiran atau tidak

hadirnya para pihak, mediasi serta laporannya, pernyataan sidang

terbuka untuk umum, upaya perdamaian oleh majelis, pembacaan

surat gugatan/permohonan, perubahan surat gugatan/permohonan

(jika ada), pernyataan sidang tertutup untuk umum, penundaan

sidang yang terbuka untuk umum, pemeriksaan/tanggapan pihak-

pihak, pemeriksaan bukti (surat dan saksi), pembacaan putusan

yang terbuka untuk umum, rumusan amar putusan pada BAS,

renvoi pada BAS (termasuk pada jawaban, replik dan duplik serta

kesimpulan tertulis yang diajukan), pemberian nomor BAS yang

berkelanjutan, dan penanda tanganan BAS.

3.2.3 Putusan/Penetapan :

- Kepala dan identitas putusan/penetapan yang meliputi : nomor

putusan/penetapan, irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”, identitas para pihak serta posisinya

(termasuk kuasa hukumnya jika ada), konsiderans selengkapnya;

- Tentang duduk perkaranya yang meliputi : isi gugatan, pernyataan

kehadiran/tidak hadirnya para pihak, upaya perdamaian, upaya

44
mediasi, pembacaan surat gugatan, perubahan gugatan (jika ada),

jawaban pihak tergugat, replik pihak penggugat (jika ada), duplik

tergugat (jika ada), sita jaminan (jika ada), pembuktian dari

penggugat, pembuktian dari tergugat, pemeriksaan setempat

(discente), kesimpulan dari para pihak serta pernyataan para pihak

tidak akan mengajukan sesuatu lagi dan mohon putusan;

- Tentang hukumnya meliputi : pertimbangan hukum telah

dilakukannya upaya perdamaian, pelaksanaan mediasi, substansi

dalil/jawab menjawab para pihak (hal-hal yang diakui dan

disanggah oleh tergugat), perumusan pokok masalah (dari yang

disangkal atau tidak diakui, bisa dalam bentuk kalimat tanya atau

pernyataan), analisa pembuktian dari masing-masing pihak

(meliputi syarat formal dan syarat materiil serta dengan metode

analisis yang tepat), fakta hukum yang dirumuskan dari hasil

analisis terhadap bukti-bukti yang ada, penemuan hukum beberapa

sumber hukum yang relevan (peraturan perundang-undangan,

kaidah, yurisprudensi) serta pertimbangan mengenai biaya perkara;

- Amar putusan/penetapan atau penerapan hukumnya yang meliputi :

bentuk dan sifat amar putusan/penetapan (sebagai jawaban dari

petitum gugatan/permohonan), sistimatika amar putusan, redaksi

dan bahasa amar putusan/penetapan.penutupan putusan/kaki

putusan meliputi : hari dan tanggal penjatuhan putusan, pernyataan

sidang terbuka untuk umum, nama majelis hakim dan panitera

sidang serta kehadiran atau tidaknya pihak-pihak, tanda tangan

45
majelis hakim dan panitera sidang, rincian biaya perkara, dan

nomor halaman putusan/penetapan (harus ditulis pada bagian kanan

bawah dengan kalimat misalnya : halaman 1 dari 20” dst).

B. HASIL PENELITIAN

1. Duduk Persoalan Dalam Putusan Nomor : 4/Pdt.G/2016/PN.Slt

1.1 Berdasarkan Versi Penggugat-Budi Kabul :

Penggugat (Sdr. Budi Kabul) sebagai pemilik Tanah beserta

Bangunan yang berdiri diatasnya seluas 366 m2 berdasar Sertifikat Hak

Milik (SHM No. 1644) merasa dirugikkan atas tindakan teman baik

dan juga tetangga Penggugat yaitu Tergugat-I (Sdr. Kosidi) yang

meminjam sertifikat itu sebagai agunan jaminan pinjaman modal usaha

kepada Tergugat-II (Bank Danamon Cabang Salatiga) sebesar Rp.

45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah) melalui fasilitas Kredit

Usaha Rakyat (KUR) tanpa dibebani APHT. Hingga pada bulan

September 2015 Penggugat-Budi Kabul menerima surat dari Tergugat-

II Bank Danamon Cabang Salatiga yang akan melelang tanah dan

bangunan milik Penggugat Budi Kabul, karena diketahui sejak Bulan

April 2005 Tergugat-I Kosidi hanya mengangsur sebanyak 7 (tujuh)

kali dan tidak pernah membayar lagi cicilan tersebut. Tanah dan

Bangunan milik Penggugat-Budi Kabul telah dilelang dengan nilai

limit Rp. 109.800.000,- (seratus sembilan juta delapan ratus ribu

46
rupiah) dan terjual seharga Rp. 110.200.000,- (seratus sepuluh juta dua

ratus ribu rupiah) yang dimenangkan oleh Tergugat-III (Sdr.Adi

Subkhan Ifana).

Yang membuat Penggugat-Budi Kabul merasa keberatan karena

harga limit yang diberikan sangatlah rendah dan tidak sesuai dengan

harga pasar dari tanah dan bangunan yang saat ini ditaksir sekitar Rp.

2.000.000,- (dua juta rupiah) per meter perseginya. Apabila dijual

ditaksir mencapai sekitar Rp. 732.000.000 (tujuh ratus tiga puluh dua

juta rupiah). Disamping itu rumah yang selama ini menjadi obyek hak

tanggungan tersebut adalah rumah tinggal satu–satunya yang dihuni

oleh Penggugat-Budi Kabul beserta Istri dan kedua anaknya.

1.2 Berdasarkan Versi Tergugat-II Bank Danamon Cabang Salatiga :

Pada tanggal 8 November 2004 Penggugat-Budi Kabul selaku

Debitur dan Tergugat-II Bank Danamon Salatiga selaku kreditur telah

bersepakat mengenai perjanjian kredit dengan Nomor:

DSP/0021/547/1104 tertanggal 8 November 200466 yang nilai atau

plafon kreditnya sebesar Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta

rupiah) untuk jangka waktu selama 36 (tiga puluh enam) bulan dengan

cicilan sebesar Rp. 2.150.000,- (dua juta seratus lima puluh ribu

rupiah) per bulan dengan memberikan jaminan piutang yang akan

dilunasi oleh Budi Kabul, maka berdasarkan persetujuan dari Yuni

Restiyowati selaku istri Penggugat-Budi Kabul memberikan agunan

66
Diberi tanda T.II-2, T.IV-4, dikutip dari surat Putusan Nomor : 4/Pdt.G/2016/PN.Slt,
h. 32-34.

47
jaminan pelunasan utang yaitu sebidang tanah dan bangunan seluas

366 m2 berdasarkan SHM No. 164467 atas nama Penggugat-Budi

Kabul berdasarkan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) No.

835/SDR/2004 tertanggal 8 November 2004 dan ditandatangani Budi

Kabul beserta istrinya diatas materai Rp. 6000,- (enam ribu rupiah).

Berdasarkan pemberian jaminan tersebut maka terbitlah Sertifikat Hak

Tanggungan No. 09/2005 tertanggal 11 Januari 200568 atas nama PT

Bank Danamon Indonesia. Menurut Tergugat-II Bank Danamon

Salatiga seiring berjalannya waktu Penggugat-Budi Kabul mulai

berhenti membayar (menunggak) terhitung sejak tanggal 8 April 2005,

dimana untuk menanggulangi permasalahan tersebut Penggugat-Budi

Kabul meminta kepada Bank Danamon Salatiga untuk dilakukan

Restrukturisasi kredit dengan alasan usaha yang dijalankan saat ini

sedang mengalami penurunan omset dan hanya mampu membayar

perbulan Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) untuk saat

ini. Namun restrukturisasi tidak dapat diproses karena Penggugat-Budi

Kabul telah cukup lama menunggak pembayaran. Sejak menunggak di

bulan April 2005 sampai dengan bulan Mei 2015 Penggugat-Budi

Kabul tidak mempunyai itikad baik untuk melaksanakan kewajiban

pembayaran hutangnya, maka menindaklanjuti hal tersebut, Tergugat-

II Bank Danamon Salatiga memberikan Surat Peringatan I tertanggal 3

Mei 201569, Surat Peringatan II Tertanggal 18 Mei 2015 70, dan Surat

67
Diberi tanda T.II-3, dikutip dari surat Putusan Nomor : 4/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 32.
68
Diberi tanda T.II-5, dikutip dari surat Putusan Nomor : 4/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 32.
69
Diberi tanda T.II-6, dikutip dari surat Putusan Nomor : 4/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 32.
70
Diberi tanda T.II-7, dikutip dari surat Putusan Nomor : 4/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 32.

48
Peringatan III Tertanggal 2 Juli 201571. Maka dari itu Tergugat-II Bank

Danamon Salatiga menyatakan bahwa pelelangan terhadap obyek Hak

Tanggungan pada tanggal 23 September 2015 dengan hasil bersih

lelang sebesar Rp.103.037.000 (seratus tiga juta tiga puluh tujuh ribu

rupiah) adalah sah dan sudah menjadi haknya (berdasarkan SHT

No.09/2005 tertanggal 11 Januari 2015), serta menolak secara tegas

mengenai dalil–dalil Penggugat-Budi Kabul yang dinilai sangat

mengada–ada yaitu menyatakan bahwa harga limit yang diberikan

sangat rendah dan tidak sesuai dengan harga pasar. Tergugat-II

memberikan bantahan dengan memberikan pertanyaan kepada

Penggugat-Budi Kabul yang mana apabila harga pasaran tanah dan

rumah Penggugat-Budi Kabul adalah Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)

per meter perseginya dan nilai dari pada obyek hak tanggungan sebesar

Rp. 732.000.000,- (tujuh ratus tiga puluh dua juta rupiah), mengapa

selama kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir tidak mengajukan

penjualan di bawah tangan agar didapati nilai penjualan yang terbaik.

Selain itu Tergugat-II Bank Danamon Salatiga menyatakan bahwa

telah melaksanakan prosedur pelelangan yang sah dan sesuai dengan

peraturan lelang yang berlaku. Mengenai pemberian janji kepada Budi

Kabul apabila hanya dengan melakukan pelunasan utang sebesar Rp.

20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) karena Tergugat-II Bank

Danamon Cabang Salatiga sedang mengadakan promosi terkait usaha

mikro dibantah oleh pihaknya dan menyatakan bahwa dalil tersebut

71
Diberi tanda T.II-8, dikutip dari surat Putusan Nomor : 4/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 32.

49
sangat mengada-ada. Selain itu pihak Tergugat-II Bank Danamon

Salatiga mengkalkulasikan tunggakan pinjaman yang mulai

menunggak dari tahun 2005 hingga tahun 2015, maka total tunggakan

yang telah mencapai 10 tahun tersebut adalah sebesar Rp.

404.782.985,- (empat ratus empat juta tujuh ratus delapan puluh dua

ribu Sembilan ratus delapan puluh lima rupiah).

2. Perincian Ganti Kerugian72

Dalam Surat Gugatan Penggugat-Budi Kabul sebanyak 9 (sembilan) point

gugatan, yang pada pokoknya yaitu :

Penggugat merasa sangat tertipu dan mengalami kerugian dengan

tindakan yang dilakukan Tergugat-I (Kosidi) yang telah melakukan

perbuatan melawan hukum dengan tidak mengembalikan sertifikat milik

Penggugat-Budi Kabul. Tergugat-II (Bank Danamon Cab. Salatiga) dan

Tergugat-IV (KPKLN Semarang) telah melakukan perbuatan melawan

hukum dengan melakukan pelelangan yang tidak wajar dan tidak sah

dengan harga di bawah rata-rata dan menguasai Sertifikat Hak Milik

Penggugat No. 1644 tanpa alas hak. Tergugat-III (Adi Subkhan Ifana)

telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menguasai sertifikat

milik Penggugat tanpa alas hak.

Sebagaimana yang dimaksud dalam Sertifikat Hak Milik No. 1644

dengan luas ± 366 M2 dengan batas-batas :

 Sebelah utara : Tanah milik Bapak Samet

72
Dikutip dari surat Putusan Nomor : 4/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 6-7.

50
 Sebelah Timur : Jalan Raya

 Sebelah Selatan : Tanah milik Bapak Sumarjono

 Sebelah Barat : Tanah milik Sdr. Sulasmi

Rincian ganti kerugian yang dialami Penggugat yang harus

ditanggung oleh Para Tergugat secara tanggung renteng secara tunai dan

sekaligus adalah sebagai berikut :

a. Kerugian Materiil

Harga pasar tanah Rp. 2.000.000,- per meter perseginya

Rp. 2.000.000,- x 366 m2 : Rp. 732.000.000,-

b. Kerugian Immateriil : Rp. 50.000.000,-

Jumlah Rp. 782.000.000,- (tujuh ratus

delapan puluh dua juta rupiah)

3. Keterangan Saksi-Saksi Penggugat

Terhadap dalil-dalil Penggugat-Budi Kabul yang merasa dan

menyatakan keberatan dengan harga lelang yang diberikan oleh Tergugat-

II Bank Danamon Cabang Salatiga sangat rendah dan tidak sesuai dengan

harga pasaran saat ini. Penggugat menghadirkan Saksi-Saksi yang telah

disumpah sesuai dengan agamanya untuk menyampaikan keterangan yang

diharapkan dapat menguatkan dalil-dalil Penggugat sebagai berikut :

3.1 Saksi-I : Sukartono

 Keterangan Saksi-I dalam persidangan pada pokoknya

menerangkan bahwa Saksi kenal dengan Penggugat karena saksi

51
adalah tetangga Penggugat dan kapasitasnya juga sebagai Ketua

RW di desa tersebut.

 Saksi tahu Tergugat-I Kosidi meminjam Sertifikat Penggugat-Budi

Kabul untuk jaminan pinjaman uang di Bank Danamon dengan

nilai pinjaman Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah).

Sertifikat tersebut dipinjamkan oleh Penggugat-Budi Kabul untuk

menolong Tergugat-I Kosidi yang kesulitan modal dan butuh

tambahan modal usaha jok motor berdasarkan cerita Penggugat

kepada Saksi.

 Penggugat datang kepada Saksi untuk meminjam uang kas RW

sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) karena uang Penggugat

kurang untuk membayar hutang ke Bank Danamon sebesar Rp.

20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Pada pertengahan Agustus

2015 Penggugat-Budi Kabul datang ke rumah Saksi dan diminta

mendampingi Penggugat ke Bank Danamon Salatiga untuk

melunasi hutang sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah)

ke Bank Danamon Salatiga.

 Penggugat beserta Saksi bertemu Kepala Unitnya, dan disuruh ke

Semarang. Setelah di Semarang, Penggugat-Budi Kabul beserta

Saksi diminta kembali lagi ke Bank Danamon Salatiga menunggu

keputusannya.

 Saksi mengetahui letak tanah yang menjadi sengketa yaitu Timur :

Depan Jalan Raya Fatmawati, Barat : Saksi Lupa, Utara : Tanah

tetapi Saksi tidak tahu pemiliknya, Selatan : Tanah Pak Sunarjo.

52
 Saksi mengetahui bahwa sekarang status tanah tersebut sudah ada

pemenang lelang dan sudah mendaftar Eksekusi ke Pengadilan

Negeri.

 Saksi juga mengetahui bahwa cicilan kredit di Bank Danamon

sudah dibayar sebanyak 7 (tujuh) kali, serta harga tanah di tempat

Penggugat tinggal bersama isteri dan 2 (dua) anaknya saat ini per

meternya Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah).

 Berdasarkan cerita Penggugat kepada Saksi, Penggugat belum

pernah mendapatkan surat peringatan dari Bank Danamon maupun

Kantor Lelang.

 Saksi tidak mengetahui kapan Penggugat meminjam uang di Bank

Danamon dan kapan Penggugat mulai menunggak pembayaran.

3.2 Saksi II : Supoyo

 Keterangan Saksi-II dalam persidangan pada pokoknya

menerangkan bahwa Saksi-II kenal dengan Penggugat dan

Tergugat-I karena Saksi adalah tetangga Tergugat I dan Pengugat.

 Saksi mengetahui Penggugat mengajukan gugatan karena

sertifikat Penggugat dipinjam oleh Tergugat-I sekitar 10 (sepuluh)

atau 12 (dua belas) tahun yang lalu, untuk tambahan modal usaha

jok motor Tergugat-I dan sertifikat tersebut dijaminkan di Bank

Danamon Salatiga.

 Saksi mengetahui pinjaman yang dicairkan sebesar Rp.

45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah) dan timbul masalah

53
karena Tergugat-I pergi. Sejak pergi 2 (dua) tahun kemudian

datang Bank Danamon pada tahun 2014 karena cicilan tersebut

macet dan baru dibayar/diangsur sebanyak 7 (tujuh) kali.

 Saksi mengetahui batas-batas tanah milik Penggugat yang menjadi

sengketa yaitu Timur : Depan jalan raya Fatmawati, Barat : Tanah

Kosong, Utara : tidak tahu, Selatan : Tanah Pak Sunarjo.

 Saksi tidak mengetahui siapa yang meminjam uang di Bank

Danamon, tetapi Saksi mengetahui yang memakai uang pinjaman

adalah Tergugat I dan saksi mengetahui Bank Danamon pernah

datang sebanyak 2 (dua) sampai 3 (tiga) kali kira-kira 2 (dua) tahun

terakhir.

 Saksi mengetahui bahwa Penggugat minta ditemani Saksi-I Pak

RW ke Bank Danamon Salatiga lalu disuruh ke Semarang dan

disuruh kembali lagi dan menunggu namun akhirnya tanah dan

rumah Penggugat yang ditinggali oleh isteri dan kedua anaknya itu

disita dan dilelang Bank dengan harga Rp. 110.000.000,- (seratus

sepuluh juta rupiah).

 Saksi mengetahui kini pemilik baru Tanah dan Bangunan milik

Penggugat adalah Tergugat-III Pak Adi. Saksi mengetahui

permasalahan yang terjadi pada Penggugat karena cerita dari

Penggugat.

4 Jawaban Para Tergugat

4.1 Tergugat-II Bank Danamon Cabang Salatiga

54
Perjanjian yang dibuat oleh Penggugat-Budi Kabul selaku Debitur

dan Tergugat-II selaku Kreditor senyatanya telah di pertimbangkan dan

telah mencapai kata “sepakat”, di buktikan dengan bukti perjanjian

kredit Nomor : DSP/0021/547/1104 dengan nilai/plafon kredit sebesar

Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah). Perjanjian tersebut di

buat dan di tanda tangani pada tanggal 8 November 2004, dengan

memberikan jaminan berupa sebidang tanah dan bangunan seluas 366

m2 berdasarkan SHM No. 1644 atas nama Budi Kabul berdasarkan Akta

Pemberian Hak Tanggungan (APHT) No. 835/SDR/2004. Karena telah

di buatnya APHT maka terbitlah pula Sertifikat Hak Tanggungan

No.09/2005 tertanggal 11 Januari 2015 a/n PT Bank Danamon

Indonesia.

Dikarenakan Penggugat mulai berhenti membayar sejak tanggal 8

April 2005 maka Penggugat datang kepada Tergugat-II dan meminta

dilakukan restrukturisasi kredit dengan alasan usaha yang di jalankan

saat ini sedang mengalami penurunan omset, dan hanya mampu

mengangsur Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) per

bulannya untuk saat ini. Namun restrukturisasi tidak dapat di

laksanakan karena Penggugat telah cukup lama menunggak

pembayaran. Dalil Penggugat yang menyatakan pelunasan utangnya

hanya dengan membayar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) tidak

dibenarkan oleh pihak Tergugat II, mengingat tunggakan yang

mencapai 10 (sepuluh) tahun tersebut yang harus dibayarkan adalah

sebesar Rp. 404.782.985,- (empat ratus empat juta tujuh ratus delapan

55
puluh dua ribu sembilan ratus delapan puluh lima rupiah) sehingga

Tergugat II menolak dalil tersebut.

Menindaklanjuti hal itu Tergugat II memberikan Surat Peringatan I

tertanggal 3 Mei 2015, Surat Peringatan II tertanggal 18 Mei 2015 dan

Surat Peringatan III tertanggal 2 Juli 2015. Kemudian berdasarkan SHT

No.09/2005 tertanggal 11 Januari 2015 melakukan lelang Obyek Hak

Tanggungan pada tanggal 23 September 2015 dengan hasil bersih

lelang Rp. 103.037.000,- (seratus tiga juta tiga puluh tujuh ribu

rupiah73.

4.2 Tergugat-III Adi Subkhan Ifana

Menurut pendapat Tergugat-III Gugatan Penggugat Prematur

karena dalil penggugat yang mengandung unsur penipuan dan atau

penggelapan belum diperiksa secara pidana dan belum berkekuatan

hukum tetap. Untuk menghadapi hal itu Tergugat III memohon kepada

Majelis Hakim untuk menangguhkan perkara perdatanya dan

menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

Selain itu gugatan yang diajukan Penggugat tidak jelas dan kabur

(Exceptie Abscuur Libel) karena tidak mendalilkan perbuatan melawan

hukum mana yang dilakukan oleh Tergugat IV.

4.3 Tergugat-IV KPKNL Semarang

73
Dikutip dari surat Putusan Nomor : 04/Pdt.G/2016/PN.Slt., h. 9-10.

56
Menindaklanjuti dalil Penggugat yang menyatakan Tergugat-IV

melakukan pelelangan tidak sah dan dengan harga di bawah rata-rata,

Tergugat-IV memberikan keterangan sebagai berikut :

(a) Pelelangan atas barang jaminan berupa (SHM) No. 1644 luas

366 m2 Kelurahan Blotongan, Kecamatan Sidorejo, Kota

Salatiga sesuai dengan Risalah Lelang No. 1569/2015 tanggal

23 September 2015 dan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 3

PMK No. 106/PMK/2013 tentang Perubahan Atas PMK No.

93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang,

maka tindakan hukum yang dilakukan Tergugat IV adalah sah

dan tidak dapat dibatalkan.

(b) Lelang eksekusi merupakan permintaan dari Sdr. Adrianus

Setyo Adibroto dan Sdr. Wibowo Heru, masing-masing selaku

Regional Collection Head dan Asset Liquidation Unit Manager

pada Divisi Self Employed Mass Market PT. Bank Danamon

Indonesia Kantor Wilayah VII Semarang, sesuai Surat

Permohonan Lelang Nomor : 51/SP/LELANG/2015 tanggal 22

Juli 2015, berdasarkan pada Perjanjian Kredit Nomor :

DSP/0021/547/1104 tanggal 8 November 2004, Sertifikat Hak

Tanggungan Peringkat Pertama yang diterbitkan oleh Kantor

Pertanahan Kota Salatiga berkepala “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”,

Nomor : 09/05 tanggal 11 Januari 2005 kepada PT. Bank

Danamon Indonesia, Tbk berkedudukan di Jakarta sebesar Rp.

57
60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dan Akta Pemberian Hak

Tanggungan Nomor : 835/SDR/2004 tanggal 8 November 2004.

(c) Tergugat-IV membantah dalil Penggugat yang menyatakan

harga limit lelang yang diberikan sangat rendah dan tidak sesuai

dengan harga pasaran tanah dan bangunan, di mana terkait

dengan penetapan nilai limit lelang dilaksanakan berdasarkan

Pasal 35 ayat (2) PMK Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang

menyatakan bahwa penetapan nilai limit lelang menjadi

tanggung jawab Penjual/Pemilik Barang yaitu Tergugat II.

(d) Sesuai ketentuan Pasal 41 PMK No. 93/PMK.06/2010

disebutkan bahwa sebelum dilaksanakan lelang, terlebih dahulu

dilakukan pengumuman temple/selebaran pada tanggal 25

Agustus 2015 sebagai pengumuman pertama dan melalui Harian

Wawasan tanggal 9 September 2015 sebagai pengumuman

kedua oleh Tergugat II, sehingga asas publisitas telah

terpenuhi.

(e) Pelelangan diikuti oleh 5 (lima) peserta berdasarkan Risalah

Lelang Nomor : 1569/2015 tanggal 23 September 2015

menetapkan Sdr. Septi Berta Dwi Ayu Margi Wahyuningrum

selaku kuasa dari Adi Subkhan Ifana (dhi. Tergugat III) sebagai

pemenang lelang obyek a quo dengan nilai melampaui limit

sebesar Rp. 110.200.000,- (seratus sepuluh juta dua ratus ribu

rupiah).

58
(f) Pelelangan dilakukan dengan berpedoman pada

Vendureglement Stbl. 1908 Nomor : 189 yang bersambung

dengan Stbl. 1940 Nomor : 56 PMK No. 93/PMK.06/2010

tanggal 23 April 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang

dan Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun

1996 dan Klausul Akta Pemberian Hak Tanggungan Nomor

: 126/SWL/HT/IV/2009 yang isinya “jika debitur tidak

memenuhi kewajiban untuk melunasi utangnya, berdasarkan

perjanjian utang piutang di atas, oleh pihak pertama, pihak

kedua selaku pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama

dengan akta ini diberi dan menyatakan menerima kewenangan,

dan untuk tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pihak pertama:

1. Menjual atau suruh menjual di hadapan umum secara

lelang Obyek Hak Tanggungan baik seluruhnya maupun

sebagian-sebagian;

2. Mengatur dan menetapkan waktu, tempat, dan cara dan

syarat-syarat penjualan;

3. Menerima uang penjualan, menandatangani dan

menyerahkan kwitansi;

4. Menyerahkan apa yang dijual itu kepada pembeli yang

bersangkutan;

5. Mengambil uang dari hasil penjualan itu seluruhnya atau

sebagian untuk melunasi utang debitor tersebut di atas;

dan

59
6. Melakukan hal-hal lain yang menurut undang-undang dan

Peraturan Hukum yang berlaku diharuskan atau menurut

pendapat Pihak Kedua perlu dilakukan dalam rangka

melaksanakan kuasa tersebut”74.

(g) PT. Bank Danamon Tbk., selaku kreditor Hak Tanggungan

mempunyai kewenangan melakukan eksekusi melalui parate

executie dengan menjual Obyek Hak Tanggungan yang sesuai

dengan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4

Tahun 1996.

(h) Gugatan Penggugat tidak ada satupun uraian yang

menunjukkan tindakan yang dikategorikan Perbuatan

Melawan Hukum, bertentangan dengan hak orang lain, dan

melanggar hak subyektif orang lain, serta terhadap tuntutan

ganti rugi baik materiil dan immaterial dari penggugat sangat

mengada-ada. Karena tidak dijelaskan dengan sempurna dan

tidak disertai dengan pembuktian yang meyakinkan mengenai

jumlah ganti kerugian yang diterima oleh Penggugat (Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 2 Juni 1971 No.

117K/Sip/1971), besarnya kerugian tidak dibuktikan secara

terperinci, maka gugatan kerugian haruslah ditolak oleh

Pengadilan (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

tanggal 18 Desember 1971 No. 598K/Sip/1971), dan Putusan

Pengadilan Tinggi Bandung Tanggal 8 Februari 1970 No.

74
Dikutip dari surat Putusan Nomor : 04/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 23.

60
146/1970/Perd/PT : Tuntutan ganti rugi tidak disertai perincian

kerugian harus ditolak.

5. Tabel Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Salatiga Dalam Perkara

Nomor : 04/Pdt.G/2016/PN.Slt

DALIL PENGGUGAT TANGGAPAN PARA TERGUGAT PERTIMBANGAN HAKIM


PENGADILAN NEGERI
SALATIGA
1. Tergugat I--Kosidi 1. Tergugat--II Bank Danamon Cabang 1. Eksepsi Tergugat-IV75:
melawan hukum dengan Salatiga : yang sebenarnya membuat 1.1 Gugatan Penggugat Prematur
tidak mengembalikan perjanjian dengan Tergugat-II adalah (Exceptie Delatoire).
sertifikat milik Penggugat, dibuktikan dengan Perjanjian Prematur yaitu apabila ada faktor
Penggugat. Kredit No : DSP/0021/547/1104 hukum yang menangguhkan
tertanggal 8 November 2004 dan APHT gugatan. Perjanjian hutang piutang
No : 835/SDR/2004. Maka apabila penggugat dilakukan sekitar tahun
Penggugat menyatakan yang membuat 2004, sehingga majelis hakim
adalah Tergugat-I dengan Tergugat-II berpendapat hutang tersebut telah
adalah tidak benar. terjadi selama 10 (sepuluh) sampai
2. Tergugat-III Adi Subkhan Ifana : dengan 11 (sebelas) tahun dan telah
Menolak gugatan Penggugat untuk lewat jatuh tempo. Sehingga eksepsi
seluruhnya, dan mengajukan alat bukti point pertama tidak beralasan
Foto kopi Sertifikat Hak Milik No. 1644 hukum dan haruslah ditolak.
atas nama Adi Subkhan Ifana seluas 1.2 gugatan penggugat adalah
366 M2 diberi tanda T.III-1. gugatan kabur (Obscuur Libel).
3. Tergugat IV Kantor Pelayanan Menurut penilaian Majelis Hakim
Kekayaan Negara dan Lelang petitum Penggugat telah memenuhi
(KPKNL) Semarang : syarat, bersifat tegas dan spesifik
Berdasarkan gugatan poin 1 (satu) yang apa yang diminta sehingga tidak
meminjam adalah Tergugat-I, dan karena terjadi kontroversi. Sehingga eksepsi

75
Dikutip dari surat Putusan Nomor : 04/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 36-38.

61
tidak membayar cicilan yang telah jatuh point kedua tidak beralasan hukum
tempo, maka dikategorikan sebagai kredit dan patut ditolak.
macet. Dalam Eksepsinya : gugatan 2. Dalam pokok perkara :
Penggugat prematur (exceptie delatoire) Karena para Tergugat telah menolak
dan gugatan yang diajukkan tidak jelas dalil Penggugat poin 1 (satu) dan
dan kabur (exceptie obscuur libel). juga mengajukan alat bukti yang
sesuai dengan aslinya, maka dalil
Penggugat poin 1 ditolak oleh
Majelis Hakim.

2. Tergugat II--Bank 1. Tergugat--II Bank Danamon Cabang Berdasarkan alat bukti antara lain :
Danamon cabang Salatiga Salatiga : Perjanjian Kredit No.
dan Tergugat IV--Kantor DSP/0021/547/1104 tanggal 8
Penentuan nilai limit lelang dilakukan
Pelayanan Kekayaan November 2004 (T.II-2),(T.IV-4);
oleh tim penaksir yang ditunjuk oleh Bank
Negara dan Lelang Risalah Lelang No. 1569/2015
Danamon Salatiga berdasarkan metode
(KPKNL) Semarang, tanggal 23 September 2015(T.II-
yang dapat dipertanggung jawabkan
melakukan perbuatan 16),(T.IV-2); surat permohonan
dengan melihat nilai pasar dan resiko
melawan hukum karena lelang No. 51/SP/LELANG/2015
penjualan lelang, karena hak Tergugat-II
telah melakukan pelelangan tanggal 22 Juli 2015(T.II-11),(T.IV-
selaku pemegang Hak Tanggungan
dengan harga tidak wajar 5); Sertifikat Hak Tanggungan I No.
tingkat I berhak menetapkan nilai limit
di bawah rata-rata dan 09/05 tanggal 11 Januari 2005 dan
paling rendah sama dengan nilai likuidasi
menguasai sertifikat APHT No. 835/SDR/2004 tanggal 8
yang dibuat oleh tim penilai/penaksir
Penggugat tanpa alas hak. November 2004(T.II-5),(T.IV-6b);
(ketentuan Pasal 240 PMK No.
Surat Peringatan (SP) I No.
93/PMK.06/2010) yang dibuat tim
A.0022/SP-1/02473/0515 tanggal 3
penaksir internal. Hasil bersih lelang yaitu
Mei 2015(T.II-6),(T.IV-3a); SP II
Rp. 103.037.000,- (seratus tiga juta tiga
No. 008/SP-2/02743/0515 tanggal
puluh tujuh ribu rupiah) yang
18 Mei 2015(T.II-7),(T.IV-3b) SP
dilaksanakan berdasarkan SHT No.
III No. 001/SPIII/02743/0715
09/2005 tanggal 11 Januari 2015 pada
tanggal 2 Juli 2015(T.II-8),(T.IV-
tanggal 23 September 2015. Selain itu
3c) SKPT No. 58/Ket-11.03/ix/2015
pelaksanaan lelang telah sesuai pada
tanggal 18 September 2015(T.IV-9).
ketentuan PMK No. 93/PMK.06/2010 jo
Masing-masing telah dicocokkan
PMK No. 106/PMK.06/2013. Oleh dari
dengan aslinya dan ternayata sesuai,
itu dalil Penggugat dalam poin 2 (dua)
maka dapat menjadi alat bukti yang
tidak berdasar hukum.

62
sah. karena Penggugat tidak dapat
2. Tergugat IV--KPKNL Semarang :
menguatkan dalil gugatannya,

Yang berhak menentukan nilai limit majelis hakim menyatakan dalil

lelang adalah pemegang APHT tingkat I, Penggugat dalam poin 2 (dua) tidak

dalam hal ini adalah Tergugat-II Bank berdasar hukum dan patut untuk
Danamon Salatiga, namun dilakukan ditolak.
dengan tim penaksir yang dapat
dipertanggung jawabkan. Mengenai
perbuatan melawan hukum yang
menguasai sertifikat Penggugat tanpa alas
hak tidaklah berdasar hukum. Tergugat-
IV melakukan pelelangan berdasarkan
Risalah Lelang No. 1569/2015 tanggal 23
September 2015, telah melakukan
pelelangan secara patut dan memenuhi
syarat formil.
Majelis Hakim menilai, karena
3. Tergugat III--Adi
1. Tergugat--III Adi Subkhan Ifana : Tergugat-III telah dapat
Subkhan Ifana telah
membuktikan dalil sangkalannya,
melakukan perbuatan Gugatan yang diajukan Penggugat tidak
serta alat bukti Sertifikat Hak
melawan hukum dengan beralasan hukum karena Tergugat-III
Tanggungan Nomor 1644 atas nama
menguasai sertifikat milik telah memenangkan lelang secara sah
Adi Subkhan Ifana, yang telah
Penggugat tanpa alas hak. dengan penawaran tertinggi dari nilai
dicocokkan dengan aslinya.
limit Rp. 109.800.000 (seratus Sembilan
Sehingga alat bukti tersebut sah dan
juta delapan ratus ribu rupiah) dan terjual
dapat digunakan sebagai alat bukti
Rp. 110.200.000 (seratus sepuluh juta dua
persidangan. Oleh sebab itu Majelis
ratus ribu rupiah). Sesuai prosedur Risalah
Hakim memutuskan untuk menolak
Lelang No. 1569/2015 tanggal 23
dalil Penggugat pada poin 3 (tiga)
September 2015. Maka dari itu Tergugat-
karena tidak beralasan hukum.
III berhak untuk menguasai sertifikat Hak
Milik Nomor 1644.

4. Pelelangan yang Tergugat--IV KPKNL Semarang : Fakta diketahui bukti T.II-11


dilakukan oleh Tergugat IV sampai dengan T.II-1676 dan bukti

76
Dikutip dari surat Putusan Nomor : 04/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 33.

63
tidak sah. T.IV-5 sampai dengan T.IV-1177
Pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh
yang dihadirkan, Tergugat-II
Tergugat-IV harus berdasarkan ketentuan
mengajukan permohonan lelang
Pasal 3 PMK No. 106/PMK/2013 tentang
kepada Tergugat-IV. Diketahui pula
Perubahan Atas PMK No.
ada upaya lelang terhadap obyek
93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk
Hak Tanggungan, atas permintaan
Pelaksanaan Lelang. Dalam kapasitasnya
dari Tergugat-III. Karena prosedur
sebagai Pemegang Hak Tanggungan
lelang dilakukan sebagaimana diatur
tingkat I, Tergugat-II telah mengajukan
dalam Pasal 13 ayat (1) PMK No.
permintaan pelaksanaan lelang kepada
93/PMK.06/2010 sebagaimana
Tergugat-IV dan telah melengkapi
diubah dengan PMK No.
persyaratan pelelangan secara sah dan
106/PMK.06/2013, majelis hakim
memenuhi legalitas formal sesuai Pasal 12
memberi penilaian bahwa
PMK No. 93/PMK.06/2010 tentang
pelelangan yang dilakukan adalah
Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
sah menurut hukum. Sehingga
Ditunjukkan pula dengan sahnya Risalah
majelis hakim menolak dalil
Lelang yang tidak dapat dibatalkan No.
Penggugat dalam poin 4 (empat) ini.
1569/2015 tanggal 23 September 2015.

5. Para Tergugat harus


1. Tergugat--II Bank Danamon Cabang Dengan dibuktikannya keabsahan
dihukum secara tanggung alat bukti yang dihadirkan Para
Salatiga :
renteng membayar Tergugat, serta tidak adanya
kerugian secara tunai dan Tidak berdasarkan hukum, dalil penjelasan mengenai Perbuatan
sekaligus sebesar Rp. Penggugat tersebut karena apabila Melawan Hukum dari Para Tergugat
782.000.000,- (tujuh ratus Penggugat merasa bahwa harga obyek yang menyebabkan kerugian bagi
delapan puluh juta rupiah) Hak Tanggungan sebesar Rp. pihak Penggugat, maka Majelis
dengan perincian : 732.000.000,- (tujuh ratus tiga puluh dua Hakim berpendapat bahwa itu
kerugian materiil sebesar juta rupiah) maka seharusnya meminta adalah hak dari Tergugat-III sebagai
Rp. 732.000.000,-(tujuh untuk obyek Hak Tanggungan dijual di pemenang lelang atas obyek Hak
ratus tiga puluh dua juta bawah tangan kepada Tergugat-II agar Tanggungan berdasarkan SHM No.
rupiah) dan kerugian didapati harga tinggi. Hal itu 1644 atas nama Adi Subkhan Ifana.
immaterial sebesar Rp. dimungkinkan menurut UU No. 4 Tahun Karena Penggugat tidak dapat
50.000.000,- (lima puluh 1996 tentang Hak Tanggungan. Namun membuktikan dalil gugatan yang
juta rupiah). sudah diberi waktu selama kurun waktu menyatakan Tergugat-II, Tergugat-
10 (sepuluh) tahun tidak dimanfaatkan III dan Tergugat-IV telah melakukan

77
Dikutip dari surat Putusan Nomor : 04/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 34-35.

64
dengan baik oleh Penggugat. perbuatan melawan hukum, maka
Majelis Hakim menyatakan dalil
2. Tergugat--III Adi Subkhan Ifana :
gugatan pada poin 5 (lima) ini tidak
sebagai pemenang lelang yang sah,
beralasan hukum dan patut untuk
Tergugat-III telah melakukan pelelangan
ditolak oleh Majelis Hakim.
sesuai dengan prosedur lelang
sebagaimana diatur Pasal 13 ayat (1)
PMK No. 93/PMK.06/2010 sebagaimana
diubah dengan PMK No.
106/PMK.06/2013. Selain itu Penggugat
tidak membuktikan perbuatan Tergugat-
III mana yang melawan hukum, dan oleh
sebab itu dalil Penggugat yang meminta
ganti kerugian harus ditolak.

3. Tergugat IV KPKNL Semarang :

Tindakan melawan hukum yang dilakukan


oleh Para Tergugat satupun tidak dapat
dibuktikan oleh Penggugat, oleh sebab itu
tuntutan ganti rugi materiil maupun
immaterial tidak dapat dikatakan
berdasarkan hukum, dan layak untuk
ditolak.

6. meminta untuk 1. Tergugat--III Adi Subkhan Ifana :


Berdasarkan pada pertimbangan
dibatalkannya permohonan sudah menjadi Hak Tergugat-III sebagai
yang sebelumnya telah diuraikan,
eksekusi dalam perkara pemenang lelang yang sah, untuk
Majelis Hakim memiliki pandangan
Perdata Nomor : memohonkan eksekusi kepada Pengadilan
bahwa pelelangan dan permohonan
04/Pen.Eks/2015/PN.Slt Negeri Salatiga. Tergugat-III
eksekusi atas SHM No. 1644 a.n
yang diajukan Tergugat III memenangkan lelang secara patut dan sah
Budi Kabul seluas 366 M2 yang
melalui Pengadilan Negeri berdasarkan hukum dan telah memenuhi
letaknya berada di Ds. Ngampel,
Salatiga, disebabkan syarat formil. Oleh sebab itu dalil
Kel. Blotongan, Kec. Sidorejo, Kota
adanya perbuatan melawan Penggugat yang meminta dibatalkannya
Salatiga ini telah sah dimiliki oleh
hukum. permohonan eksekusi harus ditolak.
Tergugat-III Adi Subkhan Ifana

2. Tergugat--IV KPKNL Semarang : sebagai pemenang lelang. Sudah

65
sepatutnya pihak Adi Subkhan Ifana
Permohonan lelang kepada Tergugat-IV
memohon eksekusi Obyek Hak
yang diajukkan oleh Tergugat-II sudah
Tanggungan kepada Pengadilan
dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 3
Negeri Salatiga. Maka dari itu, dalil
PMK No. 106/PMK/2013 tentang
Penggugat pada poin 6 (enam) ini
perubahan atas PMK No.
ditolak oleh Majelis Hakim dengan
93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk
alasan karena tidak beralasan
pelaksanaan lelang. Selain itu pelelangan
hukum.
juga didasarkan pada ketentuan Pasal 6
UUHT No. 4 Tahun 1996. Dengan
demikian Permohonan Eksekusi oleh
Tergugat-III juga tidak dapat dibatalkan
karena pelaksanaannya telah memenuhi
prosedur hukum yang berlaku. Oleh sebab
itu alasan Penggugat yang menyatakan
Tergugat melakukan perbuatan melawan
hukum tidak dapat dibenarkan.

7. Para Tergugat dihukum 1. Tergugat--II Bank Danamon Cabang Menanggapi dalil Penggugat ini,
untuk menanggung resiko Salatiga : Majelis Hakim tidak
(bila ada) atau resiko yang mempertimbangkan lagi,
terjadi akan beralih kepada Pelelangan terhadap obyek sengketa yang dikarenakan permohonan lelang dan
pihak ketiga. dimohonkan kepada Tergugat-IV eksekusi a quo beralasan hukum.
merupakan pelelangan yang tidak Sedangkan dalil-dalil pokok dari
melanggar hukum, maka apabila Penggugat telah dibantah seluruhnya
Penggugat meminta untuk para Tergugat oleh Para Tergugat dan ditolak oleh
dihukum menanggung resiko yang akan Majelis Hakim, maka dalil gugatan
terjadi adalah hal yang mengada-ada. Penggugat pada poin 7 (tujuh) ini
ditolak tanpa dipertimbangkan oleh
2. Tergugat--IV KPKNL Semarang :
Majelis Hakim.

Sebagai pihak yang dimintakan


permohonan lelang oleh Tergugat-II,
maka sudah sepatutnya Tergugat-IV
memperoleh persyaratan-persyaratan yang
sesuai dan sah berdasarkan hukum, karena
menyangkut kepentingan pihak-pihak

66
lain. Oleh sebab itu apabila timbul suatu
permasalahan akibat pelelangan tersebut,
maka pihak yang merasa keberatan harus
dapat membuktikan hal mana yang
membuat kerugian itu timbul.

8. Para Tergugat dihukum Tergugat--IV KPKNL Semarang :


Berdasarkan pada alasan-alasan
untuk membayar biaya
Majelis Hakim sebelumnya yang
perkara yang timbul dalam Perihal tuntutan Penggugat untuk
perkara ini. membayar biaya perkara yang timbul tidak menimbang ulang dalil-dalil
dibebankan oleh Para Tergugat, pihak Penggugat, karena dalil pokoknya
Tergugat-IV menolak dalil tersebut karena telah dibantah untuk kesemuanya,
berdasarkan tanggapan-tanggapan Para maka Majelis Hakim menyatakan

Tergugat sebelumnya telah dapat dalil pada Poin 8 (delapan) ini

dibuktikan bahwa pihak Penggugat lah ditolak dan Penggugat dinyatakan

yang telah melakukan wanprestasi, dan sebagai pihak yang dikalahkan.

dalil-dalil gugatan Penggugat dapat Beban biaya perkara yang timbul

dibantah oleh Para Tergugat. Oleh sebab juga dibebankan pula pada pihak

itu Tergugat-IV memohon kepada Majelis yang dikalahkan dalam perkara ini,

Hakim untuk biaya perkara dibebankan yaitu Penggugat.

kepada Penggugat.

67
C. ANALISIS

Berdasarkan uraian kasus di atas lebih lanjut penulis akan

memberikan analisis terkait Putusan Perkara Perdata Gugatan Nomor :

4/Pdt.G/2016/PN.Slt sebagai berikut :

1. Kedudukan Penggugat Dalam Perkara

Kedudukan Penggugat menurut Penggugat bukan sebagai pihak

yang terlibat dalam perjanjian hutang, melainkan adalah sebagai pihak

yang hanya membantu Tergugat-I yang sedang kesulitan modal usaha

dengan meminjamkan Sertifikat Hak Atas Tanah sebagai jaminan

pelunasan pinjaman modal usaha pada Tergugat-II oleh Tergugat-I.

Namun dalam perjanjian pinjaman modal usaha SKIM KUR Bank

Danamon Cabang Salatiga, pihak Penggugat-lah yang harus memberikan

persetujuan perjanjian atas pinjaman utang modal usaha, karena

Penggugat adalah pemilik Hak Atas Tanah tersebut. Sementara menurut

pihak Tergugat-II Bank Danamon Cabang Salatiga, Penggugat disini

berperan sebagai pihak dalam perjanjian utang karena telah mengikatkan

diri dan menjadi pihak yang memberikan Hak Tanggungan kepada

Tergugat-II dengan persetujuan dari isteri Penggugat, yang dimuat dalam

Perjanjian Kredit Nomor : DSP/0021/547/1104 tertanggal 8 November

2004 dan APHT Nomor 835/SDR/2004 tertanggal 8 November 2004

yang ditandatangani oleh Penggugat beserta isterinya.

68
Analisis Penulis melihat fakta hukum dalam duduk perkara,

kapasitas Penggugat adalah sebagai Pihak, karena Penggugat telah

mengikatkan diri dengan pihak Tergugat-II dibuktikan dengan adanya

Perjanjian kredit Nomor : DSP/0021/547/1104 tertanggal 8 November

2004, sehingga benar dalil Tertugat-II. Putusan Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Salatiga dalam Putusan Nomor 4/Pdt.G/2016/PN.Slt

memutuskan bahwa gugatan Penggugat seluruhnya tidak beralasan

hukum dan patut ditolak karena Hakim beranggapan bahwa berdasarkan

alat bukti yang dihadirkan oleh Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV

telah sesuai dan sah menurut undang-undang yang berlaku.

2. Kesalahan-Kesalahan Majelis Hakim

Penulis tidak setuju dengan pendapat Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Salatiga yang memutuskan perkara hanya berdasar kepada nilai-

nilai yang bersifat formal dan subyektif, tidak melihat pula pada sisi

nilai nonformal dan obyektif. Kesalahan-kesalahan Majelis Hakim

adalah tidak memandang pada hal-hal berikut ini :

2.1 Nilai Limit Lelang

Hakim tidak memperhatikan prosedur lelang yang baik terkait

dengan harga yang diajukkan oleh Tergugat-II, sangat jauh dari harga

pasaran dari obyek jaminan yang pada saat penulis menulis karya

ilmiah ini ditaksir telah mencapai Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar

rupiah), karena berada pada lokasi yang sangat strategis. Sedangkan

69
harga limit lelang yang diajukkan oleh Tergugat-II adalah Rp.

109.800.000 (seratus Sembilan juta delapan ratus ribu rupiah), yang

mana hal ini jelas merugikan bagi pihak Penggugat karena harga

yang ditetapkan sangat rendah dari harga pasar saat ini. Namun,

pihak Tergugat-II memberikan tanggapan mengenai harga lelang

yang ditetapkan telah sesuai dengan metode yang dapat

dipertanggung jawabkan oleh tim penaksir yang diberi kepercayaan

oleh Tergugat-II, dengan memperhatikan nilai pasar dan risiko

penjualan lelang, seperti bea lelang, penguasaan dan penyusutan.

Penulis tidak setuju terhadap tanggapan Tergugat-II akan hal ini,

karena dalam rangka menciptakan keadilan bagi para pihak

seharusnya Majelis Hakim mempertimbangkan terhadap penetapan

nilai lelang obyek jaminan yang diatas Rp. 1.000.000.000,- (satu

miliar rupiah) harus menggunakan Apraiser Independen, yaitu

perusahaan penilai yang tidak terikat dengan bank dan debitur untuk

melakukan kegiatan penilaian berdasarkan Kode Etik Penilaian

Indonesia, serta ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan oleh

Dewan Penilai Indonesia, yang memiliki izin usaha dari instansi

berwenang78. Penilaian dari Apraiser Independen setidaknya adalah

80% (delapan puluh persen) dari harga pasar obyek jaminan.

78
Kamus Besar Bahasa Indonesia.

70
2.2 Peningkatan SKMHT ke APHT

Peningkatan SKMHT ke APHT harus memperhatikan pula

pada ketentuan jangka waktu diperbolehkan, yaitu apabila hak atas

tanah belum terdaftar maka harus dipenuhi dalam jangka waktu 3

(tiga) bulan, atau dalam masa 90 (Sembilan puluh) hari dan apabila

sudah terdaftar harus dipenuhi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan,

atau dalam masa 30 (tiga puluh) hari 79. Namun fakta dalam

persidangan, peningkatan SKMHT yang dibuat oleh Penggugat Budi

Kabul (melalui marketing Bank Danamon Salatiga) dipenuhi dalam

kurun waktu 10 (sepuluh) tahun dengan dibuktikan pada Sertifikat

Hak Tanggungan No.09/2005 tertanggal 11 Januari 2015 atas nama

PT Bank Danamon Indonesia80.

2.3 Penilaian Hakim

Mengenai cara pandang dan penilaian hakim, menurut penulis

penilaian hakim dalam memberikan penilaian terhadap permasalahan

ini sangat jauh dari hukum progresif dan keadilan substansial. Hukum

progresif itu sendiri menurut Guru Besar Ilmu Hukum UGM

Yogyakarta yang juga Wakil Menteri Hukum dan Ham periode 19

Oktober 2011-20 Oktober 2014, Denny Indrayana

mengkolaborasikannya ke dalam 13 (tiga belas) karakter yang antara

lain hukum progresif bukan hanya teks, tetapi juga konteks. Hukum

progresif mendudukan kepastian, keadilan dan kemanfaatan dalam

79
Pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.
80
Dikutip dari Turunan Putusan No. 04/Pdt.G/2016/PN.Slt., h. 10.

71
satu garis. Hukum yang terlalu kaku akan cenderung tidak adil.

Hukum progresif bukan hanya taat pada formal procedural, tetapi

juga pada material-substantif81. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi,

Moh. Mahfud MD memberikan pendapat mengenai hukum progresif

bagi seorang hakim, adalah hukum yang bertumpu pada keyakinan

hakim, dimana hakim tidak terbelenggu pada rumusan undang-

undang. Dengan hukum progresif, seorang hakim berani mencari dan

memberikan keadilan dengan melanggar undang-undang, apalagi tak

selamanya undang-undang itu adil82. Berdasarkan pendapat dari

beberapa ahli tersebut, penulis melakukan analisis keputusan yang

diambil oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Salatiga dengan

hukum progresif dan keadilan substansi, maka penulis berkesimpulan

bahwa putusan dan penilaian hakim tersebut belum menunjukkan

adanya penerapan hukum progresif dan keadilan yang substansial

(berkaitan dengan hukum materil). Oleh sebab itu menurut penulis,

hakim belum dapat memberikan penilaian yang tepat, karena tidak

dapat menciptakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

2.4 Penerapan Asas Dalam Peradilan

Majelis Hakim dalam pelaksanaan peradilan menurut

pandangan penulis belum sepenuhnya memenuhi asas-asas hakim

dalam peradilan. Berikut adalah beberapa asas yang tidak didasarkan

oleh hakim dalam mengambil keputusan :


81
http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt529c62a965ce3/menggali-karakter-hukum-
progresif dikunjungi pada tanggal 24 Agustus 2017 pukul 15.53.
82
Ibid.

72
a. Asas Tidak Berpihak (Imparsialitas)

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa

Pengadilan seharusnya mengadili menurut hukum dan tidak

membeda-bedakan orang. Hakim dalam memeriksa dan mengadili

suatu perkara harus berlaku obyektif dan netral. Namun dalam hal

ini Majelis Hakim tidak berlaku obyektif. Majelis Hakim tidak

mempertimbangkan mengenai harga pasar yang sebenarnya dengan

harga limit lelang yang diajukkan Tergugat-II Bank Danamon

Salatiga yang terlalu rendah dari harga pasar dan menyebabkan

ketidak adilan bagi Penggugat Budi Kabul.

b. Asas Ex Aequo Et Bono (Putusan Yang Adil)

Putusan yang adil bagi kedua belah pihak yang berperkara harus di

dasarkan dengan mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak.

Hakim dalam melakukan penilaian harus mempertimbangkan hal-

hal yang prosedural dan substansial secara seimbang. Apabila

hanya menerapkan salah satu di antara kedua hal tersebut maka

dapat dipastikan aka nada keadilan yang tidak tercapai dalam

putusan yang diambil oleh seorang hakim. Berdasarkan analisis

penulis bahwa hakim hanya mempertimbangkan dari hal-hal yang

bersifat procedural saja, akibatnya ada hak dan keadilan bagi salah

satu pihak yang dirugikkan, yaitu hak bagi Penggugat untuk

memperoleh harga jual obyek jaminan yang dirasa patut dan

pantas, dengan berdasarkan pada nilai obyektif.

73
c. Asas Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman

Negara menjamin adanya kebebasan dalam penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman dengan maksud agar terbebas dari pengaruh

dan campur tangan kekuasaan lain di luar kehakiman, kecuali

terhadap hukum dan keadilan. Namun pada kenyataannya

peradilan di Indonesia menjadi subordinasi dari lembaga lainnya.

Promosi dan mutasi nasib serta kesejahteraan para hakim berada di

tangan departemen-departemen eksekutif yang secara psikologis,

hakim harus tunduk atas perintah eksekutif83. Hal ini menyebabkan

hakim tidak berani mengambil keputusan yang keluar dari

subyektif dan bunyi hukumnya. Hal ini pula yang ada dalam

keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Salatiga, yang hanya

bertumpu pada bunyi hukumnya saja, tidak pada keadilannya.

3. Keabsahan Pelelangan Yang Menyebabkan Penggugat Terancam

Kehilangan Tempat Tinggal

Penggugat Budi Kabul merasa bahwa pelelangan yang dilakukan oleh

Tergugat II (Bank Danamon Cabang Salatiga) dengan Tergugat IV

(Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Kota Semarang) tidak

dapat dikatakan sebagai lelang yang sah karena Penggugat tidak merasa

bahwa Penggugat beserta dengan isterinya telah membuat, menyepakati

83
Ahmad Kamil, Loc.Cit., h. 249.

74
dan menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas

tanah dan bangunan milik Penggugat.

YURIDIS : berdasarkan Pasal 25, Pasal 33, dan Pasal 39 Undang-

Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria

(UUPA) menyebutkan mengenai keberadaan lembaga Hak Tanggungan

sebagai jaminan utang atau kredit, yang menyatakan bahwa Hak Guna

Bangunan, Hak Milik dan Hak Guna Usaha dapat dijadikan sebagai

jaminan utang dengan dibebani Akta Pemberian Hak Tanggungan.

Pengikatan dengan Jaminan Hak Tanggungan dilakukan oleh pihak

Debitur untuk mendapatkan kredit pinjaman dari Bank, menjadikan

barang tidak bergerak yang berupa tanah (Hak atas Tanah) berikut benda-

benda yang benda-benda yang tidak berkaitan dengan tanah tersebut

(bangunan, tanaman, patung, dan sebagainya) sebagai jaminan kepada

kreditor (Bank)84. Pinjaman dengan jaminan Hak Milik harus di

jaminkan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Pinjaman yang

disepakati Penggugat dan Terggugat-II dibuat di hadapan marketing

Bank Danamon Salatiga, yang artinya bahwa pengikatan tersebut dibuat

berdasarkan SKMHT dan harus ditingkatkan menjadi APHT. Maka

berdasarkan segi yuridis, pembuatan APHT oleh Tergugat-II telah sesuai

dengan prosedur hukum yang berlaku.

FILOSOFIS : Berdasarkan Pasal 15 UUHT, peningkatan jaminan Hak

Tanggungan yang dilakukan oleh pihak Debitur dari SKMHT ke APHT

harus didaftarkan dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari atau

84
Adrian Sutedi, Op.Cit., h. 88.

75
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan, untuk hak atas tanah yang belum

terdaftar didaftarkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari atau dalam

jangka waktu 1 (satu) bulan. Apabila lebih dari jangka waktu yang

ditetapkan Undang-Undang, maka Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan tersebut batal demi hukum. Fakta dalam kasus tersebut yang

terjadi adalah SKMHT tetap dapat ditingkatkan ke APHT, yang

kemudian ditingkatkan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun. Artinya

dalam hal ini telah melampaui jangka waktu, dan penggunaannya harus

batal demi hukum. Namun yang terjadi adalah peningkatan SKMHT ke

APHT tetap dapat diproses walaupun telah melampaui masa berlakunya.

Maka dalam hal ini Majelis Hakim melakukan kesalahan karena

membenarkan tata cara lelang yang tidak tepat, yang mana SKMHT telah

melampaui masa berlakunya namun tetap dapat ditingkatkan ke APHT.

4. Penentuan Nilai Limit Lelang

Penggugat merasa ketidak adilan bagi dirinya juga ada pada keputusan

Tergugat II yang menetapkan harga limit lelang di bawah harga rata-rata

yaitu Rp. 109.800.000,- (seratus Sembilan juta delapan ratus ribu rupiah)

dan terjual seharga Rp. 110.200.000,- (seratus sepuluh juta dua ratus ribu

rupiah) sedangkan harga pasar tanah saat ini di tempat Penggugat tinggal

ditaksir sekitar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) per meter perseginya

yang mana pada saat ini ditaksir telah mencapai Rp. 2.000.000.000,- (dua

miliar rupiah) berdasarkan harga pasar tanah obyek jaminan.

76
YURIDIS : Pihak yang berhak menentukkan nilai limit lelang

berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) PMK

Nomor 93/PMK.06/2010 jo PMK No. 106/PMK.06/2013 dan

sebagaimana telah dicabut dan diganti dengan PMK Nomor

27/PMK.06/2016 yaitu berdasarkan penilaian dari penilai ataupun

penaksiran dari tim penaksir yang berasal dari instansi atau perusahaan

penjual yang melakukan penaksiran berdasarkan metode yang dapat

dipertanggungjawabkan, termasuk kurator untuk benda seni atau benda

antik/kuno. Untuk harga obyek jaminan di atas Rp. 1.000.000.000,- (satu

miliar rupiah) harus diadakan aanwijzing, yaitu dengan perusahaan

apreisel independen.

FILOSOFIS : Prosedur penentuan nilai limit lelang berdasarkan Pasal

43 ayat (2) PMK Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Prosedur Lelang

menetapkan bahwa yang menentukan nilai limit obyek jaminan adalah

dari pihak Penjual, yaitu Tergugat-II. Namun nilai yang ditetapkan sangat

rendah jika dibandingkan dengan harga pasar dari tanah obyek Hak

Tanggungan yang saat ini mencapai sekitar Rp. 2.000.000,- (dua juta

rupiah) per meter perseginya. Dan nilai dari pada obyek tanggungan

adalah sekitar Rp. 732.000.000,- (tujuh ratus tiga puluh dua juta rupiah)

(saat ini harga tanah dan bangunannya ditaksir telah mencapai Rp.

2.000.000.000,- (dua miliar rupiah)), namun dari pihak Tergugat-II

mengajukan nilai limit lelang sebesar Rp. 109.800.000,- (seratus

Sembilan juta delapan ratus ribu rupiah) dan terjual dengan penawaran

lelang tertinggi seharga Rp. 110.200.000,- (seratus sepuluh juta dua ratus

77
ribu rupiah) yang dimenangkan oleh Tergugat-III. Dalam hal ini

menghindari penentuan nilai limit lelang yang tidak merugikkan

Penggugat maka harus menggunakan penilaian dari Apreisel Independen,

tujuannya agar tidak ada kesewenangan dalam penentuan nilai limit, dan

tidak terpaut sangat jauh dari harga pasarnya.

5. Pemberian Surat Somasi atau Surat Peringatan Yang Tidak

Wajar

Tunggakan angsuran terjadi pada kurun waktu sepuluh tahun,

yakni dari bulan April 2005 hingga bulan Mei 2015, dan pelayangan

Surat Peringatan diberikan pada :

Peringatan I : Tanggal 3 Mei 2015;

Peringatan II : Tanggal 18 Mei 2015 dan;

Peringatan III : Tanggal 2 Juli 201585.

YURIDIS : apabila Debitur tidak melaksanakan pembayaran angsuran

selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, atas fasilitas kredit yang diberikan oleh

kreditor (Bank) maka digolongkan sebagai kredit macet. Upaya yang

dilakukan bank (kreditor) sebelum 21 (dua puluh satu) bulan yaitu

memberikan somasi (peringatan) kepada debiturnya atas keadaan kreditnya.

Somasi ini penting untuk mengukuhkan bahwa debitur benar-benar telah

melakukan wanprestasi, dan sebagai upaya tindakan lanjut (eksekusi hak

85
Turunan Putusan Nomor 4/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 10.

78
tanggungan dan pelelangan) apabila debitur benar-benar tidak melaksanakan

kewajibannya86. Namun pemberian somasi harus berdasarkan dengan

kepatutan yang wajar dalam dunia perbankan. Setidaknya setelah 90

(sembilan puluh) hari keterlambatan, maka diberikan somasi I, sebelum 21

bulan diberikan somasi II, dan setelah melampaui 21 bulan diberikan somasi

III.

FILOSOFIS : Dalam hal ini pihak Bank Danamon Cabang Salatiga

melakukan pembiaran bunga yang menumpuk dan keterlambatan denda

angsuran yang sangat besar karena tidak memberikan peringatan kepada

nasabah yang pada umumnya keterlambatan hingga 3 (tiga) bulan berturut-

turut maka Bank akan memberikan Surat Peringatan I yang isinya member

peringatan atas keterlambatan pembayaran. Sedangkan Bank Danamon

Cabang Salatiga baru memberikan Surat Peringatan I hingga ke III setelah

10 (sepuluh) tahun tunggakan angsuran berlangsung, atau pada tahun 2015.

Ditinjau dari segi filosofis, maka pemberian peringatan semacam ini tidak

dapat dibenarkan, karena dapat memicu kecurangan yang dilakukan oleh

pihak bank untuk mengambil untung yang besar.

86
Op. Cit., Adrian Sutedi, h. 110-111.

79

You might also like