You are on page 1of 9

PENGERTIAN DAN SEJARAH AHLUSSUNAH WAL JAMA’AH

Oleh: PMII Kabupaten Bekasi

Pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah

ٍ َ‫ت َعلَى ثِْنَت ْي ِن وس ْب ِعين ِملَّةً وَت ْفتَ ِر ُق َُّأمتِي َعلَى ثَال‬ ‫ال رس ُ ِ ِإ ِ ِإ ِئ‬ ِ ‫َعن َع ْب ِد‬
‫ث‬ َ َ ََ َ ‫" َّن بَني ْس َرا‬: ‫ول اهلل‬
ْ َ‫يل َت َف َّرق‬ ُ َ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫ ق‬t ‫اهلل بْ ِن َع ْم ٍرو‬ ْ
ِ ‫وسب ِعين ِملَّةً ُكلُّهم فِي النَّا ِر ِإالَّ ِملَّةً و‬
َ ‫اح َد ًة قَالُوا َوَم ْن ِه َي يَا َر ُس‬
ْ ‫ال َما َأنَا َعلَْي ِه َو‬
."‫َأص َحابِي‬ ِ ‫ول‬
َ َ‫اهلل ق‬ َ ُْ َ َْ َ
.) ‫يب‬ٌ ‫يث َح َس ٌن َغ ِر‬ ٌ ‫ َه َذا َح ِد‬:‫) وقال‬2565( ‫(رواه الرتمذي‬
Dalam hal ini, pengertian Aswaja ( Ahl al-Sunnah Wa al-Jama‟ah), secara bahasa merupakan istilah yang terbentuk dari
tiga komponen: ‫ السنة‬, ‫ اهل‬dan ‫ الجماعة‬. Kata ‫ اهل‬artinya keluarga; golongan atau pengikut. Kata ‫ السنة‬berarti orang-
orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal perbuatan Nabi Muhammad SAW). 1 Di dalam Kitab
Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah karya Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy ‘ariy halaman 5 di sebutkan bahwa:

‫ وشرعا اسم للطريقة المرضية المسلوكة في الدين سلكها رسول اهلل صلى اهلل عليه‬،‫السنة لغة الطريقة ولو غير مرضية‬
‫ عليكم بس نتي وس نة‬:‫ لقول ه ص لى اهلل علي ه وس لم‬،‫وس لم أو غ يره ممن ه و علم في ال دين كالص حابة رض ي اهلل عنهم‬
‫يخ‬$$‫رة الش‬$$‫ والسني منسوب إلى السنة اهـ (حض‬،‫ وعرفا ما واظب عليه مقتدى نبيا كان أو وليا‬،‫الخلفاء الراشدين من بعدي‬
.)5/‫ رسالة أهل السنة واجلماعة ص‬،‫حممد هاشم أشعري‬
Secara Kebahasaan: Jejak dan Langkah walaupun tidak di ridhoi. Secara Syar’i: Sebuah nama jejak yang diridhai yang
menjadi pijakan dalam Agama, yang pernah ditempuh oleh Rasulullah SAW atau selain beliau dari orang yang
mengetahui dalam urusan Agama seperti Sahabat. Berdasarkan Hadist Nabi SAW. : Wajib atas kamu sekalian
mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin dari setelahku. Secara ‘Urfi (tradisi): Ajaran yang dilalui oleh
seorang panutan dalam Agama, Nabi atau Wali. Dan adapun As Sunni adalah yang di nisbatkan kepada Sunnah.
Sedangkan makna ‫الجماعة‬: Menjaga kekompakan, kebersamaan dan kolektifitas, kebalikan dari kata al-furqah
(golongan yang berpecah belah). Dikatakan al-jama’ah, karena golongan ini selalu memelihara kekompakan,
kebersamaan dan kolektifitas terhadap sesama. Meskipun terjadi perbedaan pandangan di kalangan sesama mereka,
perbedaan tersebut tidak sampai mengkafirkan, membid’ahkan dan memfasikkan orang yang berbeda.
Aswaja adalah komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW dan jalan para
sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak batiniyah. 2
Pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani:
Artinya: “Yang dimaksud dengan As-Sunah adalah
apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW
(meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau).
Sedangkan pengertian Al-Jama’ah adalah segala
sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para
Sahabat Nabi Muhammad SAW pada masa
Khulafaurrashidin yang empat telah diberi hidayah
(mudah-mudahan Allah SWT member Rahmat pada
mereka semua).” (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-
Haqq, Juz II., Hal. 80).
Syaikh Abi Al-Fadhl bin Abdussyukur menjelaskan pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah:
Artinya: “Yang disebut Ahlussunah Wal Jama’ah
adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada
As-Sunah Nabi Muhammad SAW dan jalan pada
sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan,
amal-amal lahiriyah serta akhlaq hati.” (Al-Kawakib
al-Lamma’ah, Hal. 8-9).
Mengenai dasar apa saja Sumber Hukum Islam yang dipakai oleh faham Ahlussunah wal Jama’ah dalam menentukan
hukum Islam, adalah sesuai dengan firman
Allah SWT:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman,


patuhlah kamu kepada Allah SWT, dan
1
Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama‟ah; Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008), hal. 5
2
FKI LIM, Gerbang Pesantren, Pengantar Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama‟ah, (Kediri : Litbang Lembaga Ittihadul Muballigin PP. Lirboyo, 2010),
hal. 3.
patuhlan kamu kepada Rasul serta Ulu Al-Amri diantara kamu sekalian, kemudian jika kamu berselisih paham tentang
sesuatu, maka kembalilah kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, jika benar-benar kamu beriman pada hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa: 59).
Berdasarkan ayat ini, ada empat dalil yang dapat dijadikan pijakan dalam menentukan hukum, yakni AlQur’an, Al-
Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Dari sinilah ditemukan bahwa makna Aswaja adalah ajaran yang mengikuti apa yang Rasul, dan Sahabat kerjakan.
Dengan demikian pada dasarnya aswaja sudah ada pada zaman Rasul. tetapi Aswaja pada waktu itu hanya sebagai
realitas komunitas muslim belum ada. Atau dengan kata lain kaum muslimin pada masa Rasulullah itulah
Aswaja.Dengan demikian Ahlusunnah waljama'ah secara umum dapat diartikan sebagai "para pengikut tradisi Nabi
Muhammad dan ijma (kesepakatan) ulama". 3

Sejarah Kemunculan Persoalan Persoalan Kalam 4


Pada zaman khalifah Abu Bakar (632-634 M) dan Umar bin Khattab (634-644) problema keagamaan masih relative
kecil termasuk masalah aqidah. Tapi setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik tahta (644-656) fitnah pun timbul.
Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim, salah seorang penyulut pergolakan. Meskipun
pada masa pemerintahan Ustman, Abdullah bin Saba’ meniupkan perselisihan umat Islam, namun kemelut yang serius
justru terjadi setelah Ustman mati terbunuh (656).
Semenjak peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib
mengkristal menjadi Perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali yang menerima tipu
muslihat Amr bin Al-Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak
disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan
melalui tahkim. Putusan hanya dating dari Allah dengan kembali pada hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. La
hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau La hukma illa Allah (tidak ada perantara selain Allah)
menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan
barisannya. Dalam sejarah Islam, mereka dikenal dengan nama Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri
atau secerders.5
Diluar pasukan yang membelot Ali, ada pula yang sebagian besar mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian
memunculkan kelompok Syi’ah. Menurut W. Montgomery Watt, Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara
Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang
ditawarkan Mu‘awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali, kelak disebut Syi’ah
dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij. 6
Harun Nasution, lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang
kafir dan sipa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Khawarij sebagaimana telah disebutkan, memandang bahwa orangorang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali,
Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, adalah kafir berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Ma’idah ayat 43-
44.7
Artinya: “Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu
menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai
Taurat yang didalamnya (ada) hukum Allah, kemudian
mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan
mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.”
Secara sederhana persoalan tersebut telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu:
1. Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, atau
tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun
soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
3. Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat diatas, bagi mereka orang yang berdosa besar nukan kafir,
tetapi buan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mumin dan kafir, yang dalam bahasa Arab-nya terkenal
dengan istilah al-manzilah manzilatain (posisi diantara dua posisi).8
Dalam Islam, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan nama Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah,
manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariyah, berpendapat sebaliknya
bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dalam kehendak dan perbuatannya. 9 Aliran Mu’tazilah yang bercorak
rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hanbali, yaitu pengikut-pengikut
Ibn Hanbal. Mereka menantang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari (935 M). disamping aliran Asy’ariyah timbul pula aliran Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran

3
Zamakhsyari Dhofier, Tradi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994) hlm.148
4
Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2003) hlm. 27-29.
5
W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi & Filsafat Islam, Terj. Umar B. (Jakarta: P3M, 1987). hlm. 10.
6
Ibid., hlm. 6-7.
7
Ibid.
8
Ibid. hlm. 8.
9
Ibid. hlm. 9.
Mu’tazilah. Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian terkenal dengan
nama teologi Al-Maturidiyah.10 Aliran-aliran yang berkembang setelah peristiwa Tahkim:
1. Khawarij
Kata khawarij secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul atau
memberontak. Khawarij merupakan kelompok pertama yang tidak mengakui bahkan memberontak terhadap Ali Bin
Abi Thalib setelah terjadinya Arbitrase antara Ali dan Muawiyah. Diantara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah
berikut ini: Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh kaum Muslimin; Khalifah tidak harus berasal dari
keturunan Arab. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung
maka ia wajib diperangi karena hidup dalam dar el-harb (Negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap
berada dalam dar al-Islam (Negara Islam).
2. Syiah
Syiah secara bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara terminology adalah
sebagian kaum muslimin yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk kepada keturunan Nabi
Muhammad Saw, atau orang yang disebut sebagai ahl-bait. Ajaran-ajaran Syiah
a. Tauhid. Tuhan adalah Esa, baik ekstensi maupun esensi-Nya. Keesaan adalah mutlak. Keesaan Tuhan tidak
murakkab (tersusun).
b. Nubuwah. Setiap mahkluk membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia.
c. Ma’ad. Ma’ad adalah hari akhir untuk menghadapi Tuhan di akhirat. Mati adalah kehidupan transit dari kehidupan
dunia menuju kehidupan akhirat.
d. Imamah. Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk manusia yang dipilih
dari keturunan Ibrahim dan didelegasikan kepada keturunan Muhammad Saw.
e. Adil. Tuhan menciptakan kebaikan di Alam semesta ini merupakan keadilan. Tuhan memberikan akal kepada
manusia untuk mengetahui perkara yang salah melalui perasaan.
3. Murjiah
Nama Murjiah berasal dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Aliran
ini muncul sebagai reaksi dari fatwa khawarij, yang dipelopori oleh Ghailan Dimasqy, Beliau tidak menerima akan
fatwa tersebut. Mereka ini dalam perkembangan selanjutnya menjadi mazhab Murji’ah. Menurut mereka, karena
fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya ditunda saja, diserahkan kepada Allah di akhirat
kelak.
Doktrin-doktrin Murjiah secara umum sebagai berikut: Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga
Allah yang memutuskannya di hari kiamat kelak. Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam
peringkat al-Khalifah ar-Rasyidun. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk mendapat
ampunan dan rahmat dari Allah SWT. Kelompok Murjiah terbagi dalam empat kelompok besar: Murjiah al-Khawarij,
Murjiah al-Qadariyah, Murjiah Jabbariyah, dan Murjiah Murni.
4. Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu.
Paham Jabariyah pertama kali diperkenalkan oleh Ja’ad bin Dirham kemudian disebarluaskan oleh Jahm bin
Shafwan dari Khurasan (127H/745M). Doktrin-doktrin Jabariyah secara umum dapat dipaparkan sebagai berikut,
yaitu: Fatalisme, yakni kepasrahan total yang menganggap manusia tidak dapat melakukan apa-apa, tidak memiliki
daya, dan dipaksa berbuat oleh Allah Swt.
5. Qodariyah
Qodariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu Qadara, yang artinya kemampuan dan kekuatan. Menurut terminology,
Qodariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala perbuatan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.
Mazhab Qadariyah didirikan oleh Ma’bad ibn Khalid al-Juhani (79H/699 M). Secara garis besar, doktrin-doktrin
Qodariah pada dasarnya berkisar tentang takdir Tuhan, yaitu: Manusia berkuasa atas segala perbuatannya; Takdir
adalah ketentuan Allah Swt yang diciptakan-Nya bagi seluruh alam semesta beserta seluruh isinya, sejak zaman
azali, yaitu hukum dalam istilah al-Quran disebut Sunatullah.
6. Mu’tazilah
Secara harfiyah kata Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti
juga menjauh atau menjauhkan diri. Mu’tazilah yang dipelopori oleh Wasil ibn Atho’. Beberapa versi tentang
pemberian nama Mu’tazilah (golongan kedua) ini, merujuk pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin A’tha, Amr
bin Ubaid dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Washil mengikut pengajaran yang diberikan oleh Hasan al-Basri
tentang dosa besar. Ketika Hasan Basri masih berpikir. Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan,
“Penulis berpendapat bahwa orang yang berdosa besar, bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada dalam
posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Basri dan
pergi di tempat lain di lingkungan masjid. Disana Washil mengulangi pendapatnya di depan para pengikutnya.
Dengan peristiwa ini, Hasan Basri berkata,” Wazhil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna). Menurut Asy-
Syahrastani, kelompok yang menjauhkan diri inilah yang kemudian disebut sebagai Mu’tazilah.
7. Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah)
Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu’tazilah. Adalah seorang
sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam
Ibid.
10
pikiran Mu’tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu’tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia
meninggalkan paham Mu’tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu’tazilah. Ilmu Kalam
al-Asy’ar’i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk
menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut
pandangan sebagian besar kaum Sunni. Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama
dengan al-Asy’ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit
perbedaan dengan al-Asy‘ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia (al-Maturidi
mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada al-Asy’ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan
paham Sunni, dan system Ilmu Kalamnya dipandang sebagai “jalan keselamatan”, bersama dengan sistem al-
Asy’ari.

Garis-Garis Besar Doktrin Aswaja


Ahlussunnah Wal Jama‘ah sebagai sebuah aliran (aliran yang menganut faham aswaja/berkonsepkan Aswaja) muncul
karena adanya sebuah respon terhadap aliran Mu‘tazilah yang terkesan terlalu rasional sampai mengenyampingkan
Sunnah.11 Dalam hal ini aliran Ahlussunnah Wal Jama‘ah dibagi menjadi dua golongan diantaranya adalah Asy‘ariyyah
yang dipelopori oleh Abu Hasan Asy‘ari, dan Maturidhiyyah yang dipimpin oleh Abu Mansur Al Maturidi. Dan yang
menyebar ke Indonesia adalah aliran Asy‘ariyyah menjelma menjadi NU yang didirikan oleh Hasyim Asy‘ari.
Namun disini NU tidak hanya sebagai sekedar cabang dari asy’ariyyah, tapi NU adalah organisasi keagamaan yang
sangat patuh, dan konsisten dalam menggunakan aswaja sebagai konsepnya, dan menggunkannya dengan sangat
baik, sehingga NU tidak bisa dilepaskan dengan Aswaja atau boleh kita katakana ketika menyebutkan NU sama
dengan menyebutkan Aswaja. Pada awalya makna Aswaja Indonesia adalah sama dengan pemahaman sebelumnya,
yaitu ajaran yang sesuai dengan Hadits, dan ijma’ ulama. Namun, dalam hal ini terdapat spesifikasi yang lebih
menyesuaikan dengan kultur Indonesia yang majemuk. Menurut KH Bisri Musthofa, definisi Aswaja, yaitu, paham yang
menganut pola madzhab fikih yang empat, Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hambali, dan Imam Maliki. Selain itu,
dalam bidang akidah mengikuti Asy‘ari, dan Maturidi. Dalam bidang tasawuf mengikuti Junaid al Baghdâdî dan al
Ghazâlî.12 Aswaja juga disebut paham yang mengikuti Asy‘ari, dan Maturidi.
Adapun salah satu konsep dari pemahaman Aswaja di sini, yaitu tawasuth, tasamuh, tawazun dan
amarma'rufnahimunkar. Yang dimaksud tawasuth (moderat) ini, sebuah sikap keberagamaan yang tidak terjebak
terhadap hal-hal yang sifatnya ekstrim. Tasamuh, sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima
kehidupan sebagai sesuatu yang beragam. Tawazun (seimbang), sebuah keseimbangan sikap keberagamaan dan
kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang, dan kemudian mengambil posisi yang
seimbang dan proporsional. Amar ma'ruf nahi munkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. 13
Aswaja sebagai paham keagamaan yang di dalamnya mempunyai konsep moderat (tawasut), setidaknya harus
memandang, dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Karena budaya, sebagai kreasi manusia yang
tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bisa terjamin. Budaya memiliki nilai-nilai positif yang bisa
dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara personal maupun sosial. Dalam hal ini asawaja dalam NU lebih
condong bersifat substansial dari pada teknis. 14
Dalam hal ini, berlaku sebuah kaidah fikih " al muhâfazhah alâ al qadîm al shalîh wal al akhzu bil jadidî al ashlâh ",
melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan menggunakan kaidah ini,
pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi budaya. Jadi tidak semuanya budaya itu jelek, selama budaya itu
tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan mengandung kebaikan maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan
dan layak untuk diikutinya. Ini sesuai dengan sebauh kaidah fikih, " al adah muhakkamah" bahwa budaya atau tradisi
(yang baik) bisa menjadi pertimbangan hukum.
Berangkat dari paradigma Aswaja tersebut maka tampak jelas bahwa kaum Aswaja tidak mudah mengkafirkan atau
mensyirikkan orang lain hanya karena dia menggunakan takwil atas teks-teks agama. Ini tentu berbeda dengan perilaku
sebagian kelompok Islam garis keras di Indonesia dewasa ini. Kaum Aswaja bahkan juga tidak mudah menuduh sesat
(bid’ah) terhadapmereka yang berseberangan pendapat menyangkut pengembangan tradisi masyarakat dan pemikiran
keagamaan. Dalam tradisi fiqh sikap Aswaja ini dikemukakan dalam ucapan paraulama fiqh : “Ra’yuna shawab yahtamil
al khata’ wa ra’yu ghairina khatha yahtamil al Shawab”(penda pat kami benar meski mungkin keliru, dan pendapat
orang lain keliru tapi mungkin sajabenar). Pada sisi lain kaum Aswaja tidak sepenuhnya membiarkan
berkembangnyapemahaman yang serba menghalalkan segala cara (ibahiyyah). Untuk menjembatanikesenjangan
pemahaman antar umat, kaum Sunni mengemukakan prinsip “musyawarah” atau“syura” untuk mencapai kesepakakan
dengan damai, tanpa kekerasan.
Paradigma Aswaja di atas diyakini banyak pihak masih memiliki relevansi untuk mengatasi problem politik umat Islam
Indonesia yang tengah berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Aswajalah golongan yang dapat menjawab secara
telak tuduhan “ekstrimis” atau “teroris” yang dialamatkan kepada Islam. Hal ini karena Aswaja tidak pernah mengenal

11
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1986) hlm. 65
12
Mujamil Qomar, , NU Liberal; Dari Tradisionalisme Ahlusunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 62
13
Masyhudi Muchtar, Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama,
(Surabaya: Khalista, Cet. I., Maret 2007) hlm. 51-52
14
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKIS, cet v, 2010) hlm.37
penggunaan cara-cara radikal atau cara-cara kekerasan atas nama atau simbol agama terhadap orang lain meski
mereka berbeda aliran keagamaan bahkan terhadap mereka yang berbeda agamanya. 15
Aswaja juga tidak pernah menganjurkan pengikutnya untuk memulai perang terhadap orang kafir/non muslim. Perang
dapat dijalankan hanya dalam rangka membela diri dari serangan mereka. Jika ada kemunkaran yang terjadi dalam
masyarakat, doktrin Aswaja mengajarkan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, melalui “hikmah” (ilmu pengetahuan), mau’izhah
hasanah (nasehat yang santun) dan mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang terbaik). Cara lain adalah
melalui aturan-aturan hukum yang adil dan dilaksanakan dengan konsekuen. Hukum yang adil adalah pilar utama bagi
kehidupan bersama masyarakat bangsa.
Dengan demikian, terdapat terobosan merenovasi dalam berbagai bidang pemikiran, dengan tujuan kemaslahatan
kaum muslimin secara menyeluruh, dan melindungi hak-hak asasi manusia, sebagai realisasi Islam yang membawa
rahmat bagi alam semesta. Hal yang paling mendesak untuk dirumuskan pada era modern ini adalah sebagai berikut,
pertama, hubungan Islam dan negara yang sudah terkotak dalam nation state. Kedua, hubungan Syariah Islam dengan
hukum publik baik nasional maupun internasional. Ketiga, konsep pemberdayaan rakyat menuju masyarakat yang
musyawarah, dan terbebas dari belenggu penghambaan. Keempat, konsep keadilan ekonomi, politik dan hukum.
Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama ( addîn) yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi syarî'ah sebagai
realitas hukum, tharîqah sebagai jembatan menuju haqîqah yang merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya
adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek
eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). Tiga dimensi agama ini (islam, iman dan ihsan), masing-masing saling
melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa mengintegrasikan keimanan dan
keihsanan. Ketiganya harus berjalan seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan umat, seperti yang
ditegaskan dalam firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya.
(QS. Albaqarah: 208)
Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan, ”hakikat Islam adalah aktifitas badaniah (lahir) dalam menjalankan
kewajiban agama, hakikat iman adalah aktifitas hati dalam kepasrahan, dan hakikat ihsan adalah aktifitas ruh dalam
penyaksian (musyâhadah) kepada Allah” .
Dalam perkembangan selanjutnya, kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keislaman, melahirkan disiplin ilmu
yang disebut fiqh.Kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keimanan, melahirkan disiplin ilmu tauhid. Dan
kecenderungan ulama dalam dimensi keihsanan, melahirkan disiplin ilmu tasawuf atau akhlak. Paham ASWAJA
mengakomodir secara integral tiga dimensi keagamaan tersebut sebagai doktrin dan ajaran esensialnya. Karena
praktek eksoterisme keagamaan tanpa disertai esoterisme, merupakan kemunafikan.Begitu juga esoterisme tanpa
didukung eksoterisme adalah klenik. Semata-mata formalitas adalah tiada guna, demikian juga spiritualitas belaka
adalah sia-sia. Imam Malik mengatakan: Barang siapa menjalani tasawuf tanpa fiqh, maka dia telah zindiq, barang
siapa memegang fiqh tanpa tasawuf, maka dia telah fasiq, dan barang siapa menyatukan keduanya, maka dia telah
menemukan kebenaran.
1.Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran ( tashdîq) terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang dibawanya dari Allah. Dalam doktrin
keimanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tauhid (teologi/kalam) ini, ASWAJA berpedoman pada
akidah islamiyah (ushûluddîn) yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al'asy'ari (260 H./874 M. – 324 H./936 M.) dan Abu
Manshur Almaturidi (w. 333 H.).
Kedua tokoh ASWAJA ini nyaris sepakat dalam masalah akidah islamiyah, meliputi sifat-sifat wajib, mustahil dan ja'iz
bagi Allah, para rasul dan malaikatNya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini
hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal. Yaitu dalam masalah istitsnâ’, takwîn, dan iman dengan
taqlid.
Pertama istitsna’, atau mengatakan keimanan dengan insya'Allah, seperti “Saya beriman, insya'Allah”, menurut
Maturidiyah tidak diperbolehkan, karena istitsnâ demikian mengisyaratkan sebuah keraguan, dan keimanan batal
dengan adanya ragu-ragu. Menurut Asyâ'irah diperbolehkan, karena maksud istisnâ’ demikian bukan didasari keraguan
atas keimanan itu sendiri, melainkan keraguan tentang akhir hidupnya dengan iman atau tidak, na’ûdzu billah min
dzalik. Atau, istitsnâ’ demikian maksudnya keraguan dan spekulasi terhadap kesempurnaan imannya di hadapan Allah.
Kedua sifat takwîn (mewujudkan), menurut Asyâ'irah sifat takwîn (‫ )تكوین‬tidak berbeda dengan sifat Qudrah. Sedangkan
menurut Maturidiyah, takwîn adalah sifat tersendiri yang berkaitan dengan sifat Qudrah.
Dan ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui dalilnya). Menurut Maturidi, imannya
muqallid sah dan disebut arif serta masuk surga. Sedangkan Menurut Abu Alhasan Al'asy'ari, keimanan demikian tidak
cukup. Sedangkan Asyâ'irah (pengikut Abu Alhasan Al'asy'ari) berbeda pendapat tentang imannya muqallid. Sebagian
menyatakan mukmin tapi berdosa karena tidak mau berusaha mengetahu melalui dalil; sebagian mengatakan mukmin
dan tidak berdosa kecuali jika mampu mengetahui dalil; dan sebagian yang lain mengatakan tidak dianggap mukmin
sama sekali.
Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata keimanan. Ada iman bittaqlîd, iman biddalîl, iman bil iyyân dan
iman bil haqq. Pertama, iman bittaqlîd adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara
langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih diperselisihkan. Kedua, iman biddalîl (ilmul yaqîn) ialah keyakinan
terhadap aqâ'id lima puluh dengan dalil dan alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang ( ‫ )محجوب‬dalam
mengetahui Allah. Ketiga, iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) ialah keimanan yang senantiasa hatinya muraqabah kepada
15
ArtikelKH. Husein Muhammad, Aswaja Di Antara Dua Kutub Ekstrimitas, Jumat, 02 November 2007.
Allah. Artinya, dalam kondisi apapun, Allah tidak hilang dari kesadaran hatinya. Dan keempat, iman bil haqq (haqqul
yaqîn) yaitu keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadîts dan tenggelam dalam fanâ' billah. Mempelajari ilmu
tauhid, fiqh dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalîl (ilmul yaqîn), dan jika keimanan ini senantiasa disertai
kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman biliyyân (‘ainul yaqîn) hingga puncaknya mencapai
pada iman bil haqq (haqqul yaqîn).
Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau meng-Esakan Allah dalam af'âl, shifah dan dzât. Dengan demikian,
tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid fi’li, yaitu fana’ dari seluruh perbuatan; tauhid washfi, yaitu fana’ dari segala sifat;
dan tauhiddzati, yaitu fana’ dari segala yang maujûd. Fana’ fi’li disebut juga dengan ilmul yaqîn, fana’ washfi disebut
juga dengan ‘ainul yaqîn, dan fana’ dzati juga disebut dengan haqqul yaqîn. Level tauhid demikian ini merupakan
puncak prestasi dari penghayatan firman Allah: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat
itu.(QS. Ashshafat: 96). Sebagian ulama 'arif billah menyatakan: Barang siapa dapat menyaksikan makhluk tidak
memiliki perbuatan, maka ia telah beruntung, barang siapa menyaksikannya tidak hidup, maka itu diperbolehkan, dan
barang siapa menyaksikannya praktis tiada, maka ia telah wushul.
Konsep tauhid ASWAJA mengenai af'âl (perbuatan) Allah, berada di tengah antara paham Jabariyah di satu pihak dan
Qadariyah dan Mu'tazilah di pihak lain. Ketika Jabariyah menyatakan paham peniadaan kebebasan dan kuasa manusia
atas segala kehendak dan perbuatannya secara mutlak, sementara Qadariyah dan Mu’tazilah menyatakan makhluk
memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan perbuatannya, maka lahirlah ASWAJA sebagai sekte
moderat di antara dua paham ektrim tersebut. ASWAJA meyakini bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak
(ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas kasb (upaya). Dalam keyakinan ASWAJA,
secara dhahir manusia adalah 'kuasa' (memiliki qudrah), namun secara batin, manusia adalah majbûr (tidak memiliki
qudrah apapun).
Dalam doktrin keimanan ASWAJA, keimanan seseorang tidak dianggap hilang dan menjadi kafir, dengan melakukan
kemaksiatan. Seseorang yang melakukan maksiat ataupun bid'ah, sementara hatinya masih teguh meyakini dua
kalimat syahadat, maka ASWAJA tidak akan menvonis sebagai kafir, melainkan sebagai orang yang sesat ( dhalâl) dan
durhaka. ASWAJA sangat berhati-hati dan tidak gampang dalam sikap takfîr (mengkafirkan). Karena memvonis kafir
seseorang yang sejatinya mukmin akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw. bersabda: Ketika
seseorang berkata kepada saudaranya: ”wahai seorang yang kafir”, maka salah satunya benar-benar telah kafir. (HR.
Bukhari)
Keimanan seseorang akan hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila menafikan wujud Allah, mengandung unsur syirik
yang tidak dapat dita’wil, mengingkari kenabian, mengingkari hal-hal yang lumrah diketahui dalam agama ( ma'lûm bi
adldlarûri), dan mengingkari hal-hal mutawâtir atau mujma’ ‘alaih yang telah lumrah diketahui. Tindakan yang
menyebabkan seseorang dikategorikan kafir bisa meliputi ucapan, perbuatan atau keyakinan, yang mengandung unsur-
unsur di atas ketika telah terbukti (tahaqquq) dan tidak bisa dita’wil.
2.Doktrin Keislaman
Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang fiqh yang meliputi hukum-hukum legal-formal
(ubudiyah, mu'amalah, munakahah, jinayah, siyasah dan lain-lain), ASWAJA berpedoman pada salah satu dari empat
madzhab fiqh: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah.
Ada alasan mendasar mengenai pembatasan ASWAJA hanya kepada empat madzhab ini. Di samping alasan
otentisitas madzhab yang terpercaya melalui konsep-konsep madzhab yang terkodifikasi secara rapi dan sistematis,
metodologi pola pikir dari empat madzhab ini relatif tawâzun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil aql (rasio-
logis) dan dalil naql (teks-teks keagamaan). Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat dibanding madzhab Dawud
Adhdhahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab Mu'tazilah yang cenderung rasionalis.
Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh ASWAJA di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan tekstualis
ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini sebagai jalan paling selamat di antara yang selamat, jalan terbaik
diantara yang baik, sebagaimana yang ditegaskan Nabi saw. dalam sabdanya: Sebaik-baiknya perkara adalah
tengahnya.
Dengan prinsip inilah ASWAJA mengakui bahwa empat madzhab yang memadukan dalil Alqur'an, Hadits, Ijma' dan
Qiyas (analogi), diakuinya mengandung kemungkinan lebih besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan. Hal ini
juga dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh ASWAJA hanya bersifat kemungkinan dan bukan
kemutlakan. Dalam arti, mungkin benar dan bukan mutlak benar. Empat dalil ( Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas) ini
dirumuskan dari ayat: Hai orangorang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya) (QS. Annisa': 59)
Dalam ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa dijadikan tendensi penggalian ( istinbâth)
hukum, yaitu Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas. Perintah taat kepada Allah dan utusanNya, berarti perintah berpegang
pada Alqur'an dan Hadits, perintah taat kepada ulil amri berarti perintah berpegang pada Ijma' (konsensus) umat
(mujtahidîn), dan perintah mengembalikan perselisihan kepada Allah dan RasulNya berarti perintah berpegang pada
Qiyas sepanjang tidak ada nash dan ijma'. Sebab, Qiyas hakikatnya mengembalikan sesuatu yang berbeda pada
hukum Allah dan utusanNya.
Disamping itu, ASWAJA juga melegalkan taqlid, bahkan mewajibkannya bagi umat yang tidak memiliki kapasitas dan
kualifikasi keilmuan yang memungkinkan melakukan ijtihad. Taqlid hanya haram bagi umat yang benar-benar memiliki
kapasitas dan piranti ijtihad sebagaimana yang dikaji dalam kitab Ushul Fiqh. Dengan demikian, ASWAJA tidak pernah
menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu ijtihad selamanya terbuka, hanya saja umat Islam yang agaknya dewasa ini
'enggan' memasukinya. Mewajibkan ijtihad kepada umat yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, sama saja memaksakan
susuatu di luar batas kemampuannya. Maka kepada umat seperti inilah taqlid dipahami sebagai kewajiban oleh
ASWAJA berdasarkan firman Allah: Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui. (QS. Annahl: 43)
3.Doktrin Keihsanan
Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui teori-teori ilmiah semata melainkan dengan
mengintegrasikan antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan ( takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan
mengenakan (tahallî) jubah keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan
perilakunya, dan inilah manifestasi konkret dari ihsan dalam sabda Rasulullah SAW: Ihsan adalah engkau menyembah
Allah seolah engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.
Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tasawuf atau akhlaq ini, ASWAJA berpedoman
pada konsep tasawuf akhlaqi atau amali, yang dirumuskan oleh Imam Aljunaid Albaghdadi dan Alghazali. Limitasi
(pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini, tidak berarti manafikan tokoh-tokoh tasawuf falsafi dari kelompok
ASWAJA, seperti Ibn Al'arabi, Alhallaj dan tokoh-tokoh sufi 'kontroversial' lainnya.
Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori ASWAJA meliputi ahli tauhid (kalam), ahli
fiqh (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan bahkan ahli hadits ( muhadditsîn). Dari kelompok-kelompok ini masing-masing
memiliki konsep metodologis dan tema kajian sendiri-sendiri yang tidak bisa diuraikan di makalah ringkas ini.

Metodologi Pemikiran (Manhajul fikr) Aswaja


Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat (islam) ataupun akhlak (ihsan),
maka bisa kita dapati sebuah metodologi pemikiran ( manhaj alfkr) yang tengah dan moderat (tawassuth), berimbang
atau harmoni (tawâzun), netral atau adil (ta'âdul), dan toleran (tasâmuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa
menghidari sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Inilah yang menjadi esensi identitas
untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sektesekte Islam lainnya. Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti
inilah ASWAJA membangun keimanan, pemikiran, sikap, perilaku dan gerakan.
1.Tawasuth (Moderat)
Tawassuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri.Dalam konteks
berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi semangat dalam mengakomodir beragam
kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan pada
firman Allah: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS.
Albaqarah: 143).
2.Tawâzun (Berimbang)
Tawâzun ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum)
atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan.Dalam konteks pemikiran dan
amaliah keagamaan, prinsip tawâzun menghindari sikap ekstrim ( tatharruf) yang serba kanan sehingga melahirkan
fundamentalisme, dan menghindari sikap ekstrim yang serba kiri yang melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran
agama. Sikap tawâzun ini didasarkan pada firman Allah: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Alhadid: 25).
3.Ta'âdul (Netral dan Adil)
Ta'âdul ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan menyelesaikan segala permasalahan. Adil
tidak selamanya berarti sama atau setara ( tamâtsul). Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajiban
masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika realitas
individu benar-benar sama dan setara secara persis dalam segala sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi
tafâdlul (keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan ( tafdlîl). Penyetaraan antara dua hal yang
jelas tafâdlul, adalah tindakan aniaya yangbertentangan dengan asas keadilan itu sendiri . Sikap ta'âdul ini berdasarkan
firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa . (QS. Alma'idah: 8).
4.Tasâmuh (toleran)
Tasâmuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan keanekaragaman,
baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain
sebagainya.Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui
kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti mengakui kesesatan dan
kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar.Yang salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan
kesesatan. Dan yang haq dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang haq. Dalam kaitannya dengan
toleransi agama, Allah SWT berfirman: Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun: 6).
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan
dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85)
Toleransi dalam konteks tradisi-budaya bangsa, ialah sikap permisif yang bersedia menghargai tradisi dan budaya yang
telah menjadi nilai normatif masyarakat. Dalam pandangan ASWAJA, tradisibudaya yang secara substansial tidak
bertentangan dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai-nilai
keislaman.
Dengan demikian, tasâmuh (toleransi), berati sebuah sikap untuk menciptakan keharmonisan kehidupan sebagai
sesama umat manusia. Sebuah sikap untuk membangun kerukunan antar sesama makhluk Allah di muka bumi, dan
untuk menciptakan peradaban manusia yang madani. Dari sikap tasâmuh inilah selanjutnya ASWAJA merumuskan
konsep persaudaraan (ukhuwwah) universal. Meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan keislaman), ukhuwwah
wathaniyyah (persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah basyariyyah atau insâniyyah (persaudaraan kemanusiaan).
Persaudaraan universal untuk menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari
firman Allah SWT: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat;
13). Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi“. (QS. Albaqarah: 30)

Wallahu A’lam Bisshowab.

Wallhul Muwafieq Ilaa Aqwamitthorieq.


Wassalamu’alaykum Warahmatullahi Wabaarakatuh

Referensi
Nur Sayyid Santoso Kristeva, S.Pd.I., M.A, Seminar ASWAJA, 5 Agustus 2012 Ponpes Al-Madaniyyah Al-Islamiyyah
As-Salafiyyah Gumilir Cilacap..
Abbas, Sirojuddin, I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1992).
Abdurrahman, Moeslim, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997)
Amin, Masyhur, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: ISF, 2004)
Al-Jabiri, M. Abed, Al-Aql Al-Siyasi Al-Arabi: Muhadidah wa Tajalliyatuh(Nalar Politik Arab: Faktor-faktor Penentu &
Manifestasinya), Beirut, Markaz Dirasah Al-Wihdah Al-Arabiyah, 1995.
_______, Post Tradsionalisme Islam, Yogyakarta, LKiS, 2000.
Abbas, Zainal Abidin, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, (Medan: Firma lslamiyah, 1957 M/ 1376 H)
Assmin, Yudian Wahyu, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004)
Aziz, Aceng Abdul Dy dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia; Sejahtera, Pemikiran dan Dinamika Nahdlatul
Ulama, Pustaka Ma’arif NU, 2006.
Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Jakarta: Rajawali 2010).
Blekker, Pertemuan Agama-agama Dunia (Bandung: Sumur Bandung, 1985).
Bakry Hasbullah, Disekitar Skolastik Islam (Jakarta: Tintamas, 1984)
Badri, Yatim, Sejarah peradaban islam, 2001, Jakarta: Raja Grafindo Jaya.
Barton, Greg (ed.), Radikalisme Tradisional, Yogyakarta, LKiS, 1999.
Baihaqi, Imam, (ed.), Kontroversi Aswaja, Aula Perdebatan & Reinterpretasi, Yogyakarta, LKiS, Cet.II., 2000.
Dahlan Abd. Rahman dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam (Jakarta: LPH, 1996)
Dhofier, Zamakhsyari, Tradi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai , (Jakarta: LP3ES, 1994) Esack, Farid,
Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme, Bandung, Mizan, 2000.
Engineer, Asghar Ali, Islam and Liberation Theology, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Feillard, Andre, NU vis-à-vis Negara, Yogyakarta, LKiS, 1999.
Hanafi, A., Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru Jakarta, 2003)
Khaldun, lbnu, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Mesir: Maktabah Tijdriyah, t.t.)
Karim, Abdul, Reformulasi Aswaja Sebagai Manhajul-Fikr & Manhajul-Amal, Aswaja Center Pati, 2012. Lowy,
Michael, Teologi Pembebasan (Jogjakarta: Pustaka Pelajar & Insist Press, 2003) Leaman, Oliver, Pengantar
Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2001).
Muzadi, Abdul Muchith, Mengenal NU (Surabaya: Kalista, 2006)
_______, NU Perspektif Sejarah dan Ajaran (Surabaya: Kalista, 2006)
Muchtar, Masyhudi, Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul
Ulama, (Surabaya: Khalista, Cet. I., Maret 2007)
Muhammad, Husein, Aswaja Di Antara Dua Kutub Ekstrimitas , Artikel, 02 Nov. 2007
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspek, Jilid I & II. , Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2008.
_______, Teologi Islam : Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta : UI Press, 1986. _______,
Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
_______, Filsafat dan Mistisisme Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995)
Qomar, Mujamil, NU Liberal; Dari Tradisionalisme Ahlusunnah ke Universalisme Islam , Bandung: Mizan, 2002 Razak,
Abdul dan Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2003) Shimogaki, Kasuo, Kiri Islam (Jogjakarta:
LKIS, 2011).
Van Bruinessen, Martin, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, & Pencarian Wacana Baru, Yogyak arta, LKiS, 1996.
Watt, W. Montgomery, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Terj. Umar Basalim (Jakarta: P3M, 1987)
Wahid, Abdurrahman, Tuhan Tak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKIS, cet v, 2010)
Wahid, Abdurahman, Konsep-Konsep Keadilan, dalam B. Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah, Jakarta, Para, 1994.

You might also like