Professional Documents
Culture Documents
Bahan Diskusi Aswaja Fix
Bahan Diskusi Aswaja Fix
ٍ َت َعلَى ثِْنَت ْي ِن وس ْب ِعين ِملَّةً وَت ْفتَ ِر ُق َُّأمتِي َعلَى ثَال ال رس ُ ِ ِإ ِ ِإ ِئ ِ َعن َع ْب ِد
ث َ َ ََ َ " َّن بَني ْس َرا: ول اهلل
ْ َيل َت َف َّرق ُ َ َ َال ق َ َ قt اهلل بْ ِن َع ْم ٍرو ْ
ِ وسب ِعين ِملَّةً ُكلُّهم فِي النَّا ِر ِإالَّ ِملَّةً و
َ اح َد ًة قَالُوا َوَم ْن ِه َي يَا َر ُس
ْ ال َما َأنَا َعلَْي ِه َو
."َأص َحابِي ِ ول
َ َاهلل ق َ ُْ َ َْ َ
.) يبٌ يث َح َس ٌن َغ ِر ٌ َه َذا َح ِد:) وقال2565( (رواه الرتمذي
Dalam hal ini, pengertian Aswaja ( Ahl al-Sunnah Wa al-Jama‟ah), secara bahasa merupakan istilah yang terbentuk dari
tiga komponen: السنة, اهلdan الجماعة. Kata اهلartinya keluarga; golongan atau pengikut. Kata السنةberarti orang-
orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal perbuatan Nabi Muhammad SAW). 1 Di dalam Kitab
Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah karya Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy ‘ariy halaman 5 di sebutkan bahwa:
وشرعا اسم للطريقة المرضية المسلوكة في الدين سلكها رسول اهلل صلى اهلل عليه،السنة لغة الطريقة ولو غير مرضية
عليكم بس نتي وس نة: لقول ه ص لى اهلل علي ه وس لم،وس لم أو غ يره ممن ه و علم في ال دين كالص حابة رض ي اهلل عنهم
يخ$$رة الش$$ والسني منسوب إلى السنة اهـ (حض، وعرفا ما واظب عليه مقتدى نبيا كان أو وليا،الخلفاء الراشدين من بعدي
.)5/ رسالة أهل السنة واجلماعة ص،حممد هاشم أشعري
Secara Kebahasaan: Jejak dan Langkah walaupun tidak di ridhoi. Secara Syar’i: Sebuah nama jejak yang diridhai yang
menjadi pijakan dalam Agama, yang pernah ditempuh oleh Rasulullah SAW atau selain beliau dari orang yang
mengetahui dalam urusan Agama seperti Sahabat. Berdasarkan Hadist Nabi SAW. : Wajib atas kamu sekalian
mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin dari setelahku. Secara ‘Urfi (tradisi): Ajaran yang dilalui oleh
seorang panutan dalam Agama, Nabi atau Wali. Dan adapun As Sunni adalah yang di nisbatkan kepada Sunnah.
Sedangkan makna الجماعة: Menjaga kekompakan, kebersamaan dan kolektifitas, kebalikan dari kata al-furqah
(golongan yang berpecah belah). Dikatakan al-jama’ah, karena golongan ini selalu memelihara kekompakan,
kebersamaan dan kolektifitas terhadap sesama. Meskipun terjadi perbedaan pandangan di kalangan sesama mereka,
perbedaan tersebut tidak sampai mengkafirkan, membid’ahkan dan memfasikkan orang yang berbeda.
Aswaja adalah komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW dan jalan para
sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak batiniyah. 2
Pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani:
Artinya: “Yang dimaksud dengan As-Sunah adalah
apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW
(meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau).
Sedangkan pengertian Al-Jama’ah adalah segala
sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para
Sahabat Nabi Muhammad SAW pada masa
Khulafaurrashidin yang empat telah diberi hidayah
(mudah-mudahan Allah SWT member Rahmat pada
mereka semua).” (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-
Haqq, Juz II., Hal. 80).
Syaikh Abi Al-Fadhl bin Abdussyukur menjelaskan pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah:
Artinya: “Yang disebut Ahlussunah Wal Jama’ah
adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada
As-Sunah Nabi Muhammad SAW dan jalan pada
sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan,
amal-amal lahiriyah serta akhlaq hati.” (Al-Kawakib
al-Lamma’ah, Hal. 8-9).
Mengenai dasar apa saja Sumber Hukum Islam yang dipakai oleh faham Ahlussunah wal Jama’ah dalam menentukan
hukum Islam, adalah sesuai dengan firman
Allah SWT:
3
Zamakhsyari Dhofier, Tradi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994) hlm.148
4
Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2003) hlm. 27-29.
5
W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi & Filsafat Islam, Terj. Umar B. (Jakarta: P3M, 1987). hlm. 10.
6
Ibid., hlm. 6-7.
7
Ibid.
8
Ibid. hlm. 8.
9
Ibid. hlm. 9.
Mu’tazilah. Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian terkenal dengan
nama teologi Al-Maturidiyah.10 Aliran-aliran yang berkembang setelah peristiwa Tahkim:
1. Khawarij
Kata khawarij secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul atau
memberontak. Khawarij merupakan kelompok pertama yang tidak mengakui bahkan memberontak terhadap Ali Bin
Abi Thalib setelah terjadinya Arbitrase antara Ali dan Muawiyah. Diantara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah
berikut ini: Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh kaum Muslimin; Khalifah tidak harus berasal dari
keturunan Arab. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung
maka ia wajib diperangi karena hidup dalam dar el-harb (Negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap
berada dalam dar al-Islam (Negara Islam).
2. Syiah
Syiah secara bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara terminology adalah
sebagian kaum muslimin yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk kepada keturunan Nabi
Muhammad Saw, atau orang yang disebut sebagai ahl-bait. Ajaran-ajaran Syiah
a. Tauhid. Tuhan adalah Esa, baik ekstensi maupun esensi-Nya. Keesaan adalah mutlak. Keesaan Tuhan tidak
murakkab (tersusun).
b. Nubuwah. Setiap mahkluk membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia.
c. Ma’ad. Ma’ad adalah hari akhir untuk menghadapi Tuhan di akhirat. Mati adalah kehidupan transit dari kehidupan
dunia menuju kehidupan akhirat.
d. Imamah. Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk manusia yang dipilih
dari keturunan Ibrahim dan didelegasikan kepada keturunan Muhammad Saw.
e. Adil. Tuhan menciptakan kebaikan di Alam semesta ini merupakan keadilan. Tuhan memberikan akal kepada
manusia untuk mengetahui perkara yang salah melalui perasaan.
3. Murjiah
Nama Murjiah berasal dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Aliran
ini muncul sebagai reaksi dari fatwa khawarij, yang dipelopori oleh Ghailan Dimasqy, Beliau tidak menerima akan
fatwa tersebut. Mereka ini dalam perkembangan selanjutnya menjadi mazhab Murji’ah. Menurut mereka, karena
fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya ditunda saja, diserahkan kepada Allah di akhirat
kelak.
Doktrin-doktrin Murjiah secara umum sebagai berikut: Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga
Allah yang memutuskannya di hari kiamat kelak. Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam
peringkat al-Khalifah ar-Rasyidun. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk mendapat
ampunan dan rahmat dari Allah SWT. Kelompok Murjiah terbagi dalam empat kelompok besar: Murjiah al-Khawarij,
Murjiah al-Qadariyah, Murjiah Jabbariyah, dan Murjiah Murni.
4. Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu.
Paham Jabariyah pertama kali diperkenalkan oleh Ja’ad bin Dirham kemudian disebarluaskan oleh Jahm bin
Shafwan dari Khurasan (127H/745M). Doktrin-doktrin Jabariyah secara umum dapat dipaparkan sebagai berikut,
yaitu: Fatalisme, yakni kepasrahan total yang menganggap manusia tidak dapat melakukan apa-apa, tidak memiliki
daya, dan dipaksa berbuat oleh Allah Swt.
5. Qodariyah
Qodariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu Qadara, yang artinya kemampuan dan kekuatan. Menurut terminology,
Qodariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala perbuatan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.
Mazhab Qadariyah didirikan oleh Ma’bad ibn Khalid al-Juhani (79H/699 M). Secara garis besar, doktrin-doktrin
Qodariah pada dasarnya berkisar tentang takdir Tuhan, yaitu: Manusia berkuasa atas segala perbuatannya; Takdir
adalah ketentuan Allah Swt yang diciptakan-Nya bagi seluruh alam semesta beserta seluruh isinya, sejak zaman
azali, yaitu hukum dalam istilah al-Quran disebut Sunatullah.
6. Mu’tazilah
Secara harfiyah kata Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti
juga menjauh atau menjauhkan diri. Mu’tazilah yang dipelopori oleh Wasil ibn Atho’. Beberapa versi tentang
pemberian nama Mu’tazilah (golongan kedua) ini, merujuk pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin A’tha, Amr
bin Ubaid dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Washil mengikut pengajaran yang diberikan oleh Hasan al-Basri
tentang dosa besar. Ketika Hasan Basri masih berpikir. Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan,
“Penulis berpendapat bahwa orang yang berdosa besar, bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada dalam
posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Basri dan
pergi di tempat lain di lingkungan masjid. Disana Washil mengulangi pendapatnya di depan para pengikutnya.
Dengan peristiwa ini, Hasan Basri berkata,” Wazhil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna). Menurut Asy-
Syahrastani, kelompok yang menjauhkan diri inilah yang kemudian disebut sebagai Mu’tazilah.
7. Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah)
Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu’tazilah. Adalah seorang
sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam
Ibid.
10
pikiran Mu’tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu’tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia
meninggalkan paham Mu’tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu’tazilah. Ilmu Kalam
al-Asy’ar’i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk
menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut
pandangan sebagian besar kaum Sunni. Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama
dengan al-Asy’ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit
perbedaan dengan al-Asy‘ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia (al-Maturidi
mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada al-Asy’ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan
paham Sunni, dan system Ilmu Kalamnya dipandang sebagai “jalan keselamatan”, bersama dengan sistem al-
Asy’ari.
11
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1986) hlm. 65
12
Mujamil Qomar, , NU Liberal; Dari Tradisionalisme Ahlusunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 62
13
Masyhudi Muchtar, Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama,
(Surabaya: Khalista, Cet. I., Maret 2007) hlm. 51-52
14
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKIS, cet v, 2010) hlm.37
penggunaan cara-cara radikal atau cara-cara kekerasan atas nama atau simbol agama terhadap orang lain meski
mereka berbeda aliran keagamaan bahkan terhadap mereka yang berbeda agamanya. 15
Aswaja juga tidak pernah menganjurkan pengikutnya untuk memulai perang terhadap orang kafir/non muslim. Perang
dapat dijalankan hanya dalam rangka membela diri dari serangan mereka. Jika ada kemunkaran yang terjadi dalam
masyarakat, doktrin Aswaja mengajarkan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, melalui “hikmah” (ilmu pengetahuan), mau’izhah
hasanah (nasehat yang santun) dan mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang terbaik). Cara lain adalah
melalui aturan-aturan hukum yang adil dan dilaksanakan dengan konsekuen. Hukum yang adil adalah pilar utama bagi
kehidupan bersama masyarakat bangsa.
Dengan demikian, terdapat terobosan merenovasi dalam berbagai bidang pemikiran, dengan tujuan kemaslahatan
kaum muslimin secara menyeluruh, dan melindungi hak-hak asasi manusia, sebagai realisasi Islam yang membawa
rahmat bagi alam semesta. Hal yang paling mendesak untuk dirumuskan pada era modern ini adalah sebagai berikut,
pertama, hubungan Islam dan negara yang sudah terkotak dalam nation state. Kedua, hubungan Syariah Islam dengan
hukum publik baik nasional maupun internasional. Ketiga, konsep pemberdayaan rakyat menuju masyarakat yang
musyawarah, dan terbebas dari belenggu penghambaan. Keempat, konsep keadilan ekonomi, politik dan hukum.
Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama ( addîn) yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi syarî'ah sebagai
realitas hukum, tharîqah sebagai jembatan menuju haqîqah yang merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya
adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek
eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). Tiga dimensi agama ini (islam, iman dan ihsan), masing-masing saling
melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa mengintegrasikan keimanan dan
keihsanan. Ketiganya harus berjalan seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan umat, seperti yang
ditegaskan dalam firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya.
(QS. Albaqarah: 208)
Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan, ”hakikat Islam adalah aktifitas badaniah (lahir) dalam menjalankan
kewajiban agama, hakikat iman adalah aktifitas hati dalam kepasrahan, dan hakikat ihsan adalah aktifitas ruh dalam
penyaksian (musyâhadah) kepada Allah” .
Dalam perkembangan selanjutnya, kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keislaman, melahirkan disiplin ilmu
yang disebut fiqh.Kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keimanan, melahirkan disiplin ilmu tauhid. Dan
kecenderungan ulama dalam dimensi keihsanan, melahirkan disiplin ilmu tasawuf atau akhlak. Paham ASWAJA
mengakomodir secara integral tiga dimensi keagamaan tersebut sebagai doktrin dan ajaran esensialnya. Karena
praktek eksoterisme keagamaan tanpa disertai esoterisme, merupakan kemunafikan.Begitu juga esoterisme tanpa
didukung eksoterisme adalah klenik. Semata-mata formalitas adalah tiada guna, demikian juga spiritualitas belaka
adalah sia-sia. Imam Malik mengatakan: Barang siapa menjalani tasawuf tanpa fiqh, maka dia telah zindiq, barang
siapa memegang fiqh tanpa tasawuf, maka dia telah fasiq, dan barang siapa menyatukan keduanya, maka dia telah
menemukan kebenaran.
1.Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran ( tashdîq) terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang dibawanya dari Allah. Dalam doktrin
keimanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tauhid (teologi/kalam) ini, ASWAJA berpedoman pada
akidah islamiyah (ushûluddîn) yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al'asy'ari (260 H./874 M. – 324 H./936 M.) dan Abu
Manshur Almaturidi (w. 333 H.).
Kedua tokoh ASWAJA ini nyaris sepakat dalam masalah akidah islamiyah, meliputi sifat-sifat wajib, mustahil dan ja'iz
bagi Allah, para rasul dan malaikatNya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini
hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal. Yaitu dalam masalah istitsnâ’, takwîn, dan iman dengan
taqlid.
Pertama istitsna’, atau mengatakan keimanan dengan insya'Allah, seperti “Saya beriman, insya'Allah”, menurut
Maturidiyah tidak diperbolehkan, karena istitsnâ demikian mengisyaratkan sebuah keraguan, dan keimanan batal
dengan adanya ragu-ragu. Menurut Asyâ'irah diperbolehkan, karena maksud istisnâ’ demikian bukan didasari keraguan
atas keimanan itu sendiri, melainkan keraguan tentang akhir hidupnya dengan iman atau tidak, na’ûdzu billah min
dzalik. Atau, istitsnâ’ demikian maksudnya keraguan dan spekulasi terhadap kesempurnaan imannya di hadapan Allah.
Kedua sifat takwîn (mewujudkan), menurut Asyâ'irah sifat takwîn ( )تكوینtidak berbeda dengan sifat Qudrah. Sedangkan
menurut Maturidiyah, takwîn adalah sifat tersendiri yang berkaitan dengan sifat Qudrah.
Dan ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui dalilnya). Menurut Maturidi, imannya
muqallid sah dan disebut arif serta masuk surga. Sedangkan Menurut Abu Alhasan Al'asy'ari, keimanan demikian tidak
cukup. Sedangkan Asyâ'irah (pengikut Abu Alhasan Al'asy'ari) berbeda pendapat tentang imannya muqallid. Sebagian
menyatakan mukmin tapi berdosa karena tidak mau berusaha mengetahu melalui dalil; sebagian mengatakan mukmin
dan tidak berdosa kecuali jika mampu mengetahui dalil; dan sebagian yang lain mengatakan tidak dianggap mukmin
sama sekali.
Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata keimanan. Ada iman bittaqlîd, iman biddalîl, iman bil iyyân dan
iman bil haqq. Pertama, iman bittaqlîd adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara
langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih diperselisihkan. Kedua, iman biddalîl (ilmul yaqîn) ialah keyakinan
terhadap aqâ'id lima puluh dengan dalil dan alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang ( )محجوبdalam
mengetahui Allah. Ketiga, iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) ialah keimanan yang senantiasa hatinya muraqabah kepada
15
ArtikelKH. Husein Muhammad, Aswaja Di Antara Dua Kutub Ekstrimitas, Jumat, 02 November 2007.
Allah. Artinya, dalam kondisi apapun, Allah tidak hilang dari kesadaran hatinya. Dan keempat, iman bil haqq (haqqul
yaqîn) yaitu keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadîts dan tenggelam dalam fanâ' billah. Mempelajari ilmu
tauhid, fiqh dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalîl (ilmul yaqîn), dan jika keimanan ini senantiasa disertai
kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman biliyyân (‘ainul yaqîn) hingga puncaknya mencapai
pada iman bil haqq (haqqul yaqîn).
Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau meng-Esakan Allah dalam af'âl, shifah dan dzât. Dengan demikian,
tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid fi’li, yaitu fana’ dari seluruh perbuatan; tauhid washfi, yaitu fana’ dari segala sifat;
dan tauhiddzati, yaitu fana’ dari segala yang maujûd. Fana’ fi’li disebut juga dengan ilmul yaqîn, fana’ washfi disebut
juga dengan ‘ainul yaqîn, dan fana’ dzati juga disebut dengan haqqul yaqîn. Level tauhid demikian ini merupakan
puncak prestasi dari penghayatan firman Allah: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat
itu.(QS. Ashshafat: 96). Sebagian ulama 'arif billah menyatakan: Barang siapa dapat menyaksikan makhluk tidak
memiliki perbuatan, maka ia telah beruntung, barang siapa menyaksikannya tidak hidup, maka itu diperbolehkan, dan
barang siapa menyaksikannya praktis tiada, maka ia telah wushul.
Konsep tauhid ASWAJA mengenai af'âl (perbuatan) Allah, berada di tengah antara paham Jabariyah di satu pihak dan
Qadariyah dan Mu'tazilah di pihak lain. Ketika Jabariyah menyatakan paham peniadaan kebebasan dan kuasa manusia
atas segala kehendak dan perbuatannya secara mutlak, sementara Qadariyah dan Mu’tazilah menyatakan makhluk
memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan perbuatannya, maka lahirlah ASWAJA sebagai sekte
moderat di antara dua paham ektrim tersebut. ASWAJA meyakini bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak
(ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas kasb (upaya). Dalam keyakinan ASWAJA,
secara dhahir manusia adalah 'kuasa' (memiliki qudrah), namun secara batin, manusia adalah majbûr (tidak memiliki
qudrah apapun).
Dalam doktrin keimanan ASWAJA, keimanan seseorang tidak dianggap hilang dan menjadi kafir, dengan melakukan
kemaksiatan. Seseorang yang melakukan maksiat ataupun bid'ah, sementara hatinya masih teguh meyakini dua
kalimat syahadat, maka ASWAJA tidak akan menvonis sebagai kafir, melainkan sebagai orang yang sesat ( dhalâl) dan
durhaka. ASWAJA sangat berhati-hati dan tidak gampang dalam sikap takfîr (mengkafirkan). Karena memvonis kafir
seseorang yang sejatinya mukmin akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw. bersabda: Ketika
seseorang berkata kepada saudaranya: ”wahai seorang yang kafir”, maka salah satunya benar-benar telah kafir. (HR.
Bukhari)
Keimanan seseorang akan hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila menafikan wujud Allah, mengandung unsur syirik
yang tidak dapat dita’wil, mengingkari kenabian, mengingkari hal-hal yang lumrah diketahui dalam agama ( ma'lûm bi
adldlarûri), dan mengingkari hal-hal mutawâtir atau mujma’ ‘alaih yang telah lumrah diketahui. Tindakan yang
menyebabkan seseorang dikategorikan kafir bisa meliputi ucapan, perbuatan atau keyakinan, yang mengandung unsur-
unsur di atas ketika telah terbukti (tahaqquq) dan tidak bisa dita’wil.
2.Doktrin Keislaman
Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang fiqh yang meliputi hukum-hukum legal-formal
(ubudiyah, mu'amalah, munakahah, jinayah, siyasah dan lain-lain), ASWAJA berpedoman pada salah satu dari empat
madzhab fiqh: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah.
Ada alasan mendasar mengenai pembatasan ASWAJA hanya kepada empat madzhab ini. Di samping alasan
otentisitas madzhab yang terpercaya melalui konsep-konsep madzhab yang terkodifikasi secara rapi dan sistematis,
metodologi pola pikir dari empat madzhab ini relatif tawâzun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil aql (rasio-
logis) dan dalil naql (teks-teks keagamaan). Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat dibanding madzhab Dawud
Adhdhahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab Mu'tazilah yang cenderung rasionalis.
Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh ASWAJA di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan tekstualis
ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini sebagai jalan paling selamat di antara yang selamat, jalan terbaik
diantara yang baik, sebagaimana yang ditegaskan Nabi saw. dalam sabdanya: Sebaik-baiknya perkara adalah
tengahnya.
Dengan prinsip inilah ASWAJA mengakui bahwa empat madzhab yang memadukan dalil Alqur'an, Hadits, Ijma' dan
Qiyas (analogi), diakuinya mengandung kemungkinan lebih besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan. Hal ini
juga dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh ASWAJA hanya bersifat kemungkinan dan bukan
kemutlakan. Dalam arti, mungkin benar dan bukan mutlak benar. Empat dalil ( Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas) ini
dirumuskan dari ayat: Hai orangorang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya) (QS. Annisa': 59)
Dalam ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa dijadikan tendensi penggalian ( istinbâth)
hukum, yaitu Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas. Perintah taat kepada Allah dan utusanNya, berarti perintah berpegang
pada Alqur'an dan Hadits, perintah taat kepada ulil amri berarti perintah berpegang pada Ijma' (konsensus) umat
(mujtahidîn), dan perintah mengembalikan perselisihan kepada Allah dan RasulNya berarti perintah berpegang pada
Qiyas sepanjang tidak ada nash dan ijma'. Sebab, Qiyas hakikatnya mengembalikan sesuatu yang berbeda pada
hukum Allah dan utusanNya.
Disamping itu, ASWAJA juga melegalkan taqlid, bahkan mewajibkannya bagi umat yang tidak memiliki kapasitas dan
kualifikasi keilmuan yang memungkinkan melakukan ijtihad. Taqlid hanya haram bagi umat yang benar-benar memiliki
kapasitas dan piranti ijtihad sebagaimana yang dikaji dalam kitab Ushul Fiqh. Dengan demikian, ASWAJA tidak pernah
menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu ijtihad selamanya terbuka, hanya saja umat Islam yang agaknya dewasa ini
'enggan' memasukinya. Mewajibkan ijtihad kepada umat yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, sama saja memaksakan
susuatu di luar batas kemampuannya. Maka kepada umat seperti inilah taqlid dipahami sebagai kewajiban oleh
ASWAJA berdasarkan firman Allah: Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui. (QS. Annahl: 43)
3.Doktrin Keihsanan
Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui teori-teori ilmiah semata melainkan dengan
mengintegrasikan antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan ( takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan
mengenakan (tahallî) jubah keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan
perilakunya, dan inilah manifestasi konkret dari ihsan dalam sabda Rasulullah SAW: Ihsan adalah engkau menyembah
Allah seolah engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.
Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tasawuf atau akhlaq ini, ASWAJA berpedoman
pada konsep tasawuf akhlaqi atau amali, yang dirumuskan oleh Imam Aljunaid Albaghdadi dan Alghazali. Limitasi
(pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini, tidak berarti manafikan tokoh-tokoh tasawuf falsafi dari kelompok
ASWAJA, seperti Ibn Al'arabi, Alhallaj dan tokoh-tokoh sufi 'kontroversial' lainnya.
Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori ASWAJA meliputi ahli tauhid (kalam), ahli
fiqh (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan bahkan ahli hadits ( muhadditsîn). Dari kelompok-kelompok ini masing-masing
memiliki konsep metodologis dan tema kajian sendiri-sendiri yang tidak bisa diuraikan di makalah ringkas ini.
Referensi
Nur Sayyid Santoso Kristeva, S.Pd.I., M.A, Seminar ASWAJA, 5 Agustus 2012 Ponpes Al-Madaniyyah Al-Islamiyyah
As-Salafiyyah Gumilir Cilacap..
Abbas, Sirojuddin, I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1992).
Abdurrahman, Moeslim, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997)
Amin, Masyhur, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: ISF, 2004)
Al-Jabiri, M. Abed, Al-Aql Al-Siyasi Al-Arabi: Muhadidah wa Tajalliyatuh(Nalar Politik Arab: Faktor-faktor Penentu &
Manifestasinya), Beirut, Markaz Dirasah Al-Wihdah Al-Arabiyah, 1995.
_______, Post Tradsionalisme Islam, Yogyakarta, LKiS, 2000.
Abbas, Zainal Abidin, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, (Medan: Firma lslamiyah, 1957 M/ 1376 H)
Assmin, Yudian Wahyu, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004)
Aziz, Aceng Abdul Dy dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia; Sejahtera, Pemikiran dan Dinamika Nahdlatul
Ulama, Pustaka Ma’arif NU, 2006.
Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Jakarta: Rajawali 2010).
Blekker, Pertemuan Agama-agama Dunia (Bandung: Sumur Bandung, 1985).
Bakry Hasbullah, Disekitar Skolastik Islam (Jakarta: Tintamas, 1984)
Badri, Yatim, Sejarah peradaban islam, 2001, Jakarta: Raja Grafindo Jaya.
Barton, Greg (ed.), Radikalisme Tradisional, Yogyakarta, LKiS, 1999.
Baihaqi, Imam, (ed.), Kontroversi Aswaja, Aula Perdebatan & Reinterpretasi, Yogyakarta, LKiS, Cet.II., 2000.
Dahlan Abd. Rahman dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam (Jakarta: LPH, 1996)
Dhofier, Zamakhsyari, Tradi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai , (Jakarta: LP3ES, 1994) Esack, Farid,
Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme, Bandung, Mizan, 2000.
Engineer, Asghar Ali, Islam and Liberation Theology, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Feillard, Andre, NU vis-à-vis Negara, Yogyakarta, LKiS, 1999.
Hanafi, A., Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru Jakarta, 2003)
Khaldun, lbnu, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Mesir: Maktabah Tijdriyah, t.t.)
Karim, Abdul, Reformulasi Aswaja Sebagai Manhajul-Fikr & Manhajul-Amal, Aswaja Center Pati, 2012. Lowy,
Michael, Teologi Pembebasan (Jogjakarta: Pustaka Pelajar & Insist Press, 2003) Leaman, Oliver, Pengantar
Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2001).
Muzadi, Abdul Muchith, Mengenal NU (Surabaya: Kalista, 2006)
_______, NU Perspektif Sejarah dan Ajaran (Surabaya: Kalista, 2006)
Muchtar, Masyhudi, Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul
Ulama, (Surabaya: Khalista, Cet. I., Maret 2007)
Muhammad, Husein, Aswaja Di Antara Dua Kutub Ekstrimitas , Artikel, 02 Nov. 2007
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspek, Jilid I & II. , Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2008.
_______, Teologi Islam : Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta : UI Press, 1986. _______,
Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
_______, Filsafat dan Mistisisme Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995)
Qomar, Mujamil, NU Liberal; Dari Tradisionalisme Ahlusunnah ke Universalisme Islam , Bandung: Mizan, 2002 Razak,
Abdul dan Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2003) Shimogaki, Kasuo, Kiri Islam (Jogjakarta:
LKIS, 2011).
Van Bruinessen, Martin, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, & Pencarian Wacana Baru, Yogyak arta, LKiS, 1996.
Watt, W. Montgomery, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Terj. Umar Basalim (Jakarta: P3M, 1987)
Wahid, Abdurrahman, Tuhan Tak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKIS, cet v, 2010)
Wahid, Abdurahman, Konsep-Konsep Keadilan, dalam B. Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah, Jakarta, Para, 1994.