You are on page 1of 25
BAB4 PARTAI BARU, ELECTORAL THRESHOLD, DAN MASA DEPAN SISTEM MULTIPARTAI" eee PENDAHULUAN Semangat untuk mendirikan partai (partai) baru di Indonesia masih belum memudar, meskipun dua kali pemilu pasca-pemerintahan Orde Baru (1999 dan 2004) telah memberi pelajaran cukup berharga bahwa ternyata hanya partai-partai tertentu saja yang memperoleh dukungan berarti dari para pemilih (konstituen). Jauh hari sebelum pelaksanaan pemilu 2009, sudah banyak partai baru atau reinkarnasi partai lama menjadi partai baru, yang terdaftar pada Departemen Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia. Pada September 2006, terdapat 27 partai baru yang terdaftar (Kompas, 26 September 2006). Jumlah ini mengalami kenaikan menjadi 43 pada awal Maret 2007 (Jawa Pos, 12 Maret 2007), dan menjadt lebih dari 100 partai pada awal 2008. Pada akhirnya KPU memang hanya mengijinkan 38 partai nasional dan 6 partai lokal di Aceh yang mengikuti pemilu 2009. Tetapi, jumlah ini jelas jauh lebih besar dibandingkan pemilu 2004. Semangat seperti itu masih mengemuka karena salah satu ka- rakteristik dasar dari sebuah negara demokratis itu, sebagaimana dikemukakan oleh Robert A. Dahl (1971), adalah adanya kebebasan di dalam membentuk organisasi, termasuk partai politik. Munculnya * Bab ini merupakan revisi dari tulisan dengan judul serupa yang pernah dimuat di dalam Jurnal Politika, Vol. 2, No. 2, 2006. esi tik Indon agaan sistem Poll Pelem BAGIAN: i-partai_ pada u imana_partai-p: sebagai: demokratisasj Mya i emo! % ; partai-partai baru 0 oe a vo ro ‘ms ~ ikian, ai ‘ Sek oye pei bergulir ej litas munculnya partai-partai moa be aj, Sekiranya realita rius tentang arah sistem kepartaian ng kits terdapat pertanyaan vnvubnya pemerintahan Orde Baru, kita bn anut. Memang, sejak vem multipartai. Di samping igeratkkg ole cenderung menganuts ng tru ergulir, sistem seperti ini didacay oe, proses demokratisasi yang ia yang majemuk. Di dalam MaSyaralay realty maja ee sear Kelompok melinkan demikian tidak hanya je lepeningan Di dalam negara Modern oe a maar satu pilar pokok untuk Memperjug ’ —— Ren Srtreae itu. Hanya Saja, =e dengan efektivitas dan stabilitas pemerintahan yang ter seperti itu juga dipertanyakan, Gikaitkan entuk, sistem lembaga perwakilan i Pemerintahan yang bisa diban mMenganut sistem, Parlementer; dan sejauh mana eksekutif dukungan di dalam sistem presi eksplisit disebutkan, Sistem kepartaian Yang dikehendakj adalah sistem multipartai Moderat. Dj dalam sistem Smikian, tidak hanya jumlahnya Sala yang relatit terbatas, melainkan rene ol °ginya Yang tidak terpolarisasi Secara tajam (Sartori ae : Sra lengan dipetkenalkannya konsep electoral nin suit Seiatinya, electoral threshold adalah bata patie ay, 1099" ee Muk memperoleh kursi (wakil) di Tetapi, gj Indonesia, sebapae 199 * Reynold | Seba, Pemilu, konsen +; S dan Reilly, 1997) ihat dj dalam UU tentang "ukuran untuk menentukan Mengikut; Pemilu berikutnya § almang Yan, ter] ® Konsep inj MMaksudka, ze apakah Suatu i “™Petbincangkan fenomana mun- 58 BAB 4 Partai Baru, Electoral Threshotg 1 dan Masa De, Pan, a artai-partai baru, penggunaan desain kelemb, cule? iaesign) electoral threshold dan masa de ution! sia. Berangkat dari hasil-hasil pemilu agi Indore’ oi demokratis (pemilu 1955, 1999, 1 bahwa sistem yang lebih pas : Agaan (insti. Pan sistem multiparat Yang Pernah discleng. a 2004, dan 2009), aly nel ntuk Indonesi ~ : perarguim . . ‘ONesia adalg ini jultipartai moderat. Hanya saja, secara kelembagaan ‘ aa Aan, sistem n bisa dimungkinkan manakala diterapkan mckanisyas Id secara lebih ketat, elec. sistem ™ demikian oral threshol pEMOKRASI, MASYARAKAT MAJEMUK, DAN PARTAI BARU sejarah munculnya pata: parti poli di negara yang satu dengan negara yng lain memang tidak slaty sama, Tetap, ada stu benang merah yang mempertemukannya, yaitu bahwa kemunculan partai- nati itu berbanding lurus dengan tumbuhnya proses demokratisas (Scarrow, 2004), Khususnya yang berkaitan dengan kesamaan hak an- tar-warga negara, Sebagaimana digarisbawahi oleh Evereth Call Ladd, jr (1970: 16), partai politik merupakan ‘children of egalitarianism’ Karena itu, partai politik merupakan satu pilar dari demokrasi yang harus ada di dalam suatu negara modern. Betapa pentingnya partai dalam negara demokratis tercermin dalam ungkapan Clinton Rossister (1960: 1), ‘No America without democracy, no democracy without politics, and no politics without parties’. Atau, seperti dikatakan oleh Richards Katz (1980: 1), ‘modern democracy is party democracy’. Di Indonesia, munculnya partai-partai politik tidak lepas dari ‘ebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menerapkan politk etik. Implikasi dari kebijakan demikian tidak hanya berkaitan dengan lahir- "YA proyek-proyek pembangunan dan sosial, melainkan juga adanya iklm kebebasan yang lebih Iuas kepada masyarakat (Imawan 1988). ee demikian memberi ruang kepada anggota masyarakat Bs ih pettuk orgenisas termasuk partai palit bi Memben nskinkan karena pemerintah kolonia a pail pag i Parlemen’ (volksraad). Selain itu, Sa cea fia ndonesia berkaitan dengan tumbuhnya gera yang NK Saja. dimaksudkan untuk memperoleh kebebes# i . Yang terakhir landa telah ik Indonesia istem Politik In |; Pelembagaan Siste! BAGIAN I: Pelem! inkan pada akhirnya Menun; lebih Iuas dari Belanda, oilers Bae sebelin ay, kemerdekaan. Di antara oe Islam Indonesia, Indicene i merdeka adalah Partai Sarikat Isl ios PKI), dan PNI (Karim, ; ee imnya partai-partai politik, beri Setelah merdeka, lahirnya p: dari dibuka tide Matin i-partai politi, juga tidak lepas dari dibuka tidal YA ketan a Pada awal kemerdekaan, partai-partaj Politik tu uh iat fens munculnya Kebijakan untuk membuka Seles as, Keran tumbuhnya organisast-organisasi politik. Kebijakan gor tertuang di dalam Maklumat Pemerintah No. X pada 16 Okt Isi dari maklumat ini adalah memberi kebebasan kepada Masyerale untuk membentuk partai politik guna menyalurkan aspirasi day me. nyuarakan kepentingan kelompok-kelompok yang ada di dalam me. syarakat. Fenomena serupa terjadi pada Pasca-pemerintahan Orde Baru. Jatuhnya pemerintahan Soeharto diikuti oleh tumbuh Suburnyg Partai-partai baru. Sebagaimana tercatat oleh Departemen Hukun dan Hak Asasi Manusia, terdapat 141 partai Politik yang didirikan menjelang pelaksanaan pemilu 1999 (Suryakusuma, 1999), meskipun yang bisa mengikuti pemilu 1999 hanya 48 Partai. Banyaknya par Pasca-pemerintahan Orde Baru itu merupakan sebuah ledakan poli- tik setelah sekian lama mendapati keterbatasan berekspresi dan ber- organisasi. On Parti, isn kien lober 1945 Sebaliknya, matinya partai-partai Politik juga memiliki keterkaitan dengan ada tidaknya demokratisasi, Pada saat Pemerintahan Soekamo mulai otoriter, yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Soeharto, terdapat upaya paksa untuk menyederhanakan_partai. Presiden Soekarno tidak saja beranggapan bahwa demokras ie engan Indonesia, karena itu diganti dengan & mokrasi terpimpin, Antara 1959 dan 1960, pemerintahan Soeka Mengeluarkan sejumlah aturan yang berintikan pembatasan dan f° nyederhanaan partai-partai Hasilnya, kalau pada pemilu 1955 ## i i si, Pada 1960, hanya tinggal sepuluh oo dethanakan, sejumlah partai dilarang ker ps Perlawanan tethadap pemerintah, sepett & B lebih dari lima putuh p Saja. Di samping dise ane 4 Partai Bar, Electoral Threshold, dan y i 'asa D ebioko ang tidak jauh berbeda dilakukan oleh epan iden oeharto- Upaya seperti ini tidak lepas dari pan peer Soe ang cukup banyak it: merupakan face pen ulnya etidakstabilan politik yang pernah terjadi Dealing bagi me olitik sendiri, diagnosis seperti ini dipe a re kalangan ime ana gikemukakan oleh Jan-Erik Lane dan sy, an. Tetapi, seb98"" 169)» setelah menguji keterkaitan dua variabel a Mee 1 banyak 87: : en ve iparta bukanlah faktorutama bag adanya ketdaksab mi : lan tik. oli nee ping didorong oleh iklim demokrasi, munculnya i. pt tidak lepas dari karakteristik mas ‘Partai- tai juga Has © : syarakat Indonesia yang rmajemuk Sebagaimand aikaielen Oleh John Furnivall (1942; 446), masyarakat Indonesia atau Hindia-Belanda ketika itu, merupakan masyarakat plural (plural society), yaitu ‘suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen atau tatanan sosial yang hidup ber- dampingan satu sama lain’. Hanya saja, sambung Furnivall, di antara mereka itu tidak pernah bertemu di dalam suatu unit politik. Apa yang dikatakan oleh Furnivall ini tidak sepenuhnya tepat, memang, Realitas menunjukkan bahwa masyarakat yang majemuk itu pada akhirnya merdeka dan tergabung di dalam suatu unit politik besar yang bernama ‘negara bangsa Indonesia’. realitas masyarakat Indonesia yang plural itu ai-partai politik Pemerintahan dangan bahia Meskipun demikian, memberi kontribusi yang tidak kecil bagi Jahirnya part dan sistem multipartai. Baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, partai-partai politik yang ada tidak lepas dari ikatan-ikatan kelompok yang kuat, khususnya yang berkaitan dengan ikatan ideologi. Mun- culnya partai politik yang berbasis pada ideologi tertentu itu sering disebut sebagai politik aliran. Herbert Feith (1970), menggambarkan Corak ideologi partai-partai pada 1950-an, ke dalam lima aliran bear: Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Java, Isl, Serial ae dan Komunisme. Corak politik aliran seperti ee a = berbeda, tetapi juga bernuansa konfiktal far en Menge taePat perbedaan-perbedaan nilai yang COUP TT a itu ng, di antara aliran-aliran yang terdapat Pa ja partal-P tetdapat se; Dee in yang '¢t eka jus terdapat @ ?jumlah titik singgung, tetapi di antara met 61 yr BAGIAN I: Pelembagaan sistem politik Indonesia memilikialiran ideologis Islam ya, jengan Tradisionalisme Jawa. Tetapi, ideoog tant omunisme. Meminjam istilabnya Gioya,,; tem kepartaian ketika itu lebih cenderun, Karena jumlah partai dominannya jeje partai yang satu dengan yang lain Ibis jarak yang jauh. NU» misalnya, * bertitik singgung 4 bertolak belakang dengan Sartori (1976), corak sis ke arah pluralisme ekstrem dari dua dan relasi ideologi gg ke arah sentrifugal cenderun; katan-ikatan ideologi seperti i u. Berangl u kemudian termatikan pada mas, pemerintahan Orde Bar kat dari pandangan bahwa pojigy, aliran seperti itu merupakan salah satu sumber pendorong kuat bagi Tahirnya Ketidakstabilan poliik, pemerintah Orde Baru melakukan penyeragaman ideologi. Puncaknya adalah adanya keharusan meni asas yang sama, Pancasila, bagi semua organisast kemasyarakatan dan organisasi politik pada 1985. Kebijakan seperti ini berbarengan dengan upaya untuk menyederhanakan sistem kepartaian, dari sistem multipartai menjadi sistem satu setengah partai. Dengan kata lain, pemerintah Orde Baru telah berupaya melakukan penyederhanaan sistem kepartaian sekaligus ideologi. “Tetapi, seiring dengan runtuhnya pemerintahan Orde Baru, terda- pat kebangkitan kembali (resurgence) bangunan sistem multipartai dan politik aliran (Dhakidae, 1999; Kleden, 1999). Partai-partai_politik tumbuh subur bak jamur di musim hujan pada 1998 dan awal 1999. Kelompok-kelompok yang sebelumnya terpaksa harus berfusi ke dalam partai tertentu melepaskan diri dan mendirikan partai sendiri- sendiri. Hal ini terlihat dari lahirnya partai-partai yang didirikan oleh para politisi yang sebelumnya berafiliasi dengan PPP, Golkar, dan PDI. Selain itu, juga terdapat partai-partai baru yang berusaha untuk keluar dari pakem tiga partai itu sebelumnya seperti PRD dan PUDI. Dua partai ini didirikan pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Baru. Partai-partai itu juga tidak lagi terikat kepada Pancasila scbagti satu-satunya asas. Mereka bisa kembali kepada’ ikatan ideologis yang pernah mereka pakai sebelumnya. PPP, atau partai-partai y@"8 merupakan derivasi dari PPP, kembali kepada asas Islam. Demikia pula halnya PDI, atau partai-partai yang serumpun, kembali kep2d 62 g BAB 4 Partal Baru, Electoral Thresho, 1 dan Masa De Pan. Jogi nasionalisme. Hanya saja, ikatan-ik, ideo idak sekuat seperti pada 1950-an, Di gary aril pe masih APANE, Pattai-partat ity maa oe pancasila sebagai ideologi bersama, ey hi mene qu dengan yang lain, dengan demikian, tidal me ng lebih moderat. jainkan cenderung mela! Meskipun keran demokrasi dan kemajemukan mas’ mendorong a i vee "tai politk, kemunculan Partai-par- tai baru itu tidak selalu berbanding lurus dengan dua faktor terseby palin’ dak lepas dari faktabahwa negara-negara yang demokras ut, sudah mapan, cenderung lebih sedikit ditemukan adanya en 5 baru. Kalaupun keran demokrasi itu memiliki relasi yang kuat tethadep emunculan partai-partai baru, hal itu lebih banyak ditemukan di negara-negara yang sedang berproses menjadi demokrasi. Di samping itu, fakta lain juga menunjukkkan bahwa tidak semua masyarakat yang majemuk selalu melahirkan partai-partai baru di setiap saat menjelang pelaksanaan pemilu. Di negara-negara yang sistem politiknya sudah mapan tetapi juga memiliki masyarakat yang plural seperti Amerika Serikat, Australia, dan beberapa negara yang lain, relatif jarang ditemukan partai-partai baru. Satu penjelasan tentang munculnya partai-partai baru pernah dikemukakan oleh Gary W. Cox (1997: 151-172) tentang ‘strategic entry’. Di dalam pandangan teori ini, munculnya partai baru itu pada dasarnya merupakan keputusan elite politik untuk memasuki arena pemilihan sebagai kontestan baru. Keputusan demikian didasarkan pada tiga pertimbangan penting, yaitu biaya untuk memasuki arena (costofentry), keuntungan-keuntungan yang didapat manakala duduk 4i dalam kekuasaan (benefits of office), dan adanya kemungkinan untuk memperoleh dukungan dari para pemilih (probably of recen 8 electoral support). Semakin kecil biaya yang timbul dari pet ine baru, ditambah adanya keuntungan yang cukup besa ; ai jitesean, serta masih terbukanya kemungkinan memper"™ ungan dati para pemilih, maka akan semakin besa terbulanys Pembentukan partai-partai baru. Demikian pula scent ™emasuki arena pemilu itu dipandang cukup Pest B 63 tam ideologi dari pata fs B ideotogi arUS tet a p * Hdeologt arta K terlalu ekstrem yarakat itu litik Indonesia BAGIAN I: Pelembagaan Sistem Politik In n-keuntungan yang didapat ketika berkuasa tidak Seba, keuntungan-| f serta masih belum jelasnya q, ng dengan biaya yang ee Eaaeiaan akan cenderung may dari para pemilih, a iatnya untuk mendirikan partaj bary para elite mengurungkan nit . Jeena a Pandangan Gary Cox itu diperkuat olel tdi Hs ila oleh Margit Tavits (2006) di 22 negara-negara aa lenurut Ta : kemunculan partai-partai baru itu berkaitan dengan jaya Pendettaray terdapatnya dukungan keuangan (public funding), lenturnya lembage lembaga pemilihan (misalnya biaya untuk memasuki arena Pemilihan) tingkat korporatisme (keuntungan-keuntungan yang didapat dj kekuasaan), lama tidaknya tingkat demokrasi suatu Negara, d; sarnya tanda tangan yang dibutuhkan di dalam pembentukan baru (the possibility of electoral support) (Tavits, 2006: 1 14), Pandangan yang bercorak ‘pilihan rasional’ tidak jauh dari realitas yang ada di Indonesia, muncul secara bersamaan ketika keran demokra ketika tataran demokrasi sudah mulai berjalan, berkurang. Bahkan, apabila dilihat dari jumk Penurunan. Sebagaimana terlihat di dalam si Partai-partai baru yang memasuki arena p kalau dibandingkan dengan pemilu 1999, disebabkan oleh lebih ketatnya persyarat melainkan juga disebabkan oleh pertimi dala lan be. Partai seperti itu Sebenarnya Partai-partai baru iy si baru dibuka, Teta, kemunculannya relatif lah, cenderung terdapat ubbahasan di bawah ini, emilu 2004 lebih sedikit Hal ini tidak semata:mata fan di dalam pemilu 2004, bangan-pertimbangan yang n Pada saat pemilu (dana kampanye, mise) Hnsan bagi partai-partai has! pemilu 2004 jo! ps pemilu lebih kecil dari sebelumnya, Bagi partai-partai yang mempet0l kursi di DPR(D), masalah demikian barangkali lebih: mudah dit Karena biaya berpartai bisa sedi ditutup oleh potongan dari gait 64 6 BABA Partai Baru, Electoral Thresho, 4 dan Masa 0, pan anggo! dewan itu. Tetepl bagi partai-partaj vara anes taut Yang memperoleh kursi terbat jumlahny gu ada sa Kampanye itu suit diay, Keeton Pal atau banyak paral yang tidak mente ka Jeh kursi sangat terbatas pada pemilu 1999 me ch kursi atau a Pati pei 2004, atau lebih suka bergabung daskan ial fin, Kalou kemudian ada yang bermetamorfosis a Partai yang cepert Partai Keadilan (PK) menjadi PKS, atau Partai ae lain, pesaruan (PKP) menjadi PKPI, hal itu tidak lepas dav keyakinan on ajitenya untuk memperoleh suara yang lebih besar serta keberanng untuk menanggung biaya. "an Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa pada pemiu-pemila selanjutnya tidak eat ada lagi partai-partai baru yang memasuki arena, Hal itu masih dimungkinkan terjadi, Pertama, Indonesia me- rupakan*negara yang baru berproses menjadi demokrasi, Dalam situasi seperti ini, upaya uji coba mencari pola bernegara, termasuk djdalamnya pola berpartai, masih cukup besar. Kedua, belum adanya aturan yang sangat ketat di dalam pemilu (electoral rules), mengenai masuknya partai baru di dalam arena pemilu, termasuk aturan yang ketat yang mengatur partai-partai yang tidak lolos threshold untuk bermetamorfosis menjadi partai baru agar bisa mengikuti pemilu. Ketiga, pada pemilu 2004 terdapat fenomena dua partai di luar lima besar partai pada pemilu 1999 yang memperoleh dukungan cukup signifikan, yaitu Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hal serupa terjadi pada pemilu 2009. Terdapat dua partai baru yang memperoleh suara lumayan, meskipun prosentasenya di bawah PD dan PKS, yakni Partai Gerindra dan Partai Hanura. Fenomen’ demikian terjadi karena suara para pemilih masih belum terikat ust kepada partai-partai yang ada (established), schingga masih Mungkinkan untuk berpindah mencari_partai alternatif. Realitas deniken membuat partai-parai baru memiliki ang dana MO Untuk memperoleh dukungan dari para pemilih yang mencari Par alternatif itu, lak mey Memperateh yan Selain i a iuga tidak lepas dari lain itu, kemunculan partai-partai baru jue © = ai dalam ely Lf “M terlembaganya proses penyelesaian konflik inter & 65 re — indonesia iti jaan sistem Po! a 7 a baru itu tidak diditiken 5 BAGIAN I: Pelemba6: j-part kasus, parla? ite politik k i partai. Dalam banyak elainkan oleh para elite p _ ama. Ko para elite politik baru, ™ di dalam arena Konflik, khususqy, rsingkit . i tau ters mpinan partais mereka berusaha Membenty mi emilu 2004, sejumlah lite PD, . moncong banteng berlambang ™0} Bemyy rhadap parla yang kecewa tet artai baru. Kasus serupa terjadi setelah pelaksanaay itu membentuk is ok yang merasa kecewa dan tersingkir aia pemilu 2004. Kelomp\ i baru. Kasus seperti inj juga k partai s di Denpasar membentul a 7 kone i a oa partai lain, Akibat Konflik di PPP, misalny, iter politisi yang kecewa membentuk Partai aoe ius De ngan kata lain, partai-partai baru itu ibarae al : nu le’. Hanyassaja, kembali pada pertanyaan diatas, sistem kepartaian yang seperti apakah yang relevan bagi Indonesia? Di samping berangkat dati kerangka teori yang sudah ada (tentang sistem kepartaian), jawaban dar} pertanyaan demikian bisa ditemukan pada realitas empiris masyarakat Indonesia yang plural dan hasil-hasil pemilu demokratis yang pernah dilakukan. Untuk itu, subbab berikut memperbincangkan hasil pemilu 1955, 1999, 2004, dan 2009 sebagai pijakan untuk merumuskan pos- tulat tentang sistem kepartaian di Indonesia ke depan. Sementara pada subbab selanjutnya memperbincangkan salah satu instrumen penting di dalam electoral rules, yaitu electoral threshold sebagai institutional engineering di dalam membangun sistem kepartaian, mereka kecewa @! kepet dalam perebutan : partai-partai baru. Menjelang P' PELAJARAN DARI PEMILU 1955, 1999, 2004, DAN 2009 Meskipun sistem multipartai merupakan sesuatu yang jamek (natural) di dalam masyarakat Indonesia, sistem kepartaian yang mem” Perolch dukungan ril dari para pemilih pada dasarnya lebih mengatah kepada sistem yang bercorak multipartai moderat, kalau dilhat dat Sgi jumlah. Argumen demikian didasati oleh fakta hasil empat kal Pemilu secara demokratis yang pernah dilakukan, yaitu pemilu 1955 1999, 2004, dan 2009. Empat kali Pemilu ini menghasilkan parla ra ang memperoleh dukungan cukup berarti pada kisaran et sampai sembilan partai saj : ia. Partai-partai lai eb dukungan sangat kecil, Partai lainnya hanya memper® BAB 4 Partai Baru, Electoral Threshold, dan Masa Depan Pemilu 1955 merupakan emily pertama yang Paling demokratis ; dalam sejarah politik di Indonesia. Sebagai konsekuensj dari di. Goa ebjokan sistem multipartai, pemilu 1955 diikuti oleh 172 a organisasi dan perorangan. Tetapi sebagaimana terlihat di ro Ny pemilu 1955 hanya mampu menghasilkan empat partai Tee mempercich dulumngan berarti (memperoleh ded a dari lima belas persen), dan empat partai lagi yang memperoleh dukungan Kurang berart (memperoleh dukungan antara dua sampai tiga persen). Partai-partai sisanya, termasuk. Organisasi dan Perorangan, hanya memperoleh dukungan yang sangat minim, meskipun di antara mereka juga ada yang memperoleh kursi di parlemen, gan suara Tabel 4.1 Hasil Pemilu 1955 [ Partai Suara Persentase Kursi PNI 8.434.653 22,3 57 Masyumi 7.903.886 209 57 NU 6.955.141 18,4 45 PKI 6.176.914 16,4 39 Psil 1.091.160 29 8 Parkindo 1.003.325 26 8 Partai Katholik 770.740 2,0 6 PSI 753,191 2,0 5 (PKL 541.306 14 4 Perti 483.014 13 4 Murba 199.588 0s 2 Lain-lain 3.472.381 93 2 ‘Sumber: Herbert Feith (1957: 58-59), Partai-partai yang memperoleh suara itu juga mencerminkan kuat- nya basis ideologi dati masing-masing. PN memperoleh dukungan kuat dari para pengikut ideologi nasionalis, khususnya yang berada di Jawa. Masyumi memperoleh dukungan dari para pemilih Islam modern, Khususnya di Jawa bagian barat maupun di luar Jawa, NU memperoleh dukungan dari kelompok pemilih Islam tradisional, khususnya di Jawa Timur dan Tengah, Sementara itu, PKI memperoleh dukungan dari kuat dati para Pendukungnya, baik di Jawa maupun di luar Jawa. A 67 POKB PII PDR Psil PNIFM PN PNIMM IPI PKU PKD Partal-partal Lain ‘Sumber; Duight¥. King (2003: 92-93). Di dalam proses-proses politik, keempat partai itu juga yang cu- kup berpengaruh. Tetapi, dua partai lebih berperan sebagai pionir di dalam membangun koalisi, yaitu PNI dan Masyumi. Hanya saja, mengingat kekuatan mereka relatif seimbang, keempat partai besar itu tidak bisa meninggalkan partai-partai kecil yang memperoleh kursi di Parlemen, Partai-partai kecil ini merupakan sumber dukungan po an mendukung Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pt emt para nest Meskipun demikian, mengingat kekue! ‘erganggu, Kestabilan demikia een Pemerintahan Koalisi acap intervensi Kekuatan dari luar 7 Semakin terganggu karena adat# Presiden Sockarno ee " Partai-partai yang ada, khusust® Pemilu 1909 = ‘an militer, Menghasilkan pola serupa. Bedanya, pal 68 BABA Partai Baru, Electoral Threshold, dq M * CaN Masa De, Pan mill tata Hime artai Saja Y' 1.1955 menghasilkan empat partai yang mem belas persen. Sementara itu, pada pemil ang memperoleh dukungan setingkat j Golkat YAN masing-masing memperoleh dukung, 4 persen. Tetapi, secara keseluruhan, kalau dil be rolatif berarti, di atas tujuh persen, pemily sand oti besa: PDIP, Golkar, PKB, PPP, dan iainnya memperoleh suara kurang dari dua persen, Meskipun pemerintahan yang dibangun oleh hasil pemilu 1999 bu- kanlah sistem parlementer sebagaimana hasil pemilu 1955, pola koalisi antara partai yang satu dengan partai yang lain juga terjadi. PDIP yang sremenangkan pemilt 1999, gagal merebut kursi kepresidenan karene gagal membangun koalisi. Hal ini terjadi karena berdasar perolehan kursi yang dimilikinya sendiri, PDIP tidak cukup kuat untuk berdiri sendiri tanpa dukungan dari partai lain. Sebaliknya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang hanya berbasis pada partai tengahan (PKB) bisa terplih sebagai presiden karena diboyong oleh koalisi yang lebih besar (Suryadinata, 2002). Pola koalisi itu juga tercermin di dalam pergulatan politik sehari-hari karena DPR memiliki kekuasaan yang jauh besar apabila dibandingkan sebelumnya. Di dalam situasi seperti ini, makna partai-partai kecil yang memiliki kursi di parlemen lalu menjadi lebih berarti. Fenomena pemilu 1955 dan 1999 terulang kembali pada pemilu 2004, Konsentrasi perolehan suara lebih banyak menyebar ke partai- Partai tertentu saja. Meskipun demikian, kalau dibandingkan dengan Pemilu 1955 dan 1999, jumlah partai yang memperoleh dukungan cukup berarti itu lebih banyak lagi jurmlahnya, yaitu tujub parti. Di Samping lima partai sebelumnya, pemilu 2004 menghestan tue ne tambahan yang memperoleh suara cukup berarti, yaltt PKS dat D (Partai Demokrat). + do wins neat pemilu 2004 juga tidak menghas ns dati (oop nimtahan yang terbangun, sejatiny's Sebageimant argu: = calisi antara dua atau lebih partai politik. ‘ang majemuk " Arend Liiphart (1999: 30), di dalam masyarakst & 69 Peroleh duu 5am ni, yaitu PDIp dan an 33,7 persen dan ihat dari dukungan 1999 menghasilkan PAN, Partai-partaj elembagaen sistem politik Indonesia «wang dominan itu pada akhi Pi hirnya lebi dan tidak ada 7 ; model konsensus. Koalisi Untuk mp, krasi menggunakan demo : F ; e han, merupakan bagian dari konsensus itu, en M BAGIAN I: P pemerintal Tabel 4.3 Hasil Pemilu 2004 Persentase Golkar 24.480.757 PoIP 21.026.629 PKB 1.989.564 PP 9.248.764 PD 8.455.225 PKS 8.325.020 PAN 7.303.324 PBB 2.970.487 PBR 2.764.998 PDS 2.414.254 PKPB 2,399,290 PKPI 1.424.240 PPDK 1.313.654 PNBK 1.230.450 partai Patriot Pancasila 1.073.139 PNI Marhaenisme 929.159 PNUI 895.610 Partai Pelopor 878.932 PPD 855.811 Lain-lain 3.489.107 ‘Sumber: Komisi Pemilihan Umum Indonesia, KPU. Memang, pada 2004, presiden dan wakil presiden sudah ‘ih nich MPR, melainkan secara langsung dipiih ok al ‘Tetapi, mengingat para calon itu harus melalui pinta partai polith® memiliki suara dalam jumlah tertentu, proses pemilihann)? jue terlepas dari koalisi, SBY secara formal berkoalisi dens” Be PKPI, Tetapi, secara tidak langsung, juga berkoalisi denga 7 karena SBY berpasangan dengan Yosuf Kalla dari GoM ot yang terakhir ini secara formal mengusung Wiranto- - __ Kembali pada hail pemifu 2004, Meskipun terdapat wi tai yang perolehan suaranya kurang dari tiga Perse” 7 lagi di 70 4 BAB 4 Partai Baru, Electoral Threshotg,g dan Masa p, ean. emunculkan partai-partai baru yang mem, jug? permakna seperti PBR, PDS, dan PKPB, y cokup yeh suara 24 persen; 2,1 persen; dan 2 np ampalan dari PPP, PDS merupakan mee potestan, dan PKPB merupakan sem lengan keluarga Cendana. Peroleh dukungan ang Masing-masin +1 persen, PBR a wadah baru Pemilih alan dati Golkar yang dekat Re Munculnya partai-partai baru yang memperoleh suar permakna itt memberi indikasi bahwa para pemilih pada rh bolum sepenuhnya terkotak-kotak betul ke dalam Partai-partai mye sudah apan. Realtas demikin berbeda dengan apa ‘hie te: jadi di negara-negara yang sudah mapan kehidupan demokrasinya, Kalaupun ada partai-partai baru, biasanya suit memperoleh dukungan, val in erodi Karena Konsentrasi suara lebih banyak ke pata pata yang sudah mapan. Kalaupun ada perpindahan pemilih (swing voters), halitu lebih banyak terjadi di antara partai-partai dominan, Khususnya diantara partai dominan yang berkuasa kepada partai dominan yang beroposisi, atau sebaliknya, atau di antara partai-partai yang sudah ‘@yang cukup Pemilu 2004 masi ada. Fenomena munculnya PKS dan PD sebagai partai-partai yang memporoleh dukungan cukup berarti tidak lepas dari munculnya para pemilih yang mulai kritis. Para pemilih (muslim) perkotaan yang kecewa kepada para politisi periode 1999-2004, melihat PKS sebagai partai alternatif karena partai ini dikelola oleh para politisi muda yang dipandang masih relatif bersih. Sementara itu, PD didirikan oleh SBY, seorang politisi yang dipandang sebagai alternatif untuk mengganti- kan posisi Megawati sebagai presiden. Terdapat harapan dari pemilih cukup kuat, SBY bisa memimpin Indonesia ke arah yang lebih ak. Pemilu 2009 juga tidak berbeda dengan pemilu-pem! nya. Remi ini diikuti oleh 38 partai nasional dan enam Hasinya, seperti yang terlihat di dalam Tabel 44, hany eh yang memperoleh suara lumayan. Dari Sembilan pa ae witha amaranya adalah parta-partai yang sudah a¢8 eae nya dua partai baru yang masuk di dalamnya, yaita Par oa “Partai Hanura, Sebagian besar partaipartal (ba™) ee _ oT Ju sebelum- partai lokal. fa sembilan tai ini, | sia 1m Politik Indone: bagaan Siste! BAGIAN |: Pelemt yang berarti. Dengan kata lain, distribyg ara : memperoleh su‘ dasarnya lebih terkonsen, Pey dalam pemilu pada en ' i ras aaa i semua partai. re sejumlah partai dan tidak kepada pi ‘ Tabel 4.4 Hasil Pemilu 2009 No. Partai ‘Suara % 1, Partai Demokat 21.703.137 20,85 Partai Golkar 15.037.757 14,45 : POIP 14.600.091 14,03 ; PKS 8.206.955 7,88 5. PAN 6,254,580 6,01 6. PPP 5.533.214 5,32 7. PKB 5.146.122 4,94 8. Partai Gerindra 4.646.406 4,46 9. Partai Hanura 3.922.870 3,77 10. Lain-Lain* 19,048,653 18,29 {Terr dor 29 artl yong taoklles PY, Karena itu tidak memperoleh kur di DPR pug Sumber: KPU. . ELECTORAL (PARLIAMENTARY) TH RESHOLD DAN SISTEM KEPARTAIAN Meskipun secara alamiah hanya partai-partai tertentu saja yang memperoleh dukungan riil dari para pemilih, tidak menghentka minat para elite untuk mendirikan partai Politik. Partai-partai yang memperoleh dukungan minim di dalam pemilu sebelumnya pun m pikisemangat yangkuat pula untukbisa mengikuti emu berikune Konsekuensinya, sistem multpartai Pangun secaraalamiah oleh hal pe Sejak pemilu 1999, Indonesia desain kelembagaan untuk memba: mellielecorl rues, sata die, dalam literatur mengenai sistem pe berarti dukungaan sy Sesorang untul bisa disebutka (formal thresh sederhana yang seharusny® ilu itu tidak terjadi. sebenarnya sudah memberlaol® mngun sistem multipartai sede rkenalkannya electoral threshal i emilihan (electoral system), ne ara minimal yang harus dimiliki oleh pert i K memperoleh kursi di parlemen, Batasan 4°", i a dipaksakan secara formal di dalam ane old) maupun yang tercermin dari penghituns™” 72 BAB 4 Partai Baru, Electoral Threshold, dan Mag ». . ’@ Depan ,,. atematis (effective threshold) (Reynolds feed ara a ¢ demikian dimaksudkan menciptakan sistem Nena kepartaian yang stabil. Pada akhienya, sistem dan cores pemerintahan yang lebih stabil dan efektif, isa me 4 ls bisa Wojud dari threshold itu berupa persentase minim; dalam angka a; Tetapi, antara negara yang satu dengan nga mengimplementasisan sed Yang tidak sama, ada yang 67 persen atau adapula yang 10 persen. Yang Pasti adalah bahwa a, vai-partal Yan gagal memperoleh batasan suara minimal itu berarti memperoleh kursi di parlemen. ly, 1997), Perwakilan ini diyakini ‘al perolehan ara gogal ae Dengan kata lain, implikasi dari aturan seperti itu adalah, hanya partai-partai yang memperoleh suara yang cukup berarti saja yang bisa memengaruhi proses politik secara formal karena memiliki kursi di parlemen. Karena itu, penerapan threshold juga berimplikasi pada peningkatan tingkat disproporsionalitas di dalam sistem per- wakilan. Hal ini terjadi karena pada dasarnya, ketika aturan ini di- implementasikan banyak suara yang terbuang atau tidak terhitung. Di Polandia, misalnya, yang menerapkan threshold sebesar lima persen pada pemilu 1993, telah menyebabkan 34 persen suara yang terbuang karena suara ini dimiliki oleh partai-partai yang memperoleh dukungan kurang dari lima persen. Dalam threshold seperti itu, apabila dilihat dari segi jumlah, sistem kepartaian yang dimiliki oleh suatu negara bisa jadi terkategori multipartai penuh, misalnya saja memiliki lebih dari sepuluh partai. Tsai sistem Kepartaian rill yang ada di dalam pemerintahan bisa berbeda karena yang memperoleh kursi di parlemen tidak sebesar Peril yang ada. Dengan demikian, secara iil, negara-negara yang 7 einplementasikan threshold telah mendorong terwujudnya sis- Beh Part sederhana atau moderat di dalam pemerintahannya. tial ‘dak menutup kemungkinan adanya sistem dua para ea has, ace Suara partai-partai itu hanya terkonsentras N ‘ari 90 persen, pada dua partai saja. ‘amun threshold yang diterapkan di Indonesia itu lain. Pers ‘sentase Minimal +: ; ‘ ; Nik bermakna pada batasan terhadap partai-partai apa sa!2 posix inaones® BAGIAl iS , , erolelt gursi di parlemen melainkan merujuk ang berhak memp' pak mengikutl pemilu berikutnya. Di Indog 3 ; yang bet itu dipaham secara khusus 9 S ;mu! mi shold 4a” baru diberlakukan pada Pemily 200 hres shresnold-1Y2 (electoral threshold) ms ah parliament ka 1999, ang! ; di parlemen. Dari batasan demi ti pemilu 2004, yaitu roe P B. Secara riil, perolehan suarg Pa, B Ce rang dari dua persen, yaitu hanya 19 Persen. Teta, erolehan kursinya di parlemen mencapai lebih dari dy, peer seingga PBB PS? neni pit 200% Secara prosedural, partai-partal di Juar enam partai itu tidak ngikuti pemilu 2004. Kalau tetap bermaksud meng. gan partai-partai yang lain. Tetapi, pada terdapat partai-partai yang bisa mengikuti pemily bergabung dengan partai lain. Modusnya adalah sis. Para elite Partai Keadilan (PK) dan Parti (PKP), misalnya, membentuk partai baru di belakang nama partai masing-masing. njadi PKPI. Meskipun namanys dari masing-masing partai itu mile ai dari perole ven anya enam partai ya berhak meng? i PAN, dan PB! kenyataanny@, 2004 tanpa harus melakukan metamorfo: Keadilan dan Persatuan ah satu kata di PKS dan PKP met n karakteristik dengan menamb PK diubah menja berubah, para elite da tidak berubah. Sementara itu, pada pemilu 2004 persentase threshold diperbesst menjadi tiga persen dari perolehan kursi di parlemen. Hal ini dilaku- kan untuk lebih memperketat partai-partai yang mengikuti pemilt perkutnya, Secara implist,aturan demikian dimaksudkan untuk peoten sistem multipartai ke arah yang lebih moderat. Berangkal a ie threshold tiga persen itu, yang bisa mengikuti pemilt 2009 a tujuh partai politik saja. Sebagaimana sebelumnya, partai-par dengan 7 . merek: Ml sel « kun yang cukup berarti. nga secata seumula memperoleh penal pemilu 2009 ie ejumiah F diluar itu bis a i luar itu bisa mengikuti pemilu selanjutnya ketika Tetapi, sebagaimana mnya, art i, S sebage fenomena sebelumny: 7 diikuti : i oleh partai-partai hasil metamorfosis dari * s ‘ J BAB 4 Partal Baru, Electoral Threshog, ' dan Masa p, epan.., tidak folos threshold pada Pemilu 2004. Hat inj bi fakta pahwa partai-partai itu masih berusaha 4 isa dicermagj ancang-ancang untuk mengubah dir ee aktif dan reshold benar-benat diberlakukan, Medes 4 angka tiga rbeda dengan sebelumnya, yaitu aan bisa jadi ti. , atau membolak-balik singkatan partaj van Satu kata dj gelama ini Cara demikian, selain dimaksudkan sebagai pe ada bisa mengikuti pemilu selanjutnya, juga dimaksudkan untae mee menjaga relasi dengan para konstituennya. Sebab, sekiranya etap paru partal itu tidak terkait dengan nama sebelumnya, para aa akan lebih sulit mengenali. Tetapi, mengingat aturan threshold aa Jagi menjadi rujukan wajib pada pemilu 2009, partai-partai yang tidak Iolos threshold pun bisa mengikutinya. Fakta seperti itu menunjukkan bahwa threshold yang sudah dua kali dipakai tidak memiliki implikasi berarti terhadap keinginan untuk membangun sistem multipartai moderat. Jumlah partai berikut kontestan di dalam: pemilu tetap banyak karena partai-partai yang tidak lolos threshold masih dimungkinkan untuk mengikuti pemilu berikutnya dengan cara membentuk partai-partai baru. dari smemiliki perse” th dak jauh be pelakansny’ Kalau kita serius menggunakan threshold sebagai instrumen untuk membangun sistem kepartaian yang lebih sehat, mau tidak mau kita harus memikirkan efektivitas penggunaannya. Kalau tidak, aturan itu bisa kehilangan maknanya. Untuk ini, kita bisa kembali pada pemahaman tentang threshold yang kita pakai. Pertama adalah memahami dan mengimplimentasikan threshold sebagaimana terjadi di negara-negara yang lain, yaitu memahaminya sebagai batas minimal perolchan swara suatu partai polit untuk memperoleh kursi di parlemen. Tidak ada angka baku tentang per Sentase batas minimal itu, karena praktik yang dilakukan oleh ae Satu dengan negara lainnya selama ini tidak sama a ity sekiranya threshold yang seperti ini yang dipaksh a mm too tehaskan tujuh partai yang memPe® ne nas posi di daly oe upaya untuk membangun koalisi, al pemerintahan itu akan lebih mudah dilakuk2n- B 5 sm poltik indonesi? ister aicpartai yang tidak mampa me. kuti pemilu berikutnya, D, Tole Ngan ie petembasea" 5 saan, part : . bisa meng" uw aaa dan dalam jangka pendek, Peng, 7 eee jni tidak akan mengurangi jumlah ae seper idak langsung dan dalam jangka yi jel threshold moce” tida 0 i . Tetapi, aoe macam ini bisa mengurangi jumlah ve threshol n Gary Cox, misalnya, para Politi; , i, tn penggunaan Or lur pemikira | Kalau mete ieursi itu tentu saja akan mempertimbangl., oy o am ‘I ; gagal ment tetap mengikuti pemilu berikutnya. Apabila betkali kg, biaya untul di dalam pemilu, partai-partai sepert; ini ' oleh kursi n , a mengikt pemilu berikutnya, Karena biayanya tiday keg jadi ti tetapi hasilnya tidak ada. ; ; Yang kedua adalah memahami dan mengimplementasikan thres, fold seperti yang terjadi sejak 1999 itu tetapi dengan mekaniny implementasi aturan yang lebih ketat lagi. Hal demikian tidak terlepas dari fakta sebagaimana dikemukakan di atas, yaitu adanya partaj yang tidak lolos di dalam threshold tetapi masih bisa mengikuti pemily berikutnya karena mengubah diri seolah-olah menjadi partai bary, Aturan threshold yang ketat, misalnya saja, partai yang tidak lolos dilarang mengikuti pemilu dua kali secara berturut-turut. Tidak hanya partai yang dilarang, melainkan juga para elitenya juga dilarang membentuk partai baru. Yang terakhir ini perlu untuk menghindati modus metamorfosis sebagaimana terjadi sebelumnya. Alasanny, para elite yang partainya terkena aturan threshold masih bisa leluasa mendirikan partai lain dengan nama baru, atau partai yang mirip dengan partai sebelumnya. : aoe besaran threshold-nya bisa berangkat dari argumet yng bl oot yang ada di DPR. Idealnya, parta-pt komisi di DPR. Denea 7 se Petal yang meralibi wall Ov intensif memperbine, a ‘er selain bisa terlibat eee bisa menempatkan aki . 'Su-isu di setiap komisi, partai-pa keputusan, Kalau tidak, ee feta Komisi harus membuat ae itv akan mengalami a Wakil partai yang duduk di parlem®n Politik, Melalui ae ian untuk menjalankan fungsi keter™™ ; en demikian, minimal, besaran dari thre® BAGIAN 76 BAB 4 Partai Baru, Electoray Threshold, g da "Masa Depan setara dengan jumlah komisi Yang ada aj Dpr, jdalah Kalaw merujuk pada UU Pemitu yang p, 08, tieshold dalam Pengerti qahun eA itu hanya partai-partai yang ™Mampu me dalam aja yang memiliki hak untuk mem etary threshold ini hanya "bers amen Untuk anggota DPRD (provinsi, kab; Oe ey Dengan demikian, penyederhanaan part “me berlaku untuk pusat dan bukan di ee femani, model threshold mana pun yang kritik, yaitu cenderung berpihak kepada Partai-partaj yang mei dukungan besar. Threshold, apakah model pertama atau ked sama berpotensi bagi terjadinya disproporsionalit perwakilan. Di dalam threshold yang pert: partai kecil atau kelompok minoritas cenderung diab; dikeluarkan dari perhitungan untuk memperoleh kursi Sementara itu, di dalam threshold model yang kedua m mmemungkinkan bagi partai kecil untuk memperoleh leur Tetapi, pada babak selanjutnya, model ini jug kelompok kecil karena tidak memberi kese berkompetisi di dalam pemilu. 2, UU Pe hu an pertama No. 10 Y8N8 dipakai, Di ™Mperoleh « Peroleh kj laku untuk ° ara 25 ursi di DPR, Pemilihan Upaten/kota) ai yang dud, daerah, NBgota ) tidak uk di par. dipakai tidak oy Pas darj ‘Mperoleh lua, sama. ‘as di dalam sistem lama, suara Pendukung Partai- akan karena di parlemen, emang masih i di parlemen, ‘a cenderung mengabaikan ‘Mpatan selanjutnya untuk Sclain itu, mekanisme threshold pada di mmenguntungkan partai-partai yang sudah o ‘hneshold pada akhirnya cendi Kartel (Katz dan Mair, 1995) Parti baru cenderung meng: asarnya lebih cenderung ‘ukup mapan. Karena itu, lcrung memperkuat munculnya partai - Di dalam konteks partai kartel, partai- alami kesulitan untuk memasuki arena Pemilu dan Memperoleh dukungan dari para pemilih. Partai-partai Yang memperoleh kursi, khususnya partai-partai besar yang berkoalisi ‘am jabatan jabatan eksekutif, cenderung berupaya melakukan Penghadangan, tethadap partai-partai_baru agar tidak saja_ bisa uasa, Melainkan juga tidak bisa memperoleh kursi di a rai parti yang sudah mapan itu, dengan demikian, cenderung endukung diterapkannya threshold di dalam pemilu. juga me- Tetapi, Regara-negara yang memberlakukan threshold juga B 71 ~~ ia BAGIAN I: Pelembagaan sistem Politik Indones! men sendiri mengapa harus menerapkannya, a argut kilan, adanya threshold berarti akan — da, iliki s berarti di sep, "Pa . f nemiliki suara cukup. i Setig : kan partai-partai yang ™ a erart i stig ta Par epotsan-kepucusa ott: Hal fb Bisa tag; yembua : : aa * ter . a wakil itu, paling tidak, bisa terlibat aktif di dalam isu-jgy ten’ N mun lain masalahnya kalau partai itu hanya menempatkan cont lat u-isu yang berkembang cukup banyak, Di aa kil itu akan kesulitan menjanghey en i miliki konteks sistem perwal wakil sementara is' kondisi yang seperti ini, para wa" isu tersebut. . . Di samping itu, threshold pada akhirnya berkaitan dengan Site, kepartaian dan efektivitas serta stabilitas di dalam Pemerintaha, Meskipun masih diperdebatkan, terdapat argumen bahwa nega, negara yang memiliki sistem dua partai itu memiliki pemerini, yang lebih efektif dan stabil daripada negara-negara yang menerapiy sistem multipartai. Arend Lijphart (1999: 63-64), misalnya, meliha sistem dua partai memberi keuntungan langsung kepada para pen karena memberi tawaran pilihan yang jelas, Khususnya berkeitay dengan program-program yang dicanangkan. Di samping itu, sistem demikian juga cenderung menghasilkan pengaruh yang moder terhadap perubahan-perubahan perilaku pemilih. Hal ini teri karena para pemilih cenderung tidak terjebak pada pilihan-pilihan ekstrem. Terakhir, sistem dua partai itu dibutuhkan untuk membentuk suatu pemerintahan tunggal (the single party cabinet). Pemerintahan demikian diyakini bisa lebih stabil dan menghasilkan_ kebijakan- kebijakan yang efektif. u Hanya saja, secara riil, berdasarkan hasil pemilu 1955, 19%, 2004, dan 2009 Indonesia sepertinya sulit untuk membangun sist dua partai. Dalam empat kali pemilu itu selalu menghasilkan emp atau lebih partai yang memperoleh suara cukup berarti. Berdasark#® fakta demikian, yang paling mungkin adalah adanya sistem multipa™™ sederhana atau moderat, Batasan sistem multipartai sederhana atau moderat sebens"™* datang dari Giovanni Sartori (1976). Sartori membuat tipoloel ™ mikian karena didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk me”! sistem kepartaian tidak hanya bisa mengandalkan pada jum 78 Electoral thresh old, dan i, 83 Depan, y pas 4 Partai Baru, | saga kepada relasi ideologi antara yy - c AN sat akan iY a klasifikasi si a pit Feb fis Kasi sistem kepariaian, pane juralisme sederhana, yaitu manakala tog, ee pisecara ideologi ida terpolatsas, song Pat otal. Kedua, sistem pluralisme moderat, meskipun kecil, tetapi relasinya masih coor = jpris0 "Tera, sistem pluralisme ekstrem, yaitu manakala terday - apat wt mat yang berdasarkan jurolah dan ideolog, sere wey poe core sentrifugal. is } paler derajat tertentu, Hasifikasi Sartori itu sebenarnya tidak igh berbed@ dengan Klasifikasi sistem kepartaian yang dilakukan oleh inne (1968: 184-187). Bondel membuat Klass sistem ian berdasarkan jumlah, ukuran, dan dalam taraf tertentu eslogi parti. Hanya saja, tidak seperti Sartori yang member enekanan khusus pada masalah ideologi, Blondel pada dasarnya lebih makberatkan pada jumilah dan ukuran partai, Dia membagi parti fr alam empat Kategori. Pertama adalah sistem dua partai, yakni onakala terdapat dua partai yang menguasai lebih dari 90 persen jorsi di parlemen, misalnya saja ada satu partai yang memperoleh juni 55 persen, satu lagi 40 persen, dan sisanya oleh partai kecil Kedua, sistem dua setengah partai, yakni apabila terdapat dua partai dominan tetapi hanya menguasai kursi parlemen kurang dari 90 pesen. Misalnya, partai A menguasai 45%, partai B menguasai 40%, (anpartai C menguasai 15%. Ketiga, sistem multipartai dengan adanya ‘atu partai dominan, Misalnya saja, partai A 45%, partai B 20%, partai 15%, partai D 10%, dan partai E 10%. Terakhir, sistem multipartai ‘gn dk ada satu pun partai yang dominan. Misalnya saja, parti BC mses ; i Cmasing-masing dapat 25%, dan partai D 10%. Xisiiasi yang dikemukakan oleh Sartori dan Blondel itu di wt oleh iimuwan lain, seperti Alan Siaroff (2000). Ber tan jumlah, Siaroff membuat ukuran, dan relasi antarpartai, ‘ka terdapat tj Pertama adalah sistem dua partai, ketika as ‘en dy ¥ANg menguasai parlemen lebih dari 90 aang minan * Setengah Partai, manakala terdapat dua partal CO Fis Nesitikasi 79 sia BAGIAN I: Pelembagaan Sistem Politik indone: ‘ kurang dari 90 per, . 1a di parlemen ‘Sen, tetapi_penguasaanny satu partai domi tig, : f i moderat dengan s MAN, Keo, sistem multipartai m n dua partai domian, Kelp wultipartai moderat dengat jdominan eo se Sitle: partai dominan. Keen, Fi my 1 Siste, sistem mi ipartai moderat tetapi tidak ada partai dom en ekstrem dengan satu partal sominen. Ketujuh multipartai ekstrem dengan dua partal lominan. Terakhir multipartai ekstrem tetapi tidak ada satu pun partai dominan, Empat kali pemilu yang diselenggarakan Secara demok, Indonesia memberi pelajaran adanya dua corak sistem kep Pertama, berdasarkan pemilu 1955, yang muncul adalah sis, multipartai ekstrem tetapi tidak ada partai yang dominan, Pada Peni 1955 itu terdapat empat partai besar. Tetapi, relasi antarparta, yn satu dengan yang lain bernuansa konfliktual karena relasi ideologisn, cenderung bercorak ekstrem atau sentrifugal. » Sit, » Sit Tatis g attain Hasil pemilu 1999, 2004, dan 2009 sebenarnya tidak berbeda jag dengan hasil pemilu 1955. Yang membedakan adalah relasi ideologiny, yang lebih cenderung bercorak moderat dan sentripetal. Dengan kas lain, berdasarkan pemilu 1999 dan 2004, sistem kepartaian yang muncul adalah sistem multipartai moderat tetapi tidak ada satu pun partai yang dominan. Sistem kepartaian yang berangkat dari hasil pemilu 1999, 2004, dan 2009 itu bisa jadi masih belum final, mengingat demokrasi di Indonesia masih dalam proses menjadi. ‘Tetapi, berangkat dai karakteristik masyarakat Indonesia yang majemuk, sistem seperti itulah yang akan cenderung muncul. Meskipun demikian, agar relasi antarpartai tidak cenderuné Sentrifugal, diperlukan benang merah yang menghubungkan ideo logi partai yang satu dengan yang lain. Benang merah ini bi dimungkinkan manakala masing-masing partai mengakui eksises Pancasila di samping ideologi yang menjadi pegangannya. Adan* benang merah seperti itu akan lebih memungkinkan terwujudt? demokrasi Konsensus, meminjam istilahnya Lijphart, sebagai fond ain ‘ Penting bagi adanya pemerintahan yang stabil di dalam masyat™™ yang majemuk. 80 6 BAB 4 Partai Baru, Electoral Thresho, dan Masa p, pan... pENUTUP Sebagai negara yang masih berproses menj Indonesia tidak lepas dari fenomena mun Fenomena demikian lebih Mengemuka Indonesia yang plural. Tetapi, kemunculan tidak lepas dari belum ketatnya implement, pemilu, khususnya yang berkaitan dengan threshold, Para elite yang partainya tidak lolos threshold masih leluasa membentuk partaj baru, Menggunakan threshold yang lebih ketat bisa dengan dua alterna. tif. Pertama, memahami dan mengimplementasikan threshold seba. gaimana di negara-negara lain, yaitu sebagai batasan minimal bagi partai politik untuk memperoleh kursi di parlemen, Kedua, memahami threshold sebagaimana dipahami di Indonesia tetapi diimplementasikan secara lebih ketat. Misalnya saja, para elite Partai yang tidak lolos threshold itu dilarang mendirikan partai dua kali pemilu berikutaya secara berturut-turut. Implementasi dari kedua threshold itu secara adi demokratis, artai-partaj baru, a corak Masyarakat Pattai-partaj baru itu juga asi aturan-aturan di dalam culnya P karena ¢ » yaitu parliamentary Partai-partai yang mem- mampu menarik kursi di anya kurang dari 10 partai Partai-partai yang tidak Jolos masih selanjutnya, atau memiliki kesempat- karena PT hanya berlaku di pusat. Sekitanya skenatio threshold Partaian yang muncul adalah siste Sistem demikian, Parlemen yan, tidak terlalu ideologis ant Sentrifugal, threshold (PT). Di dalam sistem ini hanya peroleh suara minimal 2,5 persen saja yang DPR. Dengan demikian, diperkirakan h: yang mampu meraihnya. Tetapi, dimungkinkan mengikuti pemilu an memperoleh kursi di daerah itu dipakai lebih ketat, sistem 1 multipartai moderat. Di dalam jumlah partai yang memperoleh suara dan kursi di 'g Cukup berarti itu lebih dari dua partai tetapi jumfah banyak. Selain itu, dikatakan moderat manakala naa ‘ara partai yang satu dengan partai yang lain tidak bercoral

You might also like