You are on page 1of 11
Dimensi, Vol.4-No 1, Sepiember 2006 TAKSU DALAM KEBUDAYAAN BALI Sangayu Ketut Laksemi N*) Abstract The Balinese society (Hindu) adopts the principle or quality achievement to generate quality work called as taksu. As a base for the achievement of quality art, taksu is easier to be seen, felt, and explained in the media of dancing as the manifestation can be visually seen. This research applied the qualitative method to obtain holistic point of view from those involved within. From the analysis, taksu is basically a thinking base in the attempts of expressing values and utmost beauty meanings, The achievement on the understanding of taksu values is a principle thing for artists (undagi) giving affect in maintaining harmony and unity between bhuwana agung and bhuwwana alit in accordance with the final destination of Balinese people that is achieving the savety of universe and reaching moksa (eternity) Keywords: taksu, valuelquality of work, sekala-niskala, self actualization, uppreciation Abstrak Masyarakat Bali (Hindu) mengenal adanya suatu pedoman mengenai pencapaian kualitas untuk menghasilkan suatu karya bermutu, disebut tnksu. Taksu sebagai landasan pencapaian kualitas seni lebih mudah dilihat, dirasakan dan dijelaskan melalui bentuk tarian, karena per- wujudannya tampak secara visual. Penelitian ini_mempergunakan metoda penelitian kualitatif, tujuannya untuk memperoleh pandangan secara holistik dari mereka yang diteliti. Temuan-temuan yang diperoleh, taksu pada dasarnya merupakan landasan berpikir dalam upaya mengungkapkan nilai-nilai dan makna keindahan yang tertinggi. Pencapaian pemahaman nilai-nilai taksu merupakan sesuatu yang sangat penting bagi seniman (undagi) karena akan berdampak dalam upaya menjaga kualitas keharmonisan dan keserasian antara bhuwana agung dan bhuwana alit, sesuai tujuan akhir hidup orang Bali, yaitu : mencapai kesejahteraan jagad dan mencapai moksa (keabadian akhirat). Kata kunci : taksu, nilai/ kualitas karya, sekala- niskala, aktualisasi diri, apresiasi *) Dosen pada Program Studi Desain Interior, FSRD, Universitas Trisakti 7 TAKSU DALAM KEBUDAYAAN BALI: Sangayu Ketut Laksenu N Pendahuluan Kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan hasil karya manusia, sehingga kebu- dayaan tidak dapat dipandang telah tercapai, atau telah selesai; tetapi_ sebenarnya_kebudayaan itu adalah suatu tahap atau bagian dari cerita tentang se- jarah perkembangan kehidupan. manusia, Kebudayaan sampai saat ini dipengaruhi oleh ber- bagai unsur perkembangan dan perubahan yang sangat cepat. Kepekaan terhadap gejala-gejala perkembangan perubahan ke- budayaan tersebut mendorong manusia untuk berfikir dan bertindak kritis dalam menilai kebudayaan yang sedang ber- langsung. Dikatakan bahwa ma- nusia jaman dahulu mem- punyai cara pandang berbeda dalam menghadapi, menjalani dan menjawab —_ masalah- masalah dalam kehidupannya. Tetapi kenyataannya antara manusia yang hidup dulu dan yang hidup sekarang dengan kebudayaannya sendiri, _ ter- nyata terdapat hubungan timbal 18 balik dan terdapat unsur-unsur yang sama. Menurut Kluckhohn, di- dalam kebudayaan _terdapat suatu rangkaian konsep-konsep yang abstrak dan luas ruang lingkupnya serta keduanya hi- dup dalam alam pikiran se- bagian besar masyarakatnya, mengenai apa yang harus di- anggap penting dan_ bernilai dalam kehidupan. Ia berpen- dapat bahwa sistem nilai_bu- daya berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi bagi segala tindakan manusia dalam kehi- dupannya. Sistem nilai budaya merupakan suatu sistem tata tindakan yang lebih tinggi dari- pada sistem-sistem tata tinda- kan lainnya, seperti : sistem nor- ma, hukum, hukum adat, aturan etika, aturan moral, atu- ran sopan santun dan sebagai- nya (Koentjaraningrat, 1990:77). Kluckhohn juga berpendapat bahwa penggunaan pendekatan antropologi psikologi, salah satunya adalah sebagai suatu usaha memandang suatu kebu- dayaan sebagai satu kesatuan yang holistik, memfokuskan pada “watak khas” atau ethos, yang dipancarkan dari ke- budayaan yang sedang diteliti; penelitiannya meliputi konsep- konsep atau teori-teori psiko- logi yang dikembangkan secara universal dan dapat diterapkan pada individu-individu yang hidup dalam kebudayaan dan masyarakat di luar lingkungan itu (Koentjaraningrat,1990:37). Sedangkan Kant menya- takan bahwa ciri khas dari kebudayaan terdapat di dalam kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri. Dalam kebudayaan manusia__ tidak hanya bertanya _ bagaimana sifat-sifat sesuatu, tetapi juga bagaimana sesuatu itu bersifat. Sehingga Kant beranggapan gejala kebudayaan selalu ber- langsung dalam suatu ke- tegangan.” Disini Kant berusaha menguraikan bahwa__ kete- gangan yang dimaksud adalah antara_ lingkaran _ fakta-fakta yang mengurung manusia di- satu pihak dalam keniscayaan alam dan dipihak lain keter- ' Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta, Penerbit Kanisius,1985:h.14. Dimensi, Vol4-No 1. September 2006 bukaan yang diperoleh dari proses evaluasi; atau maksud- nya ketegangan antara “ima- nensi” (serba terkurung) dan “transendensi” (yang mengatasi sesuatu, berdiri diluar sesuatu). Kebudayaan Bali pada hakikatnya berasal dari konsep- konsep — perwujudan _ konsep religi dalam pengaturan tingkah laku manusia yang dilandasi oleh agama Hindu. Bali telah terkenal bukan hanya karena keindahan alamnya saja tetapi juga karena keunikan, kekhasan seni budayanya yang tumbuh berlandaskan dari jiwa agama Hindu, tidak dapat dipisahkan dari keseniannya, dan dalam masyarakat yang berciri sosial religius.? Pada kebudayaan Bali terdapat potensi-potensi dasar membangun dan struktur yang melandasi sebagai dasar perta- hanan kebudayaan asli. Potensi- potensi tersebut memfokuskan diri kepada watak khas atau ethos yang terpancar dari kebu- dayaan asli mereka. Potensi- * Mantra,IB., Landasan Kebudayaan Bali, Denpasar, Yayasan Dharma Sastra, 1996;h.2. . 19 TAKSU DALAM KEBUDAYAAN BALI: Sangayu Ketut Laksemi N potensi tersebut terdapat dalam bentuk konsep-konsep dasar, sebagai berikut : konsep dualis- tik Rwa-Bhineda, Desa Kala Patra, Trihita Karana, dan Taksu (Mantra,1996 25-26). Berdasarkan konsep-konsep ter- sebut di atas kebudayaan Bali telah _mempunyai kemampuan dalam memelihara — kehar- monisan dan keutuhan_ per- kembangan kebudayaan aslinya dalam menghadapi_ tantangan kebudayaan baru atau moderni- Dibutuhkan __ kreatifitas yang berkelanjutan dari masya- rakatnya agar kebudayaan asli ini dapat dilalui tanpa “kete- gangan”, serta dapat mengem- bangkan kebudayaan asli tanpa menghilangkan akar dan ke- pribadian budaya. Konsep religi masyarakat Hindu Bali tidak dapat dipisah- kan dari kesenian, dan kesenian dalam perspektif Hindu mem- punyai kedudukan yang men- dasar. Menurut Bandem, untuk menumbuhkan rasa seni yang mendalam, masyarakat Bali mewujudkannya pada berbagai bidang seni terutama bidang sasi. 20 seni pahat, seni gamelan, seni tari, seni hias, seni bangunan dan sebagainya. Masyarakat Hindu (Bali) percaya akan kemahaesaan Tuhan (Hyang Widhi), dan mereka meyakini bahwa bukanlah ciptaan manusia, melainkan cip- taan Tuhan. Mereka juga berke- wajiban untuk “mempersem- bahkan” kembali hasil karya tersebut ke sumber pencipta- Nya. Bagi masyarakat Bali kar- ya seni apapun wujudnya adalah merupakan _refleksi kehidupan masyarakat dalam upaya mengungkapkan_nilai/ kualitas esensi sesuatu karya yang mengandung keindahan, rasa kemanusiaan, rasa bhakti, serta keselarasan antara lahiriah dan batiniah. Nilai atau kualitas suatu karya sebagai cerminan daya kreatifitas dan religiusitas tidak akan tercapai sasaran jika proses kreatifitasnya berjalan diatas jalan yang tidak jelas. Kualitas kesenian = menurut perspektif Hindu berlandaskan nilai-nilai kebenaran kesenian kepada (logika), etika atau moral, ke- indahan dan sekaligus ke- sucian. Maka dapat dikatakan bahwa para insan seni Bali (jaman silam) beribadah di jalan kesenian. Dalam berbagai aktivitas kehidupan sosial dan kesenian pada budaya Bali, terdapat suatu konsep dasar dari nilai budaya yang berorientasi_ ke- pada kualitas penciptaan suatu karya; yaitu kemampuan atau kekuatan diri seniman dalam upaya menghasilkan karya seni yang berkualitas. Konsep dasar ini dikenal dengan sebutan Taksu. Masyarakat Bali mema- hami taksu sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan berkesenian terutama pada ta- hap proses penciptaan. Taksu diyakini sebagai kekuatan dalam (inner power), artinya suatu kemampuan atau potensi yang memberi kecerdas- an, keindahan dan sekaligus mukjizat; sebagai suatu krea- tifitas budaya yang memberikan kekuatan spiritual kepada seniman dalam me- ngungkapkan diri “lebih besar” murni Dimensi, Fol4- No I. September 2006 dari kehidupan — sehari-hari. (Mantra, 1996: 26) Taksu diperkirakan me- ngandung_nilai-nilai _ tradisi yang berhubungan antara kre- atifitas dan aktualisasi diri seseorang secara sekala dan niskala (nyata dan tidak nyata) kepada profesinya. Unsur se- kala atau nyata berkaitan antara seniman, karya dan apresiasi masyarakatnya. Sedangkan da- lam unsur niskala (tidak nyata) berkaitan dengan sesuatu yang absolut; hakekat proses pencip- taan itu sendiri dalam makna yang luas (praxis) disaat seni- man dalam proses penciptaan menuju ke wujud (gestalt) men- jadi sesuatu bentuk yang baru (eidos). Taksu telah menjadi ba- gian dari kehidupan orang Bali (covert culture) dan telah men- jadi cara pandang mereka dalam upaya mempersembah- kan kualitas suatu karya. Dilain pihak terdapat dilema kultural yang sedang terjadi saat ini pada kebudayaan Bali, salah satunya nilai-nilai sakral atau nilai-nilai Tahi dalam taksu 21 TAKSU DALAM KEBUDAYAAN BALI: Sangayu Kerut Laksemi N yang sudah menjadi pakem yang baku (final) banyak ditemukan dengan cara pan- dang yang berbeda. Dilema terjadi pada masyarakat seni- man tradisional dalam meng- hadapi perkembangan budaya lain (asing). Taksu sebagai bagian dari inti kebudayaan Bali diperkirakan sedang meng- alami penyesuaian dengan kondisi saat ini, yang telah mempengaruhi pola kehidupan dan perilaku masyarakatnya. Ruang Lingkup Taksu Dikatakan bila taksu hadir pada seniman dan dalam karyanya, maka akan membuat seniman dan karya seninya tersebut bertaksu (metaksu - memenuhi unsur-unsur taksu). Taksu dalam pengertian ma- syarakat Hindu Bali bergerak dalam ruang lingkup konsep pribadi (individu) _ seniman, karya, dan masyarakat dengan memberikan penghargaan atau pengakuan (apresiasi) dengan sebutan metaksu. Oleh karena itu dapat diperkirakan dasar pemikiran taksu berdasarkan ae kepada pencapaian _ kualitas pada dunia nilai (niskala) dan pada dunia materi (sekala). ‘Taksu sebagai konsep pribadi mengandung unsur- unsur yang terdapat dalam dunia nilai, seperti : hukum kar- ma (karmapala), konsep har- moni (Tri Hita Karana), desa kala patra, etika dan keindahan. Sedangkan Taksu dalam karya, perwujudannya terdapat dalam ruang lingkup dunia materi (sekala), seperti : wujud karya seni sakral dan seni sekuler yang meliputi , seni tari : wali, bebali, dan balih-balih; seni patung (artifak); sastra (ka- kawin); seni bangunan = arsitek- tur : pura, puri, griya, jero dan umah, Maka dunia nilai dalam kebudayaan Bali merupakan inti dari kebudayaan yang tidak dapat berubah (covert culture), sedangkan dunia materi me- rupakan kebudayaan fisik yang dapat berubah (overt culture). Proses penciptaan se- buah karya menurut Aristoteles, adalah melalui Poiesis (menge- tengahkan) fikiran dengan kon- sep-konsep (Mimesis) melalui suatu (materi) menuju sesuatu (bentuk); dan hakikat pen- ciptaan (desain) adalah Praxis, penciptaan sebuah ujud (gestalt) menjadi sesuatu yang baru (eidos), yaitu. bersatunya dunia materi dan bentuk. Pengertian Praxis adalah proses menuju katharsis, dari sesuatu menjadi keberadaan yang baru bukan- lah proses kerja tanpa makna, atau bekerja untuk maksud dan tujuan tertentu (Widagdo,2005: 8). Disini_pengertian Praxis lebih luas, bahwa seseorang (se- niman) dalam proses pencipta- an itu terjadi penghayatan dan pencerahan, sehingga adalah absolut. Taksu. dalam konteks kebudayaan (kesenian tradisi- onal) Bali merupakan wujud persembahan (yadnya) kepada Praxis Tuhan, yang diaplikasikan kedalam wujud karya, seperti : tarian, patung, lukisan, seni bangunan dan sebagainya. Para seniman tradisional_menjalan- kan profesinya bukan untuk pengakuan, peng-hasilan atau keuntungan mendapatkan Dimensi. Vol4-No I. September 2006 dari karya-karyanya, tetapi lebih kepada kepuasan bathin karena telah menyampaikan makna-makna keindahan. Kekuatan keindahan yang dipancarkan akan berbeda pada setiap profesi atau aktivitas yang di-lakoninya, —_sebab mereka men-cari “roh” atau 4jiwa” dalam karyanya. Maka memang tepat bila dikatakan para seniman tradisi- onal ini beribadah karya-karya seninya. Dalam ta- rian yang bersifat sakral atau gaib, pancaran kekuatan ter- refleksi dalam gerakan yang ekspresif diyakini memperoleh anugerah dari Tuhan. Demikian pula pada rumah tradisional di bangun undagi dengan me- menuhi landasan filosofi dan tata aturan tradisional mem- bangun, diyakini akan “meng- hidupkan” taksu atau kekuatan pada pekarangan dan bangunan itu sendiri. Dengan meng- hidupkan taksu tersebut maka penghuni akan me- rasakan ketenangan, kebahagia- an lahir dan bathin. melalui rumah 23 TAKSU DALAM KEBUDAYAAN BALI: Sangayu Ketut Laksemi N Proses perenungan yang dalam akan pakem-pakem tra- disi_ menjadi pencarian jati diri mereka. Kondisi ini terlihat dari kehidupan mereka yang seder- hana, melakoni kesenimanan- nya dengan laku membumi, berpasrah diri dengan kekuatan alam, dan menyatu dengan lingkungan masyarakatnya. Perkembangan taksu saat ini, bahwa terdapat nilai-nilai budaya tradisi yang telah meng- alami penyesuaian dengan per- - kembangan jaman. Penyesuaian dalam pengertian tidak me- tubah nilai-nilai sakral budaya yang berdasarkan ajaran agama Hindu, tetapi penyesuaian ter- jadi kepada tata aturan yang si- famya untuk _ kepentingan duniawi. Kesimpulan Dapat dirangkum beberapa pengertian atau pemahaman Taksu di masyarakat Hindu Bali saat ini, yaitu : © Niskala sebagai yang wujudnya abstrak tetapi mempengaruhi jiwa karena didalamnya meru- sesuatu 24 pakan pedoman yang telah ada dalam alam _pikiran mereka sebagai tujuan un- tuk mencapai kualitas da- Jam kehidupan ber-agama dan bermasyarakat; sehing- ga perwujudannya dalam diri hanya bisa dirasakan oleh masing-masing _pri- badi. Sekala sebagai _sesuatu yang nyata, sebagai se- suatu yang dapat dilihat, dapat didokumentasikan, dapat dirasakan secara pri- badi (undagi) dan secara umum (masyarakat). Ben- tuk nyata dapat diekspresi- kan dalam karya seperti tarian, bangunan, patung, sastra dan sebagainya. Per- wujudan atau pencapaian kualitas pribadi_ tersebut adalah merupakan proses aktualisasi_ diri_seseorang secara pribadi kepada pro- fesinya. Aktualisasi diri, makna se- cara pribadi mencapai ke- puasan spiritual tertinggi dalam berkreasi wujudnya niskala (subjektif), tetapi yang tampak di masyara- kat merupakan suatu ke- manunggalan antara un- dagi dan karyanya dan ini kemudian menjadi sekala (objektif). Tujuan utama undagi dalam berkarya adalah bentuk dari aktua- lisasi diri kepada Tuhan, dengan memberikan ke- sempurnaan yang tertinggi melalui bentuk — persem- bahan suci yang indah. Persembahan tersebut di- landasi oleh akal budi dan perasaan hati (intuisi), taat pada nilai-nilai yang me- njadi landasan untuk men- capai taksu (kualitas yang absolut). Apresiasi. Kemanunggalan karya tersebut bagi ma- syarakat, diperoleh karena masyarakat sebagai peng- amat atau sebagai peng- huni dapat merasakan, da- pat memahami, dan dapat menerima secara objektif makna simbol-simbol yang disampaikan oleh undagi (seniman). Simbol-simbol yang disampaikan adalah Dimensi, Vol4-No 1, September 2006 bukan hanya sesuatu yang baik, yang indah, tetapi suatu kebenaran yang be- nar dan itu indah. Dalam kasus ini penghuni griya merasakan keindahan, ke- tenangan, dan kedamaian; dan kemudian memberikan _ pengakuan, penghargaan sebagai undagi yang me-taksu atau karya yang —_me-taksu (mencapai taksu). Apresiasi masyarakat tersebut bukanlah suatu tujuan utama yang ingin dicapai pengertian taksu, tetapi lebih kepada pengabdian _ tulus ikhlas dan dedikasi total se- seorang (undagi) kepada pro- fesi yang dilakukannya. Wujud pengabdian dan dedikasi total tersebut secara nyata dapat terlihat dari pro- ses kreatif undagi dalam mematuhi kaidah-kaidah yang terdapat dalam filosofi dan tata aturan membangun. Taksu adalah merupa- kan wajah terdalam dari ke- senimanan Bali, taksu bukan peninggalan masa lampau dalam 25 TAKSU DALAM KEBUDAYAAN BALI: Sangayu Kenut Laksemi N yang tidak mungkin diterap- kan dan didapatkan pada masa kini. Nilai-nilai_ yang terdapat dalam taksu dapat dikatakan sangat relevan bagi pembangunan di masa kini, karena nilai-nilai yang ter- kandung dalam taksu_ ber- tujuan intinya untuk tetap menjaga_ keharmonisan dan keselarasan kedua alam bhu- wana agung dan bhuwana alit, sebagai ciri khas kebudayaan dan kesenian Bali. Taksu merupakan nilai- nilai potensi, kemampuan, ke- kuatan dalam diri atau benda yang dapat memancarkan pe- sona, wibawa, daya pukau dan karisma yang dapat ditangkap melalui akal, budi, dan intuisi manusia. Maka taksu sebenar-nya telah ada dalam diri setiap individu yang harus disadari dan dibangkitkan. Untuk mem bangkitkan kekuatan tersebut diperlukan dedikasi, semangat atau motivasi dalam tanggung jawabnya kepada profesi atau lakon yang dibawakan, 26 Pada dasarnya pada se- tiap kebudayaan didunia me- miliki yang, serupa atau sama dengan taksu yang terdapat dalam kebudaya- an Bali. Perbedaannya kemung- terletak pada proses kreatif atau tata cara penyam- paian maknanya. Untuk itu dirasakan per- lu para akademisi dan praktisi bidang terkait dengan masalah budaya untuk meningkatkan perhatian terhadap wawasan budaya sendiri, budaya lokal. Hal ini bukan hanya dipandang sebagai romantisme masa lalu, tetapi dapat pula dijadikan re- ferensi dalam upaya pelestarian nilai-nilai budaya itu sendiri. Dengan harapan tulisan ini da- pat menjadi salah satu wacana, diskusi mengawali penggalian kembali makna-makna luhur budaya agar dapat terus relevan meng- hadapi perkembangan jaman. nilai-nilai_ luhur kinan dan masukan dalam Referensi Djelantik,A.A.M., Estetika Sebuah Pengantar, MSPI, Bandung, 2001 Granoka, Ida Wayan Oka., Taksu dan Ekspresi Bali, Seni Hidup Menyongsong Masa Depan Surgawinya., Denpasar: Sudarman Jayatman Ritam, 1998 Hobart, Angela., The Peoples of Bali., UK : Blackwell, 1996 Koentjaraningrat., Pengantar Antropologi I, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990 Laksemi, Sangayu Ketut., Taksu Dalam Kesenian Bali (Kajian Arsitektur Rumah Tradisional Bali, Studi Kasus ; Griya), Tesis Program Magister Desain ITB, Bandung, 2005 Mantra, 1.B., Landasan Kebudayaan Bali, Denpasar: Dharma Sastra, 1996 Margolin, Victor., The Idea of Design, The MIT Press, London: Cambridge, 1979 Dimensi Vol.4- No 1, September 2006 Rader, Melvin., A Modern Book of Esthetics, An Anthology, USA: Holt, Rinehart and Winston, Inc, 1972 Sternberg, Robert J., Handbook of Creativity, Cambridge USA: University Press, 1999 Widagdo., Desain dan Kebudaya- an, Direktorat Jend. Pendidikan Tinggi, Dept. Pendidikan Nasional, 2000 ei]

You might also like