You are on page 1of 27

KONSEP KEBIJAKAN PERENCANAAN

DAN
TREND PERKEMBANGAN TEKNOLOGI JEMBATAN
Oleh:
Dr. Ir. Mustazir
DAFTAR ISI
1. Perkembangan Peraturan Perencanaan 1
2. Konstruksi Jembatan di Indonesia 2
a. Perkembangan Konstruksi Jembatan 2
b. Tantangan ke Depan 4
3. Jembatan Dengan Teknologi Kabel 5
4. Perkembangan Teknologi Kabel Baja Jembatan 7
5. Bentang Maksimum 7
6. Perkembangan Jembatan Bentang Panjang 10
a. Generasi Pertama 10
b. Generasi Kedua 11
c. Generasi Ketiga 11
d. Generasi Keempat 12
7. Arah Perkembangan Jembatan Bentang Panjang di Indonesia 14
8. Konstruksi Jembatan Versus Bentang Ekonomis 14
9. Prosedur Pengadaan Jembatan Bentang Panjang 15
10. Evaluasi Kebijakan Perencanaan Pembebanan 16
a. Ultimate Limit States 16
b. Serviceability States 17
c. Umur Rencana Jembatan vs Periode Ulang Kejadian 17
d. Jembatan Bentang Panjang 18
11. Perkembangan Konsep Analisis 19
a. Perilaku Kabel Jembatan 19
b. Jembatan Cable-stayed 20
c. Jembatan Gantung 21
d. Jembatan Sistem Hibrida 22
12. Perencanaan Kabel Jembatan 22
13. Aspek Aerodinamis Dalam Perencanaan Jembatan Bentang Panjang 23
DAFTAR RUJUKAN
1. Perkembangan Peraturan Perencanaan
Pada awal tahun 1970an, peraturan perencanaan untuk perencanaan teknik jembatan
dirasakan sangat kurang. Pada saat itu hanya ada pegangan perencanaan yaitu Peraturan
Muatan Indonesia, PMI 1970. Peraturan muatan ini, tidak secara khusus diperuntukkan dalam
perencanaan jembatan dan oleh karena itu, untuk merencanakan suatu jembatan umumnya
para perencana masih menggunakan peraturan-peraturan dari negara lain seperti dari Amerika
Serikat (AASHTO), Inggris (British Standard), Jepang (Japan Road Association) dan dari
negara lainnya termasuk juga peraturan peninggalan zaman kolonial dan pada tahun 1971
dikeluarkan Peraturan Beton Indonesia yang dikenal dengan PBI 71 yang dipakai untuk
perencanaan konstruksi gedung dan pada saat itu, secara terbatas dipakai juga untuk
merencanakan konstruksi jembatan.
Perkembangan peraturan perencanaan khususnya untuk konstruksi jembatan selama kurun
waktu 1971 sampai dengan dekade 90an belum banyak berarti dan masih terbatas pada usaha
penyempurnaan-penyempurnaan seperti penyempurnaan Peraturan Muatan Jalan Raya dan
pengembangan peraturan-peraturan Perencanaan Gempa untuk Jalan Raya dan Jembatan.
Dan dalam aplikasinya pembebanan (loading) di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami
kemajuan dan peningkatan yang cukup pesat sejalan dengan kebutuhan prasarana transportasi
darat dan air yang kian berkembang. Hal ini dapat dilihat dengan adanya peningkatan kelas
beban rencana jembatan yang pada dekade 80-an ini kelas beban rencana jembatan hanya
dikenal satu kelas yaitu BM 100% untuk jembatan permanen dan BM 70% untuk jembatan
semi-permanen.
Secara umum, peraturan perencanaan yang dibuat sejak awal Pelita, belum secara khusus
diperuntukkan untuk perencanaan konstruksi jembatan. Upaya pembuatan peraturan
perencanaan jembatan secara lengkap baru terlaksana pada tahun 1989 melalui kerjasama
dengan Pemerintah Australia selama kurang lebih 3 tahun. Selama kurun waktu ini tidak kurang
dari 17 modul yang dihasilkan. Keseluruhan modul tersebut diperuntukkan untuk mencakup
semua kegiatan penanganan jembatan mulai dari kegiatan manajemen dan operasional
jembatan termasuk juga Peraturan Perencanaan Jembatan.
Walaupun sampai saat ini untuk modul peraturan ini masih bersifat draft, namun substansi dan
cakupan bahasan yang sangat luas, telah memudahkan perencana dalam melaksanakan untuk
kegiatan perencanaan jembatan khususnya untuk perencanaan jembatan dengan panjang
bentang sampai dengan 100 meter. Disamping itu tersedia juga manual penggunaannya, yang
akan memberikan petunjuk-petunjuk praktis dalam memilih dan menentukan tipe konstruksi,
sehingga dapat mempermudah dalam melakukan perencanaan awal (preliminary design).
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 1
Peraturan perencanaan jembatan ini dikenal dengan Bridge Manajemen System, BMS 92
menggunakan pendekatan analisa kekuatan batas (limit state). Pendekatan analisa ini sangat
berbeda dengan yang umumnya digunakan selama ini yaitu analisa tegangan batas (Working
Stress Design) yang pendekatannya menurut teori elastis. Pendekatan limit state ini sedikit
lebih kompleks dibandingkan dengan cara tegangan batas, namun demikian cara ini lebih
realistis dan rasional sehingga lebih ekonomis. Penggunaan cara limit state ini telah diterapkan
di Australia sejak 1992 dengan Austroads-nya, di negara Eropa dengan Eurocode dan negara
Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu.
2. Konstruksi Jembatan di Indonesia
a. Perkembangan Konstruksi Jembatan
Pembangunan jembatan di Indonesia sejak awal era Order Baru sampai saat ini lebih
didominasi dengan penggunaan teknologi bangunan atas standar diantaranya: konstruksi
Rangka Baja, 35m s/d 100m; Gelagar Komposit 20m s/d 30m; Balok T, 6m s/d 25m; Balok
Beton Pratekan 16m s/d 40m; Balok Beton Berongga (voided slab), 5 s/d 16m dan lain
sebagainya. Kebijaksanaan dibidang jembatan dalam menggunakan konstruksi bangunan atas
standar pada saat itu merupakan pilihan yang tepat karena kebutuhan akan pembangunan
jembatan yang komprehensif sangat mendesak mengingat masih banyak bagian-bagian daerah
di Indonesia yang perlu dihubungkan dengan prasarana jalan darat yang handal.
Walaupun penggunaan konstruksi bangunan atas standar begitu banyak dalam program
pembangunan prasarana jalan di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti penggunaan jenis
bangunan atas non-standar ditinggalkan. Teknologi bangunan atas jembatan juga mengalami
perkembangan dari tahun ke tahun khususnya untuk melintasi sungai-sungai yang lebar yang
tidak dimungkinkan menggunakan jembatan tipe bangunan atas standar. Seperti konstruksi
gelagar box beton pratekan yang dilaksanakan dengan sistem kantilever cast-in-place.
Penggunaan konstruksi ini tidak luput dari perkembangan teknologi beton pratekan di Indonesia
dan pemilihan bentuk konstruksi yang umumnya menerus di atas empat tumpuan sehingga
dapat dilaksanakan mulai dari pilar. Keuntungan lain dari pelaksanaan sistem kantilever ini
adalah adanya redistribusi momen dari konstruksi tiga bentang sehingga penampang jembatan
lebih optimal. Tercatat Jembatan Maas River di Belgia (1949) merupakan jembatan beton
pratekan sistem menerus yang pertama kali dibuat di dunia.
Di Indonesia jembatan tipe ini pertama kali dibangun adalah Jembatan Rantau Berangin di
Provinsi Riau pada tahun 1972 dan sejak itu tidak kurang ada 3 jembatan sejenis lainnya yang
dibangun dengan panjang bentangan yang bervariasi yaitu:
Jembatan Rantau Berangin (198m)
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 2
Provinsi Riau dengan bentang utama 121m dan bentang sisi simetris 38,5m yang
dibangun pada kurun waktu 1972 - 1974.
Jembatan Rajamandala (222m)
Provinsi Jawa Barat dengan bentang utama 132m dan bentang sisi simetris 45m yang
dibangun pada kurun waktu 1972 -1979.
Jembatan Serayu Kesugihan (274m)
Provinsi Jawa Tengah dengan bentang utama 128m dan bentang sisi masing-masing
62m dan 84m yang dibangun pada tahun 1978 - 1985.
Jembatan Mojokerto (230m)
Provinsi Jawa Timur dengan bentang utama 62m. Konfigurasi jembatan
22+62+62+62+22m dibangun pada kurun waktu 1975 1977.
Jembatan Arakundo (210m)
Provinsi Aceh dengan bentang utama 96m dan bentang sisi simetris 57m yang
dibangun pada tahun 1987 - 1990.
Khusus untuk tiga jembatan pertama di atas, telah direncanakan oleh Putra-Putra Indonesia.
Jembatan Rajamandala direncanakan oleh Prof. Rosseno dan Prof. Wiratman. Sedangkan
untuk Jembatan Rantau Berangin direncanakan oleh Ir. Lutfi dan untuk Jembatan Kesugihan
direncanakan oleh Direktorat Espran (sekarang Direktorat Bina Teknik, Ditjen Bina Marga) dan
pihak PT Hutama Karya.
Dilihat dari konfigurasi bangunan atas jembatan tipe ini, tampak bahwa besarnya bentangan ini
memang tidak bisa dijangkau lagi oleh konstruksi bangunan atas dari standar rangka baja yang
umum digunakan di Indonesia maksimum berkisar 60m sampai dengan 100m, disamping
ditunjang dengan kondisi sungai dan kebutuhan bentangan yang memungkinkan untuk dibuat
dengan konfigurasi tiga bentangan. Umumnya jembatan tipe ini dibuat dengan bentangan
utama berkisar 70 sampai lebih dari 250m. Sedangkan untuk konfigurasi bentangan yang lebih
besar dimana sistem ini tidak optimal lagi, penggunaan konstruksi yang menggunakan kabel
sebagai elemen utama yang akan menjadi pilihan.
Sejarah penggunaan metode konstruksi kantilever pada gelagar box pratekan ini sebenarnya
sudah lama digunakan pada konstruksi baja dan Brazil merupakan negara pertama yang
menggunakan metode konstruksi kantilever untuk jembatan gelagar beton yaitu pada Jembatan
Rio do Peixe, Herval dengan bentang utama 68,5m. Sedangkan, jembatan pertama dibangun
dengan menggunakan metode konstruksi balance cantilever adalah Jembatan Lahn, Jerman
(1951) dengan bentang utama 62m dan dua tahun kemudian disusul oleh Jembatan
Nibelungen, Jerman dengan bentangan 101,65m + 114,2m + 104,2m.
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 3
b. Tantangan ke Depan
Dilihat dari statistik jumlah jembatan yang ada di Indonesia baik pada ruas jalan Nasional dan
jalan Provinsi kondisi umum rata-rata jembatan dapat dikatakan 95% jembatan dalam kondisi
mantap. Pembangunan maupun penggantian jembatan di Indonesia khususnya untuk ruas
jalan nasional dan provinsi sudah dapat dikatakan hampir selesai. Pada saat ini program
pemeliharaan dan rehabilitasi jembatan terus dipacu untuk menjamin jaringan jalan yang sudah
dibangun tetap operasional sedangkan program penggantian dan pembangunan baru semakin
berkurang pada dasawarsa mendatang ini.
Disamping itu, tantangan ke depan yang akan dihadapi dalam bidang jembatan di Indonesia
adalah pembangunan jembatan-jembatan yang melintasi sungai-sungai besar dan jembatan-
jembatan yang dapat menghubungkan pulau-pulau di tanah air ini. Keadaan ini menuntut
jembatan-jembatan dengan bentang panjang mutlak diperlukan terutamanya untuk melintasi
sungai-sungai besar dan teluk-teluk yang ada di Indonesia yang umumnya digunakan pula
sebagai prasarana transportasi hasil tambang/hutan dan pelayaran ocean-going yang melayani
kebutuhan komoditi expor-impor.
Khusus di Pulau Kalimantan dimana sungai-sungai yang ada umumnya berbentuk palung yang
dalam, dari keseluruhan ruas trans-Kalimantan masih ada segmen jalan yang belum bisa
dihubungkan secara langsung lewat prasarana darat, seperti untuk melintasi sungai Kapuas di
Kota Tayan di Provinsi Kalimantan Barat dan untuk lintasan di Teluk Balikpapan. Kedua
lintasan ini memiliki bentangan yang relatif cukup besar, kurang lebih 1000 sampai 2000 meter.
Sedangkan beberapa lintasan yang lain yang sudah ada (di Pulau Kalimantan ini) dapat
dikategorikan cukup besar di Indonesia sudah diselesaikan seperti Jembatan Kapuas Landak,
Jembatan Semuntai, Jembatan Kapuas Murung, Jembatan Mahakam-1 dan Jembatan Sungai
Barito. Menyusul Jembatan Mahakam-2, 50 km di hulu Jembatan Mahakam-1. Terakhir ini akan
dibuka untuk umum pada tahun 2001 mendatang dan menjadi jembatan gantung dengan
bentang terpanjang di Indonesia (270 meter) dengan panjang total 705 meter.
Pembangunan jembatan dengan bentang besar harus didasarkan pada aspek teknis dan
ekonomis serta aspek lingkungan terutama keserasian terhadap daerah sekelilingnya.
Pertimbangan untuk mendapatkan opening-span yang ditentukan sebesar 240 meter seperti
pada Jembatan Barito tidak dapat lagi menggunakan teknologi jembatan rangka baja standar,
yang umumnya digunakan untuk bentang pendek sampai dengan bentang 100 meter. Karena
diperkirakan berat per meter struktur bangunan atas menjadi kurang lebih 9,9 ton/m. Ini jauh
lebih besar dari berat rata-rata untuk bentangan 100 m yang kurang lebih 3,5 ton/m. Oleh
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 4
karena itu, teknologi jembatan alternatif sangatlah diperlukan khususnya lintasan teluk seperti
Teluk Balikpapan dan Teluk Ambon.
3. Jembatan Dengan Teknologi Kabel
Penguasaan teknologi pembangunan jembatan bentang panjang baik dari aspek peralatan,
material maupun perencanaannya mutlak dibutuhkan. Pembangunan jembatan di daerah
perkotaan dengan kondisi lahan yang terbatas dan volume lalu lintas yang harus tetap
operasional, menuntut diperlukannya peralatan dan metode konstruksi yang tepat serta material
yang baik, disamping teknologi yang menunjangnya. Penggunaan dan penguasaan teknologi
material yang kuat dan ringan juga sangat diperlukan untuk pembangunan jembatan
berbentang panjang.
Material yang kuat dan ringan yang sering dipakai pada konstruksi jembatan umumnya berupa
komponen kabel baja atau strand. Kabel sebagai komponen utama jembatan, pertama kali
dipakai pada jembatan gantung yang dibuat pada abad 19 masih menggunakan baja cor biasa.
Perkembangan teknologi material kabel ini semakin hari semakin berkembang.
Penggunaan kabel sebagai elemen utama jembatan umumnya dipakai dalam bentuk
konfigurasi suspension (gantung) dan cable-stayed atau kombinasi kedua sistem tersebut.
Konsep jembatan gantung (Gambar 1) sendiri sudah lama dikenal dan Jembatan Menai (177m)
di Inggris yang dibangun pada tahun 1826 merupakan jembatan gantung pertama. Umumnya
konsep jembatan ini digunakan untuk bentangan yang cukup panjang yang tidak
memungkinkan menggunakan konsep cable-stayed.
Gambar 1. Jembatan Gantung
Penggunaan konfigurasi ini pada pembangunan jembatan bentang panjang sudah banyak
digunakan sejak awal abad 20-an diantaranya adalah Jembatan Golden Gate di San Francisco,
USA dengan bentangan 1280 meter dan Jembatan gantung Akashi-Kaikyo yang
menghubungkan 2 pulau besar di Jepang yaitu pulau Honshu dan Shikoku, JEPANG yang
selesai pada tahun 1998 merupakan jembatan gantung terpanjang di dunia dengan bentangan
bersih pilon ke pilon adalah 1991 meter.
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 5
Sedangkan jembatan dengan konfigurasi cable-stayed, dimana sistem deck jembatan didukung
oleh kabel yang dihubungkan langsung dengan pilon (Gambar 2) umumnya di pakai untuk
jembatan dengan bentangan sedang sampai 450 meter. Teknologi jembatan ini dikembangkan
oleh Jerman setelah Perang Dunia II dimana pada saat itu pemerintah Jerman dihadapkan
pada pembangunan jembatan dalam jumlah yang besar akibat perang dengan waktu dan biaya
yang murah. Teknologi jembatan cable-stayed ini sebenarnya sudah dikenal sejak zaman
dahulu bahkan sebelum teknologi jembatan gantung. Pada saat ini jembatan dengan
konfigurasi cable-stayed terpanjang yang pernah dibangun adalah Jembatan Normandi di
Perancis dengan bentang utama pilon ke pilon adalah 856 meter dan merupakan rekor dunia
untuk sistem ini.
Gambar 2. Jembatan Cable-Stayed
Penggunaan sistem cable-stayed pada jembatan bentang yang lebih panjang akan memerlukan
pilon yang cukup tinggi sehingga tidak ekonomis bila digunakan. Perkembangan baru untuk
mendapatkan bentangan yang relatif lebih besar dari sistem ini yaitu dengan memberikan gaya
tarik pada sistem gelagar jembatan untuk mengurangi gaya tekan yang terjadi sistem cable-
stayed. Gaya tarik ini diberikan dengan cara menghubungkan satu kabel stay yang langsung
dihubungkan dengan angker-blok. Sistem ini diperkenalkan oleh JMI Consultant, Perancis yang
diberi nama BI System.
Gambar 3. Jembatan Sistem Hibrida
Konsep gabungan antara suspension dan cable-stayed merupakan sinergi yang memungkinkan
sebagai alternatif untuk mendapatkan bentangan ultra panjang dimana sistem cable-stayed
yang ada mencapai batas kemampuan maksimumnya sedangkan konsep gantung tidak
kompetitif untuk bentangan pendek. Teknologi jembatan yang menggabungkan konsep-konsep
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 6
jembatan kabel yang sudah ada, dikenal dengan nama Sistem Hibrida (Gambar 3) yang
merupakan rekayasa untuk mendapatkan jembatan dengan bentangan ultra panjang.
4. Perkembangan Teknologi Kabel Baja Jembatan
Untuk mendukung konstruksi yang besar, umumnya dipilih material kuat dan ringan. Pada
konstruksi jembatan yang sering dipakai berupa komponen kabel baja atau strand. Kabel
sebagai komponen utama jembatan pertama kali dipakai pada jembatan gantung yang dibuat
pada abad 19 masih menggunakan baja biasa. Teknologi material kabel ini semakin hari
semakin baik dan saat ini sudah banyak digunakan pada jembatan gantung atau jembatan
cable-stayed.
Kualitas kabel baja yang digunakan pada jembatan gantung umumnya memiliki tegangan
ultimate 1570MPa seperti yang digunakan pada Jembatan Barito di Kalimantan Selatan.
Namun pada saat ini sudah dapat dibuat kabel dengan tegangan ultimate 1770MPa seperti
yang dipakai untuk Jembatan Gantung Mahakam-2 di Tenggarong, Kalimantan Timur. Kabel
pada jembatan ini disusun dalam bentuk spiral strand dengan diameter 57,9 t 0,5mm yang
terbuat dari 115 wire yang berdiameter antara 3,810 4,826 mm yang umumnya dibuat di
pabrik yang kemudian diangkut ke lokasi jembatan. Modulus Elastisitas dari kabel tersebut,
kurang lebih 160.000MPa (modulus elastisitas mild steel 200.000MPa). Diameter terbesar yang
dapat dibuat adalah 110mm.
Untuk jembatan gantung yang relatif lebih panjang kabel penggantung umumnya disusun di
lokasi atau sering disebut dengan Aerial Spinning baik dalam bentuk paralel wire ataupun long
lay wire. Pada Jembatan Gantung Akashi-Kaikyo kabel penggantung dibuat dalam bentuk
paralel wire atau dikenal dengan Aeral Spining Paralel Wire Strand.
Sedangkan, kabel yang dipakai pada jembatan sistem cable-stayed, lebih sering digunakan 7
wire strand (strand) dengan diameter 0,5 inch atau 0,6 inch. Kabel ini, umumnya yang memiliki
modulus elastisitas berkisar 200.000MPa, dan akhir-akhir ini sudah bisa dibuat dengan
tegangan ultimate 2000MPa. Masing-masing strand umumnya dibungkus dengan High Density
Polyethelen (HDPE) untuk melindungi terhadap bahaya korosi sedangkan untuk masing-masing
wire dapat diberi perlindungan hot dip galvanized. Dalam penggunaannya pada sistem
jembatan cable-stayed, strand tersebut dapat dibundel sampai sebanyak 87 strand tergantung
pada sistem angker blok yang ada dan kemudian dapat dibungkus dengan HDPE sebagai
proteksi terakhir.
5. Bentang Maksimum
Berapa panjang bentang jembatan yang maksimum dapat dipakai untuk melintasi teluk ataupun
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 7
selat adalah sangat tergantung pada tingkat penguasaan teknologi jembatan dari perencana.
Penguasaan teknologi tersebut yang harus dikuasai oleh para perencana meliputi:
Penguasaan teknologi bahan khususnya baja.
Penguasaan dalam pemilihan konfigurasi struktur termasuk teknologi.
Penguasaan dalam permodelan struktur dan dalam melakukan analisis.
Penguasaan pembuatan model dan pengujian.
Seperti dijelaskan sebelumnya, teknologi jembatan berkembang terus dari tahun ke tahun
tercerminkan dengan semakin panjangnya bentang jembatan yang berhasil dibangun. Hal ini
ditunjukkan juga dengan beberapa buku rujukan dimana tidak sedikit buku-buku rujukan
tentang jembatan masih menyatakan bahwa jembatan kabel dengan konfigurasi cable-stayed
ekonomis untuk bentangan pendek sampai menengah (450meter) tetapi dengan
perkembangan teknologi sekarang sudah ada yang dibangun dengan bentang tengah
856meter. Perkembangan ini terlihat semakin mencolok pada awal abad ke-21 ini.
Tabel 1 berikut ini menunjukkan trend perkembangan panjang bentang tengah jembatan
gantung sejak pembangunan jembatan gantung modern pertama di Menai pada tahun 1826
sampai sekarang.
Tabel 1. Jembatan Gantung Bentang Panjang
Nama Jembatan Panjang Bentang (m) Selesai Bangun Negara
Menai 177 Thn 1826 Inggris
Brooklyn 486 Thn 1883 Amerika Serikat
Golden Gate 1.280 Thn 1937 Amerika Serikat
Selat Messina 3.300 Design Italia
Selat Gibraltar 5.000 Design Spanyol/Marocco
Apabila data tersebut diplot dengan panjang bentang sebagai fungsi tahun bangun, maka
akan didapatkan suatu kurva eksponensial seperti Gambar 4. Kurva ini menunjukkan batas
panjang bentang tengah jembatan gantung maksimum yang dapat dicapai dengan dukungan
kemampuan teknologi ultimit pada suatu kurun waktu tertentu.
Mengingat bentuk kurva di atas adalah eksponensial, maka hal ini berarti bahwa perkembangan
Teknologi Jembatan di masa lampau terjadi relatif lambat dan bergerak semakin cepat di masa
datang. Namun, mengingat kemampuan/kekuatan bahan (khususnya baja) ada batasnya, maka
dapat diperkirakan bahwa di abad ke-21 nanti kurva tersebut akan mencapai suatu titik belok,
dimana kurva tersebut beralih dari cekung menjadi cembung. Jadi, sampai kapanpun kita tidak
akan mungkin dapat membuat jembatan gantung dengan bentang tengah misalnya sampai
10.000 meter. Dengan adanya kurva ini, maka di tahun 2000-an seperti sekarang ini kita
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 8
ketahui bahwa panjang bentang maksimum dapat dipakai untuk menyeberangi selat atau teluk
berkisar antara 3.000 sampai 3.500 meter. Sudah barang tentu panjang bentang maksimum ini
tidak harus diterapkan bila dengan bentang yang lebih pendek diperoleh hasil yang lebih
menguntungkan.
Gambar 4. Perkembangan Teknologi Jembatan (after Wiratman)
Beberapa jembatan gantung yang sudah dibangun dan apabila diplot pada Gambar 4 di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa: (1) Perencana tidak selalu memanfaatkan secara optimal
kemampuan teknologi yang ada; (2) Tidak diperlukan penggunaan panjang bentang maksimum
karena dengan bentang lebih pendek diperoleh hasil yang ekonomis.
Tabel 2. Pembangunan Jembatan Gantung Bentang Panjang
Nama Jembatan Panjang Bentang (m) Tahun Bangun Negara
Verrazano Narrow 1.298 1964 Amerika Serikat
Tsing Ma 1.377 1997 Hongkong
Jiangsu 1.385 1998 Cina
Humber 1.410 1981 Inggris
Great Belt-East 1.624 1998 Denmark
Akashi Kaikyo 1.991 1998 Jepang
6. Perkembangan Jembatan Bentang Panjang
Inovasi dan perkembangan teknologi bahan khususnya baja saat ini dapat dianggap sudah
mencapai ultimitnya, oleh karena itu kehandalan (performance) suatu jembatan gantung
dengan bentang panjang menjadi sangat tergantung pada pemilihan konfigurasi struktur serta
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 9
tingkat ketelitian dan kecanggihan dalam melakukan analisis dan design. Ada 3 faktor yang
mempengaruhi tingkat kehandalan struktur jembatan gantung, yaitu:
Keseimbangan kekakuan antara pilon dan dek yang akan menentukan karakteristik
vibrasi struktur dalam respon beban angin dan beban gempa.
Bentuk penampang dek yang akan menentukan besarnya tahanan jembatan terhadap
hembusan angin.
Kepekaan terhadap instabilitas dinamik yang disebut flutter akibat angin.
Perkembangan kemampuan untuk memiliki bentang yang panjang sesungguhnya
dilatarbelakangi oleh perkembangan kemampuan para perencananya dalam menangani faktor-
faktor di atas. Dalam perjalanan waktu, perkembangan teknologi jembatan dapat dibagi dalam 3
generasi.
Generasi Pertama
Jembatan gantung generasi pertama profil kabel gantung penggantung berupa catenary klasik
atau konvensional, seperti yang ditunjukkan oleh Jembatan Golden Gate, dimana pilon dan dek
jembatan relatif kaku dengan tinggi dek 8 meter. Bentuk penampang melintang dek berupa
rangka baja prismatik, tahanan terhadap angin relatif besar dan tidak aerodinamis.
Akibat gempa jembatan gantung Generasi Pertama akan mengalami getaran kuat pada pilon
dan deknya, sedangkan akibat angin akan mengalami drag yang besar yang harus dilawan oleh
inersia dan kekakuan lateral dek. Pada umumnya jembatan gantung Generasi Pertama
menunjukkan kondisi flutter pada kecepatan angin yang relatif rendah. Panjang bentang tengah
maksimum yang dapat dicapai oleh generasi ini hanya sekitar 2.000 meter, seperti pada
Jembatan Akashi Kaikyo, tinggi dek 14 meter (Gambar 5).
Gambar 5. Cross-Section Jembatan Akashi Kaikyo
Generasi Kedua
Jembatan Humber merupakan jembatan dari Generasi Kedua dimana pilon yang relatif kaku
tetapi dek yang lebih fleksibel dengan penampang melintang berupa single box yang lebih
aerodinamis. Akibat gempa jembatan gantung dari Generasi Kedua akan mengalami getaran
yang relatif kuat pada pilon tetapi relatif kecil pada dek. Sedangkan akibat angin akan
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 10
memberikan tahanan yang relatif kecil sehingga dapat dilawan oleh kekakuan lateral dek yang
tidak terlalu besar. Pada umumnya jembatan dari Generasi Kedua menunjukkan kondisi flutter
pada kecepatan angin relatif lebih besar dari jembatan Generasi Pertama. Panjang bentang
tengah maksimum yang dapat dicapai oleh jembatan generasi ini adalah juga sekitar 2.000
meter. Jembatan Great Belt-East dengan bentang tengah 1.624 meter dan tinggi dek 4,35
meter merupakan salah satu jembatan dari Generasi Kedua yang sudah hampir mencapai
batas panjang bentangnya (Gambar 6).
Gambar 6. Penampang melintang Jembatan Great Belt-East
Generasi Ketiga
Untuk mendapatkan bentangan lebih dari 2.000 meter, diperlukan penyempurnaan lebih lanjut
dari konsep Generasi Kedua baik pada pilon maupun pada dek. Jembatan Selat Messina
(1994) dengan bentang tengah 3.300 meter merupakan contoh pertama jembatan gantung
Generasi Ketiga. Disini baik pilon maupun dek jembatan relatif lebih fleksibel dari generasi
sebelumnya. Penampang melintang dek terdiri dari 3 box yang disebut elemen sayap (wing
element), masing-masing berbentuk sangat aerodinamis dan tinggi tidak lebih dari 3 meter.
Ketiga box ini digabungkan pada balok-balok melintang (cross beam) dengan tinggi tidak lebih
dari 4,5 meter berjarak antara 30 meter dengan celah udara di antara box (Gambar 7).
Gambar 7. Penampang melintang Jembatan Selat Messina
Akibat gempa jembatan gantung ini hanya mengalami getaran kuat pada pilonnya, yang karena
fleksibilitasnya yang relatif tinggi berfungsi sebagai base isolator meredam perambatan getaran
lebih lanjut, sehingga deknya tetap relatif tenang. Akibat angin jembatan ini memberikan
tahanan relatif sangat kecil karena bentuk dek yang sangat aerodinamis dan adanya celah-
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 11
celah udara di antara masing-masing box yang dapat meloloskan angin. Jembatan ini
menunjukkan kondisi flutter pada kecepatan angin yang relatif tinggi. Panjang bentang
maksimum yang dapat dicapai oleh jembatan Generasi Ketiga ini diperkirakan sekitar 5.000
meter, yang ditunjukkan oleh rencana Jembatan Gibratar (2016) dengan bentang tengah 5000
meter itu. Di sini diterapkan sistem hibrida.
Generasi Keempat
Perkembangan tipe konstruksi pada Generasi Keempat ini masih mungkin dikembangkan yaitu
dengan cara mengimplementasikan tipe Generasi Ketiga dimana pilon dan deknya sama-sama
lentur (flexible) yang memungkinkan konstruksi tersebut cukup adaptable terhadap beban-
beban dinamis angin dan gempa.
Selain hal di atas Generasi Keempat ini masih memungkinkan lagi melakukan suatu konstruksi
gabungan (hybrid) antara lain dengan menggabungkan tipe konstruksi cable-stayed dan tipe
gantung; menurut rencana untuk jembatan-jembatan dengan kelas ultra-panjang dengan
bentang > 3.000 m sudah layak menggunakan tipe ini, salah satunya adalah rencana jembatan
Selat Sunda (Gambar 8) yang terdiri dari 3 alternatif yaitu :
Alternatif I : bentang 2.000 m 2.500 m
Alternatif II : bentang 3.500 m
Alternatif III : bentang 5.000 m
Perbandingan harga konstruksi alternatif terhadap jembatan ultra-panjang dapat dilihat pada
tabel di bawah ini:
Tabel 3. Perbandingan Harga Alternatif Penyeberangan Selat Messina
No.
Alternatif Penyeberangan
Waktu
Pelaksanaan
(tahun)
Harga
(milyar Lira)
1997
Harga
(milyar USD)
1997
1. Terowongan di bawah permukaan
laut (50 km)
17 20.000 11,83
2. Terowongan terapung (5,77 km) 11 15.000 8,88
3. Jembatan ultra-panjang (6,60 km) 8 5.100 3.02
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 12
Gambar 8. Rencana Alignment Jembatan Selat Sunda
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 13
7. Arah Perkembangan Jembatan Bentang Panjang di Indonesia
Jembatan-jembatan gantung yang sudah atau sedang dibangun di Indonesia dewasa ini baru
berbentang ratusan meter. Seperti ditunjukkan dalam Tabel 4, tiga jembatan gantung pertama
yang sudah atau sedang dibangun di Indonesia dewasa ini adalah berturut-turut Jembatan
Membramo (1996) dengan bentang tengah 235 meter, Jembatan Barito (1997) dengan bentang
tengah 240 meter dan Jembatan Mahakam II (1998) dengan bentang tengah 270 meter. Ketiga
jembatan ini masih menganut konsep Generasi Pertama.
Tabel 4. Jembatan Panjang di Indonesia
Nama
Jembatan
Konfigurasi Kabel Panjang Bentang
(m)
Tahun
Bangun
Generasi
Membramo Double Catenary 235 1996 Pertama
Barito Double Catenary 240 1997 Pertama
Mahakam II Classical 270 2001 Pertama
Batam-Tonton Cable-Stayed 350 1998 Kedua
Jembatan antara Pulau Batam dan Pulau Tonton (1998), salah satu dari 6 jembatan Barelang,
sebenarnya bukan merupakan jembatan gantung tetapi jembatan cable-stayed. Untuk jenis
jembatan cable-stayed, bentang tengah sepanjang 350 meter tergolong cukup panjang.
Dengan penampang melintang dari deknya berupa single box berbentuk aerodinamik, maka
konsepnya adalah ekivalen dengan konsep Generasi Kedua dari jembatan gantung.
8. Konstruksi Jembatan Versus Bentang Ekonomis
Untuk jembatan bentang panjang, kabel umumnya dipakai sebagai elemen utama bangunan
atas mengingat bahan konstruksi lainnya biasanya tidak lagi efektif digunakan. Batas
maksimum suatu jenis bangunan atas jembatan yang masih efektif, dapat dilihat pada Gambar
9 di bawah. Gambar ini menunjukkan skematik berbagai jenis bangunan atas jembatan sebagai
fungsi dari panjang bentang maksimum yang dapat dicapai dilihat dari segi teknis perencanaan
dan pelaksanaan maupun dari segi efisiensi.
Untuk bentangan jembatan lebih besar 200 meter, jembatan yang didukung dengan sistem
kabel lebih ekonomis. Sedang untuk bentang lebih pendek, bangunan atas berupa rangka baja
pelengkung atau jembatan balok pelengkung menjadi pilihan. Sedangkan untuk bentangan
yang lebih pendek biasanya digunakan rangka baja tipe warren atau beton pratekan. Lebih
lanjut, jembatan dengan sistem kabel pada bentangan yang lebih dari 1000 meter, tipe cable-
stayed tidak lagi ekonomis dan tipe gantung akan menjadi pilihan. Disamping itu, pemilihan tipe
cable-stayed sangat dipengaruhi lebar jembatan dan jenis rangka pengaku yang digunakan.
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 14
2000 10 16 25 40 120 200 300 500 1000
Balok T
Balok T Modifikasi
Pratekan
Pratekan U
Rangka Baja
Cable-stayed
Gantung
TIPE
BANGUNAN ATAS
Bentang Ekonomis
B
a
l
o
k

T
P
r
a
t
e
k
a
n
B
a
l
o
k

T

M
o
d
i
P
r
a
t
e
k
a
n

U
R
a
n
g
k
a

B
a
j
a
C
a
b
l
e
-
s
t
a
y
e
d

G
a
n
t
u
n
g
BENTANG (M)
Gambar 9. Bentang Ekonomis Jembatan
Sistem konfigurasi kabel sebagai elemen utama bangunan atas jembatan dalam
penggunaannya biasanya dalam bentuk cable-stayed ataupun dalam bentuk gantung atau
gabungan kedua konfigurasi tersebut. Kabel sebagai elemen struktural jembatan di sini hanya
dapat menerima dan kuat terhadap beban aksial tarik saja dan tidak dapat menerima atau
menahan beban momen maupun beban geser serta puntir.
9. Prosedur Pembangunan Jembatan Bentang Panjang
Pengadaan jembatan bentang panjang seperti Jembatan Teluk Balikpapan maupun jembatan
Teluk Ambon harus melalui tahapan-tahapan studi yang komprehensif dan mendetail studi
sosial ekonomi dan budaya, Pra-FS, FS, Preliminary Design, Design Development, Detail
Engineering dan seterusnya seperti digambarkan pada flow-chart berikut ini.
Flow-Chart 1. Tahapan Pekerjaan Proyek
10. Evaluasi Kebijakan Perencanaan Pembebanan
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 15
(min 5 Th)
Peraturan perencanaan jembatan Bina Marga (BMS 92) merupakan pegangan dalam
perencanaan jembatan di Indonesia. Peraturan ini memberikan saran perencanaan jembatan
yang dapat menjamin tingkat keamanan, kegunaan dan tingkat penghematan yang masih dapat
diterima dalam perencanaan struktur jembatan atau dengan kata lain merupakan standar
minimum yang menjamin keamanan, kegunaan dan penghematan dalam perencanaan
jembatan (yang masih dapat diterima).
Peraturan Bina Marga ini, mencakup perencanaan jembatan jalan raya dan pejalan kaki. Untuk
jembatan bentang panjang (lebih dari 100 meter) dan penggunaan struktur yang tidak umum
atau yang menggunakan material dan metode baru harus diperlakukan sebagai jembatan
khusus.
Prinsip umum perencanaan yang diatur dalam peraturan ini, harus didasarkan pada prosedur
yang memberikan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diterima, untuk mencapai suatu
kondisi batas selama umur rencana jembatan. Dengan asumsi jembatan dibangun memenuhi
persyaratan perencanaan dan dipelihara dengan baik selama umur rencana (umur rencana
peraturan ini adalah 50 tahun).
Perlu dicatat bahwa jembatan-jembatan tidak direncanakan untuk dapat mendukung semua
kemungkinan beban, seperti beban yang ditimbulkan akibat perang. Namun demikian setiap
aksi atau pengaruh yang terjadinya yang dapat diramalkan sebelumnya, harus dipertimbangkan
dalam perencanaan.
a. Ultimate Limit States
Aksi-aksi yang dapat menyebabkan suatu jembatan menjadi tidak aman, merupakan aksi-aksi
batas (ultimate actions) dan respon jembatan yang disebabkannya merupakan keadaan batas
puncak (Ultimate limit state, ULS).
Keadaan batas puncak adalah: (1) Kehilangan keseimbangan statis akibat sliding, overturning
atau terangkat baik sebagian maupun keseluruhan jembatan; (2) Kerusakan bagian jembatan
akibat fatik dan atau korosi yang menyebabkan keruntuhan dapat terjadi. (3) Keadaan purna
elastis atau tekuk, dimana keruntuhan dapat terjadi pada satu atau lebih bagian jembatan; dan
(4) Keruntuhan pondasi yang menyebabkan pergerakan yang berlebihan, atau keruntuhan
bagian-bagian penting jembatan. Aksi ultimate didefinisikan, adanya kemungkinan 5% keadaan
untuk dilampaui selama umur rencana jembatan.
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 16
b. Serviceability Limit States
Keadaan batas daya layan (serviceability Limit States, SLS) dicapai apabila reaksi jembatan
tidak layak pakai atau menyebabkan kekhawatiran umum (masyarakat) terhadap keamanan
jembatan atau kekuatan, atau umur layan jembatan berkurang secara signifikan.
Keadaan batas daya layan ditandai dengan (1) Perubahan bentuk permanen dari pondasi atau
elemen utama jembatan; (2) Kerusakan permanen akibat korosi, retak dan fatik; (3) Vibrasi; dan
(4) Banjir pada jaringan jalan dan daerah sekitarnya, dan scouring yang merusak alur sungai,
tebing dan embankment jalan. Aksi-aksi yang menyebabkan keadaan batas daya layan adalah
aksi-aksi daya layan. Aksi daya layan didefinisikan, kemungkinan 5% dilampaui per tahun.
c. Umur Rencana Jembatan vs Periode Ulang Kejadian
Umur rencana jembatan diasumsikan 50 tahun (peraturan Bina Marga), kecuali untuk jembatan
sementara dan moduler dapat diambil lebih kecil yaitu 20 tahun. Sedangkan untuk jembatan
yang memiliki nilai strategis dan ekonomi yang dikategorikan sebagai jembatan khusus (yang
ditetapkan oleh yang berwenang), harus direncanakan dengan umur rencana 100 tahun atau
lebih. Jembatan Teluk Balikpapan dan Jembatan Teluk Ambon termasuk kelompok jembatan
khusus oleh karenanya harus memenuhi kriteria tersebut.
Perkiraan umur rencana tidak berarti jembatan tidak dapat berfungsi lagi pada akhir umur
rencana. Dan tidak juga berarti bahwa jembatan masih bisa dipakai selama umur rencana
tanpa dilakukan pemeriksaan dan perbaikan yang cukup.
Dengan umur rencana 50 tahun, periode ulang pada prinsip perencanaan ULS adalah 1000
tahun, mengingat kemungkinan terjadinya aksi dengan periode ulang tersebut, dibatasi sebesar
5%. Sedangkan pada perencanaan SLS, periode ulang aksi adalah 20 tahun.
Hubungan antara periode ulang dan umur rencana jembatan adalah sebagai berikut:
Dimana:
Pr = kemungkinan terjadi selama umur rencana (%)
R = umur rencana jembatan (tahun)
D = periode ulang (tahun)
Periode ulang kejadian untuk prinsip perencanaan ULS untuk umur rencana jembatan 100
tahun yang dihitung dengan rumus [1] di atas adalah 2000 tahun.
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 17
] 1 [
1
1 1
D
r
R
P
]
]
]


d. Jembatan Bentang Panjang
Mengingat peraturan perencanaan yang berlaku (Bina Marga) untuk umur rencana 50 tahun,
maka perlu dilakukan koreksi atas peraturan ini, agar dapat digunakan pada perencanaan
Jembatan Teluk Balikpapan dan Teluk Ambon. Faktor koreksi umur tersebut hanya digunakan
pada perencanaan Ultimate Limit States.
Faktor koreksi ini dapat ditentukan dengan asumsi bahwa frekuensi terjadi kejadian acak
mengikuti distribusi eksponensial dan ini dianggap cukup tepat untuk kasus banjir, angin topan
dan temperatur (tinggi). Distribusi ini diasumsikan juga cukup akurat untuk beban lalu lintas
(ekstrim), tetapi tidak dapat dipakai untuk pengaruh gempa.
Dengan menggunakan distribusi eksponensial, maka hubungan antara besarnya aksi dan
periode ulang rata-ratanya dapat ditentukan sebagai berikut:
Dimana:
Mo = besaran yang diketahui
Ro = periode ulang dari Mo
M1 = besaran dari periode ulang R1
R1 = periode ulang dari M1
Dari rumus [2] di atas faktor koreksi umur rencana jembatan 100 tahun dari umur rencana 50
tahun adalah 1.1x, atau dengan kata lain besar aksi yang ada pada peraturan perencanaan
Bina Marga harus dikalikan dengan faktor sebesar 1.1, terutama untuk beban lalu lintas, angin,
temperatur dan banjir.
Aplikasi dari faktor koreksi umur dari peraturan Bina Marga pada beban lalu lintas UDL (D-Lane
load) sebagai berikut:
Dimana:
L = panjang bentang (m)
q = intensitas beban dalam kPa.
Umumnya, jembatan yang termasuk kelompok jembatan khusus, memiliki panjang bentang
lebih besar dari 100 meter, yang merupakan batas atas dari jembatan standar yang diatur
peraturan Bina Marga tersebut, maka standar beban lalu lintas perlu ditinjau. Biasanya
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 18
] 2 [
) (
) (
0 0
1

R Ln
R Ln
M
M
i

] 3 [
15
5 , 0 8 10 , 1
]
]
]

+
L
x q
besarnya, L harus ditentukan dari konfigurasi beban lalu lintas yang menyebabkan konstruksi
menjadi kritis. Untuk mendapatkan panjang bentang yang menyebabkan kondisi kritis, dapat
dilakukan dengan menggunakan garis pengaruh.
11. Pengembangan Konsep Analisis
a. Perilaku Kabel Jembatan
Untuk dapat mendukung beban yang bekerja pada lantai jembatan khususnya pada jembatan
sistem cable-stayed, maka kabel penggantung harus diberi gaya pratekan. Untuk memberikan
gaya pratekan pada kabel, maka perlu dihitung panjang kabel yang diperlukan sehingga
didapatkan gaya pratekan yang diinginkan. Rumus catenary di bawah ini dapat digunakan
untuk menentukan panjang kabel yang diperlukan untuk mendapatkan gaya pratekan yang
diinginkan.
dimana:
=panjang kabel
L =jarak lurus kabel
h = sag kabel
= berat sendiri kabel
P = gaya axial pada kabel
Dalam aplikasi perencanaan jembatan dengan sistem cable-stayed, dimana umumnya gaya
axial kabel (P), berat sendiri kabel ( ), dan jarak lurus kabel diketahui, dengan menggunakan
rumus-rumus catenary di atas, maka panjang kabel yang diperlukan dapat ditentukan.
Rumus lain yang dapat dipakai untuk menentukan panjang kabel adalah
Panjang kabel yang dihitung dengan rumus [6] ini, akan sama dengan yang dihitung dengan
rumus [4] di atas.
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 19
] 4 [
4
sinh
4
4
1
2
1
2

]
]
]
]

,
`

.
|
+
,
`

.
|
+

L
h
h
L
L
h L

] 5 [
8
2

h
L
P

] 6 [
5
32
3
8
1
4 2

]
]
]
]

+
,
`

.
|

,
`

.
|
+
L
h
L
h
L
b. Jembatan Cable-stayed
Dalam pelaksanaan konstruksi jembatan, setiap tahapan konstruksi, besarnya gaya-gaya
dalam, tidak boleh melampaui kapasitas penampang dan pada tahap akhir pembebanan,
perpindahan titik puncak tower dan lendutan lantai jembatan harus memenuhi yang disyaratkan
dalam perencanaan.
Pada kasus jembatan sistem cable-stayed, pada tahap akhir dari pembebanan (beban
konstruksi), displacement dari puncak tower harus sekecil mungkin dan masih dalam toleransi.
Demikian pula dengan lendutan pada lantai jembatan. Sebagai syarat, bahwa displacement dari
lantai pada posisi kabel (stay support) akibat beban konstruksi bekerja harus sekecil mungkin.
Dengan dicapainya lendutan pada posisi kabel yang kecil, bidang momen dari lantai jembatan
menjadi optimum dan bahkan dapat dicapai kondisi momen positif hampir sama dengan
momen negatif pada setiap peralihan antar tumpuan stay.
Untuk mendapatkan kondisi tersebut di atas dapat dilakukan dengan mengaplikasikan gaya
pratekan (gaya aksial) pada kabel. Dengan cara demikian, setiap tahapan pelaksanaan
konstruksi jembatan besarnya gaya pratekan dapat ditentukan.
Analisa struktur jembatan sistem cable-stayed, metode konstruksi akan menentukan tahapan
analisa. Untuk maksud tersebut dalam melakukan analisa struktur jembatan cable-stayed,
paket software yang memiliki kemampuan menganalisa elemen kabel dapat digunakan dengan
memanfaatkan metode konstruksi yang dijelaskan berikut ini.
Metode konstruksi jembatan ditentukan dengan sistem kantilever dengan menggunakan
traveler. Analisa 2-D digunakan untuk menentukan gaya pratekan pada kabel untuk mendukung
berat sendiri konstruksi dan perkiraan beban lalu lintas yang akan bekerja serta beban akibat
peralatan konstruksi.
Pada tahapan analisa 2-D ini, akibat berat sendiri dan akibat beban tambahan, cable profile
(gaya pratekan) ditentukan sehingga demikian lantai jembatan tidak mengalami sag (diukur dari
kondisi awal analisa) dan tower jembatan tidak mengalami overstress, yang umumnya diukur
dimana puncak tower dikontrol sehingga pada saat awal service tidak mengalami perpindahan
(offset) dari kondisi awal analisa atau sebelum beban lantai bekerja. Untuk mendapatkan
kondisi demikian, maka gaya pratekan pada masing-masing kabel harus ditentukan secara
iterasi, agar didapatkan kondisi yang optimum.
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 20
Mengingat dalam mendapatkan profil kabel yang optimum diperlukan iterasi, maka kondisi
simetris jembatan dapat dimanfaatkan, agar experimental dapat lebih mudah dan mengurangi
waktu kerja.
Setelah profile kabel ditentukan, analisa 3-D diperlukan untuk mendapatkan perilaku konstruksi
terhadap konfigurasi beban lalu lintas. Perilaku jembatan terhadap beban angin, gempa juga
akan ditentukan dari analisa 3-D. Namun demikian dalam tahap analisa 2-D beban-beban
tersebut harus juga dipertimbangkan mengingat selama pelaksanaan jembatan, pengaruh
beban tersebut tidak bisa diabaikan.
Gambar 10. Gaya Pratekan Pada Jembatan Cable-stayed
c. Jembatan Gantung
Seperti pada analisa struktur jembatan cable-stayed, profil atau geometri kabel ditentukan untuk
sesuai tahapan pembebanan konstruksi. Geometri kabel umumnya ditentukan dengan
menetapkan panjang kabel penggantung sehingga setelah beban mati beserta beban mati
tambahan bekerja displacement puncak tower jembatan tidak mengalami overstress.
Gambar 11. Tahapan Konstruksi Sistem Gantung
Apabila program komputer digunakan, panjang kabel dapat ditentukan secara coba-coba
seluruh beban mati yang diperkirakan akan bekerja pada sistem konstruksi/jembatan dan
umumnya dapat dicapai dengan relatif lebih mudah dibandingkan dengan sistem cable-stayed
dan analisa struktur demikian dapat dilakukan dalam 2-D.
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 21
Dengan melakukan tahapan analisa seperti dijelaskan di atas secara teknis sistem lantai
jembatan gantung tidak mengalami tegangan awal akibat beban mati kecuali gelagar melintas
yang meneruskan beban mati yang bekerja pada lantai ke titik simpul dimana hanger berada.
Tahapan selanjutnya adalah melakukan analisa konstruksi akibat beban lalu lintas dan harus
dilakukan secara 3-D. Selanjutnya mengingat beban mati struktur diteruskan atau dibebankan
langsung ke kabel utama jembatan dalam analisa maka tahapan pelaksanaan harus
diusahakan memenuhi prosedur ini.
d. Jembatan Sistem Hibrida
Tahapan analisa bangunan atas sistem ini dapat dilakukan dengan menggabungkan tahapan
analisa sistem cable-stayed dan jembatan gantung. Dek jembatan pada daerah dekat dengan
tower dapat dilakukan pelaksanaan konstruksi lebih awal bersamaan dengan pelaksanaan
tower. Setelah itu dilanjutkan dengan penyelesaian bagian akhir tower dan kemudian
dilanjutkan dengan pemasangan kabel utama jembatan gantung dan perakitan lantai jembatan
bagian tengah jembatan yang didukung oleh sistem gantung.
Gambar 12. Tahapan Konstruksi Sistem Hibrida
12. Perencanaan Kabel Jembatan
Prinsip perencanaan ULS seperti dijelaskan pada bagian 10.a, digunakan untuk perencanaan
kekuatan jembatan. Sedangkan prinsip perencanaan SLS hanya digunakan untuk pembatasan
lendutan, vibrasi dan besarnya keretakan beton.
Khusus untuk perencanaan kabel jembatan baik untuk cable-stayed ataupun untuk jembatan
gantung harus dipertimbangkan pengaruh fatik. Besarnya pengaruh fatik ini kalau tidak
ditentukan oleh peraturan perencanaan jembatan yang berlaku, dapat diambil terbesar dari
yang berikut ini:
Breaking Load Kabel = 1,75 x gaya ULS
Breaking Load Kabel = 2,25 x gaya SLS
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 22
13. Aspek Aerodinamis Dalam Perencanaan Jembatan Bentang Panjang
Penentuan panjang bentangan tunggal dari jembatan dengan sistem kabel ini disamping
ditentukan oleh konfigurasi kabel yang dipilih; gantung atau cable-stayed atau kombinasinya,
juga ditentukan faktor kelangsingan sistem dek jembatan. Untuk tujuan perencanaan awal,
panjang bentangan tunggal jembatan biasanya diambil 40 x lebar jembatan. Sehingga jembatan
untuk 2 jalur lalu lintas, bentangan maksimum yang dapat dicapai kurang-lebih 400 meter.
Jembatan suspension yang masuk kelas ini yang sudah dibangun adalah Jembatan Barito
(240m), Memberamo (235m) dan Mahakam-2 (270m).
Dari aspek perencanaan, jembatan dengan kabel sebagai elemen utama umumnya, tidak lagi
ditentukan oleh kemampuan batas kekuatan dan daya layan struktur saja, persyaratan
kehandalan aerodinamik biasanya lebih menentukan seperti kehandalan terhadap:
Bangkitan Vortex/Pusaran (limited amplitude response)
Turbulance (limited amplitude response)
Galloping dan Staal Flutter (divergent amplitude response)
Pentingnya kehandalan aerodinamik dapat dilihat dari runtuhnya Jembatan Tacoma Narrows
USA pada tanggal 7 November 1940 akibat angin dengan kecepatan sekitar 60 sampai 70
km/jam saja (kecepatan angin rencana berkisar 90-126 km/jam, BMS 92). Keruntuhan ini
disebabkan oleh dilampauinya kecepatan kritis yang bisa ditahan oleh konstruksi jembatan agar
tetap stabil.
Sesungguhnya, setiap jembatan memiliki frekuensi-alami (fundamental frequency) dan setiap
jembatan akibat bentuk dan panjang bentangannya (sifat aerodinamis) memiliki kemampuan
dalam menahan angin dan memiliki kehandalan terhadap pengaruh angin seperti tersebut di
atas pada kecepatan tertentu agar tetap stabil. Kecepatan angin tertentu yang menyebabkan
jembatan tidak stabil tersebut disebut kecepatan angin kritis.
Standar perencanaan Inggris mensyaratkan bahwa jembatan dengan bentangan kurang dari
200 meter dan lebih dari 50 meter harus dipertimbangkan efek bangkitan aerodinamis tersebut
dan untuk struktur yang memiliki frekuensi-alami lebih besar dari 5 Hz dapat dianggap stabil
terhadap bangkitan vortex. Sedangkan untuk struktur jembatan yang memiliki bentangan lebih
besar dari 200 meter harus dilakukan uji model (wind tunnel test).
Tabel 5 menunjukkan perbedaan karakteristik dinamik dan kepekaan terhadap gejala flutter dari
jembatan gantung bentang panjang dari ketiga generasi. Rasio frekuensi-alami pertama ragam
torsi dan ragam lentur merupakan indikator bagi kepekaan jembatan terhadap kondisi flutter.
Rasio ini harus selalu lebih besar dari 1. Bila rasio tersebut tepat sama dengan 1 maka ragam
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 23
lentur dan ragam torsional menjadi berhimpit, suatu kondisi yang sangat rawan terhadap gejala
flutter. Kondisi seperti inilah yang terjadi pada Jembatan Tacoma Narrows yang runtuh akibat
flutter pada tanggal 7 Nopember 1940, hanya 4 bulan setelah dibuka.
Tabel 5. Fundamental Frekuensi dan Kecepatan Angin Kritis (after Wiratman)
Generasi
Jembatan
Panjang
Bentang
Tengah
(m)
Jenis
Dek
Frekuensi
Alami
Pertama
Ragam
Lentur
(Hz)
Frekuensi
Alami
Pertama
Ragam
Torsi
(Hz)
Rasio
Frekuensi
Pertama
Ragam
Torsional
dan Lentur
Kecepatan
Angin Kritis
Penyebab
Flutter
(m/detik)
Generasi Pertama
Innoshima (Jpn) 770 Rangka 0.178 0.374 2,1 66
Minami-Bisan Seto (jpn) 1.100 Rangka 0.126 0.324 2.57 80
Akashi Kaikyo (jpn) 1.991 Rangka 0.064 0.142 2.22 78
Generasi Kedua
Humber (Inggris) 1.410 Single Box 0.100 0.280 2.80 60
Great Belt-East
(Denmark)
1.624 Single Box 0.099 0.272 2.75 70
Generasi Ketiga
Selat Messina (Italia) 3.300 Multi Box 0.060 0.080 1.33 90
Selat Gibraltar
(Spanyol/Marocco)
5.000 Multi Box - - -
Dari Tabel 5 terlihat bahwa jembatan gantung dari Generasi Ketiga memiliki kecepatan angin
kritis yang menyebabkan flutter relatif tinggi. Karena struktur deknya relatif sangat ringan, maka
dari segi penggunaan bahan jembatan-jembatan dari Generasi Ketiga ini adalah yang paling
ekonomis.
Dari uraian di atas jelas kiranya bahwa dalam merencanakan jembatan bentang panjang baik
jenis gantung maupun cable-stayed untuk menyeberangi selat atau teluk dewasa ini, sudah
meninggalkan konsep Generasi Pertama. Sedangkan untuk bentang super-panjang harus
sudah menerapkan konsep-konsep Generasi Ketiga. Selanjutnya penguasaan teknologi
jembatan ini sudah sewajarnya dikuasai oleh bangsa Indonesia, bukankah Indonesia memiliki
banyak sungai besar dan pulau yang perlu dihubungkan dengan jalan darat.
Konsep Kebijakan Perencanaan dan Trend Perkembangan Teknologi Jembatan 24
DAFTAR RUJUKAN:
1. DR. Ir. Mustazir, Perkembangan Jembatan di Indonesia, Seminar Unbraw, 1998.
2. Prof. Dr. Ir. Wiratman Wangsadinata, Jembatan Selat Sunda dan Kelayakannya
Sebagai Penghubung Jawa dan Sumatera, 1997.
3. Christian Men (1990), Prestressed Concrete Bridges, Birkhauser Verlag, Basel.
4. Soehartono Martakim and Mustazir, Bridge Policy in Indonesia, Kuala Lumpur 1996.
5. Herry Vaza dan Yayan Suryana, Gagasan Pembangunan Jembatan Selat Sunda &
Bali Sebagai Bagian Dari Trans-Asian Highway, KRTJ-5, Jogyakarta, September 1997.
6. Lanny Hidayat dan Herry Vaza, The Design and Construction of the Kahayan Bridge
in Central Kalimantan Steel Arch Box Girder, International Conference on long-span
Bridges Towards Fixed Links in Major Indonesian Strait, Surabaya, September 1997.
7. Herry Vaza dan Bachruddin Noor, Ciri-ciri Khusus Konsepsi Jembatan Mahakam-2
(Suspension), KRTJ-4, Padang, Juli 1995.
8. Mustazir dan Lanny Hidayat, Demand and The Development of Long Span Bridge in
Indonesia, International Conference on long-span Bridges Towards Fixed Links in
Major Indonesian Strait, Jakarta, September 1997.
9. Mustazir dan Herry Vaza, Jembatan Cable-Stayed Teluk Balikpapan Sebagai Land
Mark Kalimantan Timur Dalam Menyambut Abad Ke-21, Samarinda, Desember, 1997.
10. Direktorat Jenderal Bina Marga, Peraturan Perencanaan Teknik Jembatan, Bagian 1,2
dan Penjelasan, Jakarta 1992.
11. MICROSTRAN V5.5, Reference Manual, Engineering Systems, Sydney 1995.
12. DR. Ir. Mustazir dan Ir. Herry Vaza, MEngSc, Jembatan Bentang Panjang: Konsep dan
Kebijakan Perencanaan, Jakarta
13. SPACEGASS V8.00a, Reference Manual, Integrated Technical Software, Melbourne
1997.

You might also like