You are on page 1of 7
BAB 3 PERAN SISTEM RUJUKAN BERKUALITAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU Muhammad Ardian C.L. Divisi Obstetri Ginekologi Sosial, Departemen Obstetri & Ginckologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya LATAR BELAKANG |GO (International Federation of Obstetric ang Gynecologic) melalui situs resminya menyatakan bahw, Indonesia masih harus bekerja keras untuk rnenurunkar, Angka Kematian Ibu (AKI). Data AKI di Indonesia day tahun 1990—2015 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk dalam daftar negara dengan AKI tertinggi di antara beberapa negara ASEAN lainnya. AKI diseluruh dunia pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 300.000 kematian ibu per 100.009 kelahiran hidup. Jumlah ini telah mengalami penurunan dar 532.000 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1990. Menurut kesepakatan Strategies towards Ending Preventable Maternal Mortality (EPMM) yang dikeluarkan oleh WHO, target pada tahun 2030 adalah setiap negara mencapai penurunan AKI minimal dua pertiga dari tahun 2010, dan setiap negara tidak ada yang mencapai AKI 140 per 100.000 kelahiran hidup (World Health Organization, 2015). Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) Tahun 2015, AKI di Indonesia sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut menunjukkan bahwa upaya Indonesia dalam menekan kematian ibu masih belum berhasil mencapai target Millenium Development Goals (MDGs), yakni sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup (Pusat data dan Informasi, 2016). Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2016, AKI di Jawa Timur mampu ditekan hingg@ sebesar 91 per 100.000 kelahiran hidup. Meski demikian, capaian tersebut masih belum mampu mencapai_ target 22 f ; é } ~~ Sustainable Development Goals (SDG’s) sebesar 70 per 100.000 kelahiran hidup. Setidaknya untuk mencapai target SDGs tahun 2030 masih perlu kerja keras dan kerja cerdas untuk mewujudkannya. Tahun 2017 di Indonesia menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) penyebab kematian ibu disebabkan perdarahan sebesar 25%, infeksi 15%, preeklamsia/eklamsia 15%, serta 10% persalinan macet dan abortus. Preeklampsia merupakan penyebab kematian ibu terbanyak kedua di Indonesia. Pasien preeklampsia/eklampsia seringkali tiba dalam kondisi terlambat bahkan sangat terlambat sehingga dapat berakhir dengan komplikasi pada janin maupun ibu, bahkan kematian bayi maupun ibu (SDKI, 2017). ANGKA KEMATIAN IBU DAN SISTEM RUJUKAN Mengapa angka kematian ibu masih tinggi? Penemu kartu skor skrining risiko tinggi ibu hamil, yaitu Ibu Poedji Rochjati, menyatakan bahwa lambatnya penurunan angka kematian ibu disebabkan oleh karena masih banyaknya rujukan yang terlambat. Rujukan terlambat yang dimaksud adalah kondisi Ibu dan janin yang sudah inferior atau sub-optimal bahkan sudah jatuh dalam kondisi gawat darurat, yang mungkin disebabkan jauhnya jarak rumah dengan peiayanan kesehatan primer, atau terlambatnya mendapatkan pertoiongan di rumah sakit rujukan (Rochjati P, 2005). Pemyataaii tersebut masin relevan dengan teori penyebab kematian ibu yang _terkait dengan keterlambatan yaitu adanya faktor 4 terlambat antara lain : (Eltahir, 2009) 1. Terlambat mendeteksi tanda bahaya 2. Terlambat mengambil keputusan merujuk 3. Terlambat sampai di tempat rujukan 4. Terlambat mendapatkan pertolongan di tempat rujukan Umumnya penyebab kematian karena pre eklampsia adalah pelayanan yang sub-standar yang terjadi di pelayanan kesehatan primer, yaitu kegagalan mengidentifikasi dan melakukan tindakan yang dibutuhkan (Baker P, 2004). Hal ini relevan dengan temuan salah satu pakar fetomaternal dari Unair, Sarjana Erry Gumilar, dalam pidato pengukuhan Guru Besar memperlihatkan bahwa lebih dari 60% kematian karena 23 preeklampsia/eklampsia terjadi sebelum 72 jam di RSUD Dr.Soetomo, yang artinya pasien datang ke rumah sakit rujukan sudah di ‘ondisi yang berat. i, an Heal okie Saleh Ardian (2018) bahwa kualitag antenatal care dengan metode European Foundation Quality Management (EFQM) di rumah sakit kota Surabaya secarg keseluruhan kualitas antenatal care di RS UNAIR tergolong cukup baik dengan skor 580, ANC RSI Jemursari tergolong baik dengan skor 616 dan ANC RSU Haji tergolong kurang bai dengan skor 392. Artinya, kualitas ANC di rumah sakit Swasta lebih baik dibandingkan kualitas ANC di rumah sakit Pemerintah. Penting bagi rumah sakit untuk meningkatkan kualitas antenatal care berorientasi pada total quality management. , Antenatal care (ANC) merupakan 1 dari 4 elemen esensial dalam menegakan persalinan yang aman dan berkualitas sesuai dengan standar WHO. Oleh karena itu, ANC merupakan hal yang perlu mendapat perhatian serius selain memastikan kondisi kesehatan ibu dan janin. ANC juga merupakan salah satu indikator mutu kesehatan ibu dan anak yang penting. ANC mengambil bagian dalam kendali mutu dan kendali biaya demi menjamin seluruh ibu hamil mendapatkan pelayanan yang bermutu sejak hari pertama kehamilan sampai dengan melahirkan. ANC yang berkualitas membantu tenaga kesehatan untuk mempersiapkan kelahiran yang aman bagi ibu dan bayi. Melalui ANC berkualitas kondisi ibu dan_bayi dimonitor secara ketat, apakah ibu termasuk dalam resiko tinggi, apakah pada saat melahirkan terjadi komplikasi, dan lain-lain. ANC berkualitas juga memasukkan elemen promosi kesehatan, memberikan pertimbangan kepada ibu dalam memilih persalinan, inisiasi menyusui dini, gizi, kontrasepsi, dan keluarga berencana. Bagaimana rujukan dilakukan? Salah satu artikel ilmiah yang ditulis oleh Uning dan Ardian (2012) bahwa dalam merujuk pasien dengan preeklampsia berat (PEB) atau eklampsia, lebih dari delapan puluh persen (86%) pasien datang di temani oleh petugas kesehatan yang merujuk, namun masih terdapat 14 % pasien PEB atau eklampsia yang datang sendiri hanya berbekal Surat pengantar. Sebanyak setengah dari jumlah pasien PEB belum pernah mendapat suntikan SM 24 - ON ! (Sulfat Magnesiur/MgSO.) pada saat sampai ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya (RSDS). Sementara sebagaian besar pasien eklampsia telah mendapat suntikan SM sebelum masuk ke RSDS (86.3 %). Sebagian besar pasien yang belum mendapat suntikan SM adalah pasien PEB atau eklampsia yang datang dari pusat pelayanan primer. Bagi pusat pelayanan primer yang telah kerjasama dengan SpOG rata-rata telah memberikan SM sebelum merujuk. Penelitian lain oleh Anggraini dan Ardian (2016) di RS Unair didapatkan pola yang berbeda dimana tatalaksana awal PEB/Eklampsia di faskes primer berupa pemberian MgSO4 hanya didapatkan pada 5 kasus (10%) dan pemberian obat antihipertensi hanya 8 kasus (17%). Dengan melihat asa! ruiukan dapat disimpulkan rujukan dari faskes primer masin belum sesuai dengan SOP yang disepakati. SISTEM RUJUKAN Untuk memahami apa itu sistem rujukan, maxa harus kembali ke definisi awal, yaitu sistem pelayanan kesehatan dimana terjadi pelimpahan tanggung jawab timba! balix alas kasus atau masalah kesehatan yang timbul, baik horizoniai maupun vertikal baik kegiatan pengiriman penderita, pendidikan maupun penelitian. Sementara itu, definisi operasiona! sistem rujukan merupakan suatu tatanan, dimana berbagai komponen dalam jaringan pelayanan kesehatan reproduksi dapat berinteraksi dua arah timbal balik, antara bidan didesa, bidan dengan dokter puskesmas dipelayanan kesehatan dasar, dengan para dokter spesialis di RS Kabupaten, untuk mencapai fasionalisasi penggunaan sumber daya kesehatan, dalam upaya penyelamatan ibu dan bayi baru lahir, melalui Penanganan ibu risiko tinggi dan gawat darurat obstetri secara Profesional, efisien, efektif, rasional dan relevan. Dalam sistem rujukan, sarana/prasarana alat yang berteknologi canggih dipusatkan pada suatu tempat, yaitu RS Kabupaten dan RS Provinsi. Dari penjelasan definisi diatas dapat disarikan bahwa a Penting dalam sistem rujukan adalah sebuah tatanan, ig: * Bersifat interaksi dua arah « Memilik tujuan spesifik rasionalisasi sdm da, arana : Melalui tatalaksana obstetri yang tepat * Tujuan utama penyelamatan ibu dan bayi. Sistem rujukan harus_ bersifat interaksi dua arah, dimana tidak hanya melimpahkan tanggung jawab sermatg kepada pelayanan kesehatan yang lebih tinggi namun perujug harus mau dan mampu melengkapi syarat rujukan yaity BAKSOKU (Bidan, Alat, Keluarga, Surat Rujukan, Obat, Kendaraan, Uang) sehingga penerima rujukan dapat melakukan tindakan obstetri yang tepat dan mendapatkan informasi yang lengkap. Karena bersifat interaksi dua arah, maka penerima rujukan memiliki kewajiban untuk memberikan feedback atau masukan atau surat rujukan balik ketika Pasien telah pulang. Ha! ini akan membuat perujuk dapat meningkatkan kemampuan teknis dan pengetahuan, yang merupakan bagian dari “learning process’. Keuntungan dari adanya rujukan balik ini yang pertama adalah terbangunnya trust atau kepercayaan antar institusi. Kedua, menipiskan gap komunikasi, sehingga komunikasi akan terbangun lebih cair dan hilangnya ego “sektoral”. Ketiga, terbentuknya kolaborasi dan koordinasi tim penyelamatan ibu dalam = rantai rujukan Keempat, perujuk akan dapat meningkatkan kemampuan baik skill maupun knowledge. Melalui sistem rujukan yang tepat maka tatalaksana obstetri ditempat rujukan akan menjadi lebih efisien dan cepat. Misal, pada pasien preeklampsia dari bidan praktek swasta yang telah diberikan injeksi SM yang adekuat, maka di rumah sakit tidak perlu lagi Pengulangan dosis awalan, dan hanya tertata mengikuti aturan efi Siensi sumber daya kesehatan 4 pada saat yang sama menj jamin adanya akses kesehatan y@ mudah bagi yang mebutuhkannya. Untuk kasus-kasus yang sifatnya poliklinis yang tidak ada unsur gawat dan darurat, sebaiknya fungsi gate keeper dari pusat pelayanan primer dijalankan. Sehingga pasien-pasien poliklinis di rumah sakit besar harus telah diperiksa terlebih dahulu oleh dokter di pelayanan primer sebelumnya dan hanya bisa diakses jika terdapat rujukan dari dokter pelayanan primer. Sementara untuk kasus emergensi yang biasanya pelayanannya dilakukan di instalasi gawat darurat dapat langsung diakses tanpa rujukan. Dengan sistem rujukan yang baik, dapat terjadi rasionalisasi SDM dan alat kesehatan. Alat kesehatan canggih cukup dialokasikan di RS kabupaten dan tidak perlu ditempatkan di puskesmas. USG 4D banyak ditemui di puskesmas-puskesmas di Provinsi Aceh, namun hampir semua tidak bisa dioperasikan. Sistem rujukan tidak bisa dipisahkan dengan Straregi Pendekatan Risiko (SPR). Secara umum risiko kehamilan dibagi menjadi 2 yaitu kehamilan risiko rendah dan kehamilan tisiko tinggi. Pada kehamilan risiko tinggi melalui SPR skor Poedji Rochjati, dikenal 3 “gawat”, antara lain: e« Ada Potensi Gawat Obstetri (APGO) e Ada Gawat Obstetri (AGO) e Ada Gawat Darurat Obstetri (AGDO) Seiain cara pengelompokan diatas ibu hamil dapat dikelompokkan berdasarkan skoring, yaitu : e Kehamilan risiko rendah (KRR) : skor 2 e Kehamilan risiko tinggi (KRT) : skor 6-10 ¢ Kehamilan Risiko Sangat Tinggi (KRST): skor >10 Sistem rujukan yang baik adalah akan menghasilkan outcome ibu dan bayi yang sehat. Hal ini akan terwujud bila rujukan tersebut dilakukan secara terencana, atau dalam istilah yang lain adalah rujukan terencana. Rujukan Terencana dibagi menjadi 2 yaitu : 1) Rujukan Dini Berencana (RDB) atau ae Dalam Rahim (RDR); dan 2) Rujukan Tepat Waktu ). RDB adalah dilakukan pada kasus KRT dengan APGO dan AGO, yang dirujuk saat usia kehamilan 38 minggu atau lebih Namun belum ada tanda persalinan. Misal, preeklampsia eee yang dirujuk pada usia kehamilan 37 minggu untuk ilakukan terminasi kehamilan. Contoh lain adalah pasien dengan bekas sc, kelainan letak, panggul sempit dan kehamitan dengan penyakit sistemik. Dengan kata lain RDB adalah rujukan kehamilan, bukan rujukan persalinan. Rujukan tepat waktu adalah rujukan yang dilakukan untuk menyelamatkan jiwa ibu dan bayi. RTW bisa ditemy pada kasus perdarahan antepartum, preeklampsia berat dan eklampsia, serta adanya komplikasi obstetrik dini. Batasan rujukan yang tepat juga disampaikan dalam sebuah guideline tentang preeklampsia, yaitu kenaikan tekanan darah tanpa protein urin paling lambat dirujuk ke RS paling lambat 48 jam, sedangkan bila dengan protein urin maka harus sampai ketempat rujukan dihari yang sama dan direncanakan opname . Pada rujukan gawat darurat, misal pada kasus HPP ataupun eklampsia, prinsip transportasi emergensi haruslah tetap dilakukan, yaitu pasien siap dirujuk bila kondisi telah stabil. Disamping itu perlu kesiapan alat transportasi, alat dan obat resusitasi serta kompetensi petugas selama transportasi dilakukan. Pada kasus perdarahan pasca salin misalnya, sangat dianjurkan pemasangan kondom kateter sebelum merujuk pasien. Demikian juga pada kasus preeklampsia berat dan eklampsia, pemberian SM dengan dosis yang tepat sebelum merujuk merupakan prasyarat utama. KESIMPULAN Dari paparan diatas maka sistem rujukan sangat terkait dalam penyelesaian masalah kematian ibu. Sistem rujuka" tidak bisa dipisahkan dari strategi pendekatan risiko, dalam hal ini penerapan Kartu Skor Poedji Rochjati sebagai alat deteksi dini_penyulit kehamilan. Sehingga rujukan dapat dilakuka" secara terencana dan tepat waktu. Rujukan harusiah mengadung komponen interaksi dua arah, sehingga_bis# terjalin komunikasi yang baik serta terjadinya transfer ot knowledge. Dalam hal rujukan gawat darurat, stabiliasasi da" tatalaksana obstetri yang tepat menjadi syarat utama. DAFTAR PUSTAKA 4. Ardian M, 2010, Skor faktor resiko kematian iY berdasarkan pola rujukan dan kondisi maternal pendent di RSUD DR Soetomo, Laporan Penelitian, Surabay4. 28

You might also like