You are on page 1of 123

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tanah adalah salah satu kebutuhan pokok yang mendasar bagi kehidupan

manusia, di karenakan hampir semua aktivitas manusia dilaksanakan secara

langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan tanah tersebut. Oleh karena itu,

perlunya peran pemerintah selaku pihak yang mengatur akan kepemilikan dan

penggunaan tanah. Sehingga apabila terjadi permasalahan hukum maupun

persengketaan hak atas tanah yang timbul dapat diselesesaikan secara mediasi

maupun peradilan tergantung kesepakatan para pihak.1

Pada tatanan yang lebih luas tanah merupakan elemen yang tidak

mungkin dapat dikesampingkan dalam era pembangunan nasional maupun guna

menunjang pertumbuhan ekonomi, hal ini karena tanah mempunyai fungsi yang

sangat strategis . 2

1
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahman Lubis, 2012, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional, cetakan ketiga, Bandung :
Mandar Maju, hlm.3.
2 ?
a. Sebagai penunjang atau pendukung pada setiap rencana pembangunan baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat yang memberikan arah serta landasan hukum
sesuai dengan ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan
bahwa : “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebenar-benarnya bagi kemakmuran rakyat” ;
b. Dapat memberikan pengayoman agar tanah dapat merupakan sarana bagi rakyat untuk
mencapai penghidupan yang layak yang sesuai dengan ketentuan pasal 27 ayat 2 Undang-Undang
Dasar 1945, yang menyatakan bahwa : “Tiap-tiap1 Warga Negara berhak atas pekerjaan yang dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
2

Di samping hal yang di uraikan di atas, tanah juga mempunyai fungsi

sosial3 yang berperan ganda di dalam kehidupan manusia karena harus dapat

dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mensejahterakan dan

kemakmuran rakyat , yaitu sebagai berikut;

a. sebagai social asset,4 dimana posisi tanah dalam hal ini merupakan sarana

untuk pengikatan kesatuan sosial dikalangan masyarakat Indonesia untuk

hidup dan kehidupan;

b. sebagai capital asset,5 dimana tanah berperan sebagai modal penting dalam

pembangunan.

Sedangkan dalam sudut pandang yang lain, tanah merupakan salah satu

karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang di ciptakan sebagai sarana atau wadah

bagi hidup manusia yang harus dapat dijaga kelestariannya untuk mencapai

kesejahteraan hidup bangsa Indonesia sehingga perlunya peran penting Negara

untuk campur tangan dalam pengaturannya6 , agar dapat memberikan suatu

kepastian hukum dalam penguasaannya yang sesuai dengan Undang-Undang yang

berlaku.

3 ?
Fungsi sosial adalah merupakan ciri khas atas tanah Indonesia yang tidak dimiliki oleh
negara lain
4 ?
Social asset mengandung makna bahwa tanah memiliki fungsi sosial, dapat dilihat pada asas
yang terkandung pada pasal 6 UUPA : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang
tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah)semata
hanya untuk kepentingan pribadinya, apabila jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat
karena sesuai dengan asas fungsi sosial ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum
menghendakinya.
5 ?
Capital asset mengandung makna bahwa tanah memilik fungsi ekonomi, dimana tanah
menjadi objek capital, modal dalam transaksi ekonomi, misalnya tanah dapat diperjualbelikan,
disewakan, dijadikan kredit, maupun sebagai objek pengolahan kegiatan-kegiatan yang berkaitan
untuk menghasilkan suatu pendapatan, seperti kegiatan pertanian maupun pembangunan.
6 ?
Achmad Rubaie,2007, Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Malang :
Bayumedia, hlm. 1
3

Berdasarkan hal tersebut maka Negara harus mempunyai aturan yang

mendasar dalam penegakan hukum mengenai pengaturan penguasaan tanah di

Indonesia. Menurut Gustav Radbruch dalam penegakan hukum harus memuat

tiga unsur yang perlu di perhatikan yaitu harus adanya kepastian hukum

(rechtssicheirt), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).7 Di

samping ketiga hal ini perlu juga suatu hal yang dapat menjamin suatu kepastian

hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kepada kebenaran

dan keadilan. Hal ini tentunya menuntut agar perlu adanya alat bukti yang dapat

menentukan hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam

kehidupan bermasyarakat.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap pemilik tanah dan

mengatur kepemilikan, peralihan, dan peruntukan tanah secara adil dan

menyeluruh sebagaimana yang telah tertuang pada Undang-Undang Dasar 1945

pasal 33 ayat 3, maka pada tanggal 24 September 1960 terciptala suatu hukum

yang menjadi dasar dari hukum Agraria Nasional yaitu Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang tercatat pada

lembaran Negara Nomor 104 atau selanjutnya disebut UUPA. Hal ini juga

mengakhiri dualisme hukum pertanahan Indonesia8 di karenakan dahulu adanya

perdebatan pada hukum peninggalan kolonial hindia Belanda yaitu hak eigendom

yang tidak mengakui hukum adat yang ada di Indonesia.

7 ?
Gustav Radbruch, 1961, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, Germany, p. 36, dikutip
oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Jogjakarta :
Citra Aditya Bakti, hlm.1
8 ?
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan, (cetakan kesembilan), hlm.28
4

Oleh sebab itu diperlukanya pejabat khusus yang menjlankan dan diberi

wewenang dalam tugas pertanahan yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Ketentuan tentang PPAT diatur dalam pasal 7 PP No.24 Tahun 1997 yang

menyatakan bahwa :

1. PPAT sebagaimana di maksud dalam pasal 6 ayat (2) diangkat dan di


berhentikan oleh menteri ;
2. Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil menteri dapat menunjuk PPAT
sementara. (PPAT Sementara ini biasanya adalah Kepala wilayah
Kecamatan/Camat) ;
3. Peraturan Jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dengan
peraturan pemerintah.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka terbitlah Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah, yang di beri kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan

rumah susun seperti yang telah tertuang dalam pasal 1 ayat (1) Peraturan

Pemeritah Nomor 37 Tahun 1998 yang mempunyai aturan atau ketentuan

pelaksanaan pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 4 Tahun 1999 yang telah di ganti dengan Peraturan Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang ketentuan pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Kemudian diubah beberapa pasal

yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 tentang perubahan atas Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006.

Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai salah seorang pejabat pelaksana

pendaftaran tanah, wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-


5

dokumen yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Pertanahan, selambat-

lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang

dibuatnya tersebut, agar dapat dilaksanakan proses pendaftarannya.9

Hal ini berarti penerima hak tidak boleh membawa atau

menyampaikan sendiri akta berikut berkas-berkas yang bersangkutan. Adapun

akta yang wajib didaftarkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah seperti Jual beli,

Hibah, Tukar-menukar, Akta Pembagian Hak Bersama. Ketentuan ini diatur

dalam Pasal 40 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997.

Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa kewajiban Pejabat

Pembuat Akta Tanah tersebut hanya terbatas pada penyampaian akta yang

bersangkutan berikut berkas-berkasnya kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran

selanjutnya serta penerimaan sert ifikatnya menjadi urusan pihak yang

berkepentingan sendiri.

Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melanggar atau mengabaikan

ketentuan tersebut dalam menyelenggakan tugasnya akan dikenai sanksi berupa

tindakan administratif seperti teguran tertulis sampai diberhentikan dari

jabatannya,10 dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh

pihak-pihak yang menderita kerugian akibat diabaikannya ketentuan tersebut. Dan

Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat Tata Usaha Negara juga bisa terkena

ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

9 ?
Lihat Pasal 97 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
10 ?
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahman Lubis, 2012, Op. Cit, hlm 126
6

Sejalan dengan Boedi Harsono, Sri Winarsi menyatakan bahwa

pengertian pejabat umum mempunyai karakter yuridis, yaitu selalu dalam

kerangka hukum publik. Sifat publiknya tersebut dapat dilihat dari pengangkatan,

pemberhentian, dan kewenangan PPAT.11

PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan

Nasional, tugasnya adalah membantu Kepala Kantor Badan Pertanahan

Kabupaten/Kota dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, dan

kewenangannya adalah membuat akta atas perbuatan hukum tertentu mengenai

hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Berkaitan dengan pengertian PPAT diatas, terdapat persaman yaitu

bahwa PPAT sebagai pejabat umum dan berwenang membuat akta yang berkaitan

dengan tanah dengan PPATSementara/ PPATS yang mempunyai hak dan

kewajiban yang sama.12

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, akta yang dibuat oleh

PPAT adalah akta otentik, akta dibuat untuk perbuatan hukum tertentu, dan objek

perbuatan hukumnya mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun. Menurut Pasal 1,2 dan 3 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998,

PPAT dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :

a. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang

diberikan wewenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas

11 ?
Sri Winarsi, 2002, Pengaturan Notaris dan PPAT sebagai Pejabat Umum, Majalah
YURIDIKA, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 17 No.2, Surabaya, Maret,hlm.186.
12 ?
Lihat Pasal 1 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
7

Satuan Rumah Susun. Yang menjadi PPAT disini adalah Notaris atau

mantan pejabat Badan Pertanahan Nasional setelah lulus ujian yang

diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional ;

b. PPAT Sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena

jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta

PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. PPAT Sementara ini

adalah Kepala Kecamatan ;

c. PPAT Khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk

karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat

akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau

tugas pemerintah tertentu. PPAT Khusus hanya berwenang membuat

akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam

penunjukannya.

PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan

Nasional, sedangkan PPAT Sementara diangkat dan diberhentikan oleh Kepala

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang mendapat pelimpahan

kewenangan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan Pasal 6

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, untuk dapat diangkat menjadi

PPAT harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Berkewarganegaraan Indonesia;
2. Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun;
3. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh
instansi kepolisian setempat;
4. Belum pernah dihukumpenjara karena melakukan kejahatan berdasarkan
utusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
5. Sehat jasmani dan rohani;
8

6. Lulusan Program Pendidikan Spesialis Notariat atau Program Pendidikan


Khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi;
7. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan
Pertanahan Nasional.13

Sedangkan mengenai penunjukan PPAT sementara dapat dijelaskan sebagai

berikut :

1. Camat yang wilayah kerjanya berada di dalam daerah Kabupaten/Kota yang


formasi PPATnya belum terpenuhi dapat ditunjuk sebagai PPAT sementara.
2. Surat Keputusan Penunjukan Camat sebagai PPAT sementara ditandatangani
oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi atas nama
Kepala Badan Pertanahan Nasional.
3. Untuk keperluan penunjukan sebagai PPAT Sementara, Camat yang
bersangkutan melaporkan pengangkatannya sebagai PPAT Sementara kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi melalui Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan salinan
atau foto copy keputusan pengangkatan tersebut;
4. Penunjukan Kepala Desa sebagai PPAT Sementara oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional setelah diadakan penelitian mengenai keperluannya
berdasarkan letak desa yang sangat terpencil dan banyaknya bidang tanah
yang sudah terdaftar di wilayah desa tersebut. 14

Berdasarkan uraian di atas penunjukan PPAT sementara ini dapat

diketahui karena belum terpenuhinya keberadaan PPAT di daerah-daerah.

Sehingga sesuai dalam pasal 5 ayat (3) huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT menyebutkan bahwa : “Untuk

melayani masyarakat dalam pembuatan PPAT di daerah yang belum cukup

terdapat PPAT, sebagai PPAT sementara, yang dimana dalam pelaksanaan

kewenangan dan tugasnya terjadi karena jabatannya dalam satuan wilayah

13 ?
Lihat Pasal 14 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 2009 Tentang perubahan atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun
2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
14 ?
Pasal 19 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah
9

tersebut sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa ;

“PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya


untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT”

Hal ini dimaksudkan agar proses pelayanan kepada masyarakat khususnya dalam

proses pendaftaran peralihan hak atas tanah di daerah yang belum cukupnya

terdapat PPAT dapat berjalan dengan lancar tanpa kesulitan apabila terjadi

transaksi-transaksi mengenai tanahnya.

Daerah Kerja PPAT Sementara meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat

pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya.15 Tugas Pokok dan Kewenangan

PPAT Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menetapkan

bahwa :

“Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh


PPAT dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang- undangan
yang bersangkutan”

dalam Pasal 6 ayat (2) ini hanya disebutkan kegiatan-kegiatan tertentu, tidak

disebutkan secara tegas kegiatan-kegiatan apa dalam pendaftaran tanah yang

menjadi tugas PPAT maupun PPAT Sementara untuk membantu Kepala Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.

Tugas pokok PPAT dan PPAT Sementara dalam membantu pelaksanaan

pendaftaran tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan ditetapkan dalam Pasal 2

15 ?
Lihat Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
10

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah , yaitu :

1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah


dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut :
a. Jual beli;
b. Tukar Menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. Pembagian hak bersama;
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. Pemberian kuasa membebankan Hak Taggungan.

Maka dalam hal ini dapat diketahui bahwa akta PPAT Sementara juga

merupakan alat bukti yang otentik dapat dipertanggungjawabkan baik secara

moral dan dalam hukum apabila terjadi permasalahan yang terjadi. Tetapi dalam

pelaksanaannya di lapangan masih terdapat penyimpangan maupun kelalaian ini

masih sering di jumpai seperti ;

a. Pada penandatanganan akta jual beli yang dilakukan PPATS tanpa

mengecek ataupun memeriksa kesesuaian seritipikat terlebih dahulu di

Kantor Pertanahan ;

b. Pada penandatanganan akta jual beli yang tanpa di hadiri oleh saksi-saksi ;

c. Adanya perbedaan nilai transaksi yang dimuat dalam akta jual beli dengan

nilai transaksi yang sebenarnya, tetapi sangat sulit di buktikan karena

belum adanya ketetapan yang pasti dalam pemerintah daerah atau

kotamadya yang belum dapat menjamin kepastian hukum bagi para pihak ;
11

d. Ketidakprofesionalan PPATS dalam membuat akta otentik tersebut,

dikarenakan belum pahamnya akan hak dan kewajibannya dalam pejabat

yang mempunyai hak dan kewajiban dalam membuat akta tersebut;

e. Serta akan kedudukan akta tanah tersebut apabila PPAT sementara

tersebut tidak lagi menjabat sebagai PPAT sementara atau telah

tercukupinya peran PPAT di daerah tersebut.

Penyebab hal di atas dikarenakan tidak adanya suatu peraturan yang pasti

yang menjelaskan akan sanksi adminstratif yang tertulis pada tanggung jawab

PPAT sementara yang menyalahgunakan kewenangan dan tugasnya dalam sudut

pandang pada peraturan hukum positif di Indonesia, apabila PPAT sementara

tersebut tidak lagi mempunyai kewenangan dalam wilayah tersebut dalam

pembuatan akta otentik tersebut atau dengan kata lain tidak lagi menjabat sebagai

Camat selaku pejabat pemeritah.

Berbeda dengan halnya dengan perlakuan yang di berikan kepada jabatan

Notaris, dimana ketentuan mengenai pemanggilan dan pengambilan minuta akta

harus mempunyai prosedur khusus dalam proses penegakkan hukumnya. Dalam

ketentuan pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

(selanjutnya UUJN), menentukan bahwa :

1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau


hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris berwenang :
a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan
pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris ;
dan
b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan
Notaris.
12

Sedangkan dalam ketentuan mengenai perlindungan hukum tidak diatur

secara normatif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan PPAT, disamping itu juga fungsi PPAT seharusnya tidak

tunduk pada prinsip persamaan hukum (equality before the law), yang menganut

paham akan kesetaraan hukum, yang maksudnya memandang individu yang

ditempatkan pada kedudukan yang sama tanpa memandang status sosial. Di

samping itu prinsip ini sangat penting dalam negara hukum karenanya

menimbulkan perlindungan yang sama ( equal protection) sebagai bagian

persamaan dalam hukum (equality before the law).16

Apabila prinsip equality before the law ini merupakan salah satu pilar

dalam penengakkan hukum di atas segalanya (supreme of law), yang mana

keberlakuan prinsip ini dalam praktek harus berdasarkan kedaulatan hukum tanpa

pengecualian. Hal ini menyebabkan kedudukan akta yang dibuat dan tanggung

jawab PPAT khususnya PPAT sementara tidak seperti yang terjadi pada Notaris 17

menurut hukum dan aturan-aturan yang berlaku di Indonesia belum memberikan

perlindungan sepenuhnya bagi para pihak maupun PPAT sementara tersebut.

Berdasarkan Latar Belakang yang telah di jelaskan di atas, maka penulis

berniat untuk mengkaji lebih dalam akan peran dan tanggung jawab Camat selaku

PPATS, serta kedudukan akta yang di buatnya apabila tidak menjabat lagi

berdasarkan hukum positif di Indonesia, dan juga apabila terjadinya permasalahan


16 ?
A. M. Fatwa, 2009, Potret Konstitusi Pasca Amademen Undang-Undang Dasar tahun
1945, Jakarta : Buku Kompas, hlm. 48
17 ?
Lihat pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris pada pasal 1
angka 1 yang megartikan bahwa, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini
atau berdasarkan Undang-Undang lainnya.
13

hukum yang terjadi dalam kapasitasnya sebagai pejabat Pemerintah yang di tunjuk

karena jabatannnya untuk melaksanakan tugas dan wewenang PPAT dengan

membuat akta bersifat otentik setelah tidak lagi menjabat sebagai Camat. Penulis

menuangkannya dalam tesis ini yang berjudul : TANGGUNG JAWAB CAMAT

SELAKU PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH SEMENTARA (PPATS)

SETELAH TIDAK MENJABAT LAGI TERHADAP AKTA YANG

DIBUATNYA.

B. PERMASALAHAN

Dari uraian yang telah di jelaskan pada latar belakang di atas, maka di

simpulkan tiga permasalahan, yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana tanggung jawab Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) sementara setelah tidak menjabat lagi terhadap akta yang di

buatnya ?

2. Bagaimana kedudukan akta yang di buat oleh Camat selaku Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) sementara setelah tidak menjabat lagi

terhadap akta yang dibuat, apabila tidak memenuhi persyaratan untuk

dilakukan pendaftaran tanah ?

3. Bagaimana sanksi yang diberikan kepada PPAT Sementara dalam

membuat akta yang otentik tidak memenuhi persyaratan dalam proses

pendaftaran tanah ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
14

Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan dari

penelitian ini, yaitu:

a. Untuk menjelaskan tanggung jawab Camat selaku Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) sementara setelah tidak menjabat lagi terhadap akta yang

di buatnya, jika mengalami permasalahan hukum di kemudian hari ;

b. Untuk menjelaskan kedudukan akta yang di buat oleh Camat selaku

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sementara setelah tidak menjabat

lagi, apabila tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan pendaftaran

tanah;

c. Untuk menjelaskan sanksi yang diperoleh PPAT Sementara dalam

membuat akta yang otentik tidak memenuhi persyaratan dalam proses

pendaftaran tanah, sementara yang bersangkutan tidak lagi menjabat

sebagai PPATsementara.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih

terhadap ilmu hukum baik secara teoritis maupun praktis terutama

dalam bidang ilmu hukum kenotariatan. Adapun manfaat dari

penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Secara teoritis, penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan

informasi yang bermanfaat dan sumbangan pengembangan Ilmu

Hukum Kenotariatan khususnya disiplin Ilmu Hukum Agraria dalam


15

bidang pertanahan dan sebagai bahan kepustakaan bagi penelitian

selanjutnya terkait dengan judul dan permasalahan dalam tesis ini.

b. Secara Praktis

- Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi sebagian

persyaratan bagi peneliti untuk memperoleh gelar magister

kenotariatan;

- Hasil penelitian ini dimaksudkan dapat memberikan konstribusi

pemikiran hukum kepada para praktisi yakni Camat selaku PPAT

sementara, Badan Pertanahan Nasional dan lainnya yang berkaitan

dengan pembuatan akta tanah.

- Hasil penelitian ini dimaksudkan dapat memberikan konstribusi

pemikiran hukum kepada Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) maupun Calon Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT), khususnya bagi Camat Selaku Pejabat Pembuat Akta

Sementara sebagai pejabat umum yang dapat digunakan sebagai

acuan pembelajaran dalam menjalankan jabatannya sehingga

diharapkan dapat mengurangi resiko dengan menjunjung tinggi

profesionalitas;
16

D. Kerangka Teori

Teori digunakan untuk menerangkan dan menjelaskan mengapa

gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan

menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan

ketidakbenarannya.18 Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa

Adidjoyo “teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis

diantara perubahan (variable) dalam bidang tertentu, sehingga dapat

digunakan sebagai kerangka fikir (Frame of thingking) dalam memahami

serta menangani permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut“. 19

Menurut Soerjono Soekanto, Kontinuitas perkembangan ilmu hukum,

selalu bergantung pada metodelogi, aktivitas penelitian dan imajinasi

sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.20

Berdasar dari judul tesis ini yaitu “Tanggung jawab Camat selaku

Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS) Setelah tidak

menjabat lagi Terhadap Akta Yang Dibuatnya”, dan untuk menjawab

permasalahan dalam penulisan tesis maka landasan teoritis yang akan

digunakan tidak dapat dipisahkan dari 2 (dua) proposisi yang salin


18 ?
JJJ. M. Wuisman,1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Jilid I. Penyunting M. Hisam, Jakarta:
UI Press, hlm. 203.
19 ?
Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, 1988, Teori dan Strategi Pembangunan
Nasional, Jakarta: CV. Haji Mas Agung, hlm. 12
20 ?
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press,hlm. 6.
17

berkaitan yakni berupa Tanggung Jawab Camat selaku PPAT Sementara

setelah tidak menjabat lagi terhadap akta yang dibuatnya dan Kedudukan

akta yang dibuat Camat tersebut, apabila mengalami permasalahan

hukum setelah tidak menjabat lagi sebagai PPAT Sementara. Adapun

landasan yang akan digunakan yaitu Teori persamaan didepan hukum

sebagai Grand Theory, Teori Kewenangan sebagai Middle Range

Theory, Teori Tanggung Jawab dan Teori Saksi - Sanksi sebagai

Applied Theory

1. Grand Theory (Teori Persamaan di Depan Hukum)

Teori Persamaan di Depan Hukum (equality before the law) ini

bertujuan untuk menjelaskan akan persamaan kedudukan seseorang di

dalam hukum, tanpa terkecuali dan sangat mengikat.

Equality before the law dalam arti sederhananya bahwa semua

orang sama di depan hukum. Persamaan dihadapan hukum atau equality

before the law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern.

Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar

pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Dapat disebutkan asas equality before the law ini merupakan salah

satu manifestasi dari Negara hukum (rechtstaat) sehingga harus adanya

perlakuan sama bagi setiap orang di depan hukum ( gelijkheid van ieder
18

voor de wet).21 Dengan demikian, elemen yang melekat mengandung

makna perlindungan sama di depan hukum (equal justice under the law)

dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum.

Berdasarkan Teori tersebut digunakan untuk menjelaskan akan

persamaan kedudukan hukum terhadap Camat selaku PPAT sementara

setelah tidak menjabat lagi terhadap akta yang dibuatnya.

2. Middle Range Theory (Teori Kewenangan)

Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan

kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula

sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan

wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa

“ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule

and the ruled).22

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan

yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan

dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”,23

sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber

disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang

21 ?
Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Citra Aditya Bakti, hlm 20
22 ?
Miriam Budiarjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
hlm.35-36
23 ?
Suwoto Mulyosudarmo, 1990, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik
Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggung Jawaban Kekuasaan,
Surabaya : Universitas Airlangga, hlm. 30
19

berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah

yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang

diperkuat oleh Negara.24

Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan Negara agar

Negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara

itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja

melayani warganya. Oleh karena itu Negara harus diberi kekuasaan.

Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau

sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang

atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai

dengan keinginan dan tujuan dari orang atau Negara.25

Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau

organ sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-

jabatan (een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh

sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan

konstruksi subyek-kewajiban.26 Kewenangan sering disejajarkan dengan

istilah wewenang.

Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering

disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda.

Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara


24 ?
A. Gunawan Setiardja, 1990, Dialetika Hukum dan Moral dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia, Jogjakarta : Kanisius, Hlm. 52
25 ?
Miriam Budiarjo, Op. Cit. Hlm. 35
26 ?
Rusadi Kantaprawira, 1998, Hukum Kekuasaan, Makalah, Yogyakarta:Universitas Islam
Indonesia, Hlm. 39
20

istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut

terletak pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam

konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum

kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam

konsep hukum publik.

Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag)

dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa

yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan

yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya

mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di

dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe

voegdheden).27 Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik,

lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang

membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang

dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta

distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-

undangan.

Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang

diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-

27
Ateng Syarifudin, 2000, Menuju Penyelenggaraan Pemerintah Negara yang Bersih dan
Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung : Universitas Parahyangan, Hlm.22
21

akibat hukum.28 Menurut H.D. Stoud adalah wewenang dapat dijelaskan

sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan

penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam

hukum publik.29

Berdasarkan uraian tentang teori kewenangan di atas maka penulis

berniat untuk mengkaji lebih dalam tentang tanggung jawab Camat

sebagai PPAT Sementara yang mendapat kewenangan dalam membuat

akta jika menimbulkan akibat hukum bagi para pihak setelah dia tidak lagi

menjabat.

3. Applied Theory (Teori Tanggung Jawab dan Teori Sanksi-sanksi)

1) Teori Tanggung Jawab

Tanggung Jawab menurut Kamus Besar Indonesia adalah

kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi sesuatu yang dapat

dituntut, dipersalahkan dan diperkarakan. Sedangkan dalam kamus hukum

tanggung jawab ini adalah suatu keharusan bagi seseorang untuk

melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.30 Maka dapat

diketahui teori tanggung jawab ini berkaitan akan kesalahan yang terjadi

28 ?
Indroharto, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie
Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Bandung: Citra Aditya
Bakti, hlm. 65
29 ?
Stout HD, 2004, de Betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan
Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung: Alumni, hlm. 4
30 ?
Andi Hamzah, 2005, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia
22

dan resiko yang harus diterima dari pihak yang memegang kewajiban

tersebut.

Dalam hal ini penulis menggunakan teori tanggung jawab ini untuk

menjelaskan akan tanggung jawab camat selaku PPAT Sementara

setelah tidak menjabat lagi, terhadap akta yang dibuatnya, apabila

mengalami permasalahan hukum yang menyebabkan tidak

terpenuhinya syarat dalam proses pendaftaran tanah.

2) Teori Sanksi-Sanksi

Tanggung jawab dipastikan akan berkaitan dengan akan kesalahan

dan resiko, maka dalam hal ini diperlukan suatu hukuman yang bagi

pelanggarnya berupa sanksi agar dapat mempertahankan tata tertib

atau aturan-aturan yang berlaku. Sanksi dalam konteks hukum

merupakan hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan yang mengikat

sedangkan dalam konteks sosiologis sanksi ini adalah kontrol sosial.

Teori sanksi-sanksi dalam menjelaskan akan tanggung jawab

camat selaku PPAT Sementara setelah tidak menjabat lagi terhadap

akta yang dibuatnya, jika mengalami permasalahan hukum yang

menyebabkan ketentuan dalam proses pendaftaran tanah tidak

terpenuhi sehingga menimbulkan kerugian bagi para pihak yang

melakukan perbuatan hukum dalam akta yang dibuatnya.

E. Kerangka Konseptual
23

Sejalan dengan landasan teori tersebut diatas, maka dalam

penulisan hukum diperlukan kerangka konsepsional. Suatu kerangka

konsepsional, merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan

antara konsep-konsep khusus, yang ingin akan diteliti. Suatu konsep bukan

merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi

dari gejala tersebut. Gejala ini sendiri biasanya dinamakan fakta,

sedangkan konsep merupakan uraian mengenai hubungan dalam fakta

tersebut.31

PPAT sementara ialah Pejabat pemerintah yang di tunjuk karena

jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT

di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.32 Dalam pelaksanaannya

Camat ditunjuk sebagai PPAT sementara, agar dapat membantu dalam

proses hukum pendaftaran peralihan hak atas tanah di daerah yang belum

mencukupi terdapatnya PPAT di daerah tersebut.

Jabatan sebagai PPATS adalah jabatan yang melekat berdasarkan

jabatan bukan jabatan yang diperoleh sebagai jabatan profesi yaitu PPAT

yang merangkap sebagai Notaris.

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

31 ?
Soejono Soekanto.1986, Op. Cit, hlm. 132.
32 ?
Lihat Pasal 5 ayat 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pembuat Akta Tanah.
24

Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan

suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.

Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan

argumentasi, teori atau konsep baru sebagai prespektif dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi.( Peter Mahmud Marzuki,

2005) Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum (legal

research) yang sifatnya normatif, yakni penelitian untuk mengkaji

konsep-konsep hukum terkait.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian tesis ini menggunakan metode pendekatan Filsafat,

Pendekatan Perundang-Undangan dan pendekatan konseptual.

a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)

Dalam penelitian tesis ini Penulis menggunakan pendekatan

perundang-undangan karena mengacu pada Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Pendekatan perundang-undangan diperlukan

Penulis, karena penelitian tesis ini bersifat normatif dan dalam

penelitian ini pendekatan perundang-undangan menjadi fokus

utama.

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) Pendekatan

konseptual digunakan untuk memahami pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang ada hubungannya dengan permasalahan yang

akan dikaji. Pendekatan konseptual dilakukan untuk menemukan


25

dan menjelaskan konsep-konsep yang berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti.

3. Bahan Hukum Penelitian

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini

ada 2 (dua) macam, mengacu pada tata cara penyusunan sumber bahan-

bahan hukum, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

yaitu bahan-bah an yang mempunyai kekuatan mengikat meliputi

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok masalah

pembahasan tesis ini, yang terdiri atas :

1. Undang-Undang Dasar 1945, terutama pada pasal 33 ayat (3) ;


2. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah;
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Tentang Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Pendaftaran Tanah;
5. Peraturan Kepala Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8
Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Tentang Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pendaftaran Tanah;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah ;
7. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah;
8. Peraturan Kepala Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 23
Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006
Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37
26

Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta


Tanah;
9. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
10. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana);
11. Undang–Undang Nomor 02 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa hasil

penelusuran bahan pustaka berupa buku-buku, disertasi, tesis,

jurnal-jurnal ilmiah, maupun artikel-artikel ilmiah yang berkaitan

dengan judul tesis ini termasuk juga semua peraturan dan ketentuan

yang berkaitan dengan Tanggung Jawab Camat selaku PPAT

sementara.

c. Bahan Hukum Tersier

yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan

tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti

kamus hukum, yang ada relevansinya dengan permasalahan hukum

dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian

Pengumpulan bahan-bahan hukum dalam penelitian ini,

yaitu mengelompokkan peraturan Perundang-Undangan, meneliti

bahan pustaka, membaca buku-buku dan sumber-sumber lain yang

berhubungan dengan permasalahan.33 Dalam penelitian ini juga

33 ?
Soejono dan Abdurrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, hlm.
56.
27

dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan, dan menganalisis

dokumen dengan menggunakan teknologi informasi.

5. Teknik Pengolahan Bahan Hukum Penelitian

Setelah mempelajari semua bahan hukum, tahap selanjutnya

adalah menganalisis bahan hukum, dengan menggunakan metode

kualitatif mengenai tanggung jawab camat selaku PPAT sementara

terhadap akta yang dibuatnya apabila terjadi permasalahan hukum jika

tidak menjabat lagi sebagai Camat.

6. Teknik Analisis Bahan Penelitian

Teknik analisis penelitian dilakukan dengan penafsiran hukum

terhadap bahan-bahan hukum yang telah di kumpulkan dan diolah,

yaitu : 34

a. Penafsiran Gramatikal

Penafsiran gramatikal ialah menafsirkan Undang-Undang menurut

arti perkataan hal ini memberikan pengertian bahwa terdapat

hubungan yang erat antara bahasa yang digunakan sebagai satu-

satunya alat yang digunakan pembuat Undang-Undang untuk

menyatakan kehendak sesuai dengan bahasa sehari-hari atau bahasa

hukum. 35

b. Penafsiran Sistematis

34
Mochtar Kusumaatmadja, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung:Alumni, hlm. 100.
35
Ibid.
28

Penafsiran sistematis adalah penafsiran dengan cara

memperhatikan apakah ada hubungan antara pasal yang satu

dengan pasal lainnya dalam peraturan Perundang-Undangan.

c. Penafsiran Autentik

Penafsiran autentik adalah penafsiran yang didapat dari pembentuk

Undang-Undang.

d. Penafsiran Teleologis

dapat dilihat dari sejarah dan dapat dilihat pula dari sifat hubungan

yang memerlukan pengaturan. Undang-Undang ingin menjadi

peraturan yang bermanfaat untuk kehidupan bersama. Jadi dalam

menafsirkannya harus memperhatikan pertanyaan bagaimana

Undang-Undang yang bersangkutan berusaha mencapai tujuan dan

untuk itu memperhatikan kehidupan masyarakat. Penafsiran ini

disebut juga penafsiran sosiologis. 36

7. Teknik Penarikan Kesimpulan

Teknik penarikan kesimpulan yang digunakan adalah metode

deduktif yaitu dengan cara pengambilan kesimpulan dari pembahasan

yang bersifat umum menjadi kesimpulan yang bersifat khusus

sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menjawab

rumusan permasalahan.
36
Sudikno Mertukusumo dan A. Pitlo,1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993, hlm.65
29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Pendaftaran Tanah

1. Sejarah Perkembangan Pendaftaran Tanah di Indonesia

Pendaftaran tanah pertama kali yang dikenal di dunia, berasal dari

Negara Mesir Kuno, ketika Raja Fir’aun saat itu memerintahkan pegawai

kerajaannya untuk mengembalikan patok-patok batas tanah pertanian

rakyat yang hilang akibat meluapnya air sungai nil.37

Pada perkembangan selanjutnya istilah pendaftaran tanah ini

berkembang ke seluruh dunia dalam penyelengaraannya, hal ini ditandai

dengan adanya istilah yang berbeda di setiap negara dan pelaksanaannya

disesuaikan dengan tujuan tertentu.38

Hal ini dapat ditemui dengan munculnya istilah-istilah pendaftaran

tanah, seperti di Indonesia yang mengenal istilah “kadastre” sama


37
Syafruddin, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah, Tesis,
2004, Program Stui Kenotariatan, PPS-USU, Medan, hlm.14
38
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahman Lubis, 2012, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi
Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional, cetakan ketiga,
Bandung : Mandar Maju, hlm.17.

47
30

dengan istilah dari Belanda, yang secara tidak langsung memberikan

pengaruh penting kepada Indonesia mengenai pendaftaran tanah yang

merupakan bekas jajahannya. Adapun maksud dari kadaster ini dari segi

bahasa adalah suatu register atau capita atau unit yang digunakan dalam

pajak tanah romawi, yang berarti suatu istilah teknis untuk sebuah record

(rekaman) yang memaparkan kepada luas, nilai, kepemilikan atau

pemegang hak atas tanah, sedangkan kadaster yang modern bisa terjadi

atas peta yang ukuran besar dan daftar-daftar yang berkaitan.39

Selanjutnya ditinjau dalam segi tujuannya, pelaksanaan

pendaftaran tanah ini mempunyai tujuan yakni untuk menjamin kepastian

hukum, dan juga dalam kepentingan penarikan pajak atau hanya untuk

kegiatan administrasi belaka.40

Dalam sejarah perkembangan pendaftaran tanah di Indonesia,

pelaksanaannya tidak terlepas dari dinamika istilah serta inti tujuan

pendaftaran tanah tersebut , sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,

termasuk dari perkembangan dari lembaga pelaksananya,serta metode

atau cara penyelenggaraan tanah dimaksud.

Untuk menjelaskan sejarah perkembangan pendaftaran tanah di

Indonesia di bagi menjadi 4 bagian zaman, antara lain sebagai berikut:

1. Pendaftaran tanah sebelum masa penjajahan;

2. Pendaftaran tanah dalam masa penjajahan;


39
AP. Parlindungan, 1994, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung:Mandar Maju,
hlm.11-12.
40
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahman Lubis, 2012, Op.cit, hlm.18
31

3. Pendaftaran tanah setelah kemerdekaan;

4. Pendaftaran tanah era UUPA-hingga sekarang.

Pembagian zaman atau era pendaftaran tanah ini akan dijelaskan

sebagai sejarah perkembangannya di Indonesia sesuai dengan urutan

waktu atau masa itu berlangsung, sebagai berikut;

1. Pendaftaran tanah sebelum Penjajahan

Pada Zaman ini belum ditemukannya dokumen-dokumen yang

menjelaskan tentang pendaftaran tanah. Hal ini dikarenakan pada

zaman tersebut aturan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada saat

itu hanya mengatur mengenai tatanan kehidupan bermasyarakat,

termasuk dalam halnya penguasaan tanah berdasarkan hukum adat

yang umumnya tidak tertulis.

Hal ini diakui juga oleh AP. Parlindungan, yang menyatakan bahwa

sekalipun ada tatanan hukum adat yang mengatur mengenai

pemberian hak atas tanah menurut adat setempat, namun belum

adanya korelasi dari pemberian hak menurut hukum adat dengan

pendaftaran hak tersebut.41 Jadi secara legalitas belum dapat menjamin

kepastian hukum dikarenakan belum memiliki kepastian secara teknis,

baik ukuran, letak dan batas-batasnya.

2. Pendaftaran Tanah Dalam Masa Penjajahan

Masuknya Belanda ke Indonesia pada tahun 1595 yang dipimpin oleh

Cornelis de Houtman untuk mencari rempah-rempah, sehingga terbentuknya

perusahaan Hindia Timur Belanda atau sering disebut VOC pada (Verenigde
41
AP. Parlindungan,1994, Op.cit, hlm.11-12
32

Oostidinsche Compagnie) pada tahun 1602 yang bermarkas di Batavia atau

sekarang dikenal dengan nama Jakarta, yang mempunyai tujuan untuk

memonopoli perdagangan rempah-rempah di nusantara.

Secara tidak langsung mempengaruhi sistem hukum yang telah berlaku di

Indonesia dan menyebabkan sistem hukum di masa ini bersifat dualistis,

yaitu berlakunya juga hukum barat yang merupakan hukum yang berlaku

bagi golongan eropa, sedangkan untuk kaum Bumi Putera masih

memberlakukan sistem hukum adat. Dualisme hukum tersebut berdampak

pada Hukum Agraria yang membagi dua golongan hak-hak atas tanah yaitu

Hak-hak Barat dan Hak-hak adat 42.

Pendaftaran tanah yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda

yang merupakan penjajah Indonesia pada masa ini, hanya mengenai tanah-

tanah eropa saja, walaupun ada juga pendaftaran tanah yang bersifat

sederhana untuk tanah-tanah yang dimiliki oleh rang Indonesia yang

mengacu kepada pendaftaran tanah-tanah eropa. Seperti yang dikenal di

beberapa daerah Kesultanan Siak dan Kesultanan Yogyakarta atau daerah

lain.43

Pada zaman penjajahan Belanda, pendaftaran tanah mengenai tanah-tanah

eropa diselenggarakan oleh dua instansi, yaitu ;

42
a. Hak-hak Barat, yaitu hak yang harus tunduk pada hukum yang berlaku bagi
golongan eropa yang dikenal dengan hukum Barat,atau juga disebut dengan hak barat
contohnya yakni hak Eigendom, hak Erfpacht, dan hak Opstal. Tanah-tanah dengan
hak barat disebut tanah eropa.
b. Hak-hak adat, yaitu hak yang tunduk pada hukum yang berlaku bagi golongan Bumi
Putera yang disebut tanah-tanh Indonesia (Inlands bezitrecht).
43
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahman Lubis, 2012,Op. Cit, hlm.21-22.
33

a. Instansi yang menyelenggarakan kadaster; dan

b. Instansi yang menyelenggarakan pendafaran hak.

Berhubungan dengan hal di atas, pembahasan pendaftaran di

Indonesia akan di bagi dua bagian, yaitu perkembangan

penyelenggaraan kadaster dan perkembangan pendaftaran hak.

1) Penyelenggaraan kadaster

Kadaster itu tidak hanya untuk menjamin kepastian hukum pada

obyek-obyek hak-hak atas tanah, tetapi juga untuk keperluan

pemungutan pajak. Oleh karena itu, tujuan kadaster ini dibedakan

menjadi 2 (dua) bagian, yaitu;

a. Kadaster Hak ( Eigendom Kadaster), yakni kadaster yang

diadakan untuk kepastian hukum mengenai letak, batas-batas

serta luas bidang tanah yang dipunyai orang dengan sesuatu

hak.

b. Kadaster Pajak (Belasting Kadaster/Fiscale Kadaster), yakni

kadaster yang diadakan untuk keperluan pajak tanah yang

adil dan merata, untuk kepentingan tersebut maka yang

penting diketahui adalah luas tanah yang dipunyai oleh wajib

pajak, sebab harga tanah ditentukan oleh luas dan

penggunaannya.

2) Perkembangan Pendaftaran Hak


34

R. Hermanses berdasarkan perkembangannya, pendaftaran

tanah di Indonesia, di bagi menjadi tiga periode, yaitu ;

1. Periode Pra-Kadaster (tahun1620-1837);

Periode ini menurut CG Van Huls disebut juga dengan

Periode yang kacau balau (Chaotische periode), karena pada

saat ini kadaster tidak dapat dilaksanakan sebagaimana

pelaksanaannya, sehingga daftar-daftar dan peta-peta kadaster

dalam keadaan yang kacau balau dan tidak dapat dipercaya.

Hal ini terjadi disebabkan VOC tidak mau mengakui hukum

yang lain kecuali hukumnya sendiri, sehingga VOC

menganggap dirinya sebagai pemilik dari tanah-tanah yang

terletak di daerah kekuasannya dan Pemerintah VOC

memberikan tanah-tanah kepada bekas pegawai VOC yang

menetap di daerah kekuasaannya dan orang Belanda yang telah

didatangkan dijadikan sebagai transmigran.

Unuk mengatur persoalan-persolan yang timbul

berhubungan dengan tanah dan pendaftarannya, VOC

mengeluarkan beberapa maklumat (plakaat), antara zlain;

a. Plakaat tanggal 18 Agustus 1620 merupakan peletakan

dasar pertama untuk pelaksanaan kadaster di Indonesia

yang dalam penyelenggaraannya ditetapkan instansi-

instansi menyelenggarakan pelaksanaan kadaster yaitu

“Baljuw (bailluw) dan Scheepen”. Instansi ini bertugas


35

untuk menyelenggarakan daftar-daftar (stadsboeken)

dengan mencatat semua bidang tanah dan benda-benda

yang berada di sekitar bidang tanah tersebut yang telah

diberikan oleh VOC beserta nama-nam dari para

pemiliknya inilah yang disebut kadaster dalam arti

kuno,44 oleh karena itu pendaftaran tanah tersebut tanpa

didasarkan pada peta-peta tanah dan hanya mengenai tanah

yang diberikan oleh VOC.45 Tentu saja pendaftaran tanah

tanpa didasari pemetaan tanah maka lokasi dan batas tanah

tidak dapat direkonstruksi dengan jelas dan tepat sehingga

belum dapat memberikan jamina kepastian hukum.46

b. Plakaat tanggal 2 Juni 1625, menetapkan biaya pengalihan

tanah sebesar 10%.

c. Plakaat tanggal 23 Juli 1680, pada saat ini dibentuk Dewan

Heemraden yang bertugas untuk meyelenggarakan kadaster

(pasal 16), yakni membuat peta umum dari tanah-tanah

yang terletak dalam wilayah kerjanya, dengan melakukan

pencatatan yang lebih teliti dalam sebuah peta(pemetaan)

atas semua bidang tanah dengan tujuan untuk dapat

mempermudah dalam penetapan pemilik tanah yang wajib

membayar pajak (wajib pajak) dan untuk menyelesaikan


44
Kadaster dalam arti kuno ini adalah Pendaftaran bidang-bidang tanah dalam daftar-
daftar tanpa didasarkan pada peta-peta atau hanya peta yang kasar saja.
45
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahman Lubis, 2012,Op. Cit,hlm.28.
46
Irawan Soerodjo, 2002, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia ,
Surabaya:Arkola, hlm.58
36

perkara tentang batas tanah yang timbul antara pemilik

tanah atau antara pemilik dengan VOC untuk kepentingan

kepastian hukum. Plakaat inilah yang meletakkan dasar-

dasar penyelenggaraan kadaster dalam arti modern.47

d. Plakaat tanggal 8 Juli 1685, dibuat untuk penetapan pajak

tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Plakaat

tanggal 23 Juli 1680, yang besarnya adalah ½ % dari harga

tanah, pajak ini berlaku selama 3 (tiga) tahun, ini

merupakan awal mula dari pajak verponding.

e. Plakaat tanggal 23 Oktober 1685, pada saat ini daftar-

daftar tanah (staadsboeken), harus sesuai denga keadaan

hukum yang sebenarnya, jika terjadi pengalihan harus

dicatat dalam daftar (staadsboeken).

f. Plakaat tanggal 3 Oktober 1730, pada saat ini pengaturan

mengenai surat keterangan dalam pengalihan tanah yang

diakibatkan oleh peralihan kepemilikan tanah yang disebut

juga dengan nama Hemraden Briefe atau Heemraden

Kennis. Ini dijadikan juga sebagai alat untuk pengukuran

kembali tanah yang hendak dialihkan apabila tanahnya

belum mempunyai peta sesuai dengan keadaan sebenarnya.

47
Kadaster dalam arti modern dapat di rumuskan sebagai pendaftaran atau pembukuan
bidang-bidang tanah dalam daftar-daftar berdasarkan pengukuran pemetaan yang seksama dari
bidang-bidang tanah itu. Secara singkat kadaster dirumuskan sebagai pengukuran, pemetaan dan
pembukuan tanah seperti yang dirumusakan dalam Pasal 19 ayat 2 sub a UUPA.
37

g. Plakaat tanggal 3 Oktober 1750, dalam plakaat ini

dietagaskan kembali bahwa dewan Scheepen tidak boleh

menerima penyerahan tanah sebelum tanah diukur kembali

oleh ahli ukur, agar dapat demikian dap dibuat surat tanah

yang diperbaiki.

h. Plakaat tanggal 17 Pebruari 1752, dalam plakaat ini

menugaskan kembali Dewan Scheepen dan Dewan

Heemraden dalam menjalankan tugasnya kembali sesuai

daerah kerjanya masing-masing.

i. Plakaat tanggal 17 Nopember 1761, mengulang kembali

pada plakaat tanggal 3 Oktober 1750, hal ini dikarenakan

anggota Dewan Heemraden menemukan banyak kesalahan

dalam penunjukan batas dikarenkan dalam pembuatan peta

ersebut tanapa dilakukan pengukuran bidang tanahnya.

j. Plakaat tanggal 31 Maret 1778, pada saat ini

penyelenggaraan kadaster diserahkan kepada ahli ukur

(landmeter), sehingga ahli ukur tidak lagi merupakan

tenaga yang dipekerjakan pada instansi yang

menyelenggaran kadaster, tetapi sudah merupakan instansi

yang berdiri sendiri yang bertugas menyelenggarakan

kadaster. Hal ini disebabkan sebelumya belum tersedianya

peta dan daftar tanah.


38

k. Instruksi Pemerintah (Stb. 1837 Nomor 3), yakni kepada

ahli ukur atau Dewan Scheepen ditugaskan mendirikan

suatu kantor bagi para ahli ukur (landmeters-kantoor),

ketentuan tersebut telah mencakup 3 (tiga) pokok

penyelenggaran suatu kadaster yang modern, yaitu :

1. Pemetaan bidang-bidang tanah ;

2. Pendaftaran bidang-bidang tanah itu dalam daftar-daftar

tanah; dan

3. Pemeliharaan peta-peta dan daftar-daftar tanah.

Instuksi ini merupakan titik balik lahirnya kadaster yang

modern di Indonesia.

l. Tahun 1809, pada saat ini kantor ahli ukur dihapuskan lagi

atas usul Gubernur Jenderal Deandels.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas dapat disimpulkan

bahwa ;48

a. Dalam periode tersebut metode yang digunakan dalam


sistem pendaftaran tanah telah berkembang dari pengertian
kadaster yang kuno menjadi pengertian kadaster yang
modern.
b. Peraturan-peraturan mengenai penyelenggaraan kadaster
belum mengatur secara sistematis dan terperinci;
c. Penyelenggaran kadaster tersebut dianggap gagal karena
kurangnya pengetahuan para pelaksana penyelenggaraan
kadaster tersebut.

2. Kadaster Lama

48
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahman Lubis, 2012,Op. Cit,hlm.38
39

Periode ini menurut CG Van Hulls disebut juga periode ahli ukur

pemerintah (Periode van de Gouverments-Landsmeter), dimana tata

cara penyelenggaraan kadaster telah diatur secara sederhana akan

tetapi dalam cara pengukuran dan pembuatan peta-peta belum diatur

secara terperinci. Ini dijelaskan pada surat keputusan Gouverneur-

General (Gubernur Jenderal) tertanggal 18 Januari 1837 atau dikenal

dengan sebutan G.G. (Stb.1837 Nomor 3) yang berisi akan sebuah

instruksi bagi para ahli ukur di Jakarta, Semarang dan Surabaya untuk

mengatur peneyelenggaraan kadaster secara terperinci, sesuai dengan

pokok-pokok penyelenggaraan kadaster dalam arti secara modern,

berupa antara lain;

a. Menyimpan dan memelihara peta tanah (blik-kaarten), yang

telah dibuat oleh para ahli ukur tanah sebelumnya dan

membuat peta tanah dari blok-blok yang belum di ukur dan di

petakan;

b. Menyelenggarakan daftar-daftar yang berupa;

- Daftar tanah (Book-Register)

- Daftar Peta;

- Daftar peralihan hak atas benda tetap;

- Daftar pengukuran dan penaksiran yang dilakukan.

c. Memberikan “Landmeters-Kennis” , yang merupakan ulangan

dari ketentuan pasal 13 s/d 18 dalam Ordinansi Balik Nama

(Stb.1834 Nomor 27) sebagai salah satu syarat pendaftaran hak


40

atau alat bagi para ahli ukur untuk memelihara peta dan daftar

tanah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

d. Dapat diserahkan tugas memelihara daftar-daftar Pajak

Verponding49, pajak ini muncul kembali dengan nama “Pajak

setengah persen” (belasting van het een-half percent).

3. Periode Kadaster Baru

Periode ini menurut CG. Van Huls disebut dengan periode Jawatan

pendaftaran tanah (Periode Van den Kadastrale Dienst), yakni dimana

tata cara penyelenggaraan kadaster telah diatur secara terperinci. Pada

tahun 1870 merupakan suatu titik awal yang sangat penting mengenai

sejarah keagrariaan di Indonesia karena pada saat ini diberlakukannya

Undang-Undang Agraria 1870 atau dikenal dengan nama Agrarische-

Wet.50

Latar belakang Undang-undang ini berlaku dikarenakan adanya

kesewenangan pemerintah kolonial Belanda dalam mengambil alih

tanah rakyat, yang membuat politikus Liberal yang saat itu tidak setuju

dengan adanya tanam paksa di Jawa dan ingin membantu penduduk

49
Pajak Verponding merupakan suatu pajak yang dikenakan atas tanah-tanah dengan hak
Eropa. Pajak tersebut bermula pada ditetapkannya Plakaat tanggal 8 Juli 1685 yang berlaku
dampai dengan 1860.
50
Agrarische Wet (S. 1870-55) adalah sebuah undang-undang yang dibuat di Belanda
yang kemudian diberlakukan di Indonesia sebagai ayat-ayat tambahan dari Pasal 62 Regerings
Reglement Hindia Belanda tahun 1854. Pasal 62 Regerings Reglement tersebut kemudian menjadi
Pasal 51 Indische Staatsregeling pada tahun 1925.
41

pribumi dengan cara memberikan kesempatan kerja sambil dengan

mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta.

Pada periode ini juga awal dari munculnya pemberian hak Erpacht51,

semacam Hak Guna Usaha yang memungkinkan seorang penyewa

tanah terlantar yang telah menjadi milik negara selama maksimum 75

tahun sesuai dengan ketentuan yang diberikan hak eigendom52

(kepemilikan), selain dapat mewariskannya dan menjadikan agunan.

Ada tiga jenis hak erfpacht yaitu ;53

1. Hak untuk perkebunan dan pertanian besar, maksimm 500 bahu


dengan harga sewa maksimum lima florint per bahu;
2. Hak untuk perkebunan dan pertanian kecil bagi orang Eropa
“miskin” atau perkumpulan sosial di Hindia-Belanda, maksimum 25
bahu dengan harga sewa satu florint per bahu ( tetapi pada tahun
1908 diperluas menjadi maksimum 500 bahu);
3. Hak untuk rumah tetirah dan perkarangannya (estate) seluas
maksimum 50 bahu.

3. Pendaftaran Tanah Setelah Kemerdekaan

Pada awal kemerdekaan pendaftaran tanah di Indonesia masih

mengenai tanah-tanah Eropa saja,tidak meliputi tanah-tanah warga

pribumi. Berkaitan hal tersebut maka Pemerintah Indonesia selaku

51
Hak Erfpacht adalah hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk
waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang
atau penghasilan tiap-tiap tahun yang dinamakan “pacht”
Hak erfpacht dapat juga diartikan sebagai hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan
kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan membayar upeti
tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa uang, hasil atau
pendapatan (Pasal 720 KUHPerdata)
52
Hak Eigendom adalah hak atas sesuatu benda untuk mengenyam kenikmatan se-
luas2nya dan mempergunakannya secara tidak terbatas asal penggunaannya tidak bertentangan
dengan UU atau peraturan2 umum yg dikeluarkan oleh sesuatu kekuasaan yg memang berhak
mengeluarkannya, dan tidak mengganggu hak orang lain (Pasal 570 BW).
53
Harsono B. 1995. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 – Hukum Tanah Nasional. Djambatan. Jakarta.
42

penyelenggara pemerintahan mengeluarkan peraturan-peraturan mengenai

tanah-tanah di Indonesia, antara lain ;54

a. Peraturan mengenai tata kerja tentang pendaftaran hak-hak atas tanah

(PMA Nomor 9 tahun 1959; TLN Nomor 1884).

b. Peraturan tentang tanda-tanda batas tanah milik (PMA Nomor 10

tahun 1959;TLN Nomor1885).

c. Peraturan tentang tata kerja mengenai pengukuran dan pembuatan

peta-peta pendaftaran (PMA Nomor 13 tahun 1959;TLN Nomor

1944).

d. Peraturan tentang pembukuan tanah (PMA Nomor 14 tahun 1959;TLA

Nomor 1945).

Akan tetapi peraturan-peraturan tersebut di atas belum dapat

menyelesaikan persoalan mengenai penyelenggaraan pendaftaran tanah di

Indonesia secara memuaskan, ini diakibatkan status hukum kepemilikan

hak-hak atas tanah di Indonesia tidak memiliki bukti yang tertulis yang

dapat membuktikan kepemilikan tanah tersebut sehingga bertentangan

dengan Undang-Undang tersebut yang masih menganut Pokok Undang-

Undang peninggalan kolonial Belanda .

Oleh karena itu pemerintah Indonesia dengan menyadari pentingnya

hal tersebut, maka Presiden Soekarno membentuk Komisi Negara yang

bertujuan untuk menyusun dasar-dasar yang akan menjadi landasan hukum

54
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahman Lubis, 2012,Op. Cit,hlm.79-80.
43

pertanahan yaitu dengan Penetapan Presiden Nomor 16 tahun 1948

tentang Pembentukan Panitia Agraria Yogyakarta.

Dari sisi kelembagaan, Presiden menerbitkan Keputusan Presiden

Nomor 55 tahun 1955 tentang Pembentukan Kementrian Agraria, yang

mempunyai tugas selain penyusunan hukum agraria juga bertugas untuk

menjalankan segala sesuatu upaya untuk menyempurnakan kedudukan dan

kepastian hak atas tanah bagi rakyat.

Sejalan dengan hal tersebut maka instansi yang melakukan

pendaftaran tanah tetap Jawatan Pendaftaran Tanah di bawah Kementrian

Kehakiman, maka berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 190 tahun

1957 tertanggal 1 Juni 1957, Jawatan Pendaftaran Tanah dialihkan ke

dalam Kementrian Agraria yang mempunyai tugas, antara lain;55

a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan semua tanah di wilayah

Indonesia;

b. Pembukuan hak-hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak-hak

tersebut.

4. Pendaftaran Tanah Era UUPA

Permasalahan mengenai penyelenggaraan pendaftaran tanah di

Indonesia baru mendapat penyelesaian secara mendasar setelah dengan di

undangkannya UUPA ( Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960; LN Nomor

104, tertanggal 24 September 1960 tentang Undang-Undang Pokok

55
Ibid, hlm.81
44

Agraria), dimana menetapkan pasal 19 ayat 156 sebagai dasar pelaksanaan

pendaftaran tanah di Indonesia.

Dalam pasal 19 ayat 1 tersebut menjelaskan tujuan pendaftaran

tanah hanya untuk kepentingan pemberian jaminan kepastian hukum,

akan tetapi disamping hal tersebut pendaftaran tanah juga dipakai untuk

keperluan-keperluan lain. Kemudian untuk pelaksanaannya sesuai

ketentuan yang berlaku pada pasal tersebut mengintruksikan pemerintah

selaku penyelenggara pendaftaran tanah c.q Kementrian Agraria untuk

melakukan perencanaan , pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan

dari kegiatan pendaftaran tanah tersebut atau di kenal dengan pendaftaran

tanah secara sistematik.57 Walaupun di dalam UUPA masih di mungkinkan

pendaftaran secara sporadik atau insiatif keinginan dari pemegang hak atas

tanah sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan yang tertera pada

pasal 22, 32, dan 38.

Di dalam UUPA tidak mengenal perbedaan perlakuan antara hak

yang berasal berdasarkan hukum adat ataupun hukum eropa, semuanya di

atur dalam satu ketentuan yaitu UUPA, dengan kata lain terjadinya

dualisme dalam hak-hak tanah dihapuskan sehingga pendaftaran tanah

meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia sesuai dengan yang tertera

pada pasal 19 ayat 1 UUPA yang merupakan landasan yang kuat yang di

gunakan pemerintah selaku penyelenggara pendaftaran tanah di Indonesia.

56
Pasal 19 ayat 1 yaitu untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
57
Ibid, hlm.82
45

Untuk menegaskan ketentuan di atas maka dalam pasal 19 ayat 258

sub a adalah termasuk dalam lingkup kegiatan kadaster sedangkan materi

yang diatur dalam sub b termasuk ketentuan pendaftaran hak

(Overscrijvings Ordonantie(Stb.1834 Nomor 27)).59 Dari hal ini juga dapat

di rumuskan bahwa pendaftaran tanah yang tertera dalam ketentuan pada

pasal 19 ayat 2 dapat diartikan meliputi kadaster dan pendaftaran hak.60

Oleh sebab itu pendaftaran tanah yang diselenggarakan oleh Jawatan

Pendaftaran Tanah sebelum berlakunya UUPA mempunyai arti yang lebih

sempit dibandingkan pendaftaran tanah yang tertera dalam ketentuan pada

pasal 19 ayat 2 UUPA.

Produk dari pendaftaran tanah adalah diberikannya surat bukti hak

kepada pemegang hak sebagai tanda bukti hak yang kuat, akan tetapi

bukan merupakan bukti yang mutlak. Hal ini menyangkut kekuatan bukti

dari suatu hak yang tertera dalam teori atau disebut asas publisitas. Bila

disebutkan sebagai alat bukti hak yang kuat, maka yang dipakai dalam

pendaftaran tanah di Indonesia adalah Asas Publisitas yang negatif.


58
Pasal 19 ayat 2 menyatakan pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat.
59
Imam Soetiknjo,1987,Proses Terjadinya UUPA, Yogyakarta:Gajah Mada
University,hlm.106
60
Dibedakan antara Pendaftaran suatu alas hak (title) atau kadaster dan perekaman
(recording) dari suatu bukti atau pendaftaran hak, yakni ;
a. Pada Pendaftaran suatu alas hak, negara menyediakan suatu rekaman umum (public
record) daripada alas hak, dimana seseorang akan berpegang padanya.
b. Di lain pihal perekaman dari suatu hak, menyediakan suatu perekaman perbuatan
hukum (deed of conveyance) dan lain-lain upaya tanpa suatu jaminan akan alas hak
tersebut, menyerahkan kepada pembeli dan orang lain yang berkepentingan untuk
menilai upaya dari perekaman tersebut dan menyimpulkan sendiri konklusinya atas
akibatnya pada alas hak tersebut.( A.P Parlindungan, Pendaftaran Tanah di
Indonesia, Op.Cit, hlm.12).
46

Dengan adanya pasal-pasal yang mengatur mengenai pemberian

surat tanda bukti hak dan arti pendaftaran bagi peralihan hak, maka hal-hal

yang menyangkut kedudukan tanah mendapat landasan hukum yang kuat,

seperti yang telah di atur pada Peraturan Pemerintah sebagai berikut ;

a. Pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10

tahun 1961 tentang pendaftaran tanah.

Sebagaimana pasal 19 ayat 1 UUPA, pendaftaran tanah secara

pelaksanaan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961

yang meliputi kadaster dan pendaftaran hak. Dalam pelaksanaan

penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah

tersebut pendaftaran tanah dapat dilakukan apabila bidang tanah

tersebut telah di ukur dan dipetakan, jadi dengan kata lain apabila

bidang tanah atau obyek hak-hak belum terukur maka pendaftaran

tanah belum dapat dilakukan, sehingga mengakibatkan penundaan

pendaftaran tanah karena dilakukan secara bertahap dan dapat

menimbulkan kesulitan bagi pengalihan hak atas tanah.

Mengingat hal tersebut UUPA telah menjadikan pendaftaran tanah

sebagai syarat bagi peralihan hak atas tanah daerah itu. Peraturan

Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 menetapkan 2 (dua) cara

penyelenggaraan pendaftaran tanah, yaitu ;

- Pendaftaran tanah secara lengkap, maksudnya dalam pendaftaran

tanah ini obyek bidang tanah telah dilakukan pengukuran,


47

pemetaan dan pendaftaran tanah sehingga telah memperoleh hak

atas tanah;

- Pendaftaran tanah secara tidak lengkap, maksudnya dalam

pendaftaran tanah ini belum dilakukannya pengukuran dan

pemetaan, hanya baru dilakukan pendataan atau pendafttaran hak

saja. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum mengenai

subjek haknya. Hal ini tentunya kurang tepat jika dikaitkan dengan

tujuan pendaftaran tanah, karena apabila objek tanah tidak pasti

maka subyek haknya juga tentu tidak pasti dan pemberian

sertipikat sementara kepada pemegang hak dapat menimbulkan

sengketa di bidang pertanahan.61

b. Pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24

tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

Setelah 37 tahun dalam pelaksanaan UUPA dengan landasan hukum

yaitu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961, ternyata

belum berhasil dikarenakan hanya dapat mendaftarkan sebanyak 16,5

juta bidang tanah atau hanya dapat 30%dari bidang tanah yang

diperkirakan sebanyak 55 juta bidang tanah,62 sehingga perlunya

inovasi yang baru dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas

dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia.

61
Irawan Soerodjo, Op.cit.hlm.92
62
Op. Cit, 2012, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi Peraturan Pemerintah Nomor
13 Tahun 2010 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku
Pada Badan Pertanahan Nasional, cetakan ketiga, Bandung : Mandar Maju, hlm.91.
48

Oleh karena itu, pemerintah melakukan revisi mengenai Peraturan

Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yang dituangkan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Hal ini

dapat ditemui dalam penegasan mengenai hal-hal berikut:

a. Pengertian Pendaftaran Tanah;

b. Asas-asas serta tujuan serta sistem penyelenggaraan pendaftaran

tanah;

c. Penegasan, penyederhanaan tata cara pendaftaran tanah;

d. Penggunaan teknologi modern dalam suatu pengukuran dan

pemetaan;

e. Pembukuan bidang tanah melalui data fisik maupun yuridis;

f. Adanya pembuktian dalam sertipikat;

g. Peran dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

dalam hal membatu penyelenggaraan pendaftran tanah tersebut.

2 Pengertian Pendaftaran tanah.

Pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang

dilakukan pemegang hak atas tanah, baik dalam hal pemindahan hak

ataupun pemberian dan pengakuan hak baru, untuk melakukan kegiatan

pendaftaran agar memperoleh suatu kejelasan status terhadap tanah

tersebut.

Dalam pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997

disebutkan bahwa pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang


49

dilakukan pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan

teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian

serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan

daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,

termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah

yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-

hak tertentu yang membebaninya.

Yang dimaksud rangkaian kegiatan pendaftaran tanah adalah

pendaftaran dalam bidang data fisik yakni mengenai tanahnya itu sendiri

seperti lokasinya, batas-batasnya, luas bangunan atau benda lain yang ada

di atasnya. Sedangkan dalam data yuridis menjelaskan mengenai haknya,

baik yakni berupa pemegang hak, peralihan hak, ataupun perubahan hak

tersebut.

3 Landasan Hukum Pendaftaran Tanah

Setelah terjadinya penyempurnaan mengenai Peraturan Pemerintah

Nomor 10 tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997

tentang pendaftaran tanah, perintah dari pasal 19 UUPA ayat 1 menjadi

lebih tegas. Dikarenakan peraturan tersebut mempunyai tujuan yang lebih

mengutamakan akan pemberian kepastian dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas tanah, sehingga tertib admnistrasi pertanahan dapat


50

tercipta sebagaimana yang tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 24

tahun 1997 pasal 3.63

Akan tetapi hakikat akan pendaftaran tanah tetap diselenggarakan

dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan,

yang dimana sistem publikasinya adalah sistem negatif, tetapi

mengandung unsur positif. Ini dikarenakan produk yang dikeluarkan

merupakan surat-surat bukti hak yang digunakan sebagai alat pembuktian

yang kuat, sebagaimana yang dinyatakan pada pasal 19 ayat 2 huruf c,

pasal 23 ayat 2, pasal 32 ayat 2 dan pasal 38 ayat 2. Pendaftaran tanah juga

tetap dilaksanakan secara sistematik ataupun secara sporadik.64

Penyempurnaan yang dilakukan adalah berupaya untuk penegasan

berbagai hal yang belum jelas dalam peraturan pemerintah Nomor 10

63
Lihat Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang berbunyi ;
“Pendaftaran tanah bertujuan:
a. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang
tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
b. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah
agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
c. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.”
64
- Pendaftaran tanah secara sistematik yakni berupa kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran
tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan.
Pendaftaran tanah secara sistematis ini diselenggarakan atas prakarsa Pemerintah
berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan di
wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional ;
- Pendaftaran tanah secara sporadik yakni berupa kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau
bagian wilayah desa/kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah secara
sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang
berhak atas objek pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya
51

tahun 1961, antara lain pengertian pendaftaran tanah65 itu sendiri, azas-

azas66 dan tujuan peneyelenggaraannya, disamping itu untuk memberikan

kepastian hukum sebagaimana telah dijelaskan di atas juga dimaksudkan

untuk menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap mengenai

data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan

sebagai implementasi pasal 19 UUPA itu sendiri.

Pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun

1997 tentang pendaftaran tanah, dapat dibedakan menjadi dua yaitu;

a. Pendaftaran tanah untuk pertama kali


65
Lihat peraturan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
pendaftaran tanah yang berbunyi ;
“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus
menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya
bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-
hak tertentu yang membebaninya.”
66
Asas-asas Pendaftaran tanah menurut pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
1997 tentang pendaftaran Tanah yakni sebagai berikut ;
a. Sederhana, maksudnya substansinya mudah dibaca atau dipahami oleh semua lapisan
warga negara Indonesia dan juga prosedurnya tidak perlu melewati birokrasi yang
berbeli-belit atau hanya melewati bagian pendaftaran tanah saja;
b. Aman, maksudnya pendaftaran tanah ini diharapkan memberikan rasa aman bagi
pemegang alat bukti hak yaitu berupa sertipikat, hal ini di karenakan pendaftaran
tanah diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan
kepastian hukum, sesuai prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law)
yang menganut arti keadilan.
c. Tejangkau, maksudnya dalam proses pendaftaran tanah mengukur kemampuan
finansial seseorang untuk membayar biaya pendaftaran tanah tersebut, khususnya
harus memperhatikan dan menitikberatkan pihak-pihak ekonominya lemah. Intinya
agar jangan sampai pihak ekonomi yang lemah tidak dapat melakukan pendaftaran
tanah yang dikarenakan masalah tidak mampu membayar;
d. Mutakhir, maksudnya data yang dikeluarkan atau yang tersedia harus menunjukan
keadaan yang real (nyata), sehingga setiap adanya perubahan data fisik maupun
yuridis dapat diperbaharui terus-menerus;
e. Terbuka, maksudnya adanya transparansi dalam memperoleh keterangan data-data
atau informasi mengenai data-data fisik amaupun yuridis. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui kegiatan menyimpang atau disembunyikan dalam proses pelaksananaan
pendaftaran tanah tersebut.
52

adalah kegiatan pendaftaran pertama yang dilakukan

terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum pernah didaftar

berdasarkan ketentuan-ketentua yang berlaku dalam pendaftaran tanah,

hal ini melaui Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997;

b. Pemeliharaan data pendaftaran tanah

adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik

dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat

ukur, buku tanah, dan sertipikat karena adanya perubahan-perubahan yang

terjadi kemudian.67

Kegiatan-kegiatan pendaftaran tanah meliputi sebagai berikut ;68

a. Bidang fisik, yaitu pengukuran, pemetaan, dan pembukuan yang

menghasilkan peta-peta pendaftaran dan surat ukur;

b. Bidang yuridis, yaitu pendaftaran hak-hak atas tanah, peralihan hak dan

pendaftaran atau pencatatan dari hak-hak lain yaitu baik hak atas tanah

maupun jaminan, serta beban-beban lainnya;

c. Penerbitan surat tanda bukti hak yaitu sertipikat.

4 Tujuan Pendaftaran tanah


67
Setiabudi, Jayadi,2013, Panduan Lengkap Mengurus Tanah Rumah Serta Segala
Perizinannya,Yogyakarta:Buku Pintar, hlm.67
68
Ibid, hlm.68.
53

Tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah menurut Pasal 19

UUPA dan telah di tegaskan oelh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 adalah untuk memeberikan jamainan kepastian hukum di bidang

pertanahan. Kepastian hukum yang dijamin meliputi kepastian mengenai

letak batas dan luas tanah, status tanah, dam orang yang berhak atas tanah

dan pemberian surat berupa sertipikat. 69 Secara garis besar tujuan

pendaftaran tanah ini di tegaskan dalam pasal 31 Peraturan Pemerintah

Nomor 24 tahun 1997, yang mempunyai 3 (tiga) tujuan dari diadakan

pendaftaran tanah itu sebagai berikut ;70

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada


pemegang hak atas tanah ;
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan;

c. Mewujudkan tertib administrasi pertanahan sebagaimana sesuai


dengan ketentuan yang tertera pada pasal 4 ayat 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 .

5 Sistem Pendaftaran tanah

Menurut Boedi Harsono, ada 2 (dua) macam sistem pendaftaran

tanah yaitu sistem pendaftaran akta (registration of deeds) dan sistem

pendaftaran hak (registration of titles). Dalam sistem pendaftaran hak

setiap terjadinya perubahan-perubahan atas peralihan-peralihan

kepemilikan, penguasan tanah dapat dibuktikan dengan akta, tetapi dalam

pendaftarannya, bukan aktanya yang didaftar, melainkan haknya yang

69
Adrian Sutedi, 2007, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta:Sinar
Grafika,hlm.114
70
Ibid, Sertipikat Hak Atas Tanah, Op.Cit,.hlm.109
54

didaftar dengan perubahan-perubahannya, di sini akta merupakan sumber

datanya. Hal ini tampak dilihat dengan adanya buku tanah sebagi dokumen

yang memuat data fisik maupun yuridis yang dihimpun dan disajikan, serta

diterbitkannya sertipikat sebagai surat tanda bukti hak atas tanah yang

didaftar.

Sebelum berlakunya UUPA, Indonesia pernah menganut sistem

pendaftaran akta (registration of deeds) yang diatur dalam Overschrijvings

Ordonantie 1834-27, yang dimana peralihan hak-hak atas tanah harus

dilakukan di depan pejabat Overschrijvings Ambtenaar yang merupakan

pejabat pendaftaran tanah pada saat itu, yang mengeluarkan produk berupa

grosse akta yang diberikan kepada penerima hak. Akan tetapi sistem itu

tidak dapat dilanjutkan dikarenakan tidak mengakui hak-hak adat yang

merupakan hak yang sebagian besar tidak tertulis hanya berupa lisan

sehingga pembuktiannya susah di buktikan secara jelas.

Setelah berlakunya UUPA di Indonesia maka secara tidak langsung

sistem pendaftaran tanah di Indonesia berubah dari pendaftaran akta

menjadi pendaftaran hak, ini disebabkan disesuaikan dengan hukum adat

yang berada di indonesia agar bersifat nyata, terang dan tunai ( kontant,

concreet, belevend en participarend denken).71

71
Urip Santoso, 2011, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group,hlm.361-362
55

6 Pelaksanaan Pendaftaran tanah

Pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kali di

Indonesia setelah di atur oleh Peraturan Pemerintah Pasal 11 Nomor

24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, dilaksanakan menjadi dua

cara yaitu melalui ;

1. Pendaftaran tanah secara sistematik, maksudnya Pendaftaran tanah

secara sistematik sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 angka 8

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 adalah Kegiatan

pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara

serentak yang meliputi semua objek pendaftaran yang belum

didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau

kelurahan.

2. Pendaftaran tanah secara sporadik, maksudnya pendaftaran tanah

secara sporadik sebagaimana tertuang dalam pasal 1 angka 11

peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 adalah Kegiatan

pendaftaran untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek

pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa

atau kelurahan secara individual, maksudnya pendaftaran untuk

pertama kali ini dilaksanakan atas permintaan pihak yang

berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas objek pendaftaran


56

tanah yang bersangkutan atau kuasanya. Adapun kegiatan

pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:

a) pengumpulan dan pengolahan data fisik;


 

b)    pembuktian hak dan pembukuannya;

c) penerbitan sertifikat;

d) penyajian data fisik dan data yuridis;

e) penyimpanan daftar umum dan dokumen.

7 Pemeliharaan data Pendaftaran tanah

Kegiatan ini adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk

menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar

tanah, daftar nama, daftar surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan

perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.

Berdasarkan Pasal 36 PP No. 24 Tahun 1997, pemeliharaan data

pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik

atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar.

Perubahan fisik terjadi kalau diadakan pemisahan, pemecahan, atau

penggabungan bidang-bidang tanah yang sudah didaftar. Perubahan

data yuridis terjadi misalnya jika diadakan pembebanan atau

pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah didaftar. Pemegang hak

yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan data fisik atau data

yuridis tersebut kepada Kantor Pertanahan dan Kabupaten/Kota

setempat untuk dicatat dalam buku tanah.


57

Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, terdiri atas ; 72

a. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak.

1. pemindahan hak;
2. pemindahan hak dengan lelang;
3. peralihan hak karena pewarisan;
4. peralihan hak karena penggabungan atau peleburan
perseroan atau koperasi;
5. pembebanan hak;
6. penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak.

b. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya, meliputi:

1. perpanjangan jangka waktu hak atas tanah;


2.  pemecahan, pemisahan, dan penggabungan bidang tanah;
3.  pembagian hak bersama;
4.  hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun;
5. peralihan dan hapusnya hak tanggungan;
6. perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau
penetapan pengadilan;
7. perubahan nama.

Peralihan hak atas tanah, yang dilakukan dengan cara jual beli,

tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan

hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang

hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh

PPAT yang berwenang.73

B. Tinjauan umum tentang akta

1. Pengertian Akta

72
Wibowo Tunardy, “Pelaksanaan Pendaftaran Tanah”,
<http://www.jurnalhukum.com/pelaksanaan-pendaftaran-tanah>, diakses pada 20 April 2017,
21.00 WIB.
73
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, PP
No. 24, TLN No. 3696, Pasal 37 ayat 1
58

Menurut kamus hukum, yang dimaksud dengan

Akta atau Acte adalah surat tanda bukti suatu tulisan, yang

ditandatangani dan diperuntukan membuktikan apa yang tertera di

dalamnya.74Pengertian akta, sebagaimana dikutip oleh Sjaifurrachman

dan Habib Adjie, dalam bukunya Aspek Pertanggungjawaban Notaris

dalam Pembuatan Akta, Menurut pendapat:

A.Pitlo, akta merupakan surat yang ditandatangani, diperbuat untuk

dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk

keperluan siapa surat itu dibuat. Menurut Sudikno Mertokusumo akta

adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-

peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat

sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Sedangkan menurut

Subekti, kata akta bukan merupakan surat melainkan harus diartikan

dengan perbuatan hukum, berasal dari kata acte yang dalam bahasa

Perancis berarti perbuatan.75

Akta adalah pernyataan tertulis yang ditandatangani, dibuat

oleh seseorang atau pihak-pihak dengan maksud dapat dipergunakan

sebagai alat bukti dalam proses hukum.76

74 ?
R. Subekti dan Trijrosoedibio.2008, Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramitha, hlm.5
75 ?
A.Pitlo, Sudikno Mertokusumo, dan Subekti, dalam Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011,
Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Permbuatan Akta. Bandung:Mandar Maju, hlm.99.
76 ?
L.G. Rai Widjaja, 2002, Merancang Suatu Kontrak Contract Drafting, Bekasi Timur: .
Kesaint Blane, hlm.9.
59

2. Macam-Macam Akta

Dalam pembuatan dan pelaksaannya akta ini dapat

dibedakan menjadi 2 (dua) macam akta, yaitu:77

1) Akta Otentik

Menurut pasal 1868 KUH Perdata, menyebutkan bahwa

akta Otentik merupakan akta yang berisikan tentang uraian dari

pejabat umum yang dilihat dan disaksikan pejabat umum sendiri

atas permintaan para pihak agar tindakan atau perbuatan para pihak

yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta otentik.78

Dengan demikian dapat diketahui bahwa akta otentik mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut;79

a. Akta dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstain) seorang

pejabat umum;

b. Akta harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-

undang (wet);

c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Maka dapat di artikan bahwa akta otentik dibuat oleh

pejabat yang diberi wewenang oleh pemerintah menurut ketentuan

yang berlaku, baik itu dari atau tanpa bantuan dari pihak-pihak
77 ?
Santia Dewi dan Fauwas Diradja, 2011, Panduan Teori dan Praktik Notaris, Yogyakarta:
Pusaka Yustisia, hlm.36.
78
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan
Tulisan tentang Notaris dan PPAT), Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, hlm.268
79
Ibid, hlm.267-268
60

yang berkepentingan, dan mencatat hal-hal yang harus dimuat

dalam akta tersebut sesuai permintaan para pihak yang melakukan

perbuatan hukum. Akta otentik ini juga harus memuat keterangan

seorang pejabat yang menerangkan tentang apa yang dilakukan

atau dilihat dihadapannya.80 Ini disebut juga dengan akta relaas

atau akta pejabat.

Pembuatan akta, baik akta relaas maupun akta para pihak

atau partijk, mempunyai kesamaan dalam hal dasar pembuatannya

yaitu harus adanya keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan

permintaan para pihak. Hal ini disebabkan apabila tidak adanya

permintaan para pihak tersebut, seseorang pejabat umum tidak

dapat membuat akta tersebut. Pejabat umum hanya dapat

memberikan saran dan masukan terhadap para pihak sesuai dengan

ketentuan yang berlaku, tanpa mempengaruhi keinginan para pihak

yang melakukan perbuatan hukum tersebut, di karenakan isi akta

ini menuangkan perbuatan para pihak, bukan perbuatan atau

tindakan pejabat umum.

Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu

karakter yuridis dari akta otentik. Dalam hal ini tidak berarti

pejabat umum sebagai pelaku dari akta tersebut, tetapi pejabat

umum tetap berada di luar para pihak atau bukan pihak dalam akta

tersebut. Dengan kedudukan tersebut dapat diketahui bahwa

80
Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, Yogyakarta:Laksbang
Pressindo, hlm.11.
61

tanggung jawab serta kewenangan pejabat umum tersebut, hanya

sebagai alat administrasi negara untuk membantu para pihak yang

melakukan perbuatan hukum.

Hal ini dapat di artikan apabila terjadinya perbuatan

wanprestasi (ingkar janji) dari seseorang atau beberapa pihak ,

maka sanksi-sanksinya hanya mengikat para pihak,81 dikecualikan

apabila pejabat tersebut ikut serta dalam melakukan perbuatan

hukum tersebut, maksudnya pejabat tersebut mempengaruhi atau

melakukan tindakan yang melanggar kewenangannya sebagai

pejabat umum, maka pejabat tersebut dapat terkena sanksi secara

perdata maupun pidana sesuai ketentuan yang berlaku.

Akta otentik ini dapat dibuat oleh Notaris yang merupakan

pejabat umum82 atau pejabat yang mempunyai kewenangan

dikarenakan jabatannya di pemerintahan seperti Camat selaku

PPAT sementara sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 Angka

2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.83 Akan tetapi, dalam

81
Lihat pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan ;
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikat diri
terhadap satu orang lain atau lebih”.
82
Lihat pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Yang memberi
pengertian yaitu Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini atau berdasarkan Undang-undang lainnya.
83
Lihat pasal 1 angaka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Yang memberi pengertian bahwa PPAT Sementara adalah
pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan
membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.
62

peraturan perundang-undangan ini juga disebutkan bahwa beberapa

jenis kontrak yang harus dilakukan melalui akta otentik dapat

cukup dilakukan melalui akta di bawah tanah.84

2) Akta di bawah tangan

Dalam pelaksanaannya akta di bawah tangan ini sering

terjadi dalam pelaksanaan perjanjian atau kontrak dalam mengikat

para pihak yang melakukan perjanjian saat ini. Hal ini disebabkan

ketidaktahuan para pihak mengenai dampak hukum yang terjadi

apabila terjadinya konflik dalam perjanjian tersebut. ini terjadi

disebabkan pembuktiannya mendapat kelemahan yang sangat

mendasar dikarenakan tidak terdapat saksi yang merupakan salah satu

alat pembuktian yang kuat untuk menjelaskan kebenaran perjanjian

atau kontrak tersebut di laksanakan apabila terjadi permasalahan

secara perdata maupun pidana.

Akta di bawah tangan ini mempunyai perbedaan yang

mendasar dengan akta otentik yaitu pada cara pembuatan atau

terjadinya akta tersebut, di karenakan akta di bawah tangan ini terjadi

bukan dilakukan oleh atau dihadapan pejabat umum, atau pejabat yang

mempunyai wewenang dalam membuat akta. Akan tetapi, hanya

dilakukan oleh pihak yang berkepentingan saja (walaupun telah

84
Lihat pasal 1867 KUH Perdata, yang menyatakan ;
“Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di
bawah tangan”
63

memenuhi syarat-syarat perjanjian sesuai dengan 1320

KUHPerdata).85

Walaupun bersifat mengikat sebagaimana ketentuan yang tertuang

pada pasal 1313 KUHPerdata, akta di bawah tangan ini mempunyai

kelemahan atau kekurangan yang mendasar dalam pembuktian, yaitu

pada ;

1. Ketiadaan saksi yang membuat akta di bawah tangan ini sulit

membuktikan kebenarannya;

2. Apabila diantara para pihak melakukan wanprestasi atau mengingkari

perjanjian maka kebenarannya hanya dibuktikan di muka pengadilan

sebagaimana telah diatur dalam ketentuan pada pasal 1874 KUH

Perdata

Sebagaimana telah dijelaskan di atas maka dapat kita ketahui perbedaan

antara kedua akta ini sebagaimana seperti tabel di bawah ini;

Keterangan Akta di bawah tangan


Akta Otentik

Bentuk Dibuat dalam bentuk yang tidak Dibuat dalam bentuk yang sudah
ditentukan oleh undang-undang, tanpa ditentukan oleh undang-undang
perantara atau tidak dihadapan pejabat (pasal 38 UUJN), dibuat di
umum yang berwenang. hadapan pejabat-pejabat yang
diberi wewenang dan tempat
dimana akta tersebut dibuat.

Kekuatan/ - Mempunyai kekuatan pembuktian Mempunyai pembuktian yang


85
Lihat Pasal 1320 KUH Perdata; Supaya persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat
syarat ; 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
64

nilai sepanjang para pihak sempurna, kesempurnaan akta


pembuktian mengakuinya atau tidak ada notaris sebagai alat bukti, maka
penyangkalan dari salah satu akta tersebut harus dilihat apa
pihak; adanya, tidak perlu dinilai atau
- Jika ada salah satu pihak tidak ditafsirkan lain, selain yang tertulis
mengakuinya, beban pembuktian dalam akta tersebut.
diserahkan kepada pihak yang
menyangkal akta tersebut, dan
penilaian penyangkalan atas bukti
tersebut diserahkan kepada
hakim.

C. PPAT SEMENTARA

1) Pengertian Camat

Luas wilayah Republik Indonesia dengan jumlah penduduk

yang sangat banyak dan karena adanya tuntunan terlaksananya

pembinaan masyarakat di berbagai sektor, maka Menteri dalam Negeri

atas nama Pemerintah Pusat melimpahkan wewenangnya kepada

pejabat-pejabat yang ada di daerah.

Para pejabat yang dimaksud adalah kepala wilayah yang

merupakan penguasa tunggal wilayahnya, atau dengan kata lain

merupakan perpanjang tangan pemerintah pusat dalam melaksanakan

program-program yang diselenggarakan pemerintah. Menurut pasal 126

ayat 2 Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah

Daerah menyatakan bahwa camat adalah kepala kecamatan. Artinya

camat merupakan penyelenggara pemerintah ditingkat Kecamatan yang

menerima pelimpahan sebagian wewenang pemerintah dari Bupati atau

Walikota yang bersangkutan. Pengertian Camat ini dapat dilihat dalam


65

Kamus Umum Bahasa Indonesia, yaitu Pegawai Pamong Praja yang

mengepalai Kecamatan.86

2) Dasar Hukum Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah

Sementara (PPATS)

Dasar hukumnya dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat 3 Peraturan

pemerintah Nomor 37 tahun 1998, yaitu;

“Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah


yang belum cukup terdapat PPAT, atau untuk melayani golongan
masyarakat tertentu dalam pembuatan akta tertentu”.

Dalam hal ini Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di bawah ini

sebagai PPAT sementara atau PPAT khusus : Camat atau Kepala Desa

untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat

PPAT, sebagai PPAT sementara.

Menurut pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun

1998 tentan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT

Sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya

untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah

yang belum cukup terdapat PPAT. Dalam hal ini yang ditunjuk karena

jabatannya di pemerintah ialah camat yang merupakan pimpinan di

wilah kerja berupa perkecamatan.

Camat selaku PPAT Sementara wajib mengikuti pendidikan

dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Kementrian Agraria dan Tata

86
Poerwodharminto, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
hlm.181
66

Ruang/Badan Pertanahan Nasional yang penyelenggaraannya dapat

dilakukan bersama dengan organisasi PPAT akan tetapi ini dapat

dilaksanakan apabila di daerah Kabupaten/Kotamadya yang

bersangkutan belum ada PPAT ,87 Penunjukan Camat selaku PPATS

juga dapat dilakukan apabila ada formasi PPAT pada daerah tersebut.

3) Tugas dan Kewajiban Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta

Tanah Sementara (PPATS)

Dari pengertian PPATS di atas, dapat diketahui bahwa

wewenang PPATS sama seperti wewenang yang dimiliki oleh PPAT.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan

tanah, dimana PPAT merupakan pejabat umum yang diberikan

wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta

pembebanan hak atas tanah dan akta pemberi kuasa pembebanan hak

tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari pengertian diatas maka dapat dilihat betapa pentingnya

fungsi dan peranan PPAT sementara dalam melayani kebutuhan

masyarakat terutama dalam ruang lingkup wilayah kerjanya, dalam hal

87
Lihat pasal 5 angka 3 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang menyatakan “ Untuk melayani masyarakat
dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani
golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk
pejabat-pejabat di bawah ini sebagai PPAT sementara atau PPAT Khusus; a. Camat atau Kepala
Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT
sementara.
67

ini dengan melakukan peralihan hak atas tanah, membuat akta

mengenai perbuatan hukum yang berhubungan dengan hak atas tanah.

Sedangkan dalam kewenangannya PPAT sementara mempunyai

wewenang dalam membuat akta otentik mengenai semua perbuatan

hukum mengenai;

a. Jual beli
b. Hibah
c. Tukar menukar

Untuk kewajibannya PPAT sementara, sebagaimana pasal 45

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2006

tentang ketentuan pelaksanaan peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun

1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah

sebagai berikut;

a. Menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945 dan Negara Kesatuan


Republik Indonesia;
b. Mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai
PPAT sementara di Kantor Pertanahan setempat;
c. Menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya
kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan
Kepala Kantor Pelayanan Pajak, Bumi dan Bangunan setempat
paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
d. Menyerahkan protokol PPAT sementara dalam hal :

1. PPAT yang berhenti menjabat menyerahkan kepada PPAT di


daerah kerjanya atau kepada Kepala Kantor Peratanahan;
2. PPAT sementara yang berhenti sebagai PPAT sementara
kepada PPAT sementara yang menggantikannya atau kepada
Kepala Kantor Pertanahan;88
3. PPAT khusus yang berhenti sebagai PPAT khusus kepada
PPAT khusus yang menggantikannya atau kepada Kepala
Kantor Pertanahan;

88
Lihat pasal 27 angka 2 dan angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
68

4. Membebaskan uang jasa pada orang yang tidak mampu yang


dibuktikan secara sah.

Fungsi dan tanggung Jawab PPAT sementara bermula dari

sistem yang digunakan dalam pendaftaran tanah di Indonesia, yaitu

sistem publikasi negatif dan kewajiban menialai dokumen, maka

sebaiknya terdapat pembagian fungsi dan tanggung jawab antar

PPAT sementara dan petugas pendaftaran PPAT yaitu;

a. Membuat akta yang dapat dipakai sebagai dasar yang kuat

bagi pelaksanaan pendaftaran peralihan hak;

b. PPAT sementara bertanggung jawab terhadap terpenuhinya

unsur kecakapan dan kewenangan penghadap dalam akta dan

keabsahan perbuatan haknya sesuai data dan keterangan yang

di sampaikan kepada para penghadap yang dikenal atau

diperkenalkan;

c. PPAT sementara bertanggung jawab terhadap dokumen yang

di pakai dasar melakukan tindakan hukum kekuatan dan

pembuktiannya telah memnuhin jaminan kepastian untuk

ditindaklanjuti dalam akta otenti dan sesuai dengan ketentuan

yang berlaku;

d. PPAT sementara bertanggungjawab terhadap sahnya

perbuatan hukum sesuai data keterangan para penghadap

serta menjamin otensitas akta dan bertanggiung jawab bahwa

perbuatannya sesuai produser.


69

D. TANGGUNG JAWAB

1. Pengertian Tanggung Jawab Hukum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung

jawab adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa

- apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus

hukum, tanggung jawab adalah suatu keharusan bagi seseorang untuk

melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya. 89 Menurut hukum

tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan

seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral

dalam melakukan suatu perbuatan90.

Selanjutnya menurut Titik Triwulan pertanggungjawaban

harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak

hukum bagi seseorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal

yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi

pertanggungjawabannya91.

Menurut hukum perdata dasar pertanggungjawaban dibagi

menjadi 2 macam, yaitu kesalahan dan resiko. Dengan demikian

dikenal dengan pertanggungjawaban atas dasar kesalahan ( lillability

without based on foult) dan pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang

dikenal (lilability without foult) yang dikenal dengan tanggung jawab

resiko atau tanggung jawab mutlak (Strick liability).92


89
AndiHamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.
90
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm
91
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2010, hlm 48
92
Ibid hlm. 49
70

Prinsip dasar pertanggung jawaban atas dasar kesalahan

mengandung arti bahwa seseorang harus bertanggung jawab karena ia

melakukan kesalahan karena merugikan orang lain. Sebaliknya prinsip

tanggung jawab resiko adalah bahwa konsumen penggugat tidak

diwajibkan bagi melainkan produsen tergugat langsung bertanggung

jawab sebagai resiko usahanya.

2. Teori Tanggung Jawab Hukum

Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam

perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori,

yaitu : 93

a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang

dilakukan dengan sengaja (intertional tort liability ), tergugat harus

sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan

penggugat atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat

akan mengakibatkan kerugian;

b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

karena kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep

kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum

yang sudah bercampur baur (interminglend);

c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa

mempersoalkan kesalahan (stirck lilability), didasarkan pada

perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya

93
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, hlm, 503.
71

meskipun bukan kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian

yang timbul akibat perbuatannya.

3. Perbuatan Melawan Hukum

Isitilah perbuatan melawan hukum berasal dari Bahasa Belanda

disebut dengan istilah (onrechmatige daad) atau dalam Bahasa inggris

disebut tort. Kata (tort) berkembang sedemikian rupa sehingga berarti

kesalahan perdata yang bukan dari wanprestasi kontrak. Kata (tort)

berasal dari Bahasa latin (orquer) atau (tortus) dalam Bahasa Perancis,

seperti kata (wrong) berasal dari Bahasa Perancis (wrung) yang berarti

kesalahan atau kerugian (injury).

Pada prinsipnya, tujuan dibentuknya sistem hukum yang dikenal

dengan perbuatan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat tercapai

seperti apa yang disebut oleh pribahsa latin, yaitu (juris praecepta sunt

haec honeste vivere, alterum nonleadere, suum cuque tribune) artinya

semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain

dan memberika hak orang lain. Sebelum tahun 1919 yang dimaksud

perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar peraturan

tertulis. Namun sejak tahun 1919 berdasarkan Arrest HR 31 Januari 1919

dalam perkara Cohen melawan Lindenbaum, maka yang dimaksud

perbuatan yang melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak

orang lain, hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, kewajiban hukum

serta kepatutan dan kesusilaan yang diterima di masyarakat. 94

94
Abdulkadir Muhammad, Op. cit. hlm 511
72

Perbuatan melawan hukum (onrecmatige daad) diatur dalam Buku III

KUHPerdata. Rumusan perbuatan melawan hukum terdapat pada pasal

1365 KUHPerdata yaitu :

‘Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada


seseorang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut’’.

Menurut pasal 1365 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perbuatan

melawan hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan

oleh seseorang yang karena kesalahannya telah menimbulkan ketugian

bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori perbuatan

melawan hukum, yaitu sebagai berikut : 95

a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan;

b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan ( tanpa unsur kesengajaan

maupun kelalaian) ;

c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Jika ditinjau dari KUHPerdata Indonesia tentang perbuatan melawan hukum

lainnya, sebagaimana juga dengan KUHPerdata di Negara sistem Eropa

Kontinental, maka tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut ; 96

a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian),

sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata ;

b. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian,

sebagaimana yang diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata; 97


95
Munir Fuady, 2010, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Bandung:
Citra Aditya Bakti, hlm 3.
96
Ibid, hlm 3
97
Lihat pasal 1366 KUH Perdata menyatakan ; “ Setiap orang bertanggung jawab, bukan
hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang
73

c. Tanggung jawab mutlak ( tanpa kesalahan ) dalam arti yang sangat

terbatas sebagaimana yang diatur dalam pasal 1367 KUHPerdata.98

BAB III

PEMBAHASAN TANGGUNG JAWAB CAMAT SELAKU PEJABAT


PEMBUAT AKTA TANAH SEMENTARA (PPATS) SETELAH TIDAK
MENJABAT LAGI SEBAGAI PPATS TERHADAP AKTA YANG
DIBUATNYA

A. Bagaimana tanggung jawab Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah


Sementara (PPATS) setelah tidak menjabat lagi sebagai PPATS
terhadap akta yang di buatnya

1. Tanggung Jawab Camat Selaku PPATS

disebabkan kelalaian atau kesembronoannya.”


98
Lihat pasal 1367 KUH Perdata menyatakan ; “ Seseorang tidak hanya bertanggung
jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang
disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang
yang berada di bawah pengawasannya.”
74

Tanggung jawab ini berasal dari tindakan hukum setiap individu

yang mendapat suatu kewenangan yang diberikan kepadanya untuk

melaksanakan suatu hak dan kewajiban. Di dalam kewenangan ini

terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang ini

merupakan ruang lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang

pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan

(bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pemberian tugas,

dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.99 Istilah tersebut

disejajarkan dengan istilah hukum Belanda yaitu “Bevoegdheid” yang

mengartkan tentang kewenangan atau wewenang tersebut. istilah

“Bevoegdheid” ini sendiri digunakan dalam hukum privat dan hukum

publik, sedangkan “wewenang” ini selalu digunakan dalam konsep

hukum publik.100

Dalam konsep hukum publik tersebut mempunyai terdiri 3 (tiga)

komponen yaitu;

1. pengaruh, maksudnya penggunaan wewenang tersebut


dimaksudkan mengendalikan perilaku subjek hukum;
2. dasar hukum, maksudnya wewenang itu selalu harus mempunyai
dasar petujuk aturan dan ketentuannya dalam hal ini prosedur atau
dasar hukumnya;
3. konformitas hukum, mengandung arti bahwa perlu adanya
stadarisasi wewenang itu sendiri yaitu standar umum (semua jenis
wewenang dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).101
99
Ateng Syafrudin, 2000, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih
dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justia, Bandung: Universitas Parahyangan, hlm.22.
100
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, No.5 dan 6 tahun XII, September-
Desember 1997, hlm 1.
101
Ibid, hlm.1-2
75

Sebagaimana hal di atas maka dapat kita ketahui bahwa camat itu

termasuk penyelenggara pemerintah, yang diberikan suatu kewenangan

untuk melaksakan atau melakukan perbuatan dan tindakan hukum

dalam melaksanakan tujuan pemerintahan itu sendiri.102

Tindakan hukum yang dimaksud, menurut R.J.H.M. Huisman

dapat diartikan adalah sebagai tindakan-tindakan yang berdasarkan

sifatnya yang dapat menimbulkan akibat hukum tertentu, atau suatu

tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban.

Istilah ini semula berasal dari ajaran hukum perdata (het woord

rechtshandeling is ontleend aan de dogmatiek van het burgerlijk

recht) , atau yang kemudian dikenal dengan hukum administrasi, yang

tindakan atau perbuatan tersebut dikenal dengan istilah tindakan

hukum adminstrasi ( administrative rechtshandeling).

Untuk mengetahui tanggung jawab Camat selaku Pejabat

Pembuat Akta Sementara yang merupakan pejabat pemerintahan103 ,

maka dapat dijelaskan dengan memahami tanggung jawabnya sebagai

berikut;

2. Tanggung Jawab Camat menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun


2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Setiap jabatan apapun di negara kita ini mempunyai kewenangan

tersendiri, yang dimana setiap wewenang itu mempunyai dasar hukum


102
Lihat Pasal 126 Undang-Undang Nomor 32 tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah.
103
Lihat Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pehabat Pembuat Akta Tanah.
76

yang menjadi landasannya. Apabila berbicara tentang wewenang,

maka wewenang seorang pejabat harus jelas dan tegas sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pejabat atau

jabatan tersebut. Dengan demikian, apabila seorang pejabat

melakukan suatu tindakan di luar wewenangnya, maka secara tidak

langsung pejabat tersebut telah melakukan pelanggaran hukum.

Wewenang sebenarnya tidak muncul begitu saja, ini terjadi

dikarenakan hasil dari suatu pembicaraan atau diskusi yang dilakukan

beberapa orang yang mencari suatu kesimpulan akan pembahasan-

pembahasn yang didapat dari pendapat-pendapat di lembaga legislatif,

yang dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan.

Karenanya, untuk pejabat tata usaha negara, dapat

mengambil suatu tindakan hukum lain atau mempunyai kebebasan

dalam bertindak tetapi di batasi akan peraturan perundang-undangan

yang mengatur suatu jabatan tersebut. Tindakan seperti ini dalam

hukum administrasi disebut pouvoir discreationnaire atau Freis

ermessen. Jika pouvoir discreationnaire atau Freis ermessen

disalahgunakan oleh pejabat tata usaha negara, tindakan tersebut

termasuk penyalah gunaan kekuasaan atau onrechtmatige

overheidsdaad atau ultra vires. Dan freis ermessen ada batas-batasnya

dalam asas atau aturan umum pemerintah yang baik dan akan
77

mempunyai akibat hukum jika ada pihak yang merasa dirugikan

dengan keputusan pejabat tata usaha negara tersebut.104

Sebagaimana hal di atas maka dapat diketahui, camat

merupakan penyelenggaran pemerintah atau seorang pejabat tata

usaha negara di tingkat kecamatan yang menerima pelimpahan

sebagai wewenang pemerintah melalui Bupati atau Walikota yang

bersangkutan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah telah ditentukan wewenang camat yang diatur

dalam pasal 126 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, yaitu dalam ayat:

2. Camat dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan


sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani
sebagian urusan otonomi daerah;
3. Camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi :
a. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
b. Mengoordinasikan upaya penyelenggara ketentuan dan
ketertiban umum;
c. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan
perundang – undangan;
d. Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas
pelayanan umum;
e. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan
di tingkat kecamatan;
f. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan atau
kelurahan;
g. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang
lingkup tugasnya dan atau yang belum dapat dilaksanakan
pemerintahan desa atau kelurahan.

104
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan
Tulisan tentang Notaris dan PPAT), Bandung:PT.Citra Aditya Bakti, hlm.249
78

3. Tanggung Jawab Camat sebagai PPATS menurut Peraturan


Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Selain sebagai seorang kepala kecamatan atau pemimpin di

areal wilayah kecamatan, Camat juga berfungsi sebagai PPAT

Sementara yang mempunyai kewenangan yang sama dengan PPAT,

yaitu sebagai pejabat umum seperti yang diuraikan dalam Pasal 1

angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, berbunyi;

“PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena


jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta
PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.”

Sebagaimana hal diatas, dapat diketahui bahwa PPAT

Sementara ini merupakan pejabat pemerintah yang di tunjuk untuk

membantu kegiatan pendaftaran tanah di daerah yang belum terdapat

PPAT, agar memudahkan masyarakat sekitar untuk melakukan

pendaftaran tanah, atau dengan kata lain yakni berupa perpanjangan

tangan kantor pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah.105

Hal ini dikarenakan untuk mengisi kekurangan formasi PPAT pada

area suatu kecamatan tersebut, tetapi apabila untuk Kabupaten atau

kota tersebut telah terpenuhi, maka camat yang bersangkutan tetap

105
Lihat pasal 5 angka 3 Peratur

an Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
79

menjadi PPAT Sementara, sampai ia tidak menjabat lagi sebagai

kepala kecamatan dari kecamatan itu.

Adapun kaitan camat yang mempunyai kewenangan dalam

membuat akta peralihan hak atas tanah didasarkan pada Pasal 19 ayat

1 UUPA No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria yang menyatakan bahwa:

“Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan


Pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan-
ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Namun sebelum diterbitkannya peraturan yang dimaksud tersebut

melalui pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun

1972 tentang pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah, kepala

kecamatan (Camat) dalam kedudukannya dan fungsinya adalah

sebagai wakil dari pemerintahan yang diberi kewenangan untuk

memberi atau pembukaan hak atas tanah.

Dalam pasal 19 ayat 1 UUPA yang pelaksanaan

pendaftaran tanah yang masih diatur dengan Peraturan Pemerintah

No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran tanah, Camat (pegawai

pamongpraja) diberikan suatu kewenangan dalam hal membuat akta

perjanjian berupa akta peralihan hak atas tanah dengan sebutan

sebagaimana diuraikan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No.10

tahun 1961 yaitu;

“Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah,


memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau
meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai hak tanggungan, harus
80

dibuktikan degan suatu alat bukti hukum yang berupa akta yang dibuat
oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria
( selanjutnya dalam peraturan pemerintah ini disebut pejabat).”

Untuk penunjukan pejabat sesuai dengan Pasal 3 ayat 1

Peraturan Menteri Agraria No.10 tahun 1961 tentang penunjukan

pejabat yang dimaksud diatur dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah

No.10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah serta hak dan

kewajibannya, pejabat yang dimaksud adalah;

a. Notaris;

b. Pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan departemen

agrarian;

c. Para pegawai pamongpraja yang pernah melakukan tugas seorang

pejabat;

d. Orang yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh Menteri

Agraria.

Melalui Peraturan Menteri dalam Negeri No.6 tahun 1972

tentang pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah, camat

diberikan kewenangan khusus dibidang pertanahan untuk membuat

keputusan izin membuka tanah, namun dalam pemberian ijin

membuka tanah tersebut, para Camat kurang memperhatikan segi-segi

kelestaria lingkungan hidup dan tata guna tanahnya dan tidak jarang

dijumpai ijin membuka tanah yang tumpang tindih dengan kawasan

hutan yang menimbulkan terganggunya kelestarian tanah dan sumber

air, maka dikarenakan hal tersebut Menteri Dalam Negeri mencabut


81

kembali kewenangan Camat tersebut dengan surat keputusan

No.593/5707 tertanggal 22 Mei 1984.

Demikian halnya dengan Peraturan Pemerintah No.10

tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, setelah menjadi ladasan

hukum tentang Pendaftaran tanah di Indonesia selama kurun waktu 36

tahun, disamping kurang mengadopsi ke akurasian pelaksanaan (mulai

dari proses awal sampai pendokumetasian dan penyimpanan data

pendaftaran tanah), juga tidak lagi dianggap memberikan kepastian

hukum dan kepastian hak sesuai tuntutan masyarakat dan dinamika

perkembangan zaman,106

Sehingga diterbitkannyalah Peraturan Pemerintah (PP)

No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Pasal 7 ayat 2

PP No. 24 Tahun 1997 tersebut menyatakan bahwa ;

“Untuk desa-desa dalam wilayah terpencil Menteri dapat menunjuk


PPAT Sementara.”

Sedangkan untuk aturan mengenai jabatannya disebutkan

pada pasal 7 ayat 3 PP No.24 Tahun 1997 yang diatur dalam PP

No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

Tanah. Melalui Pasal 5 ayat 3 PP No.37 Tahun 1998 Tahun 1998

tersebut, Camat selaku PPAT sementara mempunyai kewenangan

dalam hal mebuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum

106
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahman Lubis, 2012, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi
Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional, cetakan ketiga,
Bandung : Mandar Maju, hlm.14.
82

tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah

susun di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.

Dalam melaksanakan pembuatan akta yang menguatkan

perbuatan hukum peralihan hak atas tanah, maka camat terlebih

dahulu diangkat sebagai PPAT Sementara, sedangkan terhadap

tanah yang berstatus tanah negara, tidak ada kewenangan camat

baik selaku perangkat daerah maupun selaku PPAT untuk

cmenguatkan aktanya.

Penunjukan Camat selaku PPAT Sementara dilakukan pada

daerah kabupaten/kota sebagai wilayah kerjanya yang masih tersedia

formasi PPAT, dimana keputusan penunjukan Camat sebagai PPAT

Sementara tersebut ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah, dimana

keputusan penunjukannya ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah

mengatasnamakan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia.107

Penunjukan Camat sebagai PPAT sementara tersebut harus

melalui proses sebelum diangkat menjadi PPAT sementara, tetapi

yang bersangkutan harus mengajukan permohonan penunjukan PPAT

sementara yang ditujukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal

19 ayat 3 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun

2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No.37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan PPAT yang menyatakan bahwa, untuk keperluan

107
Musdar Ali, 2009, Kedudukan Hukum Notaris dan PPAT Ditinjau Dari Peraturan
Perundang-Undangan, Jakarta: Mitra Ilmu, hlm.13
83

penunjukan Camat sebagai PPAT sementara sebagaimana dimaksud

dalam pasal 19 ayat 1, yang bersangkutan dalam hal ini yaitu camat

wajib mengajukan permohonan penunjukan PPAT Sementara kepada

Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan melampirkan Salinan atau

fotocopy keputusan pengangkatan sebagai camat melalui Kantor

Wilayah.

Bagi Camat yang telah ditunjuk sebagai PPAT sementara

sebelum melaksanakan tugasnya wajib mengikuti pembekalan teknis

pertanahan yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional

yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan organisasi

profesi PPAT dalam hal ini yaitu IPPAT. Keputusan penunjukan

Camat sebagai PPAT Sementara diberikan setelah camat telah

mengikuti pelaksanaan pembekalan teknis pertanahan, dan untuk

keperluan pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan PPAT

sementara

Kemudian itu camat yang telah mendapatkan surat keputusan

tersebut wajib melapor kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat

paling lama 3 (tiga) bulan. Apabila Camat yang telah ditunjuk sebagai

PPAT sementara tidak melapor kepada Kepala Kantor Pertanahan

setempat, sebagaimana waktu yang telah ditentukan di atas, maka

keputusan penunjukan sebagai PPAT sementara tersebut batal demi

hukum.108

108
Khairuddin Ahmad, 2009, PPAT sebagai Pejabat Khusus di Bidang Pertanahan,
Jakarta:Media Ilmu, hlm.23
84

Sebelum melakukan tugasnya, PPAT Sementara harus dilantik

dan mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Pertanahan

dimana daerah kerja PPAT sementara tersebut bertempat, kewajiban

sumpah tersebut diatur sebagaimana dalam ketentuan pasal 15 PP

No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT. Sumpah jabatan

PPAT sementara ini dibentuk dalam susunan kata-kata atau berita

acara pengembalian sumpah/janji yang baku dan telah diatur oleh

Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.109

Surat penunjukan camat sebagai PPAT Sementara

ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah atas nama

Menteri/Kepala Badan Pertanahan Nasional, ketentuan mengenai

penunjukan PPAT sementara dapat dijelaskan sebagai berikut ;110

1) Camat yang wilayah kerjanya berada di dalam daerah


kabupaten/kota yang formasi PPATnya belum terpenuhi dapat
ditunjuk sebagai PPAT Sementara;
2) Surat Keputusan Penunjukan Camat sebagai PPAT sementara
ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Propinsi mengatasnamakan Kepala Badan Pertanahan
Nasional;
3) Untuk Keperluan penunjukan sebagai PPAT sementara, camat
yang bersangkutan wajib melaporkan pengangkatannya sebagai
PPAT sementara kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota dimana daerah kerja PPAT smentara tersebut
bertempat;

Penunjukan untuk Kepala Desa sebagai PPAT sementara

oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah diadakan penelitian


109
Lihat Pasal 34 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
110
Alben Dariyanto ,2010, Tugas dan Kewenangan PPAT, Tinjauan Yuridis Berdasarkan
PP No.24 Tahun 1997 dan PP No.37 Tahun 1998, Jakarta: Pustaka Ilmu, hlm.45
85

mengenai keperluannya berdasarkan letak desa berdasarkan letak

desanya yang sangat terpencil dan banyaknya bidang tanah yang

sudah terdaftar.

4. Wewenang Camat selaku PPAT Sementara

Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, Camat

selaku PPAT Sementara ini mempunyai kewenangan yang sama akan

PPAT biasanya yaitu seperti tertuang dalam Pasal 2 , yaitu;

1. PPAT bertugas pokok untuk melaksanakan sebagian kegiatan


pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah
atau hak milik atas satuan rumah susun, yang dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan
oleh perbuatan hukum itu.
2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai berikut;
a. Jual beli;
b. Tukar menukar
c. Hibah;
d. Pemasukan kedalam perusahaan (inbreng);
e. Pembagian hak bersama;
f. Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak
milik;
g. Pemberian hak tanggungan;
h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.

Untuk pasal 2 angka 2, PPAT Sementara hanya dapat melakukan

perbuatan hukum yaitu berupa jual beli, tukar menukar, serta hibah.

Sesuai dengan hal tersebut PPAT Sementara di beri kewenangan dalam

membuat akta Otentik, seperti halnya yang tertera pada pasal 3 angka 1

Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah, berbunyi;


86

Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam

pasal 2 seseorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik

mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal

2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah

susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.

Camat selaku PPAT sementara ini sebagaimana di maksud dalam

pasal 5 angka 3 huruf a yang menyatakan bahwa :

“ Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di


daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan
masyarakat tertentu dalam pembuatan akta tertentu, menteri dapat
menunjuk pejabat-pejabat di bawah ini sebagai PPAT sementara dan
PPAT Khusus :
a. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah
yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara.

Hal di atas dimaksudkan PPAT Sementara ini mengisi kekurangan dan

keterbatasan adanya PPAT pada daerah terpecil sehingga pelayananan

pendaftaran tanah dapat dilaksanakan. Akan tetapi PPAT ini juga

berdasarkan formasi yang telah ditetapkan oleh menteri. 111 Camat

111
Lihat Pasal 9 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2006
tentang Ketentuan pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat pembuat Akta Tanah. Yang berbunyi yaitu Formasi PPAT sementara ;
1. Formasi atau kebutuhan dan penunjukan PPAT Sementara ditetapkan oleh Kepala
Badan dengan mempertimbangkan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1).
2. Dalam hal di daerah kabupaten/kota yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 PPATnya telah terpenuhi, maka terhadap
Camat yang baru dilantik tidak lagi ditunjuk sebagai PPAT, kecuali jumlah PPAT
yang telah ada berkurang dari jumlah formasi yang telah ditetapkan atau formasinya
diadakan perubahan.
3. Formasi PPAT Sementara yang telah ditetapkan, dapat ditinjau kembali oleh Kepala
Badan apabila terdapat perubahan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1).
87

tersebut di tunjuk untuk menjalankan sebagaimana jabatan PPAT

sebagai pejabat umum. Camat selaku PPAT sementara ini mempunyai

wewenang sebagaimana PPAT , dalam hal melakukan perbuatan hukum

yakni dalam membuat akta.112 Sebagai pejabat yang mempunyai

wewenang membuat akta , maka akta yang di buat camat bersifat

otentik.

Sebagaimana hal di atas berkaitan dengan kewenangan Camat

membuat akta dari penghadap atau para pihak yang melakukan

perbuatan hukum untuk melakukan perjanjian yang sesuai dengan

ketentuan yang berlaku, maka dapat kita ketahui akta yang dibuat oleh

camat itu adalah otentik, ini dikarenakan akta tersebut dibuat dihadapan

seorang pejabat yang telah diberikan kewenangan sesuai ketentuan

yang berlaku, dalam hal ini camat selaku PPAT sementara.

Akta yang dibuat oleh PPAT yang merupakan pejabat umum lain

halnya dengan akta yang dibuat di hadapan camat yang merupakan

pejabat pemerintahan. Jika akta yang dibuat oleh PPAT sebagai pejabat

umum merupakan akta yang bersifat keperdataan, sedangkan akta yang

dibuat di hadapan camat termasuk suatu surat keputusan yang dibuat

oleh badan atau pejabat tata usaha negara, produk pemerintah selama

tidak dibatalkan harus di anggap sah.

112
Lihat Pasal 2 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentan Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
88

Selayaknya PPAT pada umumnya PPAT sementara juga

mempunyai hak berupa ;113

a. Cuti;
b. Memperoleh uang jasa (honorarium) dari pembuatan akta
sesuai dengan pasal 32 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.37
Tahun 1998;
c. Memperoleh informasi serta perkembangan peraturan
perundang-undangan pertanahan;
d. Memperoleh kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri
sebelum ditetapkannya keputusan pemberhentian sebagai
PPAT.

Sebagaimana ketentuan di atas dapat diketahui, hak Camat sebagai

PPAT sementara untuk melakukan cuti yang dimaksud dapat

dilaksanakan apabila telah memberikan permohonan persetujuan untuk

melaksanakan cuti kepada pejabat yang berwenang dalam hal ini yakni

kepala kantor pertanahan setempat, dan telah menyiapkan PPAT

pengganti untuk menggantikannya sementara waktu dalam memegang

protokol PPAT.114 Apabila terdapat PPAT sementara melanggar

ketentuan berupa mengenai pembuatan akta yang dilakukan pejabat

yang sedang mejalankan cuti sebagaimana diatur dalam pasal 44

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 2006, maka

segala akibat hukumnya menjadi tanggung jawab pribadi dari pembuat

akta yang bersangkutan.115

113
Lihat Pasal 36 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 2006 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah
114
Pasal 45 huruf d Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 2006
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
115
Pasal 44 ayat 3, Ibid
89

Pelaksanaan jabatan PPAT ataupun PPAT sementara harus

mempunyai satu kantor dalam daerah kerjanya sebagaimana yang telah

ditetapkan dalam keputusan pengangkatannya atau penunjukannya, hal

ini juga menegaskan bahwa PPAT ataupun PPAT sementara tidak

diperbolehkan untuk membuka kantor perwakilan ataun bentuk lainnya

yang terletak di luar ataupun di dalam areal kerjanya dengan maksud

menawarkan jasa kepada masyarakat dapat dikenai sanksi sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.

PPAT ataupun PPAT sementara mempunyai kewajiban yang diatur

dalam pasal 45 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1

Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.

37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

yang berbunyi yakni;

a. menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,


dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan
sebagai PPAT;
c. menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang
dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor
Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan setempat paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya;
d. menyerahkan protokol PPAT dalam hal :
1. PPAT yang berhenti menjabat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) kepada PPAT di
daerah kerjanya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan;
2. PPAT Sementara yang berhenti sebagai PPAT Sementara
kepada PPAT Sementara yang menggantikannya atau
kepada Kepala Kantor Pertanahan;
3. PPAT Khusus yang berhenti sebagai PPAT Khusus
kepada PPAT Khusus yang menggantikannya atau
kepada Kepala Kantor Pertanahan.
90

e. membebaskan uang jasa kepada orang yang tidak mampu,


yang dibuktikan secara sah;
f. membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang
melaksanakan cuti atau hari libur resmi dengan jam kerja
paling kurang sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan
setempat;
g. berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja
sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatan
PPAT;
h. menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan,
contoh paraf dan teraan cap/stempel jabatannya kepada
Kepala Kantor Wilayah, Bupati/ Walikota, Ketua Pengadilan
Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya
meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu
1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan;
i. melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan
sumpah jabatan;
j. memasang papan nama dan menggunakan stempel yang
bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan;
k. lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan.

5. Tanggung Jawab selaku Pejabat Pembuat Akta Sementara setelah


tidak menjabat lagi terhadap akta yang dibuatnya.

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada pasal 1 ayat 2

Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

pejabat Pembuat Akta Tanah , maka dapat kita ketahui Camat selaku

PPAT Sementara ini mendapat kewenangan dalam hal melakukan

perbuatan hukum seperti PPAT dikarenakan Jabatannya yang melekat

padanya. Apabila camat tersebut tidak atau berhenti melaksanakan

jabatan PPAT tersebut, dikarenakan tidak lagi menjabat sebagai Camat

atau diberhentikan sebagaimana Pasal 8 ayat 2 Peraturan Pemerintah

Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan pejabat Pembuat Akta


91

Tanah,116 hal ini berarti bahwa camat yang ditunjuk Badan Pertanahan

Nasional selaku penyelenggara pendaftaran tanah di Indonesia, sebagai

PPAT sementara ini hanya mempunyai wewenang apabila masih

memegang jabatannya sebagai camat tersebut.

Dalam hal ini camat selaku PPAT sementara berhenti dari

jabatannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 2 PP No.37 Tahun

1998 yang menyatakan bahwa, “ PPAT sementara dan PPAT Khusus

berhenti melakasanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang

jabatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 3 huruf a dan b, atau

diberhentikan oleh menteri”.

Camat selaku PPAT sementara ini apabila tidak menjabat lagi

harus memberikan protokol kepada PPAT sementara yang

menggantikannya, atau apabila belum adanya protokol yang

menggantikannya, maka protokol PPAT ini harus diserahkan pada

Kepala Kantor Pertanahan Setempat.117 Dalam hal serah terima

116
Pasal 8 ayat 2 berbunyi ; “ PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan
tugas PPAT , apabila tidak memegang jabatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 3 huruf a
dan b atau diberhentikan menteri”.
117
Lihat Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
pejabat Pembuat Akta Tanah yang berbunyi ;
1. PPAT yang berhenti menjabat karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1)
huruf b, c, dan d, diwajibkan menyerahkan protokol PPAT kepada PPAT di daerah
kerjanya;
2. PPAT Sementara yang berhenti sebagai PPAT Sementara menyerahkan protokol
PPAT kepada PPAT Sementara yang menggantinya;
3. PPAT Khusus yang berhenti sebagai PPAT Khusus menyerahkan protokol PPAT
kepada PPAT Khusus yang menggantikannya;
4. Apabila tidak ada PPAT penerima protokol sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dan (3), protokol PPAT diserahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat.
92

protokol ini juga dapat diartikan sebagai serah terima tanggung jawab

terhadap perbuatan PPAT sementara sebelumnya kepada

penggantinya, terkecuali apabila ada tindakan hukum yang bersifat

personal atau dkatakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh

PPAT sementara tersebut dalam melaksanakan jabatannya maka

PPAT tersebut harus bertanggung jawab.

Hal ini di karenakan setiap wewenang pejabat atau pejabat selalu

harus disertai tanggung jawab, sesuai dengan prinsip “deed

bovegdheid zonder verantwoordenlijkheid” (tidak ada kewenangan

tanpa pertanggungjawaban). Karena wewenang ini melekat pada

jabatan, dalam implementasinya dengan ini camat selaku PPAT

sementara menjalankan fungsionaris jabatan PPAT semetara tersebut.

Tanggung jawab pada Camat selaku PPAT sementara ini di bagi dua

yakni;

1. Tanggung jawab jabatan, maksudnya berkenaan dengan

keabsahan tindakan hukum pemerintahan yang dilakukan oleh

pejabat untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve). Menurut F.R.

Bothlingk menyatakan bahwa perbuatan hukum ini adalah

pernyataan kehendak dan tanggung jawab secara khusus tertuju

kepada pihak yang kehendaknya dinyatakan, yakni pihak yang

diwakili. Wakil tidak menyatakan kehendaknya sendiri, karena itu

melakukan tanggung jawab kepadanya tidak pada tempatnya.


93

Meskipun kewenangan itu melekat pada jabatan yang membawa

konsekwensi melekatnya tanggung jawab pada jabatan yang

bersangkutan, namun dapat saja dalam pelaksanaan kewenangan

itu tanggung jawab dibebankan kepada pribadi (In Persoon)

pejabat.

2. Tanggung jawab pribadi, ini berkaitan dengan kesalahan

administrasi dalam penggunaan wewenang maupun pelayanan

publik. Seorang pejabat yang menjalankan tugas dan kewenangan

jabatan atau membuat suatu perbuatan hukum maka secara tidak

langsung dibebani akan tanggung jawab itu sendiri. Kesalahan

secara administrasi atau maladministrasi ini berasal dari bahasa

latin Malum (jahat, buruk, jelek) dan administrare ( to manage,

mengurus, atau melayani), maka dapat di artikan sebagai

pelayanan atau pengurusan yang buruk atau jelek.

Sebagaimana hal di atas, dapat kita ketahui bahwa Camat selaku

PPAT sementara ini, apabila tidak menjabat lagi masih mempunyai

tanggung jawab yang masih melekat dikarenakan perbuatan hukum

yang dilakukannya, dalam hal ini membuat akta. Ini terjadi apabila

camat tersebut melakukan perbuatan yang merugikan para pihak

atau ikut serta dalam melakukan perbuatan yang melanggar hukum

atau ketentuan yang berlaku, walaupun dia tidak menjabat lagi.

B. Bagaimana kedudukan akta yang di buat oleh Camat selaku


Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS) setelah tidak
94

menjabat lagi sebagai PPATS terhadap akta yang dibuat,


apabila tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan
pendaftaran tanah

1. Sebab degradasi Akta PPATS.

Akta yang dibuat oleh PPAT sementara ini merupakan akta

otentik,118 hal ini disebabkan di buat di hadapan pejabat yang di

beri kewenangan dalam membuat akta atau dikenal juga dengan

akta relaas atau akta pejabat. Dalam pembuatan akta ini harus

memenuhi syarat –syarat terjadinya perjanjian atau perbuatan

hukum yang dilakukan para pihak dalam membuat akta tersebut

diterangkan secara tertulis sebagaimana dalam pasal 1320 KUH

perdata, dan bersifat mengikat bagi para pihak tersebut.119

Definisi akta Menurut A. Pitlo merupakan surat yang

ditandatangani, diperbuat sebagai bukti, dan untuk dipergunakan

oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.120 Menurut

Sudikno Mertokusumo mengartikan akta adalah surat yang diberi

tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar

suatu haka tau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja

untuk pembuktian.121 Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud akta, adalah:

118
Lihat Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
119
Lihat Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
120
A. Pitlo, 1986, Pembuktian dan Daluwarsa, alih bahasa M. Isa Arief,
Jakarta:Intermasa, hlm.52
121
Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-7,
Yogyakarta :Liberty, hlm.120.
95

1. Perbuatan handeling/perbuatan hukum rechtshandeling itulah

pengertian yang luas, dan;

2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai

bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang

diajukan kepadapembuktian tersebut.122

Selanjutnya dalam kaitannya dengan akta PPAT, maka

fungsi akta PPATS yaitu sama dengan akta yang dibuat oleh PPAT

pada umumnya, menurut Sudikno Mertokusumo menjelaskan

bahwa akta mempunyai fungsi sebagai berikut;123

1. Fungsi formil (formalitas causa) yang berarti bahwa untuk

lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu

perbuatan hukum, haruslah dibuat suatu akta, disini akta

merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum;

2. Fungsi alat bukti (probationis causa) bahwa akta itu dibuat

sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian

hari, sifatnya tertulis suatu perjanjian dalam bentuk akta itu

tidak membuat sahnya perjanjian, tetapi hanyalah agar dapat

digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.

Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli, Mahkamah

Agung dalam putusannya No.1363/K/Sip/1997 berpendapat bawa

122
Vicktor M. Situmorang Sitanggang, 1993, Grosse Akta Dalam Pembuktian dan
Eksekusi, Jakarta: RInika Cipta, hlm.26 dan Cormentyna.
123
Sudikno Mertokusumo, 2006, Op. cit, hlm. 121-122
96

pada pasal 19 Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang

pendaftaran tanah, menyatakan dengan jelas bahwa akta PPAT itu

merupakan alat bukti yang mutlak yang menerangkan sah atau

tidaknya suatu jual beli tanah tersebut.124 Akan tetapi, setelah

disempurnakan oleh Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997

tentang pendaftaran tanah, maka pendaftaran jual beli tanah

tersebut hanya dapat dilakukan dengan akta PPAT yang merupakan

sebagai alat buktinya. Hal ini, mengartikan bahwa perbuatan

hukum dalam hal pemindahan hak atas tanah dikarenakan jual beli

harus dibuktikan dalam sebuah akta untuk memperoleh sertipikt,

biarpun jual belinya sah menurut hukum.125

Dengan demikian dapat diketahui bahwa akta PPAT itu

merupakan syarat mutlak yang harus ada dalam suatu peralihan

hak atas tanah, karena berkaitan dengan pendaftarannya, dimana

kantor pertanahan dalam hal ini BPN yang merupakan instansi

yang diberi kewenangan dalam penyelenggaraan pendaftaran

tanah di seluruh wilayah Indonesia akan menolak pendaftaran

tersebut, apabila tidak melampirkan akta yang dibuat dihadapan

PPAT ataupun PPATS.

124
Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cetakan Ke-4,
Jakarta: Sinar Grafika, hlm.79
125
Boedi Harsono, 2007, PPAT , Sejarah, Tugas dan Kewenangannya, Majalah RENVOI
Nomor 844.IV, Januari 2007, hlm.11.
97

Suatu akta pada dasarnya memiliki ragam fungsi yang

berkaitan dengan suatu perbuatan atau tindakan hukum, antara

lain yaitu dalam hal menentukan keabsahan atau syarat

pembentukan dan fungsi alat bukti.126 Menurut B.I.P. Suhendro,

fungsi akta PPAT sebagai alat bukti menjadi sangat penting

dalam membuktikan akan suatu perbuatan hukum yang menjadi

dasar timbulnya hak atau perikatan tersebut.

Hal ini bersumber pada ketentuan pada pasal 1865

KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap orang yang

mendalilkan bahwa ia mempunyai hak, atau guna meneguhkan

haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain,

menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya

hak atau peristiwa tersebut.127 Dengan demikian diketahui bahwa

akta otentik yang dibuat oleh PPAT Sementara merupakan alat

pembuktian yang kuat dalam menyatakan suatu perbuatan hukum

mengenai peralihan hak atas tanah dan bangunan kepada para

pihak yang melakukan suatu perikatan.

Selanjutnya dalam kaitannya dengan Akta PPATSementara,

maka dapat disimpulkan bahwa fungsi bagi para pihak yang

berkepentingan adalah ;

126
Herlien Budiono, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum
Perjanjian Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti, hlm.256
127
B.I.P. Suhendro dalam Reza Febriantina, 2010, Kewenanangan Pejabat Pembuat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) Falam Pembuatan Akta Otentik, Semarang: Tesis Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, hlm.92.
98

a. Sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan


hukum;
b. Sebagai alat pembuktian;
c. Sebagai alat pembuktian satu-satunya.128
Hal diatas selaras dengan Pasal 1866 KUHPerdata yang dimana

menyatakan alat bukti terdiri dari ;

a. Alat bukti tulisan;


b. Pembuktian dengan saksi-saksi;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan; dan
e. sumpah
berdasarkan pasal 1867 KUHPerdata menentukan bahwa

pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan

otentik, maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan. Dalam

hubungannya dengan tugas jabatan PPAT, otensitas akta yang

dibuat memiliki fungsi yang telah diatur dalam ketentuan

Peraturan Pemerintah No.37 tahun 1998 Tentang Peraturan

Jabatan Pembuat Akta Tanah, yang tertera dalam pasal 2 ayat 1

yang menyatakan bahwa akta otentik memiliki dua fungsi, yaitu;

a. sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu


mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah
susun ;
b. sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran
tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

128
A. Pitlo, 1986, Op.cit, hlm 54
99

Menurut Habib Adjie, kebatalan atau ketidakabsahan dari

suatu akta dalam kedudukannya sebagai akta otentik meliputi lima

bagian yaitu; 129

a. dapat dibatalkan;
b. batal demi hukum;
c. mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan;
d. dibatalkan oleh para pihak sendiri; dan
e. dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap karena penerapan asas praduga sah.

Sebagai akta yang otentik, akta yang dibuat camat selaku

PPAT Sementara mempunyai alat pembuktian yang sempurna,

akan tetatpi dapat juga terdegredasi ataupun dinyatakan batal demi

hukum. Hal ini terjadi apabila adanya penyimpangan atau

pelanggaran yang dilakukan PPAT sementara tersebut saat masih

menjabat dalam membuat akta otentik tersebut, terhadap syarat

formil dan syarat materiil sebagaimana diatur dalam ketentuan

perundang-undangan yang terkait.

2. Akibat hukum penyimpangan atau pelanggaran terhadap syarat

formil

Menurut ketentuan pasal 1868 KUHPerdata akibat hukum

penyimpangan terhadap syarat formil dirumuskan sebagai berikut :

129
Habib Adjie, 2009, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik, Cetakan Ke-2, Bandung: Refika Aditama, hlm.81
100

a) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh

undang – undang, artina jika bentuknya tidak ditentukan oleh

undang – undang maka salah satu unsur akta otentik itu tidak

terpenuhi dan jika tidak dipenuhi unsur tersebut maka tidak

akan pernah ada yang disebut dengan akta otentik.

b) Akta itu harus dibuat oleh door atau dihadapan ten overstain

Pejabat Umum. Menurut Habib Adjie, akta otentik tidak saja

didapat dibuat dihadapan Notaris, tapi juga dihadapan Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang, dan Pegawai

Kantor Catatan Sipil.130

c) Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang

berwenang untuk membuatnya di tempat dimana akta itu

dibuat. Pengertian berwenang disini meliputi berwenang

terhadap orangnya, berwenang terhadap katanya, berwenang

terhadap waktunya, berwenang terhadap tempatnya.

Adapun dalam prakteknya pelanggaran terhadap prosedur dan

persyaratan formil pembuatan akta PPAT sementara dalam hal

yakni :

a. PPAT belum melakukan cek bersih atau pemeriksanaan

kesesuaian data ke Kantor Pertanahan, akan tetapi

penandatanganan akta jual beli telah dilakukan. Pasal 97

ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan

130
Habib Adjie I, Op. cit, hal. 48.
101

Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah :

Sebelum melaksanakan pembuatan akta jual beli hak atas


tanah, terlebih dahulu PPAT wajib melakukan
pemeriksaan ke Kantor Pertanahan setempat untuk
mengetahui kesesuaian sertifikat hak atas tanah yang
bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor
Pertanahan dengan memperlihatkan sertifikat asli kepada
petugas Kantor Pertanahan.

b. Penandatanganan akta jual beli oleh para pihak (penjual dan

pembeli) tidak dilakukan dalam waktu yang bersamaan di

hadapan PPAT dana tau dihadapan PPAT yang

menandatangani akta jual beli.

Pasal 101 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah : “Pembuatan akta PPAT harus dihadiri

oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum atau

orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis

sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang

berlaku”.

c. Pembuatan dan penandatanagan akta jual beli dilakukan

diluar daerah kerja PPAT dana tau diluar Kantor PPAT dan

tanpa dihadiri oleh saksi – saksi.

Pasal 101 ayat (2) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah :
102

Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-


kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut ketentuan
peraturan perundang–undangan yang berlaku memenuhi
syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan
hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai
kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-
dokumen yang ditunjukan dalam pembuatan akta, dan telah
dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak
yang bersangkutan.

d. PPAT tidak membacakan isi dari akta jual beli dihadapan

para pihak secara terperinci, hanya menjelaskan mengenai

maksud dari pembuatan akta.

Pasal 101 ayat (3) PMNA/Ka BPN 3 /1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang

Pendafatran Tanah : “PPAT wajib membacakan akta kepada

para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan

mengenai isi dan maksud pembuatan akta dan prosedur

pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai

ketentuan yang berlaku”

e. Nilai harga transaksi yang dimuat di akta jual beli tidak

sesuai dengan nilai harga transaksi sebenarnya.

Pasal 87 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU No. 28 Tahun

2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah :

1. Dasar pengenaan Bea Perolehan Ha katas Tanah dan

Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.

2. Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud

pada ayat 1, dalam hal jual beli adalah harga transksi.


103

f. Penandatanganan akta jual beli telah dilakukan akan tetapi

para pihak belum melakukan pembayaran pajak, yakni Pajak

Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari pengalihan hal atas

tanah dan/atau bangunan bagi penjual, dan bea perolehan

hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) bagi pembeli.

Menurut Syafil Gani sebagaimana dikutip oleh Pantas

Situmorang, bahwa :

Bukti Setoran PPh dan BPHTB sepintas lalu termasuk


ke dalam syarat formal, namun pada dasarnya bukan
merupakan syarat formal dalam pembuatan akta tetapi
merupakan syarat tambahan (supplement), karena
sebenarnya persoalan perbuatan hukum peralihan hak
seperti jual beli merupakan satu masalah tersendiri dan
pembayaran pajak merupakan masalah tersendiri pula,
tetapi karena di negara kita masih dominan kepentingan
politik dari pada penegakan hukum, maka terjadilan
intervensi undang-undang perpajakan terhadap
perbuatan hukum peralihan hak. Tetapi walau bukti
setoran PPh atau BPHTB tersebut merupakan syarat
supplement, namun hal itulah yang banyak
menimbulkan potensi konflik dari proses pembuatan
akta. 131

Pada prinsipnya keabsahan akta PPAT meliputi isi dan

kewenangan pejabat yang membuat, serta tata cara pembuatannya

pun harus memenuhi syarat yang telah ditentukan di dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara formalitas

akta tersebut tetap akta otentik dan pelaksanaan pendaftaran

tanahnya dapat diproses di Kantor Pertanahan. Dalam kaitannya

dengan akta PPAT, ketentuan tersebut tercatat dalam ketentuan

131
Pantas Situmorang, 2008, “Problematika Keontentikan Akta PPAT”, Tesis, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 102 – 103.
104

Pasal 95-102 PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

juncto Pasal 1868 dan 1869 KUHPerdata, maka akta otentik dapat

diturun kekuatan pembuktiannya dari mempunyai kekuatan

pembuktian sempurna menjadi hanya mempunyai kekuatan

pembuktian selayaknya akta dibawah tangan, jika pejabat umum

yang membuat akta itu tidak berwenang untuk membuat akta

tersebut atau jika akta tersebut cacat dalam bentuknya, karena

dalam perjalanan proses pembuatan akta terebut terdapat salah satu

atau lebih penyimpangan terhadap syarat formil dari maupun

karena kealpaan dan/atau kelalaian dari PPAT bersangkutan.

3. Akibat Hukum Penyimpangan atau Pelanggaran Terhadap Syarat

Materil

Menurut dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatakan

bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi 4 (empat) syarat

yaitu : 132

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

b. Kecakapan membuat suatu perjanjian;

c. Suatu hal tertentu;

d. Kuasa yang halal atau tidak terlarang.

Ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut bersifat kumulaitf

yang artinya setiap perjanjian yang dibuat harus memenuhi keempat

132
Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa, Jakarta, hal.17.
105

persyaratan tersebut secara bersama – sama. Apabila tidak dipenuhi

salah satu syarat dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut,

mengakibatkan perjanjian cacat hukum, yang keabsahannya dapat

dipertanyakan, dalam arti dapat batal demi hukum dan/atau dapat

dibatalkan oleh pihak ketiga yang berkepentingan.

Syarat materil dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan

jabatan PPAT, adalah berdasarkan ketentuan dalam pasal 39 ayat (1)

PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanha, yakni PPAT

berwenang menolak untuk membuat akta jual beli apabila. 133

1. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas

satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli

hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak

sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.

2. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak

disampaikan :

a. Surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)


atau surat keterangan Kepada Desa/Kelurahan yang
menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang
tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2);
dan
b. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang
bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau
milik tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan

133
Penulis berpendapat makna kata “menolak” pada ketentuan ini adalah syarat yang sifatnya
mutlak, karena sifatnya mutlak berarti bersifat materil, sehingga PPAT dilaranguntuk menerima
pembuatan akta jual beli apabila menyimpang dari ketentuan ini. Berpijak pada penafsiran a
contario, maka PPAT harus menerima pembuatan akta jual beli apabila memenuhi ketentuan
tersebut, dan ketentuan ini adalah sebagai syarat materi dari prosedur pembuatan akta PPAT.
106

Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan


dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kantor.
c. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan
hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendafataran Tanah, tidak berhak atau tidak memenuhi
syarat untuk bertindak demikian;atau
d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu
surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan
hukum pemindahan hak;atau
e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh
izin Pejabat atau Instansi yang berwenang, apabila izin
tersebut diperlukan menurut peraturan perundang – undangan
yang berlaku; atau
f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam
sengketa mengenai data fisik dan atau yuridinya;atau
g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang
ditentukan dalam peraturan perundang – undangan yang
bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yang apabila dilanggar akan

berakibat hukum yaitu akta PPATS dapat dibatalkan sebagaiman

dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Salah satu atau para penghadap dalam perjanjian tersebut

tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, dan/atau tidak

memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau

perbuatan hukum tertentu.

b. Salah satu atau para penghadap bertindak kuasa, namun

pemberi kuasa yang disebutkan dalam akta kuasa telah

meninggal duni. Berdasarkan Pasal 1813 KUHPerdata,

berakhirnya pemberian kuasa dapat disebabkan karena

penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa;penghentian


107

kuasa oleh penerima kuasa; meninggalnya atau diampunya

atau pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa; dank arena

perkawinan perempuan sebagai pihak pemberi atau penerima

kuasa (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997

Jo. Pasal 1813 KUHPerdata).

c. Salah satu atau para penghadap bertindak berdasarkan kuasa

subtitusi, namun pada surat kuasa semula tidak dicantumkan

klausula atau ketentuan tentang hal itu. Berdasarkan Pasal

1803 KUHPerdata mengatur bahwa pemberian kuasa subtitusi

harus dengan jelas disebutkan dalam surat kuasa, dan apabila

jelas disebutkan maka pemberian kuasa subtitusi harus diikuti

dengan menyebutkan nama penerima kuasa subtitusi. Kuasa

subtitusi penggantian penerima kuasa melalui pengalihan,

atau dengan kata lain bahwa Kuasa subtitusi adalah kuasa

yang dapat dikuasakan kembali kepada orang lain. Surat

kuasa bias dialihkan kepada pihak lain dengan persetujuan

pemberi kuasa awal, dengan ketentuan dalam surat kuasa

pemberi kuasa awal, dengan ketentuan dalam surat kuasa

yang pertama harus dinyatakan bahwa surat kuasa tersebut

dapat dialihkan dengan hak subtitusi.

Penyimpangan terhadap syarat materil (subyektif) ini

menyebabkan akta jual beli yang dibuat oleh PPATS bersangkutan

dapat dimintai pembatalan oleh pihak yang tidak cakap dan/atau


108

wakilnya yang sah, sehingga salah satu pihak dalam perjanjian

maupun pihak ketiga, dapat mengajukan pembatalan atas perjanjian

baik sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan

maupun setelahnya. Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUHPerdata

menentukan bahwa setiap kebatalan membawa akibat bahwa

kebendaan dan orang – orang yang dipulihkannya sama seperti

keadaan sebelum perjanjian itu dibuat. Jadi perjanjian yang telah

dibuat akan tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalakan (oleh

hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan

tersebut.

Penyimpangan terhadap syarat materil (objektif) ini menyebabkan

akta jual beli yang dibuat oleh PPATS bersangkutan dapat dinyatakan

batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak semula

tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.

Jadi secara materil factor yang dapat menyebabkan akta PPATS

menjadi cacat hukum ,apabila terjadi penyimpangan terhadap

ketentuan pasal 39 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran tanah juncto Pasal 1320 KUHPerdata, maka PPATS yang

dibuatnya akan berkonsenkuensi logis dapat ditolak pendaftarannya,

dimana berkas permohonan pendaftaran peralihan haknya sudah

diproses secara administrasi, namun ketika diteliti subtansi perbuatan

hukumnya terdapat permasalahan yang menyebabkan akta ditolk

pendaftarannya. Selanjutnya berkaitan dengan tugas dan wewenang


109

dari PPATS dalam pembuatan akta jual beli tanah yang mengandung

unsur penyimpangan terhadap syarat materil dari prosedur pembuatan

akta PPATS, yang terdiri dari syarat subyek (subyek hak atau orang –

orang yang menhadap atau komparan) dan syarat obyek (obyek hak

yang dialihkan), baik disengaja maupun karena kealpaan dan/atau

kelalaian dari PPATS bersangkutan, maka Camat selaku PPATS,

walaupun tidak menjabat lagi itu akan memiliki konsekuensi yuridis

atau berakibat hukum yaitu dapat dibatalkan dan/atau batal demi

hukum.

C. Bagaimana sanksi yang diberikan kepada PPAT sementara setelah


tidak menjabat lagi dalam membuat akta yang otentik, apabila
tidak memenuhi persyaratan dalam proses pendafttaran tanah.

Untuk menjalankan tugas dan kewenangan seorang PPAT

khususnya berkaitan dengan tata cara pembuatan akta PPAT

adakalanya melakukan kesalahan, dan kesalahan tersebut biasa saja

menyangkut persyaratan formil maupun materil. Berdasarkan Pasal 3

huruf e Kode Etik PPAT, mengatur mengenai kewajiban dan larangan

bagi PPAT. Salah satu kewajiban PPAT adalah bekerja dengan penuh

rasa tanggung jawab, mandiri, jujur dan tidak perpihak. Disamping itu

berdasarkan ketentuan Pasal 55 Perka BPN 1/2006, “PPAT

bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan

jabatannya dalam setiap pembuatan akta”


110

Atas pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT, berdasarkan Pasal

28 Perka BPN 1/2006, diatur mengenai pemberhentian, pelanggaran

ringan, serta pelanggaran berat yang dilarang dilakukan oleh seorang

PPAT, yaitu :

1) PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Kepala


Badan karena :
a. Permintaan sendiri;
b. Tidak lagi mampu menjalankan tugas karena kesehatan badan
atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa
kesehatan berwenang atas permintaan Kepala Badan atau
pejabat yang ditunjuk.;
c. Melakukan pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT;
d. Diangkat sebagai PNS atau Anggota TNI/POLRI.
2) PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh
Kepala Badan, karena :
a. Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT;
b. Dijatuhi hukuman kurungan/ penjara karena melakukan
kejahatan perbuatan pidana ancaman hukuman kurungan atau
penjara paling lama 5 (lima ) tahun atau lebih berat berdasarkan
putusan pengadilan yang sudah mempunyai ketentuan hukum
tetap;
c. Melanggar kode etik profesi.
3) Pelanggaran ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
antara lain :
a. Memungut uang jasa melebihi ketentuan peraturan perundang –
undangan;
b. Dalam waktu 2 (dua)bulan setelah berakhirnya cuti tidak
melaksanakan tugasnya kembalisebagaimana dimaksud dalam
pasal 42 ayat (5);
c. Tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang
dibuatnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 62;
d. Merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat
(1);dan
e. Lain –lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan.
4) Pelanggaran berat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurf a,
antara lain :
a. Membantu melakukan pemufakatan jahat yang mengakibatkan
sengketa atau konflik pertanahan.
111

b. Melakukan pembuatan akta sebagai pemufakatan jahat yang


mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;
c. Melakukan pembuatan akta diluar daerah kerjanya kecuali yang
dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 6 ayat (3);
d. Memberikan keterangan yang tidak benar di dalam akta yag
mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan.
e. Membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya
yang trletak diluar dana tau didalam daerah kerjanya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46;
f. Melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT;
g. Pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan diketahui
oleh PPAT yang bersangkutan bahwa para pihak yang
berwenang melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai
peraturan perundang – undangan tidak hadir dihadapannya;
h. Pembuatan akta mengenai ha katas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun yang oleh PPAT yang bersangkutan
diketahui masih dalam sengketa yang mengakibatkan
penghadap yang bersangkutan tidak berhak melakukan untuk
perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta;
i. PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para pihak
maupun pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan
perbuatan sesuai akta yang dibuatnya;
j. PPAT membuat akta dihadapan para pihak yang tidak
berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang
dibuatnya;
k. PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi
pemberhentian sementara atau dalam keadaan cuti;
l. Lain – lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pertanggungjawaban PPAT terkait kesengajaan, kealpaan dan/atau

kelalaian dalam pembuatan akta jual beli yang menyimpang dari syarat

formil dan syarat materil tata cara pembuatan akta PPAT, maka PPAT

dapat dikenakan sanksi administrative. Berdasarkan Perka BPN 1/2006,

penyimpangan terhadap syarat formil dan materil tersebut adalah

termasuk pelanggaran berat oleh PPAT yang dapat dikenakan sanksi

pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan

Pertanahan Nasional Indonesia.


112

Pertanggungjawaban secara administrative juga ditentukan pada

Pasal 62 PP No. 24 Tahun 1997, yaitu :

PPAT yang dalam melaksnakan tugasnya mengabaikan ketentuan –


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan
Pasal 40 serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh Menteri
atau Pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan administratif berupa
teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai
PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut gati
kerugian oleh pihak – pihak yang menderita kerugian yang
diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan – ketentuan tersebut.
Pemberhentian PPATS dapat terjadi dikarenakan dalam

menjalankan tugas jabatannya melakukan pelanggaran ringan maupun

berat. Sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh PPATS, dikenakan

tindakan administrative berupa teguran tertulis sampai dengan

pemberhentian jabatannya sebagai PPATS (Pasal 10 PJPPAT), juga

ditetapkan dalam pasal 6 ayat (1) Kode Etik IPPAT, yakni bagi anggota

yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat dikenai sanksi berupa :

a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan IPPAT;
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan IPPAT;
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT.

Penjatuhan sanksi pidana terhadap PPATS dapat dilakukan

sepanjang batasan – batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya

disamping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam

peraturan perundang – undangan terkait ke-PPAT-an Kode Etik IPPAT

juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam Kita Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP).


113

Menurut Habib Adjie, adapun perkara pidana yang berkaitan

dengan aspek formal akta PPATS dalam pembuatan akta otentik adalah

sebagai berikut : 134

1. Membuat surat palsu/ yang dipalsukan dan menggunakan surat

palsu/yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP);

2. Melakukan pemalsuan terhadap akta otentik (Pasal 264 KUHP);

3. Menyuruh mencantukan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal

266 KUHP);

4. Melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan (Pasal 55

Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266

KUHP);

5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan

menggunakan surat palsu yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2)

Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266

KUHP).

Di karenakan PPATS merupakan jabatan atau kewenangan yang diperoleh

dari jabatannya di pemerintahan, bukan berarti lepas dari tanggung jawab dan

saksi yang diperolehnya, walaupun telah atau tidak menjabat lagi, akan tetapi

tetap mempunyai tanggung jawab terhadap produk hukum yaitu akta otentik yang

dibuat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai

negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana bunyi pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

134
Habib Adjie, 2007, Op. cit, hal. 124
114

Dasar 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”; maka

negara harus menjamin persamaan setiap orang di hadapan hukum serta

melindungi hak asasi manusia. Persamaan di hadapan hukum memiliki arti bahwa

semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality

before the law). Persamaan perlakuan di hadapan hukum bagi setiap orang berlaku

dengan tidak membeda-bedakan latar belakangnya (ras, agama, keturunan,

pendidikan atau tempat lahirnya), untuk memperoleh keadilan melalui lembaga

peradilan.

Hal ini disebabkan karena seutuhnya Pendaftaran tanah itu menjamin

kepastian hukum, maka itu setiap perbuatan hukum yang dilakukan PPATS

tersebut merupakan perbuatan hukum, yang tidak terlepas walaupun tidak

menjabat lagi. Akan tetapi, sanksi-sanksi yang diakibatkan kesalahan atau

kelalaian PPATS saat dia menjabat di lihat dari tindakan tersebut didasarkan atas

kesengajaan atau kelalaian yang dapat di buktikan di pengadilan.

Pengertian kesengajaan (dolus) ini, menurut hukum pidana merupakan

perbuatan yang diidyafi, dimengerti dan diketahui sebagai demikian, sehingga

tidak ada unsur salah sangka atau salah paham. 135 Hal ini dapat dipahami bahwa,

pelanggaran atau sanksi yang diperoleh PPATS itu setelah tidak menjabat lagi

masih mempunyai tanggung jawab pribadi terhadap aktanya, apabila terindikasi

Camat selaku PPATS itu ikut serta atau dengan sengaja melakukan perbuatan

hukum saat masih menjabat PPATS,136 yang menyebabkan kerugian bagi para

pihak yang melakukan perbuatan hukum. Hal ini dimaksudkan bahwa fungsi

135
Meljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidanan Edisi Revisi, Jakarta:Rineka Cipta, hlm.63
136
Lihat Pasal 266 ayat 1 KUHPidana Jo. Pasal 56 ayat 1 KUHPidana
115

PPATS itu sebagai pejabat yang diberi kewenangan seperti PPAT untuk membuat

akta otentik, maka PPATS itu dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan

pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah di daerah-daerah yang belum

tercukupi PPAT.137

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang diberikan oleh penulis dalam pembuatan tesis ini adalah:

1. Camat selaku PPATS ini mendapat kewenangan dalam hal melakukan

perbuatan hukum seperti PPAT dikarenakan Jabatannya yang melekat

padanya. Apabila Camat selaku PPATS ini apabila tidak menjabat lagi

harus memberikan protokol kepada PPATS yang menggantikannya,

atau apabila belum adanya protokol yang menggantikannya, maka

protokol PPAT ini harus diserahkan pada Kepala Kantor Pertanahan

Setempat. Dalam hal serah terima protokol ini juga dapat diartikan

sebagai serah terima tanggung jawab terhadap perbuatan PPAT

sementara sebelumnya kepada penggantinya, terkecuali apabila ada

tindakan hukum yang bersifat personal atau dapat dikatakan adanya

pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PPAT sementara tersebut

dalam melaksanakan jabatannya, maka PPAT Sementara harus

bertanggung jawab akan perbuatannya tersebut.

137
Lihat Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
116

2. Dalam kaitannya dengan kedudukan akta PPATS, maka akta otentik

dapat diturun kekuatan (terdegredasi) pembuktiannya dari mempunyai

kekuatan pembuktian sempurna menjadi hanya mempunyai kekuatan

pembuktian selayaknya akta dibawah tangan, jika pejabat umum yang

membuat akta itu tidak berwenang untuk membuat akta tersebut atau

jika akta tersebut cacat dalam bentuknya, karena dalam perjalanan

proses pembuatan akta tersebut terdapat salah satu atau lebih

penyimpangan terhadap syarat formil dari atau maupun karena kealpaan

dan/atau kelalaian dari PPATS bersangkutan,maka Camat selaku

PPATS walaupun tidak menjabat lagi itu akan memiliki konsekuensi

yuridis atau berakibat hukum yaitu dapat dibatalkan dan/atau batal demi

hukum.

3. PPATS merupakan jabatan atau kewenangan yang diperoleh dari

jabatannya di pemerintahan, bukan berarti lepas dari tanggung jawab

dan saksi yang diperolehnya, walaupun telah atau tidak menjabat lagi,

akan tetapi tetap mempunyai tanggung jawab terhadap produk hukum

yaitu akta otentik yang dibuat sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan yang berlaku. Hal ini disebabkan karena seutuhnya

Pendaftaran tanah itu menjamin kepastian hukum, maka itu setiap

perbuatan hukum yang dilakukan PPATS tersebut merupakan perbuatan

hukum, yang tidak terlepas walaupun tidak menjabat lagi. Akan tetapi,

sanksi-sanksi yang diakibatkan kesalahan atau kelalaian PPATS saat dia


117

menjabat di lihat dari tindakan tersebut didasarkan atas kesengajaan atau

kelalaian yang dapat di buktikan di pengadilan.

B. SARAN

Saran yang diberikan oleh penulis dalam pembuatan tesis ini adalah :

1. Agar PPATS yang merupakan pejabat pemerintahan yang mengepalai

wilayah kecamatan, dapat terhindar dari masalah hukum baik secara

kelalaian atau ketidaksengajaan dalam melakukan perbuatan hukum,

hal ini dalam membuat akta otentik. Maka PPAT sementara tersebut

harus lebih memahami akan wewenang dan tanggung jawab jabatan

PPATS ini dengan melakukan pembinaan ke Kantor Pertanahan

setempat, dan lebih banyak mempelajari akan ketentuan-ketentuan

pertanahan yang berlaku, terutama mengenai aturan mengenai

jabatannya.

2. PPATS harus lebih teliti dalam menelaah perbuatan hukum yang akan

dibuat oleh penghadap kepadanya selaku PPAT sementara dalam

membuat akta, dalam hal ini akta tersebut harus memenuhi syarat-

syarat formil maupun materiil mengenai perjanjian itu akan dibuat,

agar tidak merugikan para pihak yang telah melakukan perjanjian

tersebut dikemudian hari.

3. PPATS harus mengetahui bahwa setiap perbuatan hukum yang

dilakukannya pada saat menjabat sebagai PPAT sementara meskipun

tidak menjabat lagi, dikarenakan tidak menjabat lagi sebagai Camat


118

atau telah terpenuhinya formasi PPAT di wilayah tersebut, secara

langsung tidak melepaskannya dari tanggung jawab akan perbuatan

hukum yang telah dilakukannya pada saat menjabat sebagai PPAT

sementara tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Achmad Chomsah, Ali. 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), jilid 2,
Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher.
Ahmad,Khairuddin, 2009, PPAT sebagai Pejabat Khusus di Bidang Pertanahan,
Jakarta:Media Ilmu.
Abdulkadir ,Muhammad, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya
Bakti.
119

Adjie, Habib, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia


(Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT),
Bandung:PT. Citra Aditya Bakti
____________, 2009, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris
Sebagai Pejabat Publik, Cetakan Ke-2, Bandung: Refika
Aditama.
A.Pitlo, Sudikno Mertokusumo, dan Subekti, dalam Sjaifurrachman dan Habib
Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam
Permbuatan Akta. Bandung:Mandar Maju.
Ali, Musdar, 2009, Kedudukan Hukum Notaris dan PPAT Ditinjau Dari
Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta: Mitra Ilmu
Amir, Mirwan, 2008, Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Oleh PPAT, Jakarta:
Media Ilmu
Annalisa Yahanan, Muhammad Syaifuddin, dan Yunial Laili Muntari, 2009,
Perjanjian Jual Beli Berklausula Perlindungan Hukum
Paten, Malang: Tunggal Mandiri Publishing.
Arafat, Yasir. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan
perubahannya, Permata Press.
Bentham, Jeremy.An Introduction to the Principles of Morals and Legislation
(Kitchener :Batoche Books, 2000).
Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, 1988, Teori dan Strategi
Pembangunan Nasional, Jakarta: CV. Haji Mas Agung.
Budiarjo, Miriam. 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Budiono, Herlien, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia
Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia,
Bandung:Citra Aditya Bakti.
Dariyanto , Alben, 2010, Tugas dan Kewenangan PPAT, Tinjauan Yuridis
Berdasarkan PP No.24 Tahun 1997 dan PP No.37 Tahun
1998, Jakarta: Pustaka Ilmu
Fatwa, A. M, 2009, Potret Konstitusi Pasca Amademen Undang-Undang Dasar
tahun 1945, Jakarta : Buku Kompas.
Fuady, Munir, 2010, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer,
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Gunawan Setiardja, A. 1990, Dialetika Hukum dan Moral dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia,Jogjakarta : Kanisius.
Harsono, Boedi. 1986, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta :
Djambatan, (Cetakan Pertama).
Hamzah, Andi, 2005, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia
HD, Stout. 2004, de Betekenissen van de wet, dalam Irfan
Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap
Tindakan Pemerintah, Bandung: Alumni.
H. Bruggink. 2011,Refleksi Tentang Hukum pengertian-Pengertian Dasae dalam
Teori Hukum, Terjemahan: Arief Sidharta, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.
120

Indroharto, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus


Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik, Bandung: Citra Aditya Bakti.
J. Moleong, Lexy. 1993, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2007, Seri Hukum Harta Kekayaan:Hak-
Hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana.
Kusumaatmadja,Mochtar. 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung:Alumni.
M. Wuisman, JJJ. 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Jilid I. Penyunting M.
Hisam, Jakarta: UI Press.
M. Situmorang Sitanggang, Victor, 1993, Grosse Akta Dalam Pembuktian dan
Eksekusi, Jakarta: Rinika Cipta.
Mahendra, A.A, 2001, Tugas dan Wewenang Jabatan PPAT Sementara, Jakarta:
Pustaka Ilmu.
Meljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidanan Edisi Revisi, Jakarta:Rineka Cipta.
Mertokusumo, Sudikno, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-7,
Yogyakarta :Liberty
Mulyadi, Lilik, 2007, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Citra Aditya Bakti.
Mulyosudarmo,Suwoto. 1990, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden
Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan
Yuridis Pertanggung Jawaban Kekuasaan,Surabaya :
Universitas Airlangga.
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahman Lubis, 2012, Hukum Pendaftaran Tanah,
Edisi Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010
Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang berlaku Pada Badan Pertanahan
Nasional, cetakan ketiga, Bandung : Mandar Maju.
Niru, Ahmadi. 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Notoatmojo,Soekidjo,2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta.
Parlindungan, AP, 1994, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung:Mandar
Maju.
Poerwodharminto, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Pitlo, A, 1986, Pembuktian dan Daluwarsa, alih bahasa M. Isa Arief,
Jakarta:Intermasa
R. Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Jakarta:Intermasa.
R. Subekti dan Trijrosoedibio.2008, Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramitha.
Radbruch, Gustav. 1961, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, Germany, p. 36,
dikutip oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-
bab Tentang Penemuan Hukum, Jogjakarta : Citra Aditya
Bakti.
Raharjo,Satjipto .2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti ,Bandung.
Rai Widjaja, L.G. 2002, Merancang Suatu Kontrak Contract Drafting, Bekasi
Timur: . Kesaint Blane.
Rubaie,Achmad. 2007, Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum,
Malang : Bayumedia.
121

Santia Dewi dan Fauwas Diradja, 2011, Panduan Teori dan Praktik Notaris,
Yogyakarta: Pusaka Yustisia.
Santoso, Urip. 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Jakarta :
Kencana Prenada Media Grup.
Setiabudi, Jayadi, 2013, Panduan Lengkap Mengurus Rumah Tangga Serta
Perizinannya, Yogyakarta: Buku Pintar.
Soekanto,Soerjono. 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.
Soerodjo, Irawan, 2002, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia,
Surabaya:Arkola.
Soetomo, 2010, Penerapan Peraturan di Bidang Akta Pertanahan, (PPAT),
Jakarta:Pustaka Ilmu
Soejono dan Abdurrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka
Cipta.
Soimin, Soedharyo. 1993, Status Hak dan dan Pengadaan Tanah, Jakarta : Sinar
Grafika.
Sudikno Mertukusumo dan A. Pitlo,1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum,
Bandung : Citra Aditya Bakti.
Sutedi, Adrian, 2007,Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana Media Group.
_____________, 2012, Sertifikat Hak Atas Tanah, Cetakan Kedua, Jakarta:Sinar
Grafika.
Syaifuddin,Muhammad. 2012, Hukum Kontrak ( Memahami Kontrak dalam
perspektif filsafat, teori, dogmatic, dan praktik
hukum),Bandung:Mandar Maju.
Thamrin, Husni, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris,
Yogyakarta:Laksbang Pressindo.
Titik Triwulan dan Shinta Febrian,2010,Perlindungan Hukum bagi Pasien,
Jakarta: Prestasi Pustaka.

B. Makalah

Badan Pertanahan Nasional, 2006, Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta


Tanah, Jakarta: Bhumi Bakti.
B.I.P. Suhendro dalam Reza Febriantina, 2010, Kewenanangan Pejabat Pembuat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) Falam Pembuatan Akta
Otentik, Semarang: Tesis Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro.
Harsono, Boedi, 2007, PPAT , Sejarah, Tugas dan Kewenangannya, Majalah
RENVOI Nomor 844.IV, Januari 2007
Kantaprawira, Rusadi, 1998, Hukum Kekuasaan, Makalah,
Yogyakarta:Universitas Islam Indonesia.
M. Hadjon, Philipus, 1997,Tentang Wewenang, Yuridika, No.5 dan 6 tahun XII,
September-Desember 1997.
Situmorang, Pantas, 2008, “Problematika Keontentikan Akta PPAT”, Tesis,
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
122

Soetiknjo, Imam, 1987, Proses Terjadinya UUPA, Yogyakarta: Gajah Mada


University.
Syafruddin, 2004, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak Atas
Tanah, Tesis, Program Studi Kenotariatan, PPS-USU,
Medan.
Syarifudin, Ateng. 2000, Menuju penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang
Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,
Bandung : Universitas Parahyangan.
Winarsi, Sri. 2002, Pengaturan Notaris dan PPAT sebagai Pejabat Umum,
Majalah YURIDIKA, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Volume 17 No.2, Surabaya, Maret.

C. Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Dasar 1945


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor


30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 2009 Tentang perubahan atas Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah.

D. Sumber dari Internet

http://hukum.kompasiana.com/2011/12/14/kesaktian-akta-otentik/, diakses pada


tanggal 11 Desember 2015, pukul 20.30 WIB
123

Wibowo Tunardy, “Pelaksanaan Pendaftaran Tanah”,


<http://www.jurnalhukum.com/pelaksanaan-pendaftaran-tanah>, diakses pada 20
April 2017, 21.00 WIB.

You might also like