You are on page 1of 21

EFEK PENERAPAN COMPIC TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI ANAK

AUTIS NON VERBAL

Oleh :
Veva Lenawaty
UNIKA Soegijapranata Semarang

Endang Widyorini
UNIKA Soegijapranata Semarang

M.Yang Roswita
UNIKA Soegijapranata Semarang

Abstract
Autism is a pervasive developmental disorder that affects qualitative disorder in social
interaction, communication, interest and activity. A child with autism suffers from
communication in the aspect of language or oral skill. The children doesn’t understand
gestures or signaling, as a result he finds difficulties in expressing his desire. The
communication constraint in an effective way makes him behave deficiently such as under
pressure, aggressive, self-destructive, temper tantrum and frustration. This research is
intended to indentifi the application effect of COMPIC in increasing communication skill on
an autistic non verbal children.COMPIC is a visual supporting device which assist an
autistic non verbal to communicate. This research administers a model experiment of single
subject design, i.e an experiment research with few or one subject. This research applies
paradigma A-B-A. Data collection uses rating scale on communication ability for an autistic
non verbal children. The measurement is assessed by the time of baseline, treatment, post
treatment and evaluation. The result of the research reveals that the effect of COMPIC could
enhance the communication ability of an autistic non verbal children. The result shows
improved rating scale score and spontaneous response on the autistic non verbal children.

Keywords : Autism, COMPIC method, Coummunication skill

Latar Belakang Masalah

Setiap makhluk hidup selalu mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan.


Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak kadangkala mengalami gangguan baik
sebelum proses kelahiran maupun setelah proses kelahiran. Gangguan perkembangan ini
semakin kompleks karena adanya perubahan gaya hidup masyrakat maupun kemajuan ilmu
teknologi (Handojo, 2003, h. 3). Gangguan perkembangan yang terjadi pada anak sangat
beragam. Salah satu gangguan perkembangan yang saat ini cukup menjadi perhatian utama
adalah autisme.
Autisme dalam istilah kedokteran dan psikologi termasuk dalam gangguan
perkembangan pervasif yang ditandai dengan adanya distorsi perkembangan fungsi
psikologis dasar majemuk, seperti perkembangan perilaku, berbahasa dan gerakan motorik.
Tidak mengherankan jika penderita autisme mengalami gangguan dalam menjalankan
fungsi kognitif, emosi dan psikomotorik.
Salah satu masalah pada anak autis adalah masalah komunikasi. Komunikasi adalah
proses dua arah yang melibatkan seseorang yang memberikan pesan dan orang lain yang
menerima dan bertingkah laku sesuai pesan tersebut (Dredge dan Crosthwaite, 1986, h.
105). Menurut Bondy dan Frost (Fadhilah dan Sjah, 2003, h.213) tujuan komunikasi adalah
untuk mengungkapkan keinginan, mengekspresikan perasaan dan bertukar informasi.
Ada dua komponen penting dalam terciptanya komunikasi secara efektif.
Komponen pertama adalah kemampuan untuk memahami pesan (pemahaman) yaitu
kemampuan mendengarkan suara atau melihat aksi, kemampuan mengolah pesan, dan
menyimpannya dalam memori. Komponen kedua adalah kemampuan berespon terhadap
pesan (ekspresi) yaitu kemampuan memilih kata atau aksi yang tepat, kemampuan
menyusun kata-kata dan aksi-aksi menjadi pesan yang dapat dimengerti (Dredge dan
Crosthwaite, 1986, h.105).
Pada anak autis ditemukan tidak semuanya dapat berbahasa verbal bahkan ada yang
sampai dewasa hanya dapat berbahasa non verbal (Farida, 2007, h.29). Keterbatasan
komunikasi pada anak autis meliputi anak autis dengan komunikasi verbal, dimana anak
bisa bicara tetapi belum tentu bisa berkomunikasi. Komunikasi yang dilakukan kurang
optimal, dimana anak hanya mengulang perkataan atau membeo jika ditanya jawaban yang
diberikan tidak nyambung atau tidak sesuai dengan pertanyaan. Berkaitan dengan hal
tersebut Baron dan Bolton (1994,h.14) mengatakan bahwa anak autis mempunyai masalah
atau gangguan dalam komunikasi seperti perkembangan bahasa yang lambat atau sama
sekali tidak ada, sulit berbicara, penggunaan kata-kata yang tidak sesuai artinya. Lebih
lanjut Baron dan Bolton menjelaskan bahwa anak autis sebagian tidak berbicara (non
verbal) atau sedikit bicara (kurang verbal) sampai usai dewasa. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika sebagian besar anak autis mengalami kesulitan dalam menggunakan
bahasa dan berbicara. Sehingga mereka sulit melakukan komunikasi dengan orang-orang di
sekitarnya. Anak autis yang bisa berbicara belum tentu memiliki pemahaman bahasa yang
baik serta dapat berkomunikasi dengan benar, karena pada umumnya mereka berbicara
dengan cara rote learning atau menghafalkan tanpa tahu maknanya. Sebaliknya anak autis
yang non verbal adalah anak autis yang tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa atau
berbicara, tidak mengerti bahasa gerak atau isyarat sehingga tidak bisa mengekspresikan
keinginannya dengan gerak atau isyarat (Budhiman, 2002, h.3). Keterbatasan komunikasi
pada anak autis non verbal dan kemampuan melakukan komunikasi yang efektif, bagi anak
autis non verbal sangatlah penting. Tanpa kemampuan tersebut, anak akan mudah frustasi
sehingga menunjukkan perilaku negatif karena kebutuhan - kebutuhannya tidak dapat
dipenuhi oleh lingkungan. Anak tidak dapat mengutarakan apa yang diinginkan dan apa
yang tidak diinginkan, anak tidak dapat mengekspresikan diri sehingga bertindak atau
berperilaku negatif untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Anak autis mempunyai
keterbatasan yang ditunjukkan dengan tidak mampu mengungkapkan diri secara efektif,
merasa tertekan untuk dapat ekspresi, sehingga seringkali merasa frustasi bila tidak bisa
dimengerti keinginannya. Perilaku negatif yang muncul antara lain marah-marah tanpa
sebab atau alasan yang jelas, temper tantrum (mengamuk tak terkendali), menyerang atau
merusak , agresif, bahkan menyakiti dirinya sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Siegell
(1996,h.25) bahwa gangguan perkembangan bicara atau bahasa pada anak autis sering
membuat mereka frustasi karena masalah komunikasi. Keterbatasan dalam menangkap
pesan yang disampaikan orang lain, dan kesulitan dalam merespon atau menjawab
percakapan serta keterbatasan dalam mengungkapkan atau mengekspresikan diri akan
kebutuhannya sering membuat mereka tertekan. Oleh karena itu perlu dilakukan intervensi
untuk membantu anak autis dalam mengatasi keterbatasan dalam komunikasi.
Gemah (2004, h. 7) mengatakan bahwa banyak anak autisme memperoleh hasil
lebih baik bila belajar dengan menggunakan visual (penglihatan). Belajar secara visual
memudahkan anak autisme untuk dapat berkonsentrasi dan memahami sesuatu, misalnya
dengan melihat benda konkrit, foto berwarna , gambar atau simbol.
Anak autis memiliki ciri khas dalam belajar yaitu mudah memahami dan mengingat
berbagai hal yang di raba (visual learner atau visual thinking), mudah memahami berbagai
hal yang ia alami (hands on learner) oleh karena itu penggunaan alat bantu dengan
memakai strategi visual (alat bantu visual) dapat digunakan dalam mengajarkan
ketrampilan komunikasi. Salah satu strategi visual yang dapat digunakan dalam membantu
anak autis berkomunikasi adalah COMPIC. COMPIC sebagai salah satu alat bantu
komunikasi dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi anak autis non
verbal. COMPIC menekankan pada pemahaman dan kemampuan berkomunikasi anak autis
melalui gambar.
Zafar (1998, h.72) menjelaskan bahwa tujuan utama COMPIC adalah untuk
menjembatani komunikasi pada anak autis sehingga anak dapat berkomunikasi secara
verbal. COMPIC merupakan metode dengan menggunakan alat bantu visual sehingga
pemahaman terhadap bahasa yang disampaikan secara verbal dapat lebih jelas diterima
anak autis.
Penelitian Friedlander (Singgih, 2004, h.256) menggambarkan bahwa anak autis
dan anak Asperger cenderung sebagai visual learner atau visual thinking sehingga gambar
dalam suatu cerita memberikan kemudahan dalam kemampuan pemahaman dan menjadi
lebih bermakna bagi penyandang anak autis atau anak Asperger.
Penelitian Foreman dan Crews (1998, h.21) pada anak down syndrome dengan
menggunakan sistem gambar terkomputerisasi, COMPIC menunjukkan adanya peningkatan
pada area bahasa dan komunikasi.
Penggunaan COMPIC sebagai salah satu intervensi pada anak dengan
gangguan multiple disabilities menunjukkan adanya peningkatan perkembangan
ketrampilan komunikasi yang terintegrasi. Seperti peningkatan produksi komunikasi
spontan dan peningkatan vokalisasi , kata - kata, penggunaan isyarat dan tanda-tanda
komunikasi. Anak juga menunjukkan keinginan berkomunikasi yang meningkat (May dan
Chan, 1999, h. 35).
Autisme adalah gangguan perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi cara
seseorang untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain. Penyandang autis tidak
dapat berhubungan dengan orang lain secara berarti karena ketidakmampuan untuk
berkomunikasi verbal maupun non verbal. Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah
penerapan COMPIC sebagai salah satu intervensi untuk meningkatkan kemampuan
komunikasi anak autis non verbal.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat dan memperkaya penelitian-
penelitian di bidang psikologi terutama bagi pengembangan psikologi perkembangan dan
psikologi klinis.
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan informasi bagi
orang tua, guru, terapis dan para profesional yang terlibat dalam penangganan anak autis
terutama dalam meningkatkan kemampuan komunikasi anak autis non verbal dengan
menggunakan metode COMPIC.
Landasan Teori
Pengertian Autisme
Kanner, seorang dokter kesehatan jiwa anak (Budiman, 2002, h. 11) memakai istilah
“autisme” yang artinya hidup dalam dunianya sendiri. Selanjutnya Kanner juga memakai
istilah “early infantile Autism”, atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “autisme
Masa kanak-kanak” atau “autisme infantil” untuk membedakan dari orang dewasa yang
menunjukkan gejala autisme seperti ini. Leo Kanner menduga bahwa anak-anak ini
menderita gangguan metabolisme yang telah dibawa sejak lahir. Gangguan metabolisme
inilah yang menyebabkan anak-anak tersebut tidak bisa bersosialisasi.
Hadriami (2002, h.2) menjelaskan bahwa autisme merupakan gangguan
perkembangan otak dalam area penalaran, interaksi sosial dan ketrampilan komunikasi. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa anak-anak dan orang dewasa dengan autisme memiliki defiensi dalam
komunikasi verbal dan non verbal, interaksi sosial dan aktivitas bermain. Gangguan ini
menyebabkan anak autis sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain dan berhubungan
dengan dunia sekitarnya, adanya gerakan-gerakan yang berulang-ulang, respon yang aneh
atau kelekatan dengan objek dan menolak adanya perubahan dari rutinitas. Pada beberapa
kasus ditemukan adanya perilaku agresif atau self-injured.
Dalam PPDGJ III (Maslim, 2001, h. 130) autisme merupakan gangguan
perkembangan pervasif yang ditandai dengan adanya abnormalitas perkembangan yang
muncul sebelum usia 3 tahun dengan ciri fungsi yang abnormal dalam interaksi sosial,
komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang-ulang. Autisme menurut DSM-IV
(Diagnostik and Statiscal Manual of Mental Disorder, 1994, h.70-71) ditandai
dengan gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik, adanya suatu
pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan,
keterlambatan atau gangguan dalam interaksi sosial, bicara dan berbahasa dan cara
bermain yang kurang variatif sebelum umur tiga tahun, serta tidak disebabkan oleh
sindrom rett atau gangguan disintegratif masa kanak-kanak.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa autisme merupakan gangguan
perkembangan pervasif yang mencakup gangguan dalam bidang interaksi sosial, adanya
gangguan pola perilaku, minat, kegiatan yang terbatas dan berulang, dan kelemahan dalam
komunikasi verbal maupun non verbal.
Kemampuan Komunikasi anak Autis Non Verbal
Pengertian Kemampuan Komunikasi
Kemampuan komunikasi adalah bagian terpenting dari kehidupan, karena
dengan berkomunikasi anak dapat mengekspresikan perasaan dan mengungkapkan ide serta
pemikirannya. Melalui komunikasi anak dapat berinteraksi dengan baik dengan orang lain.
Dredge dan Croswhite (1986, h.52) menjelaskan komunikasi sebagai proses dua arah yang
melibatkan seseorang yang memberi pesan dan orang lain yang menerima dan bertingkah
laku sesuai pesan tersebut. Lebih lanjut Bondy dan Frost (2002, h.25) mengatakan bahwa
tujuan komunikasi adalah untuk mengungkapkan keinginan, mengekspresikan perasaan dan
bertukar informasi.
Menurut Hetherington dan Parke (1986, h.103) ada dua kemampuan dasar dalam
kemampuan komunikasi yaitu perkembangan kemampuan untuk memahami bahasa yang
digunakan orang lain (receptive language) dan perkembangan kemampuan untuk
memproduksi bahasa (production language).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi
adalah kemampuan yang dimiliki anak dalam melakukan suatu proses hubungan dua arah
atau interaksi baik secara verbal maupun non verbal dengan menggunakan gambar, isyarat,
simbol, ekspresi wajah atau tulisan.
Komponen Dalam Kemampuan komunikasi
Menurut Dredge dan Croswhite (1986, h. 2) ada dua komponen penting dalam
terciptanya komunikasi secara efektif. Komponen pertama adalah kemampuan untuk
memahami pesan (pemahaman) yaitu kemampuan mendengarkan suara atau melihat aksi,
kemampuan mengolah pesan, dan menyimpannya dalam memori. Komponen kedua adalah
kemampuan berespon terhadap pesan (ekspresi) yaitu kemampuan memilih kata atau aksi
yang tepat, kemampuan menyusun kata-kata dan aksi-aksi menjadi pesan yang dapat
dimengerti. (1982, h. 164) menjelaskan bahwa pada dasarnya komunikasi dapat dibedakan
dalam kemampuan komunikasi reseptif dan kemampuan komunikasi ekspresif .Kemampuan
komunikasi reseptif ditunjukkan dengan kemampuan anak dalam memahami dan mengerti
instruksi atau perintah. Kemampuan komunikasi reseptif ditunjukkan dalam bentuk isyarat,
tindakan atau bahasa tubuh. Sedangkan kemampuan komunikasi ekspresif adalah
kemampuan seorang anak dalam menjawab atau mengekspresikan pikiran dan perasaan.
Kemampuan komunikasi ekspresif biasanya ditunjukkan dalam bentuk verbal.
Sependapat dengan hal tersebut di atas Sabir (2003,h. 233) menyebutkan bahwa
bahasa dibagi menjadi dua bagian yaitu bahasa reseptif/pemahaman dan bahasa
ekspresif/pengungkapan secara verbal. Bicara hanyalah salah satu dari cara berkomunikasi.
Disamping penggunaan bahasa verbal,banyak cara lain yang dapat digunakan untuk dapat
berkomunikasi dengan anak autis yaitu menggunakan ekspresi wajah, menggunakan
gesture atau gerak-isyarat, melakukan modifikasi pada intonasi nada suara sesuai kebutuhan,
menunjuk gambar, menunjuk tulisan, menggunakan papan komunikasi, dan menggunakan
symbol (Sjah dan Fadhilah, 2003, h. 214).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komponen kemampuan
komunikasi meliputi kemampuan dalam memahami pesan, yaitu kemampuan
mendengarkan suara/instruksi atau melihat aksi, kemampuan mengolah pesan dan
menyimpannya dalam memori.dan kemampuan memberikan respon terhadap pesan atau
instruksi yang ditunjukkan dalam dalam bentuk verbal, isyarat, tindakan atau bahasa tubuh.
Kemampuan Komunikasi Anak Autis Non Verbal
Pada anak autis ditemukan tidak semuanya dapat berbahasa verbal bahkan ada yang
sampai dewasa hanya dapat berbahasa non verbal (Farida, 2007, h.29). Stokes (2007, h.1)
menyebutkan tidak semua suara atau bicara dapat memenuhi syarat komunikasi, bahwa
bicara atau verbalisasi dapat menjadi komunikasi ketika di dalamnya ada keinginan untuk
menyampaikan pesan ke orang lain. Interaksi sosial merupakan suatu hal yang penting dan
menyulitkan pada anak autis sehingga tidak mengherankan bahwa komunikasi yang efektif
merupakan hal yang penting.
Baron dan Bolton (1994,h.14) mengatakan bahwa anak autis mempunyai masalah
atau gangguan dalam komunikasi seperti perkembangan bahasa yang lambat atau sama
sekali tidak ada, sulit berbicara, penggunaan kata-kata yang tidak sesuai artinya. Lebih
lanjut Baron dan Bolton menjelaskan bahwa anak autis sebagian tidak berbicara (non
verbal) atau sedikit bicara (kurang verbal) sampai usia dewasa.
Happe (1994, h.18-19) menjelaskan bahwa beberapa anak autis menunjukkan
gangguan tidak berbicara, dan hanya bersuara tidak jelas seperti teriakan atau kata-kata yang
tidak jelas, tidak mampu dalam memahami bahasa tubuh atau bahasa non verbal dalam
komunikasi. Sependapat dengan hal tersebut Budhiman (2002, h. 2) mengatakan bahwa
penyandang autisme sindrom disorder mempunyai keterbatasan dalam bidang komunikasi,
interaksi, emosi, perilaku, sensoris dan penyesuaian diri. Keterbatasan komunikasi
dibedakan dalam komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Lebih lanjut Stokes (2007,
h.4) mengatakan bahwa seorang anak autis non verbal memulai komunikasi dengan
orangtuanya dengan menggunakan suara untuk menarik perhatian dan baru kemudian
menunjuk sesuatu untuk menyatakan keinginan atau meminta sesuatu.
Pada anak autis non verbal ditemukan adanya penyebab temporalis lateralis (pusat
dengar dan bicara), cerebellum dan daerah nukleus kaudatus (Panggabean, 2003,h.221).
Kerusakan pada beberapa bagian otak tersebut menyebabkan anak autis tidak bicara atau
”mute”, tidak ada giliran bermain suara atau ”turn taking”, ocehan atau
”babbling”.Karakteristik lain yang muncul seperti suara tidak keluar, anak lebih banyak
bergumam atau hanya keluar beberapa bunyi. Untuk keperluan komunikasinya mereka lebih
banyak melakukan suatu gerakan motorik berupa menunjuk atau memegang tangan
seseorang.
Stokes (2007, h.2) menyebutkan bahwa anak autis non verbal menggunakan
beberapa macam bentuk komunikasi yaitu :
a. Motorik : Anak melakukan manipulasi fisik secara langsung pada orang lain atau objek,
seperti menarik tangan orang lain untuk menunjuk atau meraih benda yang diinginkan
contoh memberikan gelas atau cangkir untuk menunjukkan keinginan ”minum susu”.
b. Gesture : Menunjuk, memperlihatkan, memandang atau tatapan yang berubah pada
orang lain ke objek yang diinginkan. Merupakan bentuk komunikasi sebagai tanda
meminta sesuatu.
c. Vocalization : Menggunakan suara termasuk menanggis untuk komunikasi. Seperti anak
mengucapkan ”ah-ah-ah” untuk menarik perhatian orang lain.
d. Sign Language : Komunikasi dengan menggunakan sistem tanda bahasa konventional.
e. Penggunaan Objek :Anak menggunakan objek dalam berkomunikasi dengan orang lain,
seperti anak menunjukkan atau mengambil cangkir untuk mengindentifikasikan minta
susu.
f. Penggunaan Foto :Komunikasi dengan menggunakan foto sebagai gambar dua dimensi.
Anak menunjukkan objek, kegiatan atau peristiwa untuk berkomunikasi atau
mengungkapkan keinginannya.
g. Gambar :Komunikasi dengan menggunakan gambar dua dimensi yang menunjukkan
objek, kegiatan atau peristiwa, contoh misalnya anak menggambar sayap dan
menunjukkan kepada orangtuanya untuk mengindentifikasikan bahwa dia ingin terbang.
h. Tulisan :Komunikasi dengan menggunakan kata atau kalimat untuk berkomunikasi.
Anak menulis kata atau kalimat untuk mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya.
Stokes (2007, h.2) mengatakan bahwa hal penting dalam berkomunikasi pada anak
autis non verbal adalah penyampaian pesan yang dilakukan melalui bentuk-bentuk
komunikasi di atas, anak autis non verbal berkomunikasi dengan menggunakan
beberapa bentuk diatas sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Siegell (1996,h.25) menyebutkan bahwa dalam berinteraksi/berkomunikasi anak
autis dipengaruhi oleh ciri khas mereka dalam mempersepsi dunia yaitu :Visual Thinking
(berpikir visual), Processing Problems (kesulitan memproses informasi), Communication
Frustation (kesulitan berkomunikasi), Social dan Emotional (masalah emosi dan sosial),
Problem of Control (kesulitan dalam mengontrol diri), Problem of Connection (kesulitan
dalam menalar),System Integration Problem yaitu Proses informasi di otak bekerja secara
mono (tunggal) sehingga sulit memproses beberapa hal sekaligus.
Berdasarkan hal tersebut diatas, penelitian ini berfokus pada kemampuan
komunikasi anak autis non verbal. Anak autis non verbal memiliki keterbatasan dalam
berkomunikasi, keterbatasan atau kesulitan ditunjukkan dalam merespon instruksi atau
menjawab pertanyaan serta keterbatasan dalam mengungkapkan atau mengekspresikan diri
yang menyebabkan anak frustasi atau tertekan. Anak autis non verbal menggunakan
beberapa bentuk komunikasi yaitu motorik, gesture, vocalization, sign language,
penggunaan objek atau foto, gambar dan tulisan.
COMPIC
COMPIC digunakan bermula dari orang tua dari anak-anak berkesulitan belajar di
kota Melbourne. Pada tahun 1980 di Melbourne Australia, orang tua dari anak-anak
berkesulitan belajar membuat alat bantu yang murah dan mudah. Kemudian pada tahun
1982 bekerjasama dengan The Symbol Standardization Committee dan Swinburne
Ins.Technology yang melibatkan para ahli speech pathologist, graphic designer dan ahli-ahli
computer. Tahun 1994 berdiri COMPIC Development Association. COMPIC terdiri dari
1670 pictographs yang dibagi menjadi 13 kategori.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa COMPIC merupakan suatu
metode yang menggunakan gambar dengan simbol linier, yaitu simbol-simbol berupa garis
sederhana yang mewakili suatu gambar atau foto yang dibuat dengan menggunakan
komputer yang digunakan membantu komunikasi anak-anak yang mengalami gangguan
kesulitan belajar yang terdiri dari 6 jenis ukuran, terdiri dari 1670 pictographs yang dibagi
dalam 13 kategori.
Konsep Dasar Pemikiran COMPIC
COMPIC merupakan strategi visual dalam menjembatani keterbatasan komunikasi
anak autis. Anak autis disebutkan sebagai visual learner, anak autis belajar lebih cepat
melalui gambar atau simbol. COMPIC sebagai suatu metode yang menggunakan gambar-
gambar dari computer akan membantu anak autis dalam komunikasi terhadap orang di
sekitarnya.
Zafar (1998, h.72) menjelaskan bahwa tujuan utama COMPIC adalah untuk
menjembatani komunikasi pada anak autis sehingga anak dapat berkomunikasi secara
verbal. COMPIC merupakan metode dengan menggunakan alat bantu visual sehingga
pemahaman terhadap bahasa yang disampaikan secara verbal dapat lebih jelas diterima anak
autis. Lebih lanjut Zafar (1998, h.73) menjelaskan bahwa kemudahan dari COMPIC adalah
dibuat secara jelas dan sederhana, dirancang mengikuti standar umum, tidak membedakan
jenis kelamin, satu gambar dapat dipakai untuk beberapa fungsi dapat dipakai oleh semua
usia.
Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa konsep dasar COMPIC adalah
sebagai alat bantu komunikasi atau strategi visual yang menggunakan simbol linier
(komputer) di buat secara sederhana dan jelas yang bertujuan membantu kesulitan
komunikasi pada anak autis non verbal.
Zafar (1998,h.72) terdapat beberapa tahapan dalam memperkenalkan COMPIC
sebagai suatu metode komunikasi yaitu :
1. Anak dapat mengenali suatu benda
2. Anak dapat mencocokkan benda dengan benda
3. Anak dapat mencocokkan benda dengan foto
4. Anak dapat mencocokkan benda dengan gambar
5. Anak dapat mencocokkan benda dengan COMPIC
6. Anak dapat melakukan asosiasi dengan COMPIC
7. Anak dapat melakukan pertukaran dengan COMPIC
8. Anak dapat membuat kalimat dengan COMPIC
Pengaruh COMPIC terhadap Kemampuan Komunikasi Anak Autis Non Verbal
Bicara dan bahasa merupakan sarana yang penting pada manusia untuk
berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya. Anak sebagai makhluk sosial sudah
dapat melakukan komunikasi sejak lahir. Namun tidak demikian pada anak autis. Anak autis
mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Kemampuan melakukan
komunikasi yang efektif, bukan hanya sekedar bicara bagi anak autis sangat penting. Tanpa
kemampuan tersebut, anak mudah frustasi sehingga menunjukkan perilaku negatif karena
kebutuhan-kebutuhannya tidak dapat dipenuhi oleh lingkungan.
Hal ini sependapat dengan Stokes (2007, h.3) menyatakan hasil penelitian
menunjukkan bahwa anak autis menggunakan bahasa sebagai komunikasi secara terbatas
atau memiliki keterbatasan dalam menyampaikan maksud atau tujuan. Anak autis
berkomunikasi dengan menggunakan cara melalui motorik, gestural, suara, tanda dan
menggunakan objek, foto, pictorial dan tulisan (Stokes, 2007, h. 2).
Pada anak autis non verbal perlu dilakukan intervensi dini sebagai usaha sedini
mungkin untuk mengajarkan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan seperti ketrampilan
berkomunikasi yang berpengaruh terhadap kemampuan anak dalam bersosialisasi dan
berinteraksi dengan orang lain.
Anak autis memiliki ciri khas dalam belajar yaitu mudah memahami dan mengingat
berbagai hal yang di raba (visual learner atau visual thinking), mudah memahami berbagai
hal yang ia alami (hands on learner) oleh karena itu penggunaan alat bantu dengan
memakai strategi visual (alat bantu visual) dapat digunakan dalam mengajarkan
ketrampilan komunikasi. Hal ini sependapat dengan Gemah (2004, h. 7) mengatakan bahwa
banyak anak autisme memperoleh hasil lebih baik bila belajar dengan menggunakan visual
(penglihatan). Belajar secara visual memudahkan anak autisme untuk dapat berkonsentrasi
dan memahami sesuatu, misalnya dengan melihat benda konkrit, foto berwarna ,gambar atau
simbol.
Anak autis disebutkan sebagai visual learner, anak autis belajar lebih cepat melalui
gambar atau simbol. Salah satu strategi visual yang dapat digunakan dalam menjembatani
keterbatasan komunikasi anak autis adalah COMPIC. COMPIC merupakan suatu metode
yang digunakan dalam membantu komunikasi anak autis non verbal. COMPIC menekankan
pada pemahaman dan kemampuan berkomunikasi anak autis melalui gambar. COMPIC
terdiri dari gambar yang sederhana, dirancang mengikuti standar umum, tidak membedakan
jenis kelamin, satu gambar dapat dipakai untuk beberapa fungsi dan mudah dimengerti.
COMPIC merupakan suatu metode yang menggunakan gambar dengan simbol linier, yaitu
simbol-simbol berupa garis sederhana yang mewakili suatu gambar/foto yang dibuat dengan
menggunakan komputer yang digunakan membantu komunikasi.
Sependapat dengan hal di atas, Suusman (1999, h.200) menyebutkan bahwa anak
autis belajar dengan cara berbeda. Proses belajar dan Gaya belajar anak autis adalah visual
learner bahwa anak autis lebih mudah dalam menangkap informasi melalui gambar, TV,
video, dan simbol. Melalui visual mereka dapat memahami dengan mudah dan mengingat
dalam memori. Gambar dapat berfungsi sebagai bahasa pada anak autis non verbal, dalam
hal ini COMPIC dapat membantu karena disebutkan anak autis adalah visual learner,
sehingga dengan demikian akan mudah dimengerti bila sesuatu diajarkan melalui gambar.
Senada dengan hal tersebut Hodgdon (Mayanti dkk, 2003, h. 199) mengatakan bahwa
sebagian besar anak autis memiliki visual memory lebih baik dibandingkan auditory
memory. COMPIC sebagai alat bantu visual membantu anak autis dalam melakukan
komunikasi dengan lebih efektif.
Pengunaan gambar atau simbol sangat membantu sebagai jembatan komunikasi
bagi anak autis non verbal. Anak autis non verbal mempunyai keterbatasan dalam
berkomunikasi secara verbal. Penggunaan COMPIC sebagai metode atau strategi visual
diharapkan dapat membantu komunikasi anak autis non verbal sehingga mereka bisa
melakukan komunikasi bahkan bisa membantu mereka untuk berbicara atau menggunakan
suara.
Penelitian yang dilakukan oleh Heiman dkk (1995, h.477) bahwa anak autis
menunjukkan peningkatan kesadaran fonologis dan kemampuan berbahasa melalui
penggunaan gambar dengan program komputer.
Penelitian Foreman dan Crews(1998, h.21) pada anak down syndrome dengan
menggunakan sistem gambar terkomputerisasi, COMPIC menunjukkan adanya
peningkatan pada area bahasa dan komunikasi. Penelitian ini menunjukkan adanya
pengaruh terhadap ketrampilan komunikasi anak down syndrome dengan menggunakan
metode COMPIC.
Penggunaan COMPIC sebagai salah satu intervensi pada anak dengan gangguan
multiple disabilities menunjukkan adanya peningkatan perkembangan ketrampilan
komunikasi yang terintegrasi. Seperti peningkatan produksi komunikasi spontan dan
peningkatan vokalisasi, kata-kata, penggunaan isyarat dan tanda-tanda komunikasi. Anak
juga menunjukkan keinginan berkomunikasi yang meningkat (May dan Chan, 1999, h. 35).
COMPIC digunakan untuk mengajarkan kemampuan atau ketrampilan
komunikasi. COMPIC merupakan gambar dengan simbol linier, yaitu simbol-simbol
berupa garis sederhana yang mewakili suatu gambar atau foto yang dibuat dengan
menggunakan komputer. Zafar (1998, h.72) menjelaskan COMPIC dapat digunakan untuk
menjembatani komunikasi pada anak autis sehingga anak dapat berkomunikasi secara
verbal.
Penggunaan COMPIC dalam intervensi pada penelitian ini diharapkan
memberikan pengaruh terhadap kemampuan komunikasi anak autis non verbal. Dengan
demikian COMPIC sebagai strategi visual yang dapat berfungsi sebagai alat bantu visual
bisa dijadikan pertimbangan dalam membantu komunikasi anak autis non verbal.
HIPOTESIS

Hipotesis yang dapat diajukan peneliti di dalam penelitian ini adalah ada
peningkatan kemampuan komunikasi pada anak autis non verbal setelah penerapan
Computerised Pictographs for Communication (COMPIC).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen. Penelitian ini
menggunakan jenis penelitian eksperimen single subject design dengan desain A-B-A.
Pengukuran yang dilakukan meliputi pengukuran baseline, treatment, paska perlakuan dan
evaluasi. Subjek di dalam penelitian hanya satu orang subjek. Empat pengukuran akan
dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang sama yaitu rating scale kemampuan
komunikasi yang telah disusun oleh peneliti. Ciri-ciri subjek penlitian adalah sebagai
berikut :
1. Anak yang telah didiagnosa autis non verbal, laki-laki mupun perempuan.
2. Memiliki kepatuhan dan dapat menerima instruksi.
Metode pengumpulan data meliputi observasi (deskriptif, rating scale kemampuan
komunikasi, lembar penilaian) dan wawancara.
RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan paradigma A-B-A, dimana A merupakan pengukuran
awal (baseline), B merupakan perlakuan (treatment), dan A merupakan pengukuran akhir
setelah perlakuan.Pada paradigma A-B-A subjek diukur terlebih dahulu kemampuan
komunikasinya melalui observasi dan pencatatan dengan alat ukur rating scale, sebagai fase
baseline. Setelah pengukuran baseline, subjek mendapat perlakuan berupa COMPIC
sebanyak dua puluh lima kali. Dalam melakukan intervensi waktu yang dibutuhkan untuk
setiap sesi adalah 60 menit.

A B A
Baseline Perlakuan/ Paska
Treatment Perlakuan

Gambar 2. Paradigma A-B-A

Selama pemberian perlakuan, perilaku subjek akan diamati dan diukur dengan
rating scale kemampuan komunikasi. Demikian juga pada paska perlakuan dan evaluasi,
dilakukan pengukuran kemampuan komunikasi subjek menggunakan rating scale yang
sama. Evaluasi dilakukan dua minggu setelah pengukuran paska perlakuan.
HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian yang dilakukan dengan melakukan pengujian terhadap hipotesis


yang diajukan menunjukkan bahwa ada peningkatan skor rating scale kemampuan
komunikasi subjek setelah dilakukan penerapan treatment dengan menggunakan
Computerised Pictographs for Communication (COMPIC). Hasil pengukuran pada kondisi
baseline, observasi saat treatment, paska perlakuan dan evaluasi menunjukkan bahwa
kemampuan komunikasi subjek secara keseluruhan mengalami perubahan. Penerapan
Computerised Pictographs for Communication (COMPIC) dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi subjek, hal ini dapat terlihat dari skor dan hasil observasi selama
penelitian. Subjek menunjukkan kemampuan komunikasi yang meningkat seperti respon
spontan subjek saat memberikan simbol tangan dan simbol kentang saat menginginkan
kentang dan muncul verbalisasi subjek seperti berkata “ inta “ saat melihat kentang atau
makanan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa COMPIC dapat digunakan sebagai
alat bantu komunikasi atau sebagai jembatan komunikasi pada anak autis non verbal.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian ini kemampuan komunikasi subjek saat baseline
memperlihatkan kemampuan komunikasi yang kurang dan terbatas pada hal-hal yang
sangat sederhana. Skor rata-rata pada pengukuran baseline sebesar 9 menunjukkan subjek
pada kategori kemampuan komunikasi yang kurang. Subjek belum dapat memahami pesan
maupun instruksi yang diberikan terapis. Subjek sering diberikan bantuan penuh dan
cenderung tidak memberikan respon, seperti saat respon dipanggil nama subjek tidak
segera memberikan respon sehingga diberikan bantuan penuh. Demikian pula kemampuan
subjek dalam mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya masih sangat terbatas dan
cenderung dibantu oleh orang-orang terdekat. Subjek juga mengalami keterbatasan dalam
melakukan instruksi atau perintah, kesulitan dalam memilih, kesulitan dalam memberikan
respon motorik spesifik pada tugas reseptif.
Siegel (1996, h.25) mengatakan bahwa anak autis memiliki ciri khas dalam
mempersepsi dunia seperti kesulitan dalam memproses informasi. Sebagian besar anak
autisma mengalami kesulitan memproses informasi. Anak autis sulit merangkai informasi
verbal yang panjang (rangkaian instruksi), sulit mengingat sesuatu sambil mengerjakan hal
lain dan sulit memahami bahasa verbal atau lisan. Lebih lanjut Siegel juga mengungkapkan
adanya communication frustation (kesulitan berkomunikasi) keterbatasan dalam menangkap
pesan yang disampaikan orang lain, dan kesulitan dalam merespon atau menjawab
percakapan serta keterbatasan mengungkapkan atau mengekspresikan diri akan kebutuhan
atau keinginan sering membuat anak autis frustasi.
Pengukuran pada baseline juga menggambarkan bahwa subjek berada pada tahap
perkembangan the own agenda stage yaitu tahap dimana anak masih suka bermain sendiri
dan tidak tertarik pada orang-orang disekitarnya. Anak belum tahu bahwa dengan
komunikasi dapat mempengaruhi orang lain. Anak berperilaku sesuai kehendaknya
(Sussman dalam Fadhilah, 2003, h.214).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek setelah mendapat treatment terlihat
dapat menunjukkan peningkatan kemampuan komunikasi dan muncul spontanitas akan
keinginan atau kebutuhan. Hal ini ditunjukkan pada skor rata-rata observasi saat treatment
sebesar 18 (kategori kemampuan komunikasi cukup) dan skor rata-rata paska perlakuan
sebesar 29 (kategori kemampuan komunikasi baik). Skor rata-rata evaluasi sebesar 24
(kategori kemampuan komunikasi cukup). Terdapat peningkatan skor pada saat baseline
dengan skor yang diperoleh setelah treatment atau perlakuan dengan metode COMPIC pada
subjek. Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa metode COMPIC
memberikan pengaruh dalam peningkatan kemampuan komunikasi pada subjek. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sussman (1999, h.200) menyebutkan bahwa anak autis belajar
dengan cara yang berbeda. Anak autis adalah visual leaner berarti bahwa anak autis lebih
mudah dalam menangkap informasi melalui gambar, TV, video dan simbol. Melalui visual
anak autis dapat memahami dengan mudah dan mengingat dalam memori. Sependapat
dengan hal tersebut Hodgon (Saragi, 2007, h. 71) menyatakan bahwa informasi yang
disampaikan hanya mengutamakan pendengaran akan bertahan sangat kecil, namun dengan
mengunakan gambar akan membantu anak autis dalam memproses, mengorganisir,
mengingat informasi dan membantu anak autis dalam menguasai ketrampilan tertentu
seperti memakai baju, menggosok gigi dan lain sebagainya.
Gambar dapat berfungsi sebagai bahasa pada anak autis non verbal, dalam hal ini
COMPIC dapat membantu mengingat anak autis adalah anak visual learner. Penggunaan
COMPIC sebagai metode atau strategi visual dapat membantu komunikasi anak autis non
verbal. Penggunaan gambar atau simbol merupakan jembatan komunikasi bagi anak autis
non verbal. Anak autis non verbal adalah anak autis yang mengalami keterbatasan dalam
berkomunikasi secara verbal. Pada treatment yang dilakukan terhadap subjek muncul
spontanitas suara subjek. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya, seperti
penelitian yang dilakukan Foreman dan Crews (1998, h.21) pada anak Down Syndrome
memiliki kesulitan pada area bahasa dan komunikasi dengan kekuatan yang relatif pada
area visual dan perceptual diberikan AAC atau Augmentative and Alternative
Communication seperti penandaan (makaton), sistem gambar komputerisasi, dan COMPIC
menunjukkan adanya peningkatan pada area bahasa dan komunikasi, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa simbol lebih efektif dari pada penandaan “signing” atau makaton,
subjek lebih memilih menggunakan simbol dari pada signing ketika disajikan pilihan.
Dengan demikian penggunaan simbol sebagai alat bantu komunikasi menjadikan anak dapat
berkomunikasi lebih efektif.
Penelitian Saragi (2007,h.71) terhadap dua orang anak autis dengan menggunakan
metode sequence card menunjukkan bahwa strategi visual dapat digunakan untuk melatih
suatu aktivitas tertentu pada anak autis . Hal ini terbukti dari berbagai penelitian yang
dilakukan dengan menggunakan media visual sebagai sarana membentuk suatu perilaku,
dari yang belum bisa menjadi bisa dilakukan. Terbukti dalam penelitian ini bahwa sequence
cards memberikan pengaruh yang baik bagi anak autis sehingga anak autis dapat
menggosok gigi secara tepat. Hal ini menunjukkan bahwa dengan bantuan visual anak autis
dapat belajar sesuatu dengan lebih cepat dan mudah.
Hasil penelitian ini didukung Penelitian yang dilakukan Castelli dkk. (2002, h.
1839) menemukan pada sepuluh orang dewasa autistik atau sindrom asperger dan sepuluh
sukarelawan menunjukkan adanya perubahan proses perseptual dengan menonton gambar-
gambar animasi. Sependapat dengan penelitian tersebut, Schlosser dan Sigafoos (2002, h.
102) pada penelitian yang dilakukan pada beberapa anak dengan berbagai macam gangguan
seperti autis, mental retarded, multiply disability, physical disabilities, rett syndrome
menemukan bahwa simbol grafik (COMPIC, PECS, foto, Rebus, B and W line drawings dan
sebagainya) sebagai alat bantu komunikasi memberikan kontribusi yang positif terhadap
kemampuan komunikasi anak dalam meminta sesuatu pada orang lain.
Sependapat dengan hal tersebut di atas, Pieeters (2004,h. 90 – 92) menunjukkan
bahwa anak autis kehilangan kemampuan dalam memberikan makna atau memahami kata-
kata karena penyakit otak yang berkaitan dengan apa yang mereka dengar, memiliki
kesulitan khusus dalam menganalisa makna informasi auditory abstrak dikarenakan tidak
berfungsinya lobus temporal (sisi otak) kiri sehingga dukungan visual menjadi sangat
penting, untuk itu dapat dikatakan bahwa para penyandang autisma merupakan pelajar
visual. Apapun yang abstrak dapat dibuat menjadi konkrit dengan gambar.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa subjek mengalami peningkatan pada
tahap perkembangan komunikasinya yaitu tahap the requester stage dan tahap the early
communication stage, tahap the requester stage yaitu tahap dimana anak autis mulai
menyadari bahwa perilakunya dapat mempengaruhi orang lain, seperti menarik tangan
orang lain bila menginginkan sesuatu, mengulangi kata-kata atau suara tetapi bukan
berkomunikasi melainkan untuk menenangkan drinya atau untuk menarik perhatian orang
lain. Hal ini muncul pada subjek dimana subjek mengarahkan tangan terapis untuk
mengambil makanan.Tahap the early communication stage, tahap dimana anak autis sudah
bisa menggunakan satu bentuk komunikasi tertentu secara konsisten pada situasi khusus.
Inisiatif berkomunikasi masih terbatas pada pemenuhan kebutuhannya. Anak memahami
isyarat visual atau gambar komunikasi. Anak mampu melakukan kontak mata saat
dipanggil nama dan diberikan instruksi.
Pemberian reinforcement pada penelitian ini mempunyai pengaruh positif terhadap
penguatan perilaku subjek. Pengaruh ini dapat ditunjukkan dengan meningkatnya skor
kemampuan komunikasi subjek pada rating scale. Hal ini sependapat dengan Teori Skinner
yaitu Operant Conditioning yang menjelaskan bahwa pembentukan perilaku dengan
menggunakan komponen reinforcer atau hadiah akan menghasilkan respons yang intensif
atau kuat dan respon ini cenderung diulang sehingga menghasilkan terbentuk perilaku baru
(Suryabrata,1984, h.297). Pada treatment, reinforcer yang digunakan yaitu primary
reinforcer yaitu memberikan sesuatu secara alamiah kepada subjek untuk memberikan
perasaan senang. Primary reinforcer berupa makanan atau minuman atau benda yang
disukai subyek yang bersifat sebagai penguat perilaku, seperti kentang dan biscuit.
Pemberian primary reinforcer disertai dengan kata-kata bermakna positif seperti bagus,
hebat, pintar dan sebagainya (secondary reinforce). Pemberian primary reinforcer dan
secondary reinforcer memberikan penguat dalam treatment sehingga terdapat peningkatan
skor kemampuan komunikasi subjek.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa meskipun autisme tidak dapat disembuhkan (not
curable) tetapi masih dapat diterapi (treatable). Hal ini berarti diperlukan program
penangganan yang tepat dan tersruktur. COMPIC sebagai alat bantu mempunyai pengaruh
dalam meningkatkan kemampuan komunikasi anak autis non verbal.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan bahwa penerapan Computerised Pictographs for Communication (COMPIC)
dapat membantu subjek dalam mengembangkan kemampuan komunikasi sehingga subjek
dapat mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginan subjek secara tepat kepada orang lain.
SARAN
1. Bagi Orangtua Subjek
a. Orang tua subjek diharapkan memahami kemampuan subjek dengan
memberikan perhatian dan dukungan penuh terhadap usaha-usaha yang sudah
dilakukan dengan melanjutkan program intervensi COMPIC dengan bantuan
terapis dengan melakukan pemeliharaan atau maintenance serta konsisten
sehingga kemampuan komunikasi yang telah dikuasai subjek tidak menurun
atau menghilang.
b. Memberikan kesempatan pada anak untuk menggunakan COMPIC pada
situasi-situasi yang sulit sehingga anak belajar untuk dapat berkomunikasi
pada berbagai macam situasi.
2. Bagi Peneliti lain
a. Bagi peneliti selanjutnya yang akan mengadakan penelitian dengan
menggunakan metode COMPIC dapat menambah jumlah variabel sehingga
peningkatan yang terjadi dapat dianalisis lebih dalam.
b. Peneliti selanjutnya hendaknya menggunakan terapis yang memiliki
ketrampilan dalam memberikan intervensi COMPIC dan memiliki kepekaan
terhadap kondisi subjek.

DAFTAR PUSTAKA

Baron, S. And Bolton, P. Autism The Facts. 1994. London : Oxford University Press.

Budhiman, M. 2000. Memberi Kesempatan Pendidikan Normal Pada Anak Penyandang


Autisme . Seminar Khusus Guru. Jakarta : Yayasan Autisma Indonesia.

Budhiman, M. 2002. Kesulitan yang dihadapi Penyandang Autis di Sekolah . Seminar


Khusus Guru. Jakarta : Yayasan Autisma Indonesia.

Chan, JB and May,T.B., 1999. The Impact of Leisure Options on The Frequency and
Spontaneous Communication Production of a Young Child With Multiple
Disabilities. The British Journal of Developmental Disabilities. Vol. 45, No. 88: 26
- 37.

Castelli, F.; Frith, C.; Hope, F; and Frith, U., 2002. Autism, Asperger Syndrome and Brain
Mechanism for The Attribution of mental States to Animated Shapes. Journal of
Autism and Developmental Disorder. Vol. 125, No. 8 : 1839 – 1849.
Dredge, B. & Chroswhite, C. 1986. Communication without Speech-A Guide to Parents and
Proffesionals. Victoria, Australia : Commonwealth School Commission.

DSM-IV. 1994. Diagnostc and Statistical Manual of Mental Disorder. Fourth Edition.
Washington DC : American Psychiatric Association

Farida. 2007. Penatalaksanaan Terapi pada Anak Autis. Pelatihan Kiat Sukses untuk
mengoptimalkan kemampuan Anak Hiperaktif dan Autis. Semarang : Sekolah Putra
Mandiri.

Frost , L. A. MS and Bondy, A. S. 1994. The Picture Exchange Communication System


Manual. Pyramid Educational Consultans, Inc : Cherry Hill, Nj, US.

Foreman, P dan Crews, G. 1998. Using Augmentative Communication With Infants And
Young Children With Down Syndrome. Down Syndrome Research and Practice.Vol.
5 No. 1 : 16 – 25.

Gemah, N.2004. Alat Bantu Visual.Bandung: Jatis Hurip

Handojo, Y. 2003. Autisma. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer

Handriami, E. 2002. Prinsip-Prinsip Intervensi untuk Penyandang Autisme. Seminar dan


Pelatihan Terapi Sensori Integrasi Okupasi dan Terapi Wicara untuk
Mengoptimalkan Kemampuan Anak Autis. Semarang: Pusat Pelayanan Gangguan
Perkembangan Anak ”Renaning Siwi”.

Happe, F. 1994. Autism : An Introduction to Psychological Theory. London: UCL, Press.

Heimann, M., Nelson, E.K, Tjus,T., Gillberg, C. 1995. Increasing Reading and
Communication Skills in Children with Autism Through on Interactive Multimedia
Computer Program. Journal of Autism and Developmental Disorder. Vol. 25. No. 5.

Hetherington, E.M. and Parke, R.D. 1986. Child Psychology: A Contemporary Viewpoint.
Third Edition. New York : McGraw-Hill Book Company.

Hodgdon, Linda, A. 1995. Visual Strategies for Improving Communication-Practical


Supports for School and Home, Quick Roberts Publishing: Michigan –US.

Mayanti, 2000. Strategi Visual dalam Pendidikan Anak ASD. Jakarta : Sekolah Mandiga.
Maslim, R. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III.
Jakarta : PT Nuh Jaya.

Peeters, T. 2004. Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi Pendidikan Bagi


Penyandang Autis. Jakarta : Dian Rakyat.

Sabir, E. 2006. Komunikasi, Terapi Wicara dan Intervensi. Komplilasi Hasil Seminar,
Lokakarya dan Pelatihan. Yogyakarta : Sekolah Lanjutan Autis Fredofios
Yogyakarta Indonesia.

Schlosser, R, W and Sigafoos, J. 2002. Selecting Graphic Symbol for an Initial Request
Lexicon : Integrative Review. Journal of AAC augmentative and Alternative
Communication, Vol. 18.

Siegel, B. 1996. The World of The Autistic Child. Understanding and Treating Autistic
Spectrum Disorder. New York: Oxford University Press - New York.

Saragi, S. 2007. Pengaruh Strategi Visual Menggunakan Sequence Card Dalam


Meningkatkan Kemampuan Bina Diri Pada Anak Autis. Tesis Semarang : Magister
Profesi Psikologi Program Paska Sarjana Unika Soegijapranata.

Sjah, S, dan Fadhilah, S. 2003. Membantu Anak SD Berkomunikasi Secara Efektif.


Konferensi Nasional Autisme I. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
Jiwa Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia .

Suusman, F. 1999. More Than Words – Helping Parents Promote Communication and
Social in Children with Autism Spektrum Disorder, The Hanen Program. Canada: A
Hanen Centre Publication, Ontario.

Stokes, S. Developing Expressive Communication Skills for Non-Verbal Children With


Autism.http://specialed.us/autism/nonverbal/non11.htm.

Suryabrata, S. 1984. Psikologi Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali.

Sturt, C. 1991. Australian and New Zealand Journal of Developmental Disabilities, 15 (2).
119 – 125. www.aare.edu.au/91 pap/arthm 91008.txt.

Zafar, A., Sutadi, Rudi., Puspita, A., Yusman,. 1998. Pelatihan Tatalaksana Perilaku
(metode Lovas) dan Compic. Jakarta : Yayasan Autisma Indonesia.

You might also like