You are on page 1of 74

OPTIMASI PROSES HIDROLISIS

KIMIAWI DAN ENZIMATIS


TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT MENJADI
GLUKOSA UNTUK PRODUKSI ETANOL

ENNY HAWANI LOEBIS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimasi Proses Hidrolisis


Kimiawi dan Enzimatis Tandan Kosong Kelapa Sawit menjadi Glukosa untuk
Produksi Etanol adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Enny Hawani Loebis


NIM G 851060131
ABSTRACT

ENNY HAWANI LOEBIS. Optimization of Chemical and Enzymatic


Hydrolysis of Oil Palm Empty Bunches To Glucose for Bioetanol Production.
Under direction of DJAROT SASONGKO H. and TRI PANJI.

Recently, energy especially from petroleum fuel become a serious problem


for the whole countries in the world, including Indonesia. Decreasing world’s
petroleum stock make its price is very high. So, it is urgent to search other
alternative energy sources, such as bioethanol. Oil Palm Empty Bunches (OPEB)
are found abundantly as waste of CPO production. It is rich in lignocellulose
content. After delignification by white rot fungi Omphalina sp, cellulose from
OPEB can be degraded to glucose as the raw material for etanol production by
hydrolysis process.
In this research, hydrolysis were done chemically using H2SO4 and HCl
and enzymatically using cellulolytic bacteria and Trichoderma isolates. Chemical
hydrolysis was carried out in autoclave at temperature of 121oC and varation in
acid concentration (0.1N; 0.5N; 1N; and 2N) and hydrolysis time (20; 40; 60; 120;
and 240 min). The condition was then reoptimalized by increasing the temperature
to 200 0C and variation hydrolisis time (5;7,5;10;12,5; dan 15 min). Enzymatic
hydrolysis were done by two methods, namely simultaneuos and separated bacth
methods using Trichoderma or cellulolytic bacteria and Saccharomyces
cereviceae.
Delignification process increased cellulose content from 47.18% to
49.09%. The optimum condition by chemical hydrolisis with H2SO4 2N was
resulted in sugar content (30,86%) with ethanol production 1.82%. By enzymatic
methods, higher sugar content was obtained by Trichoderma isolate with
incubation time 72 hours. The sugar content was 1.46 g/L and ethanol production
was 0.33%. Ethanol production from simultaneuos process by cellulolytic
bacteria was the same as ethanol production from Trichoderma by separated
batch process i.e as much as 0.27 %

Keywords : OPEB biodelignification, Omphalina sp, simultaneous fermentation,


Trichoderma sp, Saccharomyces cerevisiae, cellulolytic microbes
RINGKASAN

ENNY HAWANI LOEBIS. Optimasi Proses Hidrolisis Kimiawi dan Enzimatis


Tandan Kosong Kelapa Sawit menjadi Glukosa untuk Produksi Etanol. Dibimbing
oleh DJAROT SASONGKO HAMISENO dan TRI PANJI

Industri bioetanol di Indonesia di masa yang akan datang akan


berkembang dengan pesatnya untuk memenuhi kebutuhan energi yang semakin
menipis. Ketergantungan akan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi dapat
merugikan karena selain potensinya akan habis juga menyebabkan pencemaran
udara yang cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu dicari bahan bakar alternatif yang
bersifat renewable (terbarukan) , seperti bioetanol sebagai biofuel. Pemerintah
Indonesia mendukung program tersebut dengan mengeluarkan peraturan presiden
(Perpres) No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan Energi Nasional dan Instruksi
Presiden (Inpres) No. 1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan
Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain.
Untuk memproduksi bioetanol diperlukan sumber karbon dari bahan
karbohidrat. Sumber karbon dapat berupa monosakarida (glukosa), disakarida
(gula) , oligo atau polisakarida (selulosa). Fermentasi sumber glukosa yang paling
murah adalah melalui hidrolisis selulosa, karena bila gula langsung yang
digunakan sebagai sumber glukosa akan konflik dengan kebutuhan pangan dan
harganya pun mahal. Selulosa yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS). TKKS mengandung lignoselulosa dengan
komponen utama selulosa (45,95%), lignin (16,46%) dan hemiselulosa (22,84%).
TKKS merupakan limbah utama dari industri pengolahan kelapa sawit menjadi
minyak sawit yaitu sekitar 10 juta ton/tahun di Indonesia sampai saat ini belum
dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu TKKS yang berlimpah sangat
potensial di pakai sebagai bahan baku untuk produksi etanol.
Hidrolisis selulosa menjadi glukosa dapat dilakukan menggunakan cara
kimiawi dan hayati. Hidrolisis dengan cara kimiawi menggunakan asam kuat,
sedang dengan cara hayati dapat dilakukan menggunakan enzim murni atau mikro
organisme penghasil enzim selulase. Kendala yang dihadapi yaitu rendahnya laju
hidrolisis karena adanya kandungan lignin dalam serbuk TKKS. Oleh karena itu
perlu dilakukan proses delignifikasi sebelum dihidrolisis.
Pada penelitian ini dilakukan proses delignifikasi terhadap serbuk TKKS
menggunakan jamur pelapuk putih isolat A-1 (Omphalina). Proses delignifikasi
sebagai berikut, TKKS yang telah dicacah, direndam air satu malam, ditiriskan,
dimasukkan ke dalam kantung plastic, disterilisasi. Setelah dingin sebanyak 100
ml inokulum Omphalina dari medium PDB diinokulasikan ke dalam TKKS,
diinkubasi pada suhu kamar selama 20 hari sampai miselium JPP menyelimuti
TKKS, kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari atau oven suhu 60 oC,
digiling dengan alat Pen mill dengan kehalusan 40 mesh, maka diperoleh serbuk
TKKS terdelignifikasi.
Hidrolisis kimiawi menggunakan H2SO4 / HCl, parameter yang dioptimasi
jenis asam (H2 SO4 / HCl), waktu hidrolisis (20,40,60,120, dan 240 menit),
konsentrasi asam (0,1N; 0,5N; 1N; dan 2N) dan TKKS terdelignifikasi atau tanpa
delignifikasi, suhu hidrolisis 121 oC. Berdasarkan analisis gula pereduksi
optimum, hidrolisis dioptimalkan dengan menaikan suhu hingga 200 oC
menggunakan H2SO4 2N dengan waktu hidrolisis 5; 7,5; 10; 12,5 dan 15 menit.
Filtrat yang dihasilkan digunakan sebagai substrat untuk proses fermentasi
selanjutnya. Sebelum proses fermentasi, dilakukan proses overliming dengan
menambahkan Ca(OH)2 hingga pH 12, dipanaskan dalam oven suhu 60 oC,
selama 20 jam, disaring, pH diturunkan kembali menjadi 5,0. Untuk hidrolisis
enzimatis dan fermentasi etanol dilakukan dengan metode simultan dan terpisah
menggunakan Trichoderma sp atau bakteri selulolitik dengan S.cerevisiae.
Hasil pengamatan secara visual pada proses delignifikasi menunjukkan
perubahan fisik dari coklat gelap menjadi terang selain pemucatan warna, TKKS
hasil inkubasi menjadi lebih rapuh, enzim yang terlibat dalam pemecahan lignin
adalah enzim ligninolitik. Kadar lignin hasil delignifikasi (16,33%) menunjukan
penurunan jika dibanding tanpa delignifikasi (17,78% ).
Hasil hidrolisis TKKS terdelignifikasi dan tanpa delignifikasi dengan HCl
pada suhu 121 oC menunjukan bahwa gula pereduksi tertinggi yaitu TKKS
terdelignifikasi dengan HCl 2N selama 120 menit sebesar 0,42% dan TKKS tanpa
delignifikasi yaitu hidrolisis dengan HCl selama 60 menit sebesar 0,26%. Sedang
hasil hidrolisis dengan H2 SO4 diperoleh kadar gula pereduksi tertinggi yaitu
TKKS terdelignifikasi dengan H2 SO4 2N selama 120 menit sebesar 1,01% dan
TKKS tanpa delignifikasi adalah 0,47% Pada hidrolisis suhu 121 oC kadar gula
pereduksi optimum adalah (1,01%) yaitu hidrolisis dengan H2SO4 2N selama 120
menit. Hidrolisis dioptimalkan kembali dengan menaikkan suhu hingga 200 oC
menggunakan H2SO4 2N.Hasil optimasi menunjukkan bahwa kadar gula
pereduksi tertinggi yaitu hidrolisis selama 10 menit dengan nilai konversi selulosa
sebesar 30,86%, kemudian filtrat difermentasi menjadi etanol menggunakan
S.cerevisiae. Hasil fermetasi etanol menunjukkan bahwa terjadi penurunan gula
pereduksi selama fermentasi. Sementara produksi etanol mencapai maksimum
1,82% setelah inkubasi 48 jam, pH menurun dari 5 hingga 4,5. Jumlah CO2 yang
terbentuk optimum pada hari ke-3, hal tersebut kemungkinan gula pereduksi
optimum pada hari ke-2 dijadikan substrat untuk pertumbuhan S.cerevisiae.
Hidrolisis enzimatis dilakukan dengan 2 metode yaitu metode simultan
dan terpisah, menggunakan isolate Trichoderma dan bakteri selulolitik. Hasil
produksi etanol secara simultan menggunakan isolat Trichoderma sp dan S.
cerevisiae mencapai maksimum pada hari ke-3 (0,33%) . Sedangkan simultan
menggunakan bakteri selulolitik dan S. cerevisiae menghasilkan etanol maksimum
pada hari ke-3 ( 0,27%). Hasil produksi etanol secara terpisah menggunakan isolat
Trichoderma dan S. cerevisiae mencapai maksimum pada hari ke-5 (0,27%).
Sedang terpisah menggunakan bakteri selulolitik dan S. cerevisiae menghasilkan
etanol maksimum pada hari ke-5 (0,20%).

Kata kunci : TKKS delignifikasi, Omphalina sp, fermentasi simultan,


Trichoderma sp, Saccharomyces cerevisiae, Bakteri Selulotik.
©. Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
OPTIMASI PROSES HIDROLISIS
KIMIAWI DAN ENZIMATIS
TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT MENJADI
GLUKOSA UNTUK PRODUKSI ETANOL

ENNY HAWANI LOEBIS

Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Biokimia

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul Tesis : Optimasi Proses Hidrolisis Kimiawi dan Enzimatis
Tandan Kosong Kelapa Sawit Menjadi Glukosa untuk
Produksi Etanol
Nama : Enny Hawani Loebis
NIM : G 851060131

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Djarot S. Hamiseno, MS. Dr. Tri Panji, MS.


Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biokimia Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian : 15 Agustus 2008 Tanggal Lulus :


PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahNYA
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul Optimasi
Proses Hidrolisis Kimiawi dan Enzimatis Tandan Kosong Kelapa Sawit
menjadi Glukosa untuk Produksi Etanol. Penelitian dilaksanakan dari bulan
November 2007 hingga bulan Mei 2008. Karya ilmiah ini disusun guna memenuhi
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Biokimia, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan
kepada Bapak Dr. Djarot Sasongko H, MS dan Dr. Tri Panji, MS selaku
pembimbing, atas segala arahan dan bimbingan selama penelitian serta
kepercayaan dan kesabaran dalam membimbing sampai terselesaikannya tesis ini.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Industri Agro
(BBIA) Bogor, yang memberikan kesempatan belajar di IPB dengan biaya dari
Anggaran DIPA 2006 Departemen Perindustrian. Terima kasih pula disampaikan
kepada Ibu Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS, selaku Ketua Program Studi Pasca
Sarjana Biokimia, para staf pengajar Biokimia dan teman-teman di Biokimia IPB
angkatan 2006 atas bantuan dan dukungan selama studi.
Semasa studi banyak orang yang membantu saya namun tidak ada yang
melebihi bantuan suami, anak, orang tua, kakak-kakak dan adik-adik tercinta
yang dengan sabar memberikan semangat serta mendoakan keberhasilan studi ini.
Terima kasih kepada teman-teman di Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Indonesia dan Balai Besar Industri Agro serta semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah berperan dalam proses penulisan karya ilmiah
ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna oleh
karena itu kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya
ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2008

Enny Hawani Loebis


RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Mei 1958 dari ayah M.
Yahya Loebis (Alm) dan ibu Hj. Yusrah Nasution. Penulis anak pertama dari
sembilan bersaudara. Tahun 1980 penulis lulus dari Akademi Kimia Analisis
Bogor dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai karyawan swasta di PT.
Setio Harto, Ltd Jakarta. Pada tahun 1983 penulis diangkat menjadi pegawai
negeri sipil di instansi Balai Besar Industri Agro hingga sekarang. Tahun 1988
penulis melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Tekstil Bandung dan lulus tahun
1989.
Tahun 2006 mendapatkan kesempatan tugas belajar di Institut Pertanian
Bogor Program Magister Biokimia dengan biaya dari Anggaran Dipa 2006
Departemen Perindustrian.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvi
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
Latar Belakang ..................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................. 4
Hipotesis .............................................................................................. 4
Manfaat................................................................................................ 4
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
Tandan Kosong Kelapa Sawit .............................................................. 5
Komponen Kimia Bahan Lignoselulosa ............................................... 7
Jamur Pelapuk Putih (JPP) Isolat A-1 (omphalina) ............................... 10
Hidrolisis Bahan lignoselulosa ............................................................. 12
Fermentasi Alkohol .............................................................................
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 20
Bahan dan Alat..................................................................................... 20
Metode Kerja ...................................................................................... 21
Pembuatan media ........................................................................... 21
Pemeliharaan stok kultur ................................................................ 22
Pemeliharaan stok kerja ................................................................. 22
Proses delignifikasi ........................................................................ 23
Hidrolisis kimiawi dan fermentasi etanol ....................................... 23
Hidrolisis enzimatis dan fermentasi etanol ..................................... 24
Analisis ........................................................................................ 24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan JPP, Trichoderma, Bakteri Selulotik dan
dan S. cerevisiae ............................................................................. 29
Proses delignifikasi......................................................................... 33
Hidrolisis kimiawi dan fermentasi etanol ........................................ 37
Hidrolisis enzimatis dan fermentasi etanol ..................................... 43
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 49
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 50
LAMPIRAN .................................................................................................... 57
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Komposisi kimiawi tandan kosong kelapa sawit ............................................ 6
2 Hasil optimum hidrolisis kimia TKKS .......................................................... 39
3 Hasil perolehan etanol optimum secara enzimatis.......................................... 47
4 Perbandingan hasil kimia dan enzimatis ........................................................ 48

xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 TKKS .................................................................................................... 5
2 Struktur selulosa ........................................................................................ 7
3 Susunan dinding Sel .................................................................................. 8
4 Struktur hemiselulosa ................................................................................ 9
5 Struktur lignin ........................................................................................... 10
6 Skema jalur fermentasi alkohol oleh khamir .............................................. 16
7 Rancangan Fermentor Batch ...................................................................... 28
8 Miselium JPP Omphalina sp dalam media PDA ........................................ 29
9 Miselium JPP Omphalina sp dalam media PDB ........................................ 30
10 Miselium spora Trichoderma dalam media PDA ....................................... 31
11 Bakteri selulolitik asal rayap pada media Hans .......................................... 31
12 Saccharomyses cerevisiae pada media YEDP padat ................................... 32
13 Saccharomyses cerevisiae pada media YEDP cair ..................................... 32
14 TKKS setelah delignifikasi ........................................................................ 33
15 Komposisi kimia TKKS ............................................................................. 34
16 Kadar gula pereduksi TKKS terdelignifikasi dengan variasi waktu
hidrolisis dan konsentrasi HCl ................................................................... 37
17 Kadar gula pereduksi TKKS tanpa delignifikasi dengan variasi
waktu hidrolisis dan konsentrasi HCl ........................................................ 38
18 Kadar gula pereduksi TKKS terdelignifikasi dengan variasi waktu
hidrolisis dan konsentrasi H2SO4 ............................................................... 38
19 Kadar gula pereduksi TKKS tanpa delignifikasi dengan variasi
waktu hidrolisis dan konsentrasi H2SO4 ..................................................... 39
20 Optimasi waktu hidrolisis dengan H2SO4 2N ............................................ 41
21 Penurunan kadar gula pereduksi, pH, kenaikan volume gas CO2 dan
produksi etanol oleh S. cerevisiae .............................................................. 42
22 Penurunan kadar gula pereduksi, pH, kenaikan volume gas CO2 dan
produksi etanol oleh Trichoderma sp dan S. cerevisiae secara simultan ..... 43
23 Penurunan kadar gula pereduksi, pH, kenaikan volume gas CO2 dan
produksi etanol oleh bakteri selulolitik dan S. cerevisiae secara simultan ... 44

xiv
24 Penurunan kadar gula pereduksi, pH, kenaikan volume gas CO2 dan
produksi etanol oleh Trichoderma sp dan S. cerevisiae secara terpisah ...... 45
25 Penurunan kadar gula pereduksi, pH, kenaikan volume gas CO2 dan
produksi etanol oleh bakteri selulolitik dan S. cerevisiae secara terpisah ... 46
26 Tahapan hidrolisis selulosa oleh enzim dan sistem sakarifikasi dan
fermentasi simultan selulosa menjadi etanol .............................................. 47

xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Diagram alir penelitian ........................................................................... 57
2 Proses delignifikasi oleh jamur pelapuk putih
Omphalina sp .......................................................................................... 58
3 Optimasi hidrolisis secara kimiawi dan fermentasi etanol ...................... 59
4 Diagram alir fermentasi secara simultan oleh Trichoderma sp
atau bakteri selulotik dan Saccharomyces cerevisiae................................ 60
5 Diagram alir fermentasi secara terpisah/sekuensial oleh bakteri selulolitik
atau Trichoderma sp dan Saccharomyces cerevisiae................................ 61
6 Data dan hasil Analisis Kandungan Kimia Kayu ..................................... 62
7 Data perhitungan kadar gula pereduksi TKKS terdelignifikasi dan tanpa
delignifikasi dengan variasi waktu dan konsentrasi H2SO4 ...................... 64
8 Data perhitungan kadar gula pereduksi TKKS terdelignifikasi dan tanpa
delignifikasi dengan variasi waktu dan konsentrasi HCL ......................... 65
9 Data kurva standar glukosa pada λ 550.................................................... 66
10 Kurva standar glukosa pada λ 550 ........................................................... 66
11 Data perhitungan gula pereduksi pada variasi waktu hidrolisis
dengan H2SO4 ......................................................................................... 67
12 Data perhitungan sampel pada fermentasi secara enzimatis
dan kimiawi ............................................................................................ 68
13 Data perhitungan sampel pada fermentasi enzimatis secara simultan
dengan bakteri selulolitik ........................................................................ 69
14 Data perhitungan sampel pada fermentasi enzimatis secara simultan dengan
isolat Trichoderma sp ............................................................................. 69
15 Data perhitungan sampel pada fermentasi enzimatis secara terpisah dengan
isolat Trihoderma sp ............................................................................... 70
16 Data perhitungan sampel pada fermentasi enzimatis secara terpisah dengan
isolat bakteri selulolitik ........................................................................... 70
17 Daftar Persentase Etil Alkohol berdasarkan BJ pada suhu 20 0 C.............. 71

xvi
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan industri kelapa sawit yang cukup potensial sebagai


penghasil devisa negara menyebabkan luas areal dan produksi kelapa sawit di
Indonesia semakin meningkat. Sampai saat ini minyak sawit Indonesia sebagian
besar masih diekspor dalam bentuk kelapa sawit mentah (CPO), sedangkan di
dalam negeri minyak sawit diolah menjadi produk pangan terutama minyak
goreng. Diperkirakan pada tahun 2012 Indonesia akan menjadi produsen minyak
terbesar di dunia dengan total produksi 15 juta ton/tahun (Guritno, 2003 dalam.
Emilio 2005). Proses produksi CPO akan menghasilkan limbah padat berupa
Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) yaitu sekitar 10 juta ton/tahun di
Indonesia yang sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal dan sering
menimbulkan masalah antara lain bersifat kamba (bulky), sehingga diperlukan
tempat yang luas dan biaya tambahan untuk menanganinya. Oleh karena itu perlu
diupayakan pemanfaatan limbah tandan kosong kelapa sawit menjadi produk yang
lebih berguna salah satu misalnya etanol (Darnoko et al. 2001).
Tandan kosong kelapa sawit merupakam limbah padat terbesar pada
industri kelapa sawit, yaitu mencapai 22 – 25% dari bobot tandan buah segar
(Peni, 1995). Tandan kosong kelapa sawit mengandung lignoselulosa dengan
komponen utama ialah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa merupakan
fraksi yang terbesar diantara ketiga komponen tersebut yaitu 45,95% basis berat
kering dan sangat potensial dipakai sebagai bahan baku untuk produksi etanol
(Darnoko, 1992). Menurut Darnoko 1992 bahwa komponen-komponen tersebut
merupakan sumber karbon bagi mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai
substrat fermentasi dengan menjadikannya sebagai bahan dasar pembuatan asam
organik, etanol, protein sel tunggal atau bahan kimia lainnya melalui biokonversi.
Sejak bulan Oktober 2005 di Indonesia dilanda krisis bahan bakar minyak,
harga berbagai bahan bakar yang berasal dari minyak bumi meningkat hingga 3
kali lipat. Ketergantungan akan bahan bakar minyak dapat merugikan, karena
selain potensinya yang akan habis juga tidak terbarukan (non renewable) dan
2

menyebabkan pencemaran udara yang cukup tinggi. Oleh karena itu perlu dicari
bahan bakar alternatif yang salah satunya adalah bioetanol (Irawati, 2006).
Menurut Bruce dan Palfreyman (1998) etanol dapat diproduksi dari
sumber daya yang dapat diperbaharui seperti biomasa yang dikategorikan ke
dalam bahan-bahan berbasis gula (gula tebu, gula bit dan sorgum manis), pati
(biji-bijian yaitu : jagung, gandum, beras, serta umbi-umbian : yaitu kentang,
ketela pohon, ubi jalar) dan lignoselulosa (kayu, jerami, bagase dan sebagainya).
Penggunaan bahan baku berbasis gula dan pati memang lebih mudah pada proses
pembuatan etanol, akan tetapi penggunaan bahan baku tersebut bersaing dengan
pemanfaatannya yang lebih utama yaitu sebagai sumber bahan makanan.
Penggunaan bahan baku lignoselulosa, selain lebih murah, potensinya lebih besar
dan tidak bersaing dengan pemanfaatan lain.
TKKS mempunyai potensi untuk digunakan sebagai sumber glukosa
melalui proses hidrolisis dengan asam atau enzim. Larutan gula yang dihasilkan
selanjutnya dapat dikonversikan menjadi berbagai produk seperti alkohol, aseton-
butanol atau biopolimer yang mempunyai nilai ekonomis jauh lebih tinggi
(Darnoko, 1992). Pemanfaatan limbah kelapa sawit dengan cara demikian
diharapkan dapat memberikan nilai tambah yang cukup besar (Darnoko, 1992).
Pemanfaatan TKKS pada saat ini merupakan kebutuhan yang sangat mendesak
karena melalui program langit biru yang dicanangkan pemerintah, pembakaran
TKKS tidak diizinkan lagi, karena cara penanganan limbah tersebut dapat
mengganggu lingkungan.
Proses hidrolisis selulosa dapat dilakukan dengan menggunakan dua cara,
yaitu hidrolisis menggunakan asam kuat atau enzim. Penggunaan asam kuat pada
proses hidrolisis mempunyai banyak persoalan teknis dan ekonomis misalnya
penggunaan peralatan yang harus tahan terhadap asam, permasalahan pemilihan
asam, selain menghasilkan rendemen yang kecil. Penggunaan bahan kimia juga
dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Sedangkan hidrolisis menggunakan
enzim (kompleks selulase maupun xilanase), walaupun masih jauh dari
penyelesaian karena laju hidrolisisnya rendah, tetapi lebih disukai karena lebih
ramah lingkungan. Selain itu hidrolisis enzimatis dapat dilakukan pada suhu ruang
3

dan tekanan rendah, yang artinya tidak memerlukan penggunaan energi, juga
produk yang dihasilkan lebih spesifik (Irawati, 2006).
Kendala yang dihadapi dalam hidrolisis serbuk TKKS dengan cara
enzimatik dan kimiawi menyebabkan rendahnya laju hidrolisis, salah satunya
adalah adanya kandungan lignin dalam serbuk TKKS tersebut. Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian mengenai perlakuan delignifikasi atau penghilangan
lignin dari serbuk TKKS sebelum perlakuan fermentasi untuk meningkatkan
kemampuan hidrolisis dari enzim. Penghilangan lignin dapat dilakukan secara
kimia maupun secara biologi. Cara biologi (biodelignifikasi) selain lebih murah,
juga ramah terhadap lingkungan, sering dilakukan dengan menggunakan jamur,
yaitu jamur pelapuk putih (white-rot fungi) yang mampu mendegradasi lignin
(Kirk dan Chang, 1990).
Fermentasi gula pereduksi menjadi etanol dilakukan dengan menggunakan
yeast yaitu Saccharomyces cerevisiae. Penggunaan yeast pada fermentasi etanol,
lebih disukai jika dibandingkan penggunaan bakteri. Hal ini disebabkan karena
yeast mempunyai sel yang lebih besar dan dinding sel yang lebih padat, sehingga
lebih mudah pada saat pemanenan dan daur ulang yeast. Selain itu yeast tidak
mudah terkontaminasi oleh bakteri maupun virus lain (Jeffries, 2000).
Proses hidrolisis TKKS perlu diawali dengan perlakuan pendahuluan yaitu
proses delignifikasi dengan menggunakan jamur pelapuk putih (JPP). JPP dari
kelas Basidiomycetes diketahui memiliki kemampuan dalam mendegradasi lignin.
Penetrasi hifa jamur pelapuk putih akan menghancurkan lignin dan membentuk
rongga berwarna keputihan, karena jamur tersebut memproduksi multi enzim
ekstra seluler (Kirk dan Chang 1990; Basuki, 1994). Pendekatan biokonversi
untuk memanfaatkan limbah TKKS diharapkan dapat memberikan nilai tambah
yang lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses dan kondisi
pengolahan bahan lignoselulosa TKKS agar diperoleh produk glukosa yang
optimum untuk menghasilkan etanol.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai cara
optimalisasi hidrolisis serbuk TKKS menjadi glukosa secara kimiawi dan
enzimatis untuk menghasilkan etanol, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi
limbah padat pengolahan CPO.
4

Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk :
1. Mengetahui potensi pemanfaatan limbah padat TKKS menjadi glukosa yang
dapat digunakan untuk produksi etanol.
2. Untuk mengetahui proses dan kondisi optimum hidrolisis kimiawi dan
enzimatis TKKS menjadi glukosa.
3. Mengetahui kondisi fermentasi etanol menggunakan substrat glukosa hasil
hidrolisis TKKS.

Hipotesis
Dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis :
1. Glukosa dapat dihasilkan dari hidrolisis TKKS baik secara kimia maupun
enzimatis.
2. Dapat dilakukan optimalisasi hidrolisis TKKS menjadi glukosa.
3. Glukosa hasil hirolisis TKKS dapat dijadikan sebagai sumber karbon untuk
fermentasi etanol

Manfaat
1. Penanganan limbah padat TKKS melalui proses biokonversi dapat
mengurangi pencemaran lingkungan
2. Memanfaatkan limbah padat TKKS yang melimpah menjadi glukosa dan
etanol yang lebih berguna serta mempunyai nilai tambah komersial yang
tinggi.
5
TINJAUAN PUSTAKA

Tandan Kosong Kelapa Sawit

Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan berupa pohon berbatang lurus


dari famili palmae. Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak goreng.
Menurut Loebis 1992, tanaman kelapa sawit diperkirakan berasal dari Guinea,
pantai barat Afrika yang kemudian menyebar sampai ke Indonesia. Tanaman ini
memiliki nama latin Elaeis guineensis JACQ dengan taksonomi sebagai berikut :
Dunia : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Angiospermae
Ordo : Cocoideae
Famili : Palmae
Genus : Elaeis
Species : Elaeis guineensis JACQ

Gambar 1 TKKS

Tandan kosong kelapa sawit merupakan limbah utama dari industri


pengolahan kelapa sawit menjadi minyak sawit. Persentase limbah TKKS adalah
23% dari tandan buah segar, sedangkan persentase serat dan cangkang biji
masing masing adalah 13% dan 5,5% dari tandan buah segar (Peni, 1995).
Komponen utama dari limbah padat kelapa sawit adalah selulosa dan lignin
sehingga limbah ini disebut juga limbah lignoselulosa (Darnoko, 1992).
Komposisi kimiawi tandan kosong kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 1
6

Tabel 1 Komposisi kimiawi tandan kosong kelapa sawit

Komponen % bobot kering


Selulosa 45,95
Hemiselulosa 22,84
Lignin 16,49
Kadar abu 1,23
Kadar air 3,74
Darnoko (1992)

Tandan kosong kelapa sawit mempunyai tiga komponen utama yaitu


selulosa, hemiselulosa dan lignin. Limbah TKKS memiliki kandungan
holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) yaitu sekitar 70% dan kandungan lignin
sekitar 17% ( Peni, 1995). Hasil penelitian Darnoko (1992) juga menunjukkan
hasil yang serupa, TKKS mengandung selulosa 45,95%, hemiselulosa 22,84%
dan lignin 16,49%. Selulosa adalah rantai lurus homopolisakarida yang tersusun
atas unit-unit D-glukosa. Hemiselulosa merupakan polisakarida yang berikatan
dengan selulosa pada bagian tanaman yang telah mengalami delignifikasi. Lignin
merupakan polimer fenolik (Artiningsih et al. 2000). Lignin akan menghalangi
pemanfaatan selulosa dari bahan lignoselulosa secara optimal. Oleh karena itu
pada penelitian ini perlu dilakukan proses delignifikasi terlebih dahulu pada
limbah TKKS dengan jamur pelapuk putih (JPP) Omphalina sp
Tandan kosong kelapa sawit mempunyai potensi untuk digunakan sebagai
sumber glukosa melalui proses hidrolisis dengan asam atau enzim. Larutan gula
yang dihasilkan selanjutnya dapat dikonversikan menjadi berbagai produk seperti
asam-asam organik, pelarut etanol, butanol, aseton, xanthan, protein sel tunggal,
zat antibiotik dan berbagai produk lainnya. Pemanfaatan limbah kelapa sawit
dengan teknologi biokonversi diharapkan dapat memberikan nilai tambah yang
cukup besar. (Darnoko, 1992)
7

Komponen Kimia Bahan Lignoselulosa

Bahan berselulosa yang terdapat di alam umumnya mengandung selulosa,


hemiselulosa, dan lignin.

Selulosa
Selulosa merupakan konstituen utama kayu sekitar 40-45% bahan kering
kayu baik pada kayu berdaun jarum maupun lebar. Di dalam dinding sel kayu,
selulosa berfungsi untuk memberikan kekuatan. Selulosa merupakan bahan kimia
organik yang memiliki berat molekul tinggi dan merupakan homopolimer rantai
panjang dengan monomer glukosa yang saling berikatan dengan ikatan β-1,4
glikosida (Janes, 1969). Struktur selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur selulosa (Janes, 1969)

Serat selulosa terdapat di dalam dinding sel tanaman dan material vegetatif
lainnya. Susunan dinding sel terdiri dari lamela tengah (M), dinding primer (P),
serta dinding sekunder yang terbentuk selama pertumbuhan dan pendewasaan sel
dan terdiri dari lamela transisi (S1), dinding sekunder utama (S2), dan dinding
sekunder bagian dalam (S3) (Gambar 3). Dibandingkan dengan dinding primer,
dinding sekunder lebih tebal dan mengandung mayoritas selulosa (Judoamidjojo
et al. 1989).
8

Gambar 3 Susunan dinding sel (Tsao et al didalam Judoamidjojo et al. 1989)

Menurut Judoamidjojo et al. (1989), secara alamiah molekul selulosa


tersusun dari fibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa paralel yang
dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Pada kayu, fibril-fibril membentuk struktur
kristal yang dibungkus oleh lignin. Lignin berperan sebagai pelindung selulosa
dari serangan enzim pemecah selulosa.
Kumpulan fibril disebut mikrofibril, sedangkan kumpulan mikrofibril
membentuk makrofibril. Bagian mikrofibril yang mengandung banyak ikatan
hidrogen bersifat sangat kuat, tidak dapat ditembus oleh air dan disebut bagian
kristalin. Bagian mikrofibril yang sedikit atau sama sekali tidak mengandung
ikatan hidrogen disebut bagian amorf (Tsao et al. 1978).
Berdasarkan kelarutannya, selulosa dapat dibedakan menjadi selulosa α, β,
dan γ. Selulosa α tidak larut dalam larutan natrium hidroksida pekat, selulosa β
larut dalam medium alkali tetapi tahan terhadap larutan netral, sedangkan selulosa
γ mudah larut walaupun dalam larutan netral (Fengel dan Wegener, 1989).

Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah polisakarida yang berikatan dengan selulosa pada
bagian tanaman yang telah mengalami delignifikasi. Hemiselulosa terutama
terdapat pada bagian lamela tengah dari dinding sel tanaman (Gong dan Tsao,
1981).
Hemiselulosa merupakan heteropolimer bercabang dari glukosa, xylosa,
galaktosa, dan arabinosa (Cowling didalam Gaden et al. 1976). Rantai urutan
hemiselulosa hanya terdiri dari satu macam monomer (homopolimer), misalnya
9

xylan dan dapat juga dua atau lebih monomer, misalnya glukomanan (Fengel dan
Wegener, 1989). Struktur hemiselulosa dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Struktur hemiselulosa (Zabel dan Morrell, 1992)

Lignin
Lignin merupakan fraksi non karbohidrat yang bersifat kompleks dan sulit
dikarakterisasi. Pada dasarnya lignin merupakan polimer aromatik heterogen
dengan sistem jaringan yang bercabang serta tidak memiliki bentuk yang tetap
(Mc Donald dan Franklin, 1969). Lignin tersusun dari molekul-molekul yang
memiliki bobot molekul yang tinggi dengan unit dasar fenilpropana yang
dihubungkan dengan ikatan-ikatan karbon (C-C) dan eter (C-O-C) yang relatif
stabil (Casey, 1980).
Polimer lignin tidak dapat dikonversi ke monomernya tanpa mengalami
perubahan pada bentuk dasarnya (Casey, 1980). Lignin yang melindungi selulosa,
bersifat tahan terhadap hidrolisa disebabkan oleh adanya ikatan arilalkil dan
ikatan eter. Pada suhu tinggi, lignin dapat mengalami perubahan struktur dengan
membentuk asam format, metanol, asam asetat, aseton, vormil dan lain-lain.
Sedangkan bagian lainnya mengalami kondensasi (Judoamidjojo, 1989).
10

Gambar 5 Struktur lignin (Dellweg, 1983 di dalam Judoamidjojo, 1989)

Jamur Pelapuk Putih

Jamur pelapuk putih (white-rot fungi) adalah jamur yang beperan dalam
menguraikan bahan yang mengandung lignoselulosa. JPP secara cepat dan
ekstensif dapat menguraikan lignin dibandingkan dengan jamur pelapuk lunak
(soft-rot fungi), jamur pelapuk coklat (brown-rot fungi) (Bratasida, 1992; Singh &
Roymoulik, 1992). JPP termasuk dalam kelas basidiomycetes dan kelas ini
memiliki keragaman spesifik terbesar. Jamur ini umumnya mempunyai miselium
bersepta dan dikenal sebagai jamur yang membentuk tubuh buah yang besar dan
tinggi yang disebut basidiokarp. Pada basidiokarp ini terdapat kumpulan
basidiospora yang berbentuk gada (basidium). Miselium primer dihasilkan apabila
basidiospora berkecambah. Peleburan hifa primer akan menghasilkan miselium
sekunder. Miselium sekunder akan berkembang menjadi miselium tersier dan
membentuk basidiokarp (Suwanto et al. 1987).
JPP merupakan satu-satunya organisme yang mampu mendegradasi lignin
secara sempurna menjadi CO2 dan H2O (Buckley dan Dobson, 1998).
Keunikannya dalam kemampuan mendegradasi lignin sangat selektif sehingga
relatif tidak merusak serat selulosa (Srebotnik dan Messner, 1994). Walaupun
11

demikian beberapa jenis JPP ada juga yang dapat menguraikan selulosa dalam
jumlah banyak (Blanchette dan Burnes, 1988). Degradasi lignin dapat terjadi pada
daerah yang terbatas atau pada daerah yang luas. Degradasi lignin pada daerah
terbatas akan membentuk rongga, sedangkan pada daerah yang luas akan terjadi
perubahan warna putih dan kerapuhan (Fengel dan Wegener, 1989).
JPP dapat menyebabkan dekomposisi lignin, selulosa dan hemiselulosa
dengan memanfaatkannya sebagai sumber karbon kompleks atau sumber energi
(Setliff dan Eudy, 1980). Untuk memanfaatkan komponen tersebut, JPP harus
mengekresikan enzim-enzim yang dapat merombak hemiselulosa, selulosa dan
lignin menjadi unsur-unsur yang dapat diserap oleh dinding selnya. Kemampuan
JPP mendegradasi lignin dikarenakan produksi enzim ligninolitik. Enzim tersebut
antara lain lignin peroksidase, mangan peroksidase dan lakase (Buckley dan
Dobson, 1998; Hatakka, 1994; Kirk dan Chang, 1990). Mekanisme degradasi oleh
JPP dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Pada
tahap awal akan terjadi degradasi lignin oleh enzim yang dihasilkan JPP. Aktivitas
enzim ini akan menyebabkan kayu melunak dan pecah. Pada tahap lanjutan, JPP
menembus dan berkoloni di dalam sel-sel kayu, kemudian mengeluarkan enzim
yang berdifusi melalui lumen sel dan menyerang dinding sel (Sachs et al. 1990).
Penurunan berat dapat dijadikan parameter infeksi JPP pada suatu bahan.
Hal ini disebabkan lignin dan hemiselulosa terdegradasi oleh JPP menjadi suatu
polimer sederhana atau monomer. Degradasi akan menyebabkan penurunan kadar
lignin dan selulosa sehingga terjadi penurunan berat bahan secara langsung.
Semakin tinggi tingkat kerusakan oleh JPP maka penurunan berat akan semakin
besar. Selain penurunan dapat terjadi perubahan warna akibat degradasi pigmen
(zat ekstraktif) oleh jamur JPP mengakibatkan perubahan warna menjadi putih
(Warlinda, 2006).
Kemampuan ligninolitik beberapa jenis jamur terutama JPP digunakan
untuk mendegradasi lignin tanpa mengurangi kadar karbohidrat seperti pada
proses bio-pulping, bio-bleaching, dan pemanfaatan residu hutan serta komponen
lignoselulolitik lain sebagai pakan ternak. Di alam, JPP berperan sebagai
organisme saprofit yang berperan penting dalam siklus karbon (Boddy dan
Rayner, 1988).
12

Hidrolisis Lignoselulosa

Hidrolisis Kimiawi

Asam yang biasa digunakan untuk menghidrolisis selulosa adalah asam


sulfat, asam klorida, atau asam fosfat. Kelemahannya, asam menghidrolisis
selulosa secara acak, tanpa pola tertentu dalam pemutusan ikatan glikosidik
(Juanbaro dan Puigjaner, 1986). Oleh karena itu, menurut Grethlein didalam
Cowling (1975) hidrolisis asam harus dilakukan dalam kondisi yang tepat agar
tidak dihasilkan produk terdekomposisi yang tidak diinginkan. Pada umumnya
hidrolisis asam dilakukan dengan asam kuat encer pada suhu tinggi (Cowling,
1975).
Menurut Juanbaro dan Puigjaner (1986) laju hidrolisis dengan asam
dipengaruhi oleh suhu dan konsentrasi asam. Berdasarkan hasil penelitian di atas
dengan menggunakan asam sulfat 1 M suhu 80-96 OC meningkatkan rendemen
gula. Abasseed dan Lee (1991) mempelajari kinetika hidrolisis asam dari
potongan-potongan kecil kayu oak. Pada studi tersebut keterkaitan suhu reaksi
(198-215OC), konsentrasi asam sulfat (1-3%), ukuran kayu (0,1-2,5 cm) dan
lamanya proses dipelajari. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa
peningkatan ukuran kayu akan meningkatkan waktu reaksi yang dibutuhkan dan
menurunkan rendemen maksimal glukosa yang diperoleh.

Hidrolisis Enzimatik

Hidrolisis secara enzimatik dari selulosa adalah salah satu diantara proses-
proses biokonversi limbah yang sangat potensial. Akan tetapi, proses hidrolisis
tersebut dihambat oleh struktur kimianya sendiri dan adanya ikatan alami selulosa
dengan hemiselulosa dan lignin, sehingga rendemen gula yang diperoleh
umumnya rendah. Perlakuan pendahuluan untuk melemahkan ikatan ini
diperlukan dalam pemecahan masalah ini. Berbagai metode telah dicoba untuk
meningkatkan laju hidrolisis lignoselulosa (Enari, 1983).
Caminal et al. (1985) mempelajari hidrolisis enzimatik selulosa oleh
enzim selulase dengan perlakuan pendahuluan perendaman dalam asam sulfat
70% (w/v) dilanjutkan represipitasi dengan metanol. Bahan yang digunakan untuk
13

percobaan tersebut adalah karboksi metil selulosa (CMC) dengan konsentrasi


14,29 g/L, sedangkan konsentrasi enzim selulase adalah 5,71 g/L. Hasil percobaan
tersebut memberikan informasi bahwa hidrolisis selulosa dipengaruhi oleh pH dan
suhu. Pada kisaran pH percobaan 4,0-5,5 didapatkan pH optimum aktifitas enzim
adalah 4,8. Enzim selulase mengalami deaktifitasi termal yang nyata pada suhu
diatas 45 OC pada saat penelitian dilakukan pada kisaran suhu 50 OC (Caminal et
al. 1985).
Torget et al. (1991) mempelajari pengaruh penambahan asam sulfat encer
sebagai perlakuan pendahuluan untuk hidrolisis enzimatik berbagai kayu keras.
Percobaan dengan asam pada konsentrasi 0,50-0,65% v/v, 95-250OC dan
hidrolisis enzimatik dengan cellulast pada pH 4,8 suhu 50 OC, setelah empat hari
menunjukkan bahwa tidak semua kayu keras dan dua jenis residu jagung tahan
terhadap hidrolisis enzimatik. Hasil terbaik diperoleh dari contoh NE-388 dengan
suhu perlakuan pendahuluan 160 OC selama 20 menit dengan rendemen selulosa
tercerna (glukosa total/total anhidroglukosa contoh) 82%. Kontrol untuk kayu tipe
tersebut memiliki rendemen 32%.
Penelitian yang sama dilakukan oleh Torget et al. (1991) terhadap tiga
jenis kayu keras dan dua jenis residu jagung. Hidrolisis pendahuluan dengan asam
sulfat encer pada suhu 140 dan 160 OC dengan waktu reaksi 5-60 menit terhadap
kelima contoh berhasil menghidrolisa seluruh hemiselulosa yang ada. Hidrolisis
pada suhu 160 OC lebih dianjurkan karena dihasilkan rendemen total yang lebih
tinggi. Lebih dari 90% selulosa dari kelima contoh dapat dihidrolisa secara
enzimatik bila digunakan suhu tersebut pada perlakuan pendahuluan.
Sinitsyn et al. (1991) mempelajari pengaruh struktur dan sifat
fisikokimiawi bahan berselulosa pada efisiensi hidrolisis enzimatik. Diperoleh
hasil bahwa ukuran partikel selulosa, derajat polimerisasi hanya sedikit
pengaruhnya terhadap efisiensi hidrolisis enzimatik. Percobaan hidrolisis bagase
dengan berbagai perlakuan pendahuluan menunjukkan bahwa hasil terbaik
(rendemen glukosa 9,1 g/L setelah 24 jam) diperoleh bila diberikan perlakuan
pendahuluan delignifikasi dengan 1% NaOH, dilanjutkan dengan 79% H3PO4.
Proses enzimatik pada penelitian ini menggunakan Trichorderma sp dan
bakteri selulolitik asal rayap.
14

Trichoderma sp.

Trichoderma sp. merupakan fungi kelas Deuteromycotina dari ordo


Monaliales dan famili Monaliaceae yang dikenal sejak tahun 1974. Trichoderma
dapat tumbuh hampir disemua tanah dan habitat lainnya. Trichoderma merupakan
fungi saprofit yang hidup dalam tanah, serasah dan kayu mati. Fungi ini tumbuh
diberbagai tempat, mudah ditemukan, berkembang biak dengan cepat dan
diantaranya mampu membunuh fungi lain. Fungi ini tumbuh dengan baik di
kondisi tanah yang asam dan termasuk peka terhadap pengaruh sinar dan
pencahayaan langsung (Papaviizas, 1985). Trichoderma mudah dikenali karena
pertumbuhanya yang cepat dan kondisinya yang hijau.
Trichoderma sp. merupakan salah satu fungi penghasil enzim kitinase dan
selulase. Produksi kedua enzim ini erat kaitannya dengan aktivitas Trichoderma
sebagai fungi antagonis dan untuk menekan penyakit tular tanah yang disebabkan
oleh fungi patogen, sebagai fungi pendegradasi bahan organik dan sebagai
penghasil beberapa jenis enzim (Hoitink dan Keener, 1993). Sebagai fungi
pendegradasi bahan organik, Trichoderma sp, menghasilkan enzim selulase yaitu
endo-β-1-4 glukonase, ekso-β-1- 4-glukan glukohidrolase dan ekso-β-1,4-
glukanase, ekso-β-1-4 glukan selobiohidrolase yang mampu mendegradasi bahan
yang mengandung lignoselulosa (Gong dan Tsao, 1981)

Bakteri selulolitik asal rayap

Rayap dikenal sebagai serangga kayu (lignoselulosa). Saluran


pencernaannya dapat dibandingkan dengan bioreaktor mini, karena mengandung
berbagai mikroorganisme yang dapat menguraikan lignoselulosa termasuk
kompleks xilan (Schafer et al. 1996; Bruce 1998). Ekstrak rayap Glytotermes
montanus mengandung aktivitas endo-1,4-β-xilanase yang aktivitasnya lebih
rendah daripada endo-1,4-β-glukanase (EC. 3.2 1.4) (Purwadaria et al. 2003).
Xilanase berbeda dengan CMCase yang telah diketahui, selain diproduksi oleh
mikrob saluran pencernaannya, juga dapat diproduksi oleh tubuh rayap sendiri
(Watanabe et al. 1998). Hemiselulosa instrinsik rayap belum ditemukan sehingga
15

produksi hemiselulosa termasuk endo-1,4-β-xilanase akan lebih efisien bila


dikembangkan dari mikrob xilanolitik, sedangkan saluran pencernaan rayap
merupakan sumber isolat.
Umumnya mikroorganisme seperti bakteri dan protozoa saluran pencernaan rayap
bersifat anaerob baik fakultatif maupun absolut, walaupun demikian telah berhasil
diisolasi bakteri aerob (Schafer et al. 1996). Enzim xilanase Bacillus sp hasil
isolasi dari saluran pencernaan rayap (Captotermes formosanus) telah dimurnikan
dan dikarakterisasi di Jepang (Shimizu et al. 1998). Aktivitas spesifik enzimnya
setelah pemurnian cukup tinggi, yaitu 339,5 U/mg. kemampuannya untuk
memproduksi enzim sangat bergantung pada sumbernya.

Fermentasi Alkohol

Fermentasi alkohol terutama dilakukan oleh khamir, khususnya jenis –


jenis Saccharomyces yang bersifat anaerob fakultatif. Berbagai minuman yang
mengandung alkohol dihasilkan dengan bantuan khamir ini. Misalnya : anggur,
bir, dan tuak. Penguraian glukosa menjadi asam piruvat mengikuti jalur HDP.
Reaksi totalnya adalah sebagai berikut:
C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2 (Standbury dan Whitaker, 1984)
Fermentasi ini berlangsung dalam keadaan anaerob, oleh karena itu asam
piruvat tidak berubah menjadi asetil koenzim A sebagaimana jika keadan aerob.
Asam piruvat akan didekarboksilase menjadi asetaldehida dengan dikatalisis
enzim piruvat dehidrogenase. Enzim ini mengandung tiamin pirofofat (TPP).
Asetaldehid tersebut kemudian direduksi menjadi alkohol oleh enzim alkohol
dehidrogenase (Timotius, 1982).
16

Jalur HDP
Glukosa 2 piruvat

Piruvat
2 NAD 2 NADH dekarboksilase CO2

etanol 2 asetaldehida
Alkohol dehidrogenase

Gambar 6 Skema jalur fermentasi alkohol oleh khamir (Timotius, 1982)

Berbeda dengan pertumbuhan khamir, bakteri yang mampu melakukan


fermentasi alkohol dapat tumbuh lebih baik dalam keadan anaerob. Walaupun
demikian ada juga bakteri yang melalui HDP seperti halnya khamir, misalnya:
Sarcina ventriculi dan Erwina amylovora. Kecuali itu ada juga bakteri dari
macam fermentasi lain yang juga mampu menghasilkan etanol, misalnya: bakteri
asam laktat tertentu, jenis-jenis tertentu dari Enterobacteraceae dan Clostridium.
Tetapi dalam proses pembentukan etanol tidak menggunakan enzim piruvat
dehidrogenase. Bakteri tersebut mengubah asetil ko-A menjadi asetaldehide
dengan pertolongan asetaldehid dehidrogenase (Timotius, 1982).

asetaldehid
CH3-CO-KoA + NADH2 CH3CHO + KoA + NAD
dehidrogenase

Piruvat
CH3CO COO H CH3CHO + CO2
dekarboksilase

Asam pivurat asetaldehida

Alkohol
CH3CHO + NADH2 CH3CH2OH + NAD+
dehidrogenase

ATP yang dihasilkan selama fermentasi alkohol adalah dua ATP/molekul


glukosa. Hasil ini lebih rendah daripada jika dalam keadaan anaerob. Perubahaan
dari anaerob menjadi aerob akan mengurangi atau bahkan menghentikan
pembentukan alkohol, jumlah sel yang terbentuk akan bertambah, dan
penguraiannya atau penyerapan glukosa akan berkurang. Demikian sebaliknya
jika dalam keadaan aerob berubah menjadi anaerob. Fenomena ini dinamakan
17

efek Pasteur. Fenomena ini disebabkan dalam keadaan anaerob khamir melakukan
fermentasi, dan jika dalam keadaan aerob khamir melakukan respirasi (Timotius,
1982).

Sakarifikasi Fermentasi -Simultan

Proses sakarifikasi fermentasi-simultan adalah proses kombinasi antara


hidrolisis selulosa secara enzimatik dengan fermentasi gula yang berkelanjutan
sehingga menghasilkan produk akhir berupa etanol. Tahapan-tahapan dalam
proses sakarifikasi fermentasi-simultan adalah sama dengan tahapan pada
hidrolisis dan fermentasi secara terpisah, hanya pada proses sakarifikasi
fermentasi simultan ini kedua proses tersebut berlangsung dalam satu reaktor yang
sama. Yeast secara langsung menfermentasi produk gula yang dihasilkan dari
proses hidrolisis oleh komplek enzim selullase, sehingga laju sakarifikasi dan
rendemen etanol yang dihasilkan akan lebih tinggi jika dibanding hasil proses
sakarifikasi dan fermentasi yang terpisah. Keunggulan lain dari proses sakarifikasi
fermentasi simultan adalah penggunaan reaktor tunggal untuk seluruh proses,
sehingga dapat menekan biaya investasi alat. Selain itu adanya etanol (hasil
fermentasi) didalam media menyebabkan media tidak mudah terkontaminasi oleh
organisme lain yang tidak diinginkan (Ballesteros et al. 2004). Proses sakarifikasi
selulosa dan hemiselulosa dalam TKKS menjadi gula dapat dilakukan dengan
hidrolisis enzimatik atau dengan menggunakan asam. Jenis enzim yang berperan
dalam hidrolisis tersebut adalah komplek selulase dan hemiselulase (xilanase,
galaktanase dan mananase).
Secara biokimia fermentasi diartikan sebagai pembentukan energi melalui
senyawa organik, sedangkan pengertian dalam bidang industri fermentasi adalah
suatu proses untuk mengubah bahan dasar menjadi suatu produk oleh massa sel
mikrobia. Aplikasi proses fermentasi selalu terdiri dari 6 bagian utama proses,
yaitu : formulasi medium, sterilisasi, produksi starter, pemeliharaan pertumbuhan
mikroorganisme, pemanenan dan pemurnian produk, serta pembuangan limbah
(Wibowo, 1990). Monomer gula dapat diubah secara anaerobik menjadi alkohol
oleh bermacam-macam mikroorganisme. Fermentasi gula sederhana (sukrosa dan
glukosa) menjadi etanol memiliki persamaan stoikiometri, yaitu :
18

C12H22O11 + H2O 4 C2H5OH + 4 CO2


C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2 (Standbury dan Whitaker, 1984)

Yeast Saccharomyces cerevisiae

Saccharomyces cerevisiae adalah khamir yang dapat menghasilkan


alkohol. Bentuk selnya oval dan bulat, ukuran selnya pada malt agar dapat dilihat
setelah 3 hari pada 25 OC. Dalam proses fermentasi, Saccharomyces cerevisiae
bereaksi positif terhadap glukosa, galaktosa, sukrosa, maltosa dan raffinosa.
Dengan Suhu minuman untuk S. cerevisiae adalah 9 OC dan maksimumnya
O
37 C. Pada awal fermentasi udara tidak diperlukan jadi prosesnya an aerob.
Dengan adanya udara dapat menyebabkan tumbuhnya bakteri yang tidak
diinginkan, sehingga mengakibatkan berkurangnya alkohol hasil fermentasi.
Yeast atau khamir S. cerevisiae biasa digunakan untuk membuat roti,
anggur dan bir. S. cerevisiae termasuk kedalam kelas Ascomycetes yang dicirikan
dengan pembentukan askus yang merupakan tempat dihasilkannya askospora. S.
cerevisiae memperbanyak diri secara aseksual dengan bertunas (Pelczar dan
Chan, 1986). Dinding sel S. cerevisiae terdiri dari komponen-komponen glukan,
mannan, protein, khitin dan lemak (Waluyo, 2004). Boyless (1984) menyatakan
bahwa untuk setiap mol glukosa yang dikonsumsi, S. cerevisiae menghasilkan
entalpi katabolisme sebesar -31 Kkal, energi bebas dari hidrolisis ATP (2 mol)
sebesar -14,6 Kkal dan entalpi untuk sintesis selnya hanya 0,23 Kkal. Entalpi dari
metabolisme sebagian besar dihabiskan pada aliran keluar entropy dan hanya
sedikit yang digunakan untuk sintesis materi sel.
Saccharomyces cerevisiae sangat tahan dan toleran terhadap kadar etanol
yang tinggi. Akan tetapi adanya kandungan fulradehid, asam organik dan
komponen fenolik (hasil samping hidrolisis asam selulosa) dapat menghambat
pertumbuhan S. cerevisiae, bahkan kandungan yang tinggi dan furaldehid, furfural
dan 5-hidroksimetil-fulfural dapat bersifat meracuni (Brandberg et al. 2004). Hasil
penelitian Samsuri et al. (2005) pada fermentasi bagase yang diberi perlakukan
awal steam dan penjamuran dengan menggunakan S. cerevisiae dapat
menghasilkan etanol sebanyak 15,4 g/L.
19

Rendemen alkohol dari hexosa dalam fermentasi menggunakan yeast dari


genus Saccharomyces (pada kondisi yang optimal) dapat mencapai 90% (Boyles,
1984). Efisiensi pengubahan energi tersebut dapat mencapai 97% (Campbell,
1983). Selain yeast S. cerevisiae, bakteri Zymomonas mobilis juga merupakan
salah satu bakteri yang efektif dalam fermentasi etanol, akan tetapi rendemen
etanol yang dihasilkan masih lebih sedikit dibanding yeast karena bakteri tersebut
juga menghasilkan sejumlah produk lain seperti asetat, laktat dan gliserol.
BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikroba dan Bioproses, Balai


Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Jalan Taman Kencana No. 1,
Bogor Jawa Barat. Waktu pelaksanaan penelitian adalah dari bulan Nopember
2007 sampai dengan bulan Mei 2008.
Bahan dan Alat

Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini harus selalu
dalam keadaan steril. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah
serbuk tandan kosong kelapa sawit yang diperoleh dari Perkebunan Kertajaya, PT.
Perkebunan Nusantara VIII, Banten Jawa Barat. Sedangkan inokulum yang
digunakan adalah Jamur Pelapuk Putih (JPP) Omphalina sp, Trichoderma sp,
bakteri selulolitik dan ragi Saccharomyces cerevisiae yang menjadi koleksi
Laboratorium Mikroba dan Bioproses, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Indonesia. Bahan penunjang lain yang digunakan dalam penelitian ini seperti
potato desktrose agar (PDA), potato dekstrose broth (PDB), Media Hans dan
Media YMA.
Bahan kimia yang digunakan adalah H2SO4 pekat, NaOH, HCl pekat
sedang bahan kimia untuk analisis komponen kimiawi terdiri dari DNS (Dinitro
Salicylic acid), fenol, Na2 SO3, kalium Natrium Tartrat.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi autoklaf, oven,
Refluks, penanggas, desikator, shaker inkubator, neraca halus, neraca kasar,
pompa vacum, ayakan 50 mesh, vortex, kromatografi gas, spektrofotometer UV-
VIS, pH-meter, erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi, pipet, gelas piala, cawan
petri, jarum inkubasi, plastik tahan panas, kapas, lakmus, kertas saring, karet,
paralon dan lain-lain.
21

METODE KERJA

PEMBUATAN MEDIA

Media PDA dibuat dengan cara melarutkan 39 g PDA (Difco) ke dalam 1 L


akuades lalu disterisasi, kemudian dituang ke dalam cawan petri yang sudah steril.
Media yang sudah dingin siap untuk ditanam inokulum (Fassatiova, 1986).

Media Hans dibuat dengan cara melarutkan : 0,5 gram K2HPO4, 0,5 gram
KH2 PO4, 1 gram (NH4)2 SO4, 0,1 gram Ca Cl2, 6 gram Na Cl, 0,1 gram yeast
ekstrak, 10 gram selulosa dan 20 gram agar ke dalam 1 L akuades lalu
disterilisasi, kemudian dituang ke dalam cawan petri yang sudah steril. Media
yang sudah dingin siap untuk ditanam inokulum (Rao, 1982).

Media YEDP dibuat dengan cara melarutkan 10 gram yeast ekstrak, 20 gram
pepton, 20 gram glukosa, 18 gram agar ke dalam 1 L akuades lalu disterilisasi,
kemudian dituang ke dalam cawan petri yang sudah steril. Media yang sudah
dingin siap untuk ditanam inokulum (Granot et al. 2003)

Media PDB dibuat dengan cara sebagai berikut. Kentang dikupas, dibersihkan,
dicacah dan ditimbang sebanyak 200 g, dicampur dengan 1 L air direbus hingga
mendidih. Setelah mendidih air rebusan kentang disaring dan dimasukkan ke
dalam erlenmeyer 1 liter dicampur dengan 20 g sukrosa teknis dan diaduk hingga
larut, kemudian dibagi ke dalam erlenmeyer 250 mL, lalu disteril, kemudian
didinginkan. Media yang sudah dingin siap untuk ditanam (Fassatiova, 1986)

Media Hans Cair dibuat dengan cara melarutkan komposisi bahan kimia media
Hans padat tanpa agar, lalu disterilisasi, kemudian didinginkan. Media cair yang
sudah dingin siap untuk ditanam (Rao, 1982).

Media YEDP Cair Dibuat dengan cara melarutkan komposisi bahan kimia
media YEDP padat tetapi tanpa agar, lalu disterilisasi, kemudian didinginkan.
Media yang sudah dingin siap untuk ditanam (Granot et al. 2003).
22

Media Fermentasi untuk hidrolisis Enzimatis dibuat dengan cara melarutkan


Media nutrient steril sebanyak 50 mL yang terdiri dari (NH4)2HPO4 1 g/L,
MgSO4.7H2O 0,05 g/L dan yeast ekstrak 2 g/L dengan pH Media 5, (Ito, et al.
2003).

PEMELIHARAAN STOK KULTUR


JPP Isolat A-1 (Omphalina) dinokulasikan dengan menggunakan jarum
inkubasi ke dalam cawan petri yang berisi media PDA steril, kemudian
diinkubasikan pada suhu kamar selama satu minggu hingga dihasilkan miselium
berwarna putih (Fassatiova, 1986).
Pemeliharaan stok kultur untuk Trichoderma sp yaitu dengan cara
menginokulasikan sebanyak satu ujung jarum spora jamur ke dalam media PDA
steril dan diinkubasi pada suhu kamar selama 1 minggu sebagai stok kultur. Fungi
tumbuh dalam waktu tiga hari dengan ditandai adanya warna hijau pada PDA
(Fassatiova, 1982).
Untuk bakteri selulolitik diinokulasikan sebanyak 1 ose isolat bakteri
selulolitik ke dalam media Hans padat steril dan diinkubasi pada suhu kamar 1 – 2
hari sebagai stok kultur (Rao, 1989).
Sedang pada S. cerevisiae diinokulasikan sebanyak 1 ose isolat
S. cerevisiae ke dalam media YEDP dan di inkubasi pada suhu kamar 1 sampai 2
hari sebagai stok kultur (Granot et al. 2003).

PEMELIHARAAN KULTUR KERJA


Kultur JPP Omphalina sp dari cawan petri (stok kultur) dipindahkan ke
dalam botol jam yang berisi media PDB steril dan diinkubasikan dalam suhu
kamar selama 3 hari sambil dikocok dengan kecepatan 120 rpm sebagai stok kerja
untuk proses delignifikasi (Fassatiova, 1986).
Untuk Trichoderma sp, isolat Trichoderma dari cawan petri (stok kultur)
sebanyak satu ujung jarum dipindahkan ke dalam botol jam yang berisi media
PDB steril dan diinkubasikan dalam suhu ruang selama 3 hari sambil dikocok
dengan kecepatan 120 rpm sebagai stok kerja untuk proses hidrolisis secara
enzimatis (Fassatiova, 1986).
23

Sedang kultur bakteri selulolitik dari cawan petri (stok kultur) sebanyak 1
ose dipindahkan ke dalam erlenmeyer 100 mL yang berisi media Hans cair dan di
inkubasi pada suhu kamar selama 3 hari, sambil dikocok dengan kecepatan 120
rpm sebagai stok kerja untuk proses hidrolisis secara enzimatis (Rao, 1982).
Sedang pada isolat Saccharomyces cerevisiae, sebanyak 2 ose isolat per 75
ml media YEDP cair steril diinokulasi ke dalam botol jar di inkubasi pada suhu
kamar selama 3 hari, sambil dikocok dengan kecepatan 120 rpm sebagai stok
kerja untuk proses fermentasi (Granot et al. 2003).

PROSES DELIGNIFIKASI
Proses Delignifikasi oleh Jamur Pelapuk Putih Omphalina sp (Akhtar et al,
1997)
TKKS yang telah dicacah direndam air satu malam, lalu ditiriskan, kemudian
dimasukkan ke dalam plastik tahan panas masing-masing sebanyak 240 gram per
bungkus dan disterilisasi (tiga kali ulangan). Setelah dingin sebanyak 100 ml
inokulum JPP Omphalina sp dari medium PDB (stok kerja) diinokulasikan ke
dalam TKKS tersebut dan diinkubasikan selama 20 hari dalam suhu ruang (27OC)
sampai miselium JPP Isolat A-1 omphalina menyelimutinya, setelah itu
dikeringkan dalam oven suhu 60OC atau dijemur di bawah sinar matahari, setelah
kering digiling dengan alat pen mill, dengan kehalusan 40 mesh (Lampiran 2).
Sebelum dan sesudah delignifikasi dianalisis kadar air, lignin dan selulosa.

HIDROLISIS KIMIAWI DAN FERMETASI ETANOL


Hidrolisis secara kimiawi menggunakan asam sulfat atau asam khlorida.
Parameter yang dioptimasi adalah jenis asam (HCl/H2SO4) waktu hidrolisis,
konsentrasi asam, dan TKKS yang terdelignifikasi atau tanpa delignifikasi. Pada
hidrolisis dengan asam khlorida sebanyak 1 gram serbuk TKKS dimasukkan ke
dalam tabung reaksi bertutup ulir, ditambahkan masing-masing 10 ml HCL 0,1 N;
HCL 0,5 N; HCL 1N; dan HCL 2N, dihidrolisis menggunakan autoklaf suhu
121OC dengan waktu hidrolisis masing-masing 20 menit, 40 menit, 1 jam, 2 jam
dan 4 jam (Lampiran 3). Analisis gula pereduksi. Hidrolisis dengan asam sulfat
prosesnya sama seperti tersebut diatas. Asam khlorida diganti dengan asam sulfat
(Cowling, 1975). Analisis kadar gula pereduksi yang terbentuk ( % terhadap
24

TKKS) dilakukan dengan Metode Dinitro Salisilic acid (DNS) (AOAC, 2005).
Hidrolisis dioptimalkan dengan menaikkan suhu 200 C menggunakan H2SO4 2N
dengan waktu hidrolisis 5; 7,5; 10; 12,5; dan 15 menit. Analisis kadar gula
pereduksi. Berdasarkan hasil analisis gula pereduksi ( % terhadap TKKS ),
hidrolisis optimum percobaan dilanjutkan dengan perbesaran skala 50 kali. Filtrat
yang dihasilkan digunakan sebagai substrat untuk proses fermentasi selanjutnya
(Xiang, 2003).

Fermentasi Etanol Hasil Hidrolisis Kimia Pada Kondisi Optimum

Sebelum proses fermentasi, filtrat hasil dari hidrolisis dibuat dalam kondisi
overliming terlebih dahulu yaitu dengan menambahkan Ca(OH)2 hingga pH 12,
dipanaskan dalam oven suhu 60o selama 20 jam, disaring, pH diturunkan kembali
menjadi 5,0, lalu disterilisasi (Millati et al. 2002). Proses fermentasi dilakukan
sebagai berikut 1000 ml filtrat ditambah 10% (v/v) inokulum cair Saccharomyces
cerevisiae dengan waktu inkubasi 120 jam. Tiap 24 jam contoh disampling,
kemudian dianalisis kadar gula pereduksi (metode DNS), pH (pH meter), etanol
(metode hidrometer) dan volume CO2.

HIDROLISIS ENZIMATIS DAN FERMENTASI ETANOL

Hidrolisis secara enzimatis dan fermentasi etanol dilakukan dengan metode


simultan dan terpisah.

Metode Simultan: Hidrolsis dan fermentasi dilakukan dengan cara menambahkan


100 gr TKKS terdelignifikasi yang telah steril ke dalam media fermentasi (1000
ml). Setelah itu ditambahkan 5% isolat Trichoderma sp atau bakteri selulolitik
asal rayap dan 10% inokulum cair Saccharomyces cerevisiae (v/v). Waktu
inkubasi 5 hari (120 jam)(Lampiran 4). Tiap 24 jam disampling kemudian
dianalisis kadar gula pereduksi, pH, etanol dan CO2 ( Ito et al. 2003 ).

Metode Terpisah: sebanyak 100 gr TKKS terdelignifikasi yang telah steril


dimasukkan ke dalam 1000 ml media fermentasi, ditambahkan 5% isolat
25

Trichoderma sp atau bakteri selulolitik, kemudian diinkubasi selama 48 jam.


Sampel diambil setiap 24 jam kemudian dianalisis kadar gula pereduksi, pH dan
CO2. Setelah 48 jam ditambahkan 10% inokulum cair Saccharomyces
cerevisiae(v/v) , inkubasi dilanjutkan hingga 120 jam (Lampiran 5). Setiap 24 jam
disampling dan dianalisis gula pereduksi (metode DNS), etanol (metode
hidrometer), pH (pH meter) dan volume CO2 (Spangler dan Emert, 1986 ).

ANALISIS
Analisis Bahan Baku dan Produk
Analisis Selulosa (TAPPI Method T203, Anom 1983)
Sebanyak 0,5 g serbuk TKKS dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL,
ditambahkan 6 mL NaOCl, 1 mL asam asetat 10% dan 30 mL akuades, kemudian
direfluks selama + 4 jam pada suhu 75 OC, dan setiap 2 jam ditambah 6 mL
NaOCl, 1 mL asam asetat dan 25 mL akuades. Setelah 4 jam diangkat, disaring,
divakum dan dicuci dengan akuades dingin dibilas dengan aseton dan eter
dikeringkan dalam oven selama 3 jam, didinginkan dan ditimbang hingga bobot
tetap.
Bobot awal − Bobot akhir
% Kadar selulosa = x 100%
Bobot awal

Holoselulosa (ASTM D-1102 s.d 1110).


Sebanyak 0,70 g (+ 0,05 g) serbuk bebas ekstraktif dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 10 ml larutan A (60 ml HCI + 20 g
NaOH, ditambah akuades hingga 1000 ml) dan secara hati-hati dimasukan pula 1
ml larutan B (200 g NaCIO 2 dalam 1000 ml akuades). Erlenmeyer dimasukan

kedalam penangas air dengan suhu 70 + 2 0 C dan digoyang setiap 30 menit. Pada
menit ke 45, 90, dan 150, ditambahkan 1 ml larutan B dan erlenmeyer digoyang-
goyang setiap penambahan larutan B. Sesudah 4 jam erlenmeyer dimasukan ke
dalam penangas air es dan ditambahkan 15 ml akuades es. Seluruh isi erlenmeyer
disaring menggunakan cawan saring yang sudah diketahui berat kosongnya.
Untuk membersihkan seluruh isi erlenmeyer, dilakukan pencucian dengan 100 ml
larutan asam asetat 1%. Cawan saring dihisap dan dicuci dengan 2-5 ml aseton
yang dibiarkan menetes keluar karena beratnya, kemudian dihisap lagi selama 3
26

menit. Selanjutnya cawan saring beserta isinya dikeringkan dalam tanur pada suhu
100-105 0 C dan ditimbang sampai beratnya konstan.

berat holoselulosa
% kadar holoselulosa = x 100
berat serbuk bebas ekstraktif

Ekstraktif (ASTM D-1102 s.d 1110).


Sebanyak 2 g sampel serbuk kayu dimasukkan dalam cawan saring. Selanjutnya
cawan saring seisinya dimasukan dalam soxhlett sedemikian sehingga ujung
cawan saring lebih tinggi dari ujung sifon dan sampel didalamnya lebih rendah
dari titik ini. Cawan saring lalu ditutup dengan sepotong saringan dari logam agar
tidak ada serbuk yang hilang. Ekstraksi dilakukan dengan 200 ml alkohol benzen
(alkohol : benzen = 1 : 2) selama 4-6 jam. Sesudah selesai, cawan saring itu
dikeluarkan dari soxhlett dan dihisap dengan pompa vakum hingga isinya kering.
Kemudian dicuci dengan alkohol untuk menghilangkan benzen dan dihisap lagi
dengan pompa vakum. Selanjutnya cawan saring dan isinya dikeringkan dalam
tanur pada suhu 100-105 0 C dan ditimbang sampai beratnya konstan
.
berat awal − berat ker ing tan ur
% kadar ekstraktif = x 100%
berat ker ing tan ur

Analisis Lignin (Goering dan Van Soest, 1970)


Sebanyak 1 g serbuk TKKS dimasukkan kedalam kertas saring yang telah
digulung dan diberi kapas. Lalu dilipat dan diikat dengan tali, ditimbang.
Kemudian direfluks ditambah etanol-benzene (1 : 2) selama + 8 jam, diangkat,
dicuci dengan etanol dan air panas, dikeringkan dioven sampai kering,
dimasukkan kedalam desikator, ditimbang hingga bobot tetap. Kemudian
sebanyak 0,5 g diambil, dimasukkan kedalam piala gelas 100 mL, ditambah 15
mL H2SO4 72% dengan perlahan-lahan (didalam bak yang berisi air dan es, suhu
(20 OC) didiamkan 2 jam, sambil sesekali diaduk. Diangkat, dimasukkan kedalam
erlenmeyer ditambah 300 mL akuades, diaduk sampai dengan konsentrasi H2SO4
3%, kemudian direfluks + 4 jam diatas penangas air pada suhu 100 0C. Hasil
27

refluks, divakum, dicuci dengan akuades panas sampai bebas asam, endapan
dikeringkan dalam oven selama 3 jam, kemudian ditimbang hingga bobot tetap.
Bobot refluks 4jam x Bobot refluks 8 jam
% Kadar lignin = x 100%
Bobot sebelum diekstrak x bobot hasil ekstrak
Analisis Kadar air (AOAC, 1984)
Kadar air ditentukan dengan cara menimbang 5 gram sampel lalu dikeringkan
dalam oven 105OC selama 2-3 jam, sampel yang telah kering kemudian
didinginkan dalam desikator selama satu jam dan ditimbang. Perlakuan ini
dilakukan secara berulang sehingga mendapatkan bobot tetap.
Bobot awal - Bobot akhir
% kadar air = x 100%
Bobot awal

Analisis kadar gula pereduksi


Kadar gula pereduksi dianalisis berdasarkan metode DNS ( Dinitro
salicylic acid ). Contoh yang telah jernih dimasukkan sebanyak 1 mL kedalam
tabung reaksi, ditambah 3 ml pereaksi DNS dan ime akuades, dikocok hingga
homogen menggunakan alat vortex, dan ditempatkan dalam air mendidih selama
15 menit, lalu didinginkan sampai suhu ruang. Bila diperlukan contoh diencerkan
agar dapat terukur pada panjang gelombang 570 nm. Untuk pengukuran blanko di
gunakan air. Kurva standar dibuat dengan menggunakan larutan glukosa standar
dengan kisaran 0,2-5 mg/L.

Analisis Kadar Etanol Menggunakan Metode Hydrometer.


Analisis kadar etanol menggunakan Metode Hydrometer (SNI 01-4201-1996,
Brendi) atau AOAC 1984.
Prinsip :
Membandingkan volume sulingan dengan nilai air pada suhu 20 OC, maka Bj
sulingan dari contoh dapat diketahui. Dari daftar BJ akan mendapatkan kadar
alkohol yang terkandung dalam contoh.
Sebanyak 100 ml contoh dimasukkan kedalam labu destilasi tambahkan 50 ml air
suling, destilasi campuran tersebut. Kemudian destilasi ditampung dengan
piknometer sampai tanda garis, lalu piknometer didinginkan pada suhu 20 OC
28

selama 15 menit. Setelah dingin piknometer ditimbang. Timbang berat


piknometer kosong dan berat air pada suhu 20 OC (sebagai pembanding)

BJ etil alkohol 20/ 20 OC = Berat etil alkohol (sulingan pada 20 OC)


Berat air pada 20 OC
kemudian dari lampiran dapat diketahui kadar alkoholnya. (Lampiran 16)

Analisis gas karbondioksida (Hamzah, 2007)


Gas CO2 yang dihasilkan dari bagian atas fermentor dialirkan melalui suatu pipa
kecil menuju tabung volume ukur yang berisi penuh air Gas CO2 tersebut akan
menekan air ke bawah hingga volume air pada tabung tersebut menjadi kosong.
Banyaknya volume air yang dikeluarkan sebanding dengan volume gas CO2 yang
dihasilkan pada keadaan suhu dan tekanan standar.

Analisis CO2 CO2 menekan air

Tempat Fermentasi
Berlangsung

Saluran
Sampling

Fermentor
Gambar 9. Rancangan fermentor Fermentor
Batch
Penampungan air

Gambar 7 Rancangan Fermentor Batch


HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Jamur Pelapuk Putih (JPP) Omphalina sp


JPP Omphalina sp yang digunakan pada penelitian ini di inokulasikan dalam 20 ml
media PDA pada suhu 27 OC. Setelah diinkubasikan selama satu minggu dihasilkan
miselium berwarna putih yang memenuhi seluruh permukaan media seperti terlihat
pada Gambar 8. Sedangkan pada media PDB dihasilkan pula miselium berwarna
putih dengan kultur jernih (Gambar 9).

Gambar 8 Miselium JPP Ompalina sp dalam media PDA


30

Gambar 9 Miselium JPP Omphalina sp dalam media PDB

Hasil pengamatan pertumbuhan Omphalina sp selama inkubasi satu minggu


menunjukkan adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan miselium pada media PDA
dan PDB. Pada media PDA pertumbuhan miselium memenuhi seluruh permukaan
media pada hari ke 7 inkubasi, sedangkan pada media PDB mencapai optimum pada
hari ke 5 inkubasi. Menurut Eaton dan Hale ( 1993 ) kemampuan jamur untuk
tumbuh pada suatu media dipengaruhi oleh jenis substrat yang sesuai dengan
pertumbuhannya. JPP lebih cepat tumbuh dalam media PDB daripada media PDA.
Hal ini mungkin disebabkan dalam media cair penyerapan nutrisi lebih cepat daripada
dalam media padat.
Pertumbuhan Jamur Trichoderma sp
Isolat Trichoderma sp yang digunakan pada penelitian ini ditumbuhkan pada
20 ml media PDA dalam cawan petri selama satu minggu. Berdasarkan pengamatan
setelah tiga hari, terjadi pertumbuhan spora Trichoderma pada media PDA ditandai
dengan adanya warna putih dari miselium yang lama kelamaan akan berubah menjadi
hijau dan membentuk lingkaran menyebar seperti permadani (areal furrow)( Gambar
10).
31

Gambar 10 Miselium spora Trichoderma dalam media PDA

Pertumbuhan Bakteri Selulolitik


Bakteri selulolitik asal rayap yang digunakan pada penelitian ini diremajakan
terlebih dahulu dengan memindahkan satu ose isolat bakteri dari biakan stok kedalam
media Hans padat pada cawan petri. Setelah diinkubasikan selama 2 hari dihasilkan
koloni berwarna putih agak kering (Gambar 11)

Gambar 11 Bakteri selulolitik asal rayap pada media Hans


Pada media Hans cair, pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi pada suhu ruang
selama 3 hari dan sambil dikocok pada putaran 120 rpm kultur terlihat keruh.
32

Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae


Saccharomyces cerevisiae yang digunakan pada penelitian ini diinkubasikan
dalam media YEDP dengan kondisi suhu kamar setelah diinkubasikan selama 1-3
hari dihasilkan koloni berwarna putih yang memenuhi media padat tersebut (Gambar
12). Sedangkan pada media YEDP cair dihasilkan pula kultur keruh kecoklatan
(Gambar 13).

Gambar 12 Saccharomyces cerevisiae pada media YEDP

Media Pertumbuhan (YEDP) Media YEDP + Ragi

Gambar 13 Saccharomyces cerevisiae pada media YEDP Cair


33

Proses Delignifikasi
Pada penelitian ini dilakukan proses delignifikasi TKKS menggunakan jamur
pelapuk putih Omphalina sp dengan konsentrasi inokulum + 2,5% (b/v). Pada proses
delignifikasi (penguraian lignin), komponen utama dinding sel yang terlibat adalah
selulosa, hemiselulosa dan lignin (Zabel dan Morrell, 1992) sedangkan kondisi
delignifikasi yang diinginkan adalah penurunan kandungan lignin setinggi-tingginya
dan selulosa serendah rendahnya (Kirk dan Chang, 1990).
Jamur pelapuk putih Omphalina sp yang digunakan untuk proses delignifikasi
ditumbuhkan pada 100 ml media PDB. Isolat dengan pertumbuhan yang baik
digunakan sebagai sumber inokulum. Isolat diinokulasikan ke serbuk TKKS dalam
wadah kantung plastik yang telah disterilkan, kemudian di inkubasi pada suhu kamar
selama + 3 minggu. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, pertumbuhan
miselium pada umur 7 hari baru tumbuh pada bagian atas TKKS dan pada umur 14
hari miselium tampak semakin melebar. Sedangkan setelah inkubasi 20 hari jumlah
pertumbuhannya telah memenuhi permukaan serbuk hingga bagian dalam (Gambar
14 ). Pertumbuhan miselium jamur paling banyak adalah pada bagian permukaan,
sedang bagian dalam lebih sedikit dibanding pada bagian permukaan. Kemungkinan
hal ini disebabkan pada bagian dalam tumpukan serbuk TKKS tidak terdapat cukup
udara untuk proses respirasi jamur.

Gambar 14 TKKS setelah didelignifikasi


34

Hasil pengamatan secara visual pada proses delignifikasi menunjukkan bahwa


terjadi perubahan fisik berupa pemucatan warna dari coklat gelap menjadi lebih
terang. Pemucatan warna TKKS diduga disebabkan karena selama pertumbuhan JPP
menyerang holoselulosa dan lignin. Lignin merupakan komponen yang menyebabkan
warna pada kayu, sehingga penyerangan/pernguraian lignin menjadi komponen yang
lebih sederhana dapat menyebabkan warna kayu lebih muda dari normal (Onysho,
1993).
Selain pemucatan warna, TKKS hasil inkubasi juga mengalami perubahan
menjadi lebih rapuh dan seratnya mudah diuraikan. Enzim jamur akan melunakkan
dan memecahkan dinding-dinding serat sehingga melepaskan pita-pita serat dari
mikrofibrilnya dan mempermudah proses penggilingan yang tadinya sulit karena
tinginya kadar lignin ( Gambar 14 ). Menurut Nishida et al. (1998) enzim yang
terlibat dalam pemecahan lignin adalah enzim ligninolitik yang umumnya dihasilkan
oleh jamur kelas Basidiomycetes. Senyawa tersebut selanjutnya digunakan oleh
jamur sebagai nutrisinya dengan cara absorpsi melalui dinding selnya. Hasil analisis
komposisi kimia TKKS sebelum dan setelah perlakuan delignifikasi berdasarkan
persen rata-rata basis kering terlihat pada Gambar 15

49.07 47.18
50

40
% Kadar

30 25.53
22.74
16.33 17.78
20

10 3.56 4.83

0
Lignin Hemiselulosa Selulosa Kadar Air

Terdelignifikas Tanpa Delignifikasi


i

Gambar 15 komposisi kimia TKKS


Lignin
Berdasarkan Gambar 15 terlihat kadar lignin hasil delignifiksai (16,33%),
menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan tanpa delignifikasi (17,78%). Hal
ini berarti degdradasi lignin pada penelitian ini relatif rendah, diduga disebabkan
35

karena struktur lignin yang kompleks dengan berat molekul yang besar, sehingga sulit
didegradasi oleh jamur (Hartoyo, 1989). Penelitian terdahulu (Away dan Goenadi,
1995) menunjukkan bahwa JPP dapat menurunkan kadar lignin TKKS secara drastis.
Rendahnya lignolisis hasil penelitian ini kemungkinan karena kemampuan lignolisis
enzim yang digunakan pada penelitian ini lebih rendah. Kemungkinan hal ini menjadi
salah satu penghambat proses lignolisis

Kadar Hemiselulosa
Dalam proses delignifikasi TKKS, kandungan hemiselulosa bahan ikut
terdegradasi (Gambar 15). Hasil hemiselulosa setelah inkubasi 20 hari (22,74%)
mengalami penurunan yang relatif besar dibanding hemiselulosa tanpa delignifikasi
(25,53%). Degradasi hemiselulosa yang lebih cepat diduga karena hemiselulosa
adalah komponen yang lebih sederhana dibandingkan dengan lignin. Menurut Zabel
dan Morell (1992), hemiselulosa adalah komponen dinding sel yang seringkali
didegradasi terlebih dulu oleh JPP, dimungkinkan karena memiliki rantai yang lebih
pendek dibanding selulosa, daya larut, dan lokasi yang terbuka di sekitar mikrofibril
selulosa.

Kadar Selulosa
Komponen kimia TKKS yang paling penting untuk pembuatan etanol adalah
selulosa. Semakin tinggi kandungan selulosa bahan, akan semakin baik untuk bahan
baku pembuatan etanol. Penggunaan jamur sebagai pendegradasi lignin untuk
delignifikasi diharapkan hanya mendegradasi lignin dan tidak secara simultan
mendegradasi selulosa, sehingga residu hasil degradasi dapat mengandung selulosa
setinggi mungkin dan lignin serendah mungkin. Berdasarkan Gambar 15 kadar
selulosa TKKS setelah delignifikasi 20 hari (49,07%) mengalami kenaikan
dibandingkan tanpa delinifikasi (47,18 %), kemungkinan disebabkan oleh
penurunan kadar komponen lain dari TKKS selain selulosa akibat degradasi oleh
kapang. Karena TKKS selain mengandung komponen dinding sel struktural (lignin,
hemiselulosa dan selulosa), juga mengandung zat ekstraktif dan sedikit abu. Zat
36

ekstraktif dalam kayu sekitar 3-10% dari bobot kering kayu. Menurut Rayner dan
Boddy (1989) zat ekstraktif terdiri dari lilin, lemak, asam lemak, alkohol, steroid,
komponen dengan kandungan karbon tinggi dan resin. Zat ekstraktif mungkin dapat
digunakan oleh kapang selama pertumbuhannya, sehingga persentasenya dalam
bahan yang mengalami degradasi diduga menurun. Jadi untuk satu gram contoh
TKKS hasil inkubasi memiliki persentase komponen dinding sel struktural lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol yang zat ekstraktifnya diduga masih tinggi.
Selain itu, penurunan salah satu komponen mengakibatkan perubahan pada kadar
komponen lain (lignin, hemiselulosa dan selulosa), karena penghitungan kadar
dilakukan berdasarkan basis persentase berat dengan menghitung kadar komponen.
Akibatnya, apabila salah satu komponen turun, komponen lain akan naik, begitu
pula sebaliknya. Komponen lignin dan hemiselulosa menurun setelah delignifikasi,
sedang komponen selulosa memperlihatkan kenaikan. Lignin dan hemiselulosa pada
penelitian ini mengalami penurunan yang relatif kecil, sehingga diharapkan selulosa
yang terdapat pada bagian dalam dinding sel belum terdegradasi. Hal ini didukung
oleh pendapat Zabel dan Morrell (1992), bahwa degradasi komponen oleh jamur
pelapuk putih dimulai dari hemiselulosa, lignin dan akhirnya selulosa.

Kadar Air
Kadar air merupakan parameter kunci untuk proses delignifikasi dan air
mampu mempengaruhi pertumbuhan kapang, substrat, aktivitas enzim, laju tansfer
massa oksigen dan karbon dioksida. Kandungan air dari substrat yang kecil akan
menghambat pertumbuhan miselium, mengurangi aktivitas enzim dan aksesibilitas
nutrien ( substrat ). Berdasarkan Gambar 15 kadar air TKKS setelah delignifikasi 20
hari ( 3,56 % ) mengalami penurunan dibandingkan tanpa delignifikasi ( 4,83 % ).
37

Hidrolisis kimiawi dan fermentasi Etanol


Hasil Hidrolisis TKKS terdelignifikasi dan tanpa delignifikasi dengan HCl pada
suhu 121OC.
Kadar gula pereduksi dari TKKS yang terdelignifikasi dan tanpa delignifikasi
menggunakan HCL dengan berbagai konsentrasi dan waktu hidrolisis terlihat pada
Gambar 16 dan 17 . Kadar gula pereduksi tertinggi yaitu TKKS terdelignifikasi
dengan HCL 2N selama 120 menit adalah sebesar 0,42%. Kadar gula pereduksi
tertinggi dari TKKS tanpa delignifikasi yaitu hidrolisis dengan HCL 2N selama 60
menit sebesar 0,26%, lebih rendah bila dibandingkan dengan TKKS terdelignifikasi.

0,42
Kadar Gula Pereduksi (%) terhadap TKKS

0.45
0.4 [ HCl ]
0.35
0.1N
0.3
0.5N
0.25
1N
0.2
2N
0.15
1%
0.1
0.05
0
20 40 60 120 360
Waktu Hidrolisis (menit)

Gambar 16 Kadar gula pereduksi TKKS terdelignifikasi dengan variasi waktu dan
konsentrasi HCl
38

0.3
0,26 [ HCl ]

Kadar Gula Pereduksi (%)


0.25

Kadar Gula Pereduksi


(%) terhadap TKKS
0.1N
0.2
0.5N
0.15 1N
2N
0.1
1%
0.05

0
20 40 60 120 360
Waktu Hidrolisis (menit)

Gambar 17 Kadar gula pereduksi TKKS terdelignifikasi dengan variasi waktu dan
konsentrasi HCl.

Hasil Hidrolisis TKKS terdelignifikasi dan tanpa delignifikasi dengan H2SO4


pada suhu 121 C
Kadar gula pereduksi tertinggi diperoleh pada hidrolisis TKKS
terdelignifikasi dengan H2SO4 2N selama 120 menit sebesar 1,01% (Gambar 18).
Kadar gula pereduksi tertinggi dari TKKS tanpa delignifikasi adalah 0,47% yaitu
hidrolisis dengan H2SO4 2N selama 120 menit. Hasil ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan kadar gula yang diperoleh dari hidrólisis TKKS terdelignifikasi
( Gambar 19 ).

1.2

1,01
1
Kadar Gula Pereduksi

[ H2SO4 ]
(% terhadap TKKS)

0.8 0.1N
0.5N

0.6 1N
2N

0.4 1%

0.2

0
20 40 60 120 240

Waktu Hidrolisis (menit)

Gambar 18 Kadar gula pereduksi hidrolisis TKKS terdelignifikasi dengan variasi


waktu dan konsentrasi H2 SO4
39

0.5 0,47
0.45 [ H2SO4 ]

Kadar Gula Pereduksi (%)


0.4

Kadar Gula Pereduksi


(%) terhadap TKKS
0.35 0.1N
0.3 0.5N
0.25 1N
0.2 2N
0.15 1%
0.1
0.05
0
20 40 60 120 240
Waktu Hidrolisis (menit)

Gambar 19 Kadar gula pereduksi TKKS Tanpa delignifikasi dengan variasi waktu
dan konsentrasi H2SO4

Hasil optimum hirolisis kimiawi TKKS terdelignifikasi dan tanpa delignifikasi dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil Optimum Hidrolisis Kimiawi TKKS

HCl 2N ( 120 Menit ) H2SO4 2N ( 120 Menit )

Terdelignifikasi Tanpa Delignifikasi Terdelignifikasi Tanpa Delignifikasi


(%) (%) (%) (%)

0.47 0.26 1.01 0.42

H2SO4 2N Optimasi lebih


( 120 Menit ) lanjut T=200 ;
t=5;7,5;10;12,5 dan
15 menit
40

Berdasarkan Tabel 2 kadar gula pereduksi optimum tertinggi hidrolisis


dengan H2SO4 2N, 120 menit. Dari penelitian ini kadar gula pereduksi tertinggi
diperoleh dari hidrolisis dengan H2SO4 2N (1,01%). Hidrolisis dioptimalkan kembali
dengan menaikkan suhu sampai 200 oC menggunakan H2SO4 2N dengan waktu
hidrolisis 5;7,5;10;12,5; dan 15 menit.
Menurut Grethleim didalam Cowling (1975) hidrolisis asam harus dilakukan
dalam kondisi yang tepat agar tidak dihasilkan produk terdekomposisi yang tidak
diinginkan dan umumnya hidrolisis asam dilakukan dengan asam kuat pada suhu
tinggi. Menurut Xiang, 2003 pada umumnya proses hirolisis bahan selulosa
menggunakan H2SO4 0,5% sampai 15% pada temperatur 90 – 600 oC dan tekanan di
atas 800 psi. Bila hidrolisis dilakukan pada temperatur yang lebih tinggi lagi, hasil
dari degradasi gula akan terbentuk furfural dan glukosa yang dihasilkan umumnya
rendah, kurang dari 50%.

Hasil Hidrolisis Kimia TKKS Pada Kondisi Optimum dengan H2SO4 2N suhu
200OC
Optimasi waktu hidrolisis dengan H2SO4 2N menghasilkan kadar gula
pereduksi tertinggi pada hidrolisis selama 10 menit, dengan nilai konversi selulosa
sebesar 30,86 persen. Berdasarkan hasil tersebut hidrolisis dilanjutkan dengan
memperbesar volume hidrolisis hingga lima puluh kalinya agar diperoleh filtrat
dalam jumlah yang lebih banyak, filtrat tersebut digunakan sebagai substrat untuk
fermentasi etanol, karena glukosa adalah sumber energi utama bagi S. cerevisiae
41

Gambar 20 Optimasi waktu hidrolisis dengan H2SO4 2N


Fermentasi Etanol Hasil Hidrolisis Kimia Pada Kondisi Optimum
Sebelum dilakukan fermentasi, pengaruh negatif furfural di dalam filtrat
diminimalkan dengan cara overliming hingga pH 12 dengan penambahan Ca(OH)2
dan dipanaskan dalam oven suhu 60 OC selama 20 jam, kemudian pH diturunkan
menjadi pH 5. Sebelum dilakukan overliming filtrat awalnya berwarna kuning jernih
setelah dipanaskan berubah menjadi coklat. Fermentasi awalnya terjadi secara
anaerobik fakultatif, karena sedikit oksigen pada bagian atas fermentor yang
digunakan untuk respirasi oleh khamir S. cerevisiae. Awal fermentasi umumnya
ditandai dengan munculnya gas CO2, namun sampling sudah dilakukan sejak 2 jam
setelah penanaman, karena penguraian glukosa sudah dimulai dalam sel yang ditandai
dengan turunnya kadar gula pereduksi. Besarnya kadar gula pereduksi yang hilang
memberikan acuan untuk menentukan kadar etanol yang diperoleh. Hasil fermentasi
etanol ( Gambar 21 ) menunjukkan terjadi penurunan kadar gula pereduksi selama
fermentasi. Sementara produksi etanol mencapai maksimum ( 1,82% ) pada 48 jam
dan pH menurun dari 5 hingga 4,5. Jumlah gas CO2 yang terbentuk optimum pada
hasi ke-3, hal tersebut kemungkinan gula pereduksi yang optimum di hari kedua
dijadikan substrat untuk pertumbuhan S. cerevisiae.
42

35 120
30 100

gula pereduksi (g/L), CO2


(mL x 10), EtOH (%)
25
80
20

pH
60
15
40
10
1.07
5 20
0 0
0 1 2 3 4 5
waktu inkubasi (hari)

Kadar Gula Pereduksi PH Etanol CO2

Gambar 21 Penurunan kadar gula pereduksi , pH, kenaikan volume gas CO2 dan
produksi etanol oleh S. cerevisiae

Khamir tumbuh optimum pada pH 4-5 sehingga kemampuannya


menggunakan glukosa untuk metabolisme sel dan fermentasi etanol mencapai
optimum pada pH tersebut.. Penurunan kadar etanol setelah 48 jam mungkin juga
disebabkan oleh penghambatan pertumbuhan khamir oleh gula pereduksi dalam
konsentrasi yang tingggi sehingga aktivitas biokonversi juga menurun. Konversi
glukosa menjadi produk akhir etanol melalui fermentasi tidaklah spontan seperti
reaksi kimia biasa, diperlukan waktu untuk mengalami proses glikolisis. Oleh karena
itu, tidak semua substrat terkonversi, dikarenakan sebagian digunakan untuk proses
pertumbuhan dan energi metabolisme. Pada fermentasi glukosa, asam piruvat
merupakan senyawa antara, kemudian asan piruvat tersebut akan mengalami
perubahan lebih lanjut. Penguraian glukosa menjadi asam piruvat melalui jalur
Heksosa Difosfat ( Jalur Emden-Meyerhof-Parnas ) atau glikolisis ( Stainer et al.
1976 ). Pada tahap ini pula, sel aerobik meregenerasi nicotinamide adenine
dinukleotide ( NAD+), yang diperlukan untuk glikolisis. Ia diperlukan untuk fungsi
sel normal karena glikolisis merupakan satu-satunya sumber ATP dalam kondisi
anaerobik.
43

Hidrolisis secara Enzimatis dan Fermentasi etanol.


Metode Simultan.
Hubungan penurunan kadar gula pereduksi, kenaikan gas CO2 dan produksi
etanol oleh isolat Trichoderma atau bakteri selulolitik dan S. cerevisiae dapat dilihat
pada Gambar 22 dan 23

0,33

Gambar 22 Penurunan kadar gula pereduksi, pH, kenaikan gas CO2 dan produksi
etanol oleh isolat Trichoderma sp dan S. cerevisiae secara simultan
Hasil analisis secara simultan menggunakan isolat Trichoderma sp dan
Saccharomyces cerevisiae pada Gambar 23 memperlihatkan penurunan kadar gula
pereduksi selama fermentasi. Sementara produksi etanol mencapai maksimum ( 0,33
% ) pada 72 jam, pH menurun terus hingga 5 hari (5,7-5.0). Jumlah gas CO2 yang
terbentuk optimum pada hasi ke-4, hal tersebut kemungkinan gula pereduksi yang
optimum di hari ketiga dijadikan substrat untuk pertumbuhan S. cerevisiae.
44

0,27

Gambar 23 Penurunan kadar gula pereduksi, pH, kenaikan gas CO2 dan produksi
etanol oleh isolat bakteri selulolitik dan S.cerevisiae
Proses enzimatis secara simultan menggunakan isolat bakteri selulolitik dan
S. cerevisiae (Gambar 23) memperlihatkan bahwa kadar gula pereduksi menurun
selama fermentasi, sementara produksi etanol mencapai maksimum (0,27 %) pada 72
jam, pH menurun terus hingga 5 hari.
Hidrolisis dan fermentasi dapat dilangsungkan secara simultan. Selama
hidrolisis glukosa dapat langsung dikonversi menjadi etanol sehingga mengurangi
akumulasi selobiosa dan glukosa dan akibatnya mempercepat hidrolisis selulosa
menjadi glukosa (Wright et al. 1988)
45

Metode Terpisah

0,27

Gambar 24 Penurunan kadar gula pereduksi pH, kenaikan gas CO2 dan produksi
etanol oleh Trichoderma dan S.cerevisiae secara terpisah

Hasil analisis proses enzimatis secara terpisah oleh isolat Trichoderma sp.
dan Sascharomyces cerevisiae (Gambar 24) tersebut memperlihatkan bahwa kadar
gula pereduksi setelah ditambah isolat Trichoderma dengan waktu inkubasi awal (48
jam) meningkat. Hal ini mungkin terjadi karena pada 48 jam pertama proses utama
adalah pembentukan gula pereduksi. Setelah ditambahkan S. cerevisiae dan waktu
inkubasi dilanjutkan hingga 144 jam menurun, sementara produksi etanol maksimum
0,27 % pada 120 jam, pH menurun hingga hari ke 4 dan pada hari ke 5 dan ke 6 tetap
( 4,22 ). Jumlah gas CO2 terbentuk optimum pada hari ke-5.
46

3 5.45

2.5 5.40

EtOH (%), CO2 (mL)


gula pereduksi (g/L),
5.35
2
5.30

pH
1.5
5.25
1
5.20
0.5 0,20 5.15
0 5.10
0 1 2 3 4 5 6

waktu inkubasi (hari ke)

Gula Pereduksi (gr/L) CO2 % Etanol pH

Gambar 25 Penurunan kadar gula pereduksi pH, kenaikan gas CO2 dan produksi
etanol oleh isolat bakteri selulolitik S.cerevisiae secara terpisah

Hasil analisis (Gambar 25) memperlihatkan kenaikan kadar gula pereduksi


dari hari ke 0 (1 jam pertama) hingga 48 jam. Setelah 48 jam kedalam bejana
ditambahkan S. cerevisiae dan waktu inkubasi dilanjutkan hingga 144 jam. Pada jam
ke 72 kadar gula pereduksi menurun. Sementara produksi etanol mencapai
maksimum ( 0,20 % ) pada hari ke 5 , sedang pH menurun terus. Sakarifikasi dan
fermentasi simultan (SFS) dapat memperbaiki kinetika fermentasi dan meningkatkan
efisiensi konversi selulosa menjadi etanol 25% lebih baik dibandingkan apabila
fermentasi dilangsungkan pada reaktor yang terpisah ( Spangler & Emert, 1986 ). Hal
ini karena SFS dapat menekan penghambatan terhadap selulase dan β-glukosidase
akibat akumulasi selobiosa dan glukosa hasil hidrolisis, mengurangi resiko
kontaminasi karena terbentuknya etanol ( Philippidis et al. 1992 ).
Proses hidrolisis enzimatis secara bertahap dari selulosa menjadi glukosa di
pengaruhi faktor penghambat yang sangat menentukan di dalam biokonversi selulosa
menjadi etano. Faktor penyebab utamanya ialah adanya penghambatan produk
(terutama selobiosa dan glukosa) terhadap semua tahapan hidrolisis karena rendahnya
aktivitas enzim β-glukosidase dalam komplek enzim selulase (Gambar 26 ).
47

hambat hambat hambat

Selulosa Selobiosa Glukosa Ethanol


Gula lain

Eksoglukanose β-glukosidase khamir


endoglukanase
Sakarifikasi dan Fermentasi Sinambung (SFS)

Gambar 26 Tahapan hidrolisis selulosa oleh enzim dan sistem sakarifikasi dan
fermentasi sinambung/simultan selulosa menjadi etanol (Koesnandar,
2001).

Hasil perolehan etanol optimum enzimatis dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3 Hasil Perolehan Etanol Optimum Enzimatis


Uraian % Etanol
Simultan
- Trichoderma sp + S. cerevisiae 0,33
- Bakteri selulolitik + S. cerevisiae 0,27

Terpisah
- Trichoderma sp + S. cerevisiae 0,27
- Bakteri selulolitik + S. cerevisiae 0,20

Berdasarkan data dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode
fermentasi secara simultan lebih baik dibanding secara terpisah. Isolat Trichoderma
sp menghasilkan kadar etanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat bakteri
selulolitik asal rayap. Hal ini mungkin disebabkan metabolisme jamur Trichoderma
48

lebih cepat dibandingkan bakteri selulolitik dan Trichoderma mempunyai enzim


selulase yang lebih tinggi dibanding dengan mikroba asal rayap. Trichoderma
merupakan salah satu jamur pelapuk lunak yang memproduksi komplek enzim
selulase yang lengkap yaitu endoselulase dan eksoselulase yang dapat memutus
selulosa kristalin. (Eaton dan Hale, 1993).

Perbandingan hasil analisis dengan cara kimia dan enzimatis dapat dilihat
pada Tabel 4.

Tabel 4 Perbandingan Hasil Kimia dan Enzimatis

KIMIA
ENZIMATIS
( H2SO4 2N, 10 menit )

SIMULTAN TERPISAH
Gula
Etanol
Pereduksi Gula Gula
(%) Etanol Etanol
(%) Pereduksi Pereduksi
(%) (%)
g/L g/L

30,86 1,82 1,46 0,33 * 0,70 0,27

0,82 0,27 0,33 0,20


49

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
1. Proses delignifikasi menggunakan Omphalina sp menghasilkan penurunan lignin
( 17,78% ) menjadi ( 16,33% ) penurunan hemiselulosa ( 25,53% menjadi 22,74
% ) dan peningkatan selulosa ( 47,18 % menjadi 47,18 % ).
2. Hidrolisis kimiawi maksimum diperoleh pada penggunaan H2SO4 2N, 10 menit,
200 oC. Hasil hidrolisis pada kondisi ini menghasilkan gula perduksi ( 30,86% )
yang setelah difermentasi menghasilan etanol sebesar 1,82 %.
3. Hidrolisis enzimatis maksimum diperoleh pada penggunaan Trichoderma sp dan
S. cerevisiae secara simultan. Hasil hidrolisis pada kondisi ini menghasilkan gula
pereduksi 1,46 g/L dan etanol 0,33%.

Saran
Perlu penelitian dengan skala lebih besar untuk mengkaji kelayakan sistem
produksi etanol dengan hidrolisis secara kimiawi pada kondisi optimal hasil dari
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abasseed AE, Lee YY. 1991. Effect of transient heat transfer and on particle size
acid hydrolisis of hardwood cellulose. Bioresource Tech. 35 : 15-21.

Akhtar M, Blanchette RA, Kirk TK. 1997. Fungal Delignification and


Biomechanical Pulping of Wood. Advances in Biochemical
Engineering/Biotechnologi 57 : 159-195.

[Anonim]. 1983. Alpha Beta and Gamma-Cellucose of pulp. TAPPI Testing


Procedures, (TAPPI T 203. OM d3) USA.

[Anonim]. 1984. Annual Book of ASTM Standards. D-1102 s.d 1110 Standard
Method of Wood Chemistry. Philladelphia. USA.

[A.O.A.C.] 1984. Official Method of Analysis. Association of Official Analitical


Chemists Washington D.C

[A.O.A.C.] 2005. Official Method of Analysis. Association of Official Analitical


Chemists Washington D.C

Artiningsih, Simbolon TH, Suhirman, Hasimoto S. 2000. Diversity of Aphyllo


Phorales Fungis Isolated from Tanjung Putting National Park. Central
Kalimantan and its Potentiality for lignin decomposition. Berita
Biologi, 5 : 313-322.

Away, Y dan D.H. Goenadi. 1995. Isolasi dan seleksi fungsi pelapuk putih dari
tandan kosong kelapa sawit. Menara Perkebunan. 63 (3) : 88 – 101.

Ballesteros M, Olivia JM, Negro MJ, Manzanares P, Ballesteros I, 2004. Ethanol


from Lignocellulosic Material by a Simultaneous Saccarification and
Fermentation Proces (SFS) with Kluyveromyces Marxianus CECT
10875 Process Biochemistry (39) : 1843-1848

Basuki T. 1994. Biopulping, Biobleanching dan Biodegradasi Limbah Industri


Pulp dan Kertas oleh Jamur Basidiomycetes Phanerochaeta
Chrysosporiom. Bandung : Laporan Penelitian PAU. ITB.

Blanchette RA, Burner TA. 1988. Selection of White Rot Fungi for Biopulping,
Biomass 15 : 93-101.

Boddy L, Rayner ADM. 1988. Fungal Decomposition of Wood. Its Biology and
Ecology, New York. John Willey and Sons.

Boyles D. 1984. Bio Energy – Technology, Thermodynamic and costs. Ellis


Horwood Limited. West Sussex
51

Brandberg T, Franzen CJ, Gustafsson L.2004. The Fermentation Performance on


Nine Strains of Saccharomyces cerevisiae in Batch and Fed Batch
Cultures in Dilute acid wood Hydrolysate. J. Biosciene and
Bioengineering 98 (2) : 122-125.

Bratasida L. 1992. Pengaruh substrat jamur pelapuk pada penyimpanan kayu


bahan baku pulp. Berita Selulosa XVIII (2) : 33-37

Bruce, Palfreyman 1998. Forest Products Biotechnology. Taylor and Francis Ltd.
London.

Bruce A. 1998. Tarmite guts : the world’s Smallest bioreactors. Trends


Biotechnol. 16 : 16-21.

Buckley KF, Dobson ADW. 1998. Extracellular ligninolytic Enzyme Production


and Polymeric Dye Decolourization in Immobilzed Culture of
Chyrsosporium lignorum CLI. Biotechnol. Letters. 20 : 301-306.

Caminal G, Santin JL, Sola C. 1985. Kinetic modelling of the enzymatic


hydrolisis of pretreated cellulose. Biotech. Bioeng. 27 : 1282-1290

Casey JP. 1980. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. Third
Edition , Vol. I. John Wiley and Sons, New York.

Campbell IM. 1983. Biomass, Catalysts and Liquid Fuels Technomic Publishing
Co. Inc. Pensylavia.

Cowling EB. 1975., Physical and Chemical constraints in the hidrolysis of


cellulose and lignocellulosic materi als. Biotech. Bioeng, Symp. 5 :163-
181.

Darnoko 2001. Teknologi Produksi Biodiesel dan Prospek Pengembangannya di


Indonesia. Warta PPKS 9 (1) : 17-27.

Datta, A., A. Betterman, dan T.K. Kirk. 1991. Identification of specific


manganese peroxidase among lignolitic enzym secreted by
Phanerochaete chrysosporium during wood decay. Appl. Environ.
Microbiol. 57 : 1453 – 1460.

Dornoko 1992. Potensi Limbah Lignosellulosa Kelapa Sawit melalui biokonversi.


Berita Penelitian Perkebunan. Medan, 2 : 85-95.

Eaton RA dan Hale MDC. 1993. Wood : Decay, Pets and Protection Chapman
and Hall. London.
52

EmilioY. 2005. Dekomposisi tandan kosong kelapa sawit (TKKS) menggunakan


jamur pelapuk putih (JPP) Skripsi FMIPA – Universitas Indonesia.
Depok.

Enari TM. 1983. Microbial Cellulase. Dalam W.M. Fogarty (Edt), Microbial
Enzymes and Biotecnology. Appl. Sci. New York.

Fassatiova O. 1986. Moulds and Filamentaneous Fungi in Technical


Microbiology. New York Elsevier.

Fengel D, Wegener G. 1989. Wood Chemistry Ultra Structure Reaction. Walter


De Gruter, New York.

Gaden EL, Mandels MH, Reese ET, Spano LA (ed). 1976. Enzymatic conversion
of Cellulosic material. Technology and Application. Biotech Bioeng,
Symp. 6. John Wiley, Interscience, New York.

Gong CS, Tsao GT. 1981. Cellulase and biosynthesis regulation. Didalam
Perlman, D. (ed). Annual Report on Fermentation Process. Academic
Press, New York.

Goering, HK, Van Soest PJ. 1970. Forage Fiber Analysis. U.S. Departemen
Agriculture, Agrie, Handb. 379: 1-19

Granot D, Levine A, Hefetz . 2003. Sugar-induced apoptosis in yeast cells. Jurnl


FEMS Yeast research 4 : 7- 13.

Hamzah. C. 2007. Biokonversi Glukosa menjadi Etanol melalui Fermentasi oleh


Kamir Saccharomyces cerevisiae, Skripsi FMIPA Universitas Pakuan
Bogor.

Hartoyo. 1989. Pengetahuan Dasar Kayu sebagai Sumber Serat. Makalah Seminar
Alih Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Industri Pulp Kertas dan Papan
Serat, Bogor. Oktober, 1989.

Hatakka A. 1994. Lignin Modifying enzyme from selected white rot fungi :
production and role in lignin degoradation FEMS Microbial RW, 13 :
125-135.

Hoitink HA, Keener HM. 1993. Science and Engineering of Compositing Design,
Environment, Microbiological and Utilization Aspect. The Statement
University, Columbus, P. 24-36

.
53

Irawati D. 2006. Pemanfaatan Serbuk Kayu untuk produksi etanol, Tesis. FMIPA
Institut Pertanian Bogor. Bogor

Ito H, Wada M, Honda Y, Kuwahara M, Watanabe T, 2003 Bioorganosolve


Prectreatments for simultanequs saccharification and fermentation of
Buch wood by ethanolysis and white Rot. Fungi. Journal of
Biotechnology, 103 : 273-280.

Janes RL. 1969. Chemistry of Wood Fiber. Di dalam Mc. Donald (ed). Pulp and
Paper Manufacture. Vol I. Mc Graw Hill Book Co., New York.

Jeffries TW. 2000. Ethanol and Thermotolerance in The Bioconversion of Xylose


by Yeast. Advances in Applied Microbiology, Vol 47 : 222-267.

Juanbaro J, Puigjaner L. 1986. Saccharificatoin of concentrated brewing bagasse


slurries with dilute sulfuric acid for producing ac. but. by C.
acetobutylicum. Biotech. Bioeng. 28 : 1544-1554.

Koesnandar, 2001. Biokonversi Selobiosa Langsung menjadi Etanol


menggunakan ko-Imobilisasi Sel Lypomyces starkeyi dan
Saccharomyces cerevisiae secara Fed Batch. J. Microbiology
Indonesia, vol 6(1): 15-18.

Judoamidjojo R.M Sa’id EG dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. PAU


Boteknologi IPB, Bogor.

Kirk TK, Chang HM. 1990. Biotechnology in Pulp and Paper Manufacture.
Butter Worth-Hernemann, USA. 232-235.

Kirk TK. 1985. Lignin Biodegradation : the microorganism involved and


physilogy and biochemistry of degradation by whit-rot fungi. Di dalam
Higuchi, T. (ed). Biosinthesis and Biodegradation of Wood
Component. Academic Press, Inc.,

Loebis B. 1992. Kelapa Sawit di Indonesia. Puslitbun Marihat, Bandar Kuala


Medan.

Mc. Donald. RG, Franklin JN. 1969. Pulp and Paper Manufacture. Vol. I : Tech.
Pulping Wood. Mc Graw Hill Book Company, New York.

Millati R, Niklasson C, Taherzadeh MJ. 2002. Effect of pH, time and temperature
of overliming on detoxification of dilute acid hydrolyzates for
mentation by Saccharomyces cerevisiae J. Proses Biochemistry
38: 515-522.
Nishida T.Kashino Y. Mimura A. Dan Takahara Y. 1988. Mokuzai Gakkaishi vol
34(6): 15-18.
54

Onysho KA. 1993. Biological Bleaching of Chemical Pulp : A. Review. J.


Biotech. 11: 179-198.

Papaviizas GC. 1985. Trichoderma and Gliocladium : ecology and potential for
biocontrol, Ann.Rev. Phytapathology, 23 : 3-54.

Peni SP. 1995. Tandan Sawit untuk kertas kraft. Trubus. 311 : 52-54

Pelczar M.J, Chan ECF. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. terjemahan


Hadioetomo, et all. UI Press, hal. 131-153.

Philippidis GP, Splinder DD Wyman CW. 1992. Mathematical modeling of


cellulose conversion to ethanol by the simultaneous saccharification
and fermentation process. Appl Biochem Biotechnol 34/35: 543-556.

Purwadaria T, Marbun PA, Simurat AP, Sutikno 1. 2003. Perbandingan aktivitas


selulase dari bakteri dan kapang hasil isolasi dari rayap JITV 8 : 213 –
219.

Prihandana R, et al. 2007. Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan. Agro
Media Pustaka. Jakarta

Rao S. 1982. Penuntun Praktikum, FMIPA Universitas Gajah Mada Yogyakarta

Reid, I.D. 1980. Influence of nutrient balance on lignin degradation by white-rot


fungus Panerochaete chrysosoporium. Can. J. Bot. 57 : 2050 – 2058.

Rayner, A.D.M. dan L. Boddy. 1989. Fungal Decomposition of Wood : Its


Biology and Ecology. John Wiley and Sons, New York.

Sachs IB, Leathon GF, Meyers GC. 1990. Distinguistics characteristic of


biochemical Pulp. J.TAPPI. Appl. 249-254.

Samsuri M., at al 2005. Pretretment for Etanol Production from Bagase by


Simultaneous Saccharification and fermentation. Prosiding 6th
International Wood Science Symposium. Denpasar 29-31 Agustus
2005.

Schafer A et al. 1996 Hemicellulose degradating bacteria and yeast form the
termite gut. J.Appl Bacteriol 80 : 471-478

Setliff EC, Eudy WW 1980. Screening white rot fungi for their capacity delignity
wood. dalam : Krik TK., Higuicy, I., dan Ching, H., : Lignin
biodegrodation : microbiology, Chemistry and Potential. App. Vol. I.
CRC. Press.
55

Shimizu H, Ohkuma M, Moriya K, Akbar T. Kudo T. 1998. Purfication and


characterization of xylanase produced by Bacillus sp from termite guts.
Di dalam : Ohmiya K, Hyashi K, Saka K, Kobayashi Y, Karita S,
Kimura T (ed). Genetic, Biochemistry and Ecology of Cllulose
Degradation. Tokyo : Uni Publisher halm 563-570.

Singh SP, Roymoulik 1992. Role of Biotechnology in the Pulp and Paper
Industry..A. Review. Part 1 : Biopulping J. IPPTA. 4 (4) : 53-56.

Sinitsyn AP, Gusakov AV, Yu Vlasenko E. 1991. Effect of Struktural and


physico-chemical features of cellulosic substrates on the efficiency of
enzymatic hydrolysis. Appl. Biochem. Biotech. 30 : 43-58.

Spangler Dj, Emert GH. 1986. Simultaneous Saccharification/Fermantation With


Zymonas Mobilis. Biotech Bioeng 28 : 115-118

Srebotnik E, Messner K. 1994. A. Simple method that uses differential staining


and light microscopy to asses the selectivity of wood delignification by
white rot fungi, Appl. Environ. Microbial., 60 (4), 1383-1386.

Stanbury, PR dan Whitaker A. 1984, Principles of Fermentation Technology,


ed 1. Pergamon Press. Oxford.

Suwanto AM at al. 1987. Botani Umum I, Bogor : PAU. IPB.

Timotius 1982. Microbiologi Dasar. Univesitas kristen Satya Wacana. Salatiga.

Torget R., Himmel M, Grohmann K. 1991. Dilute sulfuric acid pretreatment of


hardwood bark. Bioresource Tech. 35 : 239-246.

Tsao GT, Ladisch M, Ladisch C, Hsu TA, Dale B, Chou T. 1978. Fermentation
substrat from cellulosic material. Di dalam Perlman, D. dan G.T. Tsao
(ed). Annual Report on Fermentation Process. Vol 2. Academic Press,
New York.

Waluyo L. 2004 Mikrobiologi Umum. UMM Press. Malang

Watanabe H, Noda H, Tokuda G, Lo. N. 1998. A cellulase gene of termite oritin.


Nature 394 : 330-331

Warlinda Y. 2006. Optimasi produksi enzim ligninolitik oleh jamur pelapuk putih
(JPP) Isolat A-1 dengan substrat tandan kosong kelapa sawit (TKKS),
Skripsi. FMIPA. Universitas Pakuan, Bogor.

Wibowo D. 1990. Teknologi Fermentasi PAU Pangan dan Gizi UGM


Yogyakarta.
56

Wright JD, Wyman CE, Grohmann K. 1988. Simultaneous Saccharification and


fermentation of lignocellulose. Appl Biochem Biotechnol 18:75-90

Xiang Q. 2003, Heterogeous Aspects of Acid Hidrolysis of α - Cellulose.


Departemen of Chemical of Engineering. Aubum University and
Sweden University, Sweden

Zabel RA, Morell JJ. 1992. Wood Microbiology : Decay and Its Prevention
Academic Press, Inc, California.
Lampiran 1. Diagram Alir Penelitian

Tanpa JPP Proses sama Serbuk TKKS


seperti pada + JPP, untuk Delignifikasi + JPP
cara kimia

Hidrolisis Hidrolisis Isolat Trichoderma


atau Isolat bakteri
selulolitik
Cara Kimia Isolat Trichoderma Sp Cara Enzimatik
atau isolat bakteri
selulolitik
H2SO4p atau HCLp
Saccharomyces cerevisiae
Konsentrasi optimum
Fermentasi simultan 120 Fermentasi sekuensial 48
jam jam (aerob)
Disteril dengan otokaf 1210C (an aerob)
Waktu optimum
Tiap 24 jam diukur kadar
gula pereduksi, pH dan CO2
Glukosa → analisis gula
Overliming :
+ Ca (OH)2 sampai pH 12,
pereduksi
dipanaskan 60OC, 20 jam, kemudian Hasil Fermentasi + Saccharomyces
pH diturunkan menjadi 5.0,lalu cerevisiae
disterilisasi. (Millati, et al. 2002)
Tiap 24 jam diukur : gula
pereduksi Fermentasi dilanjutkan 72
(Spektrofotometer) Etanol jam (an aerob)
Dimasukan wadah fermentasi
+ Saccharomyces cerevisiae (Khromatografi gas), pH (pH
suhu 28-32OC waktu 120 meter), CO2
jam (an aerob) Hasil Fermentasi

Hasil Fermentasi
Tiap 24 jam diukur gula
pereduksi, etanol, pH dan CO2
Tiap 24 jam diukur gula pereduksi,
etanol, pH dan CO2

57

You might also like