You are on page 1of 4

TUGAS METODOLOGI PENELITIAN PENGAJAR: PROF.DR. I DEWA KOMANG TANTRA, M.SC.,P.HD. A.

Uraian Masalah Komunikasi massa manjadi hal yang tak dapat dihindari pada saat ini. Berbagai informasi, hiburan, dan propaganda disampaikan dan diketahui melalui peristiwa komunikasi massa yang menjadikan media massa sebagai perantaranya. Salah satu jenis media massa itu adalah surat kabar. Selama ini, media masa khususnya surat kabar dianggap sebagai media yang netral dan dapat menyajikan realitas secara netral, dan apa adanya. Padahal, wacana yang disajikan media massa, termasuk berita surat kabar merupakan konstruk kultural yang dihasilkan oleh ideologi karena sebagai produk media massa, berita surat kabar menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realita sosial (Mulyana dalam Eriyanto, 2002: x). Wartawan media massa cenderung memilih perangkat asumsi tertentu yang berimplikasi pada pemilihan judul berita, struktur berita, dan keberpihakannya kepada seseorang atau sekelompok orang, meskipun keberpihakan tersebut sering bersifat subtil dan tidak sepenuhnya disadari (Mulyana dalam Eriyanto, 2002: xi). Dengan penggunaan bahasa dalam narasinya, wartawan mampu menciptakan, memelihara, mengembangkan, dan bahkan meruntuhkan suatu realitas. Akhirnya, realitas yang diterima oleh khalayak bukanlah realitas yang benar-benar objektif, melainkan realitas yang merupakan hasil konstruksi wartawan dan media massa. Objektif dalam hal ini dimaknai sebagai upaya melihat dunia seperti apa adanya, bukan bagaimana yang diharapkan semestinya, sebagaimana yang diungkapkan Bugeja (dalam Ishwara, 2005: 44) Proses persepsi selektif yang dilakukan wartawan dan editor, disadari atau tidak, berperan dalam menghasilkan judul berita, ukuran huruf untuk judul, penempatan berita di sarat kabar (apakah di halaman depan, dalam, atau belakang) yang menandakan penting atau tidaknya berita, panjang atau pendeknya laporan, komenar mana yang akan ditampilkan dan akan dibuang, yang sedikit banyak akan menunjukkan keberpihakan surat kabar tu sendiri; dan julukan apa yang dipilih surat kabar untuk mempromosikan pihak yang mereka bela atau menyudutkan pihak lain yang mereka benci (Mulyana dalam Eriyanto.2002). Dengan demikian, pesan tidak hanya disampaikan secara eksplisit, melainkan juga implisit.

Sebagai surat kabar nasional yang terbit di Bali, Bali post merupakan surat kabat yang paling terkemuka dan berpengaruh dalam mengendalikan wacana dan mempengaruhi paradigma masyarakat khususnya di Bali. Salah satu topik yang diberitakan oleh Bali Post adalah Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Bali (RTRWP Bali). Berita ini menjadi menarik karena menjadi head line dalam waktu yang cukup penjang yakni sekitar bulan April hingga Juni 2009. Pemerintah berada pada posisi mendukung keberadaan RTRWP, sedangkan tokoh-tokoh masyarakat Bali cenderung menolak (beberapa substansi) keberadaan RTRWP. Berita-berita yang dimuat harian Bali Post cenderung menolak keberadaan RTRWP ini, sehingga dari segi kuantitas, jumlah berita yang mendukung dan menolak keberadaan RTRWP ini menjadi tidak seimbang. Kondisi ini menimbulkan prasangka peneliti. Mengapa jumlah berita yang menyatakan penerimaan RTRWP lebih sedikit daripada yang menyatakan penolakan?. Di samping itu, berita tentang RTRWP mengandung nilai berita, yaitu nilai berita konflik dan nilai berita kedekatan. Disebut memiliki nilai berita konflik karena berita-berita tersebut sempat menimbulkan konfik. Konflik dalam hal ini bukanlah konflik fisik, melainkan konflik pemikiran (Ishwara, 2005). Nilai kedekatan berarti, masalah RTRWP ini secara geografis maupun psikologis memiliki kedekatan dengan masyarakat Bali. B. Teori yang Digunakan Untuk Menganalisis Masalah Karena media memang tudak netral, dibutuhkan suatu paradigma alternatif yang lebih kritis untuk melihat realita di balik wacana media massa, (Eriyanto, 2004:xiv) khususnya surat kabar. Perlu usaha dan metode tersendiri guna menggali dan mengungkapkan struktur, rasionalitas beserta ideologi yang latent terselimut dalam teks. Oleh karena itu, analisis wacana (tepatnya analisis wacana paradigma kritis) sangat berguna, tidak saja untuk melakukan textual interrogation tetapi juga untuk mempertautkan hasil interogasi tersebut dengan konteks makro yang tersembunyi di balik teks sebagai suatu academic exercise atau pun dalam rangka upaya penyadaran, pemberdayaan, dan transformasi sosial (Eriyanto, 2006: ix). Menurut A.S. Hikam, (1996: 79-81) ada 3 pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana. Pandangan pertama yang diwakili oleh kaum positivisme-empiris menyebutkan bahwa bahasa dilihat sebagai jembatan atau objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan pernyataan-pernyataan yang logis, sistematis,

sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana lantas diukur dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran (menurut sintaksis dan semantik). Pandangan kedua disebut sebagai konstruksivisme, yang memandang bahwa bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan maknamakna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu dan perilaku-perilakunya. Analisis wacana dalam paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di masyarakat. Bahasa dipahami sebagai representasi wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Karena menggunakan perspektif kritis, analisis wacana kategori yang ketiga ini juga disebut sebagai analisis wacana kritis. Salah satu model analisis wacana kritis ini adalah model kognisi sosial yang ditawarkan oleh Teun A. Van Djik. Model ini menarik sebab model ini mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara praktis (Eriyanto, 2000). Pendekatan Van Dijk ini juga menganalisis aspek kebahasaan secara terperinci, paling detil jika dibandingkan dengan pendekatan yang lain.

C. Kajian Pustaka

You might also like