You are on page 1of 384
rené wellek austin warren | ople who do t about them. ple who would like to know 4 sis 6 ant 2 teuch-yoursed ou an impression of what, Chi I hope, encourage you to) . Even if you do not ; af 1. KE eri susasty ‘aan Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Setiap orang yang dengan tanpa hak molakuikan pelanggaran hak ekonomi se- dagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf | untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling, lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). ‘Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang, hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan ‘ecara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (ima ratus juta rupiah). Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemiegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) hurufa, huruf b, huruf e, dan atau huruf g untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau Pidana denda paling banyak Rp1.000.000,000,00 (satu millar rupiah). | Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang di- lakukan delam bentuk pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah), Dp cangen Canon RENE WELLEK & AUSTIN WARREN Diindonesiakan oleh MELANI BUDIANTA Gi == Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta & KOMPAS GRAMEDIA pide gan Cancer TEORI KESUSASTRAAN René Wellek & Austin Warren Judul asli: Theory of Literature Harcourt Brace Jovanovich, Publisher, San Diego | New York, London, 1977 copsright © 1977 by Harcourt Brace Jovanovich, Publisher, Orlando, Florida 32887 GM 616202050 Pertama kali diterbitkan dalam terjemahan bahase Indonesia oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building Blok | It. 5 J). Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 Anggota IKAPI, Jakarta Cetakan pertama Februari 1989 Cetakan kedua Juni 1990 Cetakan ketiga Maret 1993 Cetakan keempat Juni 1995 Cetakan kelima Januari 2014 Cetakan keenam (cover baru) September 2016 Diterjemahkan oleh Melani Budianta Hak terjemahan Indonesia ada pada Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Desain samput Suprianto Perwajahan isi: Fit Yuniar Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulls dari Penerbit www.gramediapustakautama.com ISBN 978-602.03-3428-8 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta 'si di luar tanggung jawab Percetakan Dp cangen Canon DAFTAR ISI Kata Pengantar vii Catatan dari Penerjemah xiii Bagian Pertama: Definisi dan Batasan 1 1. Sastra dan Studi Sastra 3 2. Sifat-Sifat Sastra 10 3. Fungsi Sastra 22 4. Teori, Kritik, dan Sejarah Sastra 34 5. Sastra Umum, Sastra Bandingan, dan Sastra Nasional 44 Bagian Kedua: Penelitian Pendahuluan 53 6. Memilih dan Menyusun Naskah 55. Bagian Ketiga: Studi Sastra dengan Pendekatan Ekstrinsik 71 Pendahuluan 72 7. Sastra dan Biografi 14 8. Sastra dan Psikologi 84 9. Sastra dan Masyarakat 98 10. Sastra dan Pemikiran 124 11, Sastra dan Seni 140 Bagian Keempat: Studi Sastra dengan Pendekatan Intrinsik 155 Pendahuluan 156 12. Modus Keberadaan Karya Sastra 159 13. Efoni, rama, dan Matra 178 14. Gaya dan Stilistika 198 15. Citra, Metafora, Simbol, dan Mitos 215 Dp cangen Canon vi | Teori Kesusastraan 16. Sifat dan Ragam Fiksi Naratif 17. Genre Sastra 18. Penilaian 19, Sejarah Sastra Catatan Bibliografi Indeks Biografi Singkat Dp cangen Canon 254 275 292 312 337 373 407 419 ne KATA PENGANTAP EDIS| PERTAMA WA SPAM aR ION CANE IH aC DME, LOD YG ROL CG LY) dats Cotas, seperts Tech Vesnatt te C90 VELIOE Uudi Sastra, vederigptacniys COA GAG, GELERD BE VOTE. hal int tidak atari rr A OCABE. SADR OE ALE EYES menguraitan isi, dapat dcstak O talactan uke. VA GY EO CAE punggung buku culup Otis “Vesmesctraad! sig Buku ini sukar disejaieriar Cengen bolartulas Iain, Bale int bukari bube wajit yang mengpiatan Gert 2ysoae Ars vepada mahasiona. iimiah (seperti take Marie, Kitts and MAG). Bites ih ume therupavan vesinarniourigan taker tales # ini hile Cases acaers Tale cenenitiar te Ca, atest (euike Gari Aricteteses, Hale, Cacigtell, sarge (acres), asa amerimis susestts dan siletive, dan biotuKe yang tetas Heap ting Keith. Gastrs, Tetaga dalarn tien inh perribahasan tentang “wating” (Bt tht Saha) CigpbUN yan Canigge We sata” (periiaian te hada Vary sastta), "Wits taste” (paneltiar), Can “sapran sactre inerngelaian dinarniiva sata, taitar tal-tial yang Sais Gan meneag SAperti yang, Cipelaian pada toon Mani Wnte sastiay, Bete ink comegyie tea ditrandingyan dengpe tatu tatatgae WATE, Gatalt urd Cestztt, uve Julies Petersen, Die Wiseerisctiall von der Dicktong, ze tutes Literary Theory vatangan Torrasienny, tates Gengze tiles aie Setttionts Uh Hats, [ARIEL WAY VERB AMER CAT AR A. Cee taeggee, lain, uke ini Oltulis Gari sate Sudut yandang saja-—waiaugun tresthipesthitunighan jute Persian Oat thetiie Wait, Baten dengan bata Tornachenrsiy, tai init ian tie yinsian abt yang serpertae Del gan Gace viii | Teori Kesusastraan ajak. Buku ini tidak eklektik seperti buku-buky riner seperti buku Rusia di atas. Imiah lama di Amerika, usaha mem. \ggap muluk, bahkan seperti jenisenis § Jerman, maupun dokt Menurut standar kebiasaan Il kan asums! di balik studi sastra dian, mungkin dianggap tidak ilmiah—apalagi usaha untuk merangkum dan, menilai berbagai penelitian yang sangat mendalam dan Khusus. Para ahli dari berbagai disiplin mungkin tidak puas dengan pembahasan tentang disiplin mereka masing-masing dalam buku ini. Tetapi buku ini tidak dimaksudkan untuk menjadi buku yang lengkap dan menyeluruh, Karya sastra yang diacu di sini adalah contoh-contoh, bukan bukti- bersifat selektif. Buku ini juga formulasil bukti, Pustaka acuan yang dipakai pun tidak berusaha menjawab semua pertanyaan yang diajukannya. Yang penting buku ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar, dan memberikan landasan metode—dua hal yang sangat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mendalami ilmu sastra. Kedua penulis buku ini pertama kali bertemu di Universitas lowa (tahun 1939) dan segera menemukan banyak kecocokan pandangan tentang teori sastra dan metodologi. Meskipun mempunyai latar belakang dan pendidikan yang ber- beda, kedua penulis mengalami perkembangan yang serupa. Ke- duanya mulai dengan penelitian-penelitian sejarah, lalu menekuni sejarah pemikiran, dan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa studi sastra pertama-tama harus didasarkan pada pendekatan sas- tra. Keduanya berpendapat bahwa "ilmu sastra” dan "kritik sastra” saling menunjang, dan kedua penulis tidak membedakan sastra kontemporer dengan sastra klasik. Pada tahun 1941 kedua penulis menyumbang bab-bab "Sejarah” dan "Kritik” untuk buku karya kolektif berjudul Literary Scholarship tn dan leat oleh Norman Foerster. Tokoh kritikus 7 nth pecan ini sangat berjasa dalam memberi dorongan setlanya “lbceenmanh kepada kedua penulss Kepadanya buku ini shying kets ee (seandainya tidak akan memberikan ke- ing doktrin Norman Foerster). | bi Kata Pengantar Edisi Pertama | ix Pembagian buku didasarkan pada minat masing-masing penulis. René Wellek bertanggung jawab terutama untuk Bab 1-2, 4-7, 9-14, dan 19; Austin Warren untuk Bab 3, 8, 15-18. Tetapi buku ini betul- betul merupakan hasil kerja sama. Pengarangnya adalah gabungan kedua penulisnya. Tentu saja sedikit ketidakseragaman peristilahan, gaya, dan penekanan tidak dapat dihindari. Tetapi keduanya merase bahwa kekurangan itu dapat diimbangi dengan banyaknya persamaan yang dapat dicapai. Kami berterima kasih kepada Dr. Steven dan Seksi Budaya Yaya- san Rockefeller. Tanpa bantuan mereka, buku ini tak mungkin diter- bitkan. Kami juga berterima kasih kepada Rektor, Dekan, dan Ketua Jurusan University of lowa atas dukungan, serta waktu dan kesem- patan yang diberikan kepada kami; juga kepada R.P. Blackmur dan J.C. Ransom atas bantuan mereka membaca beberapa bab; kepada Miss Alison Whita yang membantu dari awal hingga akhir penyusunan buku ini. Kami menghargai kemurahan hati para editor dan penerbit yang, mengizinkan dimuatnya beberapa bagian dari tulisan-tulisan kami yang sudah pernah diterbitkan ke dalam buku ini: Penerbit Louisiana University Press dan Saudara Cleanth Brooks, editor terdahulu jurnal Southern Review ("Modus Keberadaan Karya Sastra”), Penerbit Uni- versity of North Carolina Press (sebagian dari "Sejarah Sastra”, dalam buku Literary Scholarship, ed. Foerster, 1941), Penerbit Columbia Uni- versity Press (bagian-bagian dari "Periode dan Gerakan dalam Sejarah Kesusastraan” dan "Paralel antara Sastra dan Seni” dalam English Institute Annuals, 1940 dan 1941, serta Penerbit Philosophical Lib- rary (beberapa bagian dari "Revolusi Menentang Positivisme” dan "Sastra dan Masyarakat”, dalam Twentieth Century English, ed. Knic- kerbocker, 1946). New Haven, 1 Mei 1948 René Wellek Austin Warren KATA PENGANTAR EDISI KEDUA edisi pertama, kecuali dalam beberapa hal. Dalam edisi kedua kami menambahkan sejumlah keterangan, dan membuat bahasan. Kami Se kedua ini pada dasarnya merupakan cetakan ulang sejumlah perbaikan untuk memperjelas jalinan pem| juga menambahkan beberapa keterangan tentang perkembangan baru teori sastra. Tetapi kami memutuskan untuk membuang bab terakhir edisi pertame ("Studi Sastra di Tingkat Pascasarjana”), yang sepuluh tahun setelah penerbitannya (1946) terasa ketinggalan zaman. Usul-usul perbaikan yang disarankan pada bab itu kini sudah banyak dilakukan di berbagai tempat. Kami juga memperbarui Daftar Pustaka, dengan membuang sejumlah acuan yang kurang penting atau sulit dicari. Kami menggantinya dengan sejumlah karya tulis yang dipilih dari sekian banyak tulisan mengenai permasalahan yang dibahas dalam buku ini, yang diterbitkan selama delapan tahun terakhir. Natal, 1955 René Wellek Austin Warren Dp cangen Canon Via rn TE SEINE KATA PENGANTAR EDISI KETIGA y edisinya yang ketiga di Inggris dan Amerika, dan sudah diterjemahkan berturut-turut ke dalam bahasa Spanyol, Italia, Je- pang, Korea, Jerman, Portugis, Hibrani, dan Gujarati, Pada edisi ketiga ini, Daftar Pustaka diperbarui kembali. Sejumlah koreksi dan penambahan dilakukan pada teks. Tetapi edisi ketiga ini pada dasamya merupakan cetakan ulang edisi kedua. Beberapa pokok pikiran yang saya tulis dalam buku ini telah saya kembangkan atau perbaiki dalam sejumlah makalah yang diterbitkan oleh Yale Uni- versity Press dengan judul Concepts of Criticism, pada tahun 1963. Buku ini disebut dalam catatan kaki. Buku saya yang lain, History of Modern Criticism mencoba memperkuat kedudukan teoretis buku ini. Sebaliknya, buku saya yang baru itu mengambil kriteria dan nilai dari buku Theory of Literature. ‘ ungguh menggembirakan bahwa buku ini diterbitkan dalam nil New Haven, Conn, September 1962 René Wellek OME CATATAN DARI PENERJEMAH TP viu Theory of Literature karangan René Wellek dan Austin es Warren seharusnya diindonesiakan sepuluh atau bahkan dua puluh tahun yang lalu—pada saat buku ini dialihbahasakan ke berbagai bahasa dunia (lihat Kata Pengantar Edisi Ketiga) dan pada saat isu-isu di dalamnya masih sangat aktual. Sejak edisi pertama buku ini diterbitkan (1948), atau edisi ter- akhimya (1962), sudah banyak buku teori sastra baru diterbitkan, terutama di Eropa. Ini berarti, acuan teori kesusastraan sebenarnya erbarui, paling tidak untuk masa 20 tahun terakhir. Se- Ki dapat mempertanyakan, misainya, apakah pembagian pendekatan kesusastrean menjadi pendekatan intrinsik dan ekstrinsik masih relevan, dan apakah pembahasannya tentang teori astra, Kritik sastra, dan sejarah sastra memadai untuk menerangkan rumitny perkembangan ketiga bidang itu sampai sekarang? Wa- laupun mungkin kita tidek setuju dengan pembagian metode yang diajukan, tak dapat disangkal bahwa buku ini adalah buku yang sa- ngat bernilai dan harus dibaca oleh siapa saja yang tertarik untuk harus di mendalami kesusastraan. Theory of Literature adalah karya klasik dalam bidang teori sastra, yang banyak diacu dan dijadikan titik tolak dalam telaah di bidang sastra. Selain itu, permasalahan yang dilontarkan oleh buku ini merupakan permasalahan Gaser, yang akan tetap relevan sampai kapan pun. Bertolak dari permasalahan dasar yang dilontarkan buku ini, kita dapat membahas dan menyambung, pembicaraan mengenai isu-isu baru yang muncul di berbagai bidang pendekatan sastra: masalah teori, genre, stilistika, sejarah sastra, dan lain-lain. Dp cangen Canon xiv | Teori Kesusastraan Salah satu nilai positif penyajian buku ini adalah konsistengj sikap dan nadanya, dan kesadarannya pada posisi dan sudut pan- dang yang dipakai. Seperti yang diakui oleh penyusunnya, buku ini beraliran purist—menekankan dan menggarisbawahi pentingnya mendekati kesusastraan sesuai sifat dan "modus keberadaan” karya sastra sendiri. Jadi, buku ini memang lebih berat pada pend- ekatan “intrinsik”. Bagi mereka yang tertarik untuk memperdalam pendekatan-pendekatan yang mengaitkan sastra dengan bidang- bidang lain—dan tampaknya hal ini sulit dihindari dalam perkem- bangan teori sastra saat ini—, penjelasan buku ini mungkin akan terasa kurang memadai. Akan tetapi, buku ini memang bukan tempat untuk mencari penjelasan atau keterangan dasar—seperti dikata- kan dalam Kata Pengantar Edisi Pertama: bukan buku pegangan untuk bahan kuliah apresiasi sastra, atau survei teknik penelitian astra. Penyusunnya meletakkan buku ini sejajar dengan Poetics-nya Aristoteles. Untuk mahasiswa, buku ini memberikan kerangka dasar dan me- nyajikan persoalan inti di bidang sastra. Walaupun mungkin acuan buku ini yang sangat luas—mencakup teoretikus dan ilmuwan yang menyegarkan karena memper- mendalami bidang sastra, buku i tanyakan kembali asumsi-asumsi dasar. Mengingat semua ini, tampaknya tak ada pilihan lain kecuali mengindonesiakan Theory of Literature. Bukankah—kata-kata bijak Mengatakan—lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali? Agustus, 1988 MB a Bagian Pertama DEFINISI DAN BATASAN BaB 1 SASTRA DAN STUDI SASTRA ertama-tama kita harus membedakan sastra dan studi iP sastra. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan studi sastra adalah cabang ilmu pengeta- huan. Memang ada usaha mengaburkan perbedaan ini. Ada yang mengatakan, misalnya, bahwa tidak mungkin kita dapat mempelajari Alexander Pope tanpa mencoba membuat puisi dengan bentuk heroic couplets, yang Khas pada zaman itu dan selalu dipakai Pope dalam puisi-puisinya. Atau, kita harus belajar mengarang drama dalam bentuk blank verse’, ciri khas drama zaman Elizabeth di Inggris, sebelum membicarakan drama Inggris periode tersebut. Latihan kreatif semacam ini barangkali memang bermanfaat, tetapi tugas seorang penelaah sastra sama sekali lain. Seorang penelaah sastra harus dapat menerjemahkan pengalaman sastranya dalam bahasa ilmiah, dan harus dapat menjabarkannya dalam uraian yang jJelas dan rasional. Mungkin saja bahan studinya sedikit banyak Mengandung unsur yang sangat tidak rasional. Tetapi dalam hal ini, posisi si penelaah tak lebih dari posisi seorang sejarawan seni rupa atau musik—atau bahkan, seorang ahli sosiologi atau anatomi. Jelas, hubungan sastra dan studi sastra menimbulkan beberapa masalah yang rumit. Jalan keluar yang pernah ditawarkan berma- cam-macam. Sejumlah teoretikus menolak mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu, dan menganjurkan "penciptaan ulang” (second creation) sebagai gantinya—seperti yang dilakukan oleh Walter Pater dan John Addington Symonds. Walter Pater (penyair Inggris abad ke-19) mencoba memindahkan lukisan terkenal karya Leonardo da Vinci, Mona Lisa, dalam bentuk tulisan. John Addington 4 | Teori Kesusastraan Symonds (kritikus inggris sezemen Cenge sastra dengan gaya behesa sé kita sekarang, "kritik kreatif” seme merupeken yang mubazir, atau hany menjadi karya seni yang dah mutunya. Teoretixus yeng lain ma skeptisnya. Menurut mereka. S25 sekali. Sastra boleh dibaca, dinik pada “fakta-fakt: untuk mencari lebih jauh. Apresies’ urusan pribadi, suetu pelarian dari disayangken, tapi—apa boleh buat nya, dikotomi antara "teleah” den sekali tidak menjawab bageimene rr yang memiliki “kekhasan sastra” dan sek Masalahnya adalah: bageimane kita ser seni, Khususnya seni sastra? Apakeh bise? Kalau 0 caranya? Salah satu jawaban yang pernah diberikan ada! ngan menerapkan (mentransfer) metode-metode yang dike! kan oleh ilmu-ilmu alam pada studi sastra. Misainya, sikep-sil Kap ilmiah seperti objektivitas, kepastian, dan sikap tidak terlibet Sikap-sikap ini diperlukan dalam penelitian, yang biesanya hanye terbatas pada pengumpulan fakta-fakta yang netral seja. Usahe lain adalah meniru metode ilmu-ilmu alam melalui studi sumber, asal, dan penyebab ("metode genetik”). Metode ini pada praktiknyz memntolehkan Penelusuran hubungan apa saje, asalkan kronologis sifatnya. Secara lebih ketat, kausalitas ilmiah semacam ini dipakai untuk menjelaskan fenomena sastra dengan mengacu pada kondisi ekonomi, sosial, dan politik sebagai faktor-faktor penyebab, Statistik. grafik, dan peta, yang biasanya dipakai dalam ilmu-ilmu execite, Dp cangen Canon Sastra dan Studi Sastra | 5 dipakai dalam pendekatan ini, Akhirnya, perlu dicatat juga peng: gunaan konsep biologis dalam menelusuri evolusi sastra. Sayang sekali, transfer semacam itu sekarang sudan tidak tagi memenuhi harapan seperti yang ditawarkan semula, Memang me. tode iimiah bisa sangat bernilai pada pendekatan tertentu, atau bile dibatasi pada penggunaan teknik tertentu saja, misalnya pemakaian statistik dalam kritik naskah atau studi matra, Tetapi banyak pro motor studi ilmiah di bidang sastra mengaku gagal atau menjadi skeptis. Sisanya mengimpikan sukses di masa depan. Tak heran bila LA. Richards berseloroh bahwa ilmu sarafiah yang akan berjaya di masa depan untuk mengatasi semua masalah sastra.’ Bagaimanapun, kita harus kembali pada masalah-masalah yang muncul dari penerapan ilmudimu alam pada studi sastra Masalah-masalah ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan tidak diragukan lagi, memang ada suatu kawasan tempat dua metodolog) tersebut saling bersinggungan atau bahkan bertumpang tindih. Metode-metode dasar seperti induksi, deduksi, analisis, SiS. dan perbandingan sudah umum dipakai di setiap jenis iimu pe ngetahuan yang sistematis, termasuk dalam studi sastra. Tetapi ada pemecahan lain yang muncul dengan sendirinya: studi sastra memiliki metode-metode yang absah dan ilmiah, walau tidak selalu sama dengan metode ilmu-ilmu alam. Hanya orang yang berpikiran picik saja tidak mengakui sumbangan ilmu-ilmu budaya dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Jauh sebelum pesatnya per- kembangan ilmu pengetahuan, sebenarnya filsafat, sejarah dan imu kenegaraan, teologi, dan bahkan filolog) telah mengembangkan metode-metode yang absah. Sumbangan ilmu-iimu itu barangkall agak tenggelam oleh kemenangan teoretikus dan praktisi imu-iimu éksakta pada zaman modern, tetapi sumbangan iimu-iimu budaya letap nyata dan dirasakan sampai sekorang. Jika disempurnakan, iimudimu budaya dapat mengukuhkan peranannya kembail, Hanya Perlu ditekankan di sini bahwa tujuan limu-ilmu alam berbeda de- Agan tujuan ilmu-iimu budaya. Dp cangen Canon 6 | Teori Kesusastraan Yang rumit adalah menjabarkan tina aca tahun 41883, Wilhelm-Dilthey membedakan metode iim ‘A alam denga, sejarah, dengan cara mengontraskan antara oe jasan dan pema, haman.‘ Menurut Dilthey, seorang ilmuwan melihat suatu peristiyi, dari penyebabnya, sedangkan seorang sejarawan mencoba mema, hami maknanya. Proses pemahaman ini bersifat individual dan bahkan subjektif. Setahun kemudian, Wilhem Windelband (seorang sejarawan filsafat terkemuka) juga menyerang pandangan bahwa ilmu sejarah harus meniru metode ilmu-ilmu alam.° Para ahii iimy pengetahuan alam membuat hukum-hukum yang bersifat umum, sedangkan sejarawan mempelajari fakta yang unik dan jarang terjadi. Pandangan ini dikembangkan dan sedikit disempurnakan oleh Heinrich Rickert. la tidak menekankan perbedaan antara me- tode generalisasi dan individualisasi, tetapi menyorot perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu budaya.° IImu budaya, menurutnya, tertarik pada hal-hal yang konkret dan individual. Tetapi hal-hal yang individual itu hanya dapat ditemukan dan dipahami dengan mengacu pada sistem nilai—nama lain dari kebudayaan. Di Prancis, A.D. Xenopol membedakan ilmu-ilmu alam dan sejarah. IImu-ilmu alam mempelajari "fakta-fakta yang berulang”, mengkaji "fakta-fakta yang silih berganti”. Di Italia, Benedetto Croce memakal metode sejarah—yang berbeda dengan metode ilmu-iImu alarm—untuk menjabarkan seluruh pandangan filsafatnya.7 iika kita hendak membahas Perbedaan kedua ilmu di atas secara kta mengora toe Petlu menentukan lebih dahulu sikap acam masalah klasifikasi ilmu, filsafat » sedangkan sejarah Sastra dan Studi Sastra | 7 apa persamaannya dengan orang-orang Inggris, dengan tokoh-tokoh Renaisans, dengan orang-orang yang sezaman dengannya (yaitu zaman Elizabeth) atau dengan semua penyair; dengan dramawan lain atau dengan dramawan periode Elizabeth. Yang ingin kita ketah- ui sebetuinya adalah kekhasan Shakespeare dan apa yang membuat Shakespeare menjadi Shakespeare. Jelas, ini adalah soal indivi- dualitas dan nilai, Bahkan dalam mempelajari suatu periode, aliran, atau satu kesusastraan nasional tertentu, seorang ilmuwan sastra pasti akan mencari kekhususan, ciri-ciri khas, dan kualitas tertentu yang membedakannya dengan periode, aliran, atau kesusastraan nasional lain. Ada satu bukti lain yang menunjukkan bahwa individualitas le- bih penting dipelajari: usaha-usaha untuk mencari hukum-hukum umum dalam kesusastraan ternyata sering gagal. Louis Cazamian, misalnya, mencoba membuktikan apa yang disebutnya sebagai hukum sastra Inggris. Menurut teoretikus itu, “alam pikiran bangsa Inggris” bergerak seperti ayunan bandul, antara dua kutub, yaitu perasaan dan pikiran. (la menyatakan lebih lanjut bahwa menjelang abad ke-20, gerakan bandul ini semakin cepat.) Tetapi hukum ini ter- nyata kurang sahih dan bahkan boleh dikatakan keliru sama sekali. Jika diterapkan pada pembabakan sejarah kesusastraan Inggris, mulai periode Victoria (1883-1901), hukum ini sudah tidak cocok lagi. "Hukum-hukum” semacam ini kebanyakan hanya berdasarkan sejumlah gejala psikologis seperti aksi dan reaksi, konvensi dan pemberontakan, yang meskipun tidak bisa diragukan, tidak banyak membantu kita memahami proses-proses kesusastraan. Fisika memang telah berhasil gemilang dengan teori umumnya dalam hukum-hukum listrik, panas, gaya berat, dan cahaya. Tetapi di bi- dang sastra, hukum-hukum yang umum justru tidak membantu mencapai sasaran. Semakin umum, hasilnya akan semakin abstrak dan kosong, dan semakin jauh kemungkinan kita untuk memahami objek studi sastra yang konkret sifatnya, yaitu karya sastra. Singkatnya, ada dua jalan keluar yang ekstrem. Cara pertama Dp cangen Canon 8 | Teori Kesusastraan adalah mengikuti metode-metode ilmiah atau ilmu sejarah, dengan “huke sekadar mengumpulkan fekte-fakta atau menyus' a kedua adalah menekankan sejarah yang sangat umum. Car subjektivitas dan individualitas, serta ket jalan anti-ilmiah yang disebut terakhir ini, ekstrem, jelas berbahaya. “Intuisi” pribadi dapat mengerah pada "apresiasi” yang bersifat emosional saja, St Penekanan pada “individualitas” dan “keunika' laupun merupakan reaksi sehat terhadap kece: unikan karya sastra. Tetapi jika diterapkan secara satu subjektivitas total, karya sas' was nderungan main generalisasi—dapat membuat orang lupa bahwa tak ada satu karya sastra pun yang seratus persen “unik”. Kalau ada maka karya sastra itu tidak mungkin dapat dipahami sama sekali. Memang betul, hanya ada satu Hamlet karya Shakespeare, atau satu buah sajak karangan penyair Amerika abad ke-19, Joyce Kilmer, berjudul "Pohon- Pohon”. Tapi setiap onggokan sampah juga bisa dikatakan unik, sebab pasti berbeda proporsi, letak, dan senyawa kimianya dengan onggokan sampah lain. Lagi pula, semua kata yang membangun setiap karya sastra pada dasarnya bersifat "umum”, mewakili pengertian tertentu dan termasuk penggolongan jenis kata tertentu; tidak ada yang khusus dan berdiri sendiri. Perdebatan tentang yang “universal” dan yang "khas” dalam kesusastraan sudah mulai sejak Aristoteles menyatakan bahwa puisi lebih bersifat universal, dan karenanya lebih filosofis daripada sejarah. (Sejarah mementingkan hal-hal khusus.) Dalam kesusastraan Inggris, perdebatan ini dimulai ketika Samuel Johnson (seorang sastrawan dan kritikus yang produktif semasa hidupnya, 1709-1784) menyatakan bahwe penyair oe emit pada bunge tulip” (count the kaitikus masa kini tidak hei nya, tokoh-tokoh beraliran Romantik en soba UG Mtakeli ea Is-hablsnya menekankan sifat khusus dati , of in sifat konkretnya.? " me perigee bahwa setiap karya sastra pada dasarnya indfitdusl:den unum sen bersifat khusus, atau lebih tepat lagi: ‘aligus. Yang dimaksudkan dengan indivi- rkenal Dp cangen Canon Sastra dan Studi Sastra | 9 dual di sini tidak sama dengan seratus persen unik atau khusus". Seperti setiap manusia—yang memiliki kesamaan dengan umat manusia pada umumnya, dengan sesama Jenisnya, dengan bang- sanya, dengan kelasnya, dengan rekan-rekan seprofesinya—setiap karya sastra mempunyai ciri-ciri yang khas, tetapi juga mempunyai sifat-sifat yang sama dengan karya seni yang lain. Jadi, kita dapat membuat generalisasi terhadap karya sastra dan drama periode tertentu, atau drama, kesusastraan, dan kesenian pada umumnya. Sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra sama-sama mencoba mencirikan kekhasan sebuah karya sastra, seorang pengarang, suatu periode, atau kesusastraan nasional tertentu. Tetapi usaha menguraikan ciri-ciri khas karya sastra hanya dapat dilakukan secara universal jika didasarkan pada suatu teori sastra. Teori sastra inilah yang sangat dibutuhkan oleh studi sastra saat ini. Ini tidak berarti bahwa pemahaman dan apresiasi tidak penting lagi. Pemahaman dan apresiasi adalah syarat yang harus dipenuhi sebelum kita mengembangkan pengetahuan dan pemikiran terhadap karya sastra. Akan tetapi, bagaimanapun pentingnya keahlian mem- baca bagi seorang ilmuwan sastra, studi sastra bukanlah sekadar alat bantu untuk mendukung pemahaman terhadap karya sastra Ini jelas bukan tujuan sebuah ilmu pengetahuan yang sistematis. Pemahaman hanyalah prasyarat. Meskipun pemahaman itu dicapai melalui "membaca” secara kritis dan teliti, keahlian membaca barulah merupakan tujuan yang harus dicapai secara pribadi saja. Keahlian membaca memang sangat diperlukan dan menjadi dasar untuk membudayakan apresiasi sastra dalam masyarakat. Tetapi keahlian atau seni membaca tidak dapat menggantikan studi sastra, yang jangkauannya melampaui apresiasi perorangan. Studi sastra adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus-menerus. Dp cangen Canon BAB 2 SIFAT-SIFAT SASTRA asalah pertama yang harus kita pecahkan menyangkut he pokok bahasan studi sastra. Apakah sastra itu? Apakah yang bukan sastra? Apakah sifat-sifat khas sastra? Kedengarannya sepele, tetapi pertanyaan-pertanyaan itu jarang dijawab dengan tuntas. Salah satu batasan "sastra” adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Jadi, ilmuwan sastra dapat mempelajari "profesi ke- dokteran pada abad ke-14”, "gerakan planet pada Abad Pertengah- an” atau "ilmu sihir di Inggris dan New England”. Edwin Greenlaw (teoretikus sastra Inggris) mendukung gagasan ini: "segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan termasuk dalam wile- yah kita” ("Nothing related to the history of civilization is beyond our province”), katanya. Ilmuwan sastra "tidak terbatas pada belles letters atau manuskrip cetakan atau tulisan dalam mempelajari sebuah periode atau kebudayaan” ("not limited to belles-letters or even to printed or manuscript records in our effort to understand a period or civilization"), dan kerja ilmuwan sastra harus dilihat "dari sumbangannya pada sejarah kebudayaan”*("in the light of its possible contribution to the history of culture”). Menurut teori Greenlaw dan praktik banyak ilmuwan lain, studi sastra bukan hanya berkaitan erat, tapi identik dengan sejarah ke- budayaan. Kaitan studi semacam ini dengan sastra hanya terletak Pada perhatian terhadap hasil tulisan dan cetakan. Untuk mendu- kung teori ini, bisa saja dikatakan bahwa para sejarawan terlalu terpaku pada sejarah politik, sejarah militer, sejarah ekonomi, dan mengabaikan masalah-masalah lain, sehingga ilmuwan sastra ber- Dp cangen Canon Sl Sifat-Sifat Sastra [11 hak menduduki kawasan tetangganya. Memang tak ada yang ber- hak melarang seorang ilmuwan memasuki wilayah yang diminatinya dan mempelajari sejarah kebudayaan dalam arti luas, karena tentu banyak manfaatnya. Tapi akhirnya studi semacam ini bukan studi sastra lagi. Ini bukan sekadar debat kusir soal terminologi. Sebetul- nya, studi yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan cenderung menggeser studi sastra yang murni. Sebab dalam studi kebudayaan, semua perbedaan dalam teks sastra diabaikan. Kriteria-kriteria luar masuk dalam wilayah sastra. Akibatnya, sastra akan dinilai berharga sejauh bermanfaat bagi disiplin lain. Menyamakan sastra dengan sejarah kebudayaan berarti menolak studi sastra sebagai bidang ilmu dengan metode-metodenya sendiri Cara lain untuk memberi definisi pada sastra adalah memba- tasinya pada "mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang di- anggap "menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya”. Dalam hal ini, kriteria yang dipakai adalah segi estetis, atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Di antara puisi lirik, drama, dan cerita rekaan, mahakarya dipilih berdasarkan pertimbangan estetis. Buku-buku lain dipilin karena reputasinya atau kecemerlangan ilmiahnya, ditambah penilaian estetis atas gaya bahasa, komposisi, dan kekuatan penyampaian. Ini adalah cara yang lazim dipakai untuk berbicara tentang sastra. Dengan mengatakan bahwa "ini bukan karya sastra”, kita sekaligus menjatuhkan suatu penilaian. Demikian pula jika kita menggolongkan buku sejarah, filsafat, atau ilmu pengetahuan sebagai "karya yang bernilai sastra”. Memang banyak sejarawan sastra memasukkan karya-karya ahli filsafat, sejarah, teologi dan moral, politik, dan ilmuwan lain dalam pembahasan. Tidak mungkin kita menyusun sejarah sastra Inggris abad ke-18 tanpa menyebut Berkeley, Hume, Butler, Gibbon, Burke, atau Adam Smith. Tapi pembicaraan mengenai tokoh-tokoh budaya di atas biasanya lebih pendek dari ulasan tentang penyair, dramawan, dan novelis, dan pembicaraan pun terbatas pada segi €stetis saja. Pembahasan tentang tokoh-tokoh di atas dalam kaitan Dp cangen Canon oe: | 12 | Teori Kesusastraan dengan bidang studi mereka tidak mendalam. Hume memang tidak bisa dinilai lain kecuali sebagai ahli filsafat, Gibbon sebagai seja. rawan, Butler sebagai tokoh Kristen dan ahli moral, dan Adam Smith sebagai ahli moral dan ekonomi. Tetapi karena sejarawan sastra tidak otomatis bisa menjadi sejarawan bidang-bidang di luar sastra maka hasilnya kurang memuaskan. Biasanya pembahasan menge- nai para pemikir di atas singkat saja, tanpa konteks yang lengkap dan tanpa pemahaman mengenal sejarah masing-masing disiplin: sejarah filsafat, teori etika, historiografi, dan teori ekonomi. Dalam hal ini, sejarawan sastra hanya menjadi sekadar pengumpul, yang memadai. memasuki kawasan orang lain tanpa bekal yang Untuk tujuan-tujuan pendidikan, studi mahakarya memang sa- ngat dianjurkan. Kita semua tentunya setuju bahwa mahasiswa— terutama yang baru mulai belajar—harus membaca buku-buku bermutu, bukan sekadar membaca kumpulan data atau buku yang menarik karena nilai sejarahnya saja®. Tetapi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan sejarah, prinsip ini sukar dipertahankan. Khususnya untuk sejarah sastra, pembatasan pada mahakarya akan mengaburkan kontinuitas tradisi, perkembangan genre sastra, serta proses-proses kesusastraan. Lagi pula, dengan menerapkan batasan ini, latar belakang sosial, linguistik, ideologi, dan pengaruh-pengaruh keadaan lain menjadi tidak berarti. Dalam ilmu sejarah, filsafat, dan ilmu-ilmu lain, pendekatan mahakarya ini memberi penekanan berle- bihan pada segi "estetis”. Akibat yang bisa terjadi adalah: satu-satu- nya buku ilmiah Inggris yang dianggap layak baca hanyalah karya Thomas Huxley saja. Mau tak mau, kriteria ini memang cenderung memilih ilmuwan populer seperti Huxley daripada penernu-penemu besar seperti Darwin, Bergson, dan Kant. Tampaknya istilah "sastra” paling tepat diterapkan pada sen! sastra, yaitu sastra sebagai karya imajinatif. Memang ada sedikit kesulitan dalam menggunakan istilah ini. Tapi istilah lain, yaity “fiksi” (fiction) dan "puisi” (poetry), terlalu sempit pengertianny® Sedangkan istilah "sastra imajinatif” (imaginative literature) 42" a Dp cangen Canon — Sitat Sifat Sastra | 13 ballesvatter (tulisan yang indah dan sopan’, berasal dari bab. yeis, AuTANS lebih Menyerupal pengertian etimolog! agak Aurang cocok dan bisa member! pengertian yang kell, amin pada Karya tulis atau cotak, Padahy Merature (yang berasal dari kata Latin itera) mengacu oharusnya kesusastraan juga tilah Jerman wortkunst atau sastra lisan, Dalam hal ini, meliputi istilah Rusia sfovesnost lebih luas jangkauannya dan lebih cocok, Cara yang paling mudah memecahkan masalah ini adalah meme: rine] penggunaan bahasa yang khas sastra, Bahasa adalah bahan untuk seni patung, traan, seperti batu dan tembag an, dan bunyi untuk seni musik. Tetapi harus dis baku kesus. untuk luki ri bahwa bahasa bukan benda mati (seperti batu), melainkan dat ciptaan manusia, dan mempunyai muatan budaya dan linguistlk dari kelompok pemakai bahasa tertentu. Untuk melihat penggunaan bahasa yang khas sastra, kita harus membedakan bahasa sastra, bahasa sehari-hari, dan bahasa ilmiah. Sayang, pembahasan Thomas Clark Pollock mengenai hal ini dalam bukunya, The Nature of Literature’, kurang memuaskan, terutama dalam membedakan bahasa sastra dan bahasa sehari-hari. Masalah ini sangat penting, tapi memang sulit dipecahkan, karena sastra- berbeda dengan seni lain—tidak memiliki mediumnya sendiri. Apa- lagi sastra mengenal berbagai bentuk dan selalu mengalami per- ubahan. Yang lebih mudah adalah membedakan bahasa ilmiah dan bahasa sastra. Tapi sekadar mengontraskan "pikiran” dan "emosi" atau "perasaan” saja tidak cukup. Sastra juga mengandung pikiran, sedangkan’ bahasa emosional tidak melulu dimiliki oleh sastra. Coba kita dengarkan percakapan orang yang sedang bercinta atau berkelahi! Bagaimanapun, bahasa ilmiah bersifat "denotatif": ada kecocokan antara tanda (sign) dan yang diacu (referent). Tanda se- penuhnya bersifat arbitrary (dipilih secara kebetulan, tanpa aturan tertentu); jadi, dapat digantikan oleh tanda lain yang sama artinya. Tanda juga bersifat maya, tidak menarik perhatian pada dirinya sendiri, tapi menunjuk langsung pada yang diacunya. Dp cangen Canon 14 | Teori Kesusastraan Jadi, bahasa ilmiah cenderung menyerupal sistem tanda mate. matika atau logika simbolis. Salah satu contoh usaha menciptakan bahasa ilmiah yang sempurna adalah upaya Leibniz menyusun by hasa universal yang, dimulai pada akhir abad ke-l7. Dibandi dengan bahasa ilmiah, dalam beberapa hal bahasa s: mempunyai kekurangan. Bahasa sastra penuh ambiguitas dan ho stra tam monim (kata-kata yang sama bunyinya tapi berbeda artinya), serty memiliki kategori-kategori yang tak beraturan dan tak rasional on. perti gender (jenis kata yang mengacu pada jenis kela nin dalam tata bahasa). Bahasa sastra juga penuh dengan aso: pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya. De kata lain, bahasa sastra sangat “konotatif” sifatny bukan sekadar bahasa referential, yang hanya me hal tertentu. Bahasa sastra mempunyai fungsi ekspre jukkan nada (tone) dan sikap pembicara atau penulisny sastra berusaha memengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca. Ada perbedaan lain lagi antara banasa sastra dan bahasa ilmiah. Yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda, simbolisme suara dari kata-kata. Berbagai macam teknik diciptakan (misainya aliterasi dan pola suara) untuk menarik perhatian pembaca kepada kata-kata dalam karya sastra. Perbedaan dengan bahasa ilmiah ini bisa dilihat dalam tingkatan- tingkatan yang berbeda pada berbagai jenis sastra. Misainya, dalam Novel pola suara kurang penting dibandingkan dalam puisi lirik tertentu. Elemen-elemen ekspresif lebih sedikit terdapat dalam "novel-novel objektif”, yang menyamarkan atau menyembunyiken sikap pengarang, daripada dalam lirik yang “bernada pribadi”. Segi-segi pragmatis Sangat kecil porsinya pada puisi-puisi murn!. tapi memenuhi novel dan puisi satiris dan didaktis. Tingkat inte: lektualitas bahasa pun berbeda-beda. Ada puisi filosofis dan d daktis, serta novel-novel yang menyorot masalah tertentu, yans Menggunakan bahasa mirip bahasa jimiah. Apa pun veriasi ya" kita dapatkan setelah mengamati suatu karya sastra, peroedaa” Dp cangen Canon Sifat-Sifat Sastra | 15 penggunaan bahasa sastra dan bahasa ilmiah sudah jelas: bahasa sastra berkaitan lebih mendalam dengan struktur historis bahasa, serta menekankan kesadaran atas tanda. Bahasa sastra memiliki segi ekspresif dan pragmatis yang dihindari sejauh mungkin oleh bahasa ilmiah. Yang lebih sulit adalah membedakan bahasa sastra dan ba- hasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari bukanlah suatu konsep yang, seragam. Bahasa percakapan, bahasa perdagangan, bahasa resmi, bahasa keagamaan, dan slang anak muda termasuk dalam bahasa sehari-hari. Lagi pula, apa yang sudah disebut sebagai ciri bahasa sastra, juga terlihat dalam penggunaan bahasa lainnya. Bahasa sehari-hari, misainya, juga mempunyai fungsi ekspresif. Kadarnya beragam, dari pengumuman resmi yang kering sampai pada ratap- an orang yang ditandai krisis emosi. Bahasa sehari-hari juga penuh konsep yang irasional dan mengalami perubahan konteks sesuai dengan perkembangan sejarah bahasa, walau adakalanya bahasa sehari-hari mengusahakan ketepatan seperti bahasa ilmiah. Me- mang jarang ada kesadaran atas tanda dalam bahasa sehari-hari. Tapi kesadaran ini muncul dalam simbolisme bunyi nama dan ke- jadian, serta dalam permainan kata. Tak bisa diragukan lagi, bahwa bahasa sehari-hari juga mem- Punyai tujuan mencapai sesuatu, untuk memengaruhi sikap dan tindakan. Tapi adalah salah bila kita membatasi fungsi bahasa sehari-hari pada komunikasi saja. Anak kecil yang mengoceh sen- dirian tanpa teman dan basa-basi orang dewasa yang tak bermakna menunjukkan banyak penggunaan bahasa yang tidak sepenuhnya dan tidak ditujukan terutama untuk komunikasi. Jadi, pertama-tama hanya secara kuantitatif saja dapat kita be- dakan bahasa sastra dan bahasa sehari-hari. Dalam karya sastra, Sarana-sarana bahasa dimanfaatkan secara lebih sistematis dan dengan sengaja. Dalam karya penyair yang subjektif, misalnya, kita Melihat suatu "pribadi” yang lebih jelas sosoknya dan lebih menonjol dari pribadi orang yang kita jumpai dalam situasi sehari-hari. Ada Dp cangen Canon ar | 16 | Teori Kesusastraan tipe-tipe puisi tertentu yang dengan sengaja memakai Paradoks, ambiguitas, pergeseran arti secara kontekstual, asosiasi irasiona| dengan menggunakan kategori tata bahasa seperti gender dan tense. Bahasa puitis mengatur, memperkental sumber daya bahasa sehari-hari, dan kadang-kadang sengaja membuat pelanggaran-pe- langgaran untuk memaksa pembaca memperhatikan dan menyadari- nya. Cara-cara di atas banyak yang sudah dipakai dan diciptakan se. belumnya pada karya sastra berbagai generasi. Pada kesusastraan tertentu yang sudah sangat maju (dan terutama zaman-zaman tertentu), si penyair hanya mengikuti konvensi yang sudah mapan: boleh dikata, bahasalah yang memberi muatan puitis pada karya si penyair. Bagaimanapun juga, setiap karya sastra menciptakan suatu keteraturan, menyusun, dan memberi kesatuan pada bahan baku- nya. Kesatuan ini terkadang sangat longgar (misalnya pada sketsa atau cerita-cerita petualangan), tetapi terkadang meningkat pada Puisi-puisi tertentu yang rumit dan sangat beraturan. Pada puisi semacam itu, tak mungkin kita mengubah atau mengganti posisi satu kata pun tanpa merusak efek keseluruhannya. Perbedaan pragmatis antara bahasa sastra dan bahasa se- hari-hari lebih jelas. Segala sesuatu yang mendorong kita untuk melakukan tindakan langsung yang konkret, sukar kita terima Sebagal puisi. Kalaupun kita terima, kita akan memberinya label Sebagal karya retorik. Puisi-puisi yan ig Murni memengaruhi kita secara lebih subtil, Seni menciptakan Sejenis kerangka yang menempatkan setiap Pernyataannya di luar dunia nyata. Kita terlihat dalam berbagai jenis Ujaran. Kon 'sepsi kita terhadap sastra akan menjadi sempit kalau kita menge! luarkan semua jenis seni enorme reine 4 Sifat-Sifat Sastra | 17 propaganda, puisi didaktis atau satiris dari kawasan sastra. Kita harus mengakui bentuk-bentuk transisi seperti esai, biografi, dan sastra retorik lainnya. Pada berbagai periode sejarah, kawasan fungsi estetis meluas dan menyempit: pada periode-periode ter- tentu, surat-surat pribadi dan khotbah dianggap sebagai bentuk seni, Sedangkan sekarang, sesuai dengan tuntutan zaman untuk menghindari kesemrawutan jenis sastra, fungsi estetis tampaknya dipersempit. Kita melihat penekanan pada kemurnian seni sebagai reaksi terhadap panestetisisme yang disuarakan oleh ahli-ahli este- tika pada akhir abad ke-19. Memang kita dapat melihat unsur-unsur estetis—seperti gaya dan komposisi—pada esai ilmiah, diskusi fi- safat, pamflet politik, dan khotbah. Meskipun demikian, sebaiknya pengertian sastra kita batasi pada karya-karya yang dominan fungsi estetisnya. Sifat-sifat khas sastra muncul paling jelas bila dilihat dari aspek referensialnya (acuan). Marilah kita menengok genre sastra tradi- sional seperti lirik, epik, dan drama. Dalam ketiga jenis sastra itu, acuannya adalah dunia fiksi atau imajinasi. Pernyataan dalam se- buah novel, puisi, atau drama, tidak dapat dianggap benar secara harfiah, dan juga bukan merupakan proposisi logis. Ada perbedaan yang mendasar dan penting antara pernyataan dalam novel sejarah atau novel Balzac (sastrawan Prancis) yang tampaknya menyam- paikan "informasi” tentang kejadian nyata, dan pernyataan sama yang muncul dalam buku sejarah atau sosiologi. Bahkan dalam lirik subjektif, "aku" penyair bersifat rekaan, yaitu "aku” dramatik, Seorang tokoh dalam novel berbeda dengan tokoh sejarah atau tokoh yang hidup. Tokoh novel muncul dari kalimat-kalimat yang Mendeskripsikannya, dan dari kata-kata yang diletakkan di bibirnya Oleh si Pengarang. Di luar karya sastra, tokoh itu tidak mempunyai masa alu, masa depan, dan kontinuitas hidup. Dengan pemikiran re manseeeanian en anna esac 20a pengarun q in oleh Hamlet di Wittenberg, ayah Hamlet—yang sejak awal drama sudah mati— 48 | Teor! Kesusastraan "pagaimana masa kecil tokoh-tokoh Wanita pa anak Lady Macbeth”.’ Padahal, hak | tidak diungkapkan dalam drama-drama | rokoh drama Shakespeare diperlakukay | jalam sastra tidak | terhadap anaknya, Shakespeare”, dan “bere hal di atas sam@ sekali tokoh-t padahal waktu dan ruang di ama dengan kehidupan nyata. Bahkan novel yang tampaknyg | > 4 i a paling realistis, Yan ditulis dengan gaya potongan kehidupan? i oleh para penulis naturalis, dibuat atas konvensi artistik tertenty, | ui perspektif sejarah akhir-akhir ini, kita melihay Terutama melal bahwa novel-novel naturalistis mempunyai kesamaan tema, tipe penokohan, pemilihan kejadian, dan cara penyusunan dialog. Kita juga melihat bagaimana konvenst dipegang teguh dalam drama yang. paling naturalistis sekalipun, bukan saja dalam kerangka adegan, melainkan juga dalam menangani ruang dan waktu. Bahkan dalam dialog yang paling realistis sekalipun, kita bisa menelusuri konvensi cara pemilihan dan pengaturan dialog, serta cara tokoh keluar ma- suk panggung.° Bagaimanapun besarnya perbedaan The Tempest (drama-bersajak karangan Shakespeare) dan A Doll's House (drama realistis karya Henrik Ibsen), namun keduanya sama-sama mengikutl Shakespeare. Jadi, seperti orang hidup, konvensi drama. Kalau kita memegang "fiksionalitas”, "ciptaan”, dan "imajinasi” ne ore ad eee mungkin kita mengacu pada karya-karya kana Clon \ peare, Balzac, Keats, dan bukan pada karya- flosete, we ean Bossuet, atau Emerson yang lebih bersifat pa Pato Repos eae di antara kedua kutub ini, seperti karya fisafat, bebera en na Ce besar) ternyata ickaen, wn rane menguralken a faktor-faktor di atas bersif dee a nsenal-sastra tenses besar dan berpengeruh tig deskriptif, tidak evaluatit. Karya yan6 digolongkan menjadi targa priigiedaeganna juga menawarkan analis - eon filsafat, pamflet politik—yané Hie bade 'sis estetis, stilistika, dan komposisi sepett astra. Perbedzannya hanyalah: unsur fiksionalltas Dp cangen Canon Sifat-Sifat Sastra | 19 tidak ada pada karya-karya di atas. Konsepsi sastra semacam ini akan meliputi semua jenis cerita rekaan, termasuk novel, puisi, dan drama yang paling buruk. Klasifikasi seni memang perlu dibedakan dari evaluasi. Ada satu catatan untuk menghindari kesalahan. Istilah sastra sebagai karya “imajinatif” di sini tidak berarti bahwa setiap karya sastra harus memakai imaji (citra). Bahasa puitis memang penuh dengan pencitraan, dari yang paling sederhana sampai pada sistem mitologi dalam puisi-puisi penyair Inggris zaman Neoklasik, Blake, dan penyair awal abad ke-20, Yeats. Tetapi pencitraan tidaklah identik dengan rekaan; jadi, bukan merupakan ciri khusus karya sastra. Banyak puisi bagus yang tidak memakai imaji; bahkan ada yang disebut “puisi pernyataan”.° Yang dimaksud dengan pen- citraan di sini berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran abli-ahli estetika seperti Visher dan Eduard von Hartman. Di bawah penga- tuh Hegel, mereka memberi batasan bahwa semua karya seni adalah the sensuous shining forth of the idea ("bersinarnya ide secara indrawi”). Aliran lain (Fidler, Hildebrand, Riehl) menganggap bahwa semua karya seni adalah karya yang sepenuhnya tampak (pure visibility).” Tetapi banyak karya sastra tidak membangkitkan imaji indrawi. Kalaupun ada, imaji itu muncul secara kebetulan dan kadang-kadang.® Bahkan dalam menampilkan tokoh, seorang pe- Ngarang tidak selalu perlu memakai citra klasik. Tokoh-tokoh yang diciptakan pengarang Rusia, Dostoevsky, dan novelis besar Inggris, Henry James, misainya, sukar dibayangkan sosok fisiknya, tetapi kita mengenal segala sesuatu tentang pikiran, motivasi, penilaian, dan keinginan-keinginan mereka. Biasanya penulis membuat suatu gambaran umum yang ske- Matis, yang dibangun atas satu kecenderungan fisik tertentu. Hal ini Sering dilakukan oleh Tolstoy (pengarang Rusia) dan Thomas Mann tes can pe Sa agar abad ke-19, Wiliam Makepeace ned ae a seem i} ray. Hal ini Menunjukkan Dp cangen Canon 20 | Teori Kesusastraan pengarang cukup memberikan gambaran umum yang skematis saja dan tidak perlu dipenuhi dengan detail. Kalau kita harus memvisualisasikan getiap metafora dalam puisi, swalahan. Ada pembaca barangkali kita akan menjadi bingung dan ke\ an Ada isualisasikan teks dan memang visualisasi sangat pi ini adalah masalah psikologis bahwa sebenarnya yang biasa memvi dituntut oleh teks-teks tertentu. Tetal 1 yang tidak boleh disamakan dengan analisis teknik metafora penyair, Teknik-teknik ini merupakan pengaturan proses mental yang juga terjadi di luar bidang sastra. Metafora hadir secara tersembunyi dalam bahasa sehari-hari, dan banyak muncul dalam slang dan kiasan populer. Istilah yang g abstrak pun sebetulnya berasal dari kaitan fisik, yan mengal palin Jami transfer metaforis (memahami, menjabarkan, menghilangkan, mewujudkan, menjadikan subjek, otesis). Seperti halnya simbol-simbol dan mitos Germanik, Keltik, dan Kristen, puisi ita pada sifat metaforis bahasa. g sudah kita bicarakan— melalui membuat hip kebudayaan (klasik Yunani, menghidupkan dan menyadarkan ki Perbedaan sastra dan nonsastra yan; pribadi, pengolahan dan penyampaian organisasi, ekspresi litas—sebenarnya me medium, tujuan yang tidak praktis, fiksional rupakan pengulangan dar istilalvistilah estetike yang sudah tua seperti "kesatuan dalam keragaman” (unity in variety), "komtemplas! objektif' (disinterested contemplation), "distansi estetis” (aesthetic distance), "penciptaan kerangka seni” (framing), "ciptaan” (inver tion), "imajinasi", dan "kreasi”. Tiap istilah mengacu pada salah satu aspek karya sastra, satu sifat khas dari kecenderungan semantis karya sastra. Tidak satu pun istilah di atas dengan sempurné mene rangkan sifat sastra. Tapi paling tidak, ada sebuah kesan umutT yang timbul: karya sastra bukan objek yang sederhana, melainkan objek yang kompleks dan rumit. Terminologi yang bias@ dipakel, ee menyebut sasta sebagai “organisme’, sedikt menyesatt@? Krein to arch unity in variety), Lagi pula, istitah ini membuat S25" lengan bidang biologi, padahal tidak selalu demikian- ada —_— | Sifat-sifat Sastra | 21 pula istilah "identitas isi dan bentuk” (identity of form and content). frasa ini menekankan kaitan erat unsur-unsur karya sastra, namun terlampau sederhana, Frasa ini membuat ilusi bahwa analisis salah satu elemen dari sebuah artefak, isi atau bentuknya, sama man- faatnya. Akibatnya, kita dibebaskan untuk tidak melihat karya sastra sebagai suatu totalitas. "Isi” dan "bentuk” adalah frasa yang sudah dipakai terlalu luas dan menyimpang dari maksud awainya. Frasa ini terlalu menciptakan dikotomi dalam karya sastra. Analisis modern harus mulai mempelajari hal-hal yang lebih rumit, yaitu modus ke- beradaan karya sastra dan sistem stratanya.° BAB 3 FUNGSI SASTRA alau kita berbicara tentang sastra secara koheren, fungsj Hix sifatnya tidak dapat dipisahkan. Fungsi puisi sesuaj dengan sifat-sifatnya: setiap benda atau jenis benda berfungsi pa- ling tepat dan efisien sebagai dirinya sendiri. Manfaat kedua baru diperoleh jika fungsi utamanya habis: mesin pintal sekarang menjadi hiasan atau benda museum, piano kotak yang rusak dijadikan meja. Sebaliknya, sifat suatu benda juga mengikuti fungsinya: apa yang dapat dilakukannya, Sebuah artefak mempunyai struktur menurut fungsinya, baru kemudian mendapat tambahan hiasan sesuai waktu dan bahan yang ada, dan sesuai selera pembuatnya. Pada setiap karya sastra, pasti ada juga beberapa hal yang tidak fungsional, meskipun tambahan itu dapat diterima berdasarkan alasan lain. Apakah pengertian tentang sifat dan fungsi sastra berubah Sepaniang sejarah? Pertanyaan ini agak sulit dijawab. Kalau kita mar een i ei dan agama tidak dibedakan hiss on Wee ete Tee Sastrawan Yunani seperti Feast ae een Salah satu nilal kognitif drama dan novel adalah segi psikologis- nya. "Novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat Manusia daripada psikolog” (The novelist can teach you more about human nature than the psychologist”). Ini adalah pernyataan yang sering kita dengar. Karen Horney menunjuk pada Dostoevsky, Shakespeare, Ibsen, dan Balzac sebagai sumber studi psikologi. E.M. Forster (Aspect of the Novel) mengatakan bahwa sedikit sekali orang yang kita kenal jalan pikiran dan motivasinya. Oleh karena itu, novel Sangat berjasa mengungkapkan kehidupan batin tokoh-tokohnya.° Barangkali, novel-novel besar memang bisa menjadi buku-sumber 28 | Teori Kesusastraan bagi para psikolog, atau menjadi kasus sejarah (memberikan jlys, trasi dan contoh). Tetapi Kini kita kembali dihadapkan pada kenyata, an bahwa psikolog akan mengambil sejumlah nilai tipikal Novel, : Pere Goriot akan dia lalu memakainya secara umMUM: tokoh Pere Gi diambj dari latar keseluruhannya (the Maison Vauquer) dan dari konteks tokoh-tokoh yang lain. : : Max Eastman (seorang teoretikus yang juga menulis puisi) me. nyangkal bahwa pada abad imu pengetahuan “pikiran’ sastra" ikiran sastra" dapat mengungkapkan kebenaran. Bagi Eastman, " adalah pikiran amatir tanpa keablian tertentu dan warisan zaman pra-ilmu pengetahuan (prescientific) yang, memanfaatkan sarana verbal untuk menciptakan "kebenaran”. Menurut pendapatnya, ke- benaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yaitu suatu pengetahuan sistematis yang dapat dibuktikan. Novelis tidak mempunyai jalan pintas. Dunia yang diciptakannya akan dikontraskan dengan kebenaran di bidang ilmu sosial. Tapi menurut Eastman, pengarang—dan terutama penyair—mengira bahwa tugas utama mereka adalah menemukan dan menyampaikan pengetahuan, Padahal fungsi utama penyair, menurut pendapatnya, adalah membuat kita melihat apa yang sehari-hari sudah ada di depan kita, dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah kita ketahui.” vena ert aba yangsudah ada atau membertan gi Pembacanya? Pertanyaan ini sulit dij wab. Abakah pengarang mengi Ngingatkan ki | h kita lupakan, atau membua ngatkan kita pada hal-hal yang suda Ngan tiga sosok atau wai, aja te Fan nat cas ‘ ‘erputus-putus, Gambari fersembunyi di balik titik-titik atau gar Keseluruhan sebagel dees, a, tetapi kita tidak melihatnya seca! sain. a. Oscar Wilde memberikan Dalam bukunya berjudul intentio" Dp cangen Canon | i | | | | Fungsi Sastra | 29 cantik dan tidak mewakili tipe wanita cantik. Apakah ini contoh-contoh "pengetahuan” atau "kebenaran”? Kita ragu untuk mengiyakan. Kita cenderung mengatakan bahwa yang disebut di atas adalah contoh- contoh penemuan nilai persepsi atau kualitas estetis baru. Secara umum kita bisa mengerti mengapa ahli-ahli estetika ragu- ragu untuk menyangkal bahwa "kebenaran” merupakan kriteria atau ciri khas seni. Pertama, kebenaran adalah istilah kehormatan, dan dengan memakainya orang memberi penghargaan pada seni, dan pada nilai-nilai utama seni. Kedua, orang takut bahwa kalau seni tidak "benar”, berarti seni itu "bohong”, seperti tuduhan Plato. Sas- tra rekaan adalah "fiksi”, sebuah “tiruan kehidupan” yang artistik dan verbal. Sebetulnya, lawan kata "fiksi” bukan “kebenaran”, me- lainkan "fakta” atau "keberadaan waktu dan ruang”. Dalam karya sastra hal-hal yang mungkin terjadi (probability) lebih berterima daripada "fakta”.? Diantara karya seni, sastra—melalui pandangan hidup (Weltan- schauung) yang muncul dari setiap karya sastra—tampaknya me- ngesankan memiliki "kebenaran”. Filsuf atau kritikus menilai be- berapa "pandangan” lebih benar dari "pandangan” yang lain (Eliot berpendapat bahwa pandangan Dante lebih tepat dari pandangan Shelley atau Shakespeare), tapi setiap filsafat hidup tentu memiliki secercah kebenaran. Kebenaran sastra tampaknya merupakan kebenaran dalam sastra, yaitu suatu filsafat dalam bentuk kon- Septual sistematis dari luar bidang sastra yang dituangkan atau diwujudkan dalam sastra. Dalam pengertian ini, kebenaran Dante adalah teologi Katolik dan filsafat skolastik. Dalam konteks inilah kita meletakkan pandangan Eliot tentang puisi sebagai "kebenaran”. Kebenaran adalah wilayah para pemikir sistematis. Pengarang bukan Pemikir, meskipun mereka bisa menjadi pemikir, kalau tidak ada karya pemikir lain yang dapat mereka pakai dalam karya sastra."° Kontroversi ini bersifat semantik. Apa yang kita maksudkan dengan Pengetahuan”, "kebenaran”, "kognisi”, dan "kebijaksanaan”? Kalau semua kebenaran merupakan konsep dan proposisi, maka seni—ter- Dp cangen Canon 30 | Teori Kesusastraan masuk seni sastra—bukan bentuk kebenaran. Apalagi jika batasan positif reduktif yang diterapkan: kebenaran dibatasi pada apa yang dapat dibuktikan secara metodis oleh siapa saja. Alternatif lain adalah memakai kebenaran ganda atau Jama; jadi, tersedia berbagai cara untuk "memperoleh pengetahuan”, Atau kita membedakan dua tipe dasar pengetahuan, yang Masing. masing menggunakan sistem bahasa yang terdiri dari tanda-tanda; ilmu pengetahuan yang memakai cara diskursif (discursive), yakni membuat uraian panjang lebar dan seni yang memakai cara pre- sentasional (presentational), yakni langsung memberi wujud atau contoh. Apakah kedua sistem ini menyampaikan kebenaran? Sistem pertama dipakai oleh para pemikir dan filsuf. Yang kKedua meliputi mitos keagamaan dan puisi. Sistem yang kedua bisa disebut "benar” (true) dan "kebenaran” (the truth). Kata sifat membedakan letak keseimbangan: seni pada dasarnya indah, dan bersifat benar (dalam arti tidak bertentangan dengan prinsip kebenaran). Dalam bukunya, Ars Poetica, Archibald MacLeish berusaha menjabarkan sifat indah sastra dan filsafat dengan formula bahwa puisi "sama dengan: tidak benar”: puisi sama seriusnya dan sama pentingnya dengan filsafat (imu pengetahuan, kebijaksanaan) dan memiliki persamaan dengan kebenaran; jadi, mirip kebenaran Dalam imbauannya agar simbolisme presentasional diakui seb- agai bentuk pengetahuan, i , Susanne K. Langer menekankan pada seni plastis dan musik. Tam Paknya ia melihat sastra dalam beberapa ini, pengarang ‘Sok kebenaran. Istilah “propaganda” bih jelas. Dalam bahasa populer, isti- an doktrin yang berbahaya, yang di- Dp cangen Canon Fungsi Sastra | 31 sebarkan oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Dalam kata propaganda tersirat unsur-unsur: perhitungan, maksud tertentu, dan biasanya diterapkan dalam doktrin atau program tertentu pula.’? Dengan batasan ini, kita dapat menggolongkan sejumlah seni (dari jenis yang paling rendah pun) sebagai propaganda. Sedangkan seni yang baik, seni yang hebat atau Seni dengan huruf besar, bukan propaganda. Tapi kalau istilah propaganda diperluas hingga men- cakup "segala macam usaha yang dilakukan secara sadar atau tidak untuk memengaruhi pembaca agar menerima sikap hidup tertentu”, maka bisa dikatakan: semua seniman melakukan propa- ganda. Bahkan bertentangan dengan kalimat sebelumnya, semua seniman yang bertanggung jawab dan bersungguh-sungguh, wajib— secara moral—untuk melakukan propaganda. Menurut Montgomery Belgion, seorang sastrawan adalah seorang: “irresponsible propagandist’. That is to say, every writer adopts a view or to persuade the reader theory of life... The effect of the work is alway to accept that view or theory. This persuasion is always illicit. That is to e something, and that assent is say, the reader is always led to beli hypnotic-the art of the presentation seduces the reader... Eliot, yang mengutip Belgion, menambahkan dua kelompok lagi pada pengelompokan sastrawan sebagai pelaku propaganda tak bertanggung jawab. Pertama, kelompok penyair yang sukar digolong- kan sebagai pembuat propaganda. Kedua, kelompok sastrawan yang melakukan propaganda secara sadar dan bertanggung jawab, Seperti , Otto dan Dante. Menurut Eliot, kadar tanggung jawab dinilai dari maksud pengarang dan dampak sejarah."* Sebutan "pembuat Propaganda yang bertanggung jawab” kedengarannya mengandung Pertentangan, tetapi sebutan ini masuk akal jika dilihat sebagai Suatu ketegangan antara dua kutub. Seni yang serius menyiratkan Pandangan hidup yang bisa dinyatakan dalam istilah-istilah filosofis atau dalam sebuah sistem.'® Ada kaitan antara koherensi artistik dengan koherensi filosofis. Seniman yang bertanggung jawab tidak Dp cangen Canon ————=o=~= °° 32 | Teori Kesusastraan bermaksud mengacaukan pikiran dengan emosi, serta kesun, perasaan dengan pengalaman dan perenungan. Pandangan yang diartikulasikan seniman bertanggung Jawab tidak sesed karya propaganda populer. Pandangan hidup yang kompleks karya sastra tidak bisa mendorong orang melakukan tindakan naif dan sembrono dengan sugesti hipnotis. a, kita periu menyinggung konsepsi fungsi sastra dikenal dengan istilah *katarsis” (catharsis). Istilah ini berasa) dari bahasa Yunani—dipakai oleh Aristoteles dalam karyanya, The Poetics, dan mempunyai sejarah panjang. Apa yang dimaksud Aristo: teles dengan istilah ini masih diperdebatkan sampai sekarang. Tapi yang perlu kita simak adalah masalah yang timbul dari penggunaan istiiah itu. Fungsi sastra, menurut sejumiah teoretikus, adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. ‘Meng: melepaskan diri dari emosi itu. G Akhirny: ekspresikan emosi berarti konon telah terbebas dan Weltschmerz dengan menciptakan kat nya, The Sorrows of Young Werther. Seorang penonton drama ‘atau pembace novel katanya juga mengalami perasaan lega. EI mereka sudah diberi fokus dalam karya sastra, dan lepas pada sihir pengaiaman estetis mereka sehingga mereka mendapatkat "wetenangan pikiran” Tetapi apakah sastra melepaskan atau justru membangkl exnosi? Drama tragedi dan drama komedi, menurut Plato, “memupuk Gan menyuburkan emosi yang seharusnya kita matikan”, Atau, Kall Sastre momang membebaskan kita dari emosi, apakah ini Duka ~ outa ns tata mengaku hidup dalam dosa pad ents hewn a a f wept not, | who for Dido's siail- ‘buhen pada dona yong Man scipein [pack ge eet coun ae ia tangist. Apakah sejumtah kanye @ emosi dan sejumiah lainnya mele oman? Alau. barangkal Kits harus ast sift tanggapan mereka terhaday hpieiaeeaainidih uo arya ben! menimbuthan fatale? oa nn Jasalah ini akan kita bicarak#® Dp gan Canc Fungsi Sastra | 33 dalam bab tentang "Sastra dan Psikologi" (Bab 8) dan "Sastra dan Masyarakat” (Bab 9). Pendek kata, pertanyaan mengenai fungsi sastra sudah muncul sejak dahulu di dunia Barat, sejak Plato hingga sekarang. Ini bukan masalah yang diungkit oleh para penyair atau orang-orang yang suka puisi, sebab untuk orang-orang ini (meminjam kata-kata Ralph W. Emerson), beauty is its own excuse for being. Masalah ini justru dikemukakan oleh para ahli moral, filsuf, negarawan—wakil dari sejumlah nilai atau penguasa nilai-nilai. Apa sin kegunaan puisi? Mereka bertanya dan meragukan fungsi sastra dalam dimensi sosial dan kemanusiaan. Karena ditantang, penyair dan pembaca (sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab) terpaksa secara moral dan intelektual memberi jawaban. Ini dilakukan dalam Ars Poetica, dalam Defense dan Apology (tulisan-tulisan pembelaan) untuk sastra, yang Kurang lebih serupa dengan apologetics di bidang teologi. Menghadapi tantangan dan tuntunan untuk membuktikan fungsi, dengan sendirinya tulisan-tulisan pembelaan menekankan segi manfaat, bukan kenikmatan; dan dengan demikian menyangkut fungsi yang dikaitkan dengan hubungan ekstrinsik atau hubungan dengan hal-hal di luar sastra. Tetapi sejak gerakan Romantik, penyair berani memberikan jawaban berbeda jika ditantang masyarakat: jawaban yang disebut A.C. Bradley "puisi untuk puisi”. Dengan de- mikian, istilah "fungsi” lebih cocok dikaitkan dengan tulisan-tulisan yang bernada apologetiks (membela, mencari alasan). Dengan me- minjam istilah mereka, baiklah kita katakan bahwa puisi mempunyai banyak kemungkinan fungsi. Fungsi utamanya adalah kesetiaan pada sifat-sifatnya sendiri. BaB 4 TEORI, KRITIK, DAN SEJARAH SASTRA v etelah mempelajari apa sastra itu dan mengapa kita perly = _Mempelajarinya, kita harus menjajaki suatu studi sastra Yang Sistematis dan padu, Sayangnya, dalam bahasa Inggtis belum ada istilah yang cocok untuk studi sastra. Istilah adalah literary scholarship (“ilmu sastra”) Pertama kedengarannya tic: yang umum dipakai dan “filologi”. Istitah yang ‘ak mencakup kritik sastra dan terlaly berbau akademis. Sebetulnya, hal itu tidak akan menjadi soal ka- 'au kata scholar (“ilmuwan’) kita letakkan dalam pengertian yang Iwas, seperti yang dilakukan oleh Emerson. Istilah “filologi” terlalu ferbuka pada kemungkinan salah pengertian, Dulu istilah ini bukan saja mencakup studi sastra dan linguistik, tetapi mencakup segala macam hasil pikiran, Puncak kejayaan filologi tercapai pada abad ke-19 di Jerman, tetapi dari judul-judul Majalah ilmiah yang beredar sekarang ( Philological Quarerly, dan Dp cangen Canon Teori, Kritik, dan Sejarah Sastra | 35 bang dari filologi, sebagai ilmu kebudayaan secara menyeluruh. Boeckh—sejalan dengan gerakan Romantisme Jerman—menyebut filologi sebagai ilmu yang diilhami "semangat kebangsaan”. Sekarang—karena pengertian etimologinya, dan berdasarkan hasil kerja para filolog—filologi sering dikaitkan dengan studi linguistik, tata bahasa historis, dan bahasa kuno. Karena istilah ini mempunyai banyak pengertian, lebih baik kita tidak memakainya untuk mengacu pada studi sastra. Istilah lain yang menggambarkan pekerjaan ilmuwan sastra ada- lah "penelitian”. Tetapi istilah ini kurang tepat karena tekanannya pada bahan-bahan, serta kurang membedakan bahan-bahan mana yang dicari dan mana yang sudah tersedia. Kalau kita pergi ke museum untuk membaca naskah kuno yang langka, kegiatan ini boleh disebut "penelitian”. Akan tetapi, duduk di kursi malas mem- baca cetakan ulang dari buku yang sama adalah jenis kegiatan yang lain. Istilah "penelitian” mengacu pada sejumlah kegiatan pendahuluan, yang sifat dan cakupannya tergantung pada perma- salahan yang diteliti istilah ini kurang mencerminkan kegiatan khas studi sastra yang lebih rumit, seperti membuat interpretasi, meneliti kekhasan suatu karya, dan memberi penilaian. Dalam wilayah studi sastra, perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Pertama-tama yang perlu dipilah adalah perbedaan sudut pandang yang mendasar: kesusas- trean dapat dilihat sebagai deretan karya yang sejajar, atau yang tersusun secara kronologis dan merupakan bagian dari suatu proses Sejarah. Selain itu, kesusastraan dapat dipelajari secara umum (melalui studi prinsip, Kategori, dan kriteria) atau secara khusus. (melalui telaah langsung karya sastra). Teori sastra adalah studi Prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan studi karya-karya konkret. disebut kritik sastra (pendekatan statis) dan sejarah sastra. Adakala- nya istilah kritik sastra dipakai untuk mencakup teori sastra. Tetapi Kedua istilah ini sebaiknya dibedakan. Aristoteles adalah teoretikus, Sedangkan Sainte-Beuve menonjol sebagai kritikus. Kenneth Burke 36 | Teori Kesusastraan lebih banyak berkecimpung di bidang teori sastra, sedangkan Rp Blackmur berkecimpung di bidang kritik sastra. Istilah “teori kegy. sastraan” (theory of literature)—seperti halnya judul buku inijugy mencakup "teori kritik sastra” dan "teori sejarah sastra”, Perbedaan-perbedaan di atas sangat jelas dan umumnya dapat diterima, tetapi yang jarang disadari adalah kenyataan bahwa ketiga bidang tadi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tak mungkin kita menyusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra, dan kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra. Teori sastra jelas hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra. Kriteria, kategori, dan skema tidak mungkin diciptakan secara in vacuo alias tanpa pijakan. Sebaliknya, tidak mungkin ada kritik sastra atau sejarah sastra tanpa satu set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan, dan generalisasi. Di sini muncul dilema yang sukar diatast: kita selalu membaca dengan sejumlah konsep yang sudah jadi di kepala kita. Prakonsepsi ini kemudian selalu berubah dan diperbaiki setelah membaca karya sastra. Proses ini bersifat dialektis. Teor dan praktik saling memengaruhi. Ada yang berusaha memisahkan sejarah sastra dari teori sast' dan kritik sastra. F.W. Bateson, misalnya, mengatakan bahwa séjé rah sastra menunjukkan A berasal dari B, sedangkan kritik sastlé menunjukkan A lebih baik dari 8.2 Hubungan yang pertama dapat dibuktikan, sedangkan yang kedua tergantung pada pendapat dat keyakinan. Tetapi perbedaan semacam ini sukar dipegang. Tidak ada satu data pun dalam sejarah sastra yang sepenuhnya neta! Penilaian selalu tersirat pada setiap pilihan bahan: ketika sejarav@" menentukan mana buku sastra dan mana yang bukan, berapa p2" Jang pembahasan untuk Pengarang ini dan berapa panjang untul Pengarang itu. Dalam menyusun sejarah, penentuan tangéal an Judul sudah merupakan penilaian—karena sejarawan harus nyeleksi beribu-ribu judul dan peristiwa. Yang paling netral adale” menyusun catatan penerbitan buku tahunan. Sejarawan name Dp cangen Canon -— Teori, Kritik, dan Sejarah Sastra | 37 perlu mencantumkan tanggal, judul penerbitan, dan data biografis pengarang. Tetapi jika menyangkut masalah yang lebih mendalam (misalnya mengenai kritik naskah, sumber, dan pengaruh), penilaian tidak dapat dihindari. Sebelum membuat pernyataan bahwa "Pope terpengaruh oleh Dryden”, misainya, harus diketahui dulu ciri-ciri khas Pope dan Dryden, dan harus lebih dahulu dibuat penilaian, perbandingan, dan pemilihan apa yang penting dan tidak penting untuk dibandingkan. Untuk mempelajari hasil kerja sama Beaumont dan Fletcher (dua penulis lakon Inggris zaman Elizabeth yang sering mengarang lakon bersama-sama), kita harus mempunyai gagasan tentang ciri gaya penulisan masing-masing pengarang. Tanpa prinsip penilaian semacam ini, perbedaan gaya pada drama tidak dapat dibuktikan. ‘Ada alasan lain untuk memisahkan sejarah sastra dari kritik sastra. Bahwa penilaian merupakan hal yang penting, tidak dapat disanggah. Tetapi dikatakan pula bahwa sejarah sastra mempunyal kriteria dan standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yang sudah lalu. Menurut ahli rekonstruksi sastra, kita harus masuk ke alam pikiran dan sikap orang-orang dari zaman yang kita pelajari. Kita harus memakai standar mereka dan berusaha menghilangkan segala prakonsepsi kita sendiri. Pandangan ini disebut “historisisme” dan dikembangkan secara konsisten di Jerman pada abad ke-19, meskipun dikritik oleh Ernst Troeltsch’, teoretikus sejarah yang terkenal pada masa itu. Pendekatan ini sudah menyebar ke Inggris dan Amerika, dan sudah banyak dipakai oleh sejarawan sastra. Hardin Craig, misalnya, mengatakan bahwa "menghindari cara berpikir anakronistik”* (avoidance of anchronistic thinking adalah prestasi ilmu sastra yang paling baik selama Ini. E.E. Stoll mempel- ajari konvensi panggung dan harapan penonton zaman Elizabeth berdasarkan teori bahwa rekonstruksi maksud pengarang adalah inti penelitian tentang sejarah sastra.° Teori semacam ini juga ter- Sirat pada penelitian tentang teori-teori psikologi zaman Elizabeth, misalnya doktrin humours atau konsepsi ilmiah dan pseudo ilmiah 38 | Teori Kesusastraan para penyair masa itu.* Rosemond Juve mencoba menerangkan asal mula dan arti pencitraan metafisik dengan mengaitkannyg pada logika Ramus yang populer dan dianut oleh John Donne serta penyair metafisik lainnye Penelitian-penelitian di atas memang meyakinkan kita bahwa tian n dan konvensi sastra yang periode mempunyai konsepsi penilaia berbeda-beda. Bahkan pernah disimpulkan bahwa setiap zaman merupakan satu kesatuan dengan tipe puisinya yang khas, dan tidak bisa dibandingkan dengan zaman lain. Pandangan ini dikemukakan ttle dalam bukunya, Idiom of ast / secara meyakinkan oleh Frederick A. Po' Poetry*. la menyebut posisinya sebagai pelopor critical relativisme ("relativisme penilaian”) dan mengatakan bahwa dalam sejarah pulsi terjadi shifts of sensibility ("pergeseran rasa”) dan total discontinuity ("tidak adanya kesinambungan”). Anehnya, dalam uraiannya, Pottle menekankan standar absolut di bidang etika dan agama. Pandangan mengenai sejarah sastra semacam ini menuntut kemampuan imajinasi, empati dengan masa silam atau dengan selera masa silam. Penelitian yang didasari oleh konsepsi ini mere- konstruksikan sikap hidup, konsepsi, prasangka, dan asumsi-asumsi yang mendasari berbagai macam kebudayaan. Sekarang kita tahu banyak tentang sikap orang Yunani terhadap dewa-dewa, wanita, budak, dan kita dapat menguraikan kosmologi Abad Pertengahan secara terperinci. Ada sejumlah penelitian yang menelusuri sudut pandang berbeda yang tersirat dari seni Byzantium dan Chin@- Pe ngaruh Spengler di Jerman menelorkan banyak penelitian tentang manusia Gotik dan Barok. Semua penelitian ini berusaha membult kan bahwa orang-orang di masa lampau terpisah dan hidup 6! alam yang lain dari orang-orang zaman sekarang. Rekonstruksi sejarah sastra telah berhasil memusatkan P' tian pada maksud pengarang, yang ditelusuri melalui sejarah dan selera. Asumsinya, jika kita dapat memastikan maksud peng rang, dan membuktikan bahwa maksud pengarangny tera masalah kritik sastra sudah selesai. Pengarang sudah menunait@ di erhe keritik Dp cangen Canon Teori, Kritik, dan Sejarah Sastra | 39 tugas zaman dan karyanya tidak perlu diulas lagi. Pendekatan ini mengakibatkan pengakuan standar tunggal dalam kritik sastra yang didasarkan pada sukses di zamannya. Dengan demikian, bukan hanya ada satu atau dua, melainkan ratusan konsepsi sastra yang berdiri sendiri, tak berhubungan, beragam, dan masing-masing da- pat dianggap "benar”. Gambaran tentang kesusastraan terpecah- pecah dan akhirnya tak berbentuk lagi. Yang terjadi adalah anarki nilai, atau tumbangnya nilai. Sejarah sastra terbagi atas fragmen- fragmen yang terpisah dan tak bisa dipahami secara keseluruhan. Pandangan yang lebih moderat menekankan adanya dua kutub yang tidak dapat dijembatani, yaitu aliran Klasik (diwakili oleh Pope) dan aliran Romantik (diwakili oleh Wordsworth). Yang pertama mem- buat puisi yang menyatakan dan yang kedua membuat puisi yang menyiratkan. Gagasan bahwa maksud pengarang adalah bahan utama studi sejarah sastra adalah keliru. Makna karya seni tidak sama atau ber- henti pada maksud pengarang. Karya sastra berdiri sendiri sebagai suatu sistem nilai. Keseluruhan maknanya tidak dapat dijabarkan melulu dari maksud pengarang dan zamannya, melainkan merupakan proses penambahan sepanjang sejarah kritik dari berbagai pembaca dan dari beberapa zaman yang berbeda. Tidak mungkin dan tidak perlu kita menolak proses ini, dan menganggapnya tidak relevan, lalu kembali melihat ke masa penciptaan saja. Tidak mungkin kita berhenti menjadi manusia abad ke-20 ketika mempelajari suatu karya masa lalu. Kita tidak bisa menghilangkan asosiasi dengan ba- hasa yang kita pakai sekarang, sikap yang baru dibentuk, dampak dan pengaruh dari abad kita sendiri. Kita tidak bisa membaca karya Homer atau karya Chaucer seperti orang membaca karya itu pada zaman ketika kedua pengarang itu masih hidup atau menjadi pe- Nonton Teater Dyonisius di Athena atau Teater Globe di London. Pasti ada perbedaan besar antara rekonstruksi imajinatif dan sudut Pandang orang-orang yang betul-betul mengalami masa lampau. Kita tidak bisa memercayai dan sekaligus menertawakan Dyonisius Dp cangen Canon 40 | Teori Kesusastraan seperti yang dilakukan penonton Bacchae (drama karya Euripides tempo hari.° Hanya sedikit di antara kita yang percaya secara harfiay, pada lingkaran neraka dan gunung api pencucian yang digambarkan Dante. Seandainya pun kita dapat merekonstruksikan makna Hamiy untuk penonton zamannya kita malahan mengurangi makna drama itu. Sebab dengan melakukannya, kita menekan kemungkinan adanya makna baru dan interpretasi baru yang diberikan oleh gene. rasi sesudahnya. Bukan berarti kita boleh menerima begitu saja ber. macam-macam interpretasi subjektif yang sembarangan dan keliry, Selalu perlu dibedakan mana pemahaman yang benar dan mana pemahaman yang salah. Seorang sejarawan sastra tidak akan puas menilai suatu karya sastra dari sudut pandang masa kini saja. la akan mengevaluasi masa lalu sesuai dengan kebutuhan gaya dan gerakan sastra masa kini. Mungkin lebih baik lagi jika sejarawan sastra bisa menyoroti karya sastra dengan sudut pandang zaman ketiga (yang tidak sama baik dengan zaman kritikus maupun pengarangnya) atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik pada karya sastra untuk memperoleh makna yang lebih menyeluruh. Dalam praktik, kita sukar memilih antara sudut pandang sejarah dan sudut pandang kekinian. Kita harus awas terhadap relativismé dan absolutisme yang keliru. Nilai bertumbuh dalam proses sejarah. bukan doktrin absolutisme yang menekankan unchanging human nature ("sifat manusia yang tetap") dan "universalitas sastra”. Kit? perlu mengambil sudut pandang lain yang mungkin cocok disebut sebagai "perspektivisme”. Kita perlu mengaitkan karya sast’é de- ngan nilai zamannya dan nilai sesudah zamannya. Kary S@st? sekaligus abadi (mempertahankan sejumlah identitas) dan historis: (melampaui proses perkembangan yang dapat ditelusuri). Relat me memotong-motong sejarah kesusastraan menjadi fragment men yang tidak berkesinambungan, sedangkan absolutisme he"? berlaku untuk waktu singkat saja atau berdasarkan gambara" ides dari luar bidang sastra (seperti Humanisme Baru, Marxismé dan tia aliran Neo-Thomis) yang mengabaikan sejarah keragaman sat | | il Dp cangen Canon Teori, Kritik, dan Sejarah Sastra | 41 Perspektivisme mengakui bahwa ada puisi, ada sastra, yang dapat dibandingkan semua zaman, walaupun bentuknya selalu berubah, berkembang, dan penuh dengan berbagai kemungkinan. Kesusas- traan bukan suatu seri karya yang unik dan tak punya kesamaan satu sama lain, dan bukan pula sejumlah karya yang terkurung oleh lingkungan waktu seperti zaman Klasik atau zaman Romantik, za- man Pope atau zaman Wordsworth. Sebaliknya, sastra juga bukan suatu block-universe ("semesta yang sudah tercetak"), serba sama dan tak berubah seperti yang yang dicita-citakan orang-orang zaman Klasik. Absolutisme dan relativisme sama-sama keliru. Tetapi yang lebih berbahaya adalah kecenderungan relativisme di Inggris dan Amerika sekarang, yang menjurus ke arah anarki nilai. Dalam kenyataan, tak ada sejarah sastra yang ditulis tanpa prin- sip seleksi dalam usaha memerinci ciri-ciri dan membuat penilaian. Sejarewan sastra yang menolak pentingnya kritik sastra sebetuinya melakukan kritik sastra tanpa disadari. Kritik mereka tidak asli ka- rena mengikuti standar tradisional dan reputasi saja. Contoh kritikus semacam itu adalah penggemar aliran Romantik yang menutup mata terhadap semua ragam sastra yang lain, terutama sastra mo- dern. Padahal, seperti yang dikatakan R.G. Collingwood, seseorang yang "mengaku tahu apa yang membuat Shakespeare menjadi seorang penyair, juga harus tahu apakeh Miss Stein seorang penyair atau bukan, dan kalau bukan, mengapa demikian”* (who claims to know what makes Shakespeare a poet is tacity claiming to know whether Miss Stein is a poet, and if not, why not). Tidak diperhitungkannya sastra kontemporer sebagai studi serius merupakan akibat dari sikap "sok ilmiah”. Istilah "sastra modern” barangkali sudah mendapat interpretasi terlalu luas di kalangan akademis. Akibatnya, tak ada karya sesudah karya John Milton yang dianggap pantas untuk dipelajari. Abad ke-18 mempunyai ke- dudukan yang mapan dan digemari sebagai bahan sejarah sastra konvensional karena menawarkan dunia yang anggun, lebih stabil, dan lebih jelas hierarkinya. Periode Romantik dan akhir abad ke-19 Dp cangen Canon 42 | Teori Kesusastraan juga mulai mendapat perhatian para ilmuwan, dan akhirnya ada sejumlah pemberani di kalangan akademis yang membela dan ing, lakukan studi ilmiah sastra kontemporer. Satu-satunya alasan yang bisa diterima untuk tidak mempelajay; pengarang yang masih hidup adalah karena ilmuwan tidak dapat melihat keseluruhan karya si pengarang. Padahal, pemahaman karya-karya yang lebih akhir biasanya dapat melengkapi perspeltie ilmuwan terhadap karya-karya awal pengarang. Tetapi kerugian inityang hanya berlaku untuk pengarang yang belum mapan—q. dak sebanding dengan keuntungannya. Karena hidup sezaman dengan pengarang, kita mengenal latar tempat dan waktu yang diacu, kita dapat berkenalan langsung, membuat wawancara atau berhubungan melalui surat dengan pengarang. Kalau pengarang kelas dua atau kelas sepuluh di masa lalu layak dipelajari, apalagi pengarang kelas satu atau kelas dua masa sekarang. Biasanya ka langan akademis ragu-ragu memberi penilaian sendiri karena kurang persepsi atau kurang berani. Mereka memilih menunggu verdict of the ages ("penilaian waktu”) dan tidak sadar bahwa yang mereka maksudkan adalah penilaian kritikus, pembaca, dan profesor yang lain. Kekebalan sejarawan sastra terhadap kritik sastra dan teot sastra adalah keliru. Sebabnya sederhana: setiap karya seni yang ada (entah dibuat kemarin atau seribu tahun yang lalu) tentu bolen disimak (diobservasi) oleh siapa pun dan merupakan masalah artis: tik yang menarik untuk dipecahkan. Karya sastra tidak bisa ditelae". diuraikan kekhasannya, dan dinilai tanpa dukungan prinsip kit Sastra. "Seorang sejarawan sastra harus menjadi kritikus seve” Menjadi sejarawan”™* (The literary historian must be a critic v@" in order to be an historian). Sebaliknya, sejarah sastra sangat penting untuk kritik sast® lau kritik hendak bergerak lebih jauh dari sekadar pernyataan su dan tidak suka. Seorang kritikus yang tidak peduli pada hubunée” Sejarah akan meleset peniiaiannya. a tidak akan tahu apaka 2" itu asli atau tiruan. Dan karena buta sejarah, ia cenderung sal ke cath Dp cangen Canon

You might also like