You are on page 1of 10
DUALISME PANDANGAN HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA ANTARA. UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRAS| KEPENDUDUKAN Mifta Adi Nugraha Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Email: mifta.adin@gmail.com Abstract Article 2 paragraph (1) Act of Marriage No. 1 of 1974 (AM), over the years it has been interpreted as a rule that prohibits interfaith marriage, so that interfaith marriage that cannot be implemented in Indonesia. However, since the enactment of Act of Population Administration No. 23 of 2006 (APA), dated December the 29, 2006, the ban has been re-questioned, This is because Article 35 point a APA have actually ‘mentioned that interfaith marriage by court order could be listed. Based on the case, there is a disharmony between Article 2 paragraph (1) AM and Article 35 points a APA. Therefore, the author raises this issue by taking formulation of problem related with the notch of Article 35 point a APA on interfaith marriage listing. This research is a descriptive empirical laws. Case study approach which used, is held in the Department of Population and Civil Registration in DKI Jakarta Province and Surakarta City. All forms of data were analyzed qualitatively with interactive analysis model. Based on the results of research and the discussion, it is concluded that Article 35 points a APA stands as a special rule that gave way to list interfaith marriage. Lawfulness of interfaith marriage is not further defined so that they are still based on Article 2 paragraph (2) AM, and the presence of Article 35 point a APA is forcing the listing of marriages which is basically illegitimate under Article 2 paragraph (2) AM. Keywords: Interfaith Marriage, dualism, population. Abstrak Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) selama bertahun- tahun telah ditafsirkan sebagai aturan yang melarang perkawinan beda agama, sehingga perkawinan beda agama tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Namun semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) tanggal 29 Desember 2006, larangan tersebut kembali dipertanyakan. Hal ini disebabkan karena Pasal 35 poin a UU Adminduk telah secara nyata menyebutkan bahwa perkawinan beda agama dengan penetapan pengadilan dapat dicatatkan. Berdasarkan hal tersebut terlihat ketidakharmonisan hukum antara Pasal 2 ayat (1) UUP dengan Pasal 35 Poin a UU Adminduk. Oleh karena itu penulis mengangkat permasalahan ini dengan menarik rumusan ‘masalah terkait kedudukan Pasal 35 poin a UU Adminduk dalam pencatatan perkawinan beda agama. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif. Pendekatan studi kasus yang digunakan, dilakukan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKj Jakarta dan Kota Surakarta. Segala bentuk data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dengan model analisis interaktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan bahwa Pasal 35 poin a UU Adminduk berkedudukan sebagai aturan yang member’ jalan khusus untuk dapat dicatatkannya perkawinan beda agama. Sah tidaknya perkawinan beda agama tidak lebih lanjut ditetapkan sehingga masih didasarkan pada Pasal 2 ayat (2) UP, adanya Pasal 35 poin a UU Adminduk tersebut memaksa dicatatkannya perkawinan yang pada dasamya tidak sah menurut Pasal 2 ayat (2) UUP. Kata kunci: Perkawinan Beda Agama, dualisme, populasi A. Pendahuluan Sejak tanggal 29 Desember 2006 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2008 tentang Administrasi Kependudukan (UU ‘Adminduk). Sejak tanggal itu pula UU Adminduk yang baru beserta seluruh pasal yang ada di Private Law Edisi01 Maret - Juni 2013 dalamnya berlaku, tidak terkecuali Pasal 35 poin a UU Adminduk. Pasal 35 poin a UU Adminduk adalah sebuah pasal yang memberikan dasar hokum dilaksanakannya perkawinan beda agama di Indo- nesia. Pasal 35 poin a UU Adminduk menyatakan Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan... 54 bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan, yang dalam penjelasan Pasal 35 poin ‘UU Adminduk djelaskan sebagai perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama, dapat dicatatkan di Instansi Pelaksana (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil) sebagaimana pencatatan perkawinan pada umumnya menurut Pasal 34 UU Adminduk. Oleh karena itu, berdasarkan pasal tersebut, perkawinan beda agama yang selama ini pelaksanaannya belum memilki kejelasan telah mendapatkan suatu dasar hokum, yakni dapat dilakukan dengan memperoleh Penetapan Pengadilan, ‘Sebelum adanya jalur hokum Pasal 35 poin a UU Adminduk tersebut, perkawinan beda agama telah banyak dilakukan dengan berbagai cara Beberapa cara yang sering dilakukan oleh masyarakat antara lain : (Salma Zuhriyah, wwwtafanywordpress.com>|2011}) 1. Pagimenikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesual dengan agama perempuan 2. Salah satu dari calon pengantin, baik laki-laki ataupun perempuannya mengalah mengikuti ‘agama pasangannya. Lalu setelah menikah dia kembali kepada agamanya. 3. Menikah diluar negeri Pasal 35 poin a UU Adminduk ini seolah muncul sebagai jalur legal dari berbagai jalur illegal yang banyak dilakukan oleh masyarakat demi ‘mewujudkan perkawinan beda agama, Keberadaan Pasal 35 poin a UU Adminduk jelas, memberikan jalan yang semakin lebar untuk dapat kksanakannya perkawinan beda agama yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UUP) dianggap tidak sah. Ketentuan pasal inijelas bertentangan dengan Pasal 2 UUP yang menyatakan bahwa sahnya perkawinan adalah ‘menurut hokum agama dan kepercayaan masing- masing. Pasal 2 UUP ini dianggap menjadi dasar dilarangnya perkawinan beda agama, karena tidak ada agama-agama yang diakui di Indonesia dengan bebas memperbolehkan umatnya menikah dengan penganut agama lain, Oleh karena itu terdapat pertentangan antara Pasal 35 poin a UUAdminduk dengan Pasal 2 UP. Melihat adanya pertentangan yuridis tersebut, penulis bertujuan untuk melihat sejauh apa pengaruh Pasal 35 poin a UU Adminduk tersebut terhadap pengaturan sahnya perkawinan yang umumnya didasarkan pada Pasal 2 UUP. Hal ini dilakukan dengan mengambil rumusan masalah terkait kedudukan Pasal 35 poin a UU Adminduk dalam pencatatan perkawinan beda agama. 82. Private Law Eaisi01 Maret - Juni 2013 B. Metode Penelitian Penelitian ini adalah peneitian hukum empiris, oleh karena itu digunakan pendekatan studi kasus (case-study approach) yang dilakukan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DK Jakarta Kota Surakarta, Analisis terhadap bahan hukum merupakan analisis kualitatif dengan model analisis interaktif untuk melihat fakta secara keseluruhan C. Hasil Penel Perkawinan beda agama di Indonesia sekarang ini pada dasamya bukanlah hal yang baru mencuat, dari keinginan masyarakat. Pelaksanaan perkawinan beda agama sendiri telah diatur dalam berbagai peraturan hokum dengan berbagai pengaturannya, antara lain: n dan Pembahasan 4. Huwelljks Ordonnantie Christen Indonesia - Indonesia Java, Ninahassa en Amboina (HOCI) 8.1933 Nomor 74 (Undang-undang Perkawinan Indonesia Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon) HOC! merupakan peraturan perkawinan yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen di daerah Jawa, Minahasa, dan Ambon. Berdasarkan HOC, pelaksanaan perkawinan beda agama sangat mungkin terjadi dan totap dianggap perkawinan yang sah. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) HOCI, pelaksanaan perkawinan memang terbagi dalam dua proses, yakni perkawinan yang dilaporkan ke pegawai catatan perkawinan serta perkawinan yang dilaporkan kepada pemuka agama setempat, dan keduanya adalah sah, 2. Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) Koninklijk Besluit van 29 Desember 1896 No. 23, Staatsblad 1898 No. 158 GHR disebut juga sebagai Peraturan Perkawinan Campuran karena mengatur tentang perkawinan antara dua orang yang memiliki kedudukan hukum yang berbeda. Pada dasarnya GHR ini ditujukan untuk perkawinan campuran antara bangsa Eropa dengan kaum pribumi, namun berdasarkan Pasal 7 ayat (2) GHR dijelaskan bahwa perbedaan yang dimaksud dapat berupa Perbedaan agama, bangsa, atau keturunan, yang menurut GHR sama sekalibukan menjadi penghalang terhadap terjadinya perkawinan. Oleh karena itu GHR merupkan dasar hokum paling jelas dalam mengesahkan perkawinan beda agama, Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan 3, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UUP merupakan peraturan unifikasi hokum perkawinan. Oleh karena itu berdasrkan Pasal 66 UUP yang menyatakan dengan diundang- kannya UUP maka mencabut ketentuan- ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang- undang Hukum Perdata (Burgelik Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelik Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huweljken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang in Berdasarkan Pasal 66 UUP tersebut, timbul dua pendapat. Yang pertama, ada yang berpendapat bahwa GHR dan peraturan perkawinan lain sudah sama sekali tidak berlaku, karena keseluruhan aturan perkawinan tersebut sudah tercakup dalam UUP. Pendapat lain menyatakan bahwa GHR menjadi salah satu peraturan perkawinan yang masih berlaku dalam beberapa hal, salah satunya terkait perkawinan campuran beda agama. Per- kawinan campuran dalam pandangan GHR: bersifat luas, mencakup perbedaan agama, bangsa, dan keturunan, seperti yang Ahmad ‘Azhar Basyir difinisikan tentang perkawinan campuran adalah sebagai perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang beda keyakinan agama, kebangsaan, asal keturunan atau kewarganegaraannya (Ahmad Azhar Basyir, 1981:5). Berbeda dengan GHR, perkawinan campuran menurut UUP adalah perkawinan antara WNI dan WNA di Indonesia seperti yang diatur dalam Bab XII Bagian Ketiga tentang Perkawinan Campuran, Pasal 57 UP yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarga- negaraan, yang salah satu pinaknya adalah WNI. Unsur beda agama tidak lagi masuk dalam ketentuan perkawinan campuran berdasarkan UP. Hilangnya unsur beda agama dalam perkawinan campuran UUP tidak serta merta mengakibatkan kekosongan hukum yang berdampak dialihkannya permasalahan perkawinan beda agama menjadi bagian dari GHR. Koridor yang dipakai adalah sama, yaitu perkawinan campuran, yang diketahui bahwa. UUP telah mengatur perihal perkawinan campuran. Dengan demikian segala bentuk Private Law Edisi01 Maret - Juni 2013 aturan perkawinan campuran yang ditetapkan dalam Peraluran Perkawinan Campuran (GHR) telah dicabut. Hal ini menjacikan pengertian perkawinan campuran yang luas berdasarkan GHR telah diamandemen dengan pengertian erkawinan campuran yang sempit melalui UUP, sehingga perkawinan beda agama tidak lagi tunduk terhadap GHR telapi telah masuk agian dalam UUP. Pasal-pasal dalam UUP memang tidak menyebutkan tentang perkawinan beda agama, balk mengalur, mengesahkan, maupun melarang. Pengaturan sahnya perkawinan berdasarkan pengesahan agamal kepercayaan, masing-masing menunjukkan adanya unsur agama dalam UUP. Oleh karena itu secara tidak langsung perkawinan beda agama pun diatur di dalamnya. Pengaturan tentang perkawinan beda agama dapat ditemukan dalam UUP secara implisit dengan mengkaji a. Pengertian Perkawinan Pasal 1 UUP mendefinisikan perkawinan sebagai berikut ‘Perkawinana adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” “Ikatan lahir batin" dapat diibaratkan sebagai suatu perjanjian yang mengikat fisik dan mental antara pasangan suami isteri, Ikatan fisik atau lahiriah terwujud dalam status sosial mereka sebagai suami ister. Ikatan mental atau batiniah terlihat dengan adanya hak, kewajiban, dan tanggung jawab satu sama lain sebagai suami ster. Status sosial sebagai suami isteri tidak dapat dipisahkan dari hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang mengikutinya. Hal ini dikarenakan hak dan kewajiban tersebut ada karenan status, sosial tersebut ada, sehingga ikatan lahir batin (fisik dan mental) adalah suatu kesatuan. “Antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suamiisteri’ menunjukkan pihak-pihak yang boleh melangsungkan perkawinan adalah seorang pria dan seorang wanita dengan kedudukan masing-masing yaitu si pria sebagai ‘suami dan siwanita sebagal isteri, Dalam unsur definisi tersebut ditemukan adanya ‘asas monogami yang menyatakan bahwa Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan... 53 seseorang hanya boleh memiliki satu pasangan, Jengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal” menjelaskan bahwa suatu perkawinan itu bukan sekedar mengesahkan hubungan seksual tetapi lebih ditujukan untuk membentuk keluarga. Keluarga yang dicita-citakan dalam UUP berdasarkan definisi tersebut adalah keluarga yang bahagia dan kekal, yang berartiselain menjadi suatu keluarga yang bahagia, pasangan tersebut juga harus berupaya semaksimal mungkin untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Secara yuridis, hal ini akan mengakibatkan sulitnya alasan bercerai ‘Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’, Frase tersebut dapat diartikan dari berbagai sisi. Pada prinsipnya suatu perkawinan harus didasarkan pada aspek ketuhanan, yaitu dengan ditandai adanya ritual agama/kepercayaan yang mengakibatkan dllbatkannya Tuhan dalam perkawinan tersebut. Dengan adanya unsur rohani menjadikan ikatan tersebut lebih kuat, karena berpengaruh langsung pada aspek batiniah. Pada sisi yang lain, “Ketuhanan Yang Maha Esa” secara etimologi berarti Ketunanan Yang Satu, hanya ada satu Tuhan. Dilihat dari kesatuan definisi perkawinan, jika yang dimaksud tersebut adalah "keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’, berarti keluarga tersebut harus berdasarkan satu Tuhan, yang dalam hal inidapat diwujudkan sebagai satu agama/ kepercayaan. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam asas-asas perkawinan Pada penjelasan umum UUP adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk mewujudkannya suam ister! Perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembang- kan kepribadiannya membantu dan men- capai kesejahteraan material dan spiritual. Kesejahteraan spiritual merupakan aspek Ketuhanan yang berkaitan erat dengan agama dan kepercayaan. ‘Sabiltas hubungan rohani suamiistripertu dijaga dengan adanya hubungan yang saling membantu dan melengkapi yang hanya dimungkinkan bila keduanya menganut agamalkepercayaan yang 54. Private Law Edisi01 Maret - Juni 2013 sama. Oleh karena itu, stabilitas hubungan rohani dan kesejahteraan spiri- tual tidak akan terbina dengan baik bila pasangan suamiisteri tersebut menganut agamalkepercayaan yang berlainan. Syarat Sah Perkawinan ‘Syarat sah perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan keper- cayaannya. Menanggapal pengaturan tersebut, ada kalangan yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "masing- masing agama/kepercayaan’ itu adalah agama suami dan agamaisteri. Jka suami dan isteri satu agama, maka dilakukan ‘menurut satu agama tersebut, namun bila suami isteri tersebut berbeda agama, maka perkawinan dilakukan dua kali ‘menurut agama suami dan agama isteri Penjelasan Pasal2 UUP menyatakan tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai dengan UUD 1945. Yan dimaksud dengan “masing-masing agam: adalah satu dari kesatuan agama-agama yang diatur/diakui berdasarkan UUD 1945, bukan agama suami dan agama ister Oleh karena itu yang dimaksud dengan ‘dlakukan menurut hukum masing-masing agama" adalah perkawinan tersebut dilakukan berdasarkan satu saja hukum ‘agama dari keenam agamalkepercayaan yang diakui di indonesia. Keenam agama yang diakui diIndo- nesia, tidak ada yang secara tegas ‘membolehkan terjadinya perkawinan beda agama (Sudhar Indopa, 2006: 6). ‘Sementara R. Soetojo Prawirohamidjojo ‘mengemukakan perkawinan beda agama dalam pandangan Kristen Katholik dan Islam (R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1986: 6) sebagai berkut 1) Pandangan agama Kristen Katholi dalam hal Perkawinan campuran antara penganut agama Islam dan penganut agama Kristen adalah, bahwa gereja baik Katholk maupun Prostestan, tidak dapat mengakui perkawinan yang dilakukan oleh or- ang-orang Kristen Katholik dengan akad nikah menurut Hukum Islam 2) Pandangan agama Islam adalah bahwa seorang pria Islam boleh mengawini wanita-wanita ahlul kita Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan (celain Isiam) akan tetapi tidak boleh sebaliknya, yaitu wanita Islam tidak boleh dikawini oleh pria yang bukan Islam. Dalam pandangan Kristen Katholik jelas bahwa gereja tidak akan mengakui erkawinan umatnya yang dilakukan tidak ‘menurut hukum agamanya, Sedangkan dalam Istam terdapat suatu pengecualian bahwa laki-laki dapat menikahi wanita ahlul kitab. Tidak ada kesepakatan yang jelas dalam menetapkan siapa-siapa yang dapat digolongkan dalam wanita ahlul kitab tersebut, namun dalam Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4 MUNASIVII/MUN8/2005 tentang Perka- winan Beda Agama ditetapkan bahwa: 1) Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. 2) Perkawinan laki-laki mustim dengan wanita ahlul kitab adalah haram dan tidak sah, Oleh karena itu perkawinan antara laki-laki muslim baik dengan wanita Katholik, Kristen, apalagi agama lain adalah tidak sah, Larangan Perkawinan Berdasarkan ketentuan pada Pasal 20 UUP setidaknya terdapat enam jenis larangan perkawinan dalam UUP, yaitu: 1) Larangan perkawinan dibawah umur (Pasal 7 ayat (1)). 2) Larangan perkawinan antara pria dan wanita yang memilki hubungan yang dilarang menikah (Pasal 8). 3) Larangan perkawinan lagi bagi orang yang masih terikat perkawinan ‘dengan seseorang (Pasal 9). 4) Larangan perkawinan lagi (rujuk) bagi pasangan yang telah bercerai dua kali, sebelum mantan isteri menikah dengan orang lain (Pasal 10). 5) Larangan perkawinan sebelum usal masa tunggu (Pasal 11). 6) Larangan perkawinan yang tidak sesuai dengan tata cara perkawinan yang ditetapkan (Pasal 12) Terhadap keenam larangan per- kawinan tersebut, larangan dalam Pasal 8 UUP jika dillhat secara luas juga dapat menjadi dasar dilarangnya perkawinan beda agama, Private Law Edisi01 Maret - Juni 2013 Perlu diakui bahwa di dalam UUP tidak ada pasal yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama dilarang, bahkan tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit’ menyebutkan tentang perkawinan beda agama. Oleh karena itt untuk mengetahui ada-tidaknya larangan perkawinan beda agama hanya dapat dilakukan dengan mengkaji UP secara impisit. Larangan perkawinan dalam Pasal 8 UUP menyebutkan bahwa suatu perkawinan dilarang antara dua orang yang: 4) berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; 2) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; 3) berhubungan semenda, yaitumertua, anak titi, menantu dan ibu/bapak tir; 4) bethubungan susuan, anak susuan, ‘saudara dan bibi/paman susuan; 5) bethubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristerilebin dari seorang: 6) yang mempunyaihubungan yang oleh ‘agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Hubungan, Berdasarkan poin-poin Pasal 8 UUP tersebut pada dasamya tidak ditemukan larangan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Poin ke-6 yang menyebutkan “hubungan yang oleh ‘agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin" sendir borsifat mult tafsir. Pasal ini mengembalikan ketentuan larangan perkawinan pada aturan agama masing-masing. Namun konsep hubungan” yang dimaksud tidak dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan pasal tersebut. Oleh karena itu, dalam memaknai Pasal 8 poin f ini dapat dilihat dari pandangan yang sempit maupun pandangan yang luas. Pandangan yang sempit melihat adanya batasan terhadap konsep “hubungan’ yang dimaksud dalam Pasal 8, dilihat dari Pasal 8 poin a, b, c, d, dan UUP, pasal tersebut bermaksud mengatur hubungan-hubungan antara Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan... 55 individu taki-takidan perempuan yang tidak memungkinkan mereka untuk menikah karena memilki suatu kaitan kekeluargaan antara lain hubungan darah garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan menyamping, hubungan semenda, hubungan susuan, dan hubungan- hubungan lain, Kata hubungan secara gramatikal merupakan ikatan. Berdasar- kan poin-poin sebelumnya dalam Pasal 8 tersebut, hubungan yang dimaksud menjerumus kepada ikatan kekeluargaan antar individu yang muncul karena suatu perbuatan tertentu yang ia atau anggota keluarganyalakukan yang mengakibatkan ia dengan orang lain menjadi memiliki suatu keterkaitan dan mengakibatkannya tidak boleh menikah satu sama lain. Oleh karena itu, dalam pandangan yang sempit, Pasal 8 poin f sendiri member jalan berlakunya hukum agama jika terdapat hubungan-hubungan kekeluar- gaan selain yang telah diatur dalam poin- poin sebelumnya yang menurut agamanya mengakibatkan seorang lakHaki dilarang menikahi seorang wanita Mengingat konsep “hubungan’ dalam Pasal 8 tidak dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan pasal di dalam UUP memuneulkan pandangan yang luas dengan mengkonsep “hubungan’ sebagai hubungan hukumiperikatan, Dalam hukum perdata hubungan hukum dapat muncul karena dua hal yaitu perjanjian dan Undang-undang/hukum, Kesepakatan yang dituangkan dalam suatu perjanjian antar individu sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku akan menimbulkan suatu hubungan hukum. Hubungan hukum yang timbul dari Perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang menyepakatinya dan tidak dapat begitu saja mengakibatkan pihak ketiga ikut di dalamnya, Hubungan hukum yang berasal dari undang-undang/hukum masih terbagidua macam yaitu undang-undang melulu dan undang-undang dengan perbuatan manusia. Hubungan hukum yang bersal dari undang-undang melulu berarti hubungan hukum itu ada karena telah ditetapkan oleh undang-undang, misalnya hubungan orang tua dan anak (Alimentasi (Pasal 321 KUHPerdata)) atau hak pekarangan (Servitut (Pasal 671 KUHPerdata)). Sedangkan hubungan 86 Private Law Eaisi01 Maret - Juni 2013 hukum dengan perbuatan manusia sendiri juga masih terbagi dua yaitu perbuatan hukum halal dan perbuatan melawan hukum. Perbuatan hukum halal merupakan hubungan hukum yang terjadi karena kehendak sendiri secara sah, misalnya Pasal 1354 KUHPerdata yang mengatur seseorang yang melakukan suatu pengurusan untuk pihak ke tiga Hubungan hukum karena perbuatan melawan hukum timbul karena suatu perbutan melawan hak yang mewajibkan pihak terkait bertanggung jawab dengan melakukan suatu bentuk ganti rugi sbagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dlarang kawin” secara jelas masuk dalam kategori hubungan hukum berdasarkan undang- undang melulu. Dalam hal ini UUP telah ‘mengalihkan hukum yang berlaku kepada hukum agama, sehingga undang-undang ‘melulu yang digunakan adalah hukum agama. Berdasarkan hukum-hukum. ‘agama yang bertaku di Indonesia, masing- masing penganutnya dilarang menikah dengan sembarang orang, penganut agamanya diutamakan untuk menikahi orang yang seagama. Dengan demikian hubungan hukum berdasarkan hukum agama masing-masing, tidak membebaskan penganutnya untuk menikahi orang yang berlainan agama/ tidak seagama. Oleh karena itu berdasarkan hukum agama yang dianutnya, terdapat hubungan dilarang kawing dengan orang yang berlainan agama. Pandangan yang bersifat luas ini sejatinya sejalan dengan Pasal 2 ayat (1) UUP yang secara implisit telah jelas melarang terjadinya perkawinan beda agama karena bertentangan dengan ajaran hukum-hukum agama yang diakui di Indonesia, Oleh karena itu, meskipun konsep “hubungan" dalam Pasal 8 poin f UUP masin menimbulkan penafsiran ganda karena tidak dijelaskan lebih lanjut, berdasarkan penjelasan di atas Pasal 8 poin f ini tetap dapat menjadi dasar dilarangnya perkawinan beda agama. Dilihat dari keempat aspek tersebut di atas yaitu pengertian, tujuan, syarat ssah, dan larangan perkawinan berdasarkan UUP jelas bahwa perkawinan beda agama Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan tidak memenuhi aspek-aspek tersebut, sehingga secara implisit perkawinan beda ‘agama dilarang oleh UUP dan menjadikan perkawinan tersebut sebagai perkawinan yang tidak sah di Indonesia. 4, Putusan Mahkamah Agung No 1400 K/Pat/ 1986 PMA 1400/1986 merupakan putusan tingkat akhir pertama yang mengabulkan perkawinan beda agama di Indonesia. Majlis. hakim melihat adanya kekosongan hokum dalam UUP dan Peraturan pelaksananya dalam mengatur perkawinan beda agama. Oleh karena itu, majelis hakim mendasarkannya kembali pada KUHPerdata dan GHR, sehingga perkawinan beda agama dapat dilaksanakan oleh pemohon. Terhadap hal tersebut, PMA 1400/1986 memerintahkan Pegawai Pencatat di Kantor Catatan Sipil Provinsi DK! Jakarta untuk melangsungkannya. 5, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Perkawinan beda agama dalam UU. ‘Adminduk diatur dalam Pasal 36 poin a, Pasal 35 poin a UU Adminduk ini seolah mempertegas kedudukan PMA 1400/1986 yang memberikan kewenangan bagi Kantor Catatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan beda agama, Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pencatatan perkawinan di Indonesia yang diatur pada Pasal 34 juga berlaku untuk perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Penjelasan Pasal 36 poin a UU Adminduk menjelasakan bahwa yang dimaksud dengan 'Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama yang telah memperoleh penetapan dari Pengadilan. Dengan adanya Pengaturan tersebut semakin memberikan peluang dan kepastian hukum terhadap perkawinan beda agama. Berdasarkan kronologis dasar hokum perkawinan beda agama tersebut, setidaknya masih terdapat pertentangan antara UUP dengan UU Adminduk sebagai hokum positif yang masih beriaku. Di satu sisi perkawinan beda agama berdasarkan UP dianggap tidak sah, sedangkan di sisi lain pelaksanaannya dipertegas dengan UU Adminduk. Oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut_mengenai pertentangan yuridis tersebut Perkawinan beda agama pada prinsipnya ‘memang tidak disebutkan dalam UUP. Secara materiil, perkawinan beda agama tidak memenuhi aspek-aspek perkawinan yang Private Law Edisi01 Maret - Juni 2013 dicita-citakan oleh UUP terutama tentang sahnya perkawinan yang menurut Sudhar Indopa, agama-agama yang diakui di Indone- sia mengutamakan perkawinan seagama, tidak salupun dari agama-agama tersebut yang tegas memperbolehkan perkawinan beda agama (Sudhar Indopa, 2006: 6). Oleh karena itu perkawinan beda agama dianggap tidak sesuai dengan UUP dan tidak dapat dilaksanakan. Pengaturan tentang pelaksanaan perkawinan beda agama justru muncul dari UU Adminduk yang pada dasamya mengatur tentang pencatatan sipil kependudukan. Pengaturan perkawinan beda agama dalam UU Adminduk jelas menimbulkan pertentangan dengan UP. Dalam UUP tidak disebutkan adanya perkawinan beda agama, bahkan dalam uraian sebelumnya telah disimpulkan bahwa UUP tidak menghendaki adanya perkawinan yang bertentangan dengan hukum agama, dalam hal ini perkawinan beda agama, Keberadaan Pasal 35 poin a UU ‘Adminduk yang secara tegas mengatur dapat dicatatkannya perkawinan beda agama tentu menimbulkan pertentangan yuridis antara UUP- dan UU Adminduk. Untuk menyelesaikan pertentangan pengaturan dalam sistem perundang-undangan pada umumnya digunakan tiga macam asas hukum yailu a. Asas Lex Superiori Derogat Legi Inferiori b. Asas Lex Posteoriori Derogat Legi Priori cc. Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis: Ketiga asas tersebut dapat digunakan jka terdapat ketidakharmonisan pengaturan antar Peraturan perundang-undangan dan menentukan aturan mana yang seharusnya lebih diutamakan untuk berlaku. Oleh karena itu asas-asas tersebut dapat digunakan dalam mengkaji perbedaan pengaturan perkawinan beda agama antara UUP dan UU Adminduk. Mengingat bahwa keduanya adalah peraturan perundang-undangan berbentuk Undang-Undang maka Asas Lex Superior! Derogat Legi Inferiori tidak dapat dipakai. Meskipun UU Adminduk diundangkan setelah adanya UUP, namun bukan berarti UU ‘Adminduk mencabut UUP, karena keduanya mengaturdua hal yang berbeda, sehinggaAsas Lex Posteoriori Derogat Legi Priori juga cenderung tidak digunakan. Oleh karena itu Pengaturan perkawinan beda agama akan dilinat dari hubugnan umum khusus antara pencatatan dan sahnya perkawinan menurut Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali. Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan... 57 ‘Asas Lex Specialis Derogat Legi Genera- lis menjelaskan bahwa aturan hukum yang bersifat khusus dapat menyimpangi aturan hukum yang bersifat umum. Asas ini pada umumnya berlaku untuk undang-undang khusus terhadap undang-undang pokoknya, seperti Undang-Undang No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (UU PP) terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, tentang Pokok Agraria (UUPA). UU PA merupakan undang-undang yang hanya mengatur hal-hal pokok dalam bidang keagrarian, sedangkan UU PP merupakan turunan dari UUPA yang telah mengaturhal-hal khusus yang pada prinsipnya merupakan bagian dari agraria itu sendir, sehingga dalam hubungan antara UU PP terhadap UU PA berlaku ‘sas lex specials derogat legi generalis. Namun hal ini berbeda dengan hubungan antara UUP- dan UU Adminduk, karena tidak seluruh ‘substansi undang-undang yang satu merupakan agian dari undang-undang yang lain. UUP mengatur tentang perkawinan dan memiliki substansi tentang dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, dll ‘sedangkan UU Adminduk mengatur tentang pencatatan peristiwa penting yang terbagi ata kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bagian yang diatur dalam UUP yakni dalam Pasal 2 ayat (2) UP, demikian juga dalam UU Adminduk, perkawinan merupakan salah ‘satu jenis peristiwa penting dari berbagal nis peristiwa penting yang dicatat. Oleh karena itu dalam menentukan kedudukan umum- khususnya tidak dapat dilakukan hanya dengan melihat judul undang-undangnya saja, tetapi harus dilihat dari segi substansi yang akan dikaji Jlika dikaji dari segi pencatatannya, maka Pencatatan Perkawinan secara umum diatur dalam UU Adminduk dan secara khusus diatur oleh UUP. Dari segi pencatatannya, UU ‘Adminduk menetapkan jenis peristiwa penting ‘apa saja yang dapat dicatatkan dan perkawinan merupakan salah satunya. Oleh karena perkawinan merupakan salah satu peristiwa Penting yang ditetapkan untuk dicatat, maka kemunculan UUP menjadi aturan yang menetapkan perkawinan yang bagaimana yang dapat dicatatkan. Jika dikaji dari segi perkawinannya, maka Sahnya Perkawinan secara umum diatur 58. Private Law Eaisi01 Maret - Juni 2013 dalam UUP dan secara khusus diatur oleh UU ‘Adminduk. Dari segi sahnya perkawinan pada umumnya telah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UUP bahwa sahnya perkawinan adalah sahnya hukum agama yang dianut. Kemuneulan Pasal 36 poin a UU Adminduk memberikan pengecualian untuk pelaksanaan perkawinan beda agama, yaitu dengan penetapan pengadiian. Oleh karena itu, sahnya perkawinan berdasarkan UU Adminduk hanya berlaku pada perkawinan beda agama, dengan demikian UU Adminduk bersifat lebih khusus. Berdasarkan penjelasan tersebut maka UP, berkedudukan sebagai peraturan yang bersifat umum dan UU Adminduk berkedudukan sebagal peraturan yang bersifat khusus yang dapat menyimpangi aturan hukum yang bersifat umum. Pasal 35 poin a UU Adminduk pada dasarnya tidak menyebutkan sah tidaknya perkawinan beda agama secara ekspisit, pasal tersebut hanya mengatur bahwa perkawinan beda agama yang telah memperoleh penetapan pengadilan dapat dicatatkan di lembaga pencatatan sipil dengan ketentuan ‘seperti perkawinan di Indonesia pada umumnya sesuai Pasal 34 UU Adminduk. Secara implisit dapat dimaknai dua pengertian. Pengertian pertama, bahwa perkawinan beda agama telah dianggap sah setelah memperoleh penetapan pengadilan. Pengertian ini member’ implikasi bahwa terdapat bentuk pengesahan erkawinan lain selain apa yang ditetapkan pada Pasal 2 UUP, yaitu pengesahan perkawinan menurut pengadilan. Dari implikasi tersebut dapat pula ditarik makna yaitu penetapan pengadilan telah dianggap sama dengan penetapan agama, Pengertian kedua bersifat lebih sempit. Pengertian ini ‘menunjukkan anggapan bahwa Pasal 35 poin a UU Adminduk menempatkan perkawinan beda agama sebatas “dapat dicatatkan’ Sahnya perkawinan tidak ditetapkanidiatur secara jelas. Hakim dalam Penetapan Perkawinan Beda Agama di Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 156/Pdt.P/2010/PN.Ska, mendasar- kan putusannya pada Pasal 21 ayat (3) UUP. yang memberikan kesempatan kepada para pihak yang pelaksanaan perkawinannya ditolak oleh pejabat pencatatan perkawinan untuk meminta pembatalan penolakan dengan mengajukan permohonan ke Pengadilan. Penetapan tersebut menetapkan: a. Mengabulkan permohonan Para Pemohon b. Memberikan jin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan agama di hadapan Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipi Kota ‘Surakarta, ©. Memerintahkan kepada Pejabat Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipi Kota ‘Surakarta untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama Para Pemohon tersebut kedalam Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu dan segera menerbitkan Akta Perkawinan tersebut, dd, Membebankan biaya permohonan kepada Para Pemohon sebesar Rp 116.000,+ (seratur enam belas ribu rupiah). Terdapat hal yang masih menimbulkan ketidakpastian dalam penetapan hakim tersebut terkait proses perkawinan dan sahnya perkawinan itu sendir, Berdasarkan penetapan tersebut perkawinan dilaksanakan dinadapan Pejabat Dinas Dukcapil, sehingga terlihat ‘seolah Dinas Dukcapllah yang mengawinkan, Di sisi lain berdasarkan keterangan Bu Esti Pada tanggal 24 September 2012 di Dinas Dukcapil Kota Surakarta, Dinas Dukcapil hanya melakukan pencatatan perkawinannya saja, sejalan dengan poin ketiga penetapan pengadilan di atas. Dinas sendiri memiliki anggapan bahwa perkawinan beda agama telah ada sejak penetapan pengadilan tersebut ada, sehingga yang dilakukan Dinas hanya tinggal melaksanakan pencatatan perkawinannya saja. Terkait hal ini, dapat dilihat bahwa di Dinas Dukcapil terdapat tiga perkawinan yang dicatat berdasarkan prosesi perkawinan yang ditaksanakan: a, Perkawinan Istam dilakukan dengan ijab- gabul oleh Penghulu di hadapan dan dicatat oleh pejabat KUA, yang kemudian dalam beberapa periode akan dilaporkan ke Dinas Dukcapll b. Perkawinan Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, dan penghayat alan kepercayaan dilaksanakan di tempat peribadatan atau dihadapan pemuka agama yang akan mengeluarkan suatu bukti perkawinan. Bukti perkawinan tersebut yang menjadi dasar Dinas Dukcapil mencatatkan perkawinan yang telah dilaksanakan, c. Perkawinan beda agama yang dianggap ada dengan ditetapkannya dalam Penetapan Pengadilan. Salinan Peneta- pan Pengadilan tersebut menjadi dasar Dinas Dukcapil mencatatkan perkawinan beda agama, Private Law Edisi01 Maret - Juni 2013 Berdasarkan keterangan tersebut di alas penulis melihat bahwa perkawinan beda agama tetap tidak sah, karena penetapan pengadilan tersebut sendiri juga tidak menyebutkan bahwa perkawinan beda agama yang dilakukan menjadi sah. Oleh karena itu sah tidaknya perkawinan tetap didasarkan pada ketentuan dalam UUP. Hadimya Pasal 36 poin a UU Adminduk hanya memberi jalan khusus, untuk melaksanakan dan mencatatkan perkawinan tersebut yaitu melalul penetapan engadilan, yang diketahui bahwa pengadilan merupakan salah satu tempat lahirnya hukum. Melaluihukum yang dilahirkan oleh pengadilan, pejabat pencatat perkawinan memiliki dasar hukum untuk mencatatkan perkawinan beda agama tersebut. Pengaturan yang demikian menunjukkan konsep pencatatan perkawinan beda agama yang administratit. Pencatatan perkawinan beda agama tidak didasarkan atas sahnya perkawinan tersebut berdasarkan UUP- yaitu sah sesuai sahnya agama, namun perkawinan beda agama dicatat karena adanya aturan hukum yaitu penetapan pengadilan yang menyuruh untuk dicatat, Berdasarkan hal tersebut di atas terlihat pegawai pencatal perkawinan seolah mencatatkan perkawinan yang tidak sah. Berdasarkan Pasal 34 UU Adminduk dicatatkannya perkawinan yang tidak sah bukan tidak mungkin. Pasal 34 ayat (1) UU ‘Adminduk mengatur bahwa perkawinan yang sah wajib dilaporkan, serta Pasal 34 ayat (2) UU Adminduk menetapkan berdasarkan laporan tersebut pejabat pencatat sipil mencatatkan perkawinannya. Oleh karena Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk tidak menyatakan bahwa hanya perkawinan yang sah saja yang dapat dilaporkan serta Pasal 34 ayat (2) UU Adminduk juga tidak mengatur bahwa hanya laporan alas perkawinan sah saja yang dapat dicatatkan, Menerima laporan alas perkawinan yang sah dan mencatatkannya hanyalah konsep kebiasaan yang dibangun oleh Dinas Dukcapil, sehingga adanya Penetapan Pengadilan atas perkawinan beda agama memaksa pejabat pencatat sipil untuk keluar dari kebiasaannya menerima dan mencatat laporan perkawinan yang sah dan mencatatkan perkawinan beda agama yang masih belum jelas keabsahannya, Oleh karena itu pencatatan perkawinan beda agama berdasarkan penetapan pengadilan hanya berkonsep administrasi Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan... 59 D. Simpulan Pasal 35 poin a UU Adminduk hanya berkedudukan sebagai peraturan hokum yang ‘mendasari dicatatkannya perkawinan beda agama Meskipun perkawinan beda agama berdasarkan Pasal 35 poin a UU Adminduk ini dapat dicatatkan, tidak berart perkawinan tersebut secara serta merta telah dianggap sah. Sahnya perkawinan tetap didasarkan pada Pasal 2 ayal (1) UUP, adanya Pasal 35 poin a UU Adminduk ini hanya sebagai jalur khusus untuk mencatatkan perkawinan beda agama. E. Saran Mengingat bahwa berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Indonesia adalah negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengakibatkan pemerintah tidak boleh mengabaikan kehidupan beragama masyarakatnya, Oleh karena itu Pasal 35 poin a UU Adminduk yang secara nyata memberi jalan dilaksanakannya perkawinan yang dilarang oleh keenam agama yang diakui di Indonesia harus dicabut. F. Persantunan Terima kasih disampaikan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DK Jakarta dan Kota Surakarta atas data dan informasinya, serta bapak Pranoto dan ibu Anjar Sri C.N, atas bimbingannya dalam penelitian ini. Daftar Pustaka ‘Ahmad Ashar Basyir. 1981. Kawin Campur-Adopsi dan Wasiat Menurut Islam. Bandung: Al-Maarif. R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin. 1982, Hukum Orang dan Keluarga. Bandung: Alumni Salma Zuhriyah. Pornikahan Beda Agama Tinjauan Hukum Islam & Hukum Negara. http: tafany.wordpress.com/2009/03/23/pemikahan-beda-agama-tinjauan-hukum-Islam-hukum-negaral>[3 Desember 2011 pukul 22.00 WIE] ‘Sudharindopa. 2006, Perkawinan Beda Agama, Solusi dan Pemecahannya, Jakarta : FH UI Press. 60 Private Law Eaisi01 Maret - Juni 2013 Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan

You might also like