You are on page 1of 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/352994103

David Hume dan Epistemologinya

Presentation · January 2019


DOI: 10.13140/RG.2.2.20020.78728

CITATIONS READS
0 709

1 author:

Seta Basri
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Sandikta
26 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Sandikta View project

All content following this page was uploaded by Seta Basri on 05 July 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


|1

DAVID HUME DAN EPISTEMOLOGINYA


oleh:
Seta Basri

Untuk Sitasi:

Seta Basri, “David Hume dan Epistemologinya.” Makalah Filsafat Ilmu


Pengetahuan. Program Doktoral Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana
Universitas Nasional, 2019.

Biografi Singkat

David Hume adalah filosof asal Skotlandia, dan juga dikenal sebagai sejarawan
dan esais.1 Hume lahir dari keluarga beragama Presbyterian yang ketat
mengamalkan ajaran agama. Ia kuliah saat umur 12 tahun di Universitas
Edinburgh dan berniat mempelajari hukum. Namun, kemudian ia mundur dari
keingin tersebut karena kemauannya yang begitu kuat untuk mempelajari
filsafat.

Saat berusia 26 tahun, ia menulis A Treatise of Human Nature. Karya


tulis ini kurang begitu sukses, kendati isinya merupakan fundasi filsafat dan
epistemologi ilmu pengetahuan Hume. Hume juga gagal memperoleh
pekerjaan sebagai profesor di Universitas Edinburgh dan Universitas Glasgow.
Kegagalan itu karena Hume dianggap atheis. Hume juga menulis ulang
karyanya yang pertama menjadi dua karya tulis yaitu An Enquiry Concerning
Human Understanding dan An Enquiry Concerning the Principles of Morals. Dua
karya ini merupakan standar dari kematangan filsafat Hume, kendati secara
komersial tidak begitu sukses pula.

Karena merasa kurang berhasil menulis karya filsafat, Hume putar arah
menulis esai-esai singkat, berisikan kritik agama. Juga ia menulis tentang

1
Paul Kelly, “Hume” dalam David Boucher, ed., Political Thinkers from Plato to Present (Oxford &
New York: Oxford University Press, 2005) p. 198
|2

sejarah dan terbukukan menjadi History of England sebanyak 6 jilid. Ini ia tulis
saat menjadi pustakawan di Fakultas Advokat Universitas Edinburgh. Karya
sejarah ini ternyata sukses dan menambah sedikit kekayaan material atas
Hume. Setelah menulis sejarah Inggris, Hume tinggal sementara di Perancis di
mana ia bertemu dan bergaul dengan Jean-Jacques Rousseau. Ia kemudian
pindah kembali ke Inggris, dan sempat menduduki sejumlah jabatan rendahan
di pemerintahan. Dipicu oleh penyakit usus yang diderita, ia pun meninggal
dunia. Proses dari sakit hingga meninggal dijalaninya dengan penuh
kegembiraan dan kepasrahan a la Stoa. Hingga meninggalnya ia tetap kukuh
memegang prinsip keateismeannya dengan penuh kegembiraan.

Pendahuluan

Epistemologi Hume didasarkan atas Empirisme, yaitu bahwa seluruh


pengetahuan diturunkan dari pengalaman dan sebab itu, tidak boleh ada yang
di luar itu.2 Bagi Hume, ilmu pengetahuan tentang manusia (science of man)
adalah satu-satunya fundasi solid bagi ilmu pengetahuan lainnya. Ilmu
pengetahuan tentang manusia ini harus didasarkan atas pengalaman dan
observasi atasnya. Namun, Hume juga disebut sebagai seorang Skeptis, sebab
ia menyatakan “tis still certain we cannot go beyong experience; and any
hypothesis, that pretends to discover the ultimate original qualities of human
nature, ought at firs to be rejected as presumptuous and chimerical.”3

Hume meneruskan tradisi Empirisme John Locke. Bagi Locke, “Ide


datang dari Sensasi atau Refleksi … Pikiran adalah sebuah Kertas kosong,
tanpa Ide. Lalu dari mana isinya … Atas pertanyaan ini saya menjawab, dengan
satu kata, dari Pengalaman. Dari Pengalamanlah Pengetahuan kita didirikan.”4
Locke, juga Hume, berseberangan dengan Rene Descartes. Descartes
menekankan teori Ide kekal dan intuisi rasional. Bagi Descartes, manusia
memiliki akal murni (pure reason) sehingga ia dapat melakukan pemahaman

2
Zuzana Parushnikova, David Hume, Sceptic (Switzerland: Springer, 2016) p. 27.
3
Ibid … , p. 27.
4
John Locke seperti dikutip Zuzana, p. 27.
|3

atas realitas tanpa harus mengambil Pengalaman sebelumnya. Hume justru


sebaliknya, Ide baru muncul setelah Kesan, yaitu saat indera mencerap obyek
material di luar pikiran manusia. Apabila manusia berpikir di luar
pengalamannya, maka Hume menyebutnya Imajinasi.

Hume dan Persepsi

Fundasi filsafat David Hume adalah pandangannya atas cara berpikir manusia.
Konsep sentral Hume dalam membedah cara berpikir manusia adalah
Persepsi. Persepsi adalah isi, atau elemen penyusun kesadaran manusia.5
Persepsi adalah blok-blok bangunan dasar dunia mental, dan sebab itu ia
merupakan isi total dari pikiran kita.6 Parushkova menyamakan Persepsi
dalam pikiran Hume dengan atom dalam pikiran Newton.7 Jadi, kesadaran
manusia tidak lain terdiri atas gulungan persepsi, seperti manusia dan seluruh
material alam tersusun atas atom-atom. Hume menyatakan, “tidak ada
satupun yang benar-benar ada di dalam pikiran manusia kecuali Persepsi.”
Bagi Hume, persepsi adalah satu-satunya eksistensi yang diketahui secara
pasti. Persepsi segera muncul melalui kesadaran manusia, yang dinamakan
pikiran.

Apa sesungguhnya yang dimaksud Hume dengan Persepsi? Hume


menggambarkan persepsi sebagai obyek pikiran. Hume membedakan obyek
pikiran dengan obyek eksternal. Obyek pikiran adalah isi dari kondisi sadar
manusia. Obyek eksternal adalah obyek yang terus-menerus terpisah dari
pikiran kita, misalnya gunung, awan, laut, ikan, atau batu. Obyek eksternal
hanya bisa dikenali secara langsung atau diulangi untuk dikenal, lewat
Persepsi. Termasuk ke dalam Persepsi adalah aneka modifikasi inderawi
(sensory), rasa (affection), dan aneka kognisi yang kita hasilkan lewat tindakan
melihat, mendengar, menilai, mencinta, membenci, dan berpikir.8 Dengan

5
David Hume dalam Claudia M. Schmidt, David Hume: Reason in History (Pennsylvania: The
Pennsylvania University Press, 2003, p. 14
6
Zuzana, p. 28.
7
Ibid, p. 28.
8
Claudia, p. 14.
|4

demikian Hume menyamakan Persepsi dengan substansi, yaitu sesuatu yang


hadir secara terpisah ataupun tidak memerlukan hal selainnya, untuk
mendukung eksistensinya. Perspesi adalah sebuah entitas otonom dalam
manusia.

Untuk lebih mengkerucutkan pemikiran Hume mengenai watak dan


prinsip pikiran manusia, dapat dilihat pada bagan. Pada bagan tersebut,
Persepsi adalah sentral dalam pemikiran Hume. Persepsi terbagi dua yaitu
Kesan dan Ide. Kesan terdiri atas Sensasi Eksternal dan Sensasi Reflektif. Ide
terbagi dua yaitu Memory dan Imajinasi. Imajinasi terbagi dua menjadi
Pemahaman dan Fancy. Pemahaman terbagi dua lagi menjadi Fakta dan Relasi
Ide.9

Kesan dan Ide adalah dua jenis Persepsi yang dibedakan menurut
derajat kekuatan (force) dan sifat nyatanya (liveliness). Perbedaan derajat ini
terasa saat Kesan ataupun Ide tampak di pikiran kita. Kesan lebih kuat dan
nyata ketimbang Ide. Kesan juga meliputi sensasi, hasrat, dan emosi, dan
ketiganya muncul pertama kali di dalam jiwa.10 Di sisi lain, Ide adalah

9
James Fieser, David Hume (1711 – 1776) dalan Internet Encyclopedia of Philosophy and Its Author
(University of Tennessee at Martin) dalam https://www.iep.utm.edu/hume/#H1
10
Zuzana, p. 14.
|5

pencitraan (imaji) yang merupakan upaya kita untuk kembali menampilkan


Kesan, manakala obyek materialnya sudah tidak ada.

Contoh Kesan dan Ide adalah sebagai berikut: Saat tangan kita
memegang api maka langsung terasa panas di tangan. Persepsi langsung
seperti itu adalah Kesan (berjenis Sensasi). Lalu kita langsung merasa kaget,
sakit, dan kesal yang disebut Kesan (berjenis Refleksi). Keesokan harinya, saat
kita membayangkan rasanya memegang api, termasuk bagaimana panasnya
api di tangan, maka itu adalah Ide. Dengan demikian, Ide selalu lebih lemah
derajat kekuatan dan nyatanya ketimbang Kesan. Kesan selalu berhubungan
dengan obyek nyata, sementara Ide berhubungan dengan Persepsi. Ide juga
tidak bisa muncul tanpa adanya Kesan. Di sinilah maka filsafat Hume disebut
sebagai Empirisme: Paham filsafat yang mensyaratkan pengalaman manusia
terhadap peristiwa aktual atau nyata.

Hume membagi Kesan menjadi dua, yaitu Kesan Sensasi dan Kesan
Refleksi. Kesan Sensasi adalah sesuatu yang dicerap langsung indera kita,
sehingga kita dapat merasakan panas atau dingin, haus atau lapar, nikmat atau
derita. Kesan Sensasi ini kemudian dibagi tiga lagi oleh Hume, yaitu: 1)
Kualitas Eksternal Obyek (misalnya bentuk, gerak, kepadatan); 2) Atribut
Obyek (misalnya warna, rasa, bau, dingin, panas); dan 3) Kondisi Mental
(misalnya senang, sakit). 11 Pada sisi lain, Kesan Reflektif, bagi Hume meliputi
hasrat, keinginan, dan emosi, yang muncul di dalam pikiran sebagai tanggapan
atas Kesan Sensasi, dan berwujud pada refleksi yang menyenangkan atau
menyakitkan. Kesan Reflektif ini terjadi langsung manakala Kesan Sensasi
tengah berlangsung. Jadi, tidak ada jeda layaknya Ide. Studi penginderaan yang
dilakukan manusia, yaitu Kesan, diserahkan Hume kepada filsafat alam atau
ilmuwan. Hume lebih tertarik untuk melakukan kajian atas Ide (berikut
turunannya). Ini akibat Hume menganggap dirinya filosof moral.12

11
Claudia, p. 15
12
Ibid., p. 20.
|6

Menariknya, Hume menyebut bahwa Kesan dan Ide ini bisa sangat
dekat satu sama lain dalam hal nyatanya. Dalam sejumlah kondisi manusia
seperti saat tidur, terserang demam, kegilaan, dan aneka peristiwa yang
menyakiti jiwa, Ide dapat saja menyerupai Kesan dalam hal nyatanya. Di sisi
lain, juga dapat saja terjadi kebalikannya, yaitu Kesan begitu lemah sehingga
ia tidak lagi bisa dibedakan dengan Ide. Pendapat Hume tentang dua situasi
yang berkebalikan dari Kesan dan Ide didasarkan atas pembedaan
kualitatifnya atas aneka jenis kondisi kesadaran manusia.13 Sebab itu dikenal
konsep-konsep psikologis seperti halusinasi, delusi, skizoprenia, dan aneka
fobia.

Dalam konteks kesadaran manusia, Kesan dapat disebut Perasaan,


sementara Ide dapat disebut Pemikiran. Bagi Hume, Perasaan lebih superior
ketimbang Pemikiran.14 Kedua entitas Persepsi ini, Kesan dan Ide, dijelaskan
Hume secara lebih lanjut. Bagi Hume, saat kita merasakan hasrat, emosi, atau
pengaruh dari aneka obyek eksternal secara langsung terhadap indera kita,
maka Persepsi kita sebut dengan Kesan. Sementara, saat kita tengah
melakukan refleksi atas hasrat, emosi, atau pengaruh dari aneka obyek
eksternal terhadap indera kita, dengan mana obyek tersebut sudah tidak ada,
maka Persepsi kita sebut dengan Ide.15 Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa Kesan adalah tangkapan langsung atas suatu sensasi, beruba hasrat,
emosi. Di sisi lain, Ide adalah tangkapan reflektif kita atas sensasi, hasrat, atau
emosi yang sudah kehilangan obyeknya.

Kesan dan Ide Sederhana dan Rumit

Persepsi juga dibedakan Hume menjadi dua: Persepsi Sederhana dan Persepsi
Rumit. Keduanya, diterapkan baik untuk Kesan maupun Ide. Jadi, ada Kesan
Sederhana dan Rumit juga ada Ide Sederhana dan Rumit.16 Ide Sederhana

13
Ibid, p. 15.
14
Pendapat Hume ini mempengaruhi filosof selanjutnya, yaitu Schopenhauer dalam konsepnya
tentang angst yaitu bahwa penggerak manusia bukanlah pikiran rasional melainkan kehendak.
15
Ibid, p. 15.
16
Claudia, p. 16.
|7

adalah salinan Kesan tunggal dan Ide Rumit adalah kombinasi aneka Ide
Sederhana.17 Ide Rumit, sebab itu, bukan salinan dari aneka Kesan Rumit
karena akan berlebihan (redundant), kendati Kesan Rumit ini punya peran
dalam mengkomposisi watak manusia. Kembali ke pokok, yaitu Persepsi
Sederhana dan Rumit. Bagi Hume, Persepsi Sederhana menerima tidak adanya
pembedaan dan pemisahan, baik dalam konteks Kesan maupun Ide.
Sebaliknya, Persepsi Rumit adalah kondisi di mana Kesan ataupun Ide dapat
dibagi lagi ke dalam sejumlah bagian (diuraikan).

Kesan Sederhana, misalnya, Kesan atas warna, rasa, atau bentuk yang
tunggal (merah, putih, asam, manis, oval, bulat). Kesan Rumit menyatukan
aneka Kesan Sederhana yang bersifat spesifik, misalnya warna, bentuk, bau,
tekstur, ataupun rasa dari satu jenis apel. Apel terdiri atas data indera
(sensory) yang Rumit karena merupakan penyatuan dari aneka Kesan
Sederhana. Pada sisi lain, Ide Sederhana diturunkan dari Kesan Sederhana.
Dalam contoh apel, Ide Sederhananya adalah kebulatannya, kemerahannya
(atau kehijauannya, kekuningannya), atau kemanisannya.18 Dengan demikian,
Ide Rumit terdiri atas Ide Sederhana, contohnya Ide tentang apel, yang tidak
berisikan warna atau rasa yang pasti dari apel tertentu, tetapi sekadar ciri
yang bersifat umum seperti bulat, keras, merah, dan lainnya. Dengan
demikian, muncul satu prinsip dari kaum Empiris: “Seluruh Ide Sederhana kita
dalam tangkapan pertamanya berasal dari Kesan Sederhana, yang
berkorespondensi dengan suatu obyek.”19

Bagaimana Ide Sederhana bisa membentuk Ide Rumit? Jawaban Hume


adalah akibat fungsi asosiasi. Ada tiga fungsi yang bersifat asosiatif yaitu:
keserupaan (resemblance), persentuhan (contiguity), dan sebab-akibat
(causation).20 Contoh dari keserupaan adalah, suatu lukisan pantai Parangtritis

17
Zuzana, p. 21.
18
Ibid, p. 21.
19
Ibid, p. 21.
20
Claudia, p. 26.
|8

lalu diasosiasikan dengan Ide asal-usulnya yaitu suatu wilayah pantai di


Parangtritis (Kesan). Contoh dari persentuhan adalah apabila kita melihat
sebuah apartemen maka mendorong Ide mengenai apartemen lainnya. Contoh
dari sebab-akibat adalah bekas luka di tangan kita mendorong munculnya Ide
pisau yang menggoresnya. Ketiga prinsip ini berjalan spontan manakala kita
melakukan asosiasi Ide. Dasar dari tiga asosiasi ini adalah gaya tarik antar Ide,
sehingga Ide Sederhana dapat membentuk Ide Rumit. Ide Rumit inilah yang
merupakan subyek dari Imajinasi untuk membentuk pemahaman
(understanding). Epistemologi Hume, menekankan pada penalaran
(reasoning) atas aneka fakta, yang secara prinsipil harus dialami. Fakta adalah
aneka obyek di dalam dunia empiris atau di dalam yang kita anggap sebagai
dunia nyata.21

Hume menyebut, dalam tiga asosiasinya (keserupaan, persentuhan, dan


sebab-akibat) mengacu pada kegiatan Imajinasi yang terjadi secara spontan
saat kita melakukan asosiasi Ide. Dari tiga jenis asosiasi ini, Hume
menurunkannya lagi menjadi tujuh relasi filosofis yaitu keserupaan, identitas,
lokasi sehubungan waktu dan tempat, kuantitas, derajat kualitas, kontradiksi,
dan sebab-akibat.22 Dalam epistemologi Hume mengenai Pemahaman, sebagai
asal-usul Ide, Hume telah membaginya menjadi dua: Fakta dan Relasi Ide.
Hume lalu mengkategorisasi ke mana dari tujuh relasi filosofisnya harus
ditempatkan dalam konteks Pemahaman. Keserupaan, Kontradiksi, Derajat
Kualitas, dan Kuantitas ia masukkan ke dalam Relasi antar Ide. Sementara
Identitas, Hubungan Ruang dan Waktu, dan Sebab-akibat ia masukkan ke
Fakta. Dalam filsafat manusia, terkait dengan ilmu-ilmu non eksak, maka
masalah Identitas, hubungan Ruang dan Waktu, dan sebab-akibat ini lebih
signifikan untuk dibahas.

Dalam hal pemahaman, Hume membedakan pemahaman atas fakta


dengan pemahaman yang mendasarkan diri pada relasi antar Ide. Relasi antar

21
Zuzana, p. 29.
22
Claudia, p. 29.
|9

Ide hanya melibatkan operasi pemikiran semata, yaitu seperti terjadi dalam
ilmu matematika, yang tidak menemui eksistensinya di semesta.23 Misalnya,
salah satu sudut dari segitiga siku-siku besarnya pasti 90 derajat. Atau, operasi
perkalian dan pembagian dilakukan terlebih dahulu dari operasi penjumlahan
dan pengurangan. Di sisi lain, Pemahaman atas fakta mengarah pada
pembentukan ilmu seperti politik, ekonomi, hukum, ataupun antropologi. Ilmu
politik mengacu pada fakta adanya partai politik, perwakilan politik, kelompok
kepentingan. Ilmu ekonomi didasarkan atas adanya fakta kelangkaan sumber
daya yang dibutuhkan manusia, dan sebab itu fokus pada proses produksi,
distribusi dan konsumsi kebutuhan manusia yang langka tadi. Dengan
asosiasi, Ide membentuk jaringan pemikiran yang jelas, dan merupakan
jalinan dunia kita yang jelas pula. 24

Tibalah kini Hume membicarakan Ide abstrak atau biasa disebut


sebagai konsep. Menurut Hume, Ide abstrak adalah aneka Ide yang mewakili
sejumlah obyek menurut jenis tertentu. Ide abstrak ini merupakan fungsi
Imajinasi, saat mengasosiasikan aneka Ide yang muncul dari Kesan menurut
prinsip keserupaan dan hasilnya adalah istilah umum (general term). Inilah
apa yang kemudian kita kenal sebagai teori. Teori adalah Ide abstrak, yang
prosesnya dibentuk melalui Imajinasi, yang Idenya berasal dari Pemahaman
(understanding) baik didasarkan atas fakta ataupun relasi antar Ide.

Memory dan Imajinasi

Hume, seperti telah disebutkan, fokus pada Ide, karena observasi atas Kesan
ia serahkan pada ilmuwan alam. Masih pula dalam rangka Ide Sederhana dan
Ide Rumit, beserta asosiasinya, maka dalam hal Ide, Hume membaginya jadi
dua yaitu Memory dan Imajinasi. Memory memunculkan Ide yang didasarkan
pada pengalaman yang sungguh terjadi (faktual). Sebaliknya, Imajinasi
memunculkan Ide yang bisa dipecah, dibagi, lalu disusun kembali, baik itu

23
Zuzana, p. 29.
24
Zuzana, p. 30.
| 10

mengacu pada Memory (bersifat faktual) maupun tidak. Mengenai Imajinasi


ini Hume menyatakan bahwa “saat Imajinasi melihat perbedaan antar Ide, ia
dengan mudah melakukan pemisahan, pembagian, dan penggabungan
kembali.”25

Contoh, Ide mengenai ‘kuda bersayap’ bukanlah Ide yang berasal dari
Memory melainkan Imajinasi, karena siapa pernah melihat ‘kuda bersayap’?
Imajinasi merekam bahwa ‘kuda’ dan ‘sayap’ yang diperoleh berdasarkan
Memory dapat menghasilkan satu Ide baru yaitu ‘kuda bersayap’. Sebaliknya,
‘kuda bersayap’ juga dapat dipecah menjadi dua Ide yang faktual (berdasarkan
Memory) yaitu ‘kuda’ dan ‘sayap’ yang sungguh-sungguh ada. Sekadar
informasi, dalam pemikiran Hume, ‘kuda bersayap’ termasuk Ide yang berjenis
fancy atau fantasi, termasuk ke dalamnya tahayul. ‘Kuda bersayap’ bagi Hume
hanya bisa muncul karena Imajinasi manusia.

Hume mengidentifikasi Memory dan Imajinasi sebagai dua operasi


mental dimana Kesan yang secara aktual pernah hadir di pikiran dihadirkan
kembali sebagai Ide.26 Imajinasi bebas dalam mengacak dan mengubah Ide,
dan sebab itu Hume (berdasarkan adanya Imajinasi ini) berujar bahwa tidak
ada satu pun yang sangat tak terikat seperti pikiran manusia. Pikiran manusia
mampu mengkombinasikan bentuk dan tampakan ganjil, bahkan di luar batas
kenyataan, kendati Imajinasi tidak bisa melakukan pengkombinasian tersebut
tanpa Kesan sebelumnya. Imajinasi ‘kuda bersayap’ misalnya, tidak akan bisa
ada tanpa sebelumnya ada Kesan ‘kuda’ dan ‘sayap’ terlebih dulu.

Imajinasi yang disengaja untuk menghasilkan gambar novel (atau


komik) disebut fantasi. Fantasi biasa ditemui dalam puisi, roman, di mana alam
sepenuhnya berisi kuda bersayap, naga, dan raksasa. Dengan Imajinasi, lanjut
Hume, kita mampu memisahkan, menghubungkan, dan mengkombinasikan
Ide, untuk kemudian diformulasikan menjadi konsep dan penilaian.27 Bahkan,

25
Claudia, p. 16.
26
Claudia, p. 20.
27
Ibid, p. 20.
| 11

Hume menyatakan, lewat Imajinasi kita bisa meluaskan Ide tentang ruang dan
waktu, di luar batas yang mampu diterima Kesan. Ini karena ada
kecenderungan Imajinasi untuk terus bergerak, bahkan manakala obyeknya
sendiri (Kesan) gagal membuktikannya. Hume menyebut ini terjadi dalam Ide
persamaan geometris, konsep ruang kosong, konsep waktu kosong, hubungan
kausal, eksistensi terus-menerus obyek eksternal, dan identitas personal yang
berkesinambungan. Hume menekankan Ide-ide tersebut terus bergerak,
menabrak batasan yang ditentukan oleh Kesan. Hume menyebut Imajinasi
sebagai kekuatan kreatif pikiran (creative power of the mind).28

Memory, bagi Hume, adalah Ide yang sifatnya lebih hidup dan kuat
ketimbang Imajinasi. Tidak seperti Imajinasi, memory terikat dengan urutan
dan posisi dari Persepsi yang muncul sebelumnya (melalui Kesan). Memory
lebih kuat dari Imajinasi, dan sebab itu memory merupakan ciri khas dari
kepercayaan.29 Memory, bagi Hume, dicirikan dalam kegiatan pikiran seperti
saat meditasi. Dengan demikian, Hume memadankan antara Memory dengan
kepercayaan. Kepercayaan adalah cara tertentu dalam menghasilkan Ide.
Namun, Hume mengakui bahwa ia kesulitan dalam menemukan kata-kata
yang bisa digunakan untuk menjelaskan masalah kepercayaan ini. Satu-
satunya kata yang ia temukan adalah perasaan (feeling).30

Bagi Hume, Memory dan Imajinasi dapat dibedakan secara kuantitatif


dan kualitatif. Secara kuantitatif menurut derajat nyata dan kekuatannya,
sementara secara kualitatif menurut perasaaan (feeling) atau cara konsepsi
atas Ide. Pembedaan atas Ide yang muncul dari Memory dan dari Imajinasi
ditentukan lewat penilaian atas relasi di dalam Ide tersebut, dengan kenyataan
publik atau eksternal.31 Semakin banyak ditemukan dalam kenyataan, maka

28
Ibid, p. 22.
29
Ibid, p. 22.
30
Claudia, p. 24.
31
Ibid, p. 25.
| 12

Ide tersebut dapat dikatakan sebagai Memory, dan semakin sedikit, maka
disebut sebagai Imajinasi.

Sebab-Akibat

Sebab-akibat dalam pemikiran Hume adalah tidak ada. Apa yang disangka
sebagai sebab-akibat, sesungguhnya adalah sekadar peristiwa yang
bersamaan kejadiannya. Contoh yang sering dikutip orang dari Hume adalah
bola biliard. Jika bola putih didorong dan mengenai bola hitam, lalu bola hitam
bergerak, maka dikatakan bola putih menyebabkan bola hitam bergerak. Bagi
Hume, sebab-akibat yang terjadi atas bola-bola biliard bukan sebab-akibat
yang sesungguhnya, melainkan sekadaran kebiasaan. Akibat selalu terjadi
bersamaan, apabila bola putih didorongkan ke bola hitam, maka bola hitam
bergerak, maka kita selalu berharap itu untuk terjadi. Bagi Hume, bola putih
bergerak ke bola hitam adalah satu peristiwa mandiri. Juga, setelah bola hitam
terkena bola putih lalu bergerak adalah peristiwa tersendiri. Jadi, ada dua
peristiwa mandiri di sini. Orang tidak bisa menyimpulkan bahwa bola putih itu
sebab, dan gerakan bola hitam akibat. Hume secara kritis menganggap ada
sesuatu yang lain terjadi, yaitu tepat saat bola putih mengalami persentuhan
dengan bola hitam. ‘Persentuhan’ inilah yang dapat mengakibatkan
konsekuensi berbeda. Bagi Hume, ada kemungkinan ‘persentuhan’ itu
menggerakkan atau tidak menggerakkan bola hitam.

Contoh lainnya adalah kilat yang menyebabkan suara guruh. Selalu,


setelah kilat terjadi, suara guruh muncul. Maka disimpulkan bahwa kilat
adalah sebab, dan guruh adalah akibat. Karena terus terjadi berulang-ulang
maka disimpulkan kilat menyebabkan guruh. Kesimpulan itu tentu saja keliru
karena kilat dan guruh terjadi secara bersamaan. Guruh muncul belakangan
karena suara merambat di udara dengan kecepatan lebih lambat ketimbang
cepat-rambat cahaya (kilat). Di sini masalah ruang dan waktu sangat penting
dalam penyimpulan hubungan sebab-akibat. Dan sebab itu, Hume
menyangsikan hukum sebab-akibat karena seluruh peristiwa berdiri secara
| 13

sendiri-sendiri. Dalam kasus kilat dan guruh ada tiga peristiwa yaitu kilat,
gesekan muatan listrik, dan guruh. Ketiganya berdiri sendiri-sendiri, tidak
bersifat kausalitas. Lalu, apa solusi Hume atas hal-hal ini?

Bagi Hume, ada suatu konsep yang dinamakan hubungan yang


diperlukan (necessary connection). Dalam kasus bola biliar, manakala bola
putih melakukan persentuhan dengan bola hitam, persentuhan tersebut
dinamakan hubungan yang dibutuhkan. Dalam kasus kilat dan guruh,
masalahnya bukan kilat dan guruh, melainkan pada persentuhan awan
bermuatan positif dengan negatif. Hubungan yang dibutuhkan inilah konsep
yang disumbangkan Hume untuk ilmu pengetahuan. Hume menginginkan kita
untuk secara kritis dan empiris dalam melakukan pengamatan, dengan tidak
semata-mata menyandarkan diri pada kebiasaan.

Identitas Manusia

Dalam hal Identitas manusia, Hume berdalih bahwa tidak ada yang namanya
ego. Ego adalah Ide Rumit, bukan Ide Sederhana. Seperti sudah disampaikan
Hume, bahwa manusia tidak lain sekadar gulungan Persepsi. Ego dengan
demikian tidak bersifat tetap melainkan selalu dalam kondisi berubah. ‘Saya’
yang kemarin, tidak sama dengan ‘saya’ hari ini. Atau, samakah ‘saya’ ketika
kelas 2 SMP dengan ‘saya’ ketika tengah menempuh S1? Mungkin hanya
namanya saja yang sama tetapi Persepsinya pasti berbeda.

Dengan demikian, menurut logika Hume, ego itu hadir seperti film yang
kita tonton di bioskop. Film sesungguhnya terdiri atas ribuan atau jutaan foto
yang terpisah satu sama lain. Foto yang satu berbeda dengan foto lainnya.
Demikian pula ego dan sebab itu, Hume menentang pendapat Descartes
tentang ego yang selalu tetap, tidak berubah. Sekadar mengulang, bahwa bagi
Hume manusia tidak lain melainkan segulungan Persepsi. Ego dibatasi oleh
ruang dan waktu. ‘Saya’ di sekolah berbeda dengan ‘saya’ di rumah. ‘Saya’ di
sekolah harus masuk saat bel berbunyi, harus minta izin jika ingin ke toilet,
dan banyak mendengarkan orang lain bicara. Sementara ‘saya’ di rumah lebih
| 14

bebas, dapat tidur atau ke toilet tanpa terlebih dahulu meminta izin. Dengan
demikian, bagi Hume, perasaan bahwa kita memiliki ego yang tetap adalah
perasaan yang keliru. Ego tidak lain adalah Persepsi, yaitu Persepsi yang
merupakan rangkaian panjang Kesan-kesan Sederhana, yang tidak pernah kita
alami secara serempak.32 Ego tidak lain dari seikat atau sekumpulan Persepsi
yang berbeda-beda, yang kejar-mengejar satu sama lain dengan kecepatan tak
terhitung, dan terus berubah dan bergerak.’33 Manusia, sebab itu, tidak
memiliki ‘jati diri’ karena ia selalu berubah, bergantung Persepsi yang
diinternalisasikan untuk kemudian dihadirkan melalui pikiran. [</>]

32
Jostein Gaarder, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat (Bandung: Mizan, 2011) p. 425.
33
Ibid, p. 425.

View publication stats

You might also like