You are on page 1of 8

Definisi Jiwa

Secara leksikografis, jiwa merupakan kata benda yang berarti roh


manusia, nyawa; seluruh kehidupan batin, sesuatu yang utama yang menjadi
semangat; maksud sebenarnya, isi yang sebenarnya, arti yang tersirat, buah
hati, kekasih, orang (dalam perhitungan penduduk).
Telaah pemikiran Islam tentang jiwa dalam kaitannya dengan filsafat
Islam, dapat ditilik dari akar kata bahasa Arab, yaitu kata al-nafs. Al-nafs
(nun-fa-sin) menunjukkan arti keluarnya angin lembut bagaimana pun
adanya. Al-nafs juga diartikan darah, atau hati (qalb) dan sanubari (dhamir),
padanya ada rahasia yang tersembunyi. Al-nafs juga berarti ruh, saudara,
‘indahu (kepemilikan).
Para filsuf muslim memakai kata jiwa (al-nafs) pada apa yang
diistilahkan al-Quran dengan al-ruh. Kata ini telah diserap dalam bahasa
Indonesia menjadi nafsu, nafas, dan roh. Akan tetapi, kata nafsu dalam
pemakaian sehari-hari berkonotasi dengan dorongan melakukan perbuatan
kurang baik, sehingga sering dirangkai menjadi satu dengan kata hawa, yakni
hawa nafsu (Zar, 2012).

Pandangan Filsuf Muslim mengenai Jiwa


1. Al-Kindi
Al-Kindi (Najati, 2002) mendefinisikan jiwa sebagai berikut,
“Kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan
memiliki kehidupan yang energik, atau kesempurnaan fisik alami yang
memiliki alat dan mengalami kehidupan.” Yang dimaksud
“kesempurnaan” oleh al-Kindi di sini adalah sesuatu yang dengannya al-
jins (suatu genus) menjadi sempurna sehingga dapat menjadi nau’
(spesies), atau sesuatu yang dengannya tubuh alamiah (al-jism ath-
thabi’i) sempurna sehingga menjadi seorang manusia. “Tubuh alamiah”

1
sendiri bukan merupakan tubuh buatan. “memiliki alat” adalah manusia
bertingkah laku dengan menggunakan berbagai anggota tubuh. Adapaun
“mengalami kehidupan” adalah dalam diri manusia terdapat kesiapan
untuk hidup dan penerimaan daya jiwa.
Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah Jauhar Basith
(tunggal, tidak tersusun, tidak panjang dalam, dan lebar). Jiwa
mempunyai arti penting sempurna, dan mulia. Substansinya berasal dari
substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan
cahaya dan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan
berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan ilahi.
Sementara itu, jisim mempunyai hawa nafsu dan marah.1
Al-Kindi, dalam tulisannya juga, menjelaskan bahwa pada jiwa
manusia terdapat tiga daya : daya bernafsu yang terdapat di perut, daya
marah yang terdapat di dada, dan daya pikir yang berpusat di kepala.2

2. Al-Farabi
Al-Farabi mendefinisikan jiwa sebagai “kesempurnaan awal bagi
fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang
energik.” Dan juga jiwa adalah jauhar rohani sebagai form bagi jasad.
Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-
masing keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya
jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-
nafs al-nathiqah, berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari
alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan
tatkala jasad siap menerimanya (Zar, 2012).
Bagi Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai
berikut:
1
Zar, Filsafat Islam …, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm 59
2
Ibid., hlm. 60

2
a. Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk
makan, memelihara dan berkembang.
b. Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong
untuk merasa dan berimajinasi.
c. Daya al-Nathiqat (berfikir), daya ini yang mendorong untuk
berfikir secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingkat sebagai berikut:
a. Akal potensial (al-Hayulany), ialah akal yang baru
mempunyai potensi berfikir dalam arti: melepaskan arti-arti
atau bentu-bentuk dari materinya.
b. Akal Aktual (al-Aql bi al-fi’l), akal yang telah daat
melepaskan arti-arti dari materinya, dan arti-arti itu telah
mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi
dalam bentuk potensial, tetapi telah dalam bentuk aktual.
c. Akal Mustafad (al-aql al-Mustafad), akal yang telah dapat
menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan
materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan
komunikasi dengan akal kespuluh.
Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan
dengan filsafat negara utamanya (Zar, 2012). Bagi jiwa yang hidup pada
negara utama, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan
perintah Allah, maka jiwa ini akan kembali ke alam nufus (alam
kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada negara
fasiqah, yakni jiwa yang kenal dengan Allah, tetapi dia tidak
melaksanakan segala perintah Allah, ia kembali ke alam nufus (alam
kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan. Sementara jiwa yang hidup
dalam negara jahilah, yakni jiwa yang tidak kenal sama sekali dengan

3
Allah dan tidak pernah melaksanakan perintah Allah, ia lenyap bagaikan
jiwa hewan (Zar, 2012).

3. Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih mendefinisikan jiwa sebagai substansi sederhana
yang tidak dapat diindera oleh salah satu indera. Dia berpendapat
sesungguhnya jiwa bukanlah fisik, bukan bagian dari fisik, dan bukan
pula salah satu kondisi fisik.
Jiwa adalah sesuatu lain yang berbeda dengan fisik, baik dari segi
substansinya, hukum-hukumnya, ciri-cirinya, maupun perilaku-
perilakunya, sehingga bisa disimpulkan, jiwa berasal dari substansi yang
lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih utama dari segala sesuatu yang
bersifat fisik di dunia (Najati, 2002).
Menurut Ibnu Miskawaih, jiwa manusia memiliki tiga daya, yaitu
daya rasional, daya emosi, dan daya syahwat. Meskipun ketiganya
menjadi sesuatu yang tunggal, tetapi ketiganya tetap dalam daya yang
berbeda, sebab kadang-kadang salah satu di antaranya bergejolak
sedangkan yang lain tenang.
Berikut ini adalah penjelasan daya atau tiga jiwa tersebut :
a. Daya Rasional atau Jiwa Rasional, yaitu jiwa yang menjadi
dasar berpikir, membedakan, dan menalar hakikat segala
sesuatu. Pusatnya ada di otak.
b. Daya Emosi atau Jiwa Emosi. Miskawaih menyebutnya
dengan an-Nafs as-Sabu’iyyah (jiwa kebuasan). Jiwa inlah
yang menjadi dasar kemarahan, tantangan, keberanian atas
hal-hal yangmenakutkan, keinginan berkuasa, keinginan pada
ketinggian pangkat, dan berbagai kesempurnaan. Pusat daya
ini ada di dalam hati.

4
c. Daya Syahwat atau Nafsu Syahwat. Miskawaih menyebutnya
juga dengan an-Nafs al-Bahimiyah (jiwa kebinatangan). Jiwa
inilah yang menjadi dasar syahwat, usaha mencari makan,
kerinduan untuk menikmati makanan, minuman dan
perkawinan, serta berbagai macam kenikmatan inderawi
lainnya. Pusat daya jiwa ini ada di dalam hati.
4. Ibnu Sina
Menurut Ibnu Sina, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena
dengannya spesies (jins) menjadi sempurna, sehingga menjadi manusia
nyata. Kesempurnaan bagi Ibnu Sina adalah sesuatu yang dengan
keberadaannya tabiat jenis menjadi manusia. Artinya, jiwa merupakan
kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab, tubuh sendiri merupakan
prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran dapat dinamakan jiwa jika aktual di
dalam tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku (Najati, 2002).
Secara garis besar, Ibnu Sina membagi pembahasan jiwa menjadi
dua bagian, yaitu fisika dan metafisika. Dalam pembahasan jiwa dari sisi
fisika, Ibnu Sina membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan,
dan manusia.
a. Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga daya : makan,
tumbuh, dan berkembang biak.
b. Jiwa binatang/hewan mempunyai dua daya : gerak (al-
mutaharrikat) dan menangkap (al-mudrikat). Daya yang
terakhir dibagi menjadi dua, menangkap dari luar (al-mudrikat
min al-kharij) dengan pancaindera dan menangkap dari dalam
(al-mudrikat min al-dakhil) dengan indera bathin.
c. Jiwa manusia, yang disebut pula al-nafs al-nathiqat,
mempunyai dua daya : praktis (al-amilat) dan teoritis (al-

5
alimat). Daya praktis hubungannya dengan jasad, sedangkan
daya teoritis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak.
Dari segi metafisika, hal-hal yang dibicarakan Ibnu Sina adalah
mengenai wujud jiwa, hakikat jiwa, hubungan jiwa dengan jasad, dan
kekekalan jiwa.
5. Al-Ghazali
Dalam kajian tentang jiwa menurut al-Ghazali, kita menemukan dua
macam pengetahuan atau lebih tepatnya dua macam psikologi. Pertama,
psikologi yang membahas tentang daya hewan, daya jiwa manusia, daya
penggerak, dan daya jiwa sensorik. Psikologi ini banyak dinukil oleh al-
Ghazali dari al-Farabi dan terutama Ibnu Sina. Kedua, psikologi yang
membahas tentang olah jiwa, perbaikan akhlak, dan terapi akhlak tercela.
Dalam psikologi kedua ini, al-Ghazali termasuk penggagas yang tidak
bertaklid kepada filsuf sebelumnya (Najati, 2002).
Perhatian al-Ghazali terhadap jiwa, disebabkan oleh pandangan al-
Ghazali sendiri, bahwa dengan mengetahui jiwa merupakan jalan untuk
mengenal Allah. Al-Ghazali mendefinisikan jiwa manusia sebagai
sesuatu yang melakukan berbagai aksi berdasarkan ikhtiar akal dan
menyimpulkan dengan ide, serta mempersepsi berbagai hal yang bersifat
kulliyat. Dan dalam pendapatnya mengenai jiwa manusia, al-Ghazali
mengikuti pendapat dan metode dari al-Farabi dan Ibnu Sina (Najati,
2002).
6. Ibnu Bajah
Ibnu Bajah mendefinisikan jiwa adalah kesempurnaan pertama bagi
tubuh yang bersifat alamiah dan mekanistik. Jiwa memiliki beberapa
daya, yaitu daya nutrisi, daya indra, daya fantasi dan daya rasional. Ia
juga berpendapat bahwa setiap manusia mempunyai satu jiwa. Jiwa ini
tidak mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah

6
penggerak bagi manusia. Jiwa digerakkan dengan dua jenis alat, yaitu
alat-alat jasmani dan alat-alat rohaniah. Alat-alat jasmaniah di antaranya
ada berupa buatan dan ada juga berupa alamiah, seperti kaki dan tangan.
Alat-alat alamiah ini lebih dulu dari alat buatan, yang disebut juga
pendorong nalur (al-harr al-gharizi) atau roh insting.
Jiwa, menurut Ibnu Bajjah, adalah jauhar rohani, akan kekal setelah
mati. Di akhirat jiwalah yang akan menerima pembalasan, baik balasan
kesenangan (surga) maupun balasan siksaan (neraka). Akal, daya
berpikir bagi jiwa, adalah satu bagi setiap orang yang berakal. Ia dapat
bersatu dengan Akal Fa’al yang di atasnya dengan jalan ma’rifah filsafat.
Menurut Ibnu Bajjah, manusia dapat mencapai puncak ma’rifah dengan
akal semata melalui jalan membersihkan dari sifat kerendahan dan
keburukan, bukan dengan jalan sufi melalui al-qalb atau al-zauq seperti
yang diungkapkan al-Ghazali (Najati, 2002).

Penutup
Definisi jiwa secara leksikografis adalah roh manusia, seluruh
kehidupan batin, maksud sebenarnya, arti yang tersirat, dan sebagainya.
Ditilik dari akar kata bahasa Arab, yaitu kata Al-nafs (nun-fa-sin)
menunjukkan arti keluarnya angin lembut. Diartikan juga darah, atau hati
(qalb) dan sanubari (dhamir). Al-nafs juga berarti ruh, saudara, ‘indahu
(kepemilikan)
Filsuf muslim pertama yang membicarakan tentang jiwa adalah al-
Kindi, kemudian disusul filsuf-filsuf lainnya. Dan dalam mengeluarkan
pandangannya tentang jiwa, para filsuf muslim banyak mengambil dari
pendapat filsuf Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Ada juga yang tidak
taklid seperti al-Ghazali dalam pembahasan mengenai olah jiwa.

Daftar Pustaka

7
Najati, Muhammad Utsman. Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim.
Terj. Gazi Saloom. Bandung: Pustaka Hidayah. 2002.

You might also like