You are on page 1of 22

JUAL BELI UMUM, KREDIT, SALAM, ISTISNA’,

dan KHIYAR

Disusun Oleh :

Kelompok 1

1. Ziyaulhaq (2130101143)
2. Angelia Eksanti Putri (2130101172)
3. Subintang Muara Rizky (2130101187)

Dosen Pengampu : Lusiana S.Hi, M.Si

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................................i

PEMBAHASAN ...........................................................................................................1

A. Jual Beli .............................................................................................................1


B. Landasan Hukum Jual Beli ................................................................................2
C. Rukun dan Syarat Jual Beli ................................................................................4
D. Macam-macam Jual Beli ....................................................................................5
E. Jual beli Kredit (Bai’Taqs) .................................................................................5
F. Jual Beli Salam ..................................................................................................10
G. Jual Beli Istisna ..................................................................................................13
H. Khiyar ................................................................................................................15

PENUTUP .....................................................................................................................19

Kesimpulan ...............................................................................................................19

Daftar Pustaka ...........................................................................................................20

i
PEMBAHASAN

A. Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai’an yang artinya menjual, mengganti, dan
menukar sesuatu dengan yang lain. Lafad al-bai’an dalam bahasa Arab terkadang digunakan
untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-syira’a (beli). Dengan demikian kata al-bai’an
berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.1
Menurut terminologi yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut.
a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan
hak milik dari yang stau kepada yang lain atas dasar salin rela.2
b. Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan syara’.3

Perkataan jual beli terdiri dari dua suku kata yaitu jual dan beli. Sebenarnya kata jual dan
beli mempunyai arti yang satu sama lainnya bertolak belakang. Kata jual menunjukan bahwa
adanya perbuatan menjual, sedangkan beli adalah adanya perbuatan membeli.

Dengan demikian perkataan jual beli menunjukan adanya dua perbuatan dalam satu
peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan pihak lain membeli, maka dalam hal ini terjadilah
peristiwa hukum jual beli.4

Sehingga dapat dipahami bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar
benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu
menerima benda-benda dan pihak lainnya menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan
yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.

Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan,


rukun-rukun, dan hal-halyang ada kaitannyadenga jual beli. Sehingga apabila syarat-syarat dan
rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’.

1
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta:Gaya Media Pratama,2000), hlm. 111.
2
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi’i, (Bandun:Pustaka Setia, 2000), hlm. 2.2
3
Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah, (Jakarta:PT Raja Gravindo, 1997), hlm. 67.
4
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Islam, (Jakarta:Sinar Grafika,1994), hlm. 33

1
Definifsi lain dikemukakan oleh ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah, jual beli
adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.5
Penekanan definisi jual beli menurut 3 madzhab ulama diatas, adalah pada kata milik dan
kepemilikan dengan maksud untuk membedakan antara transaksi jual beli dan transaksi sewa
menyewa (al-ijarah).

Dalam menguraikan apa yang dimaksud dengan al-mal (harta), terdapat perbedaan
pengertian antara ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Akibat dari perbedaan ini, muncul
pula hukum-hukum yang berkaitan denga jual beli itu sendiri. Menurut jumhur ulama, yang
dikatan al-mal adalah materi dan bermanfaat. Oleh sebab itu, manfaat dari suatu benda, menurut
mereka dapat diperjual belikan. Ulama Hanafiyah mengartikan al-mal dengan suatu materi yang
mempunyai nilai. Oleh sebab itu, manfaat dan hak-hak, menurut mereka, tidak boleh dijadikan
obyek jual beli.6

Dari definisi yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa jual beli itu dapat
terjadi dengan cara:

a. Pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling rela


b. Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa alat tukar
yang diakui sah dalam lalu lintas perdagangan.7
c. Akad jual beli adalah akad antara penjual dan pembeli yang mengakibatkan
berpindahnya kepemilikan objek yang dipertukarkan.8
B. Landasan Hukum Jual Beli

Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang
kuat dalam al-Quran dan sunnah rasulullah SAW. Terdapat sejumlah ayat al-Quran yang
berbicara tentang jual beli.

Diantaranya dalam surat al-Baqarah (2) ayat 275, dan surat An-nisa’ (4) ayat 29 yang
berbunyi:

5
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa-adillatuh. Jilid IV (Beirut: Daar al-Fikr, 1989)
6
Ibid, 112.
7
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Islam, 33.
8
Fatwa DSN MUI No. 110/DSN-MUI/IX/2017

2
ۗ ۚ ‫ٱلَّ ِذينَ يَ ۡأ ُكلُونَ ٱل ِّربَ ٰو ْا اَل يَقُو ُمونَ ِإاَّل َكما يَقُو ُم ٱلَّ ِذي يَتَ َخبَّطُهُ ٱل َّش ۡي ٰطَنُ ِمنَ ۡٱلم‬
ُ ‫ َّل ٱهَّلل‬J‫و ْا َوَأ َح‬Jٰ Jَ‫سِّ ٰ َذلِكَ بَِأنَّهُمۡ قَالُ ٓو ْا ِإنَّ َما ۡٱلبَ ۡي ُع ِم ۡث ُل ٱلرِّ ب‬ َ َ
ٓ ٰ ۚ
َ‫ ُدون‬Jِ‫ا ٰخَ ل‬JJَ‫ار هُمۡ فِيه‬ ِ ۖ َّ‫ ٰ َحبُ ٱلن‬J‫ص‬ ۡ ‫ك َأ‬ َ ‫ة ِّمن َّربِِّۦه فَٱنتَهَ ٰى فَلَ ۥهُ َما َسلَفَ َوَأمۡ ُر ٓۥهُ ِإلَى ٱهَّلل ۖ ِ َو َم ۡن عَا َد فَُأوْ لَِئ‬ٞ َ‫ۡٱلبَ ۡي َع َو َح َّر َم ٱل ِّربَ ٰو ْا فَ َمن َجٓا َء ۥهُ َم ۡو ِعظ‬
٢٧٥

275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya..

‫اض ِّمن ُكمۡۚ َواَل ت َۡقتُلُ ٓو ْا َأنفُ َس ُكمۡۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ بِ ُكمۡ َر ِح ٗيما‬ ‫َأ‬ ۡ ‫ْ ۡ ْ َأ‬ َّ ‫َٓأ‬
ٖ ‫ٰيَ يُّهَا ٱل ِذينَ َءا َمنُوا اَل تَأ ُكلُ ٓوا مۡ ٰ َولَ ُكم بَ ۡينَ ُكم بِٱل ٰبَ ِط ِل ِإٓاَّل ن تَ ُكونَ تِ ٰ َج َرةً عَن تَ َر‬
٢٩

29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka
di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu..

Dan didalam hadist riwayat Mutaffaq Alaihi yang artinya:

Dari Jabir Ibnu Abdullah RA bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda di


Mekkah pada tahun penaklukan kota itu: “Sesungguhnya Allah melarang jual-beli
minuman keras, bangkai, babi dan berhala,”

Ada orang bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat baginda tentang


lemak bangkai karena ia digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan orang-
orang menggunakannya untuk menyalakan lampu?” Beliau bersabda: “Tidak, ia haram,”

Kemudian setelah itu Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknat orang-orang Yahudi,
karena ketika Allah mengharamkan atas mereka (jual-beli) lemak bangkai mereka
memprosesnya dan menjualnya, lalu mereka memakan hasilnya,” (HR Muttafaq Alaihi).

3
Dari kandungan ayat-ayat Allah dan sabda-sabda Rasul diatas, para ulama fiqh
mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli itu adalah mubah (boleh). Akan tetapi, pada situasi-
situasi tertentu, menurut imam asy-Syatibi (w.790H), pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh
berubah menjadi wajib. Imam asy-Syatibi memberi contoh ketika terjadi praktik ihtikar
(penimbunan barang sehingga stok hilang dari dari pasar dab harga melonjak naik).

Dan hasil dari Ijma para Ulama bahwa Ulama telah sepakat bahwa jual beli
diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya,
tanpa bantuan orang lain.9

C. Rukun dan Syarat Jual Beli


Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab dan qabul. Menurut
mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha/taradhi) kedua belah
pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, karena unsure kerelaan itu merupakan
unsure hati yang sulit diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang
menunjukan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan antara
kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh tergambar dalam
ijab dan qa>bul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang.10
Adapun rukun jual beli terdiri dari tiga macam:
a. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
b. Ma’qud Alaih (benda atau barang)
c. ‘Aqd (Ijab dan qabul)

Di dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 56 Bab IV juga menjelaskan


mengenai rukun jual beli, bahwasanya rukun jual beli ada 3 yaitu:11
 Pihak-pihak. Pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian jual beli (penjual,
pembeli dan pihak lain)
 Objek. Objek jual beli terdiri atas benda yang berwujud maupun tidak bergerak dan
yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar.
 Kesepakatan. Kesepakatan dapat dilakukan dengan tulisan, lisan, dan
9
Ijma Ulama dalam penetapan Jual Beli
10
Abdul Rahman, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta:Kencana Prenada Media
Group,2010), hlm. 71.
11
PPHIMM, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 30-31.

4
 isyarat. Serta kesepakatan tersebut memiliki makna hukum yang sama.

D. Macam-Macam Jual Beli


Jual beli yang ditunjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli
ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi
obyek jual beli dan segi pelaku jual beli.

Dari aspek obyeknya jual beli dibedakan menjadi empat macam:

1) Jual beli al-muqayyadah (barter). Yakni jual beli barang dengan barang yang
lazimnya disebut jual beli barter, seperti menjual hewan dengan gandum.
2) Jual beli al-mutlaq yakni jual beli barang dengan barang lain secara tangguh atau
menjual barang dengan harga mutlaq, seperti dirham, rupiah atau dolar.
3) Jual beli al-Sarf yakni menjual belikan saman (alat pembayaran) dengan saman
yang lainnya, seperti dinar, dirham, dolar atau alatalat pembayaran yang lainnya
yang berlaku secara umum.
4) Jual beli Salam (pesanan) adalah jual beli melalui pesanan dengan, yakni jual beli
dengan cara menyerahkan uang muka kemudian barangnya diantar setelahnya.12

E. Jual Beli Kredit (Bai’ Taqs)


1. Pengertian Jual Beli Kredit (Bai’ Taqs)

Secara bahasa, al-taqs ialah membagi-bagi sesuatu dan memisah- misahkannya menjadi
beberapa bagian yang terpisah.19 Sedangkan secara istilah bai’ taqs adalah transaksi jual beli
dengan sistem bayar cicilan (kredit) dalam batas waktu tertentu dengan thaman yang relatif
lebih tinggi disbanding thaman dengan sistem bayar cash. Lonjakan thaman dalam sistem taqs
(kredit), tidak dikategorikan sebagai praktik riba. Sebab disamping tidak melibatkan barang
ribawi, lonjakan harga dalam hal ini lebih sebagai bentuk toleransi untuk memberikan
kelonggaran melangsungkan transakasi.13
Dalam jual beli kredit memang ada kemiripan antara riba dan tambahan harga. Namun,
adanya penambahan harga dalam jual beli kredit adalah sebagai ganti penundaan pembayaran

12
Ghufron Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontektual, (Jakarta:TP. Raja Gravindo, 2002),hlm. 141
13
Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah (Kediri: Lirboyo Press, 2013), hlm. 16.

5
barang. Ada perbedaan yang mendasar antara jual beli kredit dengan riba. Allah menghalalkan
jual beli termasuk jual beli kredit. Karena adanya kebutuhan. Sementara mengharamkan riba
karena adanya penambahan pembayaran murni karena penundaan.14
Selain itu, tambahan yang diberikan merupakan barang yang sejenis dari yang diberikan
salah satu pihak, misalnya emas dengan emas, beras dengan beras dan sebagainya. Sementara
jual beli kredit, si pembeli mendapatkan barang dan penjual menerima bayaran dalam bentuk
uang, artinya dari barter ini dari jenis barang yang berbeda. Tambahan yang diberikan oleh
pembeli kredit menjadi pengganti untuk penjual yang telah mengorbankan sejumlah uangnya
berhenti pada si pembeli untuk beberapa waktu, padahal bila uang tersebut berada di tangan
penjual, bisa jadi dikembangkan atau sebagai tambahan modal usaha.15
Jadi, inti jual beli kredit adalah bahwa jual beli kredit adalah suatu pembelian yang
dilakukan terhadap sesuatu barang, yang pembayaran harga barang tersebut dilakukan secara
berangsur-angsur sesuai dengan tahapan pembayaran yang telah disepakati kedua belah pihak
(pembeli dan penjual).28 Contohnya seorang ibu rumah tangga membeli alat-alat rumah tangga
kepada seseorang pedagang keliling, biasanya dilakukan atas dasar kepercayaan penuh antara
kedua belah pihak, kadang-kadang mengguanakan uang muka dan terkadang tidak sama sekali,
biasanya pembayarannya dilakukan dengan angsuran satu kali dalam seminggu.16
2. Hukum Jual Beli Kredit
Ulama telah membahas persoalan ini, sehingga terdapat perbedaan pendapat ada yang
membolehkan dan ada yang melarang. Pertama, hukumnya boleh. Pendapat ini dikemukakan
oleh jumur ulama yang terdiri dari ulama Hanafi, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah dan para
sahabat, tabi’in dan Zaid bin Ali.
‫ َّل‬J‫و ۗ ْا َوَأ َح‬Jٰ َ‫ ُل ٱلرِّ ب‬J‫ ُع ِم ۡث‬J‫سِّ ٰ َذلِكَ بَِأنَّهُمۡ قَالُ ٓو ْا ِإنَّ َما ۡٱلبَ ۡي‬
ۚ ‫ٱلَّ ِذينَ يَ ۡأ ُكلُونَ ٱل ِّربَ ٰو ْا اَل يَقُو ُمونَ ِإاَّل َكما يَقُو ُم ٱلَّ ِذي يَتَ َخبَّطُهُ ٱل َّش ۡي ٰطَنُ ِمنَ ۡٱلم‬
َ َ
ٓ ٰ ۚ
‫ا‬JJَ‫ار هُمۡ فِيه‬ ِ ۖ َّ‫ ٰ َحبُ ٱلن‬J‫ص‬ ۡ ‫ك َأ‬ َ ‫ا َد فَُأوْ لَِئ‬Jَ‫ ُر ٓۥهُ ِإلَى ٱهَّلل ۖ ِ َو َم ۡن ع‬Jۡ‫لَفَ َوَأم‬J‫ا َس‬J‫ٱنتَهَ ٰى فَلَ ۥهُ َم‬JJَ‫ة ِّمن َّربِِّۦه ف‬Jٞ َ‫ٱهَّلل ُ ۡٱلبَ ۡي َع َو َح َّر َم ٱل ِّربَ ٰو ْا فَ َمن َجٓا َء ۥهُ َم ۡو ِعظ‬
٢٧٥ َ‫ٰخَ لِ ُدون‬
275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-
14
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2006), hlm. 52.
15
Ibid
16
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Grafindo Persada, 2005), hlm. 299.

6
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
َ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا ِإ َذا تَدَايَنتُم بِد َۡي ٍن ِإلَ ٰ ٓى َأ َج ٖل ُّم َس ٗ ّمى فَ ۡٱكتُبُو ۚهُ َو ۡليَ ۡكتُب ب َّۡينَ ُكمۡ َكاتِ ۢبُ بِ ۡٱل َع ۡد ۚ ِل َواَل يَ ۡأ‬
َ ُ‫اتِبٌ َأن يَ ۡكت‬JJ‫ب َك‬
ُ‫ ه‬J‫ا َعلَّ َم‬JJ‫ب َك َم‬
‫ت َِطي ُع‬J‫ ِعيفًا َأ ۡو اَل يَ ۡس‬J‫ض‬
َ ‫فِيهًا َأ ۡو‬J‫ق َس‬ُّ J‫س ِم ۡنهُ َش ٗۡ‍ٔي ۚا فَِإن َكانَ ٱلَّ ِذي َعلَ ۡي ِه ۡٱل َح‬ ۡ ‫ق ٱهَّلل َ َربَّهۥُ َواَل يَ ۡب َخ‬ ۡ ُّ ‫ٱهَّلل ۚ ُ فَ ۡليَ ۡكتُ ۡب َو ۡليُمۡ لِ ِل ٱلَّ ِذي َعلَ ۡي ِه ۡٱل َح‬
ِ َّ‫ق َوليَت‬
‫هَدَٓا ِء‬J ‫ٱلش‬ ُّ َ‫ ۡونَ ِمن‬JJ‫ض‬ َ ‫َان ِم َّمن ت َۡر‬ ِ ‫ُل َوٱمۡ َرَأت‬ٞ ‫ُوا َش ِهيد َۡي ِن ِمن ِّر َجالِ ُكمۡۖ فَِإن لَّمۡ يَ ُكونَا َر ُجلَ ۡي ِن فَ َرج‬ ْ ‫ٱست َۡش ِهد‬ ۡ ‫َأن يُ ِم َّل هُ َو فَ ۡليُمۡ لِ ۡل َولِيُّ ۥهُ بِ ۡٱل َع ۡد ۚ ِل َو‬
ۡ‫يرًا ِإلَ ٰ ٓى َأ َجلِ ِۚۦه ٰ َذلِ ُكم‬Jِ‫ ِغيرًا َأ ۡو َكب‬J‫ص‬َ ُ‫وه‬Jُ‫َٔ ُم ٓو ْا َأن ت َۡكتُب‬J‫َس‬ ْ ۚ ‫ا ُدع‬J‫هَدَٓا ُء ِإ َذا َم‬J‫ٱلش‬
‍ ۡ ‫وا َواَل ت‬Jُ ُّ ‫ب‬ َ ‫ض َّل ِإ ۡحد َٰىهُ َما فَتُ َذ ِّك َر ِإ ۡح َد ٰىهُ َما ٱُأۡل ۡخ َر ٰۚى َواَل يَ ۡأ‬ ِ َ‫َأن ت‬
‫ ِهد ُٓو ْا‬J ‫س َعلَ ۡي ُكمۡ ُجنَا ٌح َأاَّل ت َۡكتُبُوه َۗا َوَأ ۡش‬ ِ ‫َأ ۡق َسطُ ِعن َد ٱهَّلل ِ َوَأ ۡق َو ُم لِل َّش ٰهَ َد ِة َوَأ ۡدن ٰ َٓى َأاَّل ت َۡرتَاب ُٓو ْا ِإٓاَّل َأن تَ ُكونَ تِ ٰ َج َرةً َحا‬
َ ‫ض َر ٗة تُ ِديرُونَهَا بَ ۡينَ ُكمۡ فَلَ ۡي‬
٢٨٢ ‫يم‬ٞ ِ‫وا ٱهَّلل ۖ َ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم ٱهَّلل ۗ ُ َوٱهَّلل ُ بِ ُكلِّ َش ۡي ٍء َعل‬ ُ ۢ ‫وا فَِإنَّهۥُ فُسُو‬
ْ ُ‫ق بِ ُكمۡۗ َوٱتَّق‬ ْ ُ‫ۚيد َوِإن ت َۡف َعل‬ٞ ‫ب َواَل َش ِه‬ٞ ِ‫ضٓا َّر َكات‬
َ ُ‫ِإ َذا تَبَايَ ۡعتُمۡۚ َواَل ي‬
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki,
maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis
hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal
itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
ۡ Jِ‫وا ب‬J
‫ َر ُم ِحلِّي‬J‫ا ي ُۡتلَ ٰى َعلَ ۡي ُكمۡ غ َۡي‬JJ‫ ةُ ٱَأۡل ۡن ٰ َع ِم ِإاَّل َم‬J‫ٱل ُعقُو ۚ ِد ُأ ِحلَّ ۡت لَ ُكم بَ ِهي َم‬J ٓ Jُ‫ا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬JJَ‫ٰيََٓأيُّه‬
ْ Jُ‫و ْا َأ ۡوف‬J

7
١ ‫ٱلص َّۡي ِد َوَأنتُمۡ ُح ُر ۗ ٌم ِإ َّن ٱهَّلل َ يَ ۡح ُك ُم َما ي ُِري ُد‬
1. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Menurut jumhur ulama, sistem kredit ini masih masuk dalam lingkup prinsip berkeadilan
artinya meskipun dalam sistem jual beli kredit ada tambahan harga namun sisi pihak tidak
menerima uang pembayaran secara kontan dan tidak bisa memutar hasil penjualannya secara
langsung, sehingga sebuah kewajaran jika ia menutupi penundaan pembayaran dengan cara
menaikkan harga.36 Kaitanya dengan jual beli kredit atau bertempo, Allah menganjurkan untuk
dilakukan pencatatan, akan tetapi ini hanya bersifat bimbingan bukan sebuah kewajiaban. Abu
Said, asy-Sya’bi, Rabi’ bin Anas mengatakan bahwa pada mulanya mencatat transaksi itu
wajib, akan tetapi dinasakh oleh firman Allah SWT:
“Namun, apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercaya itu menunaikan amanatnya”17
Kedua,hukumnya haram. Pendapat ini dikemukakan oleh Zaidiyah (salah satu sakte dalam
syi’ah), Ibadhiyah (salah satu sekte dalam Khawarij), Imam Yahya, al-Jashash al-Hanafi,
sebagaian ulama Syafi’iyah, sebagaian ulama Hanabilah dan Zhahiriyah.
‫اض ِّمن ُكمۡۚ َواَل‬ ‫َأ‬ ۡ ‫ْ ۡ ْ َأ‬ َّ ‫َٓأ‬
ٖ ‫ َر‬Jَ‫ َرةً عَن ت‬J‫ونَ تِ ٰ َج‬J‫ ِل ِإٓاَّل ن تَ ُك‬J‫ ٰ َولَ ُكم بَ ۡينَ ُكم بِٱل ٰبَ ِط‬Jۡ‫ٰيَ يُّهَا ٱل ِذينَ َءا َمنُوا اَل تَأ ُكلُ ٓوا م‬
٢٩ ‫ت َۡقتُلُ ٓو ْا َأنفُ َس ُكمۡۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ بِ ُكمۡ َر ِح ٗيما‬
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka
di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.
Ayat diatas menjelaskan bahwa suka sama suka menjadi syarat halalnya perniagaan dan
laba yang diperbolehkan darinya. Jika tidak demikian maka perniagaan tersebut diharamkan
dan termasuk memakan harta orang lain secara batil.18

17
Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, Ter Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press,
1999), hlm. 463.
18
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, 134.

8
3. Syarat Jual Beli Secara Kredit
Agar penundaan waktu pembayaran dan angsuran menjadi sah, maka harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Harga kredit termasuk jenis utang. Jika penyerahan barang dagangan ditunda sampai
waktu tertentu dengan perkataan pembeli “Saya beli dengan dirham-dirham ini, tetapi
saya akan menyerahkan dirham-dirham ini di lain waktu”. Jual beli seperti itu batal
karean penundaan waktu pembayaran hanya boleh dalam keadaan darurat manakala
pembeli tidak mempunyai uang untuk membayarnya dan dimungkinkan ia mencarinya
dalam beberapa waktu.
b. Harga (pembayarannya) bukan merupakan ganti penukaran uang dan harga pembayaran
yang diserahkan bukan dalam jual beli salam. Karena kedua jual beli ini mensyaratkan
diterimanya uang pembayaran ditemapat transaksi, sehingga sebagai tindakan
preventive untuk mencegah riba tidak mungkin dilakuakan penundaan waktu
pembayaran.
c. Tidak ada unsur kecurangan yang keji pada harga. Penjual berkewajiban membatasi
keuntungan atau laba sesuai kebiasaan yang berlaku dan tidak mengeksploitasi keadaan
pembeli yang sedang kesulitan dengan menjual barang dengan laba yang berlipat-lipat,
karena hal ini termasuk kerusakan, ketamakan, merugikan manusia dan memakan harta
semasa secara bathil.
d. Mengetahuai harta pertama apabila jaul beli secara kredit terjadi dalam wilayah jual beli
saling percaya antara penjual dan pembeli (am nah).
e. Tidak ada persyaratan dalam jual beli sistem kredit ini. Apabila pembeli menyegerakan
pembayarannya penjual memotong jumlah tertentu dari harga yang semestinya.
f. Dalam akad jual beli secara kredit, penjual tidak boleh membeli kepada pembeli, baik
pada saat akad maupun sesudahnya, menambah harga pembayaran atau keuntungan
ketika pihak yang berhutang terlambat membayar utangnya.
g. Tujuan pembeli membeli barang dagangan dengan harga kredit yang lebih tinggi
daripada harga cash adalah agar ia dapat memanfaatkannya segera atau untuk
diperdagangkan. Namun apabila tujuannya agar ia dapat menjualnya dengan segera dan
mendapatkan sejumlah uang demi memenuhi suatu kebutuhannya yang lain, praktik
demikian disebut tawaruq dan hal tersebut tidak diperbolehkan.

9
F. Jual Beli Salam
1. Pengertian jual Beli Salam
Secara terminologis, Salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda atau
menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal
terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari.19
Menurut Sayyid Sabiq as-Salam dinamakan juga as-Salaf (pendahuluan) yaiSatu penjualan
sesuatu dengan kriteria tertentu (yang masih berada) dalam tanggungan dengan pembayaran
segera atau disegerakan. Sedangkan para fuqaha’ menyebutnya dengan al-Mahawij (barang-
barang mendesak) karena ia sejenis jual beli barang yang tidak ada di tempat akad, dalam
kondisi yang mendesak bagi dua pihak yang melakukan akad.20
Jual beli pesanan dalam fiqih Islam disebut as-Salam menurut bahasa penduduk hijaz,
sedangkan bahasa penduduk Iraq disebut as-Salaf. Kedua kata ini mempunyai makna yang
sama, sebagaimana dua kata tersebut digunakan oleh Nabi, sebagaimana diriwayatkan bahwa
Rasulullah ketika membicarakan akad bai’ salam, beliau menggunakan kata as-Salaf disamping
as-salam, sehingga dua kata tersebut merupakan sinonim. Secara terminologi Ulama fiqh
mendefinisikannya:
Yang artinya :
“Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-
cirinya jelas dengan pembayaran modal di awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian
hari.”21
Sedangkan Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikannya sebagai berikut :
Yang artinya :
“Akad yang disepakati dengan menentukan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya
terlebih dulu, sedangkan barangya diserahkan (kepada pembeli) kemudian hari.”22
Akad Salam menurut Peraturan Bank Indonesia adalah jual beli barang dengan cara
pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.23
Sedangkan menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional akad Salam sebagai akad jual beli barang
dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat dan kriteria yang
19
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003),hlm. 143.
20
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 12, diterjemahkan oleh Kamaluddin A. Marzuki (Bandung: AlMa’arif, 1998), 110.
21
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 147.
22
Ibid
23
Peraturan bank Indosesia (PBI) Nomor: 7/46/PBI/2005.

10
jelas.24
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 20 disebutkan bahwa Salam adalah jasa
pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembayarannya dilakukan bersamaan dengan
pemesanan barang.25
2. Dasar Hukum Jual Beli Salam
Jual beli pesanan atau Salam dibenarkan dalam Islam, sebagaimana firman Allah Swt
dalam surat al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi:
ۡ Jَ‫ ٗ ّمى ف‬J‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا ِإ َذا تَدَايَنتُم بِد َۡي ٍن ِإلَ ٰ ٓى َأ َج ٖل ُّم َس‬
‫د ۚ ِل َواَل‬Jۡ J‫اتِ ۢبُ بِ ۡٱل َع‬JJ‫ٱكتُبُو ۚهُ َو ۡليَ ۡكتُب ب َّۡينَ ُكمۡ َك‬J
ُ‫ ه‬JJ‫خَس ِم ۡن‬
ۡ ‫ق ٱهَّلل َ َربَّهۥُ َواَل يَ ۡب‬ ۡ ُّ ‫ب َك َما عَلَّ َمهُ ٱهَّلل ۚ ُ فَ ۡليَ ۡكتُ ۡب َو ۡليُمۡ لِ ِل ٱلَّ ِذي َعلَ ۡي ِه ۡٱل َح‬
ِ َّ‫ق َوليَت‬ َ ُ‫ب َكاتِبٌ َأن يَ ۡكت‬ َ ‫يَ ۡأ‬
‫د ۚ ِل‬Jۡ J‫ل َولِيُّ ۥهُ بِ ۡٱل َع‬Jۡ Jِ‫ َو فَ ۡليُمۡ ل‬Jُ‫ َّل ه‬J‫تَ ِطي ُع َأن يُ ِم‬J‫ ِعيفًا َأ ۡو اَل يَ ۡس‬J‫ض‬ َ ‫ق َسفِيهًا َأ ۡو‬ ُّ ‫َش ۡيٗٔ ۚا فَِإن َكانَ ٱلَّ ِذي َعلَ ۡي ِه ۡٱل َح‬
‫هَدَٓا ِء‬J‫ٱلش‬ ُّ َ‫ض ۡونَ ِمن‬ َ ‫ُل َوٱمۡ َرَأتَا ِن ِم َّمن ت َۡر‬ٞ ‫وا َش ِهيد َۡي ِن ِمن ِّر َجالِ ُكمۡ ۖ فَِإن لَّمۡ يَ ُكونَا َر ُجلَ ۡي ِن فَ َرج‬ ْ ‫ٱست َۡش ِه ُد‬
ۡ ‫َو‬
ُ‫ ُم ٓو ْا َأن ت َۡكتُبُوه‬َٔ‫َس‬ ۡ ‫وا َواَل ت‬ ْ ۚ ‫ب ٱل ُّشهَدَٓا ُء ِإ َذا َما ُد ُع‬ َ ‫ض َّل ِإ ۡح َد ٰىهُ َما فَتُ َذ ِّك َر ِإ ۡح َد ٰىهُ َما ٱُأۡل ۡخ َر ٰۚى َواَل يَ ۡأ‬ ِ َ‫َأن ت‬
ً‫ص ِغيرًا َأ ۡو َكبِيرًا ِإلَ ٰ ٓى َأ َجلِ ِۚۦه ٰ َذلِ ُكمۡ َأ ۡق َسطُ ِعن َد ٱهَّلل ِ َوَأ ۡق َو ُم لِل َّش ٰهَ َد ِة َوَأ ۡدن ٰ َٓى َأاَّل ت َۡرتَاب ُٓو ْا ِإٓاَّل َأن تَ ُكونَ تِ ٰ َج َرة‬ َ
‫ب َواَل‬ٞ ِ‫ات‬JJ‫ٓا َّر َك‬J ‫ُض‬ َ ‫س َعلَ ۡي ُكمۡ ُجنَا ٌح َأاَّل ت َۡكتُبُوه َۗا َوَأ ۡش ِه ُد ٓو ْا ِإ َذا تَبَايَ ۡعتُمۡۚ َواَل ي‬ َ ‫اض َر ٗة تُ ِديرُونَهَا بَ ۡينَ ُكمۡ فَلَ ۡي‬ ِ ‫َح‬
٢٨٢ ‫يم‬ٞ ِ‫وا ٱهَّلل ۖ َ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم ٱهَّلل ۗ ُ َوٱهَّلل ُ بِ ُك ِّل َش ۡي ٍء َعل‬ ُ ۢ ‫وا فَِإنَّهۥُ فُسُو‬
ْ ُ‫ق بِ ُكمۡ ۗ َوٱتَّق‬ ْ ُ‫ۚيد َوِإن ت َۡف َعل‬ٞ ‫َش ِه‬
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki,
maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis

24
Fatwa DSN No. 05/DSN-MUI/VI/2000
25
PPHIM, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), 14.

11
hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal
itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Ayat ini menjelaskan ketika kita melakukan transaksi hutang, maka sebaiknya menulisnya
untuk menghindari kesalahpahaman diantara pihak..
Dan didalam hadist sebagai berikut:
Artinya: “‚Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami
Sufyan dari Ibnu Abi Najih dari'Abdullah bin Katsir dari Abu Al Minhal dari Ibnu 'Abbas
radliallahu 'anhuma berkata: Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba di Madinah
orang-orang mempraktekkan jual beli buah-buahan dengan sistim salaf, yaitu membayar
dimuka dan diterima barangnya setelah kurun waktu dua atau tiga tahun. Maka Beliau
bersabda: "Lakukanlah jual beli salaf pada buah-buahan dengan takaran sampai waktu yang
diketahui (pasti) ". Dan berkata 'Abdullah bin Al Walid telah menceritakan kepada kami Sufyan
telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Najih dan berkata: "dengan takaran dan timbangan
yang diketahui (pasti) ". (H.R. Bukhori)
Sabda Rasulullah ini muncul ketika beliau pertama kali hijrah ke Madinah, dan mendapati
para penduduk Madinah melakukan transaksi jual beli Salam. Jadi Rasulullah SAW
membolehkan jual beli Salam asal akad yang dipergunakan jelas, ciri-ciri barang yang dipesan
jelas, dan ditentukan waktunya.26
Berdasarkan hadith tersebut, jual beli Salam ini hukumnya dibolehkan, selama ada
kejelasan ukuran, timbangan dan waktunya yang ditentukan. Dasarhukum jual beli ini telah
sesuai dengan tuntutan syariat dan kaidah-kaidahnya. Bahkan dalam prakteknya, jual beli
Salam juga tidak menyalahi qiyas yang membolehkan penangguhan penyerahan barang seperti
halnya dibolehkannya penangguhan dalam pembayaran.27
26
Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah... , 148
27
Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta: BPFE, 2009), 213.

12
3. Rukun dan Syarat Jual Beli Salam
Dalam praktik bai’ Salam harus memenuhi rukun dan syarat. Adapun rukun bai’ Salam
adalah sebagai berikut:
a. Muslam (pembeli atau pemesan)
b. Muslam Ilaih (Penjual atau penerima pesanan)
c. Muslam fih (barang yang dipesan atau yang akan diserahkan)
d. Ra’s al-mal (harga pesanan atau modal yang dibayarkan)
e. Shighat (ijab dan qabul atau ucapan serah terima)
G. Jual Beli Istisna’
1. Pengertian Jual Beli Istisna’
Istisna’ ( ‫ ( استصناع‬adalah bentuk ism mashdar dari kata dasar istisna’ yastasni’u ( - ‫يستصنع‬
‫ استصنع‬.( Artinya meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya. Sedangkan menurut
sebagian kalangan ulama dari mazhab Hanafi, istisna’ adalah
Artinya :
“sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya.”28
Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat
sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan orang itu menerimanya,
maka akad istisna’ telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.
Menurut Fatwa DSN No. 06/DSN MUI/IV/2000 tentang jual beli istisna’, bai’
istisna’merupakan kontrak penjualan antara mustasni’ (pembeli) dan sani’ (suplier) dimana
pihak suplier menerima pesanan dari pembeli menurut spesifikasi tertentu. Pihak suplier
berusaha melalui orang lain untuk membeli atau membuat barang dan menyampaikannya
kepada pemesan. Pembayaran dapat dilakukan di muka, cicilan atau ditangguhkan hingga
waktu tertentu.24 Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Istisna’ adalah jual beli barang
atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati
antara pihak pemesan dan pihak penjual.29
2. Dasar Hukum Jual Beli Istisna’
Akad istisna’ termasuk salah satu bentuk akad ghairu musamma, 29 sehingga tidak ada
dalil yang eksplisit baik di dalam al-Qur’an maupun Hadits mengenai pensyariatannya. Akan

28
Imam, ala ad-Din Abi Bakr bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’ fi Tartib asy Syarai’, Jilid 5, (Qahirah:
Daar al-Hadits, 2005)hlm, 2.
29
Indonesia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Mahkamah Agung RI), Pasal 20 Ayat (10).

13
tetapi dapatlah diketahui bahwa istisna’ merupakan akad pesanan yang mirip dengan akad
salam. Perbedaannya hanya pada sistem pembayaran. Jika dalam akad salam pembayaran harus
dilakukan di muka, maka dalam akad istisna’ pembayaran dapat dilakukan di awal, dengan cara
cicilan atau dibayar di belakang. Oleh karena itu landasan hukum akad salam bisa digunakan
pula pada akad istisna’. Seperti firman Allah di dalam QS. al-Baqarah: 282
Dalam Landasan Fatwa DSN MUI, Produk istisna’ ini termasuk produk baru dan
diterbitkan pada tahun 2000, yakni setelah terbentuknya Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI.
Produk jual beli istisna’ mengacu pada Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/IV/2000 tentang
jual beli istisna’.30
3. Rukun dan Syarat Jual Beli Istisna’
Dalam buku Pengantar Fiqih Muamalah karya Dimyauddin Djuwaini, jual beli istisna’ ,
terdapat rukun yang harus dipenuhi, yaikni: pemesan (mustana’), penjual atau pembuat (sani’),
barang atau objek (masnu’) dan sighat (ijab qabul).39 Berikut ini adalah rukun dan syarat-syarat
akad istisna’ :
a. Orang yang berakad
b. Objek Istisna’
c. Shighah(ijab qabul)
Adapun syarat-syarat Istisna’ antara lain:
a. Jenis barang yang dipesan harus jelas, tipenya, ciri-cirinya dan kadarnya, dengan
penjelasan yang dapat dihilangkan ketidaktahuan dan menghilangkan perselisihan.31
b. Barang yang biasa ditransaksikan atau berlaku dalam hubungan antar manusia.
Dalam arti, barang tersebut bukanlah barang aneh yang tidak dikenal dalam
kehidupan manusia, seperti barang properti, barang industri dan lainnya.32

H. Khiyar
1. Pengertian Khiyar
30
M. Nur Yasin, Hukum Ekonomi Islam; Geliat Perbankan Syariah Di Indonesia, (Malang: UIN Malang Press, 2009),
195.
31
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Terj) Mujahidin Muhayan, ‚Terjemah Fiqh Sunnah‛, Jilid 4, (Jakarta Pusat: PT.
Cempaka Putih Aksara, 2009), 169.
32
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah..., 138.

14
Al-Khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara; melangsungkan atau mebatalkan.33atau
proses melakukan pcmilihan terhadap sesuatu. Klayar menurut etimologi (bahasa) al-khiyar
artinya pilihan. pembahasan al-khiyar dikemukakan oleh para ulama figh dalam permasalahan
yang menyangkut transkasi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi. sebgai salah
satu hak bagi kedua belah pihak yang meakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa
persoalan dalam transaksi yang dimaksud.34 secara terminology para ulama figh mendefiniskan
al-Khiyar dengan35 . Hak pilih salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi
untuk melangsungkan atau mebatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi
masing- masing pihak yang melakukan transaksi.
Sedangkan ada yang berpendapat secara terminology (istilah fiqh) berarti hakpilih bagi
salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi dengan ikhlas tanpa ada
paksaan.36 Khiyar ini dilaksanakan dengan maksud untuk menjami kebebasan berfikir antara
penjual dan pembeli.
2. Syarat Khiyar
 Hendaknya penjual dan pembeli sepakat dengan cara khusus, yang akan anda
ketahui.
 Hendaknya pada barana dagangan terdapat cacat yang memperkenankan
dikembalikan.37
3. Macam-macam khiyar
a. Khiyar ar-Ru'yah, yaitu hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batalnya
jual beli yang dilakukan terhadap suatu obyek yang belum dilihatnya ektika akad
berlangsung .26 Sebelum akad terjadi, baik pembeli ataupun penjual belum terikat pada
bebas menentukan (memilih), apakah transaksi itu dilangsungkan atau diurungkan
(membatalkan). Dapat juga dikatakan bahwa khiyar ru lvah itu, masa memperhatikan
keadaan barang menimbang-nimbang dan berfikir sebelum mengambil keputusan
melakukan transaksi atau akad.
b. Khiyar Majleis yaitu hak pilih untuk kedua belah pihak yang berakad untuk
membatalkan akad selama keduanya masih berada dalam majelis akad dan beli berpisah
33
Sayyid Sabiq, Figh Sunnah. Jur. XII, (Cet., Bandung ; Penerbit: PT al-Ma'rif, 1987), h. 106.
34
Dr. H. Nasrun Haroen, MA., Figh Mu 'amalah, (Cet I, Jakarta; Penerbit Gaya Media Pratama, 2000)h. 129
35
Wahbah Az-Zuhaili, al-Figh al-Islami wa Adilatuhur, Jilid IV, (Beirut, Dar al-Fikr), h. 519.
36
Dahlan Abdul aziz, Ensiklopedia Hukum Islam III, (Cet. 1; Jakarta : Ittihad Van Hoften, 1996), h. 914
37
Ibid

15
badan/tempat. Karena hak membatalkan transaksi masih tetap ada selama kedua belah
pihak masih berada di majelis itu. Ibnu Umar memberikan bahwa Nabi Saw :
Sesuagguhnya kedua belah pihak yang berjual boleh khiyar dalam jual beli selama
keduanya belum berpisah). (HR.Bukhari).
c. Khiyar as-Syart, (syarat) yaitu hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang
berakad atau keduanya atau bagi orang lain untuk meneruskan atau membatalkan jual
beli selama masih dalam tenggang waktu yang ditetapkan. Adanya khiyar syarat
menurut syari'at Islam, diterangkan dalam berbagai hadis. Menurut riwayat Bukhari dan
Muslim, Ibnu Umar memberitakan bahwa ada seorang laki-laki melaporkan kepada
Nabi Saw bahwa is ditipu orang dalam jual beli. Maka bersabdalah Nabi saw. "Jika
kamu berjual beli. maka katakanlah :-Tidak (jangan) ada tipuan, kemudian engkau
mempunvai hak khiyar selama tiga malam. Dari Ibnu Umar diberitakan Dua orang yang
her lual hell boleh berkhiyar selatna duanru belum berpisah atau salah seorang
diantaranya mengadakan kepada rekannya. Khiyarlah dan ada juga beliau bersabda
"Atau dalam jual beli itu ada khiyar." (HR. Bukhari).
d. Khiyaral ‘Aib (cacat) yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi
kedua belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada obyek yang diperjual
belikan. Dari Hakim bin Hizam, Nabi Saw. pernah menerangkan : dan jika keduanya
benar dan menvatakan keadaan barang, keduanya diberikan keberkahan dalam jual
belinva. Dan kale kecluanva menyembttnvikan clan berdusta, dihapus keberkahan pia!
belt. (HR. Bukhari).
e. Khiyar at-Ta’yim, yaitu hak pilih bagt pembeh dalam menentukan barang yang berbeda
kualitas dalam jual belt. Misalnya dalam pembeliannya komputer ada yang berkualitas
dan -ada- yam rakitan (tiruan),akan tetapi pembeli tidak mengetahTh secara pasti mana
komputer yang berkualitas atau tiruan dan jenis yang sangat sulit dibedakan.Untuk
menentukan pilihan tersebut ia memerlukan bantuan dart ahli komputer. Khiyar seperti
ini menurut ulama Mazhab Hanafi,adalah boleh. Alasannya produk sejenis yang berbeda
kualitas sangat banyak dan tidak diketahui secara pasti oleh pembeli, sehingga ia
memerlukan bantuan seorang ah1i.Khiyar ini ditujukan agar pembeli tidak tertipu dan
sesuai dengan kebutuhannya.
4. Dasar Hukum Khiyar

16
١١٢ َ‫َصفُون‬ ِّ ۗ ‫ٱح ُكم بِ ۡٱل َح‬
ُ ‫ق َو َربُّنَا ٱلر َّۡح ٰ َم ُن ۡٱل ُم ۡستَ َع‬
ِ ‫ان َعلَ ٰى َما ت‬ ۡ ِّ‫ٰقَ َل َرب‬
112. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah
akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah
walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian
dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika
mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi
kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah
penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya
hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

17
PENUTUP
KESIMPULAN
Perkataan jual beli terdiri dari dua suku kata yaitu jual dan beli. Sebenarnya kata jual dan
beli mempunyai arti yang satu sama lainnya bertolak belakang. Kata jual menunjukan bahwa
adanya perbuatan menjual, sedangkan beli adalah adanya perbuatan membeli.

Dengan demikian perkataan jual beli menunjukan adanya dua perbuatan dalam satu
peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan pihak lain membeli, maka dalam hal ini terjadilah
peristiwa hukum jual beli

Sehingga dapat dipahami bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar
benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu
menerima benda-benda dan pihak lainnya menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan
yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.

Al-Khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara; melangsungkan atau mebatalkan. atau
proses melakukan pcmilihan terhadap sesuatu. Klayar menurut etimologi (bahasa) al-khiyar
artinya pilihan. pembahasan al-khiyar dikemukakan oleh para ulama figh dalam permasalahan

18
yang menyangkut transkasi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi. sebgai salah
satu hak bagi kedua belah pihak yang meakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa
persoalan dalam transaksi yang dimaksud. secara terminology para ulama figh mendefiniskan
al-Khiyar dengan. Hak pilih salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi
untuk melangsungkan atau mebatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi
masing- masing pihak yang melakukan transaksi.

DAFTAR PUSTAKA

Haroen,Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta:Gaya Media Pratama,2000)


Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi’i, (Bandun:Pustaka Setia, 2000)
Suhendi, Hendi, Fiqih Mu’amalah, (Jakarta:PT Raja Gravindo, 1997)
Pasaribu, Chairuman, Hukum Perjanjian Islam, (Jakarta:Sinar Grafika,1994)
al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islami Wa-adillatuh. Jilid IV (Beirut: Daar al-Fikr, 1989)
Fatwa DSN MUI No. 110/DSN-MUI/IX/2017
Rahman, Abdul, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta:Kencana Prenada
Media Group,2010)
PPHIMM, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009)
Mas’adi, Ghufron ,Fiqh Muamalah Kontektual, (Jakarta:TP. Raja Gravindo, 2002)
Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah (Kediri: Lirboyo Press, 2013)
Mustofa, Imam, Fiqih Muamalah Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2006)
Ar-Rifa’I, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, Ter Syihabuddin (Jakarta:
Gema Insani Press, 1999)
Djazuli, Ahmad, Kaidah-Kaidah Fikih,
Ali Hasan, M., Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003)
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Juz 12, diterjemahkan oleh Kamaluddin A. Marzuki (Bandung:
AlMa’arif, 1998)

19
Djuwaini, Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah...,
Az-Zuhaili ,Wahbah, al-Figh al-Islami wa Adilatuhur, Jilid IV, (Beirut, Dar al-Fikr)
Dahlan ,Abdul aziz, Ensiklopedia Hukum Islam III, (Cet. 1; Jakarta : Ittihad Van Hoften, 1996)

20

You might also like