You are on page 1of 20

BAB I PENDAHULUAN

Definisi trauma akustik adalah trauma pada telinga akibat paparan suara atau bunyi yang berlebihan sehingga menyebabkan gangguan pendengaran. Kerusakan organik telinga dapat terjadi akibat adanya energi suara yang sangat besar. Efek ini terjadi akibat dilampauinya kemampuan fisiologis telinga dalam sehingga terjadi gangguan kemampuan meneruskan getaran ke organ Corti sebagai organ pendengaran. Kerusakan dapat berupa pecahnya gendang telinga, kerusakan tulang-tulang pendengaran, atau kerusakan langsung organ corti. Pada trauma akustik, cedera dapat terjadi akibat rangsangan berlebihan, namun juga dapat terjadi karena paparan berulang.1,2 Trauma akustik, ditilik dari mula kejadiannya dibagi menjadi 2, yaitu; trauma akustik akut yang disebabkan oleh ledakan suara dan trauma akustik kronik. Pada trauma akustik akut yang disebabkan oleh ledakan kerusakan telinga yang terjadi pada telinga dapat mengenai membran, yaitu suatu ruptur. Bila ledakan lebih hebat dapat merusak koklea. Pada ruptur saja ketuliannya bersifat konduktif, namun kerusakan pada koklea ketuliannya bersifat sensorineural. Sedangkan trauma akustik kronik ini terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh bising.3,4 Jangkauan tekanan dan frekuensi suara yang dapat diterima oleh telinga manusia sebagai suatu informasi yang berguna, sangat luas. Suara yang nyaman diterima oleh telinga kita bervariasi tekanannya sesuai dengan frekuensi suara yang digunakan, namun suara yang tidak menyenangkan atau yang bahkan menimbulkan nyeri adalah suara-suara dengan tekanan tinggi, biasanya di atas 120 dB. Suara yang tidak diinginkan dan dapat 1

menganggu pendengaran ini disebut sebagai bising. Frekuensi suara bising biasanya terdiri dari campuran sejumlah gelombang suara dengan berbagai frekuensi atau disebut juga spektrum frekuensi suara. Nada kebisingan dengan demikian sangat ditentukan oleh jenis-jenis frekuensi yang ada.2,3 Kebisingan dapat menyebabkan ancaman bagi sistem pendengaran, kesehatan umum, proses pembelajaran dan perilaku manusia. Bising di atas 85 dB tidak hanya akan menyebabkan keluhan pada telinga dan pendengaran tetapi berbagai penelitian membuktikan terjadinya peningkatan tekanan darah, gangguan tidur, kelainan pencernaan, meningkatnya emosi dan berbagai kelainan akibat stress.3,4 Efek bising terhadap pendengaran dapat menyebabkan terjadinya ketulian baik sebagian atau seluruh fungsi pendengaran yang disebut sebagai NITT (Noise-Induced Temporary Threshold Shift) berlangsung sementara dan perubahan ambang pendengaran akibat bising yang NIPT(Noise-Induced Permanent Threshold Shift).

Perubahan ambang pendengaran akibat bising yang berlangsung permanen.2 Di negara-negara industri, bising merupakan masalah utama kesehatan kerja. Menurut WHO (1995), diperkirakan hampir 14% dari total tenaga kerja negara industri terpapar bising melebihi 90dB di tempat kerjanya. Di Quebec-Canada, Frechet mendapatkan data bahwa 55% daerah industri mempunyai tingkat kebisingan di atas 85 dB dan menurut survei prevalensi NIHL (Noise Induced Hearing Loss) atau TAB (Tuli Akibat Bising) bervariasi antara 40 50%. Di Indonesia, di pabrik peleburan besi baja prevalensi NIHL 31,55% pada tingkat paparan kebisingan 85 - 105 dB.2,3 Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan perlu dilakukan secara lengkap dan seksama untuk menyingkirkan penyebab kelainan organik yang menimbulkan gangguan

pendengaran seperti infeksi telinga, trauma telinga karena agen fisik lainnya, gangguan telinga karena agen toksik dan alergi. Selain itu pemeriksaan saraf pusat perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya masalah di susunan saraf pusat yang (dapat) menggangggu pendengaran.2,3 Untuk menilai ambang pendengaran, dilakukan pemeriksaan audiometri. Bila sudah terjadi kerusakan, untuk masalah kompensasi maka dilakukan pengukuran pada frekuensi 8000 Hz karena ini merupakan frekuensi kritis yang menunjukkan adanya kemungkinan hubungan gangguan pendengaran dengan bising; tanpa memeriksa frekuensi 8000 Hz ini, sulit sekali membedakan apakah gangguan pendengaran yang terjadi akibat kebisingan atau karena sebab yang lain. Prosedur pemeriksaan lain untuk menilai gangguan pendengaran adalah speech audiometry, pengukuran impedance, tes rekruitmen, bahkan perlu juga dilakukan pemeriksaan gangguan pendengaran fungsional bila dicurigai adanya faktor psikogenik.1,3 Pencegahan merupakan penatalaksanaan pertama pada kebisingan. Pelaksanaan program pemeliharaan pendengaran (hearing program conservation) merupakan upaya pencegahan primer yang dapat dilakukan di tempat kerja dimana paling sering terjadi gangguan penndengaran akibat kebisingan. Pemeriksaan audiometri berkala juga

merupakan upaya deteksi dini pula. Penggunaan alat pelindung telinga, pengawasan dan pengendalian administrasi merupakan upaya penatalaksanaan lain yang dapat dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan di lingkungan kerja. Pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai etiologi,patofisiologi,penatalaksanaan trauma akustik.2,3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Organ Pendengaran Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 3 cm. Disepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifIkasi kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.1,5 Membran timpani adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan puncak yang dasarnya umbo mengarah ke medial. Membrana timpani umumnya bulat. Penting untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas melampaui batas atas membrana timpani, dan bahwa ada bagian hipotimpanum yang meluas melampaui batas bawah membrana timpani. Membrana timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan fIbrosa di bagian tengah di mana tangkai maleus dilekatkan, dan lapisan mukosa bagian dalam. Lapisan fibrosa tidak terdapat di atas prosesus lateralis maleus dan ini menyebabkan bagian membrana timpani yang disebut membrana Shrapnell menjadi lemas (flaccid).1,5 Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dem inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat auditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan

antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.1,5 Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilmf skala timpani dengan skala vestibuli. Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala mediae duktus koklearis diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilmf, sedangkan skala media berisi endolimfe. Ion dan garam yang terdapat di perilimfe berbeda dengan endolimfe. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut disebut sebagai membran vestibuli sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.1,5

Gambar 1. Anatomi organ Pendengaran

B. Fisiologi Organ Pendengaran Suara ditimbulkan oleh getaran atmosfer yang dikenal sebagai gelombang suara yang kecepatan dan volumenya berbeda-beda. Gelombang suara bergerak melalui

rongga telinga luar yang menyebabkan membrana tympani bergetar. Getaran tersebut selanjutnya diteruskan menuju inkus dan stapes, melalui malleus yang terikat pada membrana itu. Karena gerakan-gerakan yang timbul pada setiap tulang ini sendiri, maka tulang-tulang itu memperbesar getaran. Yang kemudian disalurkan melalui fenestra vestibuler menuju perilimfe. Getaran perilimfe dialihkan melalui membran menuju endolimfe dalam saluran kokhlea dan rangsangan mencapai ujung-ujung akhir saraf dalam organ corti, untuk kemudian diantarkan menuju otak oleh nervus auditorius.1,5,6 Perasaan pendengaran ditafsirkan otak sebagai suara yang enak atau tidak enak, hingar bingar atau musikal. Istilah-istilah ini digunakan dalam artinya yang seluasluasnya. Gelombang suara yang tidak teratur menghasilkan keributan atau

kehingarbingaran, sementara gelombang suara berirama teratur menghasilkan bunyi musikal enak. Suara merambat dengan kecepatan 343 m/detik dalam udara tenang.1,5,6 Apabila telinga memperoleh rangsangan akan terjadi proses:1,5,6 1. Adaptasi, yang berlangsung 0-3 menit, yakni berupa kenaikan ambang dengar sesaat. Jika rangsangan berhenti, ambang dengar akan kembali seperti semula. 2. Pergeseran ambang dengar sementara (temporary threshold shift), sebagai kelanjutan proses adaptasi akibat rangsang suara yang lebih kuat dan dapat dibedakan dalam dua tahap yakni kelelahan (fatigue) dan tuli sementara terhadap rangsangan (temporary stimulation deafness). Kelelahan tersebut, akan pulih kembali secara lambat dan akan semakin bertambah lambat lagi jika tingkat kelelahan semakin tinggi. Sedang tuli sementara akibat rangsang suara terjadi akibat pengaruh mekanisme vibrasi pada kokhlea yang mengalami rangsang suara dengan intensitas tinggi dan berlangsung lama. 3. Pergeseran ambang dengar yang persisten (persistent treshold shift), yang masih ada setelah 40 jam rangsang suara berhenti. 4. Pergeseran ambang suara yang menetap (permanent threshold shift), meskipun rangsang suara sudah tidak ada. Pada keadaan ini sudah terjadi kelainan patologis yang rangsang suara, maka sesuai dengan besarnya

permanen pada koklea, umumnya pada kasus trauma akustik dan akibat kebisingan di tempat kerja. Proses pendengaran sangatlah menakjubkan. Getaran sumber bunyi dihantarkan melalui media udara menggetarkan gendang dan tulang-tulang kecil yang terletak dalam rongga telinga bagian tengah, yang kemudian menghantarkan getaran ke dalam suatu sistem cairan yang terletak dalam putaran rongga bangunan menyerupai rumah siput atau lebih dikenal sebagai kokhlea, yang terletak bersebelahan dengan alat keseimbangan di dalam tulang temporalis. Amplitudo pergerakan perrmukaan lebar stapes pada tiap getaran suara hanya besar amplitudo tangkai maleus. Oleh karena itu, sistem pengungkit osikular tidak memperbesar pergerakan seperti yang sering diduga tetapi sebagai gantinya sistem meningkatkan gaya pergerakan sekitar 1,3 kali juga luas permukaan membran timpani sekitar 55 mm2 sedangkan luas permukaan stapes sekitar 3,2 mm2, selisih 17 kali dikalikan rasio 1,3 kali dari sistem pengungkit memungkinkan semua energi gelombang suara yang mengenani membrane timpani dikerahkan pada permukaan lebar stapes yang kecil, menyebabkan tekanan pada cairan kolea 22 kali besar tekanan yang ditimbulkan oleh gelombang suara yang mengenai membran timpani.6 Membran basalis pada koklea membran basilaris mengandung sekitar 20.000 serabut basilaris atau lebih yang menonjol dari tengah tulang koklea, modiolus. Dan kearah dinding luar serabut-serabut ini merupakan struktur yang elastik menyerupai buluh yang bebas pad ujung distalnya kecuali yang terikat pada membrane basilaris, karena seraut ini kaku dan bebas pada salah satu ujungnya ia tidak dapat bergetar menyerupai buluh-buluh harminika. Panjang serabut basilaris secara progresif bertambah dari basis koklea ke hlikotrema, dari kira-kira pada 0,04 mm. pada basis sampai 0,5 mm. Pada helikoterma, peningkatan panjang 12 kali. Garis tengah serabut, sebaliknya berkurang dari basis ke helikotrena, sehingga secarakeseluruhan kekakunnya rurun lebih dari 100 kali. Sehingga akibatnya serabut yang kaku pendek dekat basis koklea mempunyai kecenderungan bergetar pada frekuensi tinggi. Sedangkan serabut-serabutnya yang panjang lentur dekat helikotrema mempunyuai kecenderungan bergetar pada frekuensi rendah. Di dalam telinga bagian tengah juga terdapat sebuah otot terkecil dalam tubuh manusia, yaitu tensor timpani, yang bertugas membuat tegang rangkaian tulang

pendengaran pada saat bunyi yang mencapai sistem pendengaran kita berkekuatan lebih dari 70 dB, untuk meredam getaran yang mencapai sel-sel rambut reseptor pendengaran manusia. Namun, otot ini yang bekerja terus menerus juga tak mampu bertahan pada keadaan bising yang terlalu kuat dan kontinu, dan terjadilah stimulasi berlebih yang merusak fungsi sel-sel rambut. Kerusakan sel rambut dapat bersifat sementara saja pada awalnya sehingga dapat terjadi ketulian sementara. Akan tetapi, kemudian bila terjadi rangsangan terus menerus, terjadi kerusakan permanen, sel rambut berkurang sampai menghilang dan terjadi ketulian menetap.1,5,6 Ketulian akan terjadi pada kedua telinga secara simetris dengan mengenai nada tinggi terlebih dahulu, terutama dalam frekuensi 3000 sampai 6000 Hz. Sering kali juga terjadi penurunan tajam (dip) hanya pada frekuensi 4000 Hz, yang sangat khas untuk gangguan pendengaran akibat bising. Karena yang terkena adalah nada yang lebih tinggi dari nada percakapan manusia, sering kali pada awalnya sama sekali tidak dirasakan oleh penderitanya karena belum begitu jelas gangguan pada saat berkomunikasi dengan sesama.1,5,6

C. Definisi dan Klasifikasi Trauma Akustik Trauma akustik ialah trauma pada telinga akibat paparan suara atau bunyi yang berlebihan. Trauma akustik, ditilik dari mula kejadiannya dibagi menjadi 2, yaitu:1,7 1. trauma akustik akut yang disebabkan oleh ledakan dan trauma akustik kronik. Pada trauma akustik akut yang disebabkan oleh ledakan kerusakan telinga yang terjadi pada telinga dapat mengenai membran, yaitu suatu ruptur. Bila ledakan lebih hebat dapat merusak koklea. Pada ruptur saja ketuliannya bersifat konduktif, namun kerusakan pada koklea ketuliannya bersifat sensorineural. 2. trauma akustik kronik ini terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh bising. Tuli yang diakibatkan oleh trauma akustik dapat disebut sebagai NIHL( NoiseInduce Hearing Loss), berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua yaitu:1,2,7 1. NITT (Noise-Induced Temporary Threshold Shift) pendengaran akibat bising yang berlangsung sementara 8 perubahan ambang

2. NIPT(Noise-Induced Permanent Threshold Shift). pendengaran akibat bising yang berlangsung permanen. D. Patofisiologi Gangguan Pendengaran akibat Bising

Perubahan

ambang

Pendengaran manusia merupakan salah satu indera yang berhubungan dengan komunikasi audio/suara. Alat pendengaran yang berbentuk telinga berfungsi sebagai fonoreseptor yang mampu merespons suara pada kisaran antara 0-140 dB tanpa menimbulkan rasa sakit. Frekuensi yang dapat direspons oleh telinga manusia antara 2020000 Hz dan sangat sensitive pada frekuensi antara 1000-4000 Hz 3,4 Kerusakan pendengaran (dalam bentuk ketulian) merupakan penurunan

sensitifitas yang berlangsung secara terus menerus. Mula-mula efek kebisingan pada pendengaran adalah sementara dan pemulihan terjadi secara cepat sesudah dihentikan kerja di tempat bising. Tetapi kerja terus menerus di tempat bising berakibat kehilangan daya dengar yang menetap dan tidak bisa pulih kembali. Biasanya di mulai pada frekuensi-frekuensi tinggi sekitar 4000 Hz dan kemudian menghebat dan meluas kefrekuensi sekitarnya dan akhirnya mengenai frekuensi yang digunakan untuk percakapan.3,4 Penurunan pendengaran akibat kebisingan dipengaruhi oleh:1,7 1. Intensitas total (overall) dari kebisingan 2. Spektrum frekuensi dari suara 3. Jenis kebisingan 4. Masa kerja 5. Lama pemaparan setiap hari terhadap kebisingan yang ada (table 1) 6. Kerentanan (susceptibility) tenaga kerja.

Tabel 1. Pajanan maksimal kebisingan tiap hari

Kehilangan pendengaran dapat bersifat sementara atau permanen. Pergeseran ambang sementara yang diinduksi bising (NITTS, Noise Induced Temporary Treshold Shift, atau kelelahan pendengaran) adalah kehilangan tajam pendengaran sementara setelah paparan yang relatif singkat terhadap bising yang berlebihan, pendengaran pulih cukup cepat setelah bising dihentikan. Pergeseran ambang permanen yang diinduksi bising (NIPTS, Noise Induced Permanent Treshold Shift) adalah kehilangan pendengaran irreversible yang disebabkan paparan jangka lama terhadap bising. Pergeseran ambang yang diinduksi bising adalah kuantitas kehilangan pendengaran yang dapat dikaitkan dengan bising saja (setelah dikurangi nilai-nilai untuk presbiakusis). Gangguan pendengaran umumnya mengacu pada tingkat pendengaran dimana individu tersebut mengalami kesulitan untuk melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam hal memahami pembicaraan.2,3 Terdapat berbagai cara bising dapat merusak telinga dalam. Pemaparan bising yang sangat keras lebih dari 150 dB, seperti pada ledakan, dapat menyebabkan tuli sensorineural ringan sampai berat. Biasanya tuli timbul pada cara pemaparan yang lebih halus dan progresif sampai pemaparan bising keras intermitten yang kurang intensif atau pemaparan kronis bising yang kurang intensif. Pemaparan singkat berulang ke bising keras intermitten dalam batas 120-150 dB, seperti yang terjadi akibat pemaparan senjata api atau mesin jet, akan merusak telinga dalam. Pemaparan kronis berupa bising keras pada pekerja dengan intensitas bising di atas 85 dB, seperti yang terjadi akibat mengendarai traktor atau mobil salju atau gergaji rantai, merupakan penyebab tersering dari tuli sensorineural yang diakibatkan oleh bising. Di samping itu, pada lingkungan yang besar, seseorang dapat terpapar bising diatas 90 dB pada waktu mendengarkan musik dari sistem suara stereofonik atau panggung music (table 2). 1,2,3,8

10

Tabel 2. Daftar tingkat kebisingan suara di lingkungan sekitar Bising dengan intensitas 85 dB atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam, terutama yang berfrekuensi 3000-6000 Hz. Mekanisme dasar terjadinya tuli karena trauma akustik, adalah:2,3,8

1. Proses mekanik a. Pergerakan cairan dalam koklea yang begitu keras, menyebabkan robeknya membrana Reissner dan terjadi percampuran cairan perilmfe dan

endolimfee,sehingga menghasilkan kerusakan sel-sel rambut. b. Pergerakan membrana basiler yang begitu keras, menyebabkan rusaknya organa korti sehingga terjadi percampuran cairan perilmfe dan endolimfe, akhirnya terjadi kerusakan sel-sel rambut. 11

c. Pergerakan cairan dalam koklea yang begitu keras, dapat langsung menyebabkan rusaknya sel-sel rambut, dengan ataupun tanpa melalui rusaknya organa korti dan membrana basiler. 2. Proses metabolik a. Vasikulasi dan vakuolisasi pada retikulum endoplasma sel-sel rambut dan pembengkakkan mitokondria yang akan mempercepat rusaknya membrana sel dan hilangnya sel-sel rambut. b. Hilangnya sel-sel rambut mungkin terjadi karena kelelahan metabolisme, sebagai akibat dari gangguan sistem enzim yang memproduksi energi, biosintesis protein dan transport ion. c. Terjadi cedera pada vaskularisasi stria, menyebabkan gangguan tingkat konsentrasi ion Na, K, dan ATP. d. Sel rambut luar lebih terstimulasi oleh bising, sehingga lebih banyak membutuhkan energi dan mungkin akan lebih peka untuk tcrjadinya cedera atau iskemi. e. Kemungkinan lain adalah interaksi sinergistik antara bising dengan zat perusak yang sudah ada dalam telinga itu sendiri.

E. Diagnosis
Ciri-ciri kehilangan pendengaran yang ditimbulkan paparan bising adalah sebagai berikut:1,2 1. Gangguan pendengaran telinga dalam, dengan superposisi konduksi dan rekruitmen udara dan tulang 2. Kehilangan pendengaran bilateral dan sedikit banyak simetris

12

3. Kehilangannya mulai pada frekuensi 4000 Hz. Stadium ini ada takik bentuk V yang khas pada audiogram. Kondisi ini bersifat laten, identifikasi memerlukan prosedur deteksi yang sistematik. Setelah periode paparan lebih lanjut kehilangan pendengaran memburuk dan meluas ke rentang frekuensi yang lebih besar, dan gangguannya menjadi nyata. Bila paparan tidak dihentikan kehilangan pendengaran memburuk dan dapat mendekati tuli. 4. Ketulian terjadi, Akan permanen dan stabil meskipun bahaya akustik sudah dijauhkan

Diagnosis dibuat dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang sebagai berikut 1. Anamnesis Pada anamnesis dapat ditanyakan harus tercantum identitas yang jelas (termasuk saat pemeriksaan dan dokter yang melakukan pemeriksaan), keluhan utama, gangguan pendengaran yang saat ini terjadi, riwayat pekerjaan, riwayat pelatihan militer, riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga. Riwayat pekerjaan dilakukan dengan menanyakan nama pekerjaan, jenis pekerjaan yang dilakukan (beserta tanggal atau waktu bekerja), durasi masing-masing pekerjaan, tanggal bekerja dan umur saat itu, kondisi geografis dan lokasi fisik pekerjaan, barang atau jasa yang dihasilkan, penggunaan alat pelindung diri, sumber suara atau kebisingan yang ada di pekerjaan (baik yang dahulu maupun saat ini). Pernahkah terpapar atau mendapat trauma pada kepala maupun telinga baik itu berupa suara bising, suara ledakan, suara yang keras dalam jangka waktu cukup lama. Apakah mempunyai kebiasaan mendengarkan headphone, mendengarkan musik dengan volume yang keras. Apakah mengkonsumsi obat-obatan ototoksis dalam jangka waktu lama. jenis onset hilangnya pendengaran atau berkurangnya pendengaran, apakah tiba-tiba atau pelan-pelan (bertahap). Sudah berapa lama dirasakan, Apakah hilangnya pendengaran tetap (tidak ada perubahan) atau malah semakin memburuk. Apa disertai dengan nyeri, otore, tinnitus (berdenging di telinga), telinga terasa tersumbat, vertigo, atau gangguan keseimbangan. Apakah kehilangan pendengarannya unilateral atau bilateral. Apakah mengalami kesulitan berbicara dan mendengar di lingkungan yang bising. Pada orang yang menderita tuli saraf koklea sangat terganggu oleh bising latar belakang, sehingga bila orang tersebut berkomunikasi di tempat yang ramai akan mendapat kesulitan mendengar dan mengerti pembicaraan.1,2 13

2.

Pemeriksaan Fisis Pada pemeriksaan fisis telinga tidak ditemukan adanya kelainan dari telinga luar

hingga membran timpani dengan otoskop. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan perlu dilakukan secara lengkap dan seksama untuk menyingkirkan penyebab kelainan organik yang menimbulkan gangguan pendengaran seperti infeksi telinga, trauma telinga karena agen fisik lainnya, gangguan telinga karena agen toksik. dan alergi. Selain itu pemeriksaan saraf pusat perIu dilakukan untuk rnenyingkirkan adanya masalah di susunan saraf pusat yang (dapat) menganggu pendengaranya. 1,2 3. Pemeriksaan dengan Garpu Tala Pada tes dengan garpu tala menunjukkan adanya tuli sensorineural. Tes Batas Atas & Batas Bawah : Hasilnya menunjukan batas atas menurun. Tes Rinne: Menunjukkan hasil positif. Tes Weber: Lateralisasi ke arah telinga dengan pendengaran lebib baik. Tes Schwabach : Hasil menuajukkan schwabach memendek.1 4. Pemeriksaan Audiometri Pada pemeriksaan audiometri nada murni terdapat audiogram hantaran udara dan hantaran tulang. Kegunaan audiogram hantaran udara adalah untuk mengukur kepekaan seluruh mekanisme pendengaran, telinga Iuar dan tengah serta mekanisme sensorineural koklea dan nervus auditori. Audiogram hantaran udara diperoleh dengan

memperdengarkan pulsa nada murni melalui earphone ke telinga. Kegunaan audiometri hantaran tulang adalah untuk mengukur kepekaan mekanisme sensorineural saja. Audiogram hantaran tulang diperoleh dengan memberikan bunyi penguji langsung ke tengkorak pasien menggunakan vibrator hantaran tulang. Dua pemeriksaan ini penting untuk membedakan antara tuli sensorineural atau tuli konduktif.1,2,9 Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian akibat taruma akustik. Pemeriksaan ini terdiri atas 2 grafik yaitu frekuensi (pada axis horizontal) dan intensitas (pada axis vertikal). Pada 14

skala frekuensi, untuk program pemeliharaan pendengaran (hearing conservation program) pada umumnya diwajibkan memeriksa nilai ambang pendengaran untuk frekuensi 500,1000,2000,3000,4000,dan 6000 Hz. Bila sudah terjadi kerusakan, untuk masalah kompensasi maka dilakukan pengukuran pada frekuensi 8000Hz karena ini merupakan frekuensi kritis yang rnenunjukkan adanya kemungkinan hubungan gangguan pendengaran dengan pekerjaan, tanpa memeriksa frekuensi 8000 Hz ini, sulit sekali membedakan apakah gangguan pendengaran yang terjadi akibat kebisingan atau karena sebab yang lain. 1,2,9

Gambar2. Audiometri NIHL, terjadi takik pada frekuensi tinggi 4000 Hz

15

Gambar`3. Gambaran Audiometri pada trauma akustik akibat ledakan senjata api Ada tidaknya jarak antara konduksi tulang dan konduksi udara menunjukkan ada tidaknya keterlibatan gangguan dari telinga luar maupun telinga tengah yang mempengaruhi gangguan sensorineural yang terjadi pada NIHL. Beberapa factor dapat mempengaruhi reliabilitas pemeriksaan konduksi tulang dan konduksi udara pada audiogram. Pemeriksaan timpanometri dan pemeriksaan reflex akustik penting untuk dilakukan agar tuli konduksi dapat disingkirkan. Tuli konduksi tidak biasa terjadi pada NIHL, kecuali terdapat penyebab multipel pada perjalanan penyakit NIHL. Meskipun tanda takik merupakan gambaran khas pada audiogram NIHL, tidak adanya takik pada audiogram tidak serta merta menyingkirkan NIHL dan bukan menjadi indicator yang dapat dipercaya pada pemeriksaan NIHL. 1,9,10 5. Tes Rekrutmen Pada NIHL tuli yang terjadi merupakan tuli saraf koklea, oleh karena itu pada tes rekruitmen, yang patognomonik pada tuli saraf koklea akan memberi hasil yang positif. Rekrutmen adalah fenomena dimana telinga yang tuli menjadi sensitif pada kenaikan intensitas bunyi yang kecilpada frekuensi tertentu setelah terlewati ambang dengarnya. Pada tes rekrutmen positif, pasien dapat membedakan kenaikan bunyi 1 db bila 16

mendengarkan nada murni yang kontinyu. Tes rekrutmen ada beberapa cara seperti SISI (short increment sensitivity index), ABLB (alternate binaural loudness balance), MLB (monoaural loudness balance), audimetri bekessy, audiometri tutur.1 F. Penatalaksanaan Pencegahan merupakan penatalaksanaan pertama dan utama pada kebisingan di lingkungan pekerja. Pelaksanaan program pemeliharaan pendengaran (hearing program conservation) merupakan upaya pencegahan primer yang dapat dilakukan di tempat kerja. Survei kebisingan di tempat kerja harus memperhatikan teknik sampling agar pemeriksaan tingkat kebisingan dapat memberikan gambaran keadaan yang terjadi;

pemeriksaan audiometri berkala juga merupakan upaya deteksi dini pula. Penggunaan alat pelindung telinga, peng-awasan dan pengendalian administrasi merupakan upaya penatalaksanaan lain yang dapat dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan di lingkungan kerja. Hearing conservation program tidak akan dibicarakan secara mendalam pada tulisan ini.1,2 Bila sudah terjadi gangguan pendengaran yang mengakibatkan gangguan komunikasi maka dapat dipikirkan peng-gunaan alat bentu dengar. Jika pendengaran sudah sedemikian buruknya sehingga komunikasi sangat sulit maka perlu dilakukan psikoterapi lebih intensif agar pekerja dapat menerima keadaannya. Jika dipergunakan alat bantu dengar, perlu dilakukan latihan pendengaran agar pekerja dapat menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir, mimik dan gerakan anggota badan serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Selain itu, penderita tuli akibat bising ini juga sulit mendengar suaranya sendiri sehingga diperlukan rehabilitasi suara agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan. 1,2 Pada yang mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan implant koklea Tidak ada pengobatan yang spesifIk dapat diberikan pada penderita dengan trauma akustik. Oleh karena tuli karena trauma akustik adalah tuli saraf koklea yang bersifat menetap (irreversible). Apabila penderita sudah sampai pada tahap gangguan pendengaran yang dapat menimbulkan kesulitan berkomunikasi maka dapat

dipertimbangkan menggunakan ABD (alat bantu dengar) atau hearing aid. Pada pasien 17

yang gangguan pendengarannya lebih buruk harus dibantu dengan penanganan psikoterapi untuk dapat menerima keadaan. Latihan pendengaran dengan alat bantu dengar dibantu dengan membaca ucapan bibir, mimik, anggota gerak badan, serta bahasa isyarat agar dapat berkomunikasi. Selain itu diperlukan juga rehabilitasi suara agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan. 1,2 Pencegahan dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya tuli pada trauma akustik. Bising dengan intensitas lebih dari 85 dB dalam waktu tertentu dapat mengakibatkan ketulian, oleh karena itu bising dilingkungan kerja harus diusahakan lebih rendah dari 85 dB. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan meredam sumber bunyi, sumber bunyi diletakkan d iarea yang kedap suara.2,7 Apabila bekerja di daerah industri yang penuh dengan kebisingan menetap, maka dianjurkan untuk menggunakan alat pelindung bising seperti sumbat telinga, tutup telinga dan pelindung kepala, Ketiga alat tersebut terutama melindungi telinga terhadap bising berfrekuensi tinggi yang masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian . Sumbatan telinga efektif digunakan pada level kebisingan rendah sekitar 10 dB hingga 32 dB. Adakalanya tutup telinga lebih efektif daripada sumbatan telinga khususnya pada pekerja yang berpindah-pindah tempat. Sedangkan pelindung kepala selain sebagai pelindung telinga terhadap bising juga sekaligus sebagai pelindung kepala. 2,7 Bila terjadi tuli bilateral berat yang tidak dapat dibantu dengan a1at bantu dengar maka dapat dipertirnbangkan dengan memasang implan koklea. Implan koklea ialah suatu perangkat elektronik yang mempunyai kemampuan memperbaiki fungsi pendengaran sehingga akan meningkatkan kemampuan berkomunikasi penderita tuli saraf berat dan tuli saraf bilateral.2,7 Penatalaksanaan ketulian akibat bising kedepannya dapat dilakukan pemberian oksigenasi hiperbarik dikombinasikan dengan terapi kortikosteroid untuk

penatalaksanaan trauma akustik yang terjadi akut dan diketemukan secara dini. Hal ini sudah diuji coba pada hewan percobaan. Dan menunjukkan angka keberhasilan yang signifikan. Lebih jauh lagi penelitian dijerman sudah melakukan percobaan penanaman cell-permeable pada intratimpani pasien dengan trauma akustik. 12,13 G. Prognosis

18

Bila masih terjadi NITT fungsi pendengaran masih dapat dikembalikan, namun bila sudah terjadi NIPTS ketulian bersifat permanen yang sifatnya menetap dan tidak bias diobati. Bagaimanapun proses kehilangan pendengaran tidak seharusnya terus berlanjut bila paparan bising dapat dieliminir. Karena prognosis yang buruk terhadap fungsi pendengaran, pada trauma akustik pencegahan lebih diutamakan. 1,2

BAB III
19

PENUTUP

Trauma akustik adalah trauma pada telinga akibat paparan suara atau bunyi yang berlebihan sehingga menyebabkan gangguan pendengaran. Tuli yang disebabkan oleh suara bising (NIHL) berupa tuli sensorineural dapat bersifat sementara( NITT) maupun permanen (NIPT). Diagnosis dibuat dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa tes penala, audiogram, dan pemeriksaan tambahan berupa timpanometri dan tes akustik reflex. Pencegahan merupakan penatalaksanaan utama pada trauma akustik. Pada tuli akibat bising apabila sudah mencapai kerusakan permanen, fungsi pendengaran tidak dapat dikembalikan lagi.

20

You might also like