You are on page 1of 19

DAMPAK SOSIAL EKONOMI TERHADAP TINDAKAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


(Studi Kasus di Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Kota Probolinggo)

Oleh:
Siti Marwiyah, M.Si
Dekan FISIP Universitas Panca Marga Probolinggo
Email: sitimarwiyah971965@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini mengkaji tentang dampak sosial ekonomi terhadap tindakan


kekerasan dalam rumah tangga di Kota Probolinggo. Metode penelitian ini
menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian ini yaitu kondisi sosial ekonomi
di dalam rumah tangga sangat berpengaruh akan terjadinya tindakan kekerasan
dalam rumah tangga. Tindakan kekerasan dalam rumah bisa terjadi pada rumah
tangga sosial ekonomi rendah maupun rumah tangga sosial ekonomi tinggi.
Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah
tangga yaitu kurangnya komunikasi, perekonomian di dalam rumah tangga,
perselisihan dari berbagai masalah.

A. Pendahuluan
Negara mengakui bahwa segala bentuk kekerasan yang terjadi
merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan bentuk
diskriminasi. Hal ini sesuai dengan pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Demikian juga kekerasan yang terjadi di dalam sebuah rumah tangga


yang sering disebut dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Tindakan tersebut pada umumnya didominasi oleh suami atau laki-laki
terhadap anggota keluarga yang lebih lemah sehingga pada akhirnya
menimbulkan korban yang sebagian besar merupakan perempuan dan anak.
Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi
di masyarakat adalah faktor ekonomi. Karena desakan ekonomi, menyebabkan
kebutuhan hidup semakin hari semakin besar, maka pelaku yang merupakan
kepala rumah tangga menjadi hilang akal. Mereka melampiaskan dengan
melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang berada dalam lingkungan
rumah tangganya. Ditambah lagi tingkat pendidikan pelaku maupun korban
rendah. Mereka tidak mengetahui akibat dan hukuman yang akan mereka
dapatkan setelah tindak kekerasan dalam rumah tangga tersebut.
Selain faktor ekonomi, tindakan kekerasan dalam rumah tangga juga
dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya patriarkhi yang muncul di
masyarakat, baik masyarakat tradisional maupun modern yang menyatakan
bahwa kehidupan di dunia perkawinan (rumah tangga) merupakan sebuah area
tertutup atau hanya untuk kalangan sendiri. Artinya, ada keengganan untuk
membicarakan persoalan kekerasan dalam rumah tangga kepada orang luar,
karena memang ada nilai-nilai yang melembagakan kesakralan keluarga dan
perkawinan (Hayati, 2000:40).
Budaya patriarkhi juga sering di salah artikan oleh masyarakat.
Masyarakat menilai bahwa laki-laki memiliki kekuasaan penuh di dalam
keluarga sehingga menimbulkan pembenaran terhadap perlakuan kekerasan
yang dilakukan oleh suami sebagai kondisi yang dapat ditoleransi oleh
anggota keluarga lainnya. Sedangkan perempuan akan menjadi terhormat
sebagai perempuan sejati apabila bisa menegaskan kelembutan, kemanjaan,
kepasrahan, sekaligus sebagai pengakuan atas kekuasaan laki-laki terhadapnya
(Daulay, 2007:113).
Penilaian masyarakat tersebut menyebabkan munculnya sikap yang
membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, sehingga menimbulkan
ketidakadilan gender di masyarakat. Hal ini diperkuat oleh beberapa fakta
yang berkembang di masyarakat, pertama bahwa laki-laki dan perempuan
tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Kedua masyarakat masih
membesarkan anak laki-laki dengan mendidiknya agar mereka menjadi
manusia kuat dan pemberani. Ketiga, kebudayaan masyarakat Indonesia
pendidikan pelaku maupun korban rendah. Mereka tidak mengetahui akibat
dan hukuman yang akan mereka dapatkan setelah tindak kekerasan dalam
rumah tangga tersebut.
Selain faktor ekonomi, tindakan kekerasan dalam rumah tangga juga
dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya patriarkhi yang muncul di
masyarakat, baik masyarakat tradisional maupun modern yang menyatakan
bahwa kehidupan di dunia perkawinan (rumah tangga) merupakan sebuah area
tertutup atau hanya untuk kalangan sendiri. Artinya, ada keengganan untuk
membicarakan persoalan kekerasan dalam rumah tangga kepada orang luar,
karena memang ada nilai-nilai yang melembagakan kesakralan keluarga dan
perkawinan (Hayati, 2000:40).
Budaya patriarkhi juga sering di salah artikan oleh masyarakat.
Masyarakat menilai bahwa laki-laki memiliki kekuasaan penuh didalam
keluarga sehingga menimbulkan pembenaran terhadap perlakuan kekerasan
yang dilakukan oleh suami sebagai kondisi yang dapat ditoleransi oleh
anggota keluarga lainnya. Sedangkan perempuan akan menjadi terhormat
sebagai perempuan sejati apabila bisa menegaskan kelembutan, kemanjaan,
kepasrahan, sekaligus sebagai pengakuan atas kekuasaan laki-laki terhadapnya
(Daulay, 2007:113).
Penilaian masyarakat tersebut menyebabkan munculnya sikap yang
membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, sehingga menimbulkan
ketidakadilan gender di masyarakat. Hal ini diperkuat oleh beberapa fakt yang
berkembang di masyarakat, pertama bahwa laki-laki dan perempuan tidak
diposisikan setara dalam masyarakat. Kedua masyarakat masih membesarkan
anak laki-laki dengan mendidiknya agar mereka menjadi manusia kuat dan
pemberani. Ketiga, kebudayaan masyarakat Indonesia
Untuk mengantisipasi tindakan kekerasan dalam rumah tangga,
pemerintah telah melakukan upaya pencegahan terhadap tindakan tersebut
dengan menetapkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 mengenai
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Akan tetapi,
penetapan UU No.23 Tahun 2004 tersebut terkesan tidak memiliki kekuatan di
depan hukum. Hal ini dapat dilihat dengan ketidakmampuan pemerintah
dalam melakukan penegakkan hukum terhadap para pelaku tindakan
kekerasaan dalam rumah tangga tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pelaku dapat bebas melakukan aktifitasnya sehari-hari tanpa harus khawatir
dengan tindakan mereka yang melanggar hukum sehingga hal tersebut tidak
menimbulkan rasa bersalah. Sungguh hal tersebut tidak dapat dibiarkan,
mengingat dampak yang akan timbul dari potensi ledakan yang terjadi di
rumah tangga tersebut adalah akan semakin banyaknya korban kekerasan
dalam rumah tangga yang akan bermunculan.
Walaupun pemerintah telah melakukan pencegahan dengan menetapkan
UU No. 23 Tahun 2004, tetapi jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga
dari tahun ke tahun terus meningkat. Selama ini keluarga yang dianggap
sebagai tempat yang paling aman ternyata tidak terbukti, ini dibuktikan
dengan banyaknya penganiayaan fisik dan psikis yang dilakukan oleh suami,
istri maupun orang-orang yang masih memiliki pertalian darah. Setiap insan
manusia yang berkeluarga sangat mendambakan kehidupan yang harmonis
dengan dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang antar anggota keluarga. Keluarga
yang damai, tentram dan bahagia merupakan tujuan setiap insan dalam
menjalani kehidupan perkawinannya, namun tidak setiap keluarga dapat
menjalani kehidupan rumah tangganya dengan penuh cinta, kasih sayang
dalam suasana kedamaian dan kebahagiaan.
Sesungguhnya kekerasan dalam rumah tangga tidak mungkin terjadi
mengingat rumah tangga dibangun oleh sebuah perkawinan yang sah dan
sakral dengan tujuan untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis. Hal
tersebut dijelaskan dalam Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 mengenai
perkawinan yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa.”

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis tertarik


untuk meneliti adakah pengaruh sosial ekonomi terhadap kekerasan yang
terjadi di dalam rumah tangga. Dengan melihat pengaruh sosial ekonomi
tersebut, maka dapat diketahui bagaimana sebenarnya keterbukaan dan
pengetahuan masyarakat Kota Problinggo terhadap Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT). Karena itu, penulis tertarik untuk meneliti tentang,
“Pengaruh sosial ekonomi terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga
(Studi Kasus Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Kota Probolinggo).”
B. Kajian Pustaka
1. Konsep Rumah Tangga
Rumah tangga yaitu seluruh urusan keluarga untuk hidup bersama,
dikerjakan bersama di bawah pimpinan seseorang yang ditetapkan, menurut
tradisi. Konstruksi sosial yang menggunakan ideologi gender menetapkan
bahwa pimpinan di dalam rumah tangga adalah ayah. Keputusan-keputusan
yang menyangkut hidup anggotanya, ayah selalu mengajak bermusyawarah
ibu, serta anak-anak yang dianggap sudah mampu (Murniati, 2004:203).
Agar kehidupan keluarga yang hidup di dalam sebuah rumah tangga
berjalan dengan baik, perlu pengelolaan yang disebut manajemen rumah
tangga yaitu ada tiga unsur pokok tersebut adalah:
a. Pertama adalah perencanaan, yaitu menentukan lebih dahulu suatu
tindakan yang akan dikerjakan sesuai dengan tujuan dan sasaran
anggotanya.
b. Kedua adalah pelaksanaan, yaitu suatu pengendalian untuk mengetahui
terjadi penyimpangan atau tidak dalam pelaksanaannya.
c. Dan unsur yang terakhir adalah evaluasi dan refleksi yang dilakukan
dengan kesepakatan seluruh anggota dalam rumah tangga. Dimana
evaluasi ini dilakukan secara musyawarah. Sehingga akan menghasilkan
penilaian terhadap pekerjaan, perbuatan, pelaksanaan kegiatan yang telah
dikerjakan sebagai tolak ukur. Tolak ukur tersebut dibedakan atas dua.
Pertama, rumah tangga yang berorientasi kepada keselamatan jiwa dan
raga para anggotanya; Kedua, adalah rumah tangga yang berorientasi
kepada benda bersifat duniawi.
Keluarga dengan sistem konjungal, menekankan pada pentingnya
perkawinan (antara suami dan istri), ikatan dengan suami atau istri cenderung
dianggap lebih penting dari pada ikatan dengan orangtua (Sunarto,2004:63).
Keluarga juga dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok dari orang-
orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi,
merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu
sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah
dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan, serta pemelihara
kebudayaan bersama (Khairuddin, 1997:7).
Definisi lain mengatakan bahwa, keluarga adalah sekelompok orang
yang diikat oleh perkawinan atau darah, biasanya meliputi ayah, ibu dan anak
atau anak-anak (Gunarsa, 1993:230).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat beberapa bentuk atau tipe
keluarga, yaitu:
a. Keluarga inti (Nuclear Family) adalah keluarga yang terdiri dari Ayah,
Ibu, Anak-anak.
b. Keluarga besar (Extended Family) adalah keluarga Inti ditambah dengan
sanak saudara, misalnya: nenek, kakek, keponakan, saudara sepupu,
paman, bibi, dan sebagainya.
c. Keluarga brantai (Serial Family) adalah keluarga yang terdiri dari satu
wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan satu
keluarga inti.
d. Keluarga Duda/Janda (Single Family) adalah keluarga yang terjadi karena
perceraian atau kematian.
e. Keluarga berkomposisi (Camposite) adalah keluarga yang perkawinannya
berpoligami dan hidup secara bersama.
f. Keluarga Kabitas (Cahabitasion) adalah dua orang menjadi satu tanpa
pernikahan tapi membentuk suatu keluarga. Keluarga Indonesia umumnya
menganut tipe keluarga besar (extended family) karena masyarakat
Indonesia yang terdiri dari beberapa suku hidup dalam suatu komuniti
dengan adat istiadat yang sangat kuat.
Adapun ciri-ciri dari sebuah keluarga di dalam masyarakat adalah
sebagai berikut: (1) Unit terkecil dari masyarakat; (2) Terdiri atas 2 orang atau
lebih; (3) Adanya ikatan perkawinan atau pertalian darah; (4) Hidup dalam
satu rumah tangga; (5) Di bawah asuhan seseorang kepala rumah tangga; (6)
Berinteraksi diantara sesama anggota keluarga; (7) Setiap anggota keluarga
mempunyai peran masing-masing; dan (8) Diciptakan untuk mempertahankan
suatu kebudayaan.
Menurut para ahli fungsi keluarga terbagi, sebagai berikut:
a. Fungsi Pendidikan, Dalam hal ini tugas keluarga adalah mendidik dan
menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan
anak bila kelak dewasa.
b. Fungsi Sosialisasi anak, Tugas keluarga dalam menjalankan fungsi ini
adalah bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota
masyarakat yang baik.
c. Fungsi Perlindungan, Tugas keluarga dalam hal ini adalah melindungi
anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik sehingga anggota keluarga
merasa terlindung dan merasa aman.
d. Fungsi Perasaan, Tugas keluarga dalam hal ini adalah menjaga perasaan
dan suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan
berinteraksi antar sesama anggota keluarga. Sehingga akan menumbuhkan
keharmonisan dalam keluarga.
e. Fungsi Religius, Tugas keluarga dalam fungsi ini adalah memperkenalkan
dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan
beragama, dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan keyakinan bahwa
ada keyakinan lain yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain
setelah di dunia ini.
f. Fungsi Ekonomis, Tugas kepala keluarga dalam hal ini adalah kepala
keluarga bekerja untuk mencari penghasilan, mengatur penghasilan itu,
sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
keluarga.
g. Fungsi Rekreatif, Tugas keluarga dalam fungsi rekreasi ini tidak harus
selalu pergi ke tempat rekreasi, tetapi yang penting bagaimana
menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga.
h. Fungsi Biologis, Tugas keluarga yang utama dalam hal ini adalah untuk
meneruskan keturunan sebagai generasi penerus.
2. Konsep Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Dalam perubahan sosial, unsur-unsur kemasyarakatan yang mengalami
perubahan biasanya adalah mengenai nilai social, norma sosial, pola perilaku,
organisasi sosial, kekuasaan, tanggung jawab, dan kepemimpinan. Dalam
masyarakat maju atau masyarakat berkembang perubahan sosial berkaitan erat
dengan perkembangan ekonomi (Zindani, 1993).
Kata sosiologi sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu 'socius' yang
berarti teman atau kawan dan 'logos' yang berarti ilmu pengetahuan. Secara
luas sosiologi merupakan ilmu pengetahuan tentang masyarakat dimana
sosiologi mempelajari masyarakat sebagai kompleks kekuatan, hubungan,
jaraingan iteraksi, serta sebagai kompleks lembaga/penata. Sedangkan dalam
konsep sosiologi, manusia sering disebut sebagai makhluk sosial yang artinya
manusia tidak dapat hidup wajar tanpa adanya bantuan orang lain disekitarnya.
Menurut Nurhadi (Syahrir 2000:50) memandang “bahwa kekerasan
adalah suatu perilaku pemaksaan yang mempunyai unsur persuasif maupun
fisik adanya suatu pelecehan”. Menurut Hasbianto bahwa kekerasan dalam
rumah tangga adalah suatu bentuk penganiayaan secara fisik maupun
emosional atau psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan terhadap
pasangan dalam kehidupan rumah tangga (Sugihastuti, 2007:173).
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1
disebutkan:
“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dan
lingkup rumah tangga.”

Berdasarkan beberapa definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan


bahwa segala perbuatan tindakan kekerasan dalam rumah tangga merupakan
perbuatan melanggar hak asasi manusia yang dapat dikenakan sanksi hukum
pidana maupun hukum perdata.
Kekerasan dalam rumah tangga dapat dikatakan sebagai kekerasan yang
berbasis gender. Tindakan tersebut terjadi disebabkan sebagian besar korban
adalah perempuan yang identik dengan sifat pasif, sedangkan laki-laki
merupakan pemimpin dalam rumah tangga yang memiliki kekuasaan penuh
terhadap anggotanya dapat bertindak sesuai keinginannya. Oleh karena itu,
kekerasan dalam rumah tangga dalam studi masalah sosial juga dapat
dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perpektif masalah
sosial, perilaku menyimpang tersebut terjadi karena terdapat penyimpangan
perilaku terhadap berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma
sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dianggap menjadi sumber masalah
sosial karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial.
Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung
makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak
melalui jalur baku tersebut berarti telah menyimpang. Oleh karena itu jalur
yang harus dilalui tersebut adalah jalur pranata sosial (Soetomo, 2008:94).
Kekerasan dalam rumah tangga sangat sulit terungkap, karena
masyarakat menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam sebuah
rumah tangga merupakan sesuatu yang sangat privasi dan tidak perlu diketahui
oleh masyarakat luas. Tetapi kenyataannya bahwa berbagai kekerasan yang
terjadi dalam konteks keluarga merupakan masalah sosial yang tidak dapat
dibiarkan, seperti: penganiayaan fisik, seksual, dan emosional terhadap anak-
anak, agresi sesama saudara kandung, dan kekerasan dalam sebuah hubungan
perkawinan.
Hal tersebut di dalam studi perilaku menyimpang identifikasikan
sebagai penyimpangan tersembunyi atau penyimpangan terselubung.
Penyimpangan tersembunyi atau terselubung tersebut adalah perilaku
seseorang dalam melakukan perbuatan tercela akan tetapi tidak ada yang
bereaksi atau melihatnya, sehingga oleh masyarakat dianggap seolah - olah
tidak ada masalah (Soekanto dalam Soetomo, 2008:95).
Penyebab kekerasan dalam rumah tangga antara lain:
a. Masalah komunikasi dan kepercayaan, hal ini sangat penting dalam suatu
hubungan dan tidak menutup kemungkinan jika komunikasi dan
kepercayaan tidak terbangun dengan baik akan menimbulkan suatu
konflik.
b. Masalah kedudukan dari suami dan istri dalam suatu rumah tangga dimana
hal ini bukan tidak jarang merupakan salah satu faktor penyebab apalagi
jika tidak ada kesepahaman antar pasangan.
c. Masalah ekonomi, dimana kecenderungan jika sebuah keluarga sedang
terhimpit masalah keuangan akan mungkin menimbulkan tindakan-
tindakan yang dapat berbentuk kekerasan dan juga tidak menutup
kemungkinan bagi keluarga yang dipandang cukup dari segi ekonomi bisa
jadi jadi keegoisan akan muncul.
d. Masalah psikologi dari pasangan, jika salah satu dari suami istri memiliki
tempramen yang tinggi (emosional) dan bahkan dengan mudah “main
tangan”, hal ini juga bisa menjadi pemicu.
e. Masalah seksual, banyak orang beranggapan istri adalah pihak yang
subordinat terutama dalam hal urusan ranjang karena dianggap hanya
sebagai pemuas, namun hal tersebut salah besar karena ada kesetaraan
dalam hal ini. Tapi pada kenyataan ada pasangan yang tidak puas sehingga
akan memunculkan kekerasan.
Bentuk tindakan KDRT yang sering terjadi di dalam masyarakat dalam
UU RI No. 23 tahun 2004 dibedakan kedalam 4 (empat) macam, yaitu:
a. Kekerasan secara fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit atau luka berat.
b. Kekerasan secara seksual, yaitu setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
c. Kekerasan secara psikologis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.
d. Penelantaran rumah tangga, yaitu menelantarkan anggota keluarga tanpa
memberikan kewajiban dalam hal perawatan ataupun pemeliharaan dan
juga membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau
di luar rumah tangga. Pada umumnya kekerasan yang diderita oleh korban
baik secara fisik maupun seksual bahkan penelantaran ekonomi terhadap
dirinya akan berdampak besar kepada kejiwaan atau psikis korban tindak
kekerasan tersebut.
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga,
diperlukan cara-cara penanggulangan KDRT, antara lain:
a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh
pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan
dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena
didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak,
saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling
mengahargai setiap pendapat yang ada.
c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta
sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah
rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah
pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah
tangga.
d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya
antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa
saling percaya. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah
sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga
berlebih-lebihan.
e. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada
dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi
pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga
dapat diatasi dengan baik.

C. Hasil Pembahasan Penelitian


1. Karakteristik Responden
Tabel 1. Data Responden
No Nama Usia Pendidikan Pekerjaan Status Bentuk Kekerasan
1 Prita Kurnia 29 SMA Swasta Cerai Penelantaran ekonomi
dan psikis
2 Sukarni 30 SD Wiraswasta Cerai Fisik dan psikis
3 Astutik 24 SD Swasta Menikah Fisik
4 Nurhayati 30 SD Swasta Menikah Fisik dan psikis
5 Nanik 24 SMA Swasta Menikah Penelantaran ekonomi
6 Minarsih 26 SD Swasta Menikah Fisik
7 Suhartini 31 SMP Swasta Menikah Fisik
8 Bu Armi 30 SD Wiraswasta Menikah Fisik
9 Endang Savitri 29 SMP Swasta Menikah Fisik dan psikis
10 Hariani 25 SD Wiraswasta Menikah Fisik
(Sumber: Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Kota Probolinggo)
2. Kondisi Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain: sandang, pangan, perumahan,
pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Berdasarkan ini masyarakat tersebut
dapat digolongkan ke dalam kedudukan sosial ekonomi rendah, sedang, dan
tinggi (Koentjaraningrat, 1981:35).
Sedangkan Kondisi Sosial Ekonomi masyarakat di Kota Probolinggo
Menurut Kasubid Pengarusutamaan Gender mengatakan bahwa keadaan sosial
ekonomi sebagian masyarakat kota Probolinggo sekitar 50% masuk dalam
kriteria menengah artinya bahwa perekonomian setiap keluarga dapat
dikatakan mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari dalam berumah tangga.
Jika harus dibandingkan dengan keadaan perekonomian dengan kota lain di
sekitar kota Probolinggo, harga kebutuhan pokok masih relative lebih tinggi.
Sehingga menyebabkan permasalahan-persalahan dalam rumah tangga yang
sampai berujung pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga seperti
perbedaan penghasilan antar individu (suami-istri), perbedaan pendapat
mengenai kebutuhan sehari-hari, perselisihan akibat tuntutan kebutuhan
pribadi kepada pasangan.
Hasil temuan menunjukkan bahwa mayoritas kondisi sosial ekonomi
pada responden dapat dikatakan rumah tangga yang sosial ekonominya
rendah. Dikatakan sosial ekonomi rendah karena masalah perekonomian yang
minim di dalam rumah tangga yang disebabkan besarnya kebetuhan kehidupan
sehari-hari, juga minimnya pendidikan sehingga tidak luas untuk mendapatkan
pekerjaan yang nilai penghasilannya besar dan juga minimnya usia saat
memutuskan untuk berumah tangga. Seorang laki-laki yang dijadikan sebagai
kepala rumah tangga yang dianggap dapat menjaga anggota keluarganya dan
menghidupi keluarganya dalam keadaan apapun. Ternyata sebaliknya, berawal
dari perselisihan, perdebatan mengenai masalah kebutuhan di dalam rumah
tangga yang selalu menjadikan kekerasan fisik, kekerasan psikis, penelantaran
ekonomi sebagai cara menyelesaikan masalah. Keadaan seperti inilah yang
menjadikan korban (wanita) menjadi mandiri dan berfikir maju untuk tetap
mempertahankan kehidupan di dalam rumah tangga yang awalnya selalu
bergantung kepada suami.
3. Kekerasan dalam Rumah Tangga
Setelah dilakukan penelitian dari 10 responden bentuk kekerasan dalam
rumah tangga yang paling banyak dialami oleh 8 responden dari 10 responden
yaitu kekerasan dalam rumah tangga secara fisik, kekerasan psikis yang
dialami 4 responden dari 10 responden, 2 responden dari 10 responden yang
mengalami kekerasan secara penelantaran ekonomi.
Hampir semua bentuk kekerasan dalam rumah tangga dilakukan oleh
laki-laki (suami) dan korban pada umumnya perempuan. Berdasarkan Tabel 1
data responden menyimpulkan bahwa wanita (istri) mempunyai resiko
terbesar mengalami tindakan kekerasan di rumah mereka lebih besar dari pada
di tempat-tempat lain. Kekerasan yang dialami korban mayoritas adalah
kekerasan fisik dan penelantaran ekonomi.
Ditemui 8 orang responden pernah mengalami kekerasan dalam
keluarga secara fisik. Dimana tindakan kekerasan fisik yang paling banyak
dialami oleh responden adalah dipukul dan ditampar. Akan tetapi di sini
bentuk kekerasan yang dialami oleh responden tidak hanya satu macam
melainkan kombinasi dari berbagai bentuk tindakan kekerasan. Suami
melakukan tindakan yang demikian menurut responden pada umumnya karena
sakit hati/kesal, karena masalah anak, tidak mau mendengar kata suami/tidak
patuh, cemburu, yang mana kesemuanya itu memicu pertengkaran di antara
dua kedua belah pihak dan akhirnya tindakan kekerasan terjadi.
Umumnya tindakan kekerasan terjadi dua kali dalam sebulan dan satu
orang responden mengalaminya hampir setiap minggu bahkan setiap hari.
Dimana tindakan yang dilakukan oleh suami responden setelah melakukan
kekerasan fisik biasanya akan menyesalinya, menasehati istri itu sendiri, dan
terdapat juga hanya diam saja, mengomel serta langsung pergi masing-masing.
Akan tetapi yang menarik suami responden dalam hal ini tidak ada
satupun ditemukan mempunyai sikap untuk minta maaf atas tindakan
kekerasan yang telah dilakukan. Perempuan diperlakukan kasar oleh suaminya
adalah karena kesalahan istri itu sendiri. Sedangkan dari pihak istri sendiri,
tindakan yang dilakukan ketika terjadi kekerasan fisik terhadap dirinya lebih
cenderung mengambil tindakan diam/pasrah saja dilakukan oleh responden
yang mengalami KDRT, kemudian terdapat beberapa yang marah dan
mencoba pergi dari tempat itu, ada yang mencoba menasehati suami dan ada
responden membalas perbuatan tersebut dengan tindakan yang sama sehingga
menyebabkan terjadinya pertengkaran berikutnya. Responden menyatakan
bahwa tindakan yang demikian termasuk KDRT yang merupakan tindakan di
luar batas yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang suami terhadap istri
dan menginjak harga diri sebagai seorang istri yang layaknya dilindungi serta
oleh beberapa responden hal ini dapat menimbulkan trauma.
Begitu juga dengan bentuk tindakan kekerasan secara psikis yang
dialami 4 responden. Jenis kekerasan tertutup ini adalah kekerasan yang
tersembunyi atau tidak langsung dilakukan tapi dirasakan oleh salah satu
pihak sebagai situasi yang membebani dan tidak menyenangkan seperti
mengancam. Hampir keseluruhan responden penelitian pernah mengalaminya
seperti tindakan penghinaan, diejek dengan kata-kata kasar pada umumnya
dialami responden hmpir setiap hari, hanya satu orang yang mengalaminya 2-3
kali dalam seminggu. Alasan-alasan terjadinya tindakan kekerasan ini relatif
hampir sama dengan alasan atau penyebab terjadinya tindakan kekerasan fisik,
seperti karena emosi/kesal dengan masalah suami istri dan anak-anak, karena
melanggar aturan (tidak patuh), cemburu dan tidak bisa menyelesaikan urusan
rumah tangga.
Mengenai sikap yang dilakukan oleh suami responden setelah
terjadinya tindakan kekerasan secara emosional pada umumnya diam atau
mengomel, masing-masing dilakukan oleh responden yang mengalami KDRT
secara emosional. Hal ini mungkin berhubungan dengan kebanyakan sifat
perempuan yang lebih suka jika bertengkar melampiaskan kekesalan dengan
kata-kata, karena membalas secara fisik relatif tidak memungkinkan bagi
mereka (perempuan). Hampir keseluruhan responden di sini menyatakan
bahwa KDRT emosional adalah suatu perbuatan yang tidak wajar dilakukan
terhadap perempuan khususnya terhadap istri oleh suaminya, karena tindakan
tersebut bukanlah wujud dari sikap saling menghormati antara suami istri.
Selanjutnya kekerasan dengan penelantaran ekonomi yang dialami
hanya 2 responden. Tindakan ini cenderung terjadi pada istri yang bekerja dan
suami umumnya mempunyai pekerjaan yang sifatnya rutin namun penghasilan
yang relatif rendah. Bagi istri yang penghasilan suaminya relatif rendah ini
menurut mereka merupakan suatu tindakan yang wajar. Selebihnya
menyatakan bahwa tindakan tersebut di atas tidak wajar karena menurut
mereka memberi uang belanja adalah tanggung jawab/kewajiban suami.
Penelantaran ekonomi yang dilakukan suami dengan tidak memberi
uang belanja, memakai atau menghabiskan uang istri dan memenuhi
kebutuhan sehari-hari juga terjadi pada responden penelitian ini. Menurut
responden alasan pelaku (suami) melakukan penelantaran ekonomi sebagai
cara melampiaskan karena merasa terbebani dengan tuntutan-tuntutan
kebutuhan sehari-hari dan merasa dirinya sebagai seorang suami tidak di
hargai dan tidak dilayani dengan baik karena kesibukan seorang istri yang
bekerja. Kesemuanya itu memicu pertengkaran di antara dua kedua belah
pihak.
Terakhir bentuk tindakan kekerasan secara seksual yang tidak
ditemukan dari 10 responden dalam penelitian ini. Dalam bentuk kekerasan ini
semua masalah kekerasan seksual relatif masih dianggap sebagai hal yang
tabu untuk dibicarakan secara terbuka dalam kehidupan sehari-hari karena
sifatnya rahasia.
Jumlah Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di
Kota Probolinggo dapat lihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Jumlah Kasus KDRT

Pada tahun 2013 ada 43 kasus KDRT, tahun 2014 ada 48 kasus,
sedangkan di tahun 2015 yang terhitung dari bulan Januari-Maret ada 13 kasus
yang dilaporkan. Dari data tersebut dapat dikatan bahwa tindakan KDRT pada
tiap tahunnya belum bisa dikatakan selalu mengalami penurunan ataupun
peningkatan. Dengan tingkat pengetahuan responden terhadap keberadaan
tindakan kekerasan dalam rumah tangga cukup tinggi. Hal ini dapat dipahami
karena pada umumnya tingkat pendidikan responden yaitu tamat SLTA yang
dapat dikategorikan berpendidikan relatif tinggi. Seharusnya dengan
pendidikan responden yang relatif tinggi sudah mengerti tentang pengetahuan
Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Terjadinya kekerasan-kekerasan ini di dalam rumah tangga karena
minimnya pengetahuan pada masyarakat. Seperti keperhatinan akan nasib para
wanita di dunia ini khususnya Kota Probolinggo. Masyarakat pada umumnya
masih minim pengetahuan tentang KDRT ini, sehingga para pelaku KDRT
masih bebas melakukan hal yang sama, bahkan berulang kali tanpa berujung
di meja hijau. Wanita masih sering dipandang lemah, sehingga sering kali
menjadi korban kekerasan bahkan oleh orang terdekatnya sendiri (suami).
4. Pengaruh Sosial Ekonomi Terhadap Tindakan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Sesuai pernyataan dari Sekretaris Pemberdayaan Perempuan dan KB
Kota Probolinggo menyatakan bahwa pengaruh kondisi sosial ekonomi dapat
memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga disebabkan karena
kebutuhan di dalam rumah tangga lebih besar dari nilai pendapatan. Dan yang
bermasalah dengan tindakan kekerasan dalam rumah tangga ini lebih banyak
pada masyarakat perdesaan.
Masalah-masalah yang terjadi yaitu: (1) perselisihan akibat berbeda
pendapat pemenuhan kebutuhan; (2) keegoisan dari pasangan untuk
memaksakan keinginan pribadi; (3) tuntutan pemenuhan kebutuhan sehari-
hari; dan (4) kurangnya rasa jujur nilai penghasilan.
Pelayanan yang diberikan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB
Kota Probolinggo kepada masyarakat khususnya korban tindakan KDRT,
yaitu: (1) pendampingan korban; (2) konseling; (3) bimbingan rohani; (4)
perlindungan hukum; (5) tenaga kesehatan.
Menurut Kabid pemberdayaan Perempuan Perempuan Kota
Probolinggo, bahwa memang benar adanya pengaruh kondisi sosial ekonomi
terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Sebenarnya yang menjadi
penyebab terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah tangga beragam. Namun
yang paling banyak adalah di masalah perekonomian di dalam rumah tangga.
Permasalahan yang berawal dari banyaknya tuntutan kebutuhan sehari-hari
sedangkan pendapatan yang dihasilakan dalam rumah tangga itu sendiri tidak
mencukupi. Sehingga permasalahan ini membuat kedua belah pikah suam-istri
berselisih yang akan berakhir pada kekerasan dalam rumah tangga yang.
Kekerasan ini biasanya dijadikan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah
yang tidak dibenarkan. Akan tetapi tindakan kekerasan dalam rumah tangga
tidak hanya terjadi pada rumah tangga sosial ekonomi rendah saja karena juga
bisa terjadi pada rumah tangga sosial ekonomi tinggi.
Menurut Kasub Bid Pengarusutamaan Gender, bahwa melihat Kondisi
sosial ekonomi masyarakat sebagian masyarakat kota Probolinggo sekitar 50%
masuk dalam criteria menengah artinya bahwa perekonomian setiap keluarga
dapat dikatakan mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari dalam berumah
tangga. Jika harus dibandingkan dengan keadaan perekonomian dengan kota
lain disekitar kota Probolinggo, harga kebutuhan pokok masih relatif lebih
tinggi. Namun ada faktor lain yang bersinggungan dengan perekonomian yaitu
tingkat pendidikan. Karena dapat menentukan kondisi sosial ekonomi pada
seseorang dapat dilihat dari perekonomian, tingkat pendidikan dan keadaan
dalam rumah tangga.
Dengan demikian, minimnya pendidikan masyarakat khususnya pada
korban tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas tingkat
pendidikannya SMP. Namun juga ada yang tingkat pendidikan SMA. Tingkat
pendidikan ini bukan menjadi faktor utama penyebab terjadinya dalam rumah.
Usia pun bukan menjadi faktor utama. Karena sesungguhnya faktor utamanya
adalah kondisi sosial ekonominya yang dapat dilihat dari
pendapatan/perekonomian, aktivitas pekerjaan dan keadaan rumah tangga.
Untuk yang menjadi korban bukan hanya pada rumah tangga sosial ekonomi
rendah tapi juga pada sosial ekonomi tinggi. Sebenarnya dari permasalahan
sosial ekonomi ini hanya dibutuhkan komunikasi yang baik, fungsi istri
sebagai menejemen keuangan yang baik, serta memberikan kepercayaan yang
tinggi terhadap pasangan. Karena dengan begitu jumlah korban kekerasan
dalam rumah tangga akan berkurang. Jika melihat dari masyarakat yang
melapor mayoritas penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah yaitu masalah
perekonomian dalam rumah tangga.

D. Kesimpulan
Kondisi sosial ekonomi di dalam rumah tangga sangat berpengaruh
akan terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Tindakan kekerasan
dalam rumah bisa terjadi pada rumah tangga sosial ekonomi rendah maupun
rumah tangga sosial ekonomi tinggi. Faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah tangga yaitu kurangnya
komunikasi, perekonomian di dalam rumah tangga, perselisihan dari berbagai
masalah. Kendala yang dialami oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB
Kota Probolinggo untuk bisa meningkatkan sosial ekonomi pada masyarakat
adalah mayoritas korban menutup diri sehingga instansi terkait sulit untuk
mendapatkan data korban tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA

Baharudin, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar. Yogyakarta: Karunia Alam Semesta

Bakry, Hasbullah.1978. Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan


Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan

Daulay, Harmona.2007. Perempuan dalam kemelut Gender. Medan: USU Press

Gunarsa, Ny. Singgih D dan Gunarsa, Singgih D.1993. Psikologi Praktis: Anak,
Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia

Hayati, Elli Nur.2000. Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban


Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ihromi, T.O. 1995. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia

Khairuddin.1997. Sosiologi Keluarga.Yogyakarta: Liberty

Koentjaraningrat. 1981. Masalah Perencanaan Dalam Metode Penelitian


Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta

Michael P. Todaro, 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jakarta:


Erlangga

Moleong, J. Lexy. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosda Karya

Murniati, P, A. Nunuk. 2004. Getar Gender, Perempuan Indonesia dalam


Perspektif budaya dan Keluarga. Magelang: Indonesintera

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar

Sunarto, Kamanto.2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi


Universitas Indonesia

You might also like