You are on page 1of 1

17 Agustus 2022

66 tahun telah berlalu, tanpa kusadari setiap kali menyaksikan merah putih
berkibar ... air mata menetes tak terasa...
Teringat masa kecil, aku masih duduk di kelas 2 MI, seminggu sebelum
peristiwa Gerakan September Tiga Puluh, suasana di Madrasah Miftahul
Huda Tegalpare Bwi, tempatku bersekolah tiba2 sangat mencekam. Pak guru
mengumumkan, nanti malam jam 9 ada pemadaman lampu, nunggu bunyi
kentongan dari lurah. Saat itu listrik belum masuk desa. Malam sehabis
berjamaah isya' kami dilarang meninggalkan musholla. Menunggu sampai
terdengar bunyi kentongan bertalu-talu tanda bahaya...maka seluruh desa
wajib mematikan lampu, klu ada yg menyala akan dibom dari udara. Hampir
setiap malam aku menyaksikan para santri digembleng secara fisik, mereka
membongkok lalu sepuluh biji bata ditumpuk di atas punggung dan dipecah
dengan tangan kosong oleh santri yg lain. Belakangan aku baru tahu klu itu
siasat PKI menjadikan rakyat kelaparan. Pada saat mati lampu mereka
mencuri beras dari gudang2 desa pake heli utk disimpan di tempat yg mereka
rahasiakan.
Pengkhianatan PKI di seluruh desa hampir serempak dg peristiwa di Lubang
Buaya.
Isu yg beredar mesjid dan pesantren yg diasuh ayahku Alm. KH Moh.
Thahir akan dibakar. Maka kami harus mengosongkan pondok dan
mengungsi di tempat yg aman. Aku yg masih kecil dibawa lari ibuku lewat
kebun orang dan dipilihlah rumah peternak yg cukup besar milik pak Jalal. Di
sana orang berkumpul 2 hari 2 malam duduk berzikir di atas tikar tanpa ada
makanan dan lampu, kecuali permen dan air kendi tanpa dimasak. Setiap aku
lapar hanya dikasih permen 2 biji dan air kendi 1 gelas.
Alhamdulillah, semua telah berlalu. Semoga Indonedia selalu dilindungi
Allah SWTdari berbagai ancaman dan pengkhianatan.
Merdeka Negriku, Jayalah Bangsaku !

You might also like