You are on page 1of 16

MAKALAH LUKA AKIBAT GIGITAN PROFILAKSIS RABIES

Dosen Pengampu :
Ns. I Kade Oka Darmaja., S.Kep

Disusun Oleh:
Ni Komang Mia Sintya Dewi (102091904)

Prodi Keperawatan Fakultas Kesehatan, Sains, dan Teknologi


Universitas Triatma Mulya Provinsi Bali
2021

1
Kata Pengantar

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang mana atas berkat rahmat
dan karunia-Nya saya telah di bimbing dalam menuntaskan penulisan Makalah yang
berjudul “ Makalah Tentang Luka Akibat Gigitan Profilaksis Rabies” yang penulis
susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat .
Penulis mengakui dalam makalah yang sederhana ini mungkin banyak sekali
terjadi kekurangan sehingga hasilnya jauh dari nama kesempurnaan. Penulis sangat
berharap kepada semua pihak untuk kiranya memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun.
Besar harapan penulis dengan terselesaikannya makalah ini dapat menjadi bahan
tambahan bagi penilaian guru bidang studi dan mudah-mudahan isi dari makalah
penulis ini dapat di ambil manfaatnya oleh semua pihak yang membaca makalah ini.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
penulis dalam penyusunan makalah ini sehingga makalah ini terselesaikan.

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar..........................................................................i
DAFTAR ISI .............................................................................ii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang......................................................................1
B. Rumusan Masalah ................................................................2
C. Tujuan ...................................................................................2
Bab II Tinjauan Pustaka
A. Konsep Nyeri.........................................................................3
B. Pengkajian Intrumen Nyeri...................................................4
Bab III Penutup
A. Kesimpulan ...........................................................................12
B. Saran .....................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rabies merupakan penyakit zoonosis yang menyerang sistem saraf pusat
si penderitanya. Penyakit zoonosis merupakan jenis penyakit yang dapat
ditularkan dari hewan kepada manusia. Rabies disebabkan oleh virus dari genus
Lyssavirus famili Rhabdovirus dan dapat menyerang semua spesies mamalia
termasuk manusia. Sumber utama yang dapat menularkan rabies adalah anjing.
Menurut WHO lebih dari 99% kasus rabies pada manusia didunia disebabkan
oleh gigitan anjing yang terinfeksi (WSPA, 2010). Penyakit rabies dinilai
berbahaya karena tingkat kefatalannya yang sangat tinggi yaitu mencapai 100%
(Widoyono, 2011). Oleh karena itu perlu adanya tindakan pencegahan untuk
mengurangi laju penyebaran penyakit rabies.
Kucing merupakan makhluk sosial. Antara kucing satu dengan kucing
lain memiliki agresi berupa tingkah laku mempertahankan wilayah, tingkah laku
kawin, dan lain-lain. Tingkah laku kawin pada kucing biasanya terjadi ketika
kucing mulai memasuki masa pubertas. Pubertas ini menyebabkan munculnya
tingkah laku kawin pada kucing. Ketika musim kawin, kucing betina rumahan
(indoor) akan dibawa oleh pemiliknya pada kucing jantan untuk dikawinkan,
sedangkan pada kucing luar rumah (outdoor), kucing jantan akan saling
berkompetisi sesama kucing jantan lain untuk memperebutkan batas wilayah dan
untuk kawin.
Pada musim kawin banyak diantaranya kucing berkelahi untuk
memperebutkan betina dan wilayah kekuasaannya. Kucing biasa menggunakan
cakar dan gigitannya untuk melawan musuh dan perlindungan diri sehingga
akibat dari perkelahian tersebut adalah luka. Luka adalah kerusakan kontinuitas
jaringan atau kuit, mukosa mambran dan tulang atau organ tubuh lain yang
disebabkan oeh beberapa faktor. Luka yang disebabkan oleh gigitan disebut juga

1
“Vulnus morsum”.Luka gigitan yang paling sering dijumpai diantaranya; Ular
(vulnus morsum serpentis); Anjing (vulnus morsum canis); Kucing (vulnus
morsum felis); Monyet (vulnus morsum macacus); Kalajengking (vulnus
morsum scorpion);
Manusia (vulnus morsum sapiens).Gigitan hewan dapat menjadikan
sarang penularan virus atau bakteri. Luka akibat gigitan hewan harus segera
ditangani, jika tidak dapat menyebabkan infeksi sekunder dari bakteri ataupun
parasit lain. Seekor hewan yang menderita luka akan merasakan adanya
ketidaksempurnaan yang pada akhirnya cenderung untuk mengalami gangguan
fisik dan emosional. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa luka akan
mempengaruhi 2 kualitas hidup dari hewan itu sendiri. Penanganan luka
didasarkan untuk melindungi saraf-saraf yang terluka dan harus segera ditutup
(bisa dengan perban/bandage, plaster atau tindakan pembedahan dengan cara
dijahit (suture). Respon rasa sakit berbeda pada tiap hewan, faktor yang pertama
adalah Individu (umur muda lebih peka umur tua), jenis hewan (kucing, anjing
lebih peka dari pada sapi) (Jaya Warditha dkk, 2009)
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk
menjelaskan tentang luka akibat gigitan profilaksis rabies.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep penyakit rabies ?
2. Bagaimana luka akibat gigitan profilaksis rabies
3. Bagaiaman penanganan luka pada rabies ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui konsep penyakit rabies
2. Untuk mengetahui tentang uka akibat gigitan profilaksis rabies
3. Untuk mengetahui penanganan pada luka rabies

BAB II

2
TIJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit Rabies


1. Pengertian rabies
Rabies merupakan penyakit zoonosis (ditularkan dari hewan ke manusia)
oleh virus yang yang menyerang sistem saraf pusat manusia sehingga
membuat terjadinya radang otak akut pada manusia dan hewan yang
berdarah panas (Yousaf et al., 2012). Hewan yang paling banyak dilaporkan
sebagai penyebab rabies adalah anjing, rakun, sigung, kelelawar, dan rubah
(Yousaf et al., 2012). Hewan berdarah panas sebagai penyebab kasus
tertinggi di Indonesia yaitu anjing (92%), kucing (6%) dan kera (3%)
(Kementan RI, 2014). Pada hewan penyebab penyakit ini biasanya
ditemukan virus pada air liurnya dengan konstentrasi yang tinggi (Kementan
RI, 2014)
2. Etiologi rabies
Rabies disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus yang termasuk dalam
famili Rhabdoviridae (Bano et al., 2016). Virus ini berbentuk peluru,
mengandung genom RNA untai tunggal (Moges N, 2015; Nilsson M, 2014).
Lyssavirus rentan terhadap radiasi ultraviolet (Bano et al., 2016). Virus cepat
dinonaktifkan oleh paparan udara, sinar matahari dan darah kering dengan
sistem sekresi (Tojinbara et al., 2016). Virus ini sangat neurotropik hingga
mampu menghindari sistem kekebalan dengan penyerapannya di sistem saraf
(Sinnakirouchenan et al., 2020). Setelah terjadi proses inokulasi, virus
tersebut memasuki saraf perifer (Sinnakirouchenan et al., 2020). Kemudian
diikuti oleh proses inkubasi yang berkepanjangan, yang panjangnya
tergantung pada ukuran inokulum dan kedekatannya dengan SSP
(Sinnakirouchenan et al., 2020). Amplifikasi terjadi sampai nukleokapsid
tumpah ke persimpangan myoneural dan memasuki akson motorik dan
sensorik (Sinnakirouchenan et al., 2020). Pada titik ini, terapi profilaksis
menjadi sia-sia, dan rabies diperkirakan akan berakibat fatal, dengan tingkat

3
kematian 100% (Sinnakirouchenan et al., 2020). Virus rabies bergerak
sepanjang akson ini dengan kecepatan 12-24 mm/hari untuk memasuki
ganglion tulang belakang (Sinnakirouchenan et al., 2020). Perbanyakannya
di ganglion ditandai dengan timbulnya nyeri atau paresthesia di tempat
inokulum, yang merupakan gejala klinis pertama dan temuan khas dari
kejadian rabies (Sinnakirouchenan et al., 2020). Dari sini, virus rabies
menyebar dengan cepat, dengan kecepatan 200-400 mm/hari, ke SSP, dan
penyebarannya ditandai dengan ensefalitis yang progresif cepat
(Sinnakirouchenan et al., 2020). Setelah itu, virus menyebar ke kelenjar
perifer dan saliva (Sinnakirouchenan et al., 2020).
3. Manifestasi klinis
Gejala klinis rabies terbagi atas 2, yaitu gejala klinis pada manusa dan pada
hewan. Gejala klinis rabies pada manusia sering kali tidak spesifik, dapat
berupa kecemasan, kegelisahan, anoreksia atau peningkatan nafsu makan,
mual, diare, demam ringan, pelebaran pupil, hiperaktif terhadap rangsangan
serta air liur yang ekstrem (Bano et al., 2016). Sebuah penelitian dilakukan
terhadap 45 pasien di Manila untuk mengidentifikasi gejala dan tanda utama
mereka yang terkena rabies yaitu hidrofobia, agresi, hipereksitabilitas,
aerofobia, disorientasi, kewaspadaan berlebihan, kesulitan menelan,
halusinasi, hipersalivasi, kecemasan/ketakutan, aktivitas kejang, dan
kegelisahan/agitasi (Marsden & Cabanban, 2006 dalam Rupprecht &
Dietzschold, 2017). Gejala lain disebutkan dalam penelitian Warrel (2017),
bahwa kejang hidrofobik bersifat patognomonik mungkin merupakan satu-
satunya gejala fisik tahap awal rabies (Warrell et al., 2017). Rasa haus yang
semakin besar memaksa penderita untuk meminta atau penderita sekedar
menyebutkan ingin air, tetapi takut untuk minum (Warrell et al., 2017).
Hembusan udara (aerophobia), menyentuh langit-langit, cahaya terang atau
suara keras dapat memicu kontraksi yang kuat dan tersentak pada diafragma
dan otot aksesori dari inspirasi, kadang disertai nyeri retrosternal mencekam
yang akhirnya dapat menunjukkan kejang esofagus (Warrell et al., 2017).
4. Patofisiologis

4
Rabies disebabkan oleh virus Lyssa (rabies virus/ RV) dan ditularkan ke
manusia melalui gigitan hewan rabies (anjing, kera, musang, anjing liar,
kucing, dll) (WHO, 2013a). RV merupakan virus RNA rantai negatif dari
keluarga rhabdovirus. Neuroinvasiveness dan neurotropism adalah ciri utama
yang menentukan patogenesis rabies (Dietzschold et al., 2008). Masuknya
virus rabies ke tubuh melalui luka gigitan dan bertahan selama 2 minggu di
sekitar luka gigitan juga sebagai replikasi di jaringan otot di sekitar luka
gigitan (WHO, 2013a). Virus akan melakukan perjalanan ke sistem saraf
pusat melalui saraf tepi tanpa tanda dan gejala klinis (Kemenkes RI, 2015).
Setelah mencapai otak, virus bereplikasi dengan cepat dan menyebar ke
seluruh sel saraf otak/neuron, khususnya sel-sel sistem limbik, hipotalamus,
dan batang otak (Kemenkes RI, 2015). Virus berjalan menuju pinggiran
melalui serabut saraf eferen baik dari saraf sukarela maupun otonom sistem
saraf setelah berkembang biak di neuron otak (Kemenkes RI, 2015). Virus
tersebut menyerang hampir setiap organ dan jaringan di dalam tubuh dan
juga akan berkembang biak di jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan
organ lainnya (WHO, 2013a). Virus rabies dapat bertahan pada pemanasan
dalam beberapa waktu lama. Pada pemanasan suhu 56oC, virus dapat
bertahan selama 30 menit dan pada pemanasan kering mencapai suhu 100oC
masih dapat bertahan selama 2-3 menit. Di dalam air liur dengan suhu udara
panas dapat bertahan selama 24 jam. Dalam keadaan kering beku dengan
penyimpanan pada suhu 4oC virus dapat bertahan selama bertahun-tahun,
hal inilah yang menjadi dasar kenapa vaksin anti rabies harus disimpan pada
suhu 2o –8 oC. Pada dasarnya semakin rendah suhunya semakin lama virus
dapat bertahan (Kemenkes RI, 2016).
B. Luka akibat gigitan profilaksis rabies
1. Pengertian
Luka gigitan ( vulnus morsum )
Luka gigitan ( vulnus morsum ) Adalah luka karena gigitan binatang. Luka
gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan
yang menggigit, terkadang bekas gigitan tidak jelas karena sudah terkoyak.

5
Kedalaman luka menyesuaikan dengan gigitn hewan tersebut. Vulnus
morsum merupakan luka yang tercabik-cabik yang dapat berupa memar yang
disebabkan oleh gigitan binatang atau manusia (Morison J, 2003). Dapat
ditemui pada bekas gigitan terasa nyeri, panas, dan udem. Dapat
menyebabkan shock anafilaktif dan membawa masuk bakteri atau parasit
kedalam tubuh hewan. gigitan yang paling sering dijumpai diantaranya:
a. Luka Kalajengking (vulnus morsum scorpion)
b. Manusia (vulnus morsum sapiens)
c. Monyet (vulnus morsum macacus)
d. Kucing (vulnus morsum felis )
e. Anjing (vulnus morsum canis)
f. Ular (vulnus morsum serpentis)

Jenis-jenis luka tersebut memiliki tindakan penanganan masing-masing.


Untuk luka gigitan akibat hewan yang memiliki bisa harus dengan tanggap
mengobatinya jika tidak maka racun bisa dapat menyebar keseluruh tubuh
dan jaringan syaraf dan dapat menyebabkan kematian. Untuk vulnus
morsum yang disebabkan oleh gigitan kucing atau anjing, tindakan pertama
yang harus dilakukan adalah pembersihan luka dari debris/kotoran lalu
pemberian antibiotik dapat mencegah infeksi sekunder agen bakteri. Jika
jejas luka besar dan dalam maka harus dilakukan penutupan luka dengan
tindakan pembedahan yaitu dengan tehnik suture (penjahitan).

2. Etiologi
Vulnus morsum masuk ke dalam kategori luka terbuka (vulnus apertum).
Penyebab utamaVulnus morsum adalah gigitan hewan seperti ular, anjing,
kucing, kalajengking dan lain – lain. Pada kasus ini luka gigitan disebabkan
oleh kucing yang dapat disebut juga Vulnus morsum felis. Luka gigitan
hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang
menggigit dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan
tersebut. Vulnus morsum harus ditangani dengan cepat karena Gigitan

6
hewan dapat menjadikan sarana penularan virus (rabies), bakteri dan parasit
apabila tidak segera ditangani.
3. Manifestasi klinis
Hewan yang terkena gigitan hewan lain (anjing, kucing, dll) akan mengalami
beberapa manisfestasi klinis. Beberapa mengalami kerusakan lapisan lendir
dan reaksi alergi. Sedangkan pada luka gigitan yang terkoyak menyebabkan
diskontiunitis jaringan.Jika luka terbuka dan kotor, resiko infeksi menjadi
sangat memungkinkan. Untuk luka – luka tertentu biasanya disertai nyeri
dan rasa sakit atau sakit karena putusnya jaringan dan kemungkinan
timbulnya tanda - tanda infeksi. Gejala klinis vulnus morsum felisyang
ditunjukkan yaitu luka terkoyak dengan bekas penetrasi gigi pada area yang
tergigit, terasa sakit pada daerah sekitar luka, nafsu makan hewan menurun,
jika luka dibiarkan lama maka akan timbul nekrosa pada jaringan sekitarnya
dan kemungkinan infeksi sekunder dari bakteri (terdapat cairan atau nanah)
dan parasit (larva lalat) dapat terjadi. Pada vulnus yang disebabkan oleh
hewan berbisa seperti ular, kalajengking dan lain-lain resiko infeksi gigitan
lebih besar dari luka biasa karena toksik/ racun mengakibatkan infeksi yang
lebih parah.Luka akibat gigitan ular maka akan tampak bengkak secara
mendadak yang sangat sakit, merah, ada luka kecil di beberapa lokasi
tergantung gigitan ular, denyut nadi menjadi sangat lemah dan dapat
menimbulkan syock. Tanda-tanda dari gigitan ular yang lain adalah
menggigil, excitement, muntah,
pingsan, mengeluarkan air liur yang berlebihan, pupil yang membengkak
(Dharmajono, 2002). Pada luka gigitan hewan berbisa atau beracun,atau
beberapa efek yang mungkin terjadi, tergantung pada jenis hewan yang
mengigit.Klasifikasi keracunan akibat gigitan ular berbisa :
a. Derajat 0: dengan tanda-tanda tidak keracunan, hanya ada bekas taring
dan gigitan ular, nyeriminimal dan terdapat edema dan eritema kurang
dari 1 inci dalam 12 jam, padaumumnya gejala sistemik yang lain tidak
ada.

7
b. Derajat 1: terjadi keracunan minimal, terdapat bekas taring dan gigitan,
terasa sangat nyeri danedema serta eritema seluas 1-5 inci dalam 12 jam,
tidak ada gejala sistemik.
c. Derajat 2: terjadi keracunan tingkat sedang terdapat bekas taring dan
gigitan, terasa sangatnyeri dan edema serta eritemayang terjadi meluas
antara 6-12 inci dalam 12 jam.Kadang- kadang dijumpai gejala sistemik
seperti mual, gejala neurotoksin, syok,pembesaran kelenjar getah bening
regional.
d. Derajat 3: terdapat gejala keracunan yang hebat, bekas taring dan gigitan,
terasa sangat nyeri,edema dan eritema yang terjadi luasnya lebih dari 12
inci dalam 12 jam. Juga terdapatgejala sistemik seperti hipotensi,
petekhiae, dan ekimosis serta syok.
e. Derajat 4: gejala keracunan sangat berat, terdapat bekas taring dan
gigitan yang multiple,terdapat edema dan lokal pada bagian distal
ekstremitas dan gejala sistemik berupagagal ginjal, koma sputum
berdarah.
4. Terapi
Penangan kasus vulnus morsumjika luka dangkal tidak memerlukan
penjahitan, tetapi pada luka yang menganga, usahakan merapatkannya agar
kedua belahan luka menyatu, sehingga memudahkan penyembuhan. Luka
yang masih basah
dan tampak cairan kuning, kemungkinan luka terinfeksi. Kalau sudah seperti
ini, tidak cukup membubuhinya dengan antiseptis, perlu ditambahkan salep
atau antibiotika. Jika tidak dilakukan, luka akan berubah menjadi borok, ini
akan menambah lama penyembuhan, dan menyisakan bekas atau jaringan
parut pada kulit (Karakata dan Bachsinar, 1992). Penanganan pertama yang
harus dilakukan adalah pembersihan luka, lalu pembuatan luka baru pada
tepian luka yang mengalami pengerasan atau nekrosis, setelah itu penutupan
luka dengan tehnik suture. Usahakan penanganan se-aseptis mungkin supaya
tidak ada kontaminasi bakteri dari luar dan jaga agar bekas jahitan tetap
kering sehingga proses kesembuhan luka tidak memakan waktu lama.

8
Kesembuhan luka merupakan proses terus menerus dari peradangan sampai
dengan perbaikan, dimana sel-sel inflamasi, epitel, endotel, trombosit dan
fibroblast keluar secara bersamaan dari tempatnya dan berinteraksi
memulihkan kerusakan. Setelah terjadi luka segera dimulai fase hemostasis
berupa vasokontriksi, agregasi trombosit, dan proses pembekuan darah, fase
peradangan , fase proliferasi dan fase penyembuhan atau remodeling (Osterd
et al., 2011)
C. Penanganan pada luka rabies
a. Periksa luka gigitan
Luka gigitan ringan : sebagian besar luka gigitan anjing dapat ditangani di
rumah. Jika luka gigitan itu tidak sampai menyobek kulit atau gigi anjing
hanya menimbulkan luka gores ringan. Luka gigitan berat : meliputi satu
atau lebih luka tusuk dalam akibat gigi anjing yang menyobek jaringan yang
tertusuk ataupun tidak.
b. Pencucian luka
Pencucian luka merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam
tatalaksana kasus gigitan HPR. Seperti diketahui bahwa virus rabies akan
menetap di sekitar luka selama 2 minggu sebelum virus mencapai ujung-
ujung saraf posterior dan sifat virus rabies mudah mati dengan
sabun/detergent. Usaha yang paling efektif untuk mengurangi/mematikan
virus rabies yang terdapat pada luka gigitan adalah sesegera mungkin
mencuci luka gigitan dengan air mengalir dan sabun atau deterjen selama 10-
15 menit. Jadi tiga hal penting dalam pencucian luka gigitan yaitu air
mengalir, sabun/deterjen dan waktu (10-15 menit). Pencucian luka mudah
dilakukan oleh masyarakat dan petugas kesehatan, dan sangat besar
peranannya dalam pencegahan rabies.
c. Menekan luka
Gunakan handuk bersih atau kain kasa untuk menekan luka gigitan yang
masih mengeluarkan darah setelah dicuci. Pendarahan seharusnya akan
berhenti atau melambat hingga dapat diperban dalam beberapa menit.
d. Pemberian antiseptik

9
Antiseptik (alkohol 70%, betadine, obat merah, dan lain-lain) dapat
diberikan setelah pencucian luka. Pemberian antiseptik tanpa pencucian luka
tidak akan

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

10
Rabies merupakan penyakit zoonosis (ditularkan dari hewan ke manusia)
oleh virus yang yang menyerang sistem saraf pusat manusia sehingga
membuat terjadinya radang otak akut pada manusia dan hewan yang
berdarah panas (Yousaf et al., 2012). Hewan yang paling banyak dilaporkan
sebagai penyebab rabies adalah anjing, rakun, sigung, kelelawar, dan rubah
(Yousaf et al., 2012). Hewan berdarah panas sebagai penyebab kasus
tertinggi di Indonesia yaitu anjing (92%), kucing (6%) dan kera (3%)
(Kementan RI, 2014). Pada hewan penyebab penyakit ini biasanya
ditemukan virus pada air liurnya dengan konstentrasi yang tinggi (Kementan
RI, 2014)
B. Saran
Dengan kerendahan hati penulis, penulis sadar bahwa dalam makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang
bersifat membangun dari pembaca, penulis harapkan demi kesempurnaan
makalah-makalah dimasa-masa yang akan datang

11
DAFTAR PUSTAKA

Bano, I., Sajjad, H., Shah, A. M., Leghari, A., Mirbahar, K. H., Shams, S., & Soomro,
M. (2016). A Review of Rabies Disease, its Transmission and Treatment. Journal
of Animal Health and Production, 4(4), 140–144.
https://doi.org/10.14737/journal.jahp/2016/4.4.140.144

Kemenkes RI. (2016). Buku saku petunjuk teknis penatalaksanaan kasus gigitan hewan
penular rabies di Indonesia. Infodatin Kemenkes, 53(9), 1689–1699.

Kementan RI. (2014). Manual Penyakit Hewan Mamalia. Kementerian Pertanian,


Direktorat Kesehatan Hewan.

Tojinbara, K., Sugiura, K., Yamada, A., Kakitani, I., Kwan, N. C. L., & Sugiura, K.
(2016). Estimating The Probability Distribution Of The Incubation Period For
Rabies Using Data From The 1948-1954 Rabies Epidemic In Tokyo. Preventive
Veterinary Medicine, 123, 102–105.
https://doi.org/10.1016/j.prevetmed.2015.11.018

Sinnakirouchenan, R., Editor, C., & Batuman, V. (2020). Rabies Overview. Medscape,
1–37.

Yousaf MZ, Ashfaq UA, Zia S, Khan MR, Khan S. 2012. Rabies moleculer virology,
diagnosis, prevention and treatment. Virol J 9(50):doi. 10.1186/1743-422X-9-50.

Marsden, S., & Cabanban, C. R. (2006). Rabies: A Significant Palliative Care Issue.
Progress in Palliative Care, 14(1), 53–54.
https://doi.org/10.1179/096992606x93380

12
Warrell, M. J., Warrell, D. A., & Tarantola, A. (2017). The Imperative of Palliation in
the Management of Rabies Encephalomyelitis. Tropical Medicine and Infectious
Disease, 2(52).

WHO. (2013a). WHO Expert Consultation on Rabies. Second report. World Health
Organization Technical Report Series, 982, 1–139, back cover.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24069724

13

You might also like