You are on page 1of 1

Ketika elemen pemerintahan sipil di Papua tidak hadir, elemen keamanan pemerintah terus

menerus memunculkan ketidak-amanan dengan melaksanakan aktivitas pencarian rente.


Anderson menyebutkan bahwa kehadiran sekitar 14.000 TNI dan 14.000 polisi di Tanah Papua
jarang ditemukan di daerah yang tidak memiliki sumber daya alam. Selain itu, beberapa kasus
kekerasan terhadap orang Papua yang melibatkan aparat keamanan Indonesia
umumnya berakhir pada impunitas para pelaku. Militer dan kepolisian lebih banyak
memproduksi dan mereproduksi wacana separatisme sebagai ancaman yang berbahaya dan
membangun mitologi bahwa kehadiran militer di Papua bertujuan untuk menghancurkan gerakan
separatis.

Fakta-fakta di atas menunjukkan kehadiran negara di Tanah Papua, terutama


dalam memberikan perlindungan dan pelayanan publik, tidaklah cukup dan
bukannya terlalu banyak. Korban meninggal justru lebih banyak jatuh karena
ketidakhadiran negara daripada korban konflik vertikal (Anderson, 2015:18).

Adapun elite Papua terjebak dalam tirani desentralisasi, pemekaran wilayah, dan
otonomi khusus. Persepsi ini telah membangun interpretasi yang kuat tentang konflik Papua
secara domestic maupun internasional

Viartasiwi (2018:220) mengatakan bahwa masyarakat asli Papua merupakan masyarakat


yang ‘terpecah’ dengan ‘kecenderungan melakukan tindakan kekerasan.’ Semakin
meningkatnya jumlah pendatang, hilangnya tanah suku karena kemiskinan, manipulasi
praktik budaya, serta kontestasi kelompok agama telah menjadi penyebab ketegangan
dan konflik. Dalam politik sehari-hari, elite memanipulasi etnis dan praktik adat, serta
fanatisme agama untuk meningkatkan kekuasaan mereka. Akibatnya, setiap ketegangan di Papua
dapat dengan mudah meningkat menjadi konflik komunal.

(entanglement). Dalam pendekatan Rutherford, orang Papua lebih banyak didefinisikan dari
posisinya sebagai korban kolonialisasi. Pihak kolonial selalu saja menggelar pertunjukan
kedaulatan untuk mendapatkan pengakuan dari subjek yang dijajah. Implikasi dari studi ini
adalah orang Papua harus memiliki kapabilitas dan daya juang agar mampu melawan
pertunjukan kedaulatan Indonesia. Namun, persoalannya, merujuk pada Anderson (2015) dan
Viartasiwi (2018), orang asli Papua secara politik tidak bersifat tunggal dan terfragmentasi
berdasarkan agama, etnisitas, dan kepentingan politiknya, sehingga pertunjukan kekuasaan tidak
hanya bersifat vertikal tetapi juga horizontal.

You might also like