Contoh dari kasus Praperadilan diantaranya adalah permohonan dari Ilham Arief Sirajuddin, Hadi Poernomo, dan Dahlan Iskan. Dari ketiga putusan Praperadilan tersebut, terdapat perbedaan pertimbangan dalam menetapkan penyidikan yang dilakukan tidak sah. Pada putusan Praperadilan atas permohonan Ilham Arief Sirajuddin, hakim Yuningtyas Upiek Kartikawati menetapkan bahwa penyidikan terhadap Ilham Arief Sirajuddin sebagai tersangka oleh KPK tidak sah. Hal tersebut berdasarkan pada pertimbangan alat bukti yang didasarkan pada penetapan Ilham Arief Sirajuddin sebagai tersangka hanya berupa fotokopi LPH (Laporan Hasil Pemeriksaan) BPK nomor 02/HP/XIX/03/2012 tertanggal 27 maret 2013. Selanjutnya, pada putusan Praperadilan atas permohonan Hadi Poernomo, hakim PN Selatan Haswandi menyatakan bahwa KPK tidak melaksanakan penyidikan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam UU KPK. Hadi Poernomo ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang pada tanggal 21 April 2014. Penetapan tersebut bertepatan dengan tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprindik- 17/01/04/2014. Selain itu, tindakan penyelidikan yang dilakukan oleh Dadi Mulyadi dan penyidikan yang dilakukan oleh Ambarita Damanik dinyatakan tidak sah oleh hakim Haswandi. Hal tersebut dinyatakan tidak sah karena status Dadi Mulyadi di instansi asalnya BPKP hanya sebagai Auditor dan bukan penyelidik. Sedangkan Ambarita Damanik telah diberhentikan secara terhormat dari Polri sejak 25 November 2014. Berdasarkan hal tersebut, status penyelidik dan penyidiknya dianggap tidak sah sehingga proses penyidikan terhadap kasus Hadi Poernomo juga tidak sah. Lebih lanjut lagi, pada putusan Praperadilan atas permohonan Dahlan Iskan, hakim Lendriaty Janis mempertimbangkan bahwa dalam surat bukti panggilan saksi terhadap Dahlan Iskan tidak dicantumkan tindak pidananya. Selain itu, Sprindik yang menetapkan Dahlan Iskan Sebagai tersangka pada tanggal 5 Juli dianggap belum memenuhi minimal 2 alat bukti yang cukup. Sehingga penyidikan terhadap Dahlan Iskan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dari beberapa contoh kasus diatas, saya setuju pada keputusan hakim Praperadilan tersebut. Dan berdasarkan hal itu, menurut saya, Praperadilan penting dilakukan sebagai bentuk pengawasan terhadap penegakan hukum di Indonesia yang harus sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia.
2. Contoh Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Contoh Peninjauan Kembali
Contoh Kasasi Demi Kepentingan Hukum adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan Kasasi demi Kepentingan Hukum oleh Jaksa Agung RI No. SP-01/C/1976 tanggal 27 Maret 1976 dengan terdakwa Chozir Baidawi, yang menyatakan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 22 januari 1973 No. 1102/1871, menyatakan tuntutan Jaksa terhadap terdakwa gugur karena terdakwa meninggal dunia, serta memerintahkan agar barang bukti berupa rumah, emas, dan uang dikembalikan kepada ahli waris terdakwa Contoh upaya Peninjauan Kembali (PK) terdapat pada Kasus seorang gembong narkoba, Mary Jane Veloso, yang ditangkap pada bulan April 2010 saat memasuki Bandara Adi Sucipto dengan membawa 2,6 kg heroin di Yogyakarta. Atas perbuatannya, 6 hakim dan 6 hakim agung di tingkat pertama, banding, kasasi dan Peninjauan Kembali menjatuhkan hukuman mati kepada Mary Jane. Pada 25 Maret 2015, Mary Jane ajukan Peninjauan Kembali melalui Pengadilan Negeri Sleman namun ditolak. Meski demikian, Peninjauan Kembali yang dilakukan Mary Jane membuat jadwal ekskusi mati tertunda. Kemudian pada 27 April 2015 Mary Jane ajukan Peninjauan Kembali kedua, namun langsung ditolak. Alasan penolakan dari Mahkamah Agung, semua Peninjauan Kembali ditolak oleh hakim pemeriksa Peninjauan Kembali dikarenakan tidak menemukan novum baru.
3. Permohonan Peninjauan Kembali
Menurut Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali. Pasal 66 ayat (1) UU MA berbunyi, “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.” Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman berbunyi, “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.” Hal tersebut juga tercantum dalam Pasal 268 ayat 3 KUHAP yang berbunyi, "Permintaan peninjauan kembali atas suatu pemutusan hanya dapat dilakukan satu kali saja". Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUXI/2013 tanggal 6 Maret 2014 menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran sehingga tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali. Hal ini karena masih terdapat kemungkinan setelah putusan Peninjauan Kembali, ada keadaan baru (novum) yang ditemukan. Meskipun begitu, hal tersebut tidak serta merta menghapus ketentuan yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang- Undang Mahkamah Agung. Dengan demikian, permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara pidana tetap dibatasi hanya 1 (satu) kali. Namun, dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Pengajuan Peninjauan Kembali, apabila ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan lebih dari 1 (satu) kali.