You are on page 1of 3

Nama : Siti Yogaputri

NPM : 110110200140
Kelas : PHI – D

TUGAS HUKUM ACARA PIDANA

1. Contoh Kasus Praperadilan Penetapan Tersangka


Contoh dari kasus Praperadilan diantaranya adalah permohonan dari Ilham Arief
Sirajuddin, Hadi Poernomo, dan Dahlan Iskan. Dari ketiga putusan Praperadilan tersebut,
terdapat perbedaan pertimbangan dalam menetapkan penyidikan yang dilakukan tidak sah.
Pada putusan Praperadilan atas permohonan Ilham Arief Sirajuddin, hakim Yuningtyas
Upiek Kartikawati menetapkan bahwa penyidikan terhadap Ilham Arief Sirajuddin sebagai
tersangka oleh KPK tidak sah. Hal tersebut berdasarkan pada pertimbangan alat bukti yang
didasarkan pada penetapan Ilham Arief Sirajuddin sebagai tersangka hanya berupa fotokopi
LPH (Laporan Hasil Pemeriksaan) BPK nomor 02/HP/XIX/03/2012 tertanggal 27 maret
2013.
Selanjutnya, pada putusan Praperadilan atas permohonan Hadi Poernomo, hakim PN
Selatan Haswandi menyatakan bahwa KPK tidak melaksanakan penyidikan sesuai dengan
prosedur yang diatur dalam UU KPK. Hadi Poernomo ditetapkan sebagai tersangka dalam
kasus dugaan penyalahgunaan wewenang pada tanggal 21 April 2014. Penetapan tersebut
bertepatan dengan tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprindik-
17/01/04/2014.
Selain itu, tindakan penyelidikan yang dilakukan oleh Dadi Mulyadi dan penyidikan
yang dilakukan oleh Ambarita Damanik dinyatakan tidak sah oleh hakim Haswandi. Hal
tersebut dinyatakan tidak sah karena status Dadi Mulyadi di instansi asalnya BPKP hanya
sebagai Auditor dan bukan penyelidik. Sedangkan Ambarita Damanik telah diberhentikan
secara terhormat dari Polri sejak 25 November 2014. Berdasarkan hal tersebut, status
penyelidik dan penyidiknya dianggap tidak sah sehingga proses penyidikan terhadap kasus
Hadi Poernomo juga tidak sah.
Lebih lanjut lagi, pada putusan Praperadilan atas permohonan Dahlan Iskan, hakim
Lendriaty Janis mempertimbangkan bahwa dalam surat bukti panggilan saksi terhadap
Dahlan Iskan tidak dicantumkan tindak pidananya. Selain itu, Sprindik yang menetapkan
Dahlan Iskan Sebagai tersangka pada tanggal 5 Juli dianggap belum memenuhi minimal 2
alat bukti yang cukup. Sehingga penyidikan terhadap Dahlan Iskan tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dari beberapa contoh kasus diatas, saya setuju pada keputusan hakim Praperadilan
tersebut. Dan berdasarkan hal itu, menurut saya, Praperadilan penting dilakukan sebagai
bentuk pengawasan terhadap penegakan hukum di Indonesia yang harus sesuai dengan
standar prosedur yang telah ditetapkan dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia.

2. Contoh Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Contoh Peninjauan Kembali


Contoh Kasasi Demi Kepentingan Hukum adalah putusan Mahkamah Agung atas
permohonan Kasasi demi Kepentingan Hukum oleh Jaksa Agung RI No. SP-01/C/1976
tanggal 27 Maret 1976 dengan terdakwa Chozir Baidawi, yang menyatakan membatalkan
putusan Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 22 januari 1973 No. 1102/1871, menyatakan
tuntutan Jaksa terhadap terdakwa gugur karena terdakwa meninggal dunia, serta
memerintahkan agar barang bukti berupa rumah, emas, dan uang dikembalikan kepada ahli
waris terdakwa
Contoh upaya Peninjauan Kembali (PK) terdapat pada Kasus seorang gembong
narkoba, Mary Jane Veloso, yang ditangkap pada bulan April 2010 saat memasuki Bandara
Adi Sucipto dengan membawa 2,6 kg heroin di Yogyakarta. Atas perbuatannya, 6 hakim
dan 6 hakim agung di tingkat pertama, banding, kasasi dan Peninjauan Kembali
menjatuhkan hukuman mati kepada Mary Jane. Pada 25 Maret 2015, Mary Jane ajukan
Peninjauan Kembali melalui Pengadilan Negeri Sleman namun ditolak. Meski demikian,
Peninjauan Kembali yang dilakukan Mary Jane membuat jadwal ekskusi mati tertunda.
Kemudian pada 27 April 2015 Mary Jane ajukan Peninjauan Kembali kedua, namun
langsung ditolak. Alasan penolakan dari Mahkamah Agung, semua Peninjauan Kembali
ditolak oleh hakim pemeriksa Peninjauan Kembali dikarenakan tidak menemukan novum
baru.

3. Permohonan Peninjauan Kembali


Menurut Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman
permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali. Pasal 66 ayat (1) UU MA
berbunyi, “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.” Pasal 24
ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman berbunyi, “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak
dapat dilakukan peninjauan kembali.” Hal tersebut juga tercantum dalam Pasal 268 ayat 3
KUHAP yang berbunyi, "Permintaan peninjauan kembali atas suatu pemutusan hanya
dapat dilakukan satu kali saja".
Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUXI/2013 tanggal 6 Maret 2014
menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi
juga berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran
sehingga tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya
hukum Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali. Hal ini karena masih terdapat
kemungkinan setelah putusan Peninjauan Kembali, ada keadaan baru (novum) yang
ditemukan.
Meskipun begitu, hal tersebut tidak serta merta menghapus ketentuan yang diatur dalam
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-
Undang Mahkamah Agung. Dengan demikian, permohonan Peninjauan Kembali dalam
perkara pidana tetap dibatasi hanya 1 (satu) kali.
Namun, dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 Tentang
Pengajuan Peninjauan Kembali, apabila ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih
putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara
perdata maupun perkara pidana Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan lebih dari
1 (satu) kali.

You might also like