You are on page 1of 55

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA ANAK


BALITA USIA 1-5 TAHUN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
TANJUNG KOTA SUNGAI PENUH TAHUN 2022

PROPOSAL SKRIPSI

ELFINA YUNARA
NIM. 2010004142017

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


INSTITUT KESEHATAN
PRIMA NUSANTARA BUKITTINGGI
PERNYATAAN PERSETUJUAN

Judul skripsi : Faktor –Faaktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA) Pada Anak Balita Usia
1-5 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota
Sungai Penuh Tahun 2022

Nama : ELFINA YUNARA


NIM : 201000414201087

Proposal Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji

sebagai bahan persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana

Keperawatan pada Program Studi Sarjana Keperawatan Fakultas Keperawatan

Institut Kesehatan Prima Nusantara Bukittinggi.

Bukit Tinggi, 2022

Menyetujui,
Koordinator Skripsi, Pembimbing

(Ns.Dwi Apriadi,M.Kep) (Ns.Vera Kurnia,S.Kep)

Mengetahui,
Ketua Prodi Sarjana Keperawatan

(Ns.Vera Kurnia,M.Kep)

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-

Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi penelitian yang berjudul “Faktor-

Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut

(ISPA) Pada Anak Balita Usia 1 -5 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung

Kota Sungai Penuh Tahun 2022” yang dibuat sebagai salah satu syarat pemenuhan

untuk mendapat gelar Sarjana Keperawatan pada Program Studi Ilmu Keperawatan

Institut Kesehatan Prima Nusantara Bukittinggi. Dalam penyusunan skripsi penelitian ini

peneliti banyak mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak terutama kepada

Ibu Ns.Vera Kurnia,M.Kep selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan

pengarahan kepada peneliti dalam pembuatan skripsi ini. Selanjutnya perkenankanlah

peneliti menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat :

1. Ibu Dr.Hj. Evi Susanti,S.ST, M.Biomed selaku Rektor IKes Prima Nusantara

Bukittinggi.

2. Ibu Ayu Nurdian, S.ST, M.Keb selaku Wakil Rektor I IKes Prima Nusantara

Bukittinggi.

3. Bapak Yuhendri Putra,S.Si, M.Biomed selaku Wakil Rektor II IKes Prima

Nusantara Bukittinggi.

4. Ibu Ayu Nurdian,M.Kep dan Bapak Asrul Fahmi,SKM,M.Kep selaku tim penguji.

5. Bapak/ Ibu Staf dan Dosen pengajar yang telah banyak memberikan ilmu kepada

peneliti selama perkuliahan.

6. Keluarga Besar IKes Prima Nusantara Bukittinggi.

7. Ayah dan Ibu yang telah memberikan semangat dan dorongan baik moril maupun

materil serta do’a yang telah mengiringi langkah peneliti hingga saat ini.

8. Seluruh teman-teman yang telah membantu, memberikan informasi, masukan dan

saran hingga saat ini.

i
Selaku hamba Allah, Peneliti sadar bahwa terdapat keterbatasan yang dimiliki,

sehingga menjadikan Proposal Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,

peneliti menerima kritikan dan saran yang dapat menyempurnakan skripsi penelitian ini.

Bukittinggi, Juni 2022

Elfina Yunara

ii
DAFTAR ISI

LEMBARAN HALAMAN JUDUL LUAR


LEMBARAN HALAMAN JUDUL DALAM
LEMBARAN PERSETUJUAN PROPOSAL
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... iv
DAFTAR BAGAN ........................................................................................... v

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 8
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 11


2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) .................................................. 11
2.2 Hubungan berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada balita ................. 23
2.3 Hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita ........................... 24
2.4 Hubungan kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita ........ 29
2.5 Hubungan perilaku merokok anggota keluarga lain dengan kejadian ISPA
pada balita ................................................................................................ 34

BAB III. KERANGKA KONSEPTUAL ........................................................ 36


3.1 Kerangka Konseptual Penelitian ............................................................... 36
3.2 Hipotesis .................................................................................................. 37
3.3 Definisi Operasional................................................................................. 38

BAB IV. METODE PENELITIAN ................................................................. 41


4.1 Desain Penelitian ..................................................................................... 41
4.2 Populasi dan Sampel ................................................................................ 41
4.3 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 41
4.4 Etika penelitian ........................................................................................ 43
4.5 Alat Pengumpulan data ............................................................................ 45
4.6 Prosedur Pengumpulan Data .................................................................... 46
4.7 Pengolahan dan Analisa Data ................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA

iii
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Defenisi Operasional ...................................................................... 48


Tabel 4.1 Kejadian ISPA......................................................................... ......... 53
Tabel 4.2 Status Gizi............................................................................... ......... 53
Tabel 4.3 Kelengkapan Imunisasi........................................................... ......... 54
Tabel 4.4 Faktor Lingkungan.................................................................. ......... 54
Tabel 4.5 Hubungan status Gizi dengan Kejadian ISPA ........................ ......... 55
Tabel 4.6 Hubungan Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian ISPA.... ......... 56
Tabel 4.7 Hubungan Faktor Lingkungan dengan Kejadian ISPA .......... ......... 57

iv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori .............................................................................. 7
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................ 46

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) ialah infeksi suatu kelompok

penyakit yang menyerang saluran pernapasan, yang bersifat akut dengan

berbagai macam gejala (sindrom) yang disebabkan oleh berbagai sebab

(multifaktorial), penyakit saluran pernapasan akut dengan perhatian khusus

pada radang paru (pneumonia), dan bukan penyakit telinga dan tenggorokan

(Widoyono, 2011; Maryunani, 2010).

ISPA ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara Pernapasan yang

mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat ke saluran pernapasannya,

penyakit saluran pernapasan akut yang mengenai saluran pernapasan atas

umumnya menular (Kemenkes RI, 2014). Menurut Ikatan DokterAnak

Indonesia (IDAI) jika telah terjadi infeksi maka anak akan mengalami

kesulitan bernafas dan bila tidak segera ditangani, penyakit ini bisa semakin

parah menjadi pneumonia yang menyebabkan kematian. ISPA menyebabkan

sakit tenggorokan dan radang, karena virus masuk ke tenggorokan. akibatnya,

sikecil sulit menelan makanan dan minuman. batuk dan pilek yang biasanya

datang berbarengan dengan sakit tenggorokan ini juga membuatnya tidak

nafsumakan, sehingga tubuhnya pun menjadi lemas (Iryanto, 2017).

Dampak dari ISPA yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis,

infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan

pneumonia (radang paru). Secara umum gejala ISPA meliputi demam,

batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza (pilek), sesak napas, mengi

atau kesulitan bernapas) (WHO, 2020).

Menurut WHO (2016) penyebab kematian pada bayi salah satunya di

1
sebabkan oleh ISPA dengan kategori pneumonia sebesar 54%. Setiap tahun

jumlah balita yang dirawat di rumah sakit dengan kejadian ISPA sebesar 12

juta balita di dunia. Insiden ISPA pada balita di negara berkembang hampir

50% dari kematian di masyarakat adalah di antara anak-anak kelompok balita

terdiri dari 13% dari populasi umum ISPA menyebabkan kematian spesifik

pada 20-25% balita, satu juta kematian di antara balita di negara bulgaria

disebabkan oleh ISPA sebagian besar terjadi pada bayi, di negara berkembang

kematian ISPA terjadi 10-50 kali lebih tinggi dari pada negara maju.

Penyebab kematian akibat ISPA di Negara berkembang lebih tinggi

dibandingkan negara maju yaitu sebesar 10-50 kali (Ramani, Pattankar, &

Puttahonnappa, 2016).

ISPA masih merupakan penyakit utama penyebab kematian terutama

pada balita di Indonesia. Dari beberapa hasil survey kesehatan rumah tangga

(SKRT) diketahui bahwa 80 sampai 90% dari seluruh kasus kematian ISPA.

Penyakit ISPA di Indonesia cukup tinggi diatas (40%) kematian balita. ISPA

merupakan salah satu penyebab kunjungan pasien pada sarana kesehatan.

Sebanyak 40%- 60% kunjungan berobat dipuskesmas dan 15%-30%

kunjungan berobat di rawat jalan dan rawat inap dibuktikan dengan tingginya

angka kunjungan pasien ke puskesmas di seluruh Indonesia untuk penyakit

ISPAterutama pada usia anak balita (Kemenkes RI, 2014). Lima provinsi

dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%),

Aceh(30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%) dan Jawa Timur (28,3%)

(Riskesdas, 2018). Sementara itu, kejadian ISPA pada Provinsi Jambi yaitu

3,15% dan menduduki peringkat 18 penyakit terbanyak di Provinsi Jambi.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Sungai Penuh (2022), pada

tahun 2019 angka kejadian ISPA pada Balita dari beberapa Puskesmas di Kota

2
Sungai Penuh yaitu Desa Gedang (2.567 orang), Rawang (575 Orang), Sungai

Penuh (486 Orang) dan Tanjung (61 orang). Pada tahun 2021 jumlah kejadian

ISPA dari 3 teratas yaitu Desa Gedang (525 Orang), Rawang (277 Orang),

Kumun (159 orang) dan Tanjung (70 Orang). Pada tahun 2022 sampai dengan

bulan Juli jumlah angka kejadian ISPA yaitu Desa Gedang (113 Orang),

Rawang (40 Orang) dan Tanjung (55 Orang). Jumlah kejadian ISPA di

Kotobaru pada tahun 2022 meningkat ke urutan 3 dimana 55 orang dari

jumlah balita 336 orang.

Berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA adalah status

gizi, imunisasi, BBLR, suplemen vitamin A, pemberian ASI, pendidikan

ibu,status sosial ekonomi, kebiasaan merokok. Balita dengan gizi kurang akan

lebihmudah terkena ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena

faktor daya tahan tubuh. Pencegahan dengan penyakit ISPA bisa dilakukan

berdasarkan beberapa kriteria antara lain dengan peningkatan status gizi yang

baik pada ibu dan bayi, membiasakan hidup sehat dan terbebas dari polusi

lingkungan yang tidak sehat (Kholisah, 2009).

UNICEF (2019) menyebutkan 462.000 anak-anak Yaman menderita

kekurangan gizi akut, sepertiga anak di Dunia atau hampir 700 juta balita

kekurangan gizi atau kelebihan berat badan. Faktor- faktor yang

mempengaruhi status gizi yaitu infeksi yang sering terjadi pada anak adalah

infeksi saluran Pernafasan atas, bawah, diare dan kulit. Anak- anak yang

sering menderita penyakit infeksi menyebabkan pertumbuhannya terlambat

dan tidak dapat mencapai pertumbuhan yang optimal. Selain infeksi, faktor

yang mempengaruhi status gizi balita adalah pengasuhan, dimana salah satu

pengasuhan yang dilakukan yaitu pola asuh makan. yang berkaitan dengan

kegiatan pemberian makan yang akhirnya akan memberikan sumbangan status

3
gizi (Rusilanti, 2013) Status gizi berdasarkan IMT menurut umur dibagi atas,

sangat kurus < -3 SD, kurus - 3 < -2 SD, normal -2 – 1 SD.

Pencegahan dengan penyakit ISPA bisa dilakukan berdasarkan beberapa

kriteria antara lain dengan peningkatan status gizi yang baik pada ibu dan

bayi, membiasakan hidup sehat dan terbebas dari polusi lingkungan yang

tidak sehat (Kemenkes RI, 2014). Menurut (Suryani, 2018) makanan yang

bergizi akan menghasilkan energi yang cukup dan akan meningkatkan daya

tahan tubuhnya terhadap penyakit. Peranan penting terhadap status gizi anak

adalah ibu karena ibu merupakan orangtua yang paling dekat dengan keluarga

dan tahu makanan apa yang baik untuk tumbuh kembang anaknya. Hasil

penelitian (Febrianto, Mahfoedz, & Mulyanti., 2014) menunjukkan bahwa

semakin baik status gizi balita, maka semakin kecil risiko balita terkena ISPA.

Penelitian (Nasution, 2009) menunjukkan bahwa berdasarkan status gizi

BB/U anak balita, terdapat 66,7% anak balita yang gizi kurang dan 33,3% anak

balita yang gizi normal. Hal ini dikarenakan penyakit infeksi dapat

mengakibatkan gangguan metabolisme tubuh sehingga dapat menurunkan

nafsu makan pada anak balita sehingga asupan gizi tidak terpenuhi dan

mengakibatkan masalah gizi bagi anak balita.

Menurut (Riskesdas, 2018) persentase gizi buruk di Indonesia pada

balita usia 0-59 bulan adalah 3,8%, sedangkan persentase gizi kurang adalah

14,0%. Provinsi dengan persentase tertinggi gizi buruk dan gizi kurang pada

balita usia 0-59 bulan tahun 2018 adalah NTT, sedangkan Provinsi dengan

persentase terendah adalah Provinsi Kepulauan Riau. Untuk Provinsi Jambi,

presentasi gizikurang yaitu 8,2% peringkat ke 20

Berdasarkan penelitian Almira, Fahdi, & Budiharto (2017) terdapat

hubungan antara status gizi terhadap ISPA. Status gizi mempengaruhi daya

4
tahan tubuh, dimana semakin rendah status gizi seorang balita maka semakin

rendah pula daya tahan tubuh balita tersebut, maka balita semakin rentan

untuk terinfeksi. Sementara itu, penelitian Hadiana, (2013) terdapat hubungan

antara status gizi terhadap terjadinya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

pada balita. Di Kecamatan Ratahan Kabupaten Minahasa Tenggara Penelitian

ini mendapati bahwa tidak ada hubungan status gizi berdasarkan BB/U

(Kasim, Malonda, & Amisi, 2019).

Status penilaian gizi berdasarkan BB/U Indikator ini

digunakan oleh anak usia 0-60 bulan, dengan tujuan untuk mengukur berat

badan sesuai dengan usia anak. Penilaian BB/U dipakai untuk mencari tahu

kemungkinan seorang anak mengalami berat badan kurang, sangat kurang,

atau lebih. Pada penilaian tinggi badan berdasarkan umur TB/U indikator ini

digunakan oleh anak usia 0-60 bulan, dengan tujuan untuk mengukur tinggi

badan sesuai dengan usia anak. Penilaian TB/U dipakai untuk

mengidentifikasi penyebab jika anak memiliki tubuh pendek. Alasan peneliti

mengambil BB/U adalah salah satu indicator dipenilaian status gizi anak yang

paling sering dipakai, karena berat badan di anggap dapat memberikan

gambaran mengenai kecukupan jumlah gizi makro dan mikro yang ada

dalam tubuh,sedangkan tinggi badan TB/U yang perubahannya membutuhkan

waktu yang agak lama, berat badan bisa sangat cepat berubah. Perubahan

berat badan bisa menunjukkan perubahan status gizi pada anak.

Menurut Ariko dan Soffia. L (2012) ISPA juga akan sangat

berpengaruh terhadap kelengkapan Imunisasi. Imunisasi merupakan salah satu

cara untuk memberikan kekebalan seseorang secara aktif terhadap penyakit

menular,. Imunisasi ini merupakan sistem imun yang spesifik. Imunisasi

terdiri dari beberapa jenis, yakni: imunisasi BCG, imunisasi DPT/HB,

5
imunisasi polio, imunisasi campak, dan imunisasi Hb-0.Hasil penelitian yang

berhubungan dengan status imunisasi menunjukkan bahwa ada kaitan antara

penderita Pneumonia yang mendapatkan Imunisasi tidak lengkap dan lengkap,

dan bermakna secara statistis.

Menurut penelitian yang dilakukan Tupasi (1985), dalam penelitian

Suhandayani (2007), menyebutkan bahwa ketidakpatuhan imunisasi

berhubungan dengan peningkatan penderita ISPA. Bayi dan balita yang

pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami

terhadap pnemonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian

ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat

dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusi, campak, maka peningkatan

cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberatasan ISPA.

Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan

imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap

bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan

menjadi berat (Wiwoho. S , 2005). Dari studi pendahuluan yang dilakukan

oleh peneliti pada bulan 17 Juli 2022 di Puskesmas Tanjung pada 10 orang

balita terjadi sebanyak 8 orang balita mengalami ISPA dan 2 tidak mengalami

ISPA. Sebanyak 7 orang dengan masalah gizi kurang dan 3 orang status gizi

baik. Sebanyak 4 orang imunisasi tidak lengkap dan 6 orang imunisasi

lengkap. Sebanyak 8 orang balita dengan lingkungan tidak baik dan 2 orang

balita dengan lingkungan sekitar baik. Berdasarkan fenomena di atas, maka

peneliti tertarik untuk meneliti faktor- faktor yang berhubungan dengan

kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada anak balita di wilayah

kerja puskesmas Tanjung Tahun 2022.

6
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah pada

penelitian ini adalah apakah faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) balita di wilayah kerja puskesmas

Tanjung Tahun 2022.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui analisa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada anak balita 1-5 Tahun di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tahun 2022.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi Kejadian ISPA anak balita 1-5

Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tahun 2022.

b. Mengetahui distribusi frekuensi status gizi anak balita 1-5 Tahun di

WilayahKerja Puskesmas Tanjung Tahun 2022..

c. Mengetahui distribusi frekuensi kelengkapan imunisai anak balita 1-5

Tahundi Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tahun 2022..

d. Mengetahui distribusi frekuensi faktor lingkungan anggota keluarga

anak balita 1-5 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tahun

2022.

e. Mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) pada anak balita 1-5 Tahun di Wilayah Kerja

Puskesmas Tanjung Tahun 2022.

f. Mengetahui hubungan kelengkapan imunisasi dengan kejadian


7
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada anak balita 1-5 Tahun di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tahun 2022.

g. Mengetahui hubungan faktor lingkungan anggota keluarga dengan

kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada anak balita 1-5

Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tahun 2022.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Puskesmas Tanjung

Sebagai informasi dan bahan masukan kepada pihak Puskesmas Koto baru

dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan masyarakat terhadap

penyakit ISPA dan penyakit lainnya yang menyebabkan angka kesakitan

pada balita.

2. Intitut Kesehatan Prima Nusantara Bukittinggi

Sebagai informasi dan bahan masukan kepada pihak intitusi dalam penelitian

yang berguna sebagai bahan referensi.

a. Peneliti

Sebagai bentuk aplikasi dari ilmu yang didapatkan secara teoritis dan

bermanfaat bagi peneliti sendiri.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Pernapasam Atas (ISPA)

1. Pengertian

Istilah ISPA yang merupakan singkatan dari infeksi saluran

PERNAPASAN akut, Istilah ini merupakan padanan istilah inggris yaitu

Accute Respiratori Infection disingkat ARI. Istilah Infeksi Saluran Pernapasan

Akut (ISPA) mengandung 3 unsur yaitu : Infeksi, saluran pernapasan, dan

akut. Infeksi ialah pristiwa masuk dan penggandaan mikroorganisme (agent)

didalam tubuh manusia (host) dan berkembang biak sehingga menimbulkan

gejala penyakit, Saluran pernapasan adalah organ yang mulai dari hidung

hingga alveoli beserta organ adneksanya (sinus- sinus, rongga telinga dan

pleura) sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang belangsung selama kurun

waktu 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut.

ISPA merupakan penyakit saluran pernapasan akut yang menyerang

saluran utama pernapasan yang meliputi saluran pernapasan bagian atas serta

saluran pernapasan bawah (Depkes RI, 2008).Berdasarkan lokasi anatomi

Infeksi Saluran PERNAPASAN Akut bagian atas Adalah infeksi akut yang

menyerang hidung sampai epiglottis dengan organ adnesanya, sementara itu

pada Infeksi saluran PERNAPASAN Akut Bagian Bawah dinamakan sesuai

dengan epiglottis sampai alveoli paru (Marumba Exodus, 2016).

1. Jenis - Jenis ISPA

ISPA tergolong kedalam beberapa jenis dan kelompok berdasarkan

karakteristik atau ciri-ciri persamaan serta perbedaan masing masing,

maka ISPA dapat dikatagorikan berdasarkan :

9
a. Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut (ISPaA)

Menurut Valentina (2011) ISPaA merupakan Infeksi yang

menyerang hidung sampai epiglottis dengan organ adnesanya,

seperti rhinitis, sinusitis, otitis media (infeksi pada telinga

tengah), dan faringitis (infeksi pada tenggorokan). ISPA bagian

atas penyebab utamanya adalah virusMixovirus (virus

influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus),

Enterovirus (Coxsackie virus, echovirus), Adenovirus,

Rhinovirus, Herpesvirus Sitomegalovirus, virus Epstein-Barr

(Widoyono, 2008).

b. Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut (ISPbA)

Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau

laring sampai dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ

saluran nafas, seperti epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis,

bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia. ISPA bawah terutama

pneumonia disebabkan oleh bakteri dari genus streptokokus,

haemofilius, pnemokokus, bordetella, korinebakterium, serta

disebabakan juga oleh virus miksovirus, adenivirus,

koronavirus, pikornavirus (Widoyono, 2008). ISPA bagian

bawah yang disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai

manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan

beberapa masalah dala penanganannya seperti penyakit

pneomonia pada balita (Depkes RI,2004).

2. Penyebab ISPA

ISPA merupakan kelompok penyakit yang kompleks dan

heterogen, yang disebabkan oleh berbagai penyebab. Penyebab ISPA

10
lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur (Depkes, 2004.,

Widoyono, 2008 dan Kusetiarini, 2012). Penyebab utama Infeksi

saluran pernapasan atas 90-95% penyebabnya adalah virus.

disebabkan oleh beberapa golongan kuman yang jumlahnya dari 300

macam. ISPA juga dapat disebabkan oleh faktor lain yang

meningkatkan angka kejadian ISPA pada balita semakin bertambah,

seperti karakteristik individu yang meliputi usia balita, jenis kelamin,

pemberian asi eksklusif, berat badan lahir, status gizi dan imunisasi

balita serta keadaan lingkungan rumah yang buruk seperti ventilasi,

kepadatan hunian rumah, pemakaian obat nyamuk bakar, penggunaan

kayu bakar,dan keberadaan perokok dalam rumah (Valentina, 2011).

Widoyono (2007) dalam Valentina (2011) menyatakan ISPA juga

dapat disebabkan oleh karena inspirasi asap kendaraan bermotor,

Bahan Bakar Minyak / BBM biasanya minyak tanah dan, cairan

amonium pada saat lahir.

3. Tanda dan gejala ISPA

Adelina. B (2014) dan Alsagaff, Hood(2002) menyatakan bahwa

secara umum tanda yang sering didapat pada saat terjadinya ISPA

adalah rhinitis, nyeri tenggorokan, batuk- batuk dengan dahak

kuning/putih kental, nyeri retrosternal dan konjungtivitis. Suhu badan

meningkat antara 4-7 hari, disertai demam, mialgia, nyeri kepala,

anoreksia, mual, muntah-muntah dan insomnia, kadangkadang dapat

juga terjadi diare.

Seorang anak yang menderita ISPA biasa menunjukkan

bermacam- macam tanda dan gejala seperti batuk, bersin, serak, sakit

tenggorokan, sakit telinga, keluar cairan dari telinga, sesak nafas,

11
pernapasan yang cepat, nafas yang berbunyi, penarikan dada ke

dalam, bias mual, muntah, tak mau makan, badan lemah dan

sebagainya. Berikut adalah tanda gejala ISPA berdasarkan derajat

penyakit :

1) Tanda dan gejala ISPA ringan

ISPA ringan dapat ditandai dengan gejala seperti batuk,

serak yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara

(misalnya pada waktu berbicara atau menangis), pilek yaitu

mengeluarkan lender/ingus dari hidung, panas atau demam, suhu

badan lebih dari 37˚ C jika dahi anak diraba dengan punggung

tangan terasa panas

2) Tanda dan gejala ISPA sedang

ISPA sedang ditandai dengan gejala PERNAPASAN lebih

dari 50 kali permenit pada anak yang ber umur kurang dari 1

tahun atau lebih dari 40 kali permenit pada anak yang berumur 1

tahun atau lebih, Suhu lebih dari 39˚ C (diukur dengan

thermometer), tenggorokan berwarna merah, timbul bercak-

bercak pada kulit menyerupai bercak campak, telingga sakit atau

mengeluarkan nanah dari lubang telinga, PERNAPASAN

berbunyi seperti mengorok (mendengkur), dan PERNAPASAN

berbunyi menciut-ciut. Dari gejala-gejala ISPA sedang perlu

hati-hati karena jika menderita ISPA ringan sedangkan ia

mengami Panas badanya lebih dari 39˚ C, mengalami Gizi

kurang, umurnya 4 bulan atau kurang. Maka anak tersebut

tergolong dalam ISPA sedang.

3) Tanda dan gejala ISPA berat

12
Jika dijumpai gejala –gejala ISPA ringan atau sedang

disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut ini seperti bibir atau

kulit membiru, lubang hidung kembang kempis (dengan cukup

lebar) pada waktu bernafas, anak tidak sadar atau kesadaran

menurun, nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak

teraba , sela iga tertarik kedalam pada waktu benafasdan

tenggorokan berwarna merah berarti balita mengalami gejala

ISPA berat.

2. Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Terjadinya ISPA

Untuk dapat memahami masalah penyakit yang sedang dihadapi, termasuk

riwayat kejadian penyakit, maka hasil interaksi antar individu, penyebab

penyakit dan lingkungan perlu mendapatkan perhatian, mengingat dengan

menelusuri ketiga unsur tersebut secara seksama, akan diperoleh informasi

penyakit yang secara sistematis dapat menunjukkan gambaran penyakit yang

bersangkutan sehingga penanggulangan dan pembrantasan penyakit dapat

diupayakan secara sistematis.

a. Faktor Individu Anak (Host)

Faktor individu sangat bereran aktif didalam perkembangbiakan

penyakit infeksi terrutama pada anak umur dibawah lima tahun, faktor

ini sangat menentukan daya tahan/imunitas anak, faktor host yang

berkaitan dengan terjadinya penyakit ISPA berupa umur anak, jenis

kelamin, berat badan lahir, status gizi dan kelengkapan imunisasi.

1) Umur anak

Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk

terjadinya ISPA terutama pada bayi dan anak-anak. Sejumlah studi

yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh

13
virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap

menurun terhadap usia. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi

dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang

dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan

gambaran klinik yang lebih besar , hal ini disebabkan karena ISPA

pada bayi dan balita umumnya merupakan kejadian infeksi

pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan

secara alamiah.

Data SKRT tahun 1991 sampai 2002 menunjukkan

kelompok umur dengan prevalensi kematian ISPA tertinggi di

Indonesia ada pada kelompok umur bayi dan balita yaitu tahun

1991 umur 12 - 23 bulan (9,8%), tahun 1994 umur6 - 35 bulan

(10%), tahun 1997 umur 6 - 11 bulan (10%), tahun 2002 umur 6 -

23 tahun (8%) (Depkes RI,2002).

2) Jenis Kelamin

Berdasarkan Pedoman Rencana Kerja Jangka Menengah

Nasional Penanggulangan Pneumonia Balita Tahun 2005 - 2009

menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki risiko lebih tinggi

daripada anak perempuan untuk terkena ISPA, hal ini sejalan

dengan hasil penelitian Valentina (2011) dan Mairusnita (2007)

didapatkan proporsi kasus batita dan balita penderita ISPA

terbanyak terdapat pada jenis kelamin laki- laki,dapat dilihat

bahwa proporsi ISPA pada kelompok batita adalah (50,0%),

sedangkan pada kelomok balita adalah (56,20%).

3) Berat Badan Lahir

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu

14
berat lahir yang kurang dari 2.500 gram. Berat bayi lahir

menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental

pada masa balita. Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR)

mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan

bayi berat lahir normal serta memiliki resiko lebih besar untuk

terjadinya resiko terkena penyakit infeksi , terutama pneumonia dan

infeksi pernapasan lainnya, terutama pada bulan-bulan pertama

kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna

sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi (Syakila, 2017).

Berdasarkan pada pedoman rencana kerja jangka menengah

Nasional Penanggulangan Pneumonia balita tahun 2005-2009 ,

bayi yang memiliki berat badan lahir rendah lebih beresiko terkena

penyakit ISPA dari pada bayi yang memiliki lahir berat badan

normal (Depkes RI, 2005).

4) Status Gizi

Maryunani, A. (2010) dalam valentina, (2011)

menyebutkan bahwa Balita dengan gizi kurang akan lebih

mudah terserang ISPA dibandingkan dengan balita dengan gizi

normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Dalam

keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan

untuk mempertahankan diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi

menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang

berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap serangan

infeksi menjadi menurun. Penyakit infeksi sendiri akan

menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan

mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita

15
lebih mudah terserang ISPA lebih berat bahkan serangannya lebih

lama. (Adelina. B, 2004).

5) Status Imunisasi

Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja

memberikan atau memasukan kekebalan (imunisasi) pada bayi atau

anak sehingga terhindar dari penyakit. Anak yang diimunisasi

berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu.

Dalam imunologi, kuman atau racun kuman (toksin) disebut

antigen. ISPA dapat di cegah dengan melakukan imunisasi seperti

difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi

akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk

menghindari faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA,

diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai

status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat di harapkan

perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara

yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian

imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi

campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat

dicegah dan dengan imunisasi DPT 6% kematian pneumonia dapat

di cegah (Adelina. B , 2014).

b. Faktor Agent (Bibit Penyakit )

Timbulnya infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh

beberapa mikroorganisme yang merupakan penyebab utama kejadian

ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia(Ditjen PPM

& PL, 2004). Menurut Sariana Kelompok virus umumnya menyerang

saluran pernapasan bagian atas dengan kata lain, ISPA bagian atas

16
umumnya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat

disebabkan oleh bakteri, virus dan mycoplasma. ISPA bagian bawah

yang disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis

yang berat sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam

penanganannya

c. Faktor Lingkungan

Hubungan kondisi faktor lingkungan dengan kejadian ISPA pada

balita sangat berkaita terutama lingkungan fisik didalam rumah, faktor

lingkungan rumah yang dapat memicu kejadian ISPA pada balita

antara lain adalah pencemaran udara dalam rumah, ventilasi rumah

yang tidak memadahi dan kepadatan rumah hunian.

1) Pencemaran Udara Dalam Rumah

Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk

memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme

pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal

ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang.

Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan

polusi udara, diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis,

pneumonia pada anakanak yang tinggal didaerah lebih terpolusi,

dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9 bulan dan 6 – 10

tahun (Prabu, 2009).

a) Ventilasi Rumah

Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau

pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami

maupun secara mekanis. Menurut Prabu (2009), fungsi dari

ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut :

17
1) Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung

kadaroksigen yang optimum bagi pernapasan.

2) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap

ataupun debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara

pengenceran udara.

3) Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.

4) Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan

bangunan.

5) Mengeluakan kelebihan udara panas yang disebabkan

oleh radiasi tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan

eksternal.

6) Mendisfungsikan suhu udara secara merata. Sirkulasi

udara dalam rumah akan baik dan mendapatkan suhu

yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal 10%

dari luas lantai. Faktor lingkungan rumah seperti

ventilasi juga berperan dalam penularan ISPA, dimana

ventilasi dapat memelihara kondisi udara yang sehat

bagi manusia (Ditjen PPM & PL, 2004).

b) Kepadatan Hunian Rumah


Menurut Cahaya, I dan Nurmaini (2005) dalam

penelitian Mairusnita (2007) Kepadatan di dalam kamar

terutama dikamar Balita yang tidak sesuai dengan standart

akan menimbulkan ruangan penuh sesak sehinga O2

berkurang dan CO2 meningkat,kepadatan hunian dapat

mempengarui kualitas udara di dalam rumah, dimana

semakin banyak jumlah penghuni maka maka akan semakin

18
cepat udara didalam rumah mengalami pencemaran,

menurut peraturan rumah sehat luas rumah yang sehat

minimal 9 m2 untuk perorang,sementara untuk anak usia<5

tahun ukuran ruang tidur 4,5 m3 dan luas lantai minimal 3,5

m2.

Keadaan tempat tinggal yang padat dapat

meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada.

Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna antara

kepadatan dan kematian dari bronkopneumonia pada bayi,

tetapi disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan

pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor ini

(Prabu, 2009).

3. Pencegahan ISPA

ISPA merupakan penyakit yang mudah menular. Penularan ISPA

terutama melalui udara saat penderita batuk atau bersin. Penularan ISPA juga

dapat terjadi melalui kontak langsung (menyentuh penderita secara langsung)

dengan penderita maupun kontak tidak langsung yaitu menyentuh benda yang

terkontaminasi droplet infeksius.

Pencegahan ISPA sangat erat kaitannya dengan sistem kekebalan tubuh

yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang dengan sistem kekebalan tubuh yang

lemah akan sangat rentan terhadap serangan , sehingga pengobatan ISPA

biasanya difokuskan kepada mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh

yang rendah.

Tindakan pencegahan dan pengendalian penularan ISPA, dapat melakukan

hal berikut ini :

a) Menjaga keadaan gizi keluarga agar tetap baik. Memberikan

19
ASIeksklusif pada bayi sampai batas usia 2 tahun.

b) Menjaga pola hidup bersih, sehat, istirahat yang cukup dan olah

ragateratur

c) Gunakan fasilitas kebersihan tangan seperti sabun dan air bersih

yang mengalir, antiseptik berbasis alkohol dan handuk sekali pakai

d) Ajarkan pada anak untuk rajin cuci tangan untuk mencegah ISPA dan

e) penyakit infeksi lainnya.

f) Melakukan imunisasi pada anak. Imunisasi yang dapat mencegah

ISPAdiantaranya imunisasi influenza dan imunisasi DPT-HB .

g) Hindari kontak yang terlalu dekat dengan penderita ISPA.

h) Hindari menyentuh mulut atau hidung setelah kontak dengan flu. Segera

cuci tangan dengan air dan sabun atau hand sanitizer setelah kontak

denganpenderita ISPA.

i) Apabila sakit, gunakanlah masker dan rajin cuci tangan agar tidak

menulari anak anda atau anggota keluarga lainnya.

j) Mencegah anak berhubungan terlalu dekat dengan anggota keluarga

lainnya yang sedang sakit ISPA. Tindakan semi isolasi mungkin dapat

dilakukan seperti anak yang sehat tidur terpisah dengan anggota

keluarga lain yang sedang sakit ISPA.

k) Upayakan ventilasi yang cukup dalam ruangan / rumah.

l) Susun rencana untuk pemeriksaan dan penanganan pasien yang

diketahui atau suspek terinfeksiISPA yang dapat menimbulkan

kekhawatiran, seperti penyaringan cepat (pembuatan sistemtriase

pasien) dan pelaksanaan segera tindakan pencegahan dan pengendalian

infeksi (Ariko dan Soffia. L, 2012,. WHO, 2007).

20
B. Faktor resiko Status Gizi Dengan Kejadian ISPA Pada Balita

Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan

manusia. Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang

dikonsumsi secara normal untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan,

pemeliharaan dan perbaikan jaringan tubuh dan fungsi normaldari organ serta

menghasilkan energi (Suppariasa, 2002).

Anak dibawah lima tahun adalah kelompok umur yang sangat rentan terhadap

berbagai penyakit infeksi dan membutuhkan zat gizi yang relatif lebih tinggi

dibandingkan kelompok umur yang lain (Mulyati, 2004).ini yang menyebabkan

balita mudah terkena penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Penyakit

infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang paling sering menyebabkan kematian

pada bayi dan anak balita adalah pneumonia. Dimana pneumonia merupakan

bagian atau tahap lanjut dari penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

yang disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang membuat tubuh menjadi rentan

terhadap infeksi (Misnadiarly, 2008). Menurut penelitian Sukmawati & Sri Dara

Ayu (2010) di wilayah kerja Puskesmas Tunikamaseang Kabupaten Maros

Sulawesi yang menunjukkan kejadian ISPA berulang yang lebih banyak pada

balita dengan status gizi kurang, hal ini disebabkan karena status gizi yang kurang

menyebabkan ketahanan tubuh menurun dan virulensi patogen lebih kuat,

sehingga akan menyebabkan keseimbangan terganggu dan akan terjadi infeksi.

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Fonseca di Fortaleza Brazil

menunjukkan bahwa status gizi kurang menempati urutan pertama faktor resiko

terjadinya pneumonia pada anak balita. Maksud dari gizi kurang adalah

kekurangan energi protein yang terkandung didalam makanan sehari-hari yang

mempengaruhi keadaan gizi anak. Selain itu penelitian di Solapur india juga

menunjukkan hasil dari 160 anak usia dibawah lima tahun total hanya 44

21
(27,50%) memiliki status gizi yang normal sisanya memiliki status gizi kurang,

hasil dari anlisis data nya menemukan hasil signifikan antara status gizi terhadap

terjainya ISPA dengan (p <0,001) dengan rasio odds 5,17 menunjukkan risiko

5,17 kali lebih buruk untuk terjadinya ISPA pada balita yang mempunyai status

gizi kurang dibandingkan dengan yang mempunyai status gizi baik. Berdasarkan

hasil penelitian Suman Yus Mei Hadiana (2013), Dari hasil uji Chi square

diperoleh p value sebesar 0,000 dengan taraf signifikan (α) 0,05 maka penelitian

ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi

terhadap terjadinya ISPA pada balitadi Puskesmas Pajang Surakarta., selain itu

didapatkan nilai RP (ratio prevalensi) = 27,5 dengan (interval kepercayaan 95%,

8,372-90,328), artinya bahwa anak yang mengalami gizi kurang berisiko 27,5

kali untuk mengalami ISPAdibanding balita yang mempunyai gizi baik.

1. Penilaian Status Gizi Pada Balita

Penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan dengan

menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu

yang beresiko atau dengan status gizi buruk, dan Status gizi merupakan

keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.

Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih (Almatsier, 2001).

Standar acuan status gizi balita adalah berat badan menurut umur (BB/U),

berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), dan tinggi badan menurut umur

(TB/U). Sementara klasifikasinya adalah normal, underweight (kurus), dan

gemuk. Untuk acuan yang menggunakan tinggi badan, jika kondisinya kurang

baik disebut stunted (pendek). Pedoman yang digunakan adalah standart

berdasarkan tabel WHO-NCHS, bila berat badannya kurang, maka status

gizinya kurang (Marimbi, 2010).

2. Metode Penilaian Status Gizi

22
Pada dasarnya penilaian status gizi dapat dibagi menjadi dua yaitu secara

langsung dan tidak langsung. Pada penilaian status gizi balita penilaian yang

digunakan adalah penilaian secara langsung berdasarkan penilaian

Antropometri.

3. Antropometri

Penilaian status gizi secara langsung menurut Supariasa (2002), dapat

dilakukan dengan cara antropometri. Antropometri adalah ukuran tubuh

manusia. Apabila ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi

berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dari berbagai

ketidakseimbangan antara asupan protein danenergi.

Indikator antropometri atau indeks antropometri yang umum di

pergunakan untuk menilai status gizi balita adalah BB/U, TB/U, BB/TB ,

cukup dengan nilai tunggal saja karna antara anak berumur 1 – 5 tahun

perbedaannya relatif kecil (Aritonang, 1996).

4. Indikator BB/U

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran

massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahanperubahan yang

mendadak, misalnya karena terserang infeksi, penurunan nafsu makan, atau

menurunkan jumlah makanan yang dikonsumsi (Supariasa,2002). Kelebihan

indikator ini adalah sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka

waktu pendek, juga dapat digunakan untuk mendeteksi kegemukan

Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral

pada tulang. Dalam keadaan normal dan keadaan kesehatan baik,

keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin maka berat

badan berkembang mengikuti bertambahnya umur. Dalam keadaan abnormal

ada dua kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu berkembang cepat

23
atau lebih lambat dari keadaan normal(Amelia. S.N, 2014).

5. Indikator TB/U

Indikator TB/U dapat memberikan gambaran riwayat keadaan gizi masa

lampau dan dapat dijadikan indicator keadaan social ekonomi penduduk.

Indikator TB/U ini tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini dan sering

mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang pada kelompok

usia balita di negara berkembang(Soekirman, 2000).

6. Indikator BB/TB

Pada tahun 1978, WHO lebih menganjurkan penggunaan BB/TB karena

dapat menghilangkan faktor umur yang menurut pengalaman sulit didapatkan

secara benar, dan lebih menggambarkan keadaan kurang gizi akut pada waktu

sekarang, walaupun tidak dapat menggambarkan keadaan gizi pada waktu

lampau. Namun Indikator BB/TB ini dapat menggambarkan status gizi saat ini

dengan lebih sensitif dan spesifik, terutama apabila data umur yang akurat

sulit diperoleh (Soekirman, 2000).

C. Faktor Resiko Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian ISPA Pada Balita

Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan atau

memasukan kekebalan (imunisasi) pada bayi atau anak sehingga terhindar dari

penyakit menular dan tubuh dapat resisten terhadap penyakit tertentu terutama

penyakit infeksi. Balita yang mendapatkan imunisasi lengkap mempunyai

kekebalan terhadap penyakit menular, termasuk ISPA. Depkes RI (2002)

menyatakan upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh keluarga agar balita

tidak terkena penyakit infeksi saluran pernapasan akut diantaranya adalah dengan

menjaga kondisi lingkungan yang bersih dan sehat, pemberian ASI ekslusif dan

yang paling utama adalah mengenai kelengkapan imunisasi pada balita.

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit yang

24
dapat dicegah dengan imunisasi. Salah satu faktor penyebab ISPA adalah status

imunisasi pada balita yang tidak lengkap. ISPA berasal dari jenis penyakit yang

berkembang dari penyakit yang dapat dicegah oleh imunisasi seperti difteri,

pertusis, dan campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar

dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan

mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap pada bayi dan balita sehingga

diharapkan perkembangan penyakit tidak menjadi lebih berat (Anik, 2010).

Imunisasi campak yang efektif dapat mencegah sekitar 11% kematian balita dan

dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian dapat dicegah(Prabu, 2009).

Pemberian imunisasi lengkap sebelum anak mencapai usia 1 tahun, anak akan

terlindung dari beberapa penyebab yang paling utama dari infeksi

PERNAPASAN termasuk batuk rejan, difteri, tuberkulosa dan campak. Dengan

pemberian imunisasi berarti mencegah kematian ISPA yang diakibatkan oleh

komplikasi penyakit campak dan Pertusis (Kemenkes RI, 2007). Hasil ini sama

dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulistyoningsih dan Resi (2010) dalam

Namira (2013) mengenai hubungan status imunisasi dengan kejadian infeksi

saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Tasikmalaya , didapatkan

persentase anak yang status imunisasinya tidak lengkap lebih besar mengalami

ISPA dibandingkan dengan anak yang memiliki status imunisasi yang lengkap dan

diuji secara statistik bahwa status imunisasi anak dengan infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) memiliki hubungan yang signifikan. Pemberian imunisasi

yang lengkap menjadikan resiko penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

semakin kecil. Hasil penelitian juga menjelaskan bahwa prevalensi kelengkapan

imunisasi yang tidak lengkap pada kelompok ISPA adalah 7 responden (23.3%)

hasil tersebut menunjukan bahwa balita dengan status imunisasi tidak lengkap

rentan menderita ISPA.

25
Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Tupasi (2005), yang menyebutkan

bahwa ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan peningkatan penderita

Pneumonia , penelitian serupa juga dilakukan oleh Sievert (2003) yang

menyatakan bahwa imunisasi yang lengkap dapat memberikan peranan yang

cukup berarti terhadap pencegahan kejadian pneumopnia (Husin Aprianingsih,

2014).

1. Imunisasi Dasar

Imunisasi merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah

terjadinya suatu penyakit dengan cara memberikan mikroorganisme bibit

penyakit berbahaya yang telah dilemahkan dalam bentuk vaksin kedalam

tubuh sehingga merangsang sistem kekebalan tubuh terhadap jenis antigen.

Imunisasi dasar lengkap memberikan upaya imunitas pada bayi berusia 0-12

bulan agar terhindar dari berbagai penyakit , imunisasi ini meliputi Polio, HB,

DPT, BCG, dan Campak (Depkes RI 2004).

2. Imunisasi Hepatitis B

Hepatitis B memberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan

oleh virus Hepatitis B. Imunisasi dapat diberikan Apabila status HbsAg-B

ibupositif, dalam waktu 12 jam setelah lahir dengan syarat kondisi bayi stabil,

tidak ada gangguan paru-paru dan jantung dapat diberikan HBlg 0,5 ml. Atau

apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam

perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka masih dapat

diberikan HBlg 0,5 ml sebelum bayi berumur <7 hari. Cara pemberian :

Vaksin di suntikan dengan dosis 0,5 ml atau 1 buah HB. Pemberian suntikan

secara intra muskuler ,sebaiknya pada canterolateral paha.Tanda keberhasilan

berupa nyeri pada tempat penyuntikan atau demam ringan namun akan

menghilang dalam 2 hari.

26
3. Imunisasi BCG ( Bacillus Calmette – Guerin )

Imunisasi BCG adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan

kekebalan aktif terhadap penyakit TBC. Pemberian imunisasi BCG dan usia

pemberian, frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah 1 kali dan tidak perlu

di ulang (boster). Cara pemberian imunisasi BCG adalah melalui intradermal

dengan lokasi penyuntikan pada lengan kanan atas (sesuaianjuran WHO) atau

penyuntikan pada paha.Tanda keberhasilan, adalah timbulnya indurasi

(benjolan) kecil dan eritema (merah) di daerah bekas suntikan , setelah 1 atau

2 minggu kemudian yang berubah menjadi pustula, kemudian pecah menjadi

ulkus (luka). Tidak menimbulkan nyeri dan panas. Luka ini akan sembuh

sendiri dan meninggalkan tanda parut.

4. Imunisasi DPT/HB

ImunisasiDPT/HB adalah imunisasi yang diberikan untuk mencegah

terjadinya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Serta penyakit hepatitis,

Pemberian imunisasi dan usia pemberian, imunisasi DPT/HB diberikan

sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2 bulan untuk dosis pertama ,dosis selanjutnya

dengan interval minimal 4 minggu. Sehingga pada bulan ke 3 dan bulan ke 4,

cara pemberian: disuntikan melalui intamuskuler (IM). Efek samping

Imunisasi ini: biasanya hanya demam dan rewel selama 1-2 hari, kemerahan,

pembengkakan, agak nyeri atau pegal-pegal pada daerah penyuntikan yang

akan hilang sendiri dalam beberapa hari. Bila demam dapat diberikan penurun

panas.Kontraindikasi imunisasi DPT/HB tidak dapat diberikan pada bayi yang

sedang demam, mudah kejang, dan menderita infeksi otak.

5. Imunisasi Polio

Imunisasi polio adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan

kekebalan terhadap penyakit poliomielitis, yaitu penyakit radang yang

27
menyerang saraf dan dapat mengakibatkan kelumpuhan. Waktu pemberian

adalah pada bayi usia 0-11 bulan, namun biasanya pemberian vaksin di

berikan pada bulan 1-4 bulan bersama dengan imunisasi BCG di bulan

pertama dan imunisasi DPT/HB di bulan selanjutnya (2,3,4). Cara pemberian

imunisasi polio melalui oral/mulut 1 dosis adalah sebanyak 2 tetes sebanyak 4

kali (dosis) dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu.

6. Imunisasi Campak

Imunisasi Campak adalah imunisasi yang diberikan untuk mencegah

penyakit campak pada anak karena penyakit ini sangat menular pemberian

imunisasi dan usia pemberian, frekuensi pemberian imunisasi campak adalah 1

kali dan diberikan pada usia bayi 9 bulan. Dan di berikan ulangan (booster)

pada usia 6-7 tahun, Cara pemberian, adalah melalui suntikan subkutan, efek

samping imunisasi, jarang terjadi reaksi akibat imunisasi, namun kadang

terjadi demam ringan dan efek kemerahan/ bercak merah pada pipi dibawah

telinga pada hari ke 7-8 setelah penyuntikan. Kontraindikasi imunisasi

campak, adalah infeksi akut yang disertai demam dan kekurangan gizi berat.

7. Jadwal Imunisasi Balita

Imunisasi merupakan suatu tindakan dasar untuk memberikan

perlindungan atau kekebalan di dalam tubuh bayi dan balita, serta untuk

mencegah terpaparnya anak dari berbagai penyakit yang berpotensi

mengganggu tumbuh kembang anak bahkan juga dari penyakit yang bisa

menyebabkan kematian. Berikut adalah jadwal imunisasi Nasional

berdasarkan ketetapan Menteri Kesehatan RI Nomor

1059/Menkes/SK/IX/2004 :

L. Hepatitis B-0 diberikan 1 kali (di berikan 0-7 hari setelah kelahiran)

M. BCG diberikan 1 kali (pada usia 1 bulan)

28
N. DPT/HB diberikan 3 kali (pada usia 2,3,4 bulan)

O. Polio diberikan 4 kali (pada usia 1,2,3,4 bulan)

P. Campak diberikan 1 kali (pada usia 9 bulan)

Bayi dikatakan telah mendapatkan imunisasi lengkap jika bayi telah

mendapatkan imunisasi yang meliputi imunisasi BCG (Bacillus

ClameteGuerin), imunisasi DPT (difteri, pertusis, tetanus), imunisasi polio,

imunisasi campak, dan imunisasi Hepatitis B.

D. Faktor Resiko Lingkungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita

Salah satu faktor resiko terjadinya ISPA dilihat dari faktor lingkungan adalah

perilaku merokok. Perilaku merokok anggota keluarga akan berdampak kepada

anggota keluarga lain khususnya balita, dimana balita menyerap nikotin dua kali

lebih banyak dibandingkan orang dewasa (Basuki et al, 2016) dan balita juga

memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai penyakit

(Darmawan et al, 2016). Balita yang tinggal dalam rumah yang terdapat anggota

keluarga yang merokok, maka balita tersebut termasuk perokok pasif yang akan

menerima semua akibat buruk dari asap rokok (Saleh et al, 2017).

Rokok merupakan gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas atau

daun yang mengeluarkan lebih 4.000 bahan kimia beracun yang membahayakan.

Bahan berbahaya dalam rokok tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan

pada orang yang merokok, namun juga mengakibatkan gangguan kesehatan pada

orang disekitar perokok (Basuki et al, 2016). Asap rokok yg keluar langsung dari

pembakaran rokok (sidestream) akan lebih berbahaya daripada yang keluar dari

mulut perokok (mainstream), karena sidestream belum mengalami penyaringan,

sedangkan mainstream sudah mengalami penyaringan melalui pernapasan

perokok dan rokok itu sendiri.Dalam jumlah tertentu asap rokok sangat

mengganggu kesehatan seperti gangguan pada saluran pernapasan (Saleh et al,

29
2017).

Asap rokok merupakan bahan pencemar udara, berupa campuran kompleks

yang dihasilkan oleh pembakaran tembakau dan adiktif. Asap mengandung zat-zat

berbahaya yang menyebabkan penyakit paru-paru, jantung, emphysema serta

penyakit-penyakit berbahaya lainnya (Saleh et al, 2017). Salah satu zat berbahaya

dalam rokok adalah tar yang mengandung senyawa polinuklir hidrokarbon

aromatik yang bersifat karsinogenik menyebabkan paralise silia yang ada

disaluran PERNAPASAN dan menyebabkan penyakit paru lainnya seperti

emphysema, bronkhitis kronik dan kanker paru (Aulia, 2010). Tar akan melekat

pada rambut-rambut kecil di paru-paru. Rambut-rambut kecil ini melindungi paru-

paru dari kotoran dan infeksi, tapi ketika tertutup tar organ ini tidak dapat

melakukan fungsinya.

Keberadaan perokok aktif di dalam rumah akan menyebabkan pencemaran

udara di dalam ruangan. Manusia bernapas kira-kira 20 kali dalam satu menit,

sekali tarikan napas maka ±500 ml udara terhirup, udara yang masuk kedalam

tubuh sudah terkena kontaminasi asap rokok akan merusak mekanisme

pertahanan paru sehingga memudahkan terjadinya ISPA (Safarina et al, 2015). Hal

ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan di Vietnam oleh Miyahara et al

(2017) dimana ayah yang merokok secara independen meningkatkan resiko

infeksi saluran pernapasan 1,76 kali lipat dan ayah yang tidak merokok

dihadapan anak-anak akan mengurangi resiko infeksi saluran pernapasan sebesar

14,8%.

Penelitian lain yang dilakukan Basit et al (2016) dimana balita yang memiliki

keluarga merokok mempunyai resiko terjadinya ISPA 16,782 kali dibanding

dengan balita yang tidak memiliki keluarga merokok. Hal ini dikarenakan

merokok adalah suatu kebiasaan yang dilakukan secara berulang sehingga lebih

30
dari 50% responden menjadi terbiasa akan kebiasaan merokok di dalam rumah.

Akan tetapi hasil penelitian berbeda yang dilakukan oleh Widodo (2014) yang

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara perilaku merokok

dengan kejadian ISPA pada balita.

Smet dalam Noviyeni (2017) mengklasifikasikan perokok menjadi 3 menurut

jumlah rokok yang dihisap yaitu : (1) perokok berat menghisap lebih dari 15

batang rokok dalam sehari, (2) perokok sedang menghisap lebih dari 5- 14 batang

rokok dalam sehari, (3) perokok ringan menghisap lebih dari 1-4 batang rokok

dalam setiap hari. Kemenkes (2010) juga membuat suatu pembagian menurut

rata-rata batang rokok yang dihisap per hari menjadi 1-10 batang rokok yang

dihisap per hari, 11-20 batang rokok yang dihisap per hari, 21-30 batang rokok

yang dihisap per hari dan lebih dari 31 batang per hari. Menurut Mu’tadin (2002)

tipe-tipe perokok yaitu perokok sangat berat adalah bila mengkonsumsi rokok

lebih dari 31 batang perhari dan selang merokoknya lima menit setelah bangun

pagi, perokok berat merokok sekitar 21-30 batang sehari dengan selang waktu

sejak bangun pagi berkisar antara 6 - 30 menit, perokok sedang menghabiskan

rokok 11 – 21 batang dengan selang waktu 31-60 menit setelah bangun pagi,

perokok ringan menghabiskan rokok sekitar 10 batang dengan selang waktu 60

menit dari bangun pagi. Kemenkes (2013) mengklasifikasikan kebiasaan

merokok menjadi perokok saat ini dan tidak merokok. Kebiasaan merokok saat

ini diklasifikasikan kembali menjadi perokok setiap hari dan perokok kadang-

kadang sedangkan kebiasaan tidak merokok diklasifikasikan menjadi mantan

perokok dan bukan perokok.

31
Kerangka Teori

Faktor resiko ISPA

Individu Lingkungan Perilaku


Anak
-pencemaran -perilaku
- Umur anak udara dan pencegahan
- BBL perilaku dan
-Status Gizi merokok pengendalian
-Vitamin A -Ventilasi ISPA
Rumah (Mayunani,
-Status -Kepadatan 2010)
Imunisasi hunian rumah
(Maryunani,
2010)

Kejadian ISPA

Bagan 3.1 Kerangka Teori


Sumber : Aula, 2010; Basit et al, 2016; Kunoli, 2012;
Maryunani, 2010;
Safarina et al, 2016; Saleh, 2017; Sukarto, 2016;
Wijayaningsih, 2013.

32
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini adalah ingin melihat pengaruh dua

intervensi terhadap suatu variabel. Variabel bebas yaitu faktor-faktor yang

berhubungan kejadian ISPA, sedangkan variabel dependen adalah variabel

terikat yang dapat dipengaruhi oleh variabel independen. Variabel dependen

adalah Kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Kotobaru tahun 2021

dengan kerangka konsep sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel


Dependen
Status Gizi
Kelengkapan Imunisasi Kejadian ISPA
Faktor Lingkungan
Bagan 3.1
Kerangka
Konsep
B. Hipotesa

Berdasarkan rumusan masalah, landasan teoritis dan kerangka konseptual

Ha : Ada hubungan Status Gizi dengan kejadian ISPA pada balita

di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tahun


2022.

Ha : Ada hubungan kelengkapan Imunisasi dengan kejadian ISPA

padabalita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tahun 2022.

Ha : Ada hubungan faktor lingkungan dengan kejadian ISPA pada

balitadi Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tahun 2022.

Ho : Tidak ada Hubungan Status gizi dengan Kejadian ISPA pada

balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tahun 2022

33
Ho : Tidak ada hubungan Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian

ISPA pada balita di Wilayah Kerja Tanjung Tahun 2022

Ho : Tidak ada Hubungan faktor Lingkungan dengan Kejadian ISPA

pada balita di Wilayaj Kerja Puskesmas Tanjung 2022

34
C. Definisi Operasional

Tabel 3.1
Definisi Operasional

NO Variabel Defenisi Operasioal Cara Hasil ukur Skala


Ukur Ukur
Dependen
1. Infeksi Keadaan dimana terjadinya Mengisi 1. Tidak ISPA, Apabila Ordinal
Saluran infeksi saluran pernapasan lembar terdiagnosa selain
Pernapas akut atas atau infeksi ceklist ISPA.
an Akut saluran pernapasan akut 2. ISPA, Apabila
(ISPA) bawah padaanak balita (12- terdiagnosa ISPA pada
59 bulan) dengan tanda laporan Posyandu
klinis (batuk, pilek, demam,
sakit saat menelan, sakit
tenggokan, serta kesulitan
bernapas) dalam kurun
waktu 14 hari serta terdapat
hasil diagnosa kejadian
ISPA dari tenaga kesehatan.
Independen
2 Status gizi Status gizi Penguk 1. Gizi Buruk jika < -3 Ordinal
. padabalita uran SD
adalah langsu 2. Gizi Kurang jika -3
penampilan ng SD sampai dengan
fisik dari tubuh pada < -2 SD
yang dapat anak 3. Gizi Normal jika -2
diketahui SD sampai dengan
dengan +2 SD
mengukur 4. Gizi Lebih jika >
berat badan dan +2SD
tinggi
badan anak.
3 Keleng Kelengkapan Imunisasi Mengis 1. Tidak lengkap Nomin
. kapan anakbalita diperoleh dari i :apabila balita tidak al
Imunis KMS (Kartu Menuju Sehat) Kuesio mendapatkan
asi 1. Hepatitis B diberikan 1 ner imunisasi yang
kali ( di berikan 0-7 hari ) seharusnya
2. BCG di berikan 1 kali diperolehnya sesuai
(pada usia 1 bulan) umur dan tepat
waktu.
3. DPT/HB di berikan 3 kali
( pada usia 2,3,4 bulan ) 2. Lengkap : apabila
4. Polio di berikan 4 kali balita sudah
(pada usia 1,2,3,4 bulan ) mendapatkan
5. Campak di berikan 1 kali imunisasi yang harus
(pada usia 9 bulan) diperolehnya sesuai
dengan batas
usianya (meliputi
imunisasi hepatititis
B-0, BCG,
DPT/HB,Polio, campak) (Sumber: Keputusa
1059/Menkes/SK/IX/2
004)
4 Faktor Mengkonsumsi rokok Mengisi Tidak merokok, apabila Nominal
lingkungan pada ayah, ibu atau kuesioner tidak Mengkonsumsi
keluarga lain rokok pada ayah, ibu
rokok
Merokok, apabila
mengkonsumsi rokok
(Kemenkes,2013)
35
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Survei analitik dengan

rancangan Cross Sectional. Penelitian cross-sectional hanya mengobservasi

sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap variabel subjek pada saat

penelitian. (Notoatmojo, 2010). Penelitian ini untuk mengetahui faktor yang

berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) balita

usia1-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung tahun 2022.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni – Agustus 2022.

C. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya manusia; klien)

yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2011).

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung sebanyak 232 orang ibu yang

memiliki anak balita sampai bulan Mei 2022.

b. Sampel
Sampel adalah terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat

dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling. Sedangkan

sampling adalah proses penyeleksi porsi dari populasi yang dapat

mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2011). Sampel penelitian

diambil dengan metode teknik accidental sampling dan rumus


37
pengambilan sampel yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel

minimal dalam penelitian ini adalah (Gazpert, 1991) :

n = 232 x (1,96)2 x 0,5 (1-0,5)/ 930 x (0,1)2 + (1,96)2 x 0,5 (1-0,5)

n = 232 x 3,8 x 0,25 / 232 x (0,01)

+2,21n = 220,4/ 4,53

n = 48,6  49 orang

Dengan keterangan :

n= jumlah sampel

N= jumlah populasi

G= galat pendugaan (0,1)

P=proporsi dari populasi yang di tetapkan =

0,5Z=tingkat keandalan pendugaan =95%

(1,96)

Berdasarkan penggunaan rumus diatas maka diperoleh besar sampel

48,6 sample dan dibulatkan menjadi 49 ibu yang memiliki anak balita yang

akan dijadikan sample penelitian. Sampel penelitian diambil dengan

menggunakan dan mempertimbangkan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria

inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel

penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel .

Kriteria inklusi dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:

1. Ibu yang memilki anak balita (12-59 bulan) yang datang berkunjung dan

terdaftar (memiliki Faskes) di Puskesmas Tanjung

2. Memiliki KMS (Kartu Menuju Sehat)


38
3. Yang bertempat tinggal di wilayah kerja Tanjung

4. Bersedia menjadi responden penelitian

5. Memahami bahasa Indonesia

Sedangkan kriteria eksklusi adalah dimana subjek penelitian tidak dapat

diambil sebagai sampel , Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :

1. Tidak bersedia menjadi responden

D. Etika Penelitian

Prinsip etik berdasarkan pedoman etik penelitian kesehatan yang

dikeluarkan oleh Komisi Nasional Etik Kesehatan. Etika penelitian keperawatan

yang sangat penting karena penelitian ini berhubungan langsung dengan manusia

sehingga perlu diperhatikan hal-hal berikut:

1. Benefit (Berbuat baik)

Peneliti melindungi responden agar terhindar dari bahaya atau

ketidaknyamanan fisik dan mental dengan menjelaskan hal ini sebelum

responden menandatangani kesediaan sebagai responden. Resiko

penelitian harus wajar ( reasonable). Dibanding manfaat yang diharapkan,

menjaga kesejahteraan responden dan tidak merugikan responden.

2. Justice (keadilan)

Responden / subjek untuk mendapatkan perlakuan adil, jadi tidak setiap

perawat pelaksana di tempat penelitian mempunyai hak yang sama untuk

mengikutsertakan dalam hal penelitian ini dan mereka mendapatkan

keleluasaan pribadi sebelum, selama dan sesudah berpartisipasi dalam

penelitian.

3. Self determination (Prinsip menghargai martabat manusia)

Responden/ subjek mempunyai hak untuk memutuskan secara sukarela

apakah dia ingin berpartisipasi dalam penelitian ini atau tidak, tanpa resiko

39
untuk dihukum, dipaksa atau diperlakukan dengan tidak adil.

4. Confidentiality (Kerahasiaan)

Confidentiality merupakan masalah-masalah responden yang harus

dirahasiakan dalam penelitian. Kerahasian informasi yang telah

dikumpulkan akan dijamin kerahasian oleh peneliti, hanya kelompok data

tertentu yang akan dilaporkan dalam hasil penelitian.

5. Informed Consent (Format persetujuan)

Informent consent akan diberikan sebelum melakukan penelitian.

Informent consent ini berupa lembar persetujuan untuk menjadi responden.

Lembar persetujuan ini akan diberikan agar responden mengetahui maksud

dan tujuan penelitian. Jika responden bersedia diteliti, responden harus

menandatangani persetujuan tersebut, jika responden tidak bersedia maka

peneliti harus menghormati hak responden

E. Alat Pengumpulan Data

Menurut Waluya (2007) cara yang digunakan untuk pengumpulan

dataterdiri dari dua yaitu:

1. Data Primer

Data primer yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data

yang diperoleh dari pengisian kuesioner yang diberikan oleh peneliti

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah keterangan yang akan diperoleh dari pihak

kedua, baik berupa orang maupun catatan, seperti buku catatan petugas

danjuga buku KMS milik anak balita.

3. Prosedur Pengumpulan Data

Adapun langkah-langkah pengumpulan data yang akan dilakukan yaitu:

a. Peneliti melakukan koordinasi dengan petugas posyandu dalam

40
menentukan sampel yang akan digunakan

b. Setelah mendapatkan sampel penelitian, peneliti meminta izin kepada

orang tua atau wali dari anak untuk dijadikan sampel, dan menjelaskan

tentang penelitian, apabila disetujui dapat menandatangani informed

consent.

c. Setelah mendapatkan persetuan peneliti dapat melakukan penelitian

dengan mengisi lembar ceklist hasil pemeriksaan

d. Dalam melakukan penelitian, peneliti mengikuti proses program posyandu

yang dalam sehari posyandu sesuai jadwal bisa mencapai 25 anak, hal

inisesuai dengan daerah tujuan posyandu dilakukan dan paling sedikit

jumlahsampel hanya 7 orang balita.

e. Peneliti juga ikut dalam posyandu di puskesmas yang diadakan sebulan

sekali pada tanggal 27.

F. Pengolahan dan Analisis Data

Menurut Notoatmodjo (2012), pengolahan data dilakukan setelah

pengumpulan data selesai dilakukan. Terdapat beberapa langkah yang akan

digunakan dalam pengolahan dengan menggunakan komputer yaitu :

1. Editing

Hasil wawancara dan observasi di lapangan lalu dilakukan

penyuntingan (editing) terlebih dahulu.

2. Coding

Setelah semua kuesioner diedit atau disunting. Selanjutnya peneliti

melakukan pengkodean atau coding, yakni mengubah bentuk kalimat atau

huruf menjadi data atau angka bilangan.

3. Entry Data

Data, yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang


41
masuk dalam bentuk kode (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam

program atau software komputer ini bermacam-macam, masing-masing

mempunyai kelebihan dan kekurangan. Salah satu paket yang paling sering

di gunakan untuk entry data penelitian adalah paket program SPSS for

Windows.

4. Cleaning
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai

dimasukkan, perlu di cek kembali untuk melihat kemungkinan-

kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode. Ketidaklengkapan dan

sebagainya, kemudian akan dilakukan pembetulan atau koreksi. Proses ini

disebut pembersihan data.

5. Tabulating

Tabulasi merupakan penyajian data dalam bentuk tabel yang terdiri dari

beberapa baris dan beberapa kolom. Tabel ini digunakan untuk

memaparkan sekaligus beberapa variabel hasil observasi, survei atau

penelitian sehingga data mudah dibaca dan dimengerti (Chandra, 2008).

Menurut Notoatmodjo (2012), data yang telah diolah baik pengolahan

maupun menggunakan komputer, tidak ada maknanya tanpa dianalisa.

Menganalisa data tidak sekedar mendeskripsikan dan menginterprestasikan

data yang telah diolah.

1. Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan dengan cara mencari ditribusi

frekuensi setiap variabel penelitian untuk mengetahui proporsi atau

gambaran dari variabel independen maupun variabel dependen. Pada

umumnya analisis ini hanya menghasilkan distribusi dari persentase dari

tiap variabel, sehingga di ketahui variasi dari masing-masing tabel.

42
2. Analisa Bivariat

Analisis Bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara

variabel independen dengan variabel dependen, sehingga dapat

diketahui hubungan antara status gizi, kelengkapan imunisasi dan faktor

lingkungan dengan kejadian ISPA.

Analisa yang digunakan adalah hasil tabulasi silang. Untuk

menguji hipotesa dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji data

kategori Chi- Square Test pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05),

sehingga apabila ditemukan hasil analisis statistik p < 0,05 maka

variabel tersebut dinyatakan berhubungan secara signifikan dan data

yang diperoleh dengan menggunakan SPSS (Statistical Product and

Service Solution).

43
DAFTAR PUSTAKA

Aini, Nur, D., Arifianto, & Sapitri. (2017). Pengaruh pemberian posisi terhadap
respiratory rate pasien TB Paru di ruang Flamboyan RSUD. Soewondo
Kendal . 1, 1–9. Junal Ilmu Keperawatan.
Andani, E. . (2018). Posisi High Fowler (90o) Dan Semi Fowler (45o) Dengan
Kombinasi Pursed Lips Breathing Terhadap Peningkatan Saturasi
Repository.Stikes-Bhm.Ac.Id, http://repository.stikesbhm.ac.id/159/1/20.pdf
Albar, M., & Wibowo, T. A. (2017). Analisa Praktik Klinik Keperawatan pada
Pasien PPOK dengan Kombinasi Intervensi Inovasi Pemberian Posisi High
Fowler dan Orthopneic untuk Peningkatan Fungsi Ventilitas Paru diRuang
IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Black joyce. M & Jane Hokanse Hawks. 2014. Medical Surgical Nursing vol 2.
Jakarta: Salemba Medika.
BPS (Badan Pusat Statistik). 2018. Kabupaten Kerinci Dalam Rangka Regency in
Figures 2018. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kerinci. Dikutip dari
file:///C:/Users/SRKOMP~1/AppData/Local/Temp/68079076Kerinci%20Da
lam%20Angka%202018.pdf pada tanggal 20 April 2021.
GINA (Global Initiative for Asthma). 2020. Pocket Guide for Asthma Management
And Prevention (for Adults and Children Older than 5 Years). Dikutip dari
https://ginasthma.org.pdf pada tanggal 25 April 2020.
Hammond, BB & Zimmermann PG. 2017. Sheeshy’s Emergency and Disaster
Nursing-1st Indonesian Edition. Elsevier: Singapura.
Dean Hess, Neil R. MacIntyre, William F. Galvin · 2020. Respiratory Care:
Principles and Practice. Fourth edition. Jones & barlet: America. Dikutip dari
https://www.google.co.id/books/edition/Respiratory_Care/ pada tanggal 3
Mei 2020.
Kresnanda, Indraswari, Hardian (2016) Hubungan Kekuatan Otot Dada Dengan
Arus Puncak Ekspirasi Pada Peserta Senam Asma Usia Dewasa Di Balai
Kesehatan Paru Masyarakat (Bkpm) Kota Semarang. Jurnal Media Medika
Muda. http://eprints.undip.ac.id/44811

44
Mayuni, et al. (2015). Pengaruh diaphragmatic breathing exercise terhadap
kapasitas vital paru pada pasien asma di wilayah kerja puskesmas III denpasar
utara. COPING Ners Jurnal.
Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson. 2012. Patofisiologi : Konsep Klinis.
Proses-proses Penyakit. Edisi 6. (terjemahan). Peter Anugrah. EGC: Jakarta.
Pearc, EC. 2016. Anatomi Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia: Jakarta.
Potter, Perry. (2010). Fundamental Of Nursing: Consep, Proses and Practice. Edisi
7. Vol. 3. Jakarta : EGC
Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar). 2018. Hasil Utama Riskesdas 2018. Kemenkes:
Badan Penelitian dan Pengembangan. Dikutip dari
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil
-riskesdas-2018_1274.pdf pada tanggal 25 April 2020.
Smeltzer, S.C & Bare. 2015. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
WHO (World Health Organzation). 2020. Asthma. Dikutip dari
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/asthma pada tanggal 20
April 2020.

45
Lampiran 1.
PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Setelah membaca dan memahami isi penjelasan pada lembaran pertama

(Lembaran Permohonan Responden), saya menyatakan bersedia turut berpartisipasi

sebagai responden pada penelitian tanpa ada unsur paksaan yang dilakukan mahasiswa

Institut Prima Nusantara Bukittinggi yang bernama Elfina Yunara dengan judul “Faktor –

Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Pada Anak Balita Usia 1-5 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai

Penuh Tahun 2022”.

Saya memahami bahwa penelitian ini tidak akan berakibat negative pada saya,

oleh karena itu saya bersedia menjadi responden pada penelitian ini.

46
Lampiran 2.
PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN
(INFORMED CONSENT)
Kepada Yth
Bapak/Ibu responden
Di tempat

Dengan hormat

Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah mahasiswi Stikes Syeadza Saintika
Padang.

Nama : ELFINA YUNARA


Nim : 201000414201087
Alamat : Desa Koto Baru,kecamatan Koto Baru , Kota Sungai Penuh

Akan Mengadakan penelitian dengan judul “Faktor –Faktor yang Berhubungan Dengan

Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Anak Balita Usia 1-5 Tahun Di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh Tahun 2022”.Penelitian ini tidak

menimbulkan kerugian bagi Bapak/Ibu sebagai responden, Kerahasiaan semua

informasi yang diberikan akan dijaga dan hanya digunakan untuk kepentingan peneliti.

Apabila Bapak/Ibu menyetujui, Maka saya mohon kesediaannya untuk menandatangani

surat persetujuan dan menjawab pernyataan saya bersama surat ini. Atas perhatian

Bapak/Ibu sebagai responden, saya ucapkan terima kasih.

Sungai Penuh, Juni 2022

Peneliti

ELFINA YUNAR

47
KUESIONER PENELITIAN

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian (Infeksi

Saluran Pernafasan Akut) ISPA pada balita 1-5 tahun

diWilayah Kerja Puskesmas Tanjung

Kota Sungai Penuh 2022.

Inisial Nama : An. ..........................


Alamat :.................................
Usia .........................................................bulan/ tahun

A. Status Gizi Anak

Berat Badan (BB) Tinggi Badan (TB)

INDIKATOR INTERPRETASI Skala


Berat badan menurut panjang badan Gizi Buruk < -3 SD
atau tinggi badan ( BB / TB ) anak
usia 0-6 bulan
(Peraturan Menteri Kesehatan nomor
2 tahun 2020 Standar Antropometri Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < -2
Anak) SD
Gizi Normal -2 SD sampai dengan +2
SD
> +2 SD
Gizi Lebih

48
Petunjuk pengisian:
Isilah tanda ceklist (√) yang sesuai jawaban atau pemeriksaan balita. No. Kode :
.................................
B. Kelengkapan imunisasi:

Vaksin Usia
Imunisasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Hepatitis
B
BCG
POLIO
DPT
HiB
CAMPAK

C. Faktor Lingkungan  Kosumsi Rokok :


Berapa jumlah angggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah anda ?

Anggota Keluarga Merokok Tidak Merokok


Ayah
Ibu
Anggota Keluarga Lain

Anggota Keluarga Lain

Anggota Keluarga Lain

Anggota Keluarga Lain

Anggota Keluarga Lain

Anggota Keluarga Lain

49

You might also like