You are on page 1of 35

REFERAT

*Kepanitraan Klinik Senior/ G1A221033 /Mei 2022


** Pembimbing : dr. Vivi Septriani, Sp.A

MULTI-DRUG TUBERKULOSIS

Oleh:
SITI HEDIATY, S.Ked
G1A221033

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
2022
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
MULTI-DRUG TUBERKULOSIS

Oleh:
SITI HEDIATY, S.Ked
G1A221033

Sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik senior


Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi
2022

Jambi, Mei 2022

Pembimbing,

dr. Vivi Septriani, Sp.A

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia– Nya, penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Multi Drug
Tuberkulosis” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Raden
Mattaher Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Vivi Septriani, Sp.A yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Jambi.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan
guna kesempurnaan laporan ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca.

Jambi, Mei 2022

Siti Hediaty, S.Ked

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................................i


KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
BAB II ........................................................................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 2
DEFINISI ................................................................................................................................... 2
KLASIFIKASI ........................................................................................................................... 2
EPIDEMIOLOGI ....................................................................................................................... 3
PATOGENESIS ......................................................................................................................... 4
DIAGNOSIS .............................................................................................................................. 7
PEMERIKSAAN PENUNJANG............................................................................................. 10
BAB III .................................................................................................................................... 29
KESIMPULAN ........................................................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 30

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 12 juta penduduk di


dunia telah terinfeksi tuberculosis (TB) dengan sekitar 650.000 kasus multidrug –
resistant tuberculosis (MDR – TB). Tuberculosis pada anak diperkirakan mencapai
10 – 15% seluruh pasien TB. Kasus MDR – TB anak yang tertinggi dilaporkan
berasal dari beberapa negara berpendapatan rendah. Dibeberapa wilayah insidens
MDR – TB meningkat cepat 3 kali lipat, misalnya dari 2,3% menjadi 7,3% di
Western Cape, Afrika Selatan, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. 1
Kasus MDR – TB pada anak sering tidak terdiagnosis. Data tentang MDR –
TB pada anak yang masih terbatas menunjukkan fakta bahwa biakan Mycobacterium
tuberculosis (M.tb) dan uji sensitivitas obat masih jarang dikerjakan, karena sulit
mendapatkan spesimen yang representative dan jumlah kuman M.tb yang sedikit.
Pemeriksaan sputum dan biakan kuman M.tb direkomendasikan untuk memantau
respons pengobatan. Moksifloksasin memiliki aktivitas bakterisidal terhadap M.tb,
sehingga digunakan dalam pengobatan MDR – TB atau pasien intoleransi terhadap
OAT. Linezolid dapat digunakan dalam pengobatan MDR – TB tetapi efikasinya
belum jelas. Tinjauan Pustaka ini membahas tentang pengobatan MDR – TB pada
anak.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Tuberkulosis Multi drug (TB – MDR) adalah infeksi kuman M.tb yang
resisten terhadap rifampisin dan isoniazid dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT
lain. Mycobacterium tuberculosis dikatakan resisten jika 1% atau lebih kuman dalam
suatu populasi resisten terhadap obat pada kadar yang dianjurkan.1
Beberapa definisi yang perlu diperhatikan adalah: 2
- MDR-TB terkonfirmasi: ditemukan mikroorganisme MDR-TB dari anak
- Probable MDR-TB: Gejala/tanda dan/atau radiologi yang konsisten dengan
penyakit TB pada anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan MDR-TB
menular (>80% kesesuaian antara pola drug Susceptibility Testing (DST) pada anak
yang sakit dan kemungkinan sumber kasus)
- Possible MDR-TB: Anak tidak membaik setelah 2-3 bulan pengobatan lini pertama
(dengan konfirmasi kepatuhan pengobatan dan mengesampingkan kemungkinan
diagnosis alternatif) Atau Kontak dekat dengan pasien yang: meninggal karena TB;
pengobatan TB yang gagal atau merupakan kasus pengobatan TB kembali.

KLASIFIKASI
Resistensi terhadap OAT secara umum dibagi menjadi : 1,4,5
1. Resistensi primer adalah resistensi pada pasien yang sebelumnya tidak pernah
mendapatkan pengobatan OAT atau telah mendapatkan pengobatan OAT kurang
dari satu bulan.
2. Resistensi inisial adalah apabila resistensi pada pasien yang riwayat pengobatan
OAT sebelumnya tidak diketahui pasti.
3. Resistensi sekunder adalah resistensi pada pasien yang telah memiliki riwayat
pengobatan OAT minimal 1 bulan.

Resistensi M.tb terhadap OAT secara khusus dibagi menjadi 5 kategori yaitu :1,3
1. Mono – resistance adalah resistensi terhadap salah satu OAT
2. Poly – resistance adalah resistensi terhadap lebih dari satu OAT selain kombinasi
isoniazid dan rifampisin.

2
3. Multidrug – resistance (MDR) adalah resistensi sedikitnya terhadap isoniazid dan
rifampisin.
4. Extensive drug – resistance (XDR) adalah TB – MDR disertai resistansi terhadap
salah satu obat golongan fluorokuionolon dan sedikitnya salah satu OAT injeksi
lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
5. Total drug resistance (TDR) adalah resistensi baik terhadap OAT lini pertama
maupun lini kedua. Tidak ada lagi obat yang bisa dipakai pada kondisi ini.

Rifampisin dan isoniazid merupakan dua obat yang sangat penting pada
pengobatan TB dengan strategi Directly Observed Treatment Short – Course (DOTS).
Jika isoniazid dan rifampisin sudah tidak sensitive lagi maka angka kesembuhan akan
menurun, lama terapi menjadi lebih dari dua kali lipat dan kemungkinan toksisitas
obat meningkat.1

EPIDEMIOLOGI
WHO memperkirakan terdapat 650.000 kasus MDR-TB di dunia pada tahun
2012: 3,7% kasus MDR-TB berasal dari kelompok penduduk yang baru terdiagnosis
TB dan sekitar 20% kasus MDR-TB berasal dari kelompok yang sebelumnya sudah
pernah mendapat pengobatan TB. WHO juga melaporkan pada tahun 2012 jumlah
penderita TB di Indonesia terbanyak nomor 4 di dunia dengan perkiraan 450.000
kasus TB baru setiap tahunnya. Laporan WHO tahun 2013 mendapatkan 622 kasus
dicurigai MDR-TB (41 kasus TB baru, 557 kasus TB kambuh) di Indonesia selama
tahun 2012. Sekitar 1,4% kasus TB baru di Indonesia adalah kasus MDR-TB,
sedangkan untuk kasus Tb kambuh sebanyak 29% adalah kasus MDR-TB. Indonesia
berada di peringkat ke-9 dari 27 negara dengan beban MDR-TB terbanyak di dunia .1
Data prevalensi MDR – TB pada anak masih terbatas. Pada tahun 2005 – 2007
di Cape Town, Afrika Selatan, prevalensi MDR – TB pada anak 6,7% meningkat
dibandingkan data satu decade sebelumnya, yaitu sekitar 2,3%. Penelitian Fairlie,
dkk. Menunjukkan prevalensi MDR – TB pada 148 pasien TB paru anak di Cape
Town adalah 8,8%
Prevalensi MDR – TB pada anak sulit ditentukan karena biakan kuman M.tb dan
uji kepekaan obat tidak rutin dilakukan di daerah dengan prevalensi tinggi. Data saat
ini menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi MDR – TB pada anak.

3
Kasus MDR – TB pada anak sering merupakan MDR – TB primer berarti ditularkan
dari orang dewasa.1

PATOGENESIS6
Paru merupakan port d'entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam
percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 m) akan terhirup dan
dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunolagis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons
imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya
dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman,
makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan.
Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus
berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus
primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung sclama 4-8 minggu.
Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah
103-101, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang
dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji

4
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB
baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular
spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kaisifikasi setelah
terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian
tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga
di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus
dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-
valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas sclular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar
secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu
kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.
5
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (foccult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering
di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang
di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman
di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan
proses patolagiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di
kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan
setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi
kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam
mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di
bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah
dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan
beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat
dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.

6
Gambar 1. Patogenesis Terjadinya TB
DIAGNOSIS
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam diagnosis MDR-TB pada anak
adalah:7
- Diagnosis TB-MDR pada anak sebagian besar dibuat berdasarkan klinis dan
radiologis dengan mempertimbangkan faktor risiko TB-MDR (misalnya, paparan
TB-MDR baru-baru ini)
- Konfirmasi bakteriologis harus dicoba, tetapi seringkali tidak mungkin karena
penyakit paucibacillary atau penyakit ekstrapulmoner (EP).
- Hasil bakteriologis seringkali negatif bahkan jika anak menderita TB (sputum
smear menghasilkan <15%, Xpert MTB/RIF atau biakan pada ~40%)
- Pengambilan sampel saluran napas yang baik sulit dilakukan pada anak kecil, tetapi
anak berusia >5 tahun biasanya dapat mengeluarkan dahak. Pada anak-anak yang
lebih kecil, aspirasi / lavage lambung atau sputum yang diinduksi dapat dilakukan
- Tes lain untuk mendiagnosis EP-TB harus dilakukan sesuai kebutuhan

7
Gejala Tuberkulosis Pada Anak
Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai
organ tcrkait. Gejala umum TB pada anak yang sering dijumpai adalah batuk
persisten, berat badan turun atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan tidak aktif.
Gejala-gejala tersebut sering diangap tidak khas karena juga dijumpai pada penyakit
lain. Namun demikian, sebenarnya gejala TB bersifat khas, yaitu menetap (lebih dari
2 minggu) walaupun sudah diberikan terapi yang adekuat (misalnya antibiotika atau
anti malaria untuk demam, antibiotika atau obat asma untuk batuk lama, dan
pemberian nutrisi yang adekuat untuk masalah berat badan). 6

1. Gejala Sistemik/Umum6
a. Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal
tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik
dalam waktu 1-2 bulan.
b. Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lainlain). Demam umumnya tidak
tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila
tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama 2 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotika atau obat asma (sesuai indikasi).
d. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain
Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat

2. Gejala Spesifik Terkait Organ6


Pada TB ckstra paru dapat dijumpai gcjala dan tanda klinis yang khas pada organ
yang terkena.
a. Tuberkulosis kelenjar
- Biasanya di daerah leher (regio colli)
- Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidak nyeri, konsistensi kenyal, multiple
dan kadang saling melekat (konfluens).
- Ukuran besar (lebih dari 2x2 cm), biasanya pembesaran KGB terlihat jelas bukan
hanya teraba.

8
- Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika
- Bisa terbentuk rongga dan discharge
b. Tuberkulosis sistem saraf pusat
- Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
- Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang
c. Tuberkulosis sistem skeletal
- Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
- Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di
daerah panggul.
- Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.
- Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
d. Tuberkulosis mata
- Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenulans)
- Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
e. Tuberkulosis kulit (skrofuloderma)
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).
f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal: dicurigai
bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas
dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

Diagnosis TB resisten Obat Pada Anak


Diagnosis TB RO harus dipikirkan pada anak yang mempunyai gejala TB disertai
dengan kondisi berikut : riwayat pengobatan TB 6 – 12 bulan sebelumnya, tidak ada
perbaikan setelah pengobatan TB lini pertama selama 2 – 3 bulan, kontak dengan
pasien TB RO, kontak dengan pasien TB yang meninggal saat pengobatan TB atau
pengobatan TB yang gagal.6

9
Gambar 2. Alur Diagnosis TB Resisten Obat

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan bakteriologis6
Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk menentukan
diagnosis TB, baik pada anak maupun dewasa. Pemeriksaan sputum pada anak
terutama dilakukan pada anak berusia lebih dari 5 tahun, HIV positif, dan gambaran
kelainan paru luas.

10
Namun demikian, karena kesulitan pengambilan sputum pada anak dan sifat
pausibasiler pada TB anak, pemeriksaan bakteriologis selama ini tidak dilakukan
secara rutin pada anak yang dicurigai sakit TB. Dengan semakin meningkatnya kasus
TB resistan obat dan TB HIV, saat ini pemeriksaan bakteriologis pada anak
merupakan pemeriksaan yang seharusnya dilakukan, terutama di fasilitas pelayanan
kesehatan yang mempunyai fasilitas pengambilan sputum dan pemeriksaan
bakteriologis. Cara mendapatkan sputum pada anak :
a. Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun biasanya sudah dapat mengeluarkan sputum/dahak
secara langsung dengan berdahak.
b. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (nasogastric tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak
dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan specimen dikumpulkan minimal 2 hari
berturut – turut pada pagi hari.
c. Induksi sputum
Induksi sputum relative aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur,
dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan
lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan
pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melakukan metode ini.

Beberapa pemeriksaan bakteriologis untuk TB :


a. Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau specimen lain (cairan tubuh
atau jaringan biopsy)
Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2 kali yaitu sewaktu dan
pagi hari.
b. Tes cepat molekuler (TCM) TB
1. Saat ini beberapa teknologi baru telah dikembangkan untuk dapat
mengidentifikasi kuman Mycobacterium tuberculosis dalam waktu yang cepat
(kurang lebih 2 jam), antara lain pemeriksaan Line Probe Assay (misalnya Hain
GenoType) dan NAAT – Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert
MTB/RIF)
2. Pemeriksaan TCM dapat digunakan untuk mendeteksi kuman Mycobacterium
tuberculosis secara molecular sekaligus menentukan ada tidaknya resistensi terhadap
Rifampicin. Pemeriksaan TCM mempunyai nilai diagnostic yang lebih baik dari pada
11
pemeriksaan mikroskopis sputum, tetapi masih di bawah uji biakan. Hasil negative
TCM tidak menyingkirkan diagnosis TB.
c. Pemeriksaan biakan
Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu
kuman Mycobacterium Tuberculosis pada pemeriksaan biakan (dari sputum, bilas
lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsy jaringan). Pemeriksaan
biakan sputum dan uji kepekaan obat dilakukan jika fasilitas tersedia. Jenis media
untuk pemeriksaan biakan yaitu :
1) Media padat : hasil biakan dapat diketahui 4 – 8 minggu
2) Media cair : hasil biakan bisa diketahui lebih cepat (1 – 2 minggu), tetapi lebih
mahal.

2. Uji Tuberkulin6
1. Uji tuberkulin bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak,
khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas. Uji tuberculin tidak bisa
membedakan antara infeksi dan sakit TB. Hasil positif uji tuberculin menunjukkan
adanya infeksi dan tidak menunjukkan ada tidaknya sakit TB. Sebaliknya, hasil
negatif uji tuberculin belum tentu menyingkirkan diagnosis TB.
2. Pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya infeksi TB adalah dengan
Imunoglobulin Release Assay (IGRA). IGRA tidak dapat membedakan antara infeksi
TB laten dengan TB aktif. Penggunaannya untuk deteksi infeksi TB tidak lebih
unggul dibandingkan uji tuberkulin. Program nasional belum merekomendasikan
penggunaan IGRA di lapangan.

3. Foto Toraks6
Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis TB
pada anak. Namun, gambaran foto toraks pada TB tidak khas kecuali gambaran TB
milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai
berikut :
1. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrate
2. Konsolidasi segmental/lobar
3. Efusi pleura
4. Milier
5. Atelectasis
12
6. Kavitas
7. Kalsifikasi dengan infiltrate
8. Tuberkuloma
4. Pemeriksaan Histopatologi (PA/Patologi Anatomi)6
Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan
di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman
TB.

TATALAKSANA
Pemantauan Kemajuan Pengobatan6,8
Selama menjalani pengobatan, pasien TB RO harus dipantau gejala klinis,
kepatuhan minum obat, berat badan, efek samping dan pemeriksaan penunjang.
Pemanatauan yang dilakukan adalah :
- Setiap bulan harus dilakukan pemeriksaan apusan dan biakan dahak pada tahap
awal dan setiap 2 bulan sekali pada tahap lanjutan. Konversi apusan dahak dan
biakan merupaka indikator utama untuk menilai kemjuan pengobatan. Definisi
terjadinya konversi adalah jika pemeriksaan biakan 3 (tiga) kali berurutan
menunjukkan hasil negatif.
- Pemantauan terhadap munculnya efek samping obat dilakukan setiap hari oleh
PMO selama mendampingi pasien menelan obat.
- Pemantauan berat badan dan keluhan atau gejalan klinis, dilakukan setiap bulan
oleh dokter di fasyankes TB MDR.
- Foto toraks dilakukan setiap 6 bulan atau bila terjadi komplikasi (batuk darah
massif, kecurigaan pneumotoraks, dll)
- Pemeriksaan kadar elektrolit dan ureum kreatinin dilakukan setiap bulan selama
mendapat obat suntikkan.
- Pemeriksaan thyroid stimulating hormone (TSH) dilakukan pada bulan ke 6
pengobatan dan diulangi setiap 6 bulan atau bila muncul gejL hipotiroidisme.
- Pemeriksaan enzim hati (SGOT, SGPT) dilakukan setiap 3 bulan atau bila timbul
gejala hepatitis imbas obat.
- Apabila pasien muntah akibat pemberian ethionamide dan PAS, maka dosis obat
tesebut diberikan dalam dosis rendah dan ditingkatkan dalam 1 – 2 minggu sampai
mencapai dosis yang dianjurkan dengan dosis terbagi. Dosis tunggal diberikan
kembali bila tidak ada muntah lagi.
13
- Kepatuhan minum obat merupakan hal yang penting karena banyaknya obat yang
diminum, rasanya tidak enak, dapat menyebabkan mual muntah dan efek samping
yang berat.
- Pemantauan efek samping obat. Pemberian OAT lini ke 2 lebih sering
menimbulkan efek samping dibandingkan dengan OAT lini 1. Efek samping yang
paling sering adalah mual dan muntah. Efek samping dan tatalaksana obat lini 2
secara lengkap dapat dilihat pada tabel 1 berikut :

Tabel 1. Tatalaksana Efek Samping OAT

14
Anak-anak dengan MDR-TB diperlakukan dengan cara yang sama dengan
orang dewasa dengan MDR-TB. Satu perbedaan praktis adalah bahwa konfirmasi
dan DST mungkin tidak memungkinkan, sehingga pengobatan empiris sering
diperlukan untuk anak dengan suspek MDR-TB. Meskipun data hasil pada anak-
anak terbatas, bukti yang ada menunjukkan bahwa hasil setidaknya sebaik yang
dilaporkan pada orang dewasa dapat dicapai.9

Prinsip-prinsip yang harus dipatuhi dalam tatalaksana berikut:9


- Jangan pernah menambahkan satu obat pun ke terapi yang gagal; ini dapat
menyebabkan penguatan resistensi.
- Semua pengobatan harus diberikan setiap hari dan di bawah pengawasan langsung.
- Rawat anak sesuai dengan hasil DST dari kasus sumber yang mungkin, kecuali
kultur M. tuberculosis dan hasil DST tersedia dari anak.
- Lakukan DST lini kedua pada semua kasus TB-MDR untuk menyingkirkan
resistensi terhadap fluorokuinolon dan/atau suntikan lini kedua, karena ini mungkin
memerlukan obat tambahan di awal terapi.
- Berikan setidaknya tiga (hanya pada penyakit primer awal) atau lebih disukai empat
obat pada pasien atau kasusnya berat.
15
- Pengasuh membutuhkan konseling dan dukungan pada setiap kunjungan follow up
mengenai efek samping, durasi pengobatan dan pentingnya kepatuhan. Selain itu,
penilaian anak berikut harus dilakukan minimal:
• Penilaian gejala;
• Penilaian kepatuhan pengobatan;
• Pertanyaan tentang setiap efek samping; dan
• Pengukuran berat badan.
- Dosis obat harus disesuaikan dengan kenaikan berat badan
- Respon klinis, radiografi dan kultur terhadap pengobatan harus dipantau.
Pemeriksaan mikroskopis dan kultur apusan bulanan harus dilakukan sampai
dipastikan negatif pada tiga kesempatan berturut-turut; setelah itu, kultur follow up
dapat dilakukan setiap 2-3 bulan.
- Pemantauan klinis untuk efek samping harus dilakukan pada setiap kunjungan.
Sementara salah satu obat yang dijelaskan dalam Tabel 2 dapat digunakan dalam
pengobatan anak-anak dengan MDR-TB, data keamanan pada anak-anak saat ini
hanya ada untuk fluoroquinolones, sehingga rekomendasi WHO tentang
pengobatan MDR-TB pada anak-anak hanya membahas penggunaan dari
fluorokuinolon. Perlu adanya data keamanan obat lain yang digunakan untuk
pengobatan anak dengan MDR-TB.

Penegakan Terapi Pengobatan untuk MDR-TB


Terapi pengobatan untuk anak dengan MDR-TB mengikuti prinsip yang
sama seperti pada orang dewasa. Dengan penyakit paru yang luas atau penyakit
ekstrapulmonal diseminata, minimal empat sampai enam obat harus dimasukkan
dalam terapi, sebagaimana diuraikan dalam perkembangan berikut :9
- Gunakan obat oral lini pertama Grup 1 (lihat Tabel 2) yang memiliki keberhasilan
tertentu, atau hampir pasti, misalnya, obat yang menunjukkan kerentanan terhadap
DST. Obat ini harus diberikan selama terapi.
- Tambahkan satu agen injeksi Grup 2 berdasarkan hasil DST dan riwayat
pengobatan. Agen ini biasanya diberikan selama minimal 6 bulan dan selama 4
bulan setelah konversi kultur. Sebaiknya, harus aminoglikosida seperti amikasin.
Jangan gunakan streptomisin (kecuali obat Grup 2 lainnya tidak tersedia) karena
tingkat resistensi yang tinggi dan insiden ototoksisitas yang lebih tinggi.

16
- Tambahkan satu fluoroquinolone Grup 3 berdasarkan hasil DST dan riwayat
pengobatan, selama terapi. Levofloxacin dan moksifloksasin lebih disukai daripada
ofloksasin. Perhatikan bahwa ciprofloxacin tidak dianjurkan.
- Obat oral lini kedua kelompok 4 harus ditambahkan selama terapi, sampai
setidaknya ada empat obat dalam terapi yang kemungkinan rentan terhadap
mikroorganisme. Obat kelompok 4 harus dipilih berdasarkan riwayat pengobatan,
profil efek samping dan biaya. DST tidak distandarisasi untuk obat kelompok 4.
- Jika terapi empat obat yang efektif tidak dapat dibuat dari kelompok 1-4,
pertimbangkan untuk menambahkan, dengan berkonsultasi dengan ahli MDR-TB,
setidaknya dua obat lini ketiga kelompok 5. DST tidak distandarisasi untuk obat
kelompok 5.

Kelompok obat yang digunakan untuk mengobati TB yang resistan terhadap obat
dirangkum dalam Tabel 2.
Tabel 2. Ringkasan kelompok obat yang digunakan untuk mengobati TB yang
resistan terhadap obat.

17
Catatan :9
- Pada anak-anak, dosis semua obat, termasuk fluoroquinolones, harus berada lebih
tinggi dari kisaran yang direkomendasikan sedapat mungkin, kecuali etambutol.
Etambutol harus diberi dosis 15 mg/kg, dan bukan 25 mg/kg seperti yang kadang-
kadang digunakan pada orang dewasa dengan DR-TB, karena pemantauan neuritis
optik lebih sulit pada anak-anak.
- DST mungkin tidak dapat diandalkan – gunakan obat tambahan jika DST tidak
dilakukan atau hasilnya rentan.
- Pilih satu obat di masing-masing kelompok ini; amikasin lebih disukai daripada
kanamisin pada anak-anak. Injeksi amikasin intramuskular sangat menyakitkan -
infus intravena lebih disukai.
- Pilih satu atau lebih obat ini untuk membuat total empat obat baru
- PAS (termasuk PAS Na) diberikan dalam media asam (misalnya yoghurt atau jus
jeruk) untuk meningkatkan penyerapan.
- Pertimbangkan penggunaan obat ini jika ada obat yang tidak mencukupi dalam
kelompok lain untuk terapi yang dapat diterima. Setiap obat dianggap hanya
setengah obat - oleh karena itu dua obat dalam kelompok ini dihitung sebagai satu
obat tambahan.
- Pada orang dewasa, isoniazid dosis tinggi didefinisikan sebagai 16-20 mg/kg per
hari.
- Dosis linezolid untuk TB tidak pasti, tetapi dosis yang lebih rendah (300 mg dua
kali sehari atau bahkan 300 mg setiap hari pada orang dewasa) menyebabkan lebih
sedikit efek samping dan tampaknya masih efektif.
- Thioacetazone tidak boleh digunakan pada orang yang hidup dengan HIV karena
risiko serius reaksi merugikan yang mengancam jiwa.
Terapi yang direkomendasikan untuk mengobati MDR-TB pada anak telah
mengalami beberapa perubahan mendasar dalam lima tahun terakhir (Tabel 3).
Ketika merancang terapi untuk pengobatan MDR-TB pada anak atau remaja,
keputusan harus dipandu oleh DST pada isolat dari anak/remaja, atau, jika
didiagnosis secara klinis, dengan pola resistensi dari sumber kasus sumber. Riwayat
pengobatan anak dan sumber kasus harus dimasukkan untuk mengevaluasi
efektivitas obat ketika DST tidak tersedia atau tidak dapat diandalkan. Pada tahun
2019, WHO menyusun ulang obat anti TB yang tersedia (Tabel 1) dan memberikan
panduan tentang pembuatan terapi MDR-TB. Mereka juga menganjurkan terapi oral
18
sepenuhnya untuk digunakan, dengan obat suntik hanya digunakan di mana pilihan
lain tidak tersedia atau habis. Jika obat suntik akan digunakan, maka amikasin lebih
disukai karena kanamisin dan kapreomisin tidak lagi direkomendasikan oleh WHO;
obat suntik hanya boleh digunakan jika disertai dengan pemantauan gangguan
pendengaran. Ketiga agen Grup A (dianggap sangat efektif dan sangat dianjurkan
kecuali dikontraindikasikan) dan setidaknya satu agen Grup B (disarankan secara
kondisional sebagai agen pilihan kedua) harus dimasukkan untuk memastikan bahwa
pengobatan dimulai dengan setidaknya empat agen TB yang mungkin efektif. Jika
hanya satu atau dua agen Grup A yang digunakan, kedua agen Grup B harus
disertakan. Jika terapi tidak dapat dibuat dengan menggunakan agen dari grup A dan
B saja, agen Grup C ditambahkan. Data penggunaan bedaquiline pada anak di bawah
6 tahun dan penggunaan delamanid pada anak di bawah 3 tahun masih kurang. 10
Meskipun durasi pengobatan yang direkomendasikan WHO adalah 18-20
bulan, WHO menyarankan bahwa pada anak-anak di bawah 15 tahun dengan
penyakit yang kurang parah, durasi pengobatan bisa lebih pendek, hanya 9 bulan.
Meskipun delamanid dan bedaquiline sering direkomendasikan hanya untuk enam
bulan, mengingat uji coba asli menggunakan durasi pengobatan tersebut, tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa terapi yang lebih lama berbahaya dan, pada banyak
pasien, durasi yang lebih lama diperlukan.10

Tabel 3. Unsur - unsur untuk dipertimbangkan dalam mengelola MDR/XDR-TB


pada anak.10
Unsur - unsur untuk dipertimbangkan dalam mengelola MDR/XDR-TB pada anak
Penatalaksanaan penyakit MDR-TB
- Gunakan semua terapi oral pada sebagian besar pasien yang mencakup ketiga agen
Grup A dan setidaknya satu agen Grup B, sehingga setidaknya empat obat yang
mungkin efektif disertakan pada awal pengobatan. Jika hanya satu atau dua agen
Grup A yang digunakan, kedua agen Grup B harus dimasukkan dalam terapi. Agen
kelompok C harus digunakan ketika terapi yang efektif (empat kemungkinan agen
efektif) tidak dapat dirancang dengan obat kelompok A dan B.
- Prioritaskan obat golongan A dan B serta delamanid pada anak di atas 3 tahun.

19
- Direkomendasikan pendekatan tim dalam manajemen klinis anak-anak dan remaja
yang sulit diobati (TB Consilium atau ptbnet) untuk mendapatkan manfaat dari
saran rekan-rekan yang berpengalaman.
- Pantau dengan cermat untuk respon pengobatan dan efek samping obat.
- Ikuti rekomendasi WHO terbaru tentang penanganan pasien MDRTB anak
koinfeksi HIV.

Tabel 4. Pengelompokan obat yang direkomendasikan untuk digunakan dalam


rejimen MDR-TB10

20
Prinsip-prinsip dalam pembuatan terapi MDR-TB untuk anak-anak7

Gambar 3. Menguraikan pendekatan yang mungkin untuk terapi berdasarkan


kelompok usia yang berbeda dan ada atau tidak adanya resistensi fluorokuinolon.

Terapi yang diusulkan ini mencerminkan realitas terapi pada anak-anak. Dalam
gambar ini, obat tambahan disarankan, berdasarkan praktik klinis dan dapat

21
ditambahkan untuk memperkuat terapi (dalam kasus penyakit parah) atau dapat
digunakan sebagai pengganti jika ada toksisitas atau intoleransi terhadap obat lain.

Dosis Berdasarkan Berat Badan pada Anak7


Kelompok Obat A
Tabel dosis berikut dimaksudkan untuk membantu pengobatan optimal anak-
anak dengan MDR-TB. Rentang dosis didasarkan pada data farmakokinetik terbaru
yang tersedia. Namun, penting untuk disadari bahwa rekomendasi dosis dapat
berubah dengan cepat saat studi tambahan selesai, dan rekomendasi ini dapat berubah.
Dosis berdasarkan berat badan bertepatan dengan apa yang direkomendasikan oleh
WHO dalam panduan MDR-TB 2018 mereka. Namun, beberapa berdasarkan berat
badan berbeda dan WHO memulai berat badan mereka pada 5kg.
Tabel 5. Levofloksasin

22
Tabel 6. Moxifloxacin

Tabel 7. Linezolid

23
Tabel 8. Bedaquiline

24
Kelompok Obat B
Tabel 9. Clofazimine

Tabel 10. Cycloserine

Kelompok Obat C
Tabel 11. Delamanid

25
Tabel 12. Etambutol

Tabel 13. Pirazinamid

26
Tabel 14. Etionamide

Tabel 15. PAS

27
Tabel 16. Meropenem

Tabel 17. Amikacin

Tabel 18. Isoniazid

28
BAB III
KESIMPULAN
Tuberkulosis Multi drug (TB – MDR) adalah infeksi kuman M.tb yang
resisten terhadap rifampisin dan isoniazid dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT
lain.
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam diagnosis MDR-TB pada anak adalah:
- Diagnosis TB-MDR pada anak sebagian besar dibuat berdasarkan klinis dan
radiologis.
- Konfirmasi bakteriologis
- Hasil bakteriologis seringkali negatif bahkan jika anak menderita TB (sputum
smear menghasilkan <15%, Xpert MTB/RIF atau biakan pada ~40%)
- Pengambilan sampel saluran napas yang baik sulit dilakukan pada anak kecil, tetapi
anak berusia >5 tahun biasanya dapat mengeluarkan dahak. Pada anak-anak yang
lebih kecil, aspirasi / lavage lambung atau sputum yang diinduksi dapat dilakukan.
- Tes lain untuk mendiagnosis EP-TB harus dilakukan sesuai kebutuhan.

Terapi pengobatan untuk anak dengan MDR-TB mengikuti prinsip yang sama
seperti pada orang dewasa. Dengan penyakit paru yang luas atau penyakit
ekstrapulmonal diseminata, minimal empat sampai enam obat harus dimasukkan
dalam terapi

29
DAFTAR PUSTAKA
1. Yahya, Wiendo Syah Putra. Agustin, Heidy. Yunus, Faisal. Setyanto,
Darmawan B. Tatalaksana Tuberkulosis Resistensi Ganda (MDR – TB) Pada
Anak. CKD – 240, Vol 43 No 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2016.
2. Furin, Jennifer. Seddon, James. Beccera, Mercedes. Management of Drug
Resistant Tuberculosis in Children : A Field Guide. Fourth Edition. Boston,
USA : The Sentinel Project for Pediatric Drug – Resistant Tuberculosis. 2019.
URL :
http://sentinel-project.org/wp content/uploads/2019/02/Updated_DRTB-
Field-Guide-2019-V3.pdf
3. Bolhuis MS, Altena RV, Soolinger DV, Lange WCM, Uges DRA, Kosterik
JGW, et al. Clarithromycin increases linezolid exposure in multidrug –
resistant tuberculosis patients. Eur Respir J. 2013;42:1614 – 21
4. Aditama TY. MOTT dan MDR. J Respir Indo. 2004;24:157 – 9
5. Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Sugiri YJ, Nawas A, et al.
In : Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Yunus F, Sembiring H,
editors. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta : PDPI;2011.p20 – 50.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen
dan Tatalaksana TB Anak. Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Jakarta. 2016
7. Furin, Jennifer. Seddon, James. Becerra, Mercedes. Management of Drug
Resistant Tuberculosis in Children : A Field Guide. Fourth Edition. Boston,
USA : The Sentinel Project for Pediatric Drug – Resistant Tuberkulosis. 2019
8. Rumende, CM. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Resistan Obat.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI – RSCM. 2018
9. World Health Organization. Guidance for National Tuberculosis Programmes
on the Management of Tuberculosis in Children. Second Edition. World
Health Organization. 2014. URL :
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/112360/9789241548748_en
g.pdf

30
10. World Health Organization. Multidrug – Resistant Tuberculosis in Children
and Adolescents in The WHO European Region. WHO Regional Office for
Europe. 2019. URL :
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/329395/9789289054447-
eng.pdf

31

You might also like