You are on page 1of 16

View metadata, citation and similar papers at core.ac.

uk brought to you by CORE


provided by Jurnal Sejarah Lontar

SEJARAH PERKEMBANGAN DESA


BUGIS - MAKASSAR SULAWESI
SELATAN
Oleh: Muhammad Zid dan Sofjan Sjaf
Dosen Jurusan Geografi FIS UNJ

Latar Belakang pemberontakan Darul Islam/Tentara


Kesejahteraan merupakan cita-cita Islam Indonesia dibawah pimpinan
seluruh rakyat Indonesia sebagaimana Kahar Muzakar sejatinya merupakan
yang diamanatkan pembukaan reaksi ketidakpuasan rakyat terhadap
Undang-Undang Dasar 1945. hak-hak mereka untuk bisa hidup lebih
Persoalannya adalah bahwa untuk baik (baca: sejahtera).
mewujudkan kesejahteraan Tulisan ini mencoba menyikapi
memerlukan upaya keras semua pihak tiga hal. Pertama, bagaimana
terkait. Salah satu permasalahan yang berlangsungnya pertarungan antar elit
dihadapi bangsa Indonesia adalah Bugis dan Makassar. Kedua, migrasi
bagaimana kesejahteraan bisa dirasakan keluar Sulawesi Selatan sebagai bentuk
secara merata oleh berbagai lapisan “protes” dan “respon” terhadap
masyarakat di seluruh Indonesia. kegagalan pemerintah Sulawesi Selatan
Setiap daerah memiliki cara dan permasalahan kesejahteraan pada aras
artikulasi untuk mewujudkan lokal, Ketiga, pemberontakan DI/TII
kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini sebagai manifestasi atas
tergantung kepada seberapa besar ketidakberhasilan atau kegagalan
usaha pemimpin di wilayah tersebut. negara mengelola keadilan untuk
Rezim kepemimpinan dan pemimpin kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya,
boleh datang silih berganti, satu hal yang kajian akan dibingkai melalui pemikiran
seharusnya menjadi fokus perhatian dan pergulatan menuju kesejahteraan,
pemimpin adalah bagaimana era khususnya dalam kerangka sejaraha
kepemimpinannya mampu Sosiologi Orang Bugis dan Makassar di
memberdayakan sekaligus Sulawesi Selatan.
mensejahterakan rakyat yang
dipimpinnya. Sejarah Orang Bugis dan
Sehubungan dengan Makassar:
permasalahan tersebut, pergulatan Perubahan Politik, Budaya dan
menuju kesejahteraan di Sulawesi Ekonomi di Sulawesi Selatan
Selatan sesungguhnya dapat ditelusuri Memahami dengan utuh
secara kultural-historis melalui kesejarahan orang Bugis dan Makassar
penelusuran beberapa kasus atau dapat dilihat dari dinamika perubahan
kejadian yang kontekstual sebagai politik, budaya dan ekonomi yang
tonggak-tonggak kesejarahan. Sebagai berlangsung sepanjang tiga periodisasi
ilustrasi bahwa munculnya gerakan penting di Sulawesi Selatan.
“Ratu Adil” yang terwujud dalam Sesungguhnya ketiga periodesasi ini

Jurnal Sejarah Lontar 38 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009


sangat terkait erat dengan kejadian yang dikemas dalam bentuk persaingan antar
terjadi di Indonesia, kemudian bangsawan dari berbagai kerajaan.
termanifestasi dalan lingkup lokal di Akibat dari perubahan ini adalah
daerah-daerah. Bagian ini, akan lahirnya sistem piramida feodal yang
mencoba menguraikan ketiga didasarkan atas hubungan kontraktual
periodisasi penting sebagaimana yang antarsesama kerajaan utama dengan
dimaksud. kerjaaan bawahan, dan hubungan
antarindividu (baca hubungan patron-
Pra Kolonial klien).
Era pra kolonial bisa ditelusuri Walau demikian, tak dapat
melalui naskah La Galigo (Pelras, 2006) dipungkiri bahwa hubungan struktural
yang banyak dijadikan acuan untuk seperti ini, telah membuka
mengkaji masyarakat dan budaya Bugis- kemungkinan terjadinya hubungan
Makassar. Meski demikian, naskah perkawinan antara kaum bangsawan
tersebut memiliki ciri khas epik yang dan kalangan biasa sehingga melahirkan
cenderung melebih-lebihkan dan berbagai lapisan kebangsawanan.
bersifat anakronis. Zaman La Galigo Konsekuensi lain adalah munculnya
merupakan periode keemasan yang konflik antar bangsawan untuk
berkaitan dengan ekspansi perdagangan menduduki berbagai jabatan politik yang
antarpulau dan internasional terus terjadi, serta konflik antara
menyebabkan lahirnya berbagai kerajaan besar untuk saling menguasai.
kerajaan, seperti: Luwu, Cina, Soppeng, Keadaan ini tetap bertahan dan
dan Suppa. Pada zaman tersebut, ada merupakan motif yang mendasari
kesan bahwa para penguasa dinasti perkembangan kehidupan berbagai
terkait satu sama lain melalui hubungan kerajaan dan politik di Sulawesi Selatan.
perkawinan dan persamaan ideologi Dalam periodesasi ini, kejadian
mengenai asal-usul mereka. menarik untuk dicermati pada kurun
Berkaitan dengan perubahan waktu 1600 sampai dengan 1669.
politik, budaya dan ekonomi pada Kurun waktu ini ditandai dengan proses
periodesasi ini dapat dicermati pada Islamisasi kerajaan besar di Sulawesi
abad 14 hingga abad 16. Abad ini Selatan serta pertarungan dua kerajaan
memberikan gambaran tentang besar yaitu Goa (Makassar) dan Bone
perubahan kehidupan sosial, politik, (Bugis) untuk menguasai semenanjung
ekonomi di kawasan Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan. Serangkaian
yang ditandai dengan pesatnya kemenangan panjang yang diperoleh
pertumbuhan penduduk, kerajaan Goa akhirnya dihentikan oleh
perkembangan teknologi budidaya padi, kerajaan Bone dengan bantuan Belanda.
dan perluasan wilayah berbagai kerajaan Periode ini juga merupakan awal
yang diikuti dengan pembukaan lahan dominasi armada pelayaran Bugis,
besar-besaran dan pembangunan Makassar, dan Mandar di perairan
banyak pemukiman baru. Proses Nusantara yang berlangsung dalam
peralihan menuju kondisi baru - yang jangka waktu yang lama.
mungkin mulai terjadi pada abad ke-14
– berlangsung tidak selamanya mulus, Kolonial
berlangsung tersendat-sendat, diwarnai Awal abad ke-16, pelabuhan
dengan konflik kepentingan yang Makassar telah mempertukarkan beras,

Jurnal Sejarah Lontar 39 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009


bahan makanan, emas dengan tekstil Kondisi perekonomian negeri
Gujarat, Benggali, dan Coromandel. Belanda semakin terpuruk akibat
Kapal-kapal dari Makassar berlayar ke perang dengan Inggris dan pendudukan
Jawa, Malaka, Kalimantan, dan Siam dan Perancis, padahal Belanda belum
semua tempat di antara Pahang dan berhasil menguasai sepenuhnya
Siam. Satu setemhag abad kemudian, Kepulauan Hindia-Belanda; sebagian
sebelum penaklukkan Belanda, besar masih berstatus “kerajaan
Makassar sudah berkembang menjadi sekutu” yang sewaktu-waktu bisa
satu mata rantai perdagangan regional membelot. Di sisi lain, Traktat London
rempah-rempah Maluku dan hasil laut memaksa Belanda untuk menerapkan
dan hutan. Makasar menjadi pelabuhan sistem perdagangan bebas serta
penting untuk mengapalkan berbagai melepaskan koloninya di Semenanjung
komoditas dari wilayah Timur Malaka dan harus mengakui kekuasaan
Kepulauan Indonesia. Komoditas Inggris di wilayah Melayu. Sebagai
penting seperti lilin, tempurung penyu, imbangannya, Inggris bersedia
budak belian, kayu cendana, diekspor ke melepaskan Hindia Belanda dan
berbagai negara melalui pelabuhan mengakui kekuasaan Belanda atas
Makassar. kepulauan tersebut.
Abad 17-18 Makassar sebagai kota Sesuai perjanjian, Pemerintah
pelabuhan penting bagi Pemerintahan Hindia Belanda harus menerapkan
Hindia Belanda mengalami dinamika “politik pintu terbuka” sejumlah
yang luar biasa dalam perdagangan pelabhannya agi bangsa asing. Tetapi
dengan negara-negara lain. Makassar “politik pintu terbuka” mengalami
berkembang menjadi kota yang multi kegagalan. Kegagalan tersebut
etnis dengan etnis utama Makassar, diakibatkan oleh tujuh faktor. Pertama,
Bugis, Cina, Melayu atau peranakan pajak yang diberlakukan terlalu tinggi.
yang kesemuanya memainkan peranan Kedua, adanya larangan perdagangan
vital dalam sejarah Makassar, dan senjata. Padahal senjata sangat
interaksi di antara mereka menciptakan diperlukan oleh kerajaan lokal, pedagang
identitasnya. dan pelaut. Ketiga, adanya monopoli
Abad ke-19 perdagangan Makasar atas sejumlah komoditas yang diminta
mengalami kemajuan dan kegairahan penduduk seperti candu dan minuman
sebagai pengaruh tidak langsung dari keras. Keempat, diterapkannya alat
Inggris yang memberlakukan pembayaran berupa mata uang
perdagangan bebas. Sistem tembaga dan kertas. Kelima,
perdagangan bebas menguntungkan pemerintah terlalu memusatkan diri
para pelayar dan pedagang dari pada komoditas yang laku di Eropa dan
Makassar, Bugis, Mandar, Selayar, dan tidak memperhatikan mata dagangan
Buton. Sebaliknya, Pemerintah Hindia penduduk yang laris di Cina, seperti
Belanda memandang Inggris sebagai berbagai hasil laut, sarang burung, kayu
ancaman, namun tidak berdaya cendana. Keenam, kemerosotan
membendung pengaruh Inggris karena perdagangan yang pada gilirannya
Inggris lebih unggul dalam hal armada memudarkan semangat untuk
perdagangan maritim dang menguasai mengembangkan modal. Ketujuh,
perdagangan di Asia Tenggara dan Asia monopoli yang berlebihan atas
Timur. komoditas produksi penduduk.

Jurnal Sejarah Lontar 40 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009


Pentingnya pelabuhan Makasar pemerintahan Indonesia,
mulai tergeser oleh kota Pelabuhan pemberontakan DI/TII dan rasionalisasi
Singapura yang dikuasai Inggris, sistem pemerintahan di Sulawesi
kalahnya pemerintah Hindia Belanda Selatan. Peristiwa pertama ditandai
bersaing dengan kongsi dagang Inggris dengan hadirnya berbagai
mendorong Pemerintah Hindia Belanda permasalahan pelik, seperti:
menempuh beragam cara untuk mempertahankan ketertiban
memperkuat ekonomi dan politiknya masyarakat, perjudian yang kian
melalui : Pertama, memperbanyak merajalela, dan perlawanan anti Belanda
pemilikan kapal melalui kontrak yang sering dikemas dengan
kerjasama dengan perusahaan mengatasnamakan Ratu Adil bersama
pelayaran. Kedua, memberi hak sekelompok kecil pengikutnya.
istimewa kepada perusahaan tertentu. Sesungguhnya peristiwa ini tidak
Ketiga, melancarkan ekspedisi militer berbeda jauh dengan apa yang
untuk menaklukkan kerajaan sekutu di dikhawatirkan oleh pemerintahan
Sulawesi selatan. Jelaslah bahwa Belanda dan Jepang saat menjajah
Pemerintah Hindia Belanda menata Sulawesi Selatan.
perdagangan Makasaar lebih Saat Belanda menguasai Sulawesi
berdasarkan pada prinsip-prinsip Selatan, adanya kekhawatiran
merkantilisme ketimbang ekonomi kampanye nasionalisme dan
liberal. terbentuknya cabang-cabang
Kesulitan lain dalam hal menguasai pergerakan politik dan keagamaan yang
Makassar-Bugis karena pengaruh berasal dari Jawa. Sejalan dengan itu,
agama Islam yang sudah sejak lama pada tahun 1918 di Makassar berdiri
dianut kerjaan-kerajaan di Sulawesi Partai Sarikat Islam (PSI) yang
selatan. Misalnya kerajaan Gowa-Tallo kemudian dirubah menjadi Partai
yang masuk Islam pada tahun 1605 dan Sarikat Islam Indonesia (PSII). PSII
membawa agama baru ini ke negara- merupakan partai nasionalis paling aktif
negara lainnya. Pengaruh Gowa-Tallo dengan lima cabang, ditambah cabang
sampai ke Sumbawa, Buton, dan hampir kepemudaan dan kepanduan. Ketika
seluruh Nusa Tenggara. Sistem PSII dilarang Belanda, anggotanya
interaksi yang terbuka dengan dunia pindah ke Partai Indonesia Raya, yang
luar dan didasarkan pada pelbagai kemudian juga menjadi partai terlarang.
jaringan ekonomi, persekutan politik dan Selain itu tumbuh Persatuan Selebes
keagamaan tidak mudah diambil alih Selatan dan Muhammadiyah yang lebih
oleh VOC yang memiliki tujuan dan bergerak dalam bidang pendidikan dan
pengetahuan lokal yang terbatas. pembaharuan sosial berdasarkan Islam.
Kondisi ini menyebabkan VOC banyak Para pemimpin Muhammadiyah
menjalin kerjasama dengan elit politik umumnya kaum nasionalis serta
dan pedagang loal. Salah satu dukungan anggotanya kelak berperan penting
politis utama Belandan datang dari Aru dalam perjuangan kemerdekaan
Palakka. Indonesia.
Seperti halnya dengan penguasaan
Pasca Kolonial Jepang, tidak banyak merubah struktur
Periodesasi ini ditandai dengan tiga pemerintahan peninggalan Belanda di
peristiwa penting, yakni kekhawatiran Sulawesi Selatan. Atau dengan kata lain,

Jurnal Sejarah Lontar 41 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009


tidak terjadi perubahan yang signifikan terjadi kesepakatan sementara, para
terhadap kondisi kehidupan masyarakat gerilyawan dilebur menjadi “Corps
di Sulawesi Selatan. Kondisi berbeda Tjadangan Nasional” (CTN) yang terdiri
setelah Indonesia merdeka, atas lima batalyon. Proses seleksi
kekhawatiran pemerintah tertuju pada gerilyawan dianggap tidak adil oleh
tumbuhnya kelompok-kelompok grilya kelompok Kahar Muzakkar ditanggapi
diberbagai daerah di Indonesia, dengan cara perang gerilya dan mereka
termasuk di Makassar. Adalah Laskar mendapat gelar “Tentara Hutan”.
Pejuang Revolusioner Indonesia se- Awalnya ideologi gerakan Kahar
Sulawesi (LAPRIS) dan Tentara Muzakar bercorak sosialisme Islam.
Republik Indonesia untuk Persiapan Akan tetapi semenjak menerima
Kemerdekaan Sulawesi (TRIPS) tawaran Kartosuwiryo yang memimpin
merupakan kelompok-kelompok grilya pemberontakan Darul Islam pada tahun
yang tumbuh karena hadirnya tentara 1952 di Jawa Barat untuk melawan
KNIL Hindia Belanda di Sulawesi. pemerintahan Jakarta membuat
Inilah embrio pemberontakan DI/ gerakan Kahar Muzakkar semakin
TII yang didalangi Kahar Muzakkar.1 berorientasi Islam. Ini sangat
Sebelum terjadinya pemisahan Negara dimungkinkan karena strategi Kahar
Indonesia Timur di bawah Muzakkar untuk memperoleh dukungan
kepemimpinan Kahar Muzakkar, terjadi atas aksinya. Meski demikian, aksi
perbedaan pendapat di Jakarta Kahar Muzakkar membuat penduduk
mengenai posisi Kahar Muzakkar untuk pedesaan di Sulawesi Selatan dalam
menangani kaum pemberontak di kondisi terjepit, mereka harus
wilayah Indonesia Timur yang berhadapan dengan TNI pada siang hari
menginginkan federalisme. Namun dan gerilyawan Kahar Muzakkar pada
keinginan tersebut, ditolak mentah- malam hari. Jika tidak membantu TNI
mentah Kolonel Kawilarang dari mereka dicap sebagai simpatisan
Minahasa sebagai komandan wilayah pemberontak oleh pemerintah, dan
Indonesia Timur yang ditunjuk mendapat hukuman dari tentara,
pemerintah pusat. Kemudian Kolonel sedang jika menolak DI, rumah mereka
Kawilarang secara sepihak akan dibakar. Persoalan yang sangat
mengeluarkan dekrit pembubaran dilematis bagi rakyat Sulawesi Selatan!
KGSS (Kelompok Gerilya Sulawesi Kondisi ini, kemudian mendorong
Selatan). Penolakan inilah yang pemerintah pusat untuk melakukan
membuat Kahar Muzakkar marah dan negosiasi. Adapun negosiasi yang
selanjutnya bergabung dengan kelompo ditawarkan adalah pemberian amnesti
gerilya dan mulai memblokir jalan-jalan dan “kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi”
utama Sulawesi Selatan. Perseteruan kepada pengikut Kahar Muzakkar dan
Militer dengan kelompok Kahar kenyataannya mendapat respon positif
Muzakar semakin meruncing sampai oleh kebanyakan anak buah Kahar
Muzakkar. Kondisi ini memperkuat
posisi pemerintah pusat dan sebaliknya,
1
Kahar Muzakkar adalah salah satu pemuda
yang melarikan diri ke Jawa untuk
semakin mempersempit ruang gerak
bergabung dengan para pejuang di Jawa. Darul Islam. Lemahnya posisi kekuatan
Sepak terjang Kahar Muzakkar ditandai gerilyawan Kahar Muzakkar semakin
dengan kemampuannya mengorganisir
kelompok perjuangan yang dinamakan TRIPS.
parah ketika Bahar Mattalioe sebagai

Jurnal Sejarah Lontar 42 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009


wakil komandan pasukan Kahar sumber penghasilan tradisional mereka
Muzakkar menyerahkan diri. Sejak dan akhirnya mengungsi ke kota.
tahun 1960, kekuatan para Secara formal, pada tahun 1960
pemberontak jauh melemah, kecuali di pemerintah Indonesia mengeluarkan
daerah pegunungan sekitar Gunung dekrit yang membubarkan sisa-sisa
Latimojong di Luwu dan di sekitar sistem pemerintahan masa lampau di
Kolaka, Sulawesi Tenggara. Pada tahun Sulawesi Selatan. Daerah swapraja
1961, terjadi perundingan antara diubah menjadi kabupaten yang dibagi
Jenderal Yusuf dan Kahar Muzakkar lagi menjadi kecamatan, dan desa yang
yang hampir membuahkan batas-batas wilayahnya ditentukan
kesepakatan; sayang pertikaian tetap tanpa harus memperhatikan batas-
berlanjut setelahnya. Akhirnya, sisa-sisa batas wilayah tradisional sebelumnya.
pasukan TII dipaksa mundur ke Banyak penguasa yang diberhentikan
Sulawesi Tenggara, di mana pada tanggal dan ada beberapa yang diangkat
1 Februari 1965 Kahar Muzakkar menjadi pejabat sementara di
ditemukan di tempat daerahnya.
persembunyiannya dan ditembak mati. Dengan demikian, berakhirlah
Ini akhir dari pemberontakan besar sudah kekuasaan keturunan to-
yang pernah terjadi di Sulawesi Selatan. manurung yang sudah berlangsung
Persitiwa ketiga berabad-abad yang mengubah struktur
adalah”rasionalisasi” sistem masyarakat Bugis dan Makassar
pemerintahan yang diterapkan menjadi struktur negara modern dan
kolonial. 2 Sebenarnya, kekuasaan homogen. Sejalan dengan itu, tumbuh
bangsawan pada masa pemberontakan rasa kebangsaan sebagai warga negara
sudah hampir habis karena mereka Indonesia, disamping identitas ke-
mendapat serangan para pemberontak Bugisan mereka yang tetap sangat kuat.
yang menentang kekuasaan mereka Hal ini dapat dilihat dari DI dan TKR,
karena dianggap sebagai penguasa yang sekalipun memberontak, tetap
feodal dan penganut kepercayaan kafir. tidak mempertanyakan identitas ke-
Banyak simbol kebesaran (arajang) dan indonesia-an mereka, tetapi hanya
istana yang dihancurkan, dan para bissu menuntut otonomi wilayah, bukan
banyak dibunuh. Sementara itu, otonomi etnis mereka.
keluarga bangsawan yang banyak
ditinggalkan pengikut dan kehilangan Si’ri dan Pesse’: Etos Hidup Orang
Bugis dan Makassar
Setiap masyarakat memiliki nilai
2
Rasionalisasi ini ditujukkan untuk
budaya luhur sebagai proses
menghilangkan diskriminasi, dimana hanya pembelajaran yang diwariskan turun
bangsawan yang diberikan kekuasaan. temurun, serta mempengaruhi pikiran
Meskipun terdapat perbedaan dengan
kekuasaan mereka sebelum tahun 1905, akan
dan pola hidup masyarakat
tetapi terdapat beberapa kemiripan. Situasi bersangkutan. Demikian halnya dengan
ini berlaku di Sulawesi Selatan hingga Suku Bugis yang memiliki falsafah si’ri
dibubarkannya negara Indonesia Timur. Saat
itu, para bangsawan (datu, arung, karaeng)
dan pesse’ atau si’ri na pacce pada Suku
diberi kesempatan untuk memimpin bekas Makasar3. Si’ri arti kulturalnya adalah
onderafdeeling yang diubah namanya menjadi malu, yang erat hubungannya dengan
swapraja wilayah ’otonom’ yang dibagi
menjadi Wanua, hingga tahun 1960.
harkat, martabat, kehormatan dan

Jurnal Sejarah Lontar 43 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009


harga diri sebagai manusia yang utuh. rasa malu yang erat hubungannya
Pesse’ dalam arti kultural adalah rasa dengan: (1) kehormatan (honour), (2)
belas kasihan, kepedihan, turut harga diri (high respect), (3) harkat
merasakan nestapa dan berhasrat (value), (4) martabat (dignity) sebagai
membantu karena adanya hubungan seorang manusia. Dengan kata lain
rasa. Pesse’ biasa disebut juga perru dalam siri terkandung nilai pengenalan
yaitu solidaritas yang tersembul dalam diri, instrospeksi, mawas diri, sedangkan
kalbu, bersifat solidaritas, yang pesse’ adalah belas kasih, peri
diekspresikan dari jiwa manusia. kemanusiaan (humanisme universal),
Pesse’ menjadi jiwa, semangat dan rasa turut prihatin terhadap
pendorong tegaknya si’ri dan tidak penderitaan orang lain, dan berhasrat
terpisahkan sebagaimana ungkapan membantu sebagai wujud solidaritas
orang Makasar; siri na pacce’ yaitu sosial.
harkat martabat dan rasa pedih yang Mengenai pentingnya si’ri ini
mendalam yang melahirkan adat yang terlihat dari beberapa ungkapan pada
mengatur watak, moral dan sikap hidup Suku Bugis, Makasar dan Suku Mandar
(way of life) orang Sulawesi Selatan. yang berpendapat bahwa orang yang
Mattulada memandang si’ri dan pesse’ tidak mempunyai si’ri sama
sebagai panggilan mendalam pada kedudukannya dengan hewan. Demi
pribadi untuk mempertahankan nilai menegakkannya, apabila seseorang
yang dijunjung tinggi; dihormati, dihargi, merasa dipermalukan dan tersinggung
dicintai. Dengan kata lain, si’ri dan pesse’ si’rinya banyak orang yang lebih senang
mempunyai arti esensial, baik bagi diri mati dengan perkelahian untuk
sebagai individu maupun bagi memulihkan si’ri nya daripada hidup
persekutuannya. Pentingnya si’ri dan tanpa si’ri. Menurut orang Bugis dan
pesse’ diungkapkan La Toba, dalam Makasar, meninggal karena si’ri seperti
Nasaruddin Koro (2006:31) “siri’ emmi mati diberi gula dan santan (mate ri
ri-onroang ri-lino, utetong ri adeE, gollai, mate risantangi) yang artinya
najagainnami siri’ta, teng ulesseri ada mati untuk sesuatu yang berguna.
tongengku, pesse passikuwa, naia si’riE Nilai si’ri dan pesse’ bisa
sunge naranreng nyawa na kira-kira” disejajarkan dengan nilai-nilai yang
yang artinya kurang lebih “karena si’ri dimiliki budaya Jepang seperti harga diri
kita hidup di dunia, aku berdiri di atas dan kehormatan, rasa solider yang kuat
adat, untuk menjaga si’ri kita, saya tak yang apabila dilangar menimbulkan rasa
akan ingkar dari janji dan kebenaran. malu yang luar biasa. Sedangkan dalam
Pesse’ yang mendorong aku. Adapun Islam si’ri dan pesse’ seperti yang
si’ri dilingkari oleh semangat, dipaut oleh dikemukakan ulama besar HAMKA
maut. (Abu Hamid, et al., 2007:22-23), bahwa
Sedangkan Hamzah Daeng si’ri atau menjaga harga diri itu sama
Mangemba menguraikan bahwa si’ri – artinya dengan menjaga syariat, yang
bukan sirik, mempercayai benda dan dipandang dari ilmu akhlak adalah suatu
makhluk sebagai Tuhan -, melainkan kewajiban moral yang paling tinggi
sehingga ada syair: “Jika tidak engkau
pelihara hak dirimu, engkau
3
Penjelasan tentang si’ri dan pesse’ atau si’ri meringankan dia, orang lain pun akan
na pacce bisa dilihat dari beberapa ahli,
seperti Nasaruddin Koro 2005, Pelras (2006).
lebih meringankan, sebab itu hormatilah

Jurnal Sejarah Lontar 44 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009


dirimu dan jika suatu negeri sempit buat Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal
dia, pilih tempat lain yang lebih lapang.” tersebut, catatan kesejarahan Indonesia
HAMKA mensejajarkan si’ri dengan memberikan keterangan kepada kita
“pantang” pada masyarakat Sumatera bahwa perwujudan kesejahteraan tidak
Barat. Lebih lanjut HAMKA semuda sebagaima yang dipikirkan.
berpendapat bahwa si’ri menimbulkan Melainkan melalui proses pergulatan
tawadhu’ dan perangai terpuji yang panjang sehingga dibutuhkan
mahaudhah yang terdiri atas: (a) sabar, energi yang tidak sedikit. Sehubungan
yaitu dapat mengendalikan diri ketika dengan itu, pergulatan menuju
sedang marah, (b) ‘iffah, yaitu dapat kesejahteraan di Sulawesi Selatan dapat
menahan hawa nafsu ketika hendak digambarkan melalui beberapa kasus
didorongkan, (c) syaja’ah, yaitu berani atau kejadian yang kontekstual, seperti
karena benar dan yakin serta sanggup berlangsungnya pertarungan antar elit
mempertahankan dimana saja, (d) adil Bugis dan Makassar, migrasi keluar
yaitu pertengahan. Sulawesi Selatan, dan pemberontakan
Dalam kehidupan sehari-hari, DI/TII sebagai manifestasi atas
sebagaimana diungkapkan Abu Hamid ketidakberhasilan atau kegagalan
(2007:7), nilai budaya si’ri’ dan pesse’ negara mengelola keadilan untuk
dewasa ini sudah mengalami kesejahteraan masyarakat. Penjelasan
pergeseran, bukannya dijadikan kasus sesuai dengan konteks Sulawesi
dorongan berprestasi dan menimbulkan Selatan dapat dijelaskan sebagai
kreatifitas untuk merasa malu kalau berikut.
berbuat salah atau tidak melakukan
ketentuan yang berlaku, dan Kasus 1. Pertarungan Antar Elit
menghianati janji serta disiplinnya, Bugis dan Makassar
melainkan ditarik lebih sempit pada Dari beragam sumber,
ketersinggungan rasa harga diri dan keberadaannya elit di Indonesia
martabat keluarga serta asal dibentuk melalui empat panggung 4,
keturunannya. Dalam hal seperti ini, nilai yakni: (1) kelompok elit tradisional yang
si’ri dan pesse’ hanya berguna untuk lahir dari keberadaan mereka sebagai
mencari gengsi-gengsi sosial atau
terpandang yang berguna bagi
lingkungan keluarga. Di lain pihak agak 4
Mengutip Saint Simon, Keller (1984)
membagi sumber atau panggung
sulit dibayangkan untuk hadirnya pembentukan elit secara umum bersumber
pribadi yang berkualitas tinggi, jika etos dari kelompok; (i) mereka yang menduduki
kerja selalu dihubungkan dengan harga garis atau eksekutif, dan yang menjalankan
suatu fungsi pengintegrasian, dengan
diri dan mmartabat semata, tanpa mengambil tujuan-tujuan yang akan
dibarengi pandangan (world view) yang diperjuangkan oleh masyarakat
menilai tingi karya dan hasil karya atau bersangkutan; (ii) mereka yang menyediakan
pengetahuan atau alat untuk mencapai
prestasi. tujuan-tujuan ini, staf teknis atau golongan
professional; (iii) mereka yang menjalankan
Dinamika Orang Bugis dan fungsi intelektual. Sedangkan Batzell, yang
dikutip Keller (1984), mengklasifikasi proses
Makassar: Proses Pergulatan pembentukan elit melalui enam pintu; (i)
Menuju Kesejahteraan bisnis; (ii) opini dan politik; (iii) dokter dan
Mewujudkan kesejahteraan bagi arsitek; (iv) gereja dan pendidikan; (v) para
artis dan pengarang; (vi) aneka ragam
seluruh rakyat Indonesia adalah amanat jabatan.

Jurnal Sejarah Lontar 45 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009


kelompok sosial yang memiliki hak-hak level, sampai di tingkat pedesaan; dan
istimewa terhadap politik, ekonomi dan (4) kelompok elit yang bersumber dari
kebudayaan, karena kedudukannya kekuatan ekono-mi, etnis dan agama.
sebagai golongan priyayi. Dalam Pembentukan sejumlah organisasi
perjalanannya kelompok ini adalah dengan menggunakan citra agama,
kelompok yang pertama yang merespon sebagai upaya kelompok ini merebut
regulasi rezim (politik liberal dan politik posisi-posisi strategis, baik politik
etis) yang ditawarkan pemerintah maupun ekonomi. Kelahiran Serikat
Belanda melalui pembaharuan sistem Islam misalnya, adalah reaksi dari
politik, ekonomi dan budaya, dengan kelompok elit tradisional yang gerah
menjadikan arena pendidikan modern, dengan pembaharuan yang dicanangkan
sebagai pintu masuknya. oleh Politik Etis. Sama halnya dengan
Patut dicatat, tidak semua kehadiran Jamiyatul Khair yang digagas
kelompok ini merespon regulasi rezim, oleh pedagang-pedagang keturunan
bahkan kebanyakan diantara mereka Arab dan Minang, untuk menghadang
cenderung melawan pembaharuan yang laju ekonomi pedagang Cina. Pada
terjadi, akan tetapi dari kelompok elit golongan lain (Kristen) mererspon
inilah (dalam jumlah terbatas) yang kondisi ini dengan semangat yang sama,
pertamakali merespon gagasan ini; (2) yakni mengembangkan program
elit yang dilahirkan dari rahim kristenisasi.
pendidikan modern. Kelompok ini Sehubungan dengan kesejarahan
merupakan campuran dari kalangan Sulawesi Selatan, pembentukan elit di
priyayi tingkat tinggi, rendah dan dua etnis telah bergeser dari kelompok
masyarakat biasa yang memiliki akses elit tradisional ke kelompok elit yang
dengan tokoh-tokoh Politik Etis. lahir dari pendidikan modern dan
Meskipun kelompok elit ini adalah kekuatan ekonomi, agama dan etnis.
sebagian besar bersumber dari kalangan Meski demikian, hal yang menarik
elit tradisional (priyayi), akan tetapi sebagaimana diuraikan dalam tulisan ini
perilaku politik, budaya dan ekonomi adalah pertarungan antar elit pada dua
mereka tidak menggambarkan sebagai etnis besar (Bugis dan Makassar) di
elit tradisional; (3) pergerakan sosial Sulawesi Selatan.
yang dilakukan oleh kelompok elit yang Pertarungan yang dimaknai
telah menempuh pendidikan modern, konflik elit di Sulawesi Selatan diawali
yang disponsori oleh pedagang- dengan semacam dialektika sosial yang
pedagang senior, yang merasa tidak ditandai dengan adanya perputaran elit.
nyaman dengan kebijakan colonial, Marie Kolabinska dalam Bottomore
menyeret aktivis-aktivis pergerakan (1966) menjelaskan gejala ini dengan
menduduki posisi elit baru. memetakan jenis perputaran elit,
Adapun panggung utama menjadi beberapa tipe, yakni: (1)
kelompok ini adalah oragnisasi-oragniasi perputaran yang terjadi antara kategori-
sosial modern, seperti: Budi Utomo, kategori elit yang tengah berkuasa; dan
Serikat Islam, Serikat Dagang Islam, (2) perputaran antara elit dan populasi
Muham-madiyah dan Jamiyatul Khair. selain elit, yang dapat terjadi dalam dua
Kelompok ini berhasil membentuk elit- bentuk: (a) individu-individu dari strata
elit baru yang sama sekali bersumber bawah berhasil dalam memasuki elit
dari kalangan non-priyayi, pada setiap yang ada, atau (b) individu-indidu dalam

Jurnal Sejarah Lontar 46 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009


strata bawah bisa membentuk pengikut yang saling terintegarasi secara
kelompok elit baru yang kemudian sosial, politik dan ekonomi, realitas ini
terlibat perebutan kekuasaan dengan elit oleh Ahimsa disebutnya sebagai
yang ada. hubungan patron-klien5 secara politik,
Perputaran elit yang kemudian ekonomi, dan sosial. Hubungan sosial,
menjelma menjadi konflik elit yang politik dan ekonomi mereka sangat
terjadi di Sulawesi Selatan dalam proses lunak (soft relationship), nyaris tidak
merebut kekuasaan politik dan berstruktur.
ekonominya, cenderung mengikuti Dengan mengikuti model
pemetaan Kolabinska, yakni perputaran perputaran elitnya, struktur sosial dan
antara elit yang berkuasa, dan pada saat pola hubungan sosial di Sulawesi Selatan,
yang bersamaan terjadi pembentukan maka bentuk konflik yang
elit-elit baru pada kelompok sosial sesungguhnya terjadi lebih merupakan
bawah, melalui sistem patron-klien. konflik antar elit yang memanfaatkan
Meski di Sulawesi Selatan dikenal basis etnis. Berbagai kuasi kelompok
adanya struktur sosial yang sangat yang terbentuk, dan memiliki elit baru
tajam, kelompok sosial berdarah putih selalu berusaha mengarahkan
(pemimpin) dan masyarakat berdarah kelompoknya pada etnis tertentu,
merah (pengikut), namun tidak dapat sebagai modal kekuatan. Dalam kondisi
semata-mata mencerminkan kelas ini, elit menggunakan etnis sebagai
sosial yang mencerminkan kelas bawah capital of power.
dan atas yang saling berhadapan Kuasi kelompok yang terbentuk
(borjuasi-proletar) sebagaimana seperti ini, menurut Evers & Chiel
digambarkan oleh Marx. Melainkan (1990) adalah cikal bakal sebagai
pembedaan itu lebih merupakan sebagai kelompok strategis, karena secara
alat penjelas antara pemimpin dan strategis pula mereka mempunyai arti
yang penting untuk perkembangan
politik, ekonomi, sosial, situasi konflik,
5
Hubungan patron-klien dikalangan orang reformasi atau revolusi pada
Bugis dapat dilihat pada pandangan mereka masyarakat masing-masing. Mereka
tentang konsep Ajjoareng dan joa’. Ajjoa’raeng
menurut mereka adalah orang yang menjadi
cenderung menunjang kegiatan-
ikatan atau panutan dan ini bisa seorang kegiatan pemimpinnya yang muncul
punggawa, aru ataupun pemuka masyarakat dari kalangan sendiri, atau pemimpin-
lainnya. Pendeknya dia merupakan tokoh
pemimpin, yang menjadi sumbu kegiatan
pemimpin yang dianggapnya mewakili
orang-orang disekitarnya, yang mengikuti keinginan-keinginannya. Dengan
kemauan serta kehendaknya dengan patuh. demikian, kelompok strategis
Pengikut-pengikut ini mereka sebut joa’ dan
mereka berasal dari golongan maradeka
merupakan lahan untuk mengerahkan
(orang merdeka) yang setia. Seseorang yang pemimpin-pemimpin politik dan
merasa dirinya joa’ dari seorang Ajjoareng sekaligus merupakan pressure group
akan selalu berusaha menunjukkan
kesetiaannya tersebut dalam keadaan
bagi yang berkuasa.
apapun, dan kapan pun Ajjoareng Konflik elit antar kelompok
memerlukannya (Mattulada, t.t: 463-464). strategis yang berbasiskan etnis seperti
Walaupun demikian kesetiaan tersebut juga
bukannya tanpa syarat. Mereka hanya tetap
yang diduga terjadi di Sulawesi Selatan,
setia selama Ajjoarengnya tetap bersungguh– didorong oleh hal-hal sebagai berikut: (1)
sungguh atau betul–betul menjaga dan elit dan kelompok strategisnya ingin
menghargai siri’’ mereka (Mattulada,
t.t:467).
mendapat apa yang disebut Scot (1968)

Jurnal Sejarah Lontar 47 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009


sebagai constant pie orientation, yaitu napopuwang” yang artinya kurang
semacam tuntutan untuk memperbesar lebih: “Rakyat Wajo itu merdeka hanya
kue dan penguasaan kue yang semakin hukumlah yang dipertuan” (Kesuma,
besar (resources orientation); dan (2) 2004). Atau dengan bahasa lain, jika
setelah terbentuknya kelompok dalam penyelenggaraan pemerintahan
strategis, dan diikuti oleh kemunculan hukum tidak bisa ditegakkan, maka
elit, maka tercipta apa yang disebut oleh orang Bugis dan Makassar akan
Dahrendorf sebagai posisi dan otoritas. bermigrasi mening-galkan daerahnya
Untuk memperluas otoritas, maka elit menuju daerah bahkan negara lain. Hal
akan terus berusaha memperkuat dan ini bisa dimaknai sebagai bentuk protes
mempertahankan posisinya, memalui terhadap bentuk kezaliman rezim yang
konflik sekalipun. Oleh karena itu, berkuasa.
konflik elit yang berbasiskan etnis di Bagi orang Bugis, bermigrasi atau
Sulawesi Selatan bukanlah konflik antar merantau pada umumnya berhubungan
kelas atas dan bawah seperti yang dengan upaya mencari pemecahan
dirumuskan oleh Marx, atau, konflik konflik pribadi, menghindari
yang dimaksudkan untuk memperkuat penghinaan, kondisi yang tidak aman,
solidaritas kelomok yang mulai atau keinginan untuk melepaskan diri
melonggar seperti yang diuraikan oleh baik dari kondisi sosial yang tidak
Coser. memuaskan, maupun hal-hal yang tidak
diinginkan akibat tindak kekerasan yang
Kasus 2. Arus Migrasi Keluar dilakukan di tempat asal (Pelras, 2006).
Sulawesi Selatan 6
Dalam sejarah tercatat bahwa pada
Dua etnis Sulawesi Selayan (Bugis akhir abad ke-18, pemukiman orang
dan Makassar) sudah sejak lama dikenal Bugis sudah ada di berbagai tempat di
sebagai Bangsa perantau, mereka Sulawesi Selatan, di Bengkulu, di
tersebar di berbagai penjuru Nusantara, Kepulauan Riau bahkan banyak yang
bahkan sampai ke negeri tetangga, memegang posisi berpengaruh di
seperti: Singapura, Malaysia, dan Kesultanan Riau-Johor.
Australia bagian Utara. Hal ini sejalan Di semenanjung Melayu, mereka
dengan filosofi orang Bugis tentang menguasai ekspor timah dan produk
migrasi berbunyi “kegisi monro sore’ hutan. Di Pontianak dan Mempawah
lopie’, kositu tomallabu se’ngereng” mereka menguasai perdagangan. Di
yang artinya: “di manalah perahu wilayah bagian Tenggara Kalimantan,
terdampar, disanalah kehidupan pemukiman orang Bugis terdapat di
ditegakkan”. Pulau Laut, pesisir Kalimantan Timur,
Orang Bugis mulai bermigrasi pada khususnya Pegatan, Pasir, Kutai,
awal abad XVII dengan alasan bukan Samarinda, Bulungan, dan Gunung
semata-mata oleh faktor ekonomi, Tabur, orang Bugis menguasai
tetapi juga oleh faktor non-ekonomi, perdagangan di hulu sungai. Di seberang
antara lain tidak adanya ketentraman tempat itu, yakni di bagian Barat
jiwa, karena peperangan, kehilangan Sulawesi Tengah, banyak pemukiman
kemerdekaan, dan juga karena filosofis
yang dipegang, khususnya Bugis Wajo
yang tertuang dalam ungkapan: 6
Cristian pelras. Manusia Bugis. Penerbit
Nalar: Forum jakarta-Paris. Ecole francaise
“Maradeka to-Wajo’e ade’mi d’Extreme-Orient. Jakarta, 2006

Jurnal Sejarah Lontar 48 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009


orang Bugis yang sejak berabad-abad menanam kelapa, padi pada sawah
ditemukan di sekitar Teluk Palu pasang surut di Johor, Kalimantan dan
khususnya di Donggala, Banawa, dan Sumatera, mereka juga membuka
Kaili. perkebunan nanas yang tampaknya
Selain itu, kantong-katong lebih menguntungkan ditanam di atas
pemukiman orang Bugis ditemukan di lahan gambut yang baru dibuka (Abu
Sumbawa, Ende, Flores di Pulau Jawa Hamid, dalam Pelras, 2006: 376).
terdapat di Surabaya, Gresik, dan Selanjutnya Pelras menjelaskan bahwa
Batavia (Jakarta saat ini), serta di para perantau Bugis di tanah Melayu
sebagian kecil di Delta Sungai Indragiri dan Sumatera bukan sekedar petani
dan Jambi, Pantai barat Johor di Tanah tradisional, akan tetapi pengusaha
melayu, di sabah, kawasan Lindu di berorientasi ekonomi7. Orang Bugis di
Sulawesi tengah semenanjung Tenggara Wilayah Timur Sumatra, misalnya.
Sulawesi. Selanjutnya Pelras Berbeda dengan orang Jawa di sekitar
menjelaskan bahwa sesudah dekade mereka yang memiliki konsep
1970-an, makin banyak perantau Bugis keberhasilan yang diukur berdasarkan
yang pergi mencara “rejeki halal” di kemampuan memperluas sawah atau
Irian, Maluku dan Timor Timur (ketika kebun guna mengintensifkan dan
terintegrasi dengan Indonesia). meningkatkan produk pertanian di
Para perantau Bugis menguasai kawasan itu, sedangkan para petani
berbagai sektor ekonomi, di Samarinda Bugis lebih berpikir jauh ke depan,
Kalimantan Timur mereka menguasai mereka lebih suka menginvestasikan
perdagangan antara lain memonopoli kembali uang dalam bidang transportasi
impor beras, garam, rempah-rempah, atau perniagaan, atau meneyewakan
kopi, tembakau dan kebutuhan pokok lahan mereka kepada petani Jawa atau
lainnya, bahkan mereka memasuki orang Bugis yang baru tiba, dan
sektor politik dan pemerintahan. selanjutnya mencari tempat yang lebih
Sementara perantau yang lebih menguntungkan.8
berorientasi tanaman keras pada Sedangkan migran Bugis yang
periode 1885 dan 1920 di wilayah Johor, bermukin di daerah Lindu, Sulawesi
Tanah Melayu menanam kelapa yang Tengah yang sudah lama mendiami
lebih cepat menghasilkan, sementara daerah tersebut, mereka hanya
para pendatang dari Pulau Jawa lebih terkonsentrasi pada wilayah dekat laut,
tertarik menanam karet.Pada baik pada perkampungan pesisir,
umumnya, orang Bugis yang berada di maupun pada kerajaan-kerajaan kecil
Johor berasal dari daerah sekitar Danau Bugis di sekitar Pantai Palu-meskipun
Tempe, sebagian berasal dari Sidenreng, ada pula yang sesekali mengunjungi
dari Batu-batu, bagian Utara Soppeng daerah pedalaman untuk berdagang.
akan tetapi lebih banyak yang berasal Pemukiman di daerah Pegunungan
dari Wajo. Lindu baru dibuka pada tahun 1957 oleh
Naluri berdagang orang Bugis di para pendatang dari Sulawesi selatan
perantauan terlihat dari upaya untuk untuk menghindari kekacauan akibat
menjadi pengimpor beras untuk pemberontakan Kahar Muzakar.
kebutuhan pokok mereka akibat tanah-
tanah mereka sudah ditanami kelapa 7
Christian Pelras, 2006: 376
dan tidak menghasilkan padi lagi. Selain 8
Tanaka,dalam Pelras, 2006: 376

Jurnal Sejarah Lontar 49 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009


Mereka menjadi penangkap ikan di Hasanuddin terpaksa takluk kepada
Danau Lindu. Jauh sesudahnya, orang Belanda dengan ditanda tanganinya
Bugis juga membuka warung di perjanjian Bongaya. Ribuan kepala
Donggala, setelah pemberontakan keluarga meninggalkan tanah tumpah
Kahar Muzakar usai, banyak pendatang darahnya hanya untuk menghindari
yang membuka kios di pasar-pasar, pertemuan dengan Belanda. Saat ini,
berusaha di bidang perikanan, menjadi suku bangsa Bugis merupakan etnik
pialang tanah, atau pedagang beras9. yang banyak mendiami berbagai
Menurut Acciaioli, bagi orang wilayah di tanah air. Mereka memasuki
Bugis, istilah merantau itu menyiratkan berbagai aspek kehidupan, mulai dari
“lebih dari sekedar mengejar aspek tradisional-ekstraktif seperti
keuntungan, tetapi juga suatu upaya pertanian, nelayan, perkebunan sampai
untuk mencari pengetahuan sekaligus perdagangan (terutama pelayaran antar
kekayaan, yang mencakup pula upaya pulau bahkan mancanegara) dan jasa,
untuk memperbaiki nasib. Hal ini dapat pemerintahan, politik-kenegaraan.
diartikan sebagai suatu cara menangani
nasib diri sendiri, yang mencerminkan Kasus 3. Pemberontakan DI/TII
pandangan mereka yang rumit Kejadian pemberontakan Darul
mengenai hubungan antara tabiat Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/
pribadi dan takdir, sekaligus TII) di Sulawesi Selatan tidak dapat
mencerminkan pandangan hidup orang dipisahkan dari dua hal, yakni pertama,
biasa yang berbeda dengan sikap manifestasi politik identitas yang
bangsawan yang selalu mendasarkan bersejarah di Indonesia; dan kedua,
penilaian (terhadap sesama manusia) adanya indikasi ketidakpuasaan yang
secara hierarkhis berdasarkan dialami oleh orang-orang daerah
keturunan”10. terhadap pemerintah pusat.
Demikian halnya dengan Suku Menjadi penting untuk
Makasar, Pelras11 menyebutnya sebagai dikemukakan sehubungan dengan yang
“sejarah cemerlang suatu suku bangsa pertama adalah Islam sebagai agama
dari timur” yang meningalkan kampung sekaligus tatanan sosial merupakan
halaman, merantau jauh ke negeri kekuatan yang dianggap berbahaya.12
orang. Mereka menyeberang ke negara Meski argumentasi Snouck dapat
Singapura, Thailand, Kamboja, menenangkan “ketakutan” Pemerintah
Semenanjung Malaya, bahkan jauh ke Belanda terhadap Islam, akan tetapi
Perancis. Beberapa literatur gerakan dalam bentuk pemberontakan
menyebutkan bahwa gelombang terhadap Belanda tak dapat terelakkan.
perpindahan Suku Bugis-Makasar Berdirinya berbagai organisasi sosial-
terutama terjadi pada abad ke XVII politik diawal-awal tahun 1910-an dan
terutama ke Banteng (Jawa) dan negeri 1920-an (seperti: Indische Partij,
Melayu berlangsung ketika Sultan Sarekat Islam, Muhammadiyah,

12
Pernyataan ini sebagaimana uraian yang
9
Acciaioli, 1958 dalam Pelras, 2006: 377)
disampaikan oleh Harry J. Benda (1980)
10
Lihat Pelras, 2006: 377 dalam bukunya yang berjudul “Bulan Sabit
11
Lihat A. Shadiq kawu. 2007. Kisah-Kisah dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada
Bijak Oang Sulawesi Selatan 2. Makasar: Masa Kependudukan Jepang” diterbitkan oleh
REFLKSI Pustaka Jaya.

Jurnal Sejarah Lontar 50 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009


Nadhatul Ulama, dan lain-lain) sebagai politik pada Pemerintahan Belanda
upaya politik asosiasi Pemerintah tidak dapat dipisahkan dalam konteks
Belanda ternyata tidak mampu kejadian-kejadian pemberontakan atau
meredam semangat perjuangan yang perlawanan yang dilakukan masyarakat
dibangun berdasarkan identitas masing- pedesaan di Jawa saat itu.
masing organisasi sosial-politik Hal yang sama dialami oleh Jepang
tersebut. ketika menggantikan Belanda sebagai
Upaya Snouck untuk membawa penjajah baru di Indonesia. Meski politik
Indonesia ke arah yang lebih modern13, devide it impera berhasil dilakukan oleh
dimana bukan Indonesia Islam dalam Jepang, akan tetapi tetap saja merasa
kenyataannya sia-sia. Sebaliknya, ketakutan terhadap segala bentuk
kondisi ini malah menguntungkan gerakan politik yang dibangun dari
Indonesia, dimana pendidikan yang identitas Islam (Benda, 1980). Dengan
dijadikan sebagai media awal ternyata kebijakan yang mirip dilakukan oleh
memberikan kesadaran akan Belanda, Jepang memberikan
pentingnya emansipasi berbangsa keluwesan bagi para pemimpin-
(Benda, 1980). Tidak hanya itu saja, pemimpin Islam di Indonesia, temasuk
dikotomi Islam Religi dan Islam Politik mempertahankan berdirinya Masyumi
yang dikemukakan oleh Snouck malah sebagai kekuatan politik mereka yang
membuka “jebakan” bagi Pemerintah beridentitas Muslim. Namun tetap saja
Belanda sendiri. Inilah yang kemudian menyisahkan beragam persoalan hingga
disoroti oleh Wertheim bahwa saat ini, diantaranya pertentangan antar
pendikotomian yang dilakukan oleh elit yang saling berbeda latar belakang
Snouck, malah mengaburkan posisi dan identitasnya, yakni elit priyayi, elit
peran kepemipinan lokal (kiai dan nasionalis, dan elit Islam.
ulama) yang ada di pedesaan Jawa. Setelah Jepang menyerahkan
Secara utuh Wartheim mengemukakan: kekuasaannya kepada Indonesia (tahun
“...adalah perkembangan kemudian 1945), pertarungan politik identitas
ini yang membuka matanya untuk kembali mencuat. Saat itu, pertarungan
melihat arti yang sangat penting bukan lagi terjadi antara Indonesia
dari kiai dan ulama sebagai tokoh-
dengan kolonial, melainkan pertarungan
tokoh inti di daerah pedesaan
Jawa...” (Wertheim dalam Benda, identitas sesama orang Indonesia. Hal
1980; 9). ini kemudian membuktikan bahwa
Dengan demikian, Islam sebagai politik “pecah belah” atau devide it
identitas dalam membangun gerakan impera Jepang menunjukkan
keampuhannya untuk membenturkan
antar identitas yang melekat pada wajah
13
Indonesia modern menurut Snouck adalah elit negara ini.
Indonesia yang diperbarat, dimana peradaban Hal yang tak kalah menariknya
Belanda haruslan menggantikan perdaban
tradisional priyayi dan di atas semuanya
ketika berbicara tentang politik
adalah perdaban santri. Untuk itu, Snouck identitas setelah kemerdekaan
menawarkan strategi asosiasi, yakni suatu Indonesia dicapai. Ketidakpuasan
upaya untuk menjembatani jurang yang
memisahkan antara Timur dan Barat.
sebagian kelompok terhadap
Konsep sekaligus strategi asosiasi ini, kepemimpinan Soekarno sebagai elit
kemudian melahirkan kebijakan politik etis nasionalis semakin memperuncing
yang diberlakukan oleh Belanda (Benda,
1980).
munculnya polarisasi antar identitas di

Jurnal Sejarah Lontar 51 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009


tanah air. Janji-janji yang tidak ditepati mereka yang pernah terlibat dalam
Soekarno sebagai kepala negara, aktivitas “organisasi separatis” malah
kemudian mendorong terjadinya tampil sebagai pemimpin alternatif
pemberontakan yang dimotori oleh masyarakat yang diharapkan dapat
gerakan politik berbasis identitas membuka jalan menuju kesejahteraan
dibeberapa daerah di Indonesia. Salah masyarakat yang sesungguhnya.
satu dari pemberontakan berbasis
identitas tersebut adalah Darul Islam/ Penutup
Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sejarah panjang Sulawesi Selatan
Sulawesi Selatan.14 dalam mewujudkan kesejahteraan
Setidaknya kehadiran DI di bawah diwarnai dengan berbagai gejolak
pemimpin kharismatik Kahar seperti pertarungan elite politik lokal
Muzakkar, membuat struktur yang dikemas dengan pertarungan
kekuasaan pusat (Soekarno) mengalami antar etnis Bugis-Makassar, pasompe
tantangan. Pemberontakan dengan atau migrasi untuk mencari daerah baru
motif etnis, regional, dan keagamaan untuk menegakkan nilai budaya siri dan
yang dilakukan oleh DI ternyata pesse, serta munculnya pemberontakan
mengundang perhatian yang serius bagi DI/TII di bawah pimpinan Kahar
pemerintahan Orde Lama. Walau Muzakar yang kesemua itu sejatinya
memakan waktu 15 tahun lamanya bermuara kepada upaya untuk
(1950 – 1965), DI di bawah mewujudkan kesejahteraan pada
kepemimpinan Kahar Muzakkar tataran keluarga, komunitas dan rakyat
akhirnya berhasil ditumpas oleh Sulawesi Selatan keseluruhan.
pemerintah.15
Selanjutnya, apakah gerakan DAFTAR PUSTAKA
politik identitas terutama identitas yang
berbasis religi berhenti sampai disitu Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan
saja? Dari berbagai sumber dan Arung Palakka. Sejarah Sulawesi
menurut analisis penulis bahwa gerakan Selatan Abad ke-17. Penerbit :
politik identitas tersebut, tidak akan INNINAWA. Makassar
pernah surut sepanjang negara ini Andi, Zaenal Abidin. 1999. Capita
berdiri, meski dapat di atasi oleh rezim Selecta Sejarah Sulawesi selatan.
yang berkuasa. Bahkan hingga saat ini, Ujung Pandang: Hasanuddin
University Press
14
Patut dicatat, bahwa selain DI/TII sebagai Andi, Zaenal Abidin. 1999. Capita
gerakan politik berbasis identitas Islam, juga Selecta Kebudayaan Sulawesi
terdapat beberapa gerakan politik berbasis Selatan. Ujungpandang;
religi lainnya yang berupaya melakukan
pemberontakan, antara lain: RMS, Hasanuddin University Press
PERMESTA, dan lain-lain. Christian, Pelras. 2006. Manusia Bugis.
15
Hal yang sama juga terjadi bagi gerakan Penerbit : Nalar. Forum Jakarta-
politik berbasis identitas religi. Dengan sikap
pemerintah yang cenderung agresif terhadap Paris. Ecole Francaise d’Extreme-
kelompok/organisasi separatis, berbagai Orient. Jakarta
organisasi politik identitas mengalami hal
yang sama dengan DI. Walau demikian, Heddy Sri Ahimsa-Putra. 2007. Patron
ternyata politik identitas tetap hidup dan dan Klien Di Sulawesi Selatan.
bagaikan “api dalam sekam” yang siap Sebuah Kajian Fungsional-
menyala dikemudian hari.

Jurnal Sejarah Lontar 52 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009


Struktural. Yogyakarta: KEPPEL
Press
Koo, Nasaruddin. 2006. Ayam jantan
tanah daeng. Siri’ dan Pesse, dari
konflik lokal ke pertarungan lintas
batas. Jakarta: Ajuara La Side.
2006. Arung PlKK. Sang
pembebas. Penerjemah: HA.
Ahmad Saransi. Makassar;
Yayasan Baruga Nusantara
Poelinggomang. Edward, L. 2002.
Makassar Abad XIX. Studi tentang
Kebijakan
Perdagangan Maritim. Penerbit : KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia).
Jakarta
Rahman, Nurhayati, et al (editror)
2003. La Galigo. Menelusuri
Warisan Sastra Dunia.
Makassar: Pusat Studi La galigo. Divisi
Ilmu Sosial dan Humaniora. Pusat
Kegiatan Penelitian Universitas
Hasanuddin dan Pemerintah
Daerah Kabupaten Barru.
Sutherland, Heather. dkk. 2004.
Kontinuitas dan Perubahan Dalam
Sejarah Sulawesi Selatan.
Penerbit: Ombak. Yogyakarta
Wahid, Sugira. Manusia Makassar.
2007. Makassar: Pustaka Refleksi

Jurnal Sejarah Lontar 53 Vol. 6 No. 2 Juli - Desember 2009

You might also like