You are on page 1of 23

Hubungan Faktor Lingkungan dan Sosial Ekonomi dengan Kejadian Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (Ispa) Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Pandan
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2022

Relationship Of Environmental and Socio-Economic Factors with The Event Of Acute


Respiratory Tract Infection (Ispa) In Tolls in The Work Area Of The Simpang Pandan
Puskesmas, Tanjung Jabung Timur Regency in 2022

Cindy Syah Putri1, Rumita Ena Sari2, Fitria Eka Putri3


1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas
Jambi
2
Dosen Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas

Jambi

ABSTRAK
Penyakit (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) ISPA merupakan salah satu jenis penyakit
menular berbasis lingkungan. Di Indonesia kasus ISPA selalu menempati urutan pertama
penyebab kematian bayi dan prevalensi penyakit ISPA di provinsi jambi yaitu sebesar 3,2%
serta di Tanjung Jabung Timur sebesar 4,44%. ISPA di kabupaten Tanjung Jabung Timur
menjadi tren penyakit setiap tahunnya. Secara umum faktor risiko terjadinya ISPA yaitu
faktor lingkungan fisik, faktor host/pejamu, faktor agent serta faktor lingkungan sosial. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional.
Penelitian ini bertujuan mencari hubungan antara variabel kepadatan hunian, jenis lantai, jenis
dinding, langit-langit rumah, pencahayaan, anggota keluarga merokok, pengetahuan ibu
dengan kejadian ISPA pada balita. Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang ada di
Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Pandan dan sampel penelitian ini adalah 103. Teknik
pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik Stratified Random Sampling.
Cara pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan pengukuran
menggunakan alat bantu. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara : kepadatan
hunian (P-value=0,003 dan PR = 1,976), jenis lantai (p= 0,014 dan PR = 1,874), jenis dinding
(p=0,020 dan PR = 1,852) pencahayaan (p=0,018 dan PR = 1,790), anggota keluarga merokok
(p= 0,020 dan PR = 1,852) dan pengetahuan ibu (P-value=0,035 dan PR = 1,678 ) dengan
infeksi saluran pernapasan akut pada balita. Sedangkan variabel yang tidak berhubungan
dengan kejadian ISPA pada penelitian ini adalah variabel langit-langit rumah (p-value = 0,968
dan PR = 1,080). Disarankan anggota keluarga jangan merokok didalam rumah, perhatikan
kepadatan hunian rumah, pencahayaan rumah, serta jenis lantai pada rumah.
Kata Kunci : Infeksi Saluran Penapasan Akut (ISPA), Balita, Puskesmas, Simpang Pandan
Abstract
Disease (Acute Respiratory Infection) ARI is one type of environmental-based infectious
disease. In Indonesia the case of ARI always ranks first as the cause of infant mortality and the
prevalence of ARI in Jambi province is 3.2% and in Tanjung Jabung Timur is 4.44%. ARI in
Tanjung Jabung Timur district is becoming a disease trend every year. In general, the risk
factors for the occurrence of ARI are physical environmental factors, host factors, agent
factors and social environmental factors The type of research used is quantitative research
with a cross sectional design. This study aims to find the relationship between the variables of
occupancy density, type of floor, type of wall, ceiling, lighting, smoking family members,
mother's knowledge and the incidence of ARI in toddlers. The population in this study were
toddlers in the Simpang Pandan Health Center Work Area and the sample of this study was
103. The sampling technique in this study used the Stratified Random Sampling technique. The
method of data collection is done by interview, observation, and measurement using tools. The
results showed that there was a relationship between: occupancy density (P-value = 0.003 and
PR = 1.976), type of floor (p = 0.014 and PR = 1.874), type of wall (p = 0.020 and PR =
1.852) lighting (p = 0.018 and PR = 1.790), family members smoke (p = 0.020 and PR =
1.852) and mother's knowledge (P-value = 0.035 and PR = 1.678 ) with acute respiratory
infections in children under five. While the variable that is not related to the incidence of ARI
in this study is the house ceiling variable (p-value = 0.968 and PR = 1.080). It is recommended
that family members do not smoke in the house, pay attention to the density of the house, the
lighting of the house, and the type of floor in the house.
Keywords : acute respiratory tract infection (ARI), Toddler, Health center, Simpang Pandan

Korespondensi: Cindy Syah Putri


Email: cindy071018@gmail.com

PENDAHULUAN
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan investasi untuk keberhasilan pembangunan
bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan
berkesinambungan. Tujuan Sistem Kesehatan Nasional adalah terselenggaranya pembangunan
kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah secara
sinergis, dan memiliki daya guna yang baik sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya.1
Penyakit berbasis lingkungan merupakan fenomena penyakit terjadi pada sebuah
kelompok masyarakat, yang berhubungan, berakar atau memiliki kaitan erat dengan satu atau
lebih komponen lingkungan pada sebuah ruang dimana masyarakat tersebut tinggal atau
beraktivitas dalam jangka waktu tertentu.2 Penyakit (Infeksi Saluran Pernafassan Akut) ISPA
merupakan salah satu jenis penyakit menular berbasis lingkungan. Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran
napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah,
pleura).3
Menurut (World Health Organiation) WHO kurang lebih 13 juta anak balita di dunia
meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang,
dimana ISPA merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh ± 4 juta
anak balita setiap tahun.4
Di Indonesia kasus ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian bayi.
Berdasarkan Riskesdas 2018 prevalensi nasional ISPA adalah 9,3%. Sebanyak lima provinsi
dengan prevalensi ISPA tertinggi, yaitu Nusa Tenggara Timur 15,4%, Papua 13,1%, Papua
Barat 12,3%, Banten 11,9%, dan Bengkulu 11,8%. Penduduk dengan ISPA yang tertinggi
terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun yaitu 13,7%. Data Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS, 2018).5
Berdasarkan Data Hasil Riskesdas tahun 2018, Prevalensi penyakit ISPA di provinsi
jambi yaitu sebesar 3,2% dari jumlah anggota rumah tangga yang diperiksa pada saat
RISKESDAS, dimana penderita ISPA paling banyak di derita pada kelompok umur 1-4 tahun.
Adapun 3 kabupaten / kota dengan prevalensi ISPA tertinggi di Provinsi Jambi adalah Kerinci
(6,15%), Kota Jambi (4,92%), dan Bungo (4,47%). Sedangkan kabupaten / kota dengan
prevalensi ISPA terendah adalah Kabupaten Merangin (4,09%), Kota Sungai Penuh (3,74%),
dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (2,34%)5
Secara umum faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan fisik, faktor
host/pejamu, faktor agent serta faktor lingkungan sosial. Faktor agent yaitu bakteri, virus dan
jamur. Faktor lingkungan fisik meliputi, pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah
seperti kepadatan hunian, jenis lantai, jenis dinding, pencahayaan rumah. Sedangkan faktor
sosial meliputi pekerjaan orangtua, pendidikan ibu, serta perilaku merokok anggota keluarga. 6
Perilaku manusia merupakan faktor yang besar pengaruhnya dalam menentukan derajat
kesehatan. Perilaku masyarakat yang buruk dapat menimbulkan berbagai penyakit, meskipun
sarana sanitasi dasar telah tersedia, misalnya terjadinya penyakit ISPA. Salah satu contohnya
yaitu perilaku merokok anggota keluarga didalam rumah akan meningkatkan terjadinya kasus
ISPA pada balita, hal tersebut sesuai dengan penelitian William (2015) yang menyatakan
bahwa merokok dalam rumah merupakan salah satu faktor yang bermakna dalam kejadian
ISPA termasuk balita.7
Sedangkan Data RISKESDAS 2018 untuk prevalensi penyakit ISPA di Kabupeten
Tanjung Jabung Timur yaitu sebesar 3,72% dari 1324 responden yang diperiksa, dan untuk
prevalensi ISPA pada balita di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 4,44% dari 109
balita yang ditimbang. Sementara itu data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tanjung Jabung
Timur menunjukkan jumlah kasus ISPA pada balita tahun 2017 sebanyak 14.303 kasus, pada
tahun 2018 sebanyak 14.109 kasus dan pada tahun 2019 sebanyak 18.362 kasus. Peningkatan
kasus pada 3 tahun ini dapat disebabkan oleh kondisi yang tidak memenuhi syarat Kesehatan
sehingga berpengaruh terhadap Kesehatan penghuninya. Rumah harus memiliki ventilasi dan
kelembaban rumah yang cukup.5
ISPA di kabupaten Tanjung Jabung Timur menjadi tren penyakit setiap tahunnya.
Puskesmas yang ada di wilayah Tanjung Jabung Timur salah satunya adalah Puskesmas
Simpang Pandan. Dari 17 Puskesmas yang ada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur,
Puskesmas Simpang Pandan dipilih karena penyakit ISPA selalu masuk 10 besar angka
kesakitan selama 2 tahun berturut-turut (Dinkes Tanjung Jabung Timur, 2019). Berdasarkan
data yang diperoleh pada tahun 2017 kasus ISPA di Puskesmas Simpang Pandan sebanyak 437
penderita. Sedangkan kasus baru ISPA di tahun 2018 sebanyak 367 penderita dan pada tahun
2019 sebanyak 591 Penderita. Puskesmas Simpang Pandan memiliki 8 Desa dan 1 Kelurahan
dimana kasus ISPA tertinggi ada di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Pandan sebanyak 16
penderita.8

METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan desain cross
sectional. mencari hubungan antara variabel Independen (bebas) “Kepadatan Hunian, Jenis
Lantai, Jenis Dinding, Langit-Langit Rumah, Pencahayaan, Anggota Keluarga Merokok,
Pengetahuan Ibu.” dan variabel dependen (terikat) “Kejadian ISPA Pada Ballita”Sampel
penelitian diambil dengan menggunakan teknik Stratified Random Sampling sasaran
penelitian.9 Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas
Simpang Pandan.
Sampel adalah bagian berdasarkan populasi yang mewakili suatu populasi.10
Pengambilan sampel ini dilakukan dengan menggunakan teknik Stratified Random Sampling,
yaitu teknik pengambilan sampel diambil dari 1 Kelurahan terdiri dari 8 desa yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Simpang Pandan yang memiliki data lengkap dan memiliki kasus
ISPA tertinggi.
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik (cermat, lengkap
dan sistematis) sehingga lebih mudah diolah (Saryono, 2011). Adapun instrumen dalam
penelitian ini adalah observasi, kuesioner dan pengukuran.
Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dan observasi oleh peneliti
secara langsung kepada pengasuh utama balita mengenai kondisi lingkungan rumah antara lain
langit-langit rumah, kebiasaan merokok, jenis lantai, jenis dinding. Serta dilakukan
pengukuran mengenai kepadatan hunian dan pengukuran pencahayaan.
HASIL PENELITIAN
Analisis dilakukan dalam dua tahap yaitu analisis univariat untuk mengetahui distribusi
frekuensi masing-masing variabel, baik variabel bebas maupun terikat. Kemudian dilanjutkan dengan
analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.
Karakteristik Responden Bedasarkan Tingkat pekerjaan
Pekerjaan Frekuensi Persentase
Responden %
PNS 24 23,3
Wiraswasta 12 11.7

Petani 11 10,7

Ibu Rumah Tangga 56 54.4

Total 103 100 %

Bedasarkan tabel diatas menunjukan bahwa tingkat pekerjaan responden paling banyak adalah
ibu rumah tangga sebanyak 56 orang ( 54.4%) dan paling sedikit adalah Petani 11 orang
(10,7%).
Karakteristik Responden Bedasarkan Umur

Umur Responden Frekuensi Persentase (%)


17-19 tahun 9 8,7
20-35 tahun 92 89,3
36 tahun 2 1,9
Total 103 100

Bedasarkan tabel diatas menunjukan bahwa responden sebagian besar berumur 20-35 tahun
sebanyak 92 orang (89.3 %).
Karakteristik Umur Balita

Umur Balita Frekuensi Persentase (%)


0-5 bulan 1 1,0
5-11 bulan 7 6,8
12-23 bulan 17 16,5
24-35 bulan 24 23,3
36-59 bulan 54 52,4
Total 103 100
Bedasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa umur balita terbanyak yaitu antara 36-59 bulan
berjumlah 54 balita (52,4%) dan umur balita paling sedikit yaitu antara 3-5 bulan berjumlah 1
balita (1,0 %).
Karakteristik Berat Badan Balita

Min-max Mean 95%CI SD Median

4-21kg 13 (12,66-14,12) 3,73 13

Bedasarkan tabel diatas didapatkan rata-rata berat badan balita yaitu 13 kg.
Hubungan kepadatan hunian tidur dengan kejadian ISPA
Kejadian ISPA Pada
Balita Total PR (95% P-
Variabel Ya Tidak CI) Value
n % n % n %
Kepadatan Hunian Kamar
Tidak Memenuhi
syarat ,< 8m untuk 2 28 63,6 16 36,4 44 100
1,976
orang
(1,282- 0,003*
Memenuhi
3,045)
syarat ,>= 8m untuk 19 32,2 40 67,8 59 100
2 orang

Berdasarkan tabel 4.14 diatas menunjukan bahwa proporsi ISPA pada balita lebih besar pada
variabel kepadatan hunian kamar yang tidak memenuhi syarat (63,6%) dibandingkan dengan
yang memenuhi syarat (32,2%). Dari hasil analisis bivariate didapatkan kepadatan hunian
kamar yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena ISPA lebih besar 1,98 kali
dibandingkan kepadatan hunian kamar yang memenuhi syarat dan terbukti berhubungan secara
signifikan (p-value = 0,003).
Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadin ISPA pada Balita
Kejadian ISPA Pada
Balita Total PR (95% P-
Variabel Ya Tidak CI) Value
n % n % n %
Jenis Lantai
Tidak Memenuhi
34 56,7 26 43,3 60 100
syarat (lantai tanah) 1,874
Memenuhi syarat (1,131- 0,014*
(lantai mester, 13 30,2 30 69,8 43 100 3,106)
keramik)

Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa proporsi ISPA pada balita lebih besar pada
variabel jenis lantai yang tidak memenuhi syarat (56,7%) dibandingkan dengan yang
memenuhi syarat (30,2%). Dari hasil analisis bivariate didapatkan jenis lantai yang tidak
memenuhi syarat memiliki risiko terkena ISPA lebih besar 1,874 kali dibandingkan jenis lantai
yang memenuhi syarat dan terbukti berhubungan secara signifikan (p-value = 0,014).
Hubungan antara Jenis Dinding dengan kejadian ISPA
Kejadian ISPA Pada
Balita Total PR (95% P-
Variabel Ya Tidak CI) Value
n % n % N %
Jenis Dinding
Tidak Memenuhi
syarat (dinding 35 55,6 28 44,4 63 100 1,852
kayu) (1,098- 0,020*
Memenuhi syarat 3,122)
12 30,0 28 70,0 40 100
(dinding batubata)

Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa proporsi ISPA pada balita lebih besar pada
variabel jenis dinding yang tidak memenuhi syarat (55,6%) dibandingkan dengan yang
memenuhi syarat (30,0%). Dari hasil analisis bivariate didapatkan jenis dinding yang tidak
memenuhi syarat memiliki risiko terkena ISPA lebih besar 1,852 kali dibandingkan jenis
dinding yang memenuhi syarat dan terbukti berhubungan secara signifikan (p-value = 0,020).
Hubungan antara Langit-langit Rumah dengan Kejadian ISPA
Kejadian ISPA Pada
Balita Total PR (95% P-
Variabel Ya Tidak CI) Value
n % n % n %
Langit-Langit Rumah
Tidak Memenuhi
syarat (tidak ada 38 46,3 44 53,7 82 100 1,081
plafon) (438- 0,968
Memenuhi syarat 3,029)
9 42,9 12 57,1 21 100
(ada plafon)

Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa proporsi ISPA pada balita lebih besar pada langit-
langit rumah yang tidak memenuhi syarat (46,3%) dibandingkan dengan yang memenuhi
syarat (42,9%). Dari hasil analisis bivariate didapatkan langit-langit rumah yang tidak
memenuhi syarat memiliki risiko terkena ISPA lebih besar 1,081 kali dibandingkan langit-
langit rumah yang memenuhi syarat, namun belum terbukti berhubungan signifikan (p-value =
0,968).
Hubungan antara Pencahayaan dengan Kejadian ISPA
Kejadian ISPA Pada
Balita Total PR (95% P-
Variabel Ya Tidak CI) Value
n % n % n %
Pencahayaan
Tidak Memenuhi
syarat, <60 atau 32 57,1 24 42,9 56 100 1,790
>60 lux (1,265- 0,018*
Memenuhi syarat = 6,395)
15 31,9 32 68,1 47 100
60 lux
Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa proporsi ISPA pada balita lebih besar pada
variabel pencahayaan yang tidak memenuhi syarat (57,1%) dibandingkan dengan yang
memenuhi syarat (31,9%). Dari hasil analisis bivariate didapatkan pencahayaan yang tidak
memenuhi syarat memiliki risiko terkena ISPA lebih besar 1,790 kali dibandingkan
pencahayaan yang memenuhi syarat dan terbukti berhubungan secara signifikan (p-value =
0,018).
Hubungan antara Anggota Keluarga Merokok dengan Kejadian ISPA
Kejadian ISPA Pada
Balita Total PR (95% P-
Variabel Ya Tidak CI) Value
n % n % n %
Keluarga Merokok
Ya Merokok 35 55,6 28 44,4 64 100 1,852
Tidak Merokok (1,260- 0,018*
12 30,0 28 70,0 40 100
6,751)

Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa proporsi ISPA pada balita lebih besar pada
variabel keluarga merokok yang merokok (55,6%) dibandingkan dengan yang tidak merokok
(30,0%). Dari hasil analisis bivariate didapatkan terdapat keluarga anggota yang merokok
memiliki risiko terkena ISPA lebih besar 1,852 kali dibandingkan tidak ada anggota keluarga
yang merokok dan terbukti berhubungan secara signifikan (p-value = 0,018).
Hubungan Pengetahuan Ibu dengan kejadian ISPA
Kejadian ISPA Pada
Balita Total PR (95% P-
Variabel Ya Tidak CI) Value
n % n % n %
Pengetahuan Ibu
Kurang baik 1,678
17 65,4 9 34,6 26 100
<50% (1,169- 0,035*
Baik >=50 % 30 39,0 47 61,0 77 100 7,491)

Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa proporsi ISPA pada balita lebih besar pada
variabel pengetahuan ibu yang kurang baik (65,4%) dibandingkan dengen pengetahuan ibu
baik (39,0%). Dari hasil analisis bivariate didapatkan pengetahuan ibu yang kurang baik
memiliki risiko terkena ISPA lebih besar 1,678 kali dibandingkan pengetahuan ibu yang baik
dan terbukti berhubungan secara signifikan (p-value = 0,035).
PEMBAHASAN

1. Hubungan Antara Kepadatan Hunian Kamar Tidur Dengan Kejadian ISPA pada
Balita
Bedasarkan hasil penelitian yang diperoleh kesimpulan bahwa kepadatan hunian kamar
tidur mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) pada balita (P-value=0,003), dimana ada 63,6 % balita pernah mengalami infeksi
saluran pernapasan akut. Besarnya resiko ISPA dapat di lihat dari nilai PR= 1,9 artinya balita
yang tidur dikamar dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat memiliki resiko
terkena ISPA sebesar 1,9 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang tidur dikepadatan
hunian yang memenuhi syarat.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rahmi Pramulia Fitri et al (2020).
Menunjukan ada hubungan antara kepadatan hunian kamar tidur dengan kejadian infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita diketahui bahwa nilai (p=0,000). Kepadatan hunian
dapat mempengaruhi kualitas udara kamar, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka
akan semakin cepat udara mengalami pencemaran, oleh karena CO 2 dalam kamar akan
meningkat dan akan menurunkan kadar O2 diruangan, dan kepadatan hunian sangat
berhubungan terhadap jumlah agent penyebab penyakit menular.)
Peneliti lain yang mendukung yaitu Ira Putri Lan Lubis et al (2019) bedasarkan hasil
penelitian dapat disimpulka bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian
dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Desa Silo Bonto,
Kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan dengan nilai (p=0,004).
Kepadatan hunian rumah akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh
pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan
tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin cepat
udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri yang dapat menggangu kesehatan
(ISPA non pneumonia).11 Selain itu, Kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara
kamar, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara mengalami
pencemaran, oleh karena CO 2 dalam kamar akan meningkat dan akan menurunkan kadar O2
diruangan, dan kepadatan hunian sangat berhubungan terhadap jumlah agent penyebab
penyakit menular.12
Nilai kepadatan rumah diadapatkan dari hasil perhitungan antara luas lantai rumah yang
padat memicu tumbuhnya bakteri dan virus penyebab peneu monia pernapasan. Anak-anak
yang masih dibawah umur rentan tertular bakteri dan virus tersebut. Luas lantai rumah yang
sehat harus cukup untuk penghuni rumah didalamnya, artinya agar tidak terjadi kelebihan
penghuni dalam rumah maka jumlah penghuni harus disesuakan dengan luas lantai rumah
tersebut.13
Hasil dari penelitian di wilayah Kerja Puskesmas Simpang Pandan di dapatkan dari hasil
perhitungan ada 44 responden (42,7%) tidak memenuhi syarat untuk itu perlu diperhatikan lagi
ketika luas kamar tidak memenuhi syarat, dan ada salah satu anggota keluarga yang sakit ISPA
lebih baik tidak digabungkan tempat tidurnya dalam satu kamar untuk mencegah penularan
penyakit. Kondisi kamar yang sempit dan telalu banyak penghuni bahkan 2-3 balita akan
mempercepat penularan ISPA. %, salah satu contohnya seperti pada gambar dibawah ini :

Gambar Kepadatan Hunian


Berdasarkan gambar kondisi lantai diatas menunjukkan adanya kondisi kepadatan
hunian kamar tidur, Kamar tidur yang baik adalah kamar tidur dengan kondisi luas kamar tidur
minimal 8 meter persegi, dan dianjurkan tidak lebih dari 2 orang serta kurangi perabotan yang
menumpuk didalam kamar. 14
2. Hubungan Jenis Lantai Dengan Kejadian ISPA pada Balita
Bedasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa jenis lantai mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita
dengan (P-value =0,014). Besarnya resiko penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
dapat dilihat dari nilai PR=1,8 yang artinya balita yang tinggal dirumah dengan jenis lantai
yang tidak memenuhi syarat memiliki resiko menderita infeksi saluran pernpasan akut (ISPA)
sebesar 1,8 kali lebih besar dibandingkan balita yang tinggal dirumah dengan jenis lantai yang
memenuhi syrat.
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Irma Suharno et al (2019) mengenai
hubungan jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah kerja Puskesmas
Wawonasa Kota Manado. Hasil uji chi square nilai p=0,003 yang artinya penelitian
menunjukan bahwa ada hubungan signifikan antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada
balita. Rata-rata berupa lantai semen yang tidak diplaster dan lantai terbuat dari papan
sehingga pada saat musim kemarau akan menghasilkan debu.31
Hasil penelitian juga didukung Ira Putri Lan Lubis et al (2019) hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa ada hubugan yang signifikan antara jenis lantai dengan kejadian infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita dengan nilai (p= 0,004 ). Lantai rumah dapat
mempengaruhi terjadinya ISPA kerena lantai yang tidak memenuhi syarat standar merupakan
media yang baik untuk perkembangan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik
adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab, lantai yang tidak memenuhi syarat
adalah lantai rumah yang terbuat dari tanah, semen yang belum di keramik. Kontruksinya
harus kedap air, mudah dibersihkan, tidak berdebu dan tidak becek pada ketika hujan. Untuk
menghindari masuknya air dari bawah tanah maka lantai setidaknya harus berada 20 cm dari
permukaan tanah. 15
Hasil dari penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Pandan bedasarkan hasl
observasi ada 60 responden yang jenia lantainya tidak memenuhi syarat dengan angka persen
sebanyak 58,3 %, salah satu contohnya seperti pada gambar dibawah ini :

Gambar Lantai yang tidak baik


Berdasarkan gambar kondisi lantai diatas menunjukkan adanya kondisi lantai yang tidak
memenuhi syarat lantai yang baik, seperti lantai yang terbuat dari tanah, semen yang belum di
kermaik, dan berdebu, didukung dengan perilaku kesehatan yang kurang baik, seperti tidak
dilakukannya pembersihan lantai setiap pagi dan sore hari, jarang mengepel lantai. Kondisi
lantai yang kotor menjadi tempat berkembangbiaknya bakteri penyebab penyakit.16
sendangkan yang memenuhi syarat sebanyak 43 responden 41,7 %. salah satu contohnya
seperti pada gambar dibawah ini :

Gambar Lantai yang baik


Berdasarkan gambar kondisi lantai diatas menunjukkan adanya kondisi lantai yang
memenuhi syarat lantai yang baik, diantaranya lantai dalam keadaan kering dan tidak lembab,
tidak berdebu, kedap air dan mudah dibersihkan. Keadaan lantai rumah yang sesuai syarat
selain dapat memperkecil kemungkinan penyakit untuk berkembang biak, juga bisa
memberikan kenyamanan ruangan secara menyelururh bagi penghuninya. 17
3. Hubungan Jenis Dinding Dengan Kejadian ISPA pada Balita
Bedasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa jenis dinding mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita
dengan (P-value =0,020). Besarnya resiko penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
dapat dilihat dari nilai PR=1,8 yang artinya balita yang tinggal dirumah dengan jenis dinding
yang tidak memenuhi syarat memiliki resiko menderita infeksi saluran pernpasan akut (ISPA)
sebesar 1,8 kali lebih besar dibandingkan balita yang tinggal dirumah dengan jenis dinding
yang memenuhi syarat.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Safrizal (2017) mengenai hubungan ventilasi,
lantai, dinding dan atap dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian ada hubungan yang
signifikan antara jenis dinding dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA ) pada
balita. Dinding rumah di Gampong Blang Muko masih banyak yang berdinding papan dan
bambu. Hal ini disebakan karena penghasilan keluarga kurang, sebagian dari responden adalah
IRT.31
Hasil penelitian lain yang mendukung yaitu Dismo Katiandago, Nildawati (2018).
Bedasarkan hasil pengolahan data untuk hubungan kondisi dinding dengan kejadian infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita dengan menggunkan uji chi square yaitu terdapat
hubungan yang signifikan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA pada balita yang
memperoleh nilai (p=0,001).
Namun berbeda dengan penelitian Irma Suharno et al (2019) hasil penelitian menunjukan
bahwa balita yang mempunyai jenis dinding yang memenuhi syarat dan tidak menderita ISPA
yaitu berjumlah 35 (92,15) balita. Kemudian balita yang mempunyai dinding tidak memnuhi
syarat dan menderita ISPA berjumlah 3 (7,9%) balita. Hasil uji chi square nilai (p=0,268) yang
menunjukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara dinding dengan kejadian ISPA
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wawanosa.
Dinding kamar tidur dan diruang keluarga sebaiknya dilengkapi dengan ventilasi untuk
sirkulasi udara. Beberapa ketentuan kontruksi dinding diantaranya bahan bangunan tidak boleh
terbuat dari bahan yang mudah melepas zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan serta
tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tempat tumbuh kembangnya mikroorganisme
pathogen seperti ISPA.18
Hasil penelitian menunjukan ada 35 responden (55,6%) yang dindingnya tidak memenuhi
syarat pernah menderita ISPA. Namun ada 12 responden (30,0%) dengan jenis dinding yang
memenuhi syarat namun pernah mederita ISPA dikarenakan beberapa rumah responden yang
sudah terbuat dari batubata namun belum diplaster terlihat kotor dan berdebu, sehingga dapat
meningkatkan bibit penyakit berkembang biak sehingga dapat menyebabkan kesehatan balita
menurun. Dari hasil penelitian lebih sebagian besar jenis dinding tidak menuhi syarat, salah
satu contohnya seperti pada gambar dibawah ini :

Gambar Dinding yang tidak baik


Berdasarkan gambar kondisi Dinding diatas menunjukkan adanya kondisi Dinding yang
tidak memenuhi syarat Dinding yang baik, hal tersebut dikarenakan masih banyak yang terbuat
dari kayu daripada batubata maka dari itu untuk meminimalisir dinding agar tidak menjadi
media penyakit responden diharapkan membersihkan dindingnya minimal satu minggu sekali.
Dinding rumah yang baik yaitu menggunakan tembok tetapi dinding rumah di daerah wilayah
kerja Puskesmas Simpang Pandan masih banyak yang berdinding papan hal ini disebabkan
karena prekonomian yang kurang. Rumah yang dindingnya tidak rapat seperti papan dan
bambu dapat menyebabkan penyakit pernapasan.
Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat responden dengan kondisi Dinding yang
memenuhi syarat Dinding yang baik, salah satu contohnya seperti pada gambar dibawah ini :

Gambar Dinding yang baik


Berdasarkan gambar kondisi Dinding diatas menunjukkan adanya kondisi Dinding yang
memenuhi syarat Dinding yang baik, salah satunya dinding terbuat dari Akjdshdkj, Selain itu,
Dinding yang baik mempunyai kondisi kering serta mudah dibersihkan.18 Sehingga
memperkecil sebagai tempat berkembang biaknya berbagai penyebab penyakit, mengingat
Rumah dan lingkungan yang sehat merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan
derajat kesehatan keluarga sehingga penghuninya dapat melakukan produktifitas secara
maksimal. 19
4. Hubungan Langit-langit Rumah dengan Kejadian ISPA pada balita
Hasil uji statistik yang dilakukan nilai P-value= (0,968). Maka HO diterima Sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis langit-langit rumah
dengan kejadian infeksi saluran pernpasan akut ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Simpang Pandan. Adapun langit-langit yang tidak memenuhi syarat, namun tidak cukup untuk
memberikan perbedaan yang bermakna terhadap kejadian ISPA pada balita.
Hal ini sejalan dengan penelitian Carina Devi Trisiah, Chatarina Umbul W (2018)
menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara langit-langit rumah dengan kejadian infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita. Meskipun demikian, penelitian tersebut
menemukan bahwa rumah yang tidak memiliki dapat mempermudah debu masuk kedalam
rumah melalui celah antar dinding dan atap rumah.35
Bedasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa langit-lagit rumah ada yang berplafon
da nada juga tidak berplafon, sebanyak 32 responden (57,1%) yang langit-langit rumah tidak
memenuhi syarat pernah mengalami penderita ISPA. Bedasarkan hasil penelitian tersebut
peneliti bependapat bahwa rumah yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Pandan
hampir setiap rumah tidak dipasangi plafon. salah satu contohnya seperti pada gambar
dibawah ini :

Gambar Langit-Langit yang tidak baik


Berdasarkan gambar kondisi langit-langit diatas menunjukkan adanya kondisi langit-
langit yang tidak memenuhi syarat langit-langit yang baik, padahal Langit-langit sangat
mempengaruhi kenyamanan udara dalam ruang. Hal ini disebabkan langit-langit dapat
menahan rembesan air dari atap rumah dalam ruangan. Langit-langit juga dapat menahan
panas yang bersal dari atap rumah pada siang hari dan udara dingin pada malam hari.35
Adapun langit-langit rumah ini dapat menahan panas yang berasal dari atap rumah pada
siang hari dan udara dingin pada malam hari. Untuk meminimalisir tempat
berkembangbiaknya penyakit maka perlu dipasangi plafon sederhana misalnya dari triplek dan
selalu menjaga kebersihan langit-langit rumah tersebut. 20
Sedangkan langit-langit yang memenuhi syarat pernah menderita ISPA sebanyak 15
responden (31,9%). salah satu contohnya seperti pada gambar dibawah ini :

Gambar Langit-Langit yang baik


Berdasarkan gambar kondisi langit-langit diatas menunjukkan adanya kondisi langit-
langit yang memenuhi syarat langit-langit yang baik, Langit langit berfungsi untuk mengurangi
radiasi matahari. yang masuk ke dalam rumah. Tinggi plafon sekurangnya 240cm. Langit-
langit yang sehat adalah yang memiliki plafon atau yang bisa mencegah jatuhnya kotoran dari
sela-sela atap. Langit-langit juga harus dirancang agar mampu menutupi lapisan atap dan
mudah dibersihkan.21
5. Hubungan Pencahayaan Dengan Kejadian ISPA pada Balita
Bedasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pencahayaan mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita
dengan (P-value =0,018). besarnya resiko penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
dapat dilihat dari nilai PR=1,7 yang artinya balita yang tinggal dirumah dengan pencahayaan
yang tidak memenuhi syarat memiliki resiko menderita infeksi saluran pernpasan akut (ISPA)
sebesar 1,7 kali lebih besar dibandingkan balita yang tinggal dirumah dengan pencahayaan
yang memenuhi syarat.
Pencahayaan sendiri menurut Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ialah
proses, cara, perbuatan memberi cahaya. Cahaya adalah prasyarat untuk penglihatan manusia
terutama dalam mengenali lingkungan dan menjalankan aktifitasnya.17 Rumah yang sehat
memerlukan sumber cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Adapun
kurangnya cahaya yang masuk kedalam rumah terutama cahaya matahari dapat menyebabkan
media tempat yang baik untuk hidup dan berkembangbiaknya bibit-bibit penyakit, sebaliknya
apabila sumber cahaya terlalu banyak dapat menyilaukan mata dan akhirnya dapat merusakan
mata.18 Pencahayaan alamai penting untuk mengurangi kelembaban udara dan membunuh
mikroorganisme pathogen pencahayaan alami dan buatan minimal intensitasnya yaitu 60 lux.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kartini et al (2019) tentang suhu, ventilasi
dan pencahayaan menemukan ada hubungan yang signifikan antara pencahayaan dengan
kejadia infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita. 22 Penelitian lain yang mendukung
adalah penelitian Julia (2017) mengenai hubungan pencahayaan dengan kejadian ISPA pada
balita. Hasil menunjukan ada hubungan signifikan antara pencahayaan dengan kejadian ISPA
pada balita.23 Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Elmia Kursani, dkk (2019), menunjukkan
hasil bahwa Ada hubungan Pencahayaan dengan kejadian ISPA di puskesmas Garuda
Tangkerang Tengah.24
Salah satu penyebab kurangnya pencahayaan alami yang masuk kedalam rumah terutama
kamar balita adalah daerah pemukiman yang termasuk padat penduduk sehingga cahaya yang
masuk terhalangi antara rumah yang satu dengan lain sangat sempit sehingga memperkecil
cahaya matahari masuk kedalam rumah.
Hasil penelitian menunjukan pencahayaan rumah responden di wilayah Kerja Puskesmas
Simpang pandan sebagian kecil pencahayaan memenuhi syarat sebanyak 47 responden
(45,6%) dan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 56 responden (54,4%). salah satu
contohnya seperti pada gambar dibawah ini :

Gambar Pencahayaan yang tidak baik


Berdasarkan gambar kondisi pencahayaan diatas menunjukkan adanya kondisi
pencahayaan yang belum memenuhi syarat pencahayaan yang baik, sebagian besar
pencahayaan rumah kurang baik, kurang dari intensitas yaitu 60 lux. Maka dari itu diharapkan
responden untuk selalu membuka ventilasi agar cahaya dapat masuk melalui ventilasi atau
membuka pintu dan menambahkan genteng kaca atau fiber agar cahaya masuk kedalam bias
sesuai intensitasnya. Sebaiknya luas jalan masuknya cahaya seperti jendela minimal 15%
sampai 20% dari luas lantai rumah.25
Selain itu, juga terdapat rumah responden yang berada di wilayah Kerja Puskesmas
Simpang pandan sebagian kecil pencahayaan memenuhi syarat sebanyak 47 responden
(45,6%) salah satu contohnya seperti pada gambar dibawah ini :
Gambar Pencahayaan yang baik
Berdasarkan gambar kondisi pencahayaan diatas menunjukkan adanya kondisi
pencahayaan yang memenuhi syarat pencahayaan yang baik, diantaranya sudah memiliki
jendela sebagai jalan masuknya cahaya alami dari sinar matahari kedalam rumah, yang
tentunya sudah memenuhi salah satu indikator rumah sehat, yaitu memiliki pencahayaan yang
cukup. 26
6. Hubungan Riwayat Anggota Keluarga Merokok Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
Bedasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa anggota keluarga merokok mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita
dengan nilai (P-value=0,020). Besarnya resiko infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dapat
dilihat dari nilai PR =1.8 artinya balita yang tinggal dengan anggota keluarga yang merokok
memiliki resiko 1,8 kali lebih besar dibandingkan balita yang tinggal dirumah dengan anggota
keluarga tidak merokok.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sofia (2017) tentang faktor resiko lingkungan
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Ingin Jaya Aceh Besar hasil
penelitian ini ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada balita. Asap
rokok yang dihembuskan oleh orang tua tersebut akan meningkatkan risiko pada balita untuk
mendapat serangan ISPA walaupun asap rokok bukan menjadi penyebab langsung kejadian
ISPA pada balita, tetapi secara tidak langsung menjadi faktor yang dapat menyababkan
penyakit Paru-paru yang akan melemahkan daya tahan tubuh balita. 27
Hasil penelitian juga didukung I Gusti Agung Putu Mahendrayasa et al (2018) hasil
analisis antara perilaku anggota kelurga merokok dengan kejadian ISPA pada balita
menyatakan terdapat hubungaan yang signifikan antara prilaku anggota keluarga merokok
dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita. 28
Penelitian lainnya yang
dilakukan oleh Salma Milo, DKK. menunjukkan Adanya hubungan antara kebiasaan merokok
di dalam rumah dengan kejadian ISPA pada anak umur 1-5 tahun di Puskesmas Sario Kota
Manado.29
Hasil yang sama juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tazinya et al (2018)
di salah rumah sakit di Kamerun yang membandingkan antara keluarga yang merokok dengan
tidak merokok dengan kesimpulan keluarganya yang merokok sangat berisiko terjadi ISPA
daripada yang tidak merokok.30
Asap rokok yang dihisap perokok aktif maupun perokok pasif akan menyebabkan
pencemaran udara, yang selanjutnya akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga
memudahkan balita yang tinggal serumah dengan perokok akan mudah menderita infeksi
saluran pernapasan akut ISPA.31 Perokok pasif memiliki risiko lebih besar dibandingkan
perokok aktif. Anak kecil sangat rentan terhadap asap rokok karena sistem kekebalannya
masih lemah.32
Asap rokok juga dapat menyebabkan iritasi, peradangan, dan penyempitan saluran
pernapasan proses penyembuhan bagi penderita ISPA akan membutuhkan waktu yang lama
jika penderita masih terpapar asap rokok, karena proses pertahanan tubuh terhadap infeksi
tetap akan terganggu. 33
Bedasarkan hasil tersebut peneliti berpendapat bahwa sebagian besar anggota keluarga
responden di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Pandan merokok, setiap selesai makan
anggota keluarga tersebut selalu merokok, dan satu hari bias menghabiskan satu bungkus
rokok, tentunya sangat berbahaya bagi kesehatan dirinya sendiri maupun khususnya pada
balita. Sehingga keluarga perlu penerapan perilaku hidup bersih dan sehat khususnya untuk
tidak merokok didalam rumah dan dekat dengan balita.
7. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian ISPA pada Balita
Bedasarkan hasil dari penelitian diperoleh bahwa pengetahuan Ibu mempunyai hubungan
yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita dengan
nilai P-value= 0,035. Besarnya resiko menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dapat
dilihat dengan nilai PR=1,6 artinya balita yang tinggal dengan pengetahuan ibu yang kurang
baik memiliki resiko menderita ISPA sebesar 1,6 kali lebih besar dibandingkan dengan
pengetahuan ibu yang baik. 34
Hasil penelitian juga didukung Tina Yuli Fatmawati (2018) bedasarkan dari hasil
penelitian 48 ibu yang memiliki pengetahuan rendah terdapat 38 balita (79,2%) yang mengalai
kejadian ISPA dan 10 balita (20,8%) yang tidak mengalami kejadian ISPA. Hasil dari uji chi
square dapat P-value =0,004(p<0,05) yang berarti ada hubungan yang signifikan antara
pengetahuan ibu dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita.35
Peran orang tua tentang penyakit ISPA merupakan modal utama untuk terbentuknya
kebiasaan yang baik demi kualitas kesehatan anak balita. pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang dengan didasari oleh
pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif akan berlangsung lama dan bersifat permanen,
ibu yang memiliki pengetahuan yang baik tentang ISPA diharapkan akan membawa dampak
yang baik untuk kesehatan anak karena resiko kejadian ISPA pada balita dapat dieliminasi
seminimal mungkin.26
Penelitian lain yang mendukung yaitu Indah Indah Wulaningsih et al (2018), dari hasil
uji chi square diperoleh nilai P-value 0,031 lebih kecil dari taraf signifikan 0,05 atau 5 % maka
Ha diterima. Sehingga terbukti ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan
kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Dawungsari Kecamatan Pegadon
Kabupaten Kendal.
Pengetahuan orang tua tentang penyakit ISPA merupakan modal utama untuk
terbentuknya kebiasaan yang baik demi kualitas kesehatan anak balita. pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
dengan didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif akan berlangsung lama
dan bersifat permanen.36
ibu yang memiliki pengetahuan yang baik tentang ISPA diharapkan akan membawa
dampak yang baik untuk kesehatan anak karena resiko kejadian ISPA pada balita dapat
dieliminasi seminimal mungkin. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pengetahuan pendidikan mempengaruhi proses belajar, dimana semakin tinggi pengetahuan
seseorang maka semakin mudah seseorang untuk menerima informasi Notoadmodjo (2010).26
Dari hasil penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Pandan pengetahuan ibu yang
kurang baik pernah menderita kejadian ISPA pada balita sebanyak 17 responden (65,4%)
sedangkan pengetahuan ibu yang tidak ISPA sebanyak 9 responden (34,6%). salah satu
contohnya seperti pada gambar dibawah ini :

Gambar Pengetahuan Responden


Pengetahuan bisa juga didapatkan melalui pengalaman pribadi manusia yang terjadi
berulang kali, jika seseorang memiliki pengalaman yang banyak maka akan menghasilkan
pengetahuan yang lebih, umur sangat mempengaruhi ibu dalam memperoleh informasi yang
lebih banyak secara langsung maupun tidak langsung akan menambah pengalaman yang akan
meningkatkan pengetahuan.28 Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata
dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. 37
KESIMPULAN
Bedasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulakan bahwa sebagai
berikut :
1. kejadian ISPA terhadap balita masih cukup banyak. Keadaan tersebut disebabkan karena
kondisi lingkungannya sebagian besar tidak memenuhi syarat. Sehingga menunjukan
bahwa 47 balita (45,6%) mengalami infeksi saluran pernapasan akut ISPA. Sedangkan
yang tidak mengalami ISPA sebanyak 56 balita (54,5).
2. Kepadatan hunian kamar sebaigian kecil 42,7% tidak memenuhi syarat, jenis lantai ada
58,3 responden yang tidak memenuhi syarat, jenis dinding sebanyak 61,2 yang tidak
memenuhi syarat, pencahayaan 54,4% tidak memenuhi syarat, langit-langit rumah lebih
dari sebagian 79,6 % tidak memenuhi syarat, anggota keluarga merokok ada 61,2 % yang
tidak memenuhi syarat dan pengetahuan ibu ada sebagian kecil yang kurang baik 25,2 %.
3. Ada hubungan antara kepadatan hunian kamar tidur dengan kejadian infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Pandan (P-
Value=0,003 ;PR=1,9 ;CI95%=1,62-8,38).
4. Ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Pandan (P-
Value=0,014 ;PR=1,8 ;CI95%=1,32-6,90).
5. Ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Pandan (P-
Value=0,020 ;PR=1,8 ;CI95%=1,26-6,75).
6. Tidak ada hubungan antara Langit-langit rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Pandan (P-
Value=0,968 ;PR=1,0 ;CI95%= ,438-3,02
7. Ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Pandan (P-
Value=0,018 ;PR=1,7 ;CI95%=1,26-6,39).
8. Ada hubungan antara kebiasaan anggota keluarga merokok dengan kejadian infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Pandan (P-
Value=0,020 ;PR=1,8 ;CI95%=1,26-6,75).
9. Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Pandan (P-
Value=0,035 ;PR=1,6 ;CI95%=1,16-7,39).
SARAN
1. Bagi Responden
Disarankan untuk responden bisa mengambil pengetahuan dari penyebab penyakit ISPA
agar bisa mencegah keluarganya dari terkenanya penyakit ISPA seperti memperbaiki lantai,
dinding, langit-langit rumah, dan anggota keluarga yang merokok.
2. Bagi Puskesmas
Disarankan bagi pihak puskesmas dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan
evaluasi dalam mengambil kebijakan kesehatan, khususnya dalam menangani kejadian
ISPA yang prevalensinya masih cukup tinggi dan bisa melakukan program untuk mengatasi
kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Simpang Pandan.
3. Bagi Peneliti lain
Disarankan untuk peneliti lain dapat melakukan penelitian yang lebih mendalam terkait
ISPA pada balita karena angka kejadian ISPA di Indonesia masih cukup tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Tentang Kesehatan.; 2009.
2. Achmadi. Dasar-Dasar Penyakit Berasis Lingkungan. Rajawali Pres; 2012.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan.; 2012.
4. Who. Penanganan Ispa Pada Anak Di Rumah Sakit Kecil Di Negara Berkembang. In
Pedoman Untuk Dokter Dan Petugas Kesehatan Senior. Kedokteran Egc; 2003.
5. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. Riskesdas 2018. Kemenkes Ri; 2018.
6. Ri. K. Infeksi Saluran Pernapasan Ispa. Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2007.
7. Kementerian Kesehatan Ri. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 2017 Tentang Pengembangan Jenjang Karir Profesional Perawat Klinis.; 2017.
8. Profil Puskesmas Simpang Pandan. Published Online 2020.
9. Rosjidi C. Panduan Penyusunan Proposal Dan Laporan Penelitian Untuk Mahasiswa
Kesehatan.; 2015.
10. Saryono. Metodolog Penelitian Kesehatan. Mitra Cendikia; 2011.
11. Ningrum E.Kusuma. Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dan Kepadatan Hunian Dengan
Kejadian Ispa Non Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Pinang.
Publ Kesehat Masy Indones. 2015;2(2):72-76.
12. Muslim Kp. Penyehatan Udara. Pertama. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia;
2018.
13. Trisiyah Cd, W Cu. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah Dengan Kejadian
Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Taman Kabupaten Sidoarjo. Indones J
Public Heal. 2018;13(1):119-129. Doi:10.20473/Ijph.Vl13il.2018.119-129
14. Kementrian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat. Dasar Dasar Rumah Sehat.;
2016.
15. Sufiliana K. Penilaian Rumah Sehat Dan Identifikasi Penyakit Berbasis Lingkungan
Pada Balita Di Kelurahan Aur Kota Medan Tahun 2019. Published Online 2020.
16. Surira Mr. Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dan Perilaku Pencegahan Dengan
Endemisitasi Malaria Di Pulau Jampea Kabupaten Kepulauan Selayar. Published Online
2019.
17. Delyuzir Rd. Analisa Rumah Sederhana Sehat Terhadap Kenyamanan Ruang. J Arsit
Dan Kota Berkelanjutan. 2020;2(2):15-27.
18. Damayanti Dp, Silitonga S, Pakpahan R. Rumah Sehat Dan Ramah Gempa Di
Kabupaten Samosir. Alur. 2019;2(1):49-62.
Https://Www.Neliti.Com/Publications/282660/Rumah-Sehat-Dan-Ramah-Gempa-Di-
Kabupaten-Samosir
19. Herdiani I, Kurniawan A, Nuradillah H, Putri Gw, Gunawan Ip. Penyuluhan Kesehatan
Rumah Sehat Pada Masyarakat Di Wilayah Kerja Puskesmas Cibeureum. Abdimas Phb.
2021;4(1):47-52.
20. Teguh I. Kajian Kualitas Lingkungan Terkait Kejadian Ispa Di Kelurahan Simbang
Kulon Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan. J Pena Med. 2015;5(1):84-95.
21. Ratodi M. Things You Should Know About Healthy House Design.; 2017.
22. Dian Fajariati Kartini Arh 1. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Ispa
Pada Anak Balita Di Posyandu Melati Kelurahan Cibinong. J Persada Husada Indones.
2019;6(23):42-49.
23. Janati Jna, Arum Siwiendrayanti. Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Dan
Kebiasaan Orang Tua Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Traji
Kabupaten Temanggung. J Kesehat Pena Med. 2017;7(1):1-13.
Http://Jurnal.Unikal.Ac.Id/Index.Php/Medika
24. Kursani Elmia Yb, Ramadhani Ws. Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dan Faktor
Manusia Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Garuda Kelurahan
Tangkerang Pekanbaru Tahun 2019. J Kesehatan, Kebidanan, Dan Keperawatan.
2019;12(01):1-19.
25. Oktavia Em. Pengaruh Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tb Paru. Stikes Surya
Mitra Husada. Published Online 2018:1-7.
26. Arba S. Pendampingan Rumah Sehat Di Kelurahan Togafo. 2021;1(1):19-24.
27. Sofia. Faktor Risiko Lingkungan Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. Action Aceh Nutr J. 2017;2(1):43.
Doi:10.30867/Action.V2i1.35
28. Mahendra Igap, Farapti F. Relationship Between Household Physical Condition With
The Incedence Of Ari On Todler At Surabaya. J Berk Epidemiol. 2018;6(3):227.
Doi:10.20473/Jbe.V6i32018.227-235
29. Milo S, Ismanto A, Kallo V. Hubungan Kebiasaan Merokok Di Dalam Rumah Dengan
Kejadian Ispa Pada Anak Umur 1-5 Tahun Di Puskesmas Sario Kota Manado. J
Keperawatan Unsrat. 2015;3(2):107603.
30. Tazinya Aa, Halle-Ekane Ge, Mbuagbaw Lt, Abanda M, Atashili J, Obama Mt. Risk
Factors For Acute Respiratory Infections In Children Under Five Years Attending The
Bamenda Regional Hospital In Cameroon. Bmc Pulm Med. 2018;18(1):1-8.
Doi:10.1186/S12890-018-0579-7
31. Haris A, Ikhsan M, Rogayah R. Asap Rokok Sebagai Bahan Pencemar Dalam Ruangan.
Cermin Dunia Kedokt. 2012;39(1):17-20.
32. Jamal S, Hengky Hk, Patintingan A. Pengaruh Paparan Asap Rokok Dengan Kejadian
Penyakit Ispa Pada Balita Di Puskesmas Lompoe Kota Pare-Pare. J Ilm Mns Dan Kesehat.
2022;5(1).
33. Kusumawati I. Hubungan Antara Status Merokok Anggota Keluarga Dengan Lama
Pengobatan Ispa Balita Di Kecamatan Jenawi. Published Online 2010.
34. Sundari S. Perilaku Tidak Sehat Ibu Yang Menjadi Faktor Resiko Terjadinya Ispa
Pneumonia Pada Balita. 2014;2(3):141-147.
35. Fatmawati Ty. Analisis Karakteristik Ibu, Pengetahuan Dan Kebiasaan Merokok
Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Kelurahan Kenali Asam Bawah. J Ilm Univ
Batanghari Jambi. 2018;18(3):497. Doi:10.33087/Jiubj.V18i3.516
36. Mayasari E. Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan Pada Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(Ispa) Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskemas Rejosari. J Public Heal Sci. 2018;7(2):112-
127.
37. Syamsi N. Hubungan Tingkat Pendidikan Dan Pengetahuan Ibu Balita Tentang Dengan
Kejadian Ispa Pada Balita Diwilayah Kerja Puskesmas Bontosikuyu Kabupaten Kepulauan
Selayar. J Ilm Kesehat Sandi Husada. 2018;6(1):49-57. Doi:10.35816/Jiskh.V6i1.14

You might also like