You are on page 1of 30

Cover

EKSEKUSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah hukum acara perdata

DISUSUN OLEH
Melvin Nur Oktaviani Gulo 202119031
Yenni Saputri Halawa 202119046
Andriaman Laoli 202119001
Trisman Gulo 202119044
Dermawan Natal Krisman Hulu 202119011

UNIVERSITAS NIAS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
SEPTEMBER 2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, dimana Berkat dan
AnugerahNya kepada kami kelompok VIII telah menyelesaikan tugas makalah atau tugas
kelompok kami yang berjudul “ EKSEKUSI”. Materi ini kami ringkas dengan sederhana
sesuai dengan kemampuan yang kami miliki dan tugas ini kami buat untuk memenuhi tugas
matakuliah Hukum Acara Perdata.

Dalam pembuatan makalah ini ada banyak kesalahan dan kekurangan dan untuk itu
saran dan kritikan yang bersifat membangun dari teman teman semua akan sangat kami
harapkan demi kesempurnaan isi makalah kami ini, dan secara khusus kami berterimakasih
kepada Bapak Hendrikus Otniel Nasozaro Harefa, S.H.,M.H. Selaku Dosen pengampu
matakuliah hukum acara perdata yang telah mempercayakan kami dalam pembuatan
makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikannya dengan tepat waktu.

Gunungsitoli, 30 September 2022


Penulis

Kelompok VIII
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................. 1
A. Latar bekang........................................................................ 1
B. Tujuan ................................................................................ 6
BAB II PEMBAHASAN ............................................................. 7
A. Pengertian Eksekusi............................................................ 7
B. Asas Eksekusi..................................................................... 8
C. Macam-macam eksekusi..................................................... 9
D. Eksekusi Putusan Pengadilan ............................................. 13
E. Asas-asas Putusan Pengadilan Yang Dapat Dieksekusi..... 13
F. Problematika eksekusi putusan pengadilan.................................... 17
BAB III PENUTUP....................................................................... 23
A. Kesimpulan ........................................................................ 23
B. Saran .................................................................................. 24
Daftar Pustaka............................................................................... 25
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada dasarnya manusia adalah mahkluk sosial yang diciptakan oleh Tuhan Yang
Maha Esa untuk hidup bermasyarakat. Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari seringkali
terjadi gesekan-gesekan yang timbul diantara mereka, maka dari itu perlu adanya suatu
hukum yang mengatur masyarakat untuk memberikan rasa nyaman dan tentram serta
menciptakan keadilan di antara mereka dalam kehidupan bermasyarakat .
Gesekan-gesekan yang timbul dalam masyarakat ini dikarenakan setiap individu
mempunyai kepentingan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kepentingan
individu tersebut kadang bertentangan yang mana bisa mengakibatkan sengketa. Untuk
menghindari sengketa maka perlu adanya hukum yang kuat dimana hukum tersebut
mengatur setiap masyarakat dalam melakukan tindakannya dan memaksa mentaatinya
sehingga tidak merugikan kepentingan yang lain, dan apabila terjadi pelanggaran terhadap
hukum maka hukum menjadi sebuah alat yang digunakan untuk memberikan keadilan bagi
yang dirugikan dan memberikan sanksi bagi siapa yang melakukan pelanggaran.
Negara indonesia merupakan Negara hukum, dimana hukum memegang peranan
penting dalam kehidupan masyarakatnya. Hukum merupakan mekanisme mengintegrasikan
kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Pengadilan merupakan lembaga utama
yang mendukung mekanisme tersebut.

Kepentingan-kepentingan yang menjadi sengketa tersebut diselesaikan melalui


pengadilan, sehingga apabila terjadi suatu sengketa tidak menimbulkan pertentangan yang
membahayakan dua belah pihak yang bersengketa, adanya pengadilan diharapkan dapat
memutus perkara dengan cara dan putusan seadil-adilnya. Cara penyelesain sengketa malalu
pengadilan ini diataur dalam hukum perdata (civil procedural law).

Pengaturan hukum acara perdata mengatur bagaimana cara pihak yang dirugikan
mengajukan perkara ke pengadilan, bagaimana cara pihak yang digugat mempertahankan
diri, bagaimana pengadilan memeriksan dan memutus perkara sehingga dapat diselesaikan
secara adil, dan bagaimana cara melaksanakan putusan pengadilan. Dengan demikian hak
dan kewajiban sebagaimana diatur dalam hukum perdata dan dipenuhi sebagaimana
mestinya.
Dalam hukum acara perdata, orang yang merasa bahwa haknya dilanggar disebut
penggugat, sedang bagi pihak yang ditarik kemuka pengadilan karena dianggap melanggar
hak seseorang atau beberapa orang itu disebut tergugat.
Setiap penggugat dalam perkara senantiasa mengharapkan gugatannya dikabulkan
oleh majelis hakim dan putusannya dapat direalisasikan. Sebab ada kemungkinan pihak
tergugat mempunyai niat yang niat yang tidak baik jadi selama persidangan berlangsung
pihak tergugat mengalihkan harta kekayaan pada orang lain, sehingga apabila gugatan
dimenangkan oleh pengguat maka putusan hakim tidak memiliki kekuatan karena tergugat
sudah tidak memiliki hak atas kekayaannya dan gugatanya bersifat hampa (illusoir).

Hal ini dapat diartikan bahwa suatu putusan tidak ada artinya apabila tidak
dapat dilaksanakan. Oleh karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial
yaitu berkekuatan untuk dilaksanakan sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam putusan
itu secara paksa oleh alat-alat negara.

Dengan adanya penyitaan tersebut maka tergugat akan kehilangan


wewenangnya atas kekayaan tersebut, sehingga apabila dia ingin mengasingkan
kekayaannya atau mengalihkan barangnya yang disita merupakan tindakan pidana.
Masalalah eksekusi merupakan masalah yang sangat pelik, sehingga dalam
pemeriksaannya yang dilakukan oleh majelis hakim perlu adanya penguasaan materi
penyitaan khususnya sita eksekutorial yang mendalam selain itu diperlukan ketelitian dan
kehati-hatian dalam memutuskan permohonan sita eksekutorial tersebut. Menurut Pasal 207
HIR, menyatakan bahwa : “ Terhadap sita eksekutorial baik yang mengenai barang tetap
maupun barang bergerak, pihak yang dikalahkan dapat mengajukan perlawanan ”. Hal ini
berarti bahwa seseorang yang mengaku sebagai pemilik barang yang di sita eksekutorial
dapat mengajukan perlawanan terhadap sita eksekutorial atas barang tersebut.
Suatu putusan hakim tidaklah tetutup kemungkinan menimbulkan masalah dalam
pelaksanaannya dikemudian hari. Hal itu terjadi bila ada pihak ketiga yang merasa dirugikan
hak-hak dan kepentingannya dengan dijalankannya putusan sehingga pihak ketiga yang
dirugikan tadi mengajukan gugatan perlawanan ke Pengadilan Negeri. Pihak ketiga disini
bukan salah satu pihak yang terlibat atau tersangkut dalam perkara semula, melainkan pihak
yang sama sekali diluar pokok sengketa.
Putusan Pengadilan Negeri baru dapat dijalankan apabila sudah mendapat kekuatan
hukum tetap, yaitu dalam hal yang tidak mungkin diadakan ketika di umumkan, dan dalam
hal para pihak diperbolehkan mohon banding sesudah Pengadilan Tinggi menguatkan
putusan itu.

Suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan di dalam bunyi isi
putusan tersebut memerintahkan panitera atau juru sita untuk melaksanakan eksekusi
terhadap benda milik pihak yang dikalahkan merupakan alasan bagi pihak ketiga
mengajukan gugatan perlawanan apabila benda yang dijadikan obyek sita eksekutorial tadi
oleh orang lain (pihak ketiga) sebagai barang miliknya dan bukan milik pihak yang
dikalahkan dalam perkara semula. Pihak ketiga tersebut mempunyai hak untuk melakukan
perlawanan apabila dinilai pelaksanaan isi putusan hakim yang memerintahkan eksekusi
terhadap obyek sita eksekutorial telah merugikan hak dan kepentingannya.
Dalam hal ini pihak ketiga tadi disebut Pelawan atau Pembantah, sedangkan
penggugat dalam perkara semula dalam perlawanan, disebut terlawan penyita dan tergugat
dalam perkara semula, dalam perlawanan disebut pihak terlawan tersita. Maksud
perlawanan oleh pihak ketiga ini adalah untuk mempertahankan obyek eksekusi supaya
tidak pindah ke tangan penggugat semula yang berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap telah dimenangkan dan dikabulkan permohonan
eksekusinya dan obyek eksekusi tersebut telah dalam kekuasaan pelawan.
Di dalam masyarakat, manusia selalu berhubungan satu sama lain. Kehidupan
bersama itu menyebabkan adanya interaksi satu sama lain. Bukan tidak mungkin
interaksi tersebut dapat juga menimbulkan pertentangan atau konflik dalam masyarakat itu
sendiri. Konflik itu terjadi apabila dalam melaksanakan atau mengejar kepentingannya,
seseorang dirugikan oleh orang lain.

Gangguan kepentingan atau konflik antar anggota masyarakat haruslah dicegah atau
tidak dibiarkan berlangsung terus karena akan mengganggu keseimbangan tatanan
masyarakat. Manusia akan selalu berusaha agar tatanan masyarakat dalam keadaan
seimbang, karena keadaan tatanan masyarakat yang seimbang menciptakan suasana tertib,
damai dan aman, yang merupakan jaminan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu,
masyarakat selalu berusaha agar keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu dapat
dipulihkan ke keadaan yang harmonis. (restitutio in integrum).
Untuk mempertahankan ketertiban dalam masyarakat maka diperlukan suatu
perangkat peraturan yang dapat menjadi acuan berperilaku dalam bermasyarakat yaitu
hukum. Hukum yang dimaksud meliputi keseluruhan aturan normatif yang mengatur dan
menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan didukung
oleh sistem sanksi tertentu terhadap setiap penyimpangan terhadapnya. Bentuk-bentuk
aturan normatif seperti itu bisa merupakan kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam
pergaulan hidup bermasyarakat dan bernegara ataupun peraturan yang sengaja dibuat
menurut prosedur-prosedur yang ditentukan dalam sistem organisasi kekuasaan dalam
masyarakat yang bersangkutan. Makin maju dan komplek kehidupan suatu masyarakat,
makin berkembang pula tuntutan keteraturan dalam pola-pola perilaku dalam kehidupan
masyarakat.
Sehubungan dengan adanya tuntutan keteraturan dalam masyarakat maka apabila
timbul sengketa, biasanya orang yang merasa dirugikan membutuhkan penyelesaian baik
sendiri atau melalui pengadilan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Keberadaan
pengadilan perdata bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara anggota
masyarakat. Sengketa yang terjadi, beraneka ragam. Ada yang berkenaan dengan
pengingkaran atau pemecahan perjanjian (breach of contract), perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad), sengketa hak milik (property right), perceraian, pailit,
penyalahgunaan wewenang.
oleh penguasa yang merugikan pihak tertentu, dan sebagainya. Sengketa tersebut
harus diajukan kepada pengadilan. Suatu sengketa yang telah diputus oleh pengadilan,
belumlah sempurna apabila belum dilaksanakan. Karena sebenarnya tujuan para pihak
mengajukan suatu gugatan ke pengadilan adalah agar perkara itu dapat ditentukan
hukumnya melalui putusan pengadilan, yang kemudian putusan itu dapat dilaksanakan.
Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan.
Eksekusi berasal dari kata executie artinya melaksanakan putusan hakim (ten
uitvoerlegging van vonnissen.Eksekusi di bidang perdata adalah melaksanakan secara paksa
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan bantuan kekuatan umum.
Dalam pengertian yang lain, eksekusi di bidang perdata berarti melaksanakan putusan dalam
perkara perdata secara paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
karena pihak tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela. Dalam pengertian
tersebut, pada prinsipnya eksekusi merupakan realisasi kewajiban pihak tergugat untuk
memenuhi prestasi yang tercantum di dalam putusan hakim. Eksekusi terhadap putusan
hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap (BHT) merupakan proses terakhir dari proses
perkara perdata maupun pidana di pengadilan.
Eksekusi, terutama dalam perkara perdata merupakan proses yang cukup melelahkan
pihak-pihak berperkara karena akan menyita waktu, energi, biaya, tenaga juga pikiran.
Dalam praktiknya pelaksanaan eksekusi seringkali menemui banyak kendala. Hal itu
terutama disebabkan oleh pihak yang kalah yang umumnya sulit menerima keputusan
pengadilan dan cenderung menolak putusan pengadilan.

Seperti yang telah disebutkan maka suatu putusan baru dapat dimintakan eksekusi
apabila putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap dan pihak yang kalah tidak mau
untuk melaksanakan amar putusan secara sukarela. Amar putusan yang dapat dimintakan
eksekusi adalah hanya putusan yang amarnya menghukum (condemnatoir), sementara amar
putusan declaratoir dan konstitutif tidak dapat dimintakan eksekusi. Putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap dapat langsung dijalankan. Akan tetapi, dalam beberapa kasus
adakalanya terjadi kendala yang menyebabkan putusan tersebut tidak dapat dieksekusi.
Salah satu kendala yang menyebabkan suatu eksekusi tidak dapat dilaksanakan adalah
penundaan eksekusi.

Eksekusi pada hakikatnya merupakan suatu upaya hukum untuk merealisasi


kewajiban pihak yang kalah dalam suatu perkara untuk memenuhi prestasi yang tercantum
dalam putusan pengadilan. Namun, ada kalanya pelaksanaan eksekusi tidak dapat berjalan
dengan lancar. Banyak hambatan yang merintangi, baik yang berupa perlawanan fisik,
psikis dari pihak yang kalah yang sampai pada tidak terpenuhinya perintah pemberian
jaminan, yang ditetapkan hakim pada putusan uitvoerbaar bij voorraad (putusan yang dapat
dijalankan terlebih dahulu). Sehingga dapat menimbulkan sengketa dan gugatan dari pihak
lain.
Cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi diatas diatur mulai
Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR, namun pada saat sekarang tidak semua ketentuan Pasal-
Pasal tadi berlaku secara efektif. Pasal yang masih benar-benar berlaku efektif terutama
Pasal 195 sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR.
Ada banyak masalah mengenai eksekusi salah satunya adalah tentang eksekusi
tanah, sebagaimana yang telah kita ketahui tanah dalam UUPA mempunyai arti
sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Sehingganya masalah-masalah yang
berhubungan dengan sengketa tanah sangatlah penting untuk diselesaikan melalui jalur
hukum, mengingat tanah merupakan salah satu unsur esensial dalam hidup dan kehidupan
manusia. Dimana sifat esensial itu dibuktikan dengan tanah merupakan suatu benda
kekayaan yang bersifat tetap, bahkan terkadang menguntungkan.
Hukum yang baik adalah hukum yang membawa kemanfaatan bagi masyarakat.
Menurut Radbruch bahwa hukum adalah segala yang berguna bagi rakyat. Sebagai bagian
dari cita hukum (Idee des recht), keadilan dan kepastian Hukum membutuhkan pelengkap
yaitu kemanfaatan.11 Para pejabat hukum perlu mempertimbangkan dalam memutuskan
perkara yang berujung eksekusi apakah memberi dampak yang positif (bermanfaat) ataupun
dampak negatif bagi masyarakat yang berada disekitar tanah eksekusi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Eksekusi?
2. Apa Asas Eksekusi?
3. Apa Macam-macam eksekusi?
4. Bagaimana Eksekusi Putusan Pengadilan?
5. Bagaimana Asas-asas Putusan Pengadilan Yang Dapat Dieksekusi
6. Apa Problematika eksekusi putusan pengadilan
C.TUJUAN
1. Mengetahui Apa Pengertian Eksekusi
2. Mengetahui Apa Asas Eksekusi
3. Mengetahui Apa Macam-macam eksekusi
4. Mengetahui Bagaimana Eksekusi Putusan Pengadilan
5. Mengetahui Bagaimana Asas-asas Putusan Pengadilan Yang Dapat
Dieksekusi
1. Apa Problematika eksekusi putusan pengadilan
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN EKSEKUSI
Secara sederhana, eksekusi adalah menjalankan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Sebagaimana pendapat Sudikno Mertokusumo yang dikutip oleh
Drs H. Abdul Manan, SH,S.IP, M.Hum dalam bukunya berjudul Penerapan Hukum Acara
Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, Cetakan ke II, 2001,
halaman 213 memberikan definisi bahwa eksekusi pada hakekatnya tidak lain adalah
realisasi dari pada kewajiban pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi yang tercantum
dalam putusan pengadilan tersebut (Amran Suaidi : 171).
Yahya Harahap menjelaskan bahwa eksekusi merupakan tindakan hukum yang
dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan
tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses
hukum acara perdata (Yahya Harahap : 130).
Lain lagi rumusan eksekusi yang disampaikan oleh R. Soepomo, yang menyatakan
bahwa eksekusi adalah hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat
negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan Hakim,
apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyi putusan dalam waktu yang
ditentukan (Soepomo :119).
Menurut R. Subakti “Eksekusi adalah upaya dari pihak yang dimenangkan dalam
putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan umum (polisi,
militer) guna memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan bunyi putusan.
Dari berbagai definisi dari ketiga pakar dan pakar-pakar hukum acara perdata yang
lain dapat disimpulkan bahwa eksekusi adalah tindakan pengadilan kepada pihak yang kalah
atas permohonan pihak yang menang dalam berperkara agar menjalankan putusan Hakim
yang telah berkekuatan hukum tetap menurut tata cara yang telah ditentukan oleh hukum
acara perdata.
Selanjutnya dalam Pasal 196 HIR/Pasal 208 RBG dikatakan: “ Jika pihak yang
dikatakan tidak mau atau lalai untuk memenuhi amar Putusan Pengadilan dengan damai
maka pihak yang menang dalam perkara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
Negeri untuk menjalankan Putusan Pengadilan itu”. Kemudian Ketua Pengadilan Negeri
memanggil pihak yang kalah dalam hukum serta melakukan teguran (aanmaning) agar
pihak yang kalah dalam perkara memenuhi amar putusan pengadilan dalam waktu paling
lama 8 (delapan) hari.
Dalam pengertian lain, eksekusi adalah hal menjalankan putusan pengadilan yang
sudah berkekuatan tetap. Putusan pengadilan yang dieksekusi adalah putusan yang
mengandung perintah kepada salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang atau juga
pelaksaanan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan
pihak yang kalah tidak mau melakasanakan putusan itu secara sukarela sehingga
memerlukan upaya paksa dari pengadilan untuk melaksanakannya.
Dengan demikian, pengertian eksekusi adalah tindakan paksa yang dilakukan
Pengadilan Negeri terhadap pihak yang kalah dalam perkara supaya pihak yang kalah dalam
perkara menjalankan Amar Putusan Pengadilan sebagaimana mestinya .Lama putusan
hakim, melalui perantara panitera/jurusita /jurusita pengganti tingkat pertama dengan cara
paksa karena tidak dilaksanakan secara sukarela dan pelaksanan putusan hakim merupakan
proses terakhir dari proses penyelesaian perkara perdata dan pidana sekaligus prestise dari
lembaga pengadilan itu sendiri.

Eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pada eksekusi tersbut
mempunyai kekuatan eksekutorial yang dalam artinya, langsung dapat dilaksanakan tanpa
melaui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan
tersbut.

B. ASAS EKSEKUSI
Untuk menjalanan suatu eksekusi maka perlu memperhatikan berbagai asas, yaitu:

1) Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah telah berkekuatan hukum yang teta
(in kracht van gewjisde).
Maksudnya, pada putusan hakim itu telah terwujud hubungan hukum yang
pasti antara para pihak yang harus ditaati/dipenuhi oleh tergugat dan sudah tidak ada
lagi upaya hukm (Rachtsmiddel),yakni :
 Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding
 utusan Makamah Agung (kasasi/PK)
 Putusan verstek yang tidak diajukan ke verzet.

Sebagai pengecualian dari asas diatas adalah:


 Putusan serta merta (uitvoerbaar bii voorraad);
 Putusan provinsi
 Putusan perdamaian;
 Grose akta hipotik/pengakuan hutan
2) Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah bersifat menghukum
(condemnatoir).

Dimana pada putusan yang bersifat menghukum adalah terwujud dari adanya
perkara yang bentuk yurisdictio contentioso ( bukan yuridictio voluntaria ) , dengan
bercirikan, bahwa perkara bersifat sengketa (bersifat partai) dimana ada pengugat
dan ada tergugat, proses pemeriksaanya secara berlawanan antara penggugat dan
tergugat (contradictio) .
Misalnya amar putusan yang berbunyi :
 Menghukum atau memerintahakan “menyerahkan”sesuatu barang
 Menghukum atau memerintahakan “melakukan“ pembayaran
sejumlah uang
3) Putusan hakim itu tidak dilaksanakan secara sukarela

Bahwa tergugat sebagai pihak yang kalah dalam perkara secara nyata tidak
bersedia melakukan amar putusan dengan sukarela. Sebaliknya apabia tergugat
bersedia melaksanakan amar putusan secara secara sukarela, maka dengan
sendirinya tindkan eksekusi sudah tidak diperlukan lagi.

4) Kewenangan eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat pertama (Pasal 195Ayat
(1) HIR/Pasal 206 Ayat (1) HIR R.Bg)

Bahwa pengadilan tingkat banding dengan Mahkamah Agung tidaklah


mempunyai kewenangan untuk itu, sekaligus terhadap putusannya sendiri, sehingga
secara ex offcio (ambtshalve) kewengangan tersebut berada pada ketua pengadilan
tingkat pertama (pengadilan agama/pengadilan negeri) yang bersangkutan dari sejak
awal hingga akhir (dari aananing hinga penyerahan barang kepada penggugat).

5) Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.

Apa yang dibunyikan oleh amar putusan, itulah yang akan dieksekusi. Jadi
tidak boleh menyimpang dari amar putusan. Oleh karena itu keberhasilan eksekusi
diantaranya ditentukan pula oleh kejelasan dari amar putusan itu sendiri yang
didasari pertimbangan hukum sebagai argumentasi hakim.

C. MACAM –MACAM EKSEKUSI


Pada dasarnya ada dua bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yag hendak dicapai
oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu melakukan suatu
tindakan nyata atau tidak riil, sehingga ekseksi semacam ini disebut “eksekusi riil”
dan melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi seperti ini selalu disebut “eksekusi
pembayaran uang”.

1. Eksekusi Riil

Eksekusi yang menghukum kepada pihak yang kalah dalam perkara untuk
melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya menyerahkan barang, mengosongkan
tanah atau bangunan, membongkar, menghentikan suatu perbuatan tertentu dan lain
– lain sejenis itu. Eksekusi ini dapat dilakukan secara langsung (dengan perbuatan
nyata) sesuai dengan amar putusan tanpa melalui proses perlelangan.

2. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang

Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah eksekusi yang mengharuskan


kepada pihak yang kalah untuk melakukan pembayaran sejumlah uang ( Pasal 196
HIR/208 R.Bg).Eksekusi ini adalah kebaikan dari eksekusi rill dimana pada eksekusi
amar putusan seperti pada eksekusi riil, melainkan haruslah melalui proses
pelelangan terlebih dahulu, karena yang akan dieksekusi adalah sesuatu yang
bernilai uang.

a. Tata cara dan Aturan Tentang Eksekusi

1. Eksekusi Riil

Menjalankan eksekusi riil adalah merupakan tindakan nyata yang dilakukan


secara langsung guna melaksanakan apa yang telah dihukumkan dalam amar putusan
dengan tahapan :

a) Adanya permohonan dari penggugat (pemohon eksekusi) kepada ketua


pengadilan (196 HIR/Pasal 207 ayat (1) R.Bg)
b) Adanya peringatan (aanmaming) dari ketua pengadilan kepada termohon eksekusi
agar dalam waktu tidak lebih dari 8 (delapan) hari dari sejak aanmaning
dilakukan. Melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela aanmaning
dilakukan. (Pasal 207 ayat 2 R.Bg), dengan cara:
 Melakukan pemanggilan terhadap termohon eksekusi dengan menentukan
hari, tanggal, jam dan tempat;
 Memberikan peringatan (kalau ianya datang), yaitu dengan cara:
 Dilakukan dalam sidang insidentil yang dihadiri ketua pengadilan panitera
dan termohon eksekusi
 Dalam sidang tersebut diberikan peringatan/teguran agara termohon
eksekusi dalam waktu 8 (delapan) hari, melaksanakan putusan tersebut;
 Membuat berita acara sidang insidentil (aanmaning), yang menncatat
peristiwa yang terjadi dalam persidangan tersebut;
 Berita cara sidang aanmaning tersebut akan dijadikan bukti bahwa kepada
sidang aanmaning tersebut akan dijadikan bukti peringatan/teguran untuk
melaksanakan amar putusan secara sukarela, yang selanjutnya akan
dijadikan dasar dalam mengeluarkan perintah eksekusi.
Apabila setelah dipanggil seacara patut, termohon eksekusi ternyata tidak hadir dan
ketidak hadirannya disebabkan oleh halangan yang sah (daoat dipertanggungjawabkan),
maka ketidak hadiranya masih dapat dibenarkan dan ianya harus dipanggil kembali untuk di
annmaning .

Akan tetapi apabila ketidak hadiranya itu tidak adanya alasan yang sah (tidak
dapat dipertanggungjawabkan), maka termohon eksekusi harus menerima akibatnya,
yaitu hilangnya hak untuk dipanggil kembali dan hak untuk aanmaning serta ketua
pengadilan terhitung sejak termohon eksekusi tidak memenuhi panggilan tersebut,
dapat langsung mengeluarkan surat penetapan (beschikking) tentang perintah
menjalakan eksekusi;
a. Setelah tenggang waktu 8 (delapan) hari ternyata termohon eksekusi masih tetap
tidak bersedia melaksanakan isi putusan tersebutan secara sukarela, maka
ketua pengadilan penetapan dengan mengabulkan permohonan eksekusi
dengan disertai surat perintah eksekusi, dengan ketentuan :
1. Berbentuk tertulis berupa penetapan (beschikking);
2. Ditunjuk kepada panitera/jurusita/jurusita pengganti;
3. Berisi perintah agar menjalankan eksekusi sesuai dengan amar putusan
b. Setelah menerima perintah menjalankan eksekusi dari ketua pengadilan maka
panitera/jurussita panitera menentukan waktu serta memberitahukan tentang
eksekusi kepada pemohon eksekusi kepala desa/lurah/keacamatan/kepolisian
setempat.
c. Proses selanjutnya, pada waktu yang telah ditentukan, panitera/jurusita pengganti
langsung ke lapangan guna melaksanakan eksekusi dengan ketentuan;
 Eksekusi dijalankan oleh panitera/jurusita pengganti (Pasal 209 ayat (1)
R.Bg)
 Eksekusi dibantu 2 (dua) orang saksi ( Pasal 200 R.Bg)
 Warga Negara Indonesia
 Berumur minimal 21 tahun
 Dapat dipercaya
 Eksekusi dijalankan ditempat umum dimana barang (objek) tersebut berada;
 Membuat berita acara eksekusi, dengan ketentuan memuat :
 Waktu (hari,tanggal,bulan , tahun , dan jam) pelaksanaan;
 Jenis, letak,ukuran dari barang yang dieksekusi;
 Tentang kehadiran termohon dieksekusi
 Tentang pengawas barang (obyek) yang dieksekusi;
 Penjelasan tentang Niet Bevinding (barang/obyek yang tidak
diketentukan/tidak sesuai dengan amar putusan);
 Penjelasan tentang dapat/tidaknya eksekusi dijelaskan;
 Keterangan tentang penyerahan barang (obyek) kepada pemohon
eksekusi;
 Tanda tangan panietra/jurusita pengganti (ekusekutor), 2 orang saksi yang
membantu menjalankan eksekusi, kepala desa/lirah/camat dan termohon
eksekusi itu sendiri;Untuk tanda tangan kepala desa dan termoho eksekusi
tidaklah merupakan keharusan. Artiya tidaklah mengakibatkan tidak sahnta
eksekusi, akan tetapi akan lebih baik jika mereka turut tanda tangan guna
menghindari hal-hal yang tidak diingini.
Memberitahukan isi berita acara eksekusi kepada termohon eksekusi
(Pasal209 R.Bg), yang dilakukan ditempat dimana eksekusi dijalankan (jika termohon
eksekusi hadir pada saat eksekusi dijalankan), atau ditemopatkan kediamannya (jika
termohon eksekusi tidak hadir pada saat eksekusi dijalankan).

2. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang


Untuk sampai pada realisasi penjualan lelang sebagai syarat dari eksekusi
pembayaran sejumlah uang, maka eksekusi tersebut perlu melalui proses tahapan
sebagai berikut :

a. Adanya permohonan dari pemohon eksekusi kepadaketua pengadilan.


b. Adanya peringatan/teguran (aanmaning) dari ketua pengadilan kepada
termohon eksekusi agar ianya dalam waktu tidak lebih dari 8 (delapan) hari,
sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan amar putusan.
c. Setelah masa peringatan/teguran (aanmaning) dilampaui, termohon
eksekusi masih tetap tidak memenuhi isi putusan berupa pembayaran
sejumlah uang, maka sejak saat itu ketua pengadilan secara ex afficio
mengeluarkan surat penetapan (beschikking) berisi perintah kepada
panitera/jurusita/jurusita pengganti untuk melakukan sita eksekusi
(executorial beslag) terhadap harta kekayaan jika sebelumnya tidak
diletakkan sita jaminan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal
197 HIR/Pasal 208 R.Bg (tata cara sita eksekusi hampir sama dengan sita
jaminan) Adanya perintah penjualan lelang, dilanjutkan dengan penjualan
lelang setelah terlebih dahulu dilakukan pengumuman sesuai dengan
ketentuan pelelangan. Lalu diakhiri dengan penyerahan uang hasil
lelang kepada pemohon eksekusi.
D. EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN.
Eksekusi terhadap putusan pengadilan adalah hal menjalankan putusan pengadilan
yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang dieksekusi adalah
putusan pengadilan yang mengandung amar perintah kepada salah satu pihak untuk
membayar sejumlah uang, atau juga pelaksanaan putusan yang memerintah pengosongan
benda tetap, sedangkan pihak yang kalah tidak mau melaksanakan secara sukarela
sehingga memerlukan upaya paksa dari pengadilan untuk melaksanakannya. Putusan
pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang mempunyai kekuatan
eksekutorial.
Adapun yang memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan pengadilan adalah
terletak pada putusan yang memuat irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” dan untuk pengadilan agama didahului lafadh
“Bismillahirrahmanirrahim”. Disamping itu, amar putusan harus bersifat kondemnator,
yaitu putusan yang menyatakan suatu penghukuman untuk melakukan sesuatu, dengan
menetapkan suatu keadaan hukum dan menetapkan suatu penghukuman, misalnya
penghukuman untuk membayar sejumlah uang tertentu atau penghukuman untuk
menyerahkan sesuatu benda tertentu.
E. ASAS-ASAS PUTUSAN YANG DAPAT DIEKSEKUSI
1. Putusan telah berkekuatan hukum tetap :
Pada asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan
pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum antara
pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti, yaitu hubungan hukum itu mesti ditaati
dan dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak tergugat), baik secara sukarela
maupun secara paksa dengan bantuan kekuatan hukum (Yahya Harahap : 6).Dari
uraian tersebut dapat difahami, bahwa selama putusan belum mempunyai kekuatan
hukum tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru berfungsi
sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak tanggal putusan
memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan pihak tergugat (yang kalah) tidak mau
mentaati dan memenuhi putusan secara suka rela (Amran Suaidi : 171-172).
Ada pengecualian terhadap asas ini :
a. Pelaksanaan putusan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad). Menurut Pasal 180 ayat
(1) HIR dan 191 ayat (1) R.Bg, eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap
putusan pengadilan sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh
kekuatan hukum yang tetap (Amran Suaidi : 172).
Drs. H.Abdul Manan, SH, SIP, M.Hum dalam bukunya yang berjudul
Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, hlm. 88
mengingatkan kepada Hakim dalam melaksanakan putusan lebih dahulu (uitvoerbaar
bij voorraad) agar sangat berhati-hati mengingat beberapa rambu-rambu yang telah
digariskan oleh Mahkamah Agung, yaitu :
 SEMA-RI Nomor 13 Tahun 1964 tanggal 10 Juli 1964, yang intinya
menginstruksikan
kepada Hakim agar sedapat mungkin tidak meluluskan permohonan putusan
uitvoerbaar bij voorraad. Hakim sebelum meluluskan permintaan putusan
uitvoerbaar bij voorraad harus betul-betul mempertimbangkan dari berbagai segi
supaya putusan yang dijatuhkan itu tidak mempunyai kesulitan di kemudian hari.
 SEMA-RI Nomor 5 Tahun 1968 tanggal 2 Juni 1968, yang menegaskan bahwa ada
putusan uitvoerbaar bij voorraad diajukan permohonan banding, kemudian di lain
pihak diajukan permohonan untuk pelaksanaannya, maka Mahkamah Agung RI
menyerahkan kepada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan untuk memeriksa,
mempertimbangkan dan memutuskan dapat atau tidaknya permintaan tersebut
dikabulkan.
 SEMA-RI Nomor 3 Tahun 1971 tanggal 17 Mei 1971, disamping mencabut kedua
SEMA diatas, menegaskan bahwa agar para Hakim supaya berhati-hati
menggunakan lembaga uitvoerbaar bij voorraad, karena apabila dalam tingkat
banding atau kasasi putusan pengadilan dibatalkan, maka akan timbul kesulitan di
kemudian hari dan sulit untuk mengembalikan keadaan seperti semula dan banyak
pihak akan menderita rugi.
 SEMA-RI Nomor 6 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975, yang mengetengahkan
pendapat Mahkamah Agung bahwa oleh karena Pasal 180 ayat (10) HIR dan Pasal
191 ayat (1) R.Bg hanya memberikan kewenangan diskretioner kepada para Hakim
yang tidak bersifat imperatif, maka Hakim tidak menjatuhkan putusan uitvoerbaar
bij voorraad meskipun syarat-syarat yang dikemukakan dalam Pasal 180 ayat (1)
HIR dan Pasal 191 ayat (1) R.Bg sudah terpenuhi, lebih-lebih apabila ada sita
jaminan yang cukup.
 SEMA-RI Nomor 3 Tahun 1978 tanggal 1 April 1978, menegaskan kembali
kepada Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri seluruh Indonesia agar tidak
menjatuhkan putusan uitvoerbaar bij voorraad walaupun syarat-syarat sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat (1) R.Bg sudah
terpenuhi secara keseluruhan.
1. Putusan tidak dijalankan secara sukarela (Amran Suaidi : 173).
Pada prinsipnya ada dua cara menjalankan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap, yaitu :
a) Menjalankan putusan secara sukarela. Pihak yang kalah (tergugat) memenuhi
sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan. Apabila tergugat sudah
memenuhi isi putusan dengan sukarela dan sempurna, berarti isi putusan telah
selesai dilaksanakan, maka tidak diperlukan lagi tindakan paksa kepadanya
(eksekusi).
Untuk menjamin pelaksanaan isi putusan secara suka rela, hendaknya
pengadilan membuat berita acara pemenuhan putusan secara suka rela dengan
disaksikan oleh dua orang saksi yang dilaksanakan di tempat putusan tersebut
dipenuhi dan ditanda tangani oleh jurusita pengadilan, dua orang saksi dan
penggugat maupun tergugat.
b) Menjalankan putusan dengan jalan eksekusi. Menjalan putusan dengan jalan
eksekusi baru terjadi apabila :
 Pihak yang kalah tidak mau menjalankan isi putusan secara sukarela,
sehingga diperlukan tindakan paksa yang disebut eksekusi agar pihak yang
kalah dalam hal ini tergugat menjalankan isi putusan pengadilan.
 Adanya permohonan oleh pihak yang menang (penggugat) kepada
pengadilan agar isi putusan dipenuhi oleh pihak yang kalah (tergugat).
Tidak ada istilah batas waktu (kedaluwarsa) bagi pihak yang menang
(penggugat) dalam mengajukan permohonan eksekusi, kerena tidak ada
aturan yang menentukan kapan pihak yang menang (penggugat) harus
mengajukan permohonan eksekusi. Hal ini berangkat dari prinsip bahwa
pengajuan permohonan eksekusi merupakan hak penuh bagi pihak yang
menang (penggugat) meskipun akan berakibat pada tingkat penyelesaian
perkara dan administrasi yustisial tidak selesai secara tuntas dan sempurna.
2. Putusan bersifat kondemnatoir.
Maksud putusan bersifat kondemnatoir adalah putusan yang amar atau
diktumnya mengandung unsur “penghukuman”, sedang putusan yang amar atau
diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman tidak dapat dieksekusi atau non
eksekutabel (Amaran : 173).
Seringkali terjadi, dalam perkara gugat waris, baik disengaja atas kehendak
pihak-pihak berperkara, atau kelalaian serta kurangnya pengetahuan pihak
penggugat dalam surat guagatannya tidak mencantumkan petitum yang memohon
penghukuman agar tergugat dihukum untuk menyerahkan obyek sengketa kepada
tergugat. Sehingga dengan petitum yang tidak mencantumkan penghukuman kepada
pihak tergugat, akan lahir putusan hakim bersifat deklarator.
Keadaan seperti hal tersebut dapat dipecahkan dengan jalan mengajukan
perkara gugatan dan didaftarkan sebagai perkara baru di pengadilan agama yang
sama dengan sengketa pokok permohonan agar tergugat dihukum untuk
menyerahkan obyek sengketa yang telah ditetapkan hukum sebagai harta warisan.
Dasar diajukannya gugatan tersebut adalah adanya putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap yang telah menetapkan kedudukan para pihak sebagai ahli waris, obyek
sengketa sebagai harta waris dan besarnya bagian masing-masing sebagai ahli waris.
Dengan sendirinya, hal-hal yang hukumnya telah ditetapkan dalam putusan
yang lalu, tidak perlu lagi diperdebatkan atau dipermasalahkan atau dibuktikan lagi
dalam persidangan perkara tersebut. Dalam hal ini pengadilan agama hanyalah akan
memeriksa yang berkekanaan dengan petitum tunggal penggugat, mengenai
penghukuman terhadap tergugat untuk menyerahkan obyek sengketa kepada
penggugat sebagian atau seluruhnya.
Akan tetapi dalam segi yang lain, terjadinya amar dalam sengketa waris
tersebut bersifat deklaratoir adalah memang disengaja oleh majelis hakim pengadilan
agama tersebut, yaitu karena menurut pertimbangan majelis hakim, yang dapat
dibuktikan hanyalah kedudukan para pihak saja sebagai ahli waris, sedang terhadap
obyek sengketa, mungkin tidak dapat dibuktikan sebagai harta waris. Dengan
sendirinya, untuk kasus seperti ini tidak mungkim dapat diajukan gugat baru yang
semata-mata meminta penghukuman untuk menyerahkan obyek sengketa sebagai
harta waris (Hensyah Syahlani : 16-18).
3. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.
Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat (1) HIR dan Pasal 206 ayat (1)
R.Bg dengan surat penetapan dari Ketua Pengadilan Agama, tidak diperkenankan
perintah secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk ini sangat sesuai
dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum serta pertanggungjawabannya. Dengan
adanya surat penetapan tersebut, akan tampak jelas dan terperinci batas-batas eksekusi
yang akan dijalankan oleh Panitera atau Jurusita. Disamping itu, Ketua Pengadilan
Agama akan mudah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan eksekusi tersebut
(Amran Suaidi : 174).

F. PROBLEMATIKA EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN


Ada beberapa perkara yang dapat dipridiksi dalam pelaksanaan putusannya akan
mengalami kendala atau permasalahan, antara lain :
a. Eksekusi putusan hadhonah
Dalam melaksanakan putusan hadhanah, kemungkinan ada perlawanan dari
pihak terseksekusi atau kuasanya, bahwa eksekusi terhadap hadhanah tidak ada
aturannya dalam HIR dan Rbg atau peraturan perundang-undangan lain yang berlaku
khusus di lingkungan peradilan agama. Belum adanya hukum yang mengatur secara
jelas mengenai eksekusi putusan hadhanah tidak berarti bahwa putusan hadhanah itu
tidak bisa dijalankan, melainkan harus dapat dilaksanakan berdasarkan aturan hukum
yang berlaku secara umum.
Berangkat dari asumsi bahwa belum adanya aturan khusus yang mengatur
mengenai eksekusi hadhanah di lingkungan peradilan agama, menimbulkan dua
pendapat bagi para pakar hukum. Kelompok pertama berpendapat bahwa anak tidak
dapat dieksekusi dengan alasan karena selama ini yusrisprudensi yang ada tentang
eksekusi, semuanya hanya dalam bidang hukum benda. Kelompok kedua yang
dipelopori Abdul Manan tahun 2005 mengatakan putusan hadhanah dapat
dilaksanakan dengan argumentasi bahwa masalah hadhanah yang putusannya bersifat
kondemnator, jika sudah berkekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut dapat
dieksekusi dan pengadilan agama memiliki wewenang untuk menempuh upaya paksa
dalam melaksanakan putusan tersebut.
Menurut M. Yahya Harahap, SH dalam praktek peradilan agama dikenal dua
macam eksekusi, yaitu :
 Eksekusi riil sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat (1) HIR, Pasal 218 ayat (2)
RBg dan Pasal 1033 Rv yang meliputi penyerahan, pengosongan, pembongkaran,
pembagian dan melakukan sesuatu.
 Eksekusi pembayaran sejumlah uang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 200 HIR
dan 215 RBg.
Eksekusi kedua ini dilakukan dengan menjual lelang barang-barang debitor,
atau dilakukan dalam pembagian harta apabila pembagian in natura tidak disetujui
oleh para pihak atau tidak mungkin dilakukan pembagian in natura dalam sengketa
warisan atau harta bersama.
Sejalan dengan kebutuhan praktek peradilan, eksekusi putusan pengadilan
agama tidak hanya terbatas pada eksekusi bidang hukum perdata, akan tetapi sudah
merambah dalam eksekusi hadhanah. Nampaknya eksekusi hak hadhanah dapat
dikatagorikan pada jenis eksekusi bentuk pertama, yaitu eksekusi riil.
Keadaan lain yang menjadi kendala dalam pelaksanaan eksekusi putusan
hadhanah, adalah keberadaan anak yang disengketakan. Pada saat sebelum dilakukan
eksekusi, pemohon eksekusi memberikan keterangan kepada pengadilan agama bahwa
yang yang akan dieksekusi berada di rumah terseksekusi. Namun setelah panitera
sampai di rumah tereksekusi, ternyata anak yang akan dieksekusi tersebut tidak berada
di tempat dan menurut informasi tetangganya telah pergi meninggalkan tempat
eksekusi yang telah ditetapkan oleh panitera. Hal ini akan menambah kesulitan bagi
pengadilan, apabila keberadaan anak dan pihak terkesekusi tidak jelas atau ia berada
di wilayah pengadilan agama lain.
b. Adanya perlawanan terhadap eksekusi.
Sebelum membicarakan perlawanan pihak ketiga, ada baiknya apabila
diterangkan terlebih dahulu perbedaan antara gugatan dan perlawanan. Gugatan
diajukan terhadap hak-hak yang dilanggar atau belum terpenuhi, namun belum ada
putusan pengadilan yang memutus sengketa tersebut. Artinya dalam perkara gugatan
ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan.
Sedangkan derden verzet adalah perlawanan yang diajukan oleh pihak lawan
berperkara sendiri (party verzet) atau perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga
(derden verzet). Memang pada dasarnya putusan pengadilan hanya mengikat kepada
para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga. Namun tidak menutup
kemungkinan ada pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh putusan pengadilan.
Terhadap putusan tersebut, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan
perlawanan kepada pengadilan yang memutus perkara tersebut
(www.hukumline.com, 7-12-2017).
Pada dasarnya derden verzet hanya ditujukan terhadap eksekusi putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, akan tetapi prinsip ini
dikembangakan dan dilembagakan penerapannya melalui gugatan pihak ketiga
terhadap suatu proses yang masih berlangsung. Dengan demikian, meskipun putusan
belum berkekuatan hukum tetap dimungkinkan mengajukan derden verzet sejak
proses di pengadilan tingkat pertama, banding dan kasasi.
Adapun yang menjadi faktor keabsahan formal pengajuan perlawanan
eksekusi adalah diajukan sebelum putusan yang dilawan belum selesai dieksekusi.
Jika sudah selesai dieksekusi, upaya perlawanan dianggap melanggar tata tertib
hukum acara perdata yang berlaku. Akibatnya perlawanan dinyatakan tidak dapat
diterima dan tuntutan penundaan berubah menjadi tuntutan pembatalan eksekusi
melalui gugatan biasa (www.hukumline.com, 7- 12-2017)
Hukum acara perdata tidak mengatur secara jelas mengenai penundaan
eksekusi, akan tetapi untuk mencegah timbulnya kekosongan hukum, maka hakim
dapat menggunakan sumber hukum tidak tertulis. Indonesia memang tidak menganut
asas preseden yang mewajibkan untuk mengikuti putusan hakim yang terdahulu,
tetapi putusan hakim tersebut dapat dijadikan sumber hukum apabila belum ada
pengaturan oleh undang-undang.
Pada prinsipnya pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan eksekusi suatu
putusan berdasarkan ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR dan Pasal 206 ayat (6) RBg.
Sedangkan satu-satunya syarat pihak lain (pihak ketiga) diterima untuk mengajukan
perlawanan tersebut adalah bahwa barang yang dieksekusi adalah miliknya.
Pasal 207 HIR dan Pasal 227 RBg menegaskan bahwa adanya perlawanan
pihak ketiga tidak menunda eksekusi kecuali Ketua Pengadilan Agama memberi
perintah agar eksksekusi ditunda sampai dijatuhkannya putusan pengadilan terhadap
perlawanan tersebut.
Rakornas Uldilag dengan badan peradilan agama tangal 27 sampai dengan 29
Januari 2016 memutuskan bahwa putusan yang masih ada upaya hukum peninjauan
kembali hendaknya eksekusinya ditangguhkan walaupun peninjauan kembali tidak
menghalangai eksekusi.
Adapun syarat-syarat pengajuan derden verzet adalah :
1. Diajukan sebelum eksekusi dijalankan. Jika derden verzet diajukan setelah
eksekusi dilaksanakan maka satu-satunya cara adalah mengajukan gugatan baru.
2. Perlawanan diajukan atas alasan hak milik (Pasal 195 ayat (6) HIR atau Pasal
2016 ayat (6) RBg).
3. Barang yang akan dieksekusi telah dijaminkan kepada pelawan atau barang yang
akan dieksekusi dalam jaminan pihak ketiga. Karena asas eksekusi adalah
melarang eksekusi terhadap barang yang telah dijamnikan kepada pihak ketiga
(Yahya Harahap : 290)
Sikap pengadilan agama terhadap derden verzet :
1. Jika dalam perkara derden verzet, pelawan dinyatakan sebagai pelawan yang
benar, perlawanan dikabulkan serta perkara yang dimohonkan eksekusi
dibatalkan, maka pengadilan agama menunggu sampai perkara derden verzet
berkekuatan hukum tetap, jika pada akhirnya pelawan sebagai pihak yang
menang, maka sita eksekusi yang telah diletakkan harus segera diangkat.
2. Jika dalam perkara derden verzet pelawan tidak dapat membuktikan
perlawanannya dan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar dan
perlawanan ditolak serta mempertahankan putusan yang dimohonkan
eksekusi, maka eksekusi tetap dilaksanakan tanpa menunggu upaya hukum
pelawan (Yahya Harahap : 293)

Perlawanan eksekusi yang dilakukan oleh pihak tereksekusi sama seperti


perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu pada dasarnya tidak
menangguhkan eksekusi, kecuali jika Ketua Pengadilan Agama memerintahkan agar
eksekusi tersebut ditunda dengan penetapan.
Biasanya pengajuan perlawanan eksekusi oleh tereksekusi segera setelah
permohonan eksekusi diajukan oleh pemohon eksekusi. Pendaftaran perlawanan oleh
terseksekusi harus diabaikan dan tidak perlu didaftar sebagai perkara, sebab jika hal
ini didaftar sebagai perkara penyelesaiannya akan menjadi rumit. Perlu dimaklumi
bahwa proses perkara telah berjalan begitu panjang sehingga telah mendapatkan
putusan yang berkekuatan hukum tetap. Sehingga kita dapat menilai terseksekusi yang
tetap mengajukan perlawanan itu, merupakan sikap yang tidak taat pada hukum. Surat
perlawanan tersebut cukup dijawab dengan surat biasa (bukan penetapan) yang inti
surat tersebut adalah adalah menyatakan bahwa perkara telah selesai, saat ini tinggal
pelaksanaan putusan (eksekusi) dan selanjutnya tidak perlu menangguhkan eksekusi.
Apabila perlawanan diajukan sebelum adanya penetapan eksekusi sebaiknya
eksekusi ditangguhkan sementara dalam status quo sambil menunggu perlawanan
pelawan tersebut mendapat putusan. Jika perlawanan pelawan dikabulkan, maka
pengadilan agama menunggu sampai perkara derden verzet berkekuatan hukum tetap,
jika pada akhirnya pelawan sebagai pihak yang menang, maka sita eksekusi yang telah
diletakkan harus segera diangkat. Begitu pula sebaiknya apabila perlawanan ditolak,
maka Ketua Pengadilan Agama dengan surat penetapan memerintahkan eksekusi
dilanjutkan.
c. Amar putusan tidak jelas.
Apabila amar putusan tidak jelas, maka Ketua Pengadilan Agama harus
melakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1). Meneliti pertimbangan hukum
putusan, sebab amar dan pertimbangan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. 2). Jika pertimbangan hukumnya tidak jelas maka bertanya kepada
ketua majelis hakim yang menyidangkan. 3). Apabila usaha-usaha tersebut belum
juga memberikan kejelasan, maka Ketua Pengadilan Agama dapat mengeluarkan
penetapan non eksekutabel (tidak dapat dieksekusi).

d. Pengerahan masa atau campur tangan pihak lain.


Pengerahan masa yang dimobilisasi oleh termohon eksekusi atau campur
tangan pihak ketiga dengan tujuan agar pelaksanaan eksekusi terhambat atau bahkan
menjadi gagal, merupakan salah satu kendala yang sering dialami dalam pelaksanaan
eksekusi. Untuk keselamatan petugas pengadilan, kondisi yang demikian itu dapat
dijadikan alasan untuk menunda eksekusi sampai dengan waktu tepat.

e. Obyek sengketa berada di wilayah pengadilan agama lain. 1).


Pendelegasian eksekusi. Ada kemungkinan obyek yang dimohonkan eksekusi
berada di luar wilayah yurisdiksi pengadilan agama yang memutus perkaranya.
Dalam keadaan seperti ini terdapat aturan yang termuat dalam Pasal 195 HIR dan
Pasal 206 RBg, yang menggariskan langkah-langkah sebagai berikut
1. Membuat surat penetapan.
Setelah biaya pendelegasian eksekusi dipenuhi oleh pemohon eksekusi, maka
Ketua Pengadilan Agama membuat surat penetapan yang isinya memerintahkan
kepada Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama yang memutus perkara melalui
9 Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama tempat obyek yang akan dieksekusi.
Dalam surat penetapan eksekusi tersebut, dirinci segala hal yang dieksekusi
secara jelas. Apabila menyangkut benda tetap harus jelas ukurannya, luas dan
batas-batasnya. Jika berupa barang bergerak harus jelas mereknya, jumlahnya
dan hal-hal yang diperlukan.
Surat penetapan tersebut beserta resi biaya eksekusi dikirim kepada Ketua
Pengadilan Agama tempat obyek eksekusi berada dengan surat pengantar Ketua
Pengadilan Agama atau Panitera atas nama Ketua Pengadilan Agama.
2. Berita acara eksekusi. Pengadilan agama yang menerima permintaan eksekusi
segera melaksanakan eksekusi sesuai dengan penetapan eksekusi pengadilan
agama yang meminta pelaksanaan eksekusi. Pengadilan agama yang menerima
permintaan eksekusi tidak dibenarkan menilai isi penetapan eksekusi yang
dikirim oleh pengadilan agama yang meminta eksekusi. Jika eksekusi telah
dilaksanakan, maka Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama yang menerima
permintaan eksekusi yang ditunjuk membuat berita acara eksekusi, kemudian
Ketua Pengadilan Agama tersebut segera mengirimkannya kepada Ketua
Pengadilan Agama yang meminta pelaksanaan eksekusi.
3. Mengenai ketentuan biaya eksekusi. Yang menaksir biaya eksekusi adalah
pengadilan agama yang meminta pelaksanaan eksekusi. Tentang berapa besar
biaya eksekusi yang diperlukan adalah menurut kebutuhan di lapangan. Teknis
pengirimannya kepada pengadilan agama yang diminta bantuan eksekusi, bisa
dilakukan sebelum atau bersamaan dengan surat pengantar permohonan bantuan
eksekusi dikirim. Apabila ternyata biaya eksekusi kurang dari kebutuhan riil
dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, pengadilan agama yang menerima
permintaan eksekusi dapat meminta tambahan biaya eksekusi kepada pengadilan
agama yang meminta bantuan eksekusi dengan melampirkan kebutuhan nyata
yang telah dikeluarkan atau dibutuhkan.
4. Perlawanan pihak ketiga (derden verzet). Berdasarkan Pasal 206 ayat (6) RBg
dan Pasal 195 ayat (6) HIR dikemukakan bahwa perlawan pihak ketiga (derden
verzet) atas pelaksanaan putusan hakim diajukan dan diadili oleh pengadilan
agama yang melaksanakan putusan tersebut atau diajukan dan diadili oleh
pengadilan agama dimana eksekusi dilaksanakan. Akan tetapi menurut ketentuan
dalam Pasal 379 Rv, perlawanan pihak ketiga harus diajukan di pengadilan
agama yang memutus perkaranya, bukan di pengadilan agama yang
melaksanakan eksekusi.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Eksekusi pada hakikatnya merupakan suatu upaya hukum untuk merealisasi
kewajiban pihak yang kalah dalam suatu perkara untuk memenuhi prestasi yang
tercantum dalam putusan pengadilan. Namun, ada kalanya pelaksanaan eksekusi
tidak dapat berjalan dengan lancar. Banyak hambatan yang merintangi, baik yang
berupa perlawanan fisik, psikis dari pihak yang kalah yang sampai pada tidak
terpenuhinya perintah pemberian jaminan, yang ditetapkan hakim pada putusan
uitvoerbaar bij voorraad (putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu). Sehingga
dapat menimbulkan sengketa dan gugatan dari pihak lain.

2. Asas eksekusi yaitu


 Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah telah berkekuatan hukum yang
teta (in kracht van gewjisde).
 Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah bersifat menghukum
(condemnatoir
 Putusan hakim itu tidak dilaksanakan secara sukarela
 Kewenangan eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat pertama (Pasal
195Ayat (1) HIR/Pasal 206 Ayat (1) HIR R.Bg)
 Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.
3. Macam-macam eksekusi yaitu :
 Eksekusi Riil
 Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang
4. Eksekusi terhadap putusan pengadilan adalah hal menjalankan putusan pengadilan
yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang dieksekusi adalah
putusan pengadilan yang mengandung amar perintah kepada salah satu pihak untuk
membayar sejumlah uang, atau juga pelaksanaan putusan yang memerintah
pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah tidak mau melaksanakan
secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari pengadilan untuk
melaksanakannya. Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang
mempunyai kekuatan eksekutorial.
5. Asas-asas putusan yang dapat dieksekusi adalah
 Putusan telah berkekuatan hukum tetap
 Putusan bersifat kondemnatoir.
 Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.
6. Problematika eksekusi putusan pengadilan adalah kesenjangan dalam menjalankan
putusan pengadilan yang telah mempunya kekuatan hukum tetap yang dilakukan
secara paksa , jika perlu dengan bantuan kekuatan hukum
B. SARAN
1. Para pihak yang bersengketa akan lebih baik saat mediasi dilakukan bersikap
kooperatif karena akan membantu jalannya mediasi untuk mencapai hasil terbaik
yang dapat diterima kedua belah pihak.
2. Hendaknya kepada para pihak yang bersengketa, sebelum mengajukan masalah ke
pengadilan akan lebih baik menyelesaikan masalah dengan cara damai terlebih
dahulu karena saat perkara dimasukkan ke pengadilan seperti perkara yang dibahas
dalam penelitian ini akan menguras waktu dan biaya yang akhirnya pun hasilnya
tidak dijalankan.
3. Hendaknya Mahkamah Agung RI memperhatikan bahwa kebutuhan Mediasi tidak
hanya dalam litigasi akan tetapi dalam proses eksekusi dibutuhkan pula. Oleh karena
ketentuan Mengenai mediasi tidak diatur baik dalam Perma nomor 1 tahun 2008
maupun dalam Perma nomor 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
maka ke depan diharapkan mengenai mediasi dalam proses eksekusi sebaiknya
diatur pula.
4. Hendaknya para pihak tidak membuat perjanjian baru di luar pengadilan yang
menyimpang dengan isi putusan sebab akan menyulitkan diri sendiri apabila di
kemudian hari salah satu pihak menyesal dan bahkan berakibat kepada non
executable
DAFTAR PUSTKA
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
Yayasan Al Hikmah, Jakarta, Cetakan ke II, 2001.
Amran Suaidi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Teori dan Praktek,
Kencana, Jakarta,2017.
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta, UII Press, 2005.
Hasbi Hasan, Menyoal Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara
Ekonomi Syariah, Mimbar Hukum Dan Peradilan, Edisi Nomor 73-2011

You might also like