You are on page 1of 34

PENEGAKAN HUKUM DAN MEKANISME PENYELESAIAN

TERHADAP PELANGGARAN PRAKTEK MONOPOLI DAN


PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DI INDONESIA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Konsentrasi Hukum Perdata
Kapita Selekta Hukum Bisnis

Dosen Pengampu: Dr. Agus Prihartono Permana Sidiq, SH., MH

Disusun oleh
Kadek Evinka Yuristin
(7773210021)

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2022
ii

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, kiranya pantaslah penulis

memanjatkan puji syukur atas segala nikmat yang telah diberikan, baik kesempatan maupun

kesehatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Penegakan Hukum

Dan Mekanisme Penyelesaian Terhadap Pelanggaran Praktek Monopoli Dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia” dengan baik.

Namun, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih ada hal-hal yang belum

sempurna dan luput dari perhatian penulis. Baik itu dari bahasa yang digunakan maupun dari

teknik penyajiannya. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan dan kerendahan hati, penulis

sangat mengharapkan kritik dan saran para pembaca sekalian demi perbaikan makalah ini

kedepannya.

Serang, September 2022

Penulis
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………… i

KATA PENGANTAR …………………………………………………………….… ii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………..…… 1

B. Identifikasi Masalah ………………………………………………...…… 5

C. Tujuan Penelitian …………………………………………………………. 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Pelanggaran Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia ……………… 6

B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam Perkara Praktek Monopoli Dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat ……………………………………………... 13

C. Analisis terhadap praktek perjanjian tertutup dalam persaingan usaha tidak

sehat (Studi Putusan Nomor 22/KPPU-I/2016) …………………………… 20

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ……………………………………………..…………………… 21

B. Saran ……………………………………………………………………… 22

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 23


1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Era globalisasi saat ini membuat para pelaku pasar semakin bersaing untuk

mendapatkan keuntungan yang lebih luas. Agar mendapatkan keuntungan yang

maksimal, pelaku usaha terkadang bahkan sering melakukan tindakan yang kurang

bahkan tidak jujur yang dapat menghambat pelaku usaha lain dalam melaksanakan

prinsip ekonominya. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU LPM & PUTS) telah

dijelaskan bahwa perjanjian bukan hanya dalam bentuk tulisan akan tetapi juga

perbuatan-perbuatan yang membuat hilangnya persaingan, pembatasan produksi dan

peningkatan harga.

UU LPM & PUTS dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan

memberikan perlindungan hukum bagi pelaku usaha untuk menciptakan kesejahteraan

dan persaingan yang sehat. Selain itu, Undang-Undang tersebut dengan tegas mengatur

mengenai bentuk-bentuk persaingan usaha tidak sehat, mengatur mengenai Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), serta penegakkan hukum persaingan usaha. KPPU

merupakan pengawas yang mengatur penyelesaian pelanggaran hukum persaingan usaha.

KPPU dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang KPPU

sebagai pelaksana dari ketentuan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha.

Tentunya beberapa praktik negara lainnya di dalam mencegah berkembang

biaknya monopoli dan oligopoli, perlu menjadi bahan perbandingan bagi Indonesia.

Amerika Serikat misalnya, telah mengeluarkan The Sherman Antitrust Act, 1980, The
2

Clayton Antitrust Act, 1914, Robinson Patman Act, 1936, Celler-Kefauver Act, 1950 dan

The Federal Trade Commission Act, 1914. Di Jerman telah ada Undang-Undang tentang

Unfair Competition sejak tahun 1909. Di Philipina, ada satu Chapter khusus tentang

Frauds in Commerce and Trade pada Penal Code-nya yang direvisi pada tahun 1930

dengan Act Nomor 3815.1

Menurut Kelik Pramudy sebagaimana dikutip dari Arie Siswanto (2002), bahwa

secara etimologi, kata “monopoli” berasal dari kata Yunani “monos” yang berarti sendiri

dan “polein” yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut secara sederhana orang lantas

memberi pengertian monopoli sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang

menawarkan (supplay) suatu barang atau jasa tertentu.2

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli, yaitu

suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan

jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha. Yang dimaksud dengan

pelaku usaha adalah setiap orang- perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam

bidang ekonomi.

Menurut Mustafa Kamal Rokan, monopoli berarti kondisi penguasaan atas

produksi dan pemasaran oleh satu kelompok pelaku usaha tertentu. Sedangkan praktek

monopoli menekankan pada pemusatan kekuasaan sehingga terjadi kondisi pasar yang

monopoli. Karenanya, praktek monopoli tidak harus langsung bertujuan menciptakan

monopoli, tetapi istilah ini pada umumnya menggambarkan suatu usahamencapai atau

memperkuat posisi dominan di pasar. Dalam hak praktek monopoli, yang berarti
1
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Anti Monopoli, (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), hlm.17.
2
Arie Siswanto, 2004. Hukum Persaingan Usaha , Ghaila Indonesia, Bogor,
3

menekankan pada proses monopoli dapat melihat beberapa hal sebagai berikut, yakni

penentuan mengenai pasar bersangkutan, penilaian terhadap keadaan pasar dan adanya

kegiatan yang dilakukan oleh pelaku untuk menguasai pasar.3

Selanjutnya Mustafa Kamal Rokan menambahkan “monopoli dapat terjadi dengan

dua cara yaitu, pertama, monopoli alamiah (natural monopoly) yang terjadi akibat

kemampuan seseorang atau sekelompok pelaku usaha yang mempunyai satu kelebihan

tertentu sehingga membuat pelaku usaha lain kalah bersaing. Satu pelaku usaha pada

pasar sepatu yang mempunyai kualitas yang sangat baik dapat menekan biaya produksi,

pemasaran yang prima tentu akan diminati oleh komsumen, sehingga secara “alamiah”

akan menguasai pasar sepatu. Jika sesuatu kelebihan yang dimiliki pelaku usaha tersebut

didaftarkan dalam hak paten, maka penemuan atau kelebihan yang dimilikinya adalah

hak eksklusifnya. Kedua, monopoli berdasarkan hukum (monopoly by law), yakni

monopoli yang berasal dari pemberian negara seperti yang termaktub dalam Pasal 33

UUD 1945 yang selanjutnya di lindungi oleh UU dan peraturan dibawahnya.4

Saiful Akbar menjelaskan bahwa dalam fenomena persaingan usaha nasional

selalu terdapat isu kondisi struktural ekonomi, isu perilaku mendukung persaingan atau

tidak mendukung persaingan dari para pelaku usaha nasional serta isu kebijakan

persaingan usaha nasional. Dalam isu pertama, perspektif ekonomi sangatlah menonjol,

untuk isu kedua, perspektif ekonomi terkait dengan masalah motif ekonomi dari perilaku

tersebut dan sudut pandang hukum akan membahas ada atau tidaknya aturan dari perilaku

tersebut, sedangkan isu ketiga, sangat menonjol perspektif hukumnya. Oleh karenanya,

3
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori Praktiknya di Indonesia, 2012, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada), hlm. 8-10
4
Ibid, hlm. 11
4

dalam pembahasan isu persaingan usaha pastinya akan terdapat perspektif ekonomi dan

perspektif hukumnya.5

Salah satu bentuk persaingan usaha tidak sehat yaitu perjanjian tertutup dan

penguasaan pasar. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah dijelaskan bahwa perjanjian bukan hanya dalam

bentuk tulisan akan tetapi juga perbuatan-perbuatan yang membuat hilangnya persaingan,

pembatasan produksi dan peningkatan harga.6 Dalam putusan nomor 22/KPPU-I/2016,

dapat dilihat adanya praktik monopoli maupun perjanjian yang dilarang. Kasus yang

terjadi merupakan masalah antara PT. Tirta Investama dan PT. Balina Agung Perkasa.

Bahwa PT TIV dan PT BAP secara bersama-sama pernah menyampaikan himbauan lisan

kepada para pedagang Star Outlet (SO) mulai dari akhir tahun 2015 sampai dengan

pertengahan tahun 2016, PT TIV melalui KAE dan PT BAP melalui bagian penjualan.

Dengan bukti dokumen mengenai “Form Sosialisasi Pelanggan Star Outlet” yang

memerintahkan bahwa penjual yang menjadi Star Outlet dari produk PT TIV bersedia

untuk tidak menjual produk air minum dalam kemasan (AMDK) dengan merek Le

Minerale, dan bersedia menerima konsekuensi sanksi dari PT TIV berupa penurunan ke

Wholeseller apabila menjual produk kompetitor sejenis dengan merek Le Minerale.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimana penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelanggaran praktek

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia?


5
Saiful Akbar, 2011, Kedudukan Hukum Persaingan Usaha Dalam Sistem Hukum
Indonesia,akbarsaiful.wordpress.com/kedudukan-hukum-persaingan-usaha, diakses pada tanggal 12
September 2022
6
Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha, 2008, (Depok:
Hukum Universitas Indonesia)
5

2. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa dalam perkara praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat?

3. Bagaimana analisis terhadap praktek perjanjian tertutup dalam persaingan usaha tidak

sehat (Studi Putusan Nomor 22/KPPU-I/2016)?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian pembahasan dalam makalah ini

berdasarkan uraian diatas adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui penegakan hukum (law enforcement) erhadap pelanggaran praktek

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di indonesia.

2. Mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa dalam perkara praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat.

3. Mengetahui tinjauan yuridis praktek perjanjian tertutup dalam persaingan usaha tidak

sehat (Studi Putusan Nomor 22/KPPU-I/2016).


6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Pelanggaran Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia

Sebelum dikeluarkan UULPM & PUTS, pengaturan mengenai persaingan usaha

tidak sehat didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melawan

hukum (onrechtmatigdaad) dan Pasal 382 bis KUHPidana”.7 Menurut KUH Perdata,

“Tiap-tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian

tersebut” (Pasal 1365 KUH Perdata).

Selanjutnya “Barang siapa yang mendapatkan, melangsungkan atau memperluas

hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan

curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu, diancam karena

persaingan curang dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau

pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah, bila perbuatan itu dapat

menimbulkan kerugian bagi konkuren-konkuren orang lain”. (Pasal 382 bis KUHPidana).

Dari rumusan Pasal 382 bis KUHPidana ini terlihat bahwa seseorang dapat dikenakan

sanksi pidana atas tindakan “persaingan curang” dan harus memenuhi beberapa kriteria

sebagai berikut:

1. Adanya tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai persaingan curang.

2. Perbuatan persaingan curang itu dilakukan dalam rangka mendapatkan,

melangsungkan dan memperluas hasil dagangan atau perusahaan.

7
Lintang Asmara, 2011, hal 1, file://E/BAB 10, Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. 10.
7

3. Perusahaan yang diuntungkan karena persaingan curang tersebut, baik perusahaan si

pelaku maupun perusahaan lain.

4. Perbuatan pidana persaingan curang dilakukan dengan cara menyesatkan khalayak

umum atau orang tertentu.

5. Akibat dari perbuatan persaingan curang tersebut telah menimbulkan kerugian bagi

konkorennya dari orang lain yang diuntungkan dengan perbuatan si pelaku.8

Dalam hal ini pemerintah berupaya untuk mencegah adanya praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Menurut

Pasal 1 UU LPM & PUTS definisi monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau

pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu

kelompok pelaku usaha. Sedangkan yang dimaksud dengan praktek monopoli adalah

pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan

dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga

menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.9

Beberapa hal yang diatur di dalam UU 5/1999 atau juga disebut sebagai UU

Antimonopoli antara lain:

1. Perjanjian yang dilarang, misalnya praktek oligopoli, penetapan harga, pembagian

wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, dan sebagainya;

2. Kegiatan yang dilarang, misalnya praktek monopoli, praktek monopsoni,

persekongkolan, dan sebagainya;

3. Penyalahgunaan posisi dominan. Posisi dominan yang dimaksud adalah keadaan di

mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan

dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai

8
Ibid, hlm.15
9
8

posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan

kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta

kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

Adapun penyalahgunaan posisi dominan misalnya jabatan rangkap, pemilikan

saham, dan lain-lain sebagaimana diatur dalam UU 5/1999.

Pesatnya perkembangan dunia usaha tanpa adanya suatu aturan yang tegas, dapat

mengakibatkan timbulnya persaingan usaha tidak sehat bahkan juga dapat menimbulkan

praktik monopoli oleh pelaku dalam dunia usaha tersebut. Persaingan usaha tidak sehat

dapat dipahami sebagai kondisi persaingan di antara pelaku usaha yang berjalan secara

unfair atau curang. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memberikan tiga indikator untuk

menyatakan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, yaitu:10

1. Persaingan usaha yang dilakukan secara tidak jujur,

2. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hokum,

3. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara menghambat terjadinya persaingan

diantara pelaku usaha.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang pengaturan monopoli

terdapat 2 (dua) kelompok karakteristik yaitu:

1. kelompok pasal yang memiliki karakteristik rule of reason dan

2. kelompok pasal yang memiliki karakteristik perse illegal

Rule of reason dapat diartikan bahwa dalam melakukan praktik bisnisnya pelaku

usaha (baik dalam melakukan perjanjian, kegiatan, dan posisi dominan) tidak secara

otomatis dilarang. Akan tetapi pelanggaran terhadap pasal yang mengandung aturan rule

of reason masih membutuhkan suatu pembuktian, dan pembuktian ini harus dilakukan


10
Mustafa Kamal Rokan. Hukum Persaingan Usaha. 2010. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada).
Hal. 10
9

oleh suatu majelis yang menangani kasus ini yang dibentuk oleh KPPU (Komisi

Pengawas Persaingan Usaha), kelompok pasal ini dapat dengan mudah dilihat dari teks

pasalnya yang dalam kalimatnya selalu dikatakan sehingga dapat mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Sedangkan yang

dimaksud dengan perse illegal (atau violation atau offense) adalah suatu praktik bisnis

pelaku usaha yang secara tegas dan mutlak dilarang, sehingga tidak tersedia ruang untuk

melakukan pembenaran atas praktik bisnis tersebut.

Pada dasarnya praktek monopoli ini merupakan pemusatan kekuatan ekonomi

oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau

pemasaran barang dan atau jasa tertentu sehingga dapat menimbulkan persaingan usaha

tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Berdasarkan definisi monopoli

tersebut di atas dapat kita ambil unsur-unsur dari praktek monopoli yaitu:

1. Terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha.

2. Terdapat penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan ataua jasa

tertentu.

3. Terjadi persaingan usaha tidak sehat, serta

4. Tindakan tersebut dapat merugikan kepentingan umum.11

Dalam penegakan hukum persaingan usaha, KPPU memegang peranan yang

sangat sentral. Dalam Pasal 30 UULPM & PUTS ditentukan bahwa Komisi dibentuk

untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini. KPPU merupakan lembaga

independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan serta pihak lain. Independensi itu

ditegaskan kembali dalam Keppres No. 75 Tahun 1999 yang menyebutkan kewajiban

pemerintah untuk tidak mempengaruhi komisi dalam menerapkan undang-undang;

11
Andi Fahmi, dkk, 2009, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, Jakarta: GTZ. Hlm. 132-
133)
10

namun demikian komisi tidak hanya terbebas dari pengaruh pihak lain, seperti lembaga

kemasyarakatan, kelompok pemegang kekuasaan keuangan dan pihak lainnya.

Menurut Pasal 36 UU LPM & PUTS menyebutkan bahwa salah satu wewenang

KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan, dan penyidikan serta menyimpulkan

berdasarkan hasil penyelidikan mengenai ada atau tidaknya praktek monopoli dan

pelanggaran atas monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hukum Acara Persidangan

Persaingan Usaha boleh dikatakan masih bersifat sumir karena belum diatur secara rinci

sebagaimana dengan hukum acara lainnya. Dalam hal penegakan hukum persaingan

usaha, terdapat beberapa peraturan yang menjadi dasar untuk penanganan perkara

terhadap persaingan usaha, diantaranya adalah:

1. UULPM & PUTS (terdapat dalam Pasal 38 s/d Pasal 49),

2. Keputusan Presiden RI No. 75 Tahun 19999 Tentang Komisi Pengawas Persaingan

Usaha (KPPU),

3. Peraturan Mahkamah Agung RI No.3 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pengajuan

Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU,

4. Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara di

KPPU,

5. HIR/RBg yaitu Hukum Acara Perdata yang digunakan di tingkat Pengadilan negeri,

ketika pelaku usaha mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU,

6. KUHAP yaitu ketentuan Hukum Acara Pidana, jika perkara ter sebut dilimpahkan

ke penyidik (terdapat dalam Pasal 44 ayat 4 UULPM &PUTS),

7. UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo UU No.5 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo

UU No.3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.14 Tahun


11

1985 Tentang Mahkamah Agung. Dalam penegakan hukum persaingan usaha, KPPU

memegang peranan yang sangat sentral.

Dalam melaksanakan tugas-tugas komisi, menurut Pasal 33 UULPM & PUTS

Komisi mempunyai wewenang menerima laporan, melaksanakan penelitian,

penyelidikan, pemanggilan pelaku usaha, saksi-saksi, saksi ahli, instansi pemerintah,

meminta bantuan penyidik, meminta dan menilai alat-alat bukti, memutuskan serta

menjatuhkan sanksi berupa tindakan administrasi. Komisi dalam melaksanakan

tugasnya disamping berdasarkan laporan masyarakat juga dapat bertindak atas dasar

wewenangnya yaitu patut menduga ada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran

terhadap UU LPM & PUTS.

Penegakan hukum persaingan antar pelaku usaha dapat dilakukan oleh pelaku

usaha sendiri, apabila masalah tersebut tidak terdapat unsur-unsur publiknya.

Penegakan hukum oleh pelaku usaha akan memenuhi berbagai hambatan apabila tidak

ada kesukarelaan untuk melaksanakan putusan dari pihak yang dikalahkan. Hal ini

karena sebuah asosiasi tidak berwenang untuk melakukan penyitaan ataupun

menjatuhkan sanksi yang bersifat publik. Dalam perkembangannya, ternyata

penegakan hukum persaingan usaha tidak semata-mata merupakan sengketa perdata.

Pelanggaran terhadap hukum persaingan mempunyai unsur-unsur pidana bahkan

administrasi negara. Hal ini disebabkan peanggaran terhadap hukum persaingan pada

akhirnya akan merugikan masyarakat dan merugikan perekonomian negara. Oleh

karenanya disamping penegakan hukum secara perdata juga secara pidana.

Sebenarnya dalam hal penegakan hukum persaingan dapat dilakukan oleh kepolisian,

kejaksaan dan pengadilan.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
12

lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara. Penegakan hukum itu sendiri dapat ditinjau dari dua sudut pandang

yaitu dari sudut subjeknya dan dari sudut objeknya. Ditinjau dari sudut subjeknya

penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan

sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap

hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan hukum dan atau melakukan

sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan

hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dari

arti sempit, dari segi subjeknya itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan

hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila

diperlukan aparatur penegakan hukum itu diperkenankan untuk mengunakan daya

paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu

dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas

dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan

yang terkandung didalam nya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang

hidup dalam masyarakat. Tetapi da lam arti sempit, penegakan hukum itu hanya

menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu,

penerjemahan perkataan “law enforcement” ke dalam bahasa Indonesia dalam

menggunakan perkataan ”penegakan hukum” dalam arti luas dapat pula digu- nakan

istilah ”penegakan peraturan” dalam arti sempit, termasuk penegakan hukum

persaingan usaha. Penegakan hukum itu sendiri dari segi subjeknya penegakan hukum

persaingan usaha ada pada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Pengadilan

Negeri (PN), Mahkamah Agung (MA), Kepolisian dan Kejaksaan.


13

Menurut Sanusi Bintang dan Dahlan dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum

Ekonomi dan Bisnis mengatakan agar tujuan yang hendak diinginkan dapat tercapai,

UULPM & PUTS juga mengatur tentang penegakan hukumnya. Penegakan hukum

tersebut dilakukan melalui saluran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Lebih lanjut Sanusi Bintang dan Dahlan menjelaskan "sanksi yang disediakan berupa

tindakan administratif (seperti pembatalan perjanjian, penghentian tindakan,

pembayaran sejumlah ganti rugi, pengenaan denda), pidana pokok (denda dan

kurungan) dan pidana tambahan (misalnya pencabutan izin usaha dan larangan kepada

pelaku untuk menduduki jabatan direksi dan komisaris). Selanjutnya untuk keperluan

penegakan hukum tersebut komisi menerima laporan tertulis dari masyaerakat,

melakuakan pemeriksaan dan memberikan putusan dalam sidang yang dinyatakan

terbuka untuk umum. Terhadap putusan tersebut pelaku usaha dapat mengajukan

keberatan kepada Pengadilan negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah

menerima pemberitahuan putusan tersebut. Pihak yang keberatan terhadap putusan

Pengadilan negeri tersebut dalam waktu yang sama seperti diatas yaitu selama 14

(empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Apabila putusan komisi tidak terdapat keberatan dianggap sudah mempunyai kekuatan

hukum tetap dan dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.12

B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam Perkara Praktek Monopoli Dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini telah mengatur mengenai tata

cara penanganan perkara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 46

yang kemudian diimplementasikan lebih lanjut dengan Peraturan Komisi Pengawas

12
Sanusi Bintang dan Dahlan, Pokok - Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Cetakan Ke I, Penerbit Citra
Aditya Bakti, Bandung. 2000: 104-105
14

Persaingan Usaha Nomor 01 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di

KPPU ini adalah pengganti dan menyempurnakan Keputusan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha N0.05/KPPU/KEP/IX/2000 Tahun 2000 Tentang Tata Cara

Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelangagaran Terhadap Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999.

Dari rumusan ketentuan pasal 38 dapat kita ketahui bahwa tidak hanya pihak yang

dirugikan saja, sebagai akibat dari terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang ini,

yang dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU dengan keterangan yang lengkap

dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan

menyertakan identitas pelapor, melainkan juga setiap orang yang mengetahui telah terjadi

atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap undang-undang ini dapat melaporkan

secara tertulis kepada KPPUdengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya

pelanggaran dengan identitas pelapor. Sampai sejauh ini jelas bahwa pelanggaran yang

dilakukan atas UULPM & PUTS bukanlah merupakan delik yang bersifat aduan (oleh

pihak dirugikan membuat laporan pengaduan ke kantor polisi).

Proses penanganan perkara praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,

berbeda dengan penanganan perkara biasa yang pada umumnya penanganan perkara

biasa pada tingkat pertama adalah Pengadilan Negeri. Namum untuk kasus-kasus

pelanggaran terhadap UULPM & PUTS ini yang berwenang pertama kali menanganinya

adalah KPPU. Jadi tidak dapat langsung diajukan ke Pengadilan negeri. Pihak-pihak yang

dirugikan (konsumen) maupun pihak pelaku usaha yang dirugikan dan bahkan

masyarakat atau setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi

segala bentuk pelanggaran terhadap UULPM & PUTS ini, dapat melaporkan secara

tertulis kepada KPPU tentang terjadinya pelanggaran dengan menyatakan indentitas

pelapor secara resmi.


15

Menurut UULPM & PUTS memberikan kewenangan pada KPPU untuk dapat

melakukan pemeriksaan langsung terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadi

pelanggaran terhadap undang-undang ini, walaupun tanpa adanya laporan. Secara ringkas

dapat dikatakan bahwa keseluruhan prosedur pemeriksaan perkara yang ditempuh oleh

KPPU adalah antara lain:

1. menerima laporan kepada KPPU,

2. Pemeriksaan Pendahuluan,

3. Pemeriksaan Lanjutan,

4. Mendengar keterangan saksi dan/atau saksi saksi ahli serta si pelaku sendiri dan

memeriksa alat bukti lainnya,

5. Menyerahkan kepada Badan Penyidik dalam hal-hal tertentu,

6. Memperpanjang Pemeriksaan Lanjutan,

7. Memberikan Kepututusan kepada Pelaku Usaha,

8. Memberikan Keputusan Komisi,

9. Pelaksanaan Keputusan Komisi oleh Pelaku Usaha,

10. Pelaporan pelaksanaan Keputusan Komisi oleh Pelaku Usaha kepada Komisi

Pengawas,

11. Menyerahkan kepada Badan Penyidik jika Putusan Komisi tidak dilaksanakan

dan/atau tidak diajukan keberatannya oleh pihak Pelaku Usaha,

12. Badan Penyidik melakukan Penyidikan, dalam hal Pasal 44 ayat 5,

13. Pelaku Usaha mengajukan keberatan ke pada Pengadilan terhadap putusan Komisi

Pengawas,

14. Pengadilan Negeri memeriksa kebera tan pelaku usaha,

15. Pengadilan Negeri memberikan Putusan atas keberatan pelaku usaha,

16. Kasasi ke Mahkamah Agung atas Putusan Pengadilan Negeri,


16

17. Putusan Mahkamah Agung,

18. Permintaan Penetapan Eksekusi kepada Pengadilan Negeri,

19. Penetapan Eksekusi oleh Pengadilan Negeri,

20. Pelaksanaan Eksekusi oleh Pengadilan Negeri.

Berdasarkan UULPM & PUTS mengatur bahwa satu-satunya upaya hukum yang

tersedia bagi pelaku usaha yang telah terbukti bersalah dan telah diputus oleh KPPU

dapat melakukan perlawanan terhadap putusan KPPU adalah dengan mengajukan

keberatan terhadap putusan KPPU tersebut (vide Pasal 44 ayat 2 UULPM & PUTS).

Hukum persaingan usaha sebenarnya mengatur tentang pertentangan kepentingan antar

pelaku usaha yang merasa dirugikan oleh tindakan dari pelaku usaha lainnya. Oleh

karenanya hukum persaingan usaha pada dasarnya merupakan sengketa perdata.

Apabila diteliti lebih jauh ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 5

Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

(UULPM & PUTS), ternyata Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai

lembaga yang paling bertanggung jawab melaksanakan UULPM & PUTS ini tidak

memilik kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pidana. Sanksi pidana menurut UULPM

& PUTS ini merupakan tugas dan kewenangan jurisdiksi peradilan umum melalui

pengadilan negeri setempat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hanya

memunyai tugas dan wewenang memberikan sanksi adiministatif saja.

UULPM & PUTS pada prinsipnya tidak mengatur mengenai aspek gugatan

perdata dari tindakan anti monopoli. Karena itu untuk gugatan perdata terhadap tindakan

antimonopoli ini berlaku kaida-kaidah hukum perdata umum yang bersumber dari Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Di Indonesia hanya mengenal ganti rugi apa adanya

sesuai dengan kerugian yang diderita bahkan jika pengadilan perdata mengabulkan

permohonan ganti rugi perdata lewat prosedur gugatan perdata biasa, maka orang tersebut
17

tidak mungkin mendapat ganti rugi se cara double dari ganti rugi via Pasal 47 ayat 2

huruf g UU LPM & PUTS.

Cenuk Widyastrina Sayekti mengutip pendapat Max Weber bahwa “hukum

persaingan usaha di Indonesia dapat menjalankan tugasnya sebagai alat rekayasa sosial

apabila terdapat keadaan yang cukup kondusif, yaitu stabilitas, prediktabilitas, keadilan,

pendidikan dan kemampuan aparat penegak hukum”. Dengan demikian hukum persai

ngan usaha mampu menempatkan dirinya tidak saja sebagai alat rekayasa sosial namun

juga sebagai tool of economic development.13

Selanjutnya Pandu Soetjitro menjelaskan meskipun persaingan usaha sebenarnya

merupakan urusan antar pelaku usaha, dimana pemerintah tidak perlu ikut campur,

namun untuk dapat terciptanya aturan main dalam persaingan usaha, maka pemerintah

perlu ikut campur tangan untuk melindungi konsumen. Karena bila hal ini tidak

dilakukan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi persengkongkolan (kolusi)

antar pelaku bisnis yang kan menjadikan inefisien ekonomi yang pada akhirnya

konsumen yang akan menanggung beban yaitu membeli barang dan atau jasa dengan

harga dan kualitas yang kurang memadai”.14

Lebih lanjut Pandu Soetjitro menambahkan bahwa dalam dunia bisnis selalu

terjadi tarik menarik antara pendapat yang cenderung menyukai sistem pasar yang bebas

dengan pasar yang diatur oleh pemerintah. Akhirnya digunakan jalan tengah yaitu prinsip

kebebasan pasar yang diatur oleh pemerintah, dimana persaingan yang terjadi antar

pelaku bisnis menimbulkan persaingan yang sehat dengan cara meningkatkan efisiensi

dan produktivitas serta penemuan-penemuan yang baru atas barang dan atau jasa.
13
Cenuk Widiyastrisna Sayekti, 2011, Hukum Persaingan Usaha dan Pembangunan Ekonomi di
Indonesian
14
Pandu Soetjitro, 2007, Praktek Monopoli Di Indonesia Pra dan Pasca Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tesis),
Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Univeritas Diponegoro, Semarang, hlm. 3
18

Sebaliknya persaingan usaha yang tidak sehat akan dapat mengganggu dan merusak

sistim dan tatanan perekonomian negara dan pada akhirnya akan dapat merugikan

masyarakat luas. Sebuah atau beberapa perusahaan yang memonopoli produk tertentu

dapat menentukan harga suatu produk sesuka hatinya, karena mekanisme pasar tidak

berjalan lagi. Apalagi produk yang dimonopoli kebutuhan primer. Dapat dipastikan

mereka akan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Masyarakat tidak ada pilihan

lain kecuali membeli produk monopoli tersebut.

Proses pasca pembacaan putusan, ditentukan oleh sikap pelaku usaha untuk itu

terdapat 4 kemungkinan, yaitu:

1. perkara dinyatakan selesai; pelaku usaha tidak mengajukan keberatan dan

dilaksanakan secara sukarela (Pasal 44 ayat 1 UULPM & PUTS,

2. pemeriksaan dilanjutkan; ini terjadi bila pelaku usaha mengajukan keberatan ke PN.

Berdasarkan permohonan tersebut PN melakukan pemeriksaan, tetapi dalam hal ini

apakah PN memeriksa fakta hukum sebagai ”peradilan tingkat kedua” atau ”judex

factie” sekaligus penerapan hukumnya atau hanya me meriksa penerapan

hukumnya (Pasal 44 ayat 2 UULPM & PUTS);

3. eksekusi PN; ini biasa terjadi apabila pelaku usaha mengajukan keberatan terhadap

putusan KPPU. Untuk itu KPPU mengajukan permohonan penetapan eksekusi ke

PN, berdasarkan penetapan tersebut putusan KPPU dengan bantuan juru sita

dilaksanakan. Menurut UULPM & PUTS penetapan tersebut bisa di keluarkan oleh

pengadilan karena putusan KPPU yang tidak diajukan keberatan diposisikan

sebagai putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 44 ayat

3 UULPM & PUTS);

4. pemeriksaan secara pidana; ini terjadi apabila pelaku usaha tidak melaksanakan

putusan KPPU yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan KPPU
19

menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik (Pasal 44 ayat 4 UULPM & PUTS).

Penyerahan perkara kepada penyidik bisa juga dilakukan KPPU sebelum putusan

diambil yaitu ketika setelah melalui berbagai upaya pelaku usaha tidak bersedia

memenuhi panggilan KPPU untuk diperiksa. Apabila ini terjadi maka pemeriksaan

perkara bisa dilakukan penyidik sejak awal (Pasal 41 ayat 2 UULPM & PUTS).

Sanksi-sanksi pidana anti monopoli dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu:

1. sanksi pidana dalam UULPM & PUTS dan

2. sanksi pidana dalam KUHPidana.

Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan adminisratif terhadap

pelaku usaha yang melanggar berupa:

1. Penetapan pembatalan perjanjian,

2. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal. Penjelasan

resmi menyebutkan bahwa penghentian integrasi vertikal antara lain dilaksanakan

dengan pembatalan perjanjian, pengalihan sebagian perusahaan kepada pelaku usaha

lain atau perubahan bentuk rangkaian produksi nya,

3. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti

menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat

dan atau merugikan masyarakat (penjelasan resmi menyebutkan bahwa yang

diperintahkan untuk dihentikan adalah kegiatan atau tindakan tertentu dan bukan

kegiatan usaha pelaku usaha secara keseluruhan),

4. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan,

5. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan

pengambilalihan saham,

6. Penetapan pembayaran ganti rugi (Penjelasan resmi menyebutkan bahwa ganti rugi

diberikan kepada pelaku usaha dan kepada pihak yang dirugikan,


20

7. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan

setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).

C. Analisis Terhadap Praktek Perjanjian Tertutup Dalam Persaingan Usaha Tidak

Sehat (Studi Putusan Nomor 22/KPPU-I/2016)

Salah satu contoh perbuatan monopoli maupun perjanjian yang dilarang adalah

pelaku usaha membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas

barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima

barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok tidak akan membeli barang dan atau jasa

yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha

pemasok, Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri

maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa menolak dan atau menghalangi

pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar

bersangkutan atau menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk

tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingan yaitu15 Hal tersebut di

atas termuat dalam putusan nomor 22/KPPU-I/2016.

Dalam putusan nomor 22/KPPU-I/2016, dapat dilihat adanya praktik monopoli

maupun perjanjian yang dilarang. Kasus yang terjadi merupakan masalah antara PT. Tirta

Investama dan PT. Balina Agung Perkasa. Bahwa PT TIV dan PT BAP secara bersama-

sama pernah menyampaikan himbauan lisan kepada para pedagang Star Outlet (SO)

mulai dari akhir tahun 2015 sampai dengan pertengahan tahun 2016, PT TIV melalui

KAE dan PT BAP melalui bagian penjualan. Dengan bukti dokumen mengenai “Form

Sosialisasi Pelanggan Star Outlet” yang memerintahkan bahwa penjual yang menjadi Star

Outlet dari produk PT TIV bersedia untuk tidak menjual produk air minum dalam

15
Ibid, hlm. 88
21

kemasan (AMDK) dengan merek Le Minerale, dan bersedia menerima konsekuensi

sanksi dari PT TIV berupa penurunan ke Wholeseller apabila menjual produk kompetitor

sejenis dengan merek Le Minerale. Kemudian Form Sosialisasi Pelanggan Star Outlet

tersebut ditandatangani oleh pedagang SO lengkap dengan nama pemilik dan nomor

telepon dan form tersebut disebarkan baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri

oleh pegawai PT TIV dan/atau PT BAP.

Bahwa adanya bukti komunikasi berupa e-mail penurunan status SO pedagang di

wilayah Cikampek merupakan tindakan nyata para terlapor bahwa perbuatan anti

persaingan dilakukan secara bersama-sama dengan tujuan untuk menghambat laju

pertumbuhan kompetitor. Majelis Komisi menilai, menganalisa, menyimpulkan dan

memutuskan Perkara Nomor 22/KPPU-I/2016, yang diputus pada tanggal 19 Desember

2017, PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Jaya terbukti bersalah dan melanggar

Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam

perkara antara PT. Tirta Fresindo Jaya melawan PT Tirta Investama dan PT Balina

Agung Jaya, Majelis Komisi menghukum PT Tirta Investama selaku Terlapor I untuk

membayar denda sebesar Rp.13.845.450.000,00 dan PT Balina Agung Jaya selaku

Terlapor II sebesar Rp.6.294.000.000,00 untuk disetorkan ke kas negara.

Perjanjian tertutup merupakan bagian dari salah satu bentuk perjanjian yang

dilarang dalam hukum persaingan usaha, perjanjian tertutup diatur dalam Pasal 15 UU

No. 5 Tahun 1999. Perjanjian tertutup (exclusif dealing) adalah suatu perjanjian yang

terjadi antara mereka yang berada pada level yang berbeda pada proses produksi atau

jaringan distribusi suatu barang atau jasa yang terdiri dari: 16

16
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.98.
22

1. Exclusive Distribution Agreement, yang dimaksud disini adalah pelaku usaha

membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak

yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk

tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu saja, atau dengan kata lain

pihak distributor dipaksa hanya boleh memasok produk kepada pihak tertentu dan

tempat tertentu saja oleh pelaku usaha manufaktur.

2. Tying Agreement, apabila suatu perusahaan mengadakan perjanjian dengan pelaku

usaha lainnya yang berada pada level yang berbeda dengan mensyaratkan penjualan

ataupun penyewaan suatu barang atau jasa hanya akan dilakukan apabila pembeli

atau penyewa tersebut juga akan membeli atau menyewa barang lainnya.17

3. Vertical Agreement on Discount, apabila pelaku usaha ingin mendapatkan harga

diskon untuk produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku usaha

harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak akan

membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi

pesaing.18

Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pelaku usaha dilarang membuat

perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk

yang termasuk dalam rangkaian produk barang atau jasa tertentu yang mana setiap

rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu

rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat atau merugikan masyarakat. Perjanjian tertutup adalah suatu

perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha agar dapat menjadi sarana dan upaya bagi

pelaku usaha untuk dapat melakukan pengendalian oleh pelaku usaha terhadap pelaku

17
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Kontex,
(Jakarta: ROV Creative Media, 2009), hlm.120.
18
Ibid, hlm.121.
23

usaha lain secara vertikal (“Pengendalian Vertikal”), baik melalui pengendalian harga

maupun melalui pengendalian non-harga.19

\Di dalam kaitan ini A.F. Elly Erawaty menjelaskan bahwa suatu perjanjian di

mana pihak pertama (penjual) menjual suatu produk, yang kemudian dinamakan tying

product (barang atau jasa yang pertama kali dijual), kepada pihak kedua (pembeli)

dengan syarat pembeli tersebut harus pula membeli produk lainnya, yang dinamakan tied

product (barang atau jasa yang dipaksa harus dibeli oleh pembeli), dari penjual yang

sama atau setidaktidaknya dari pihak ketiga yang ditunjuk pihak pertama. Dalam

perjanjian bisnis semacam ini, pembeli juga dibebani syarat untuk tidak membeli tied

product dari penjual lainnya. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 mengatur perihal ini

pada Pasal 15 ayat (2) dan (3).20

Perjanjian tertutup merupakan salah satu strategi yang dapat ditempuh oleh pelaku

usaha untuk meningkatkan kekuatan pasar yang mungkin akan mengganggu iklim

persaingan dan pada akhirnya akan merugikan konsumen. UULPM & PUTS telah

mengantisipasi hal ini dengan melarang beberapa tindakan (strategi) yang termasuk

dalam kategori perjanjian tertutup, karena potensial menimbulkan kerugian masyarakat

(welfare loss). Perjanjian tertutup merupakan salah satu bentuk teknis dari hambatan

vertikal (vertical restraint). Dalam UULPM & PUTS terdapat beberapa pasal yang

mengatur strategi hambatan vertikal semacam ini, dan khusus untuk perjanjian tertutup

diatur dalam Pasal 15.

Perjanjian tertutup yang dilarang oleh UULPM & PUTS, haruslah memenuhi

unsur-unsur, sebagai berikut:21

19
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 15 UU
No. 5 Tahun 1999
20
A.F. Elly Ermawaty, mengatur Perilaku Para Pelaku Usaha dalam Kerangka Persaingan Usaha yang
Sehat: Deskripsi Terhadap Isi UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.40
21
Margono, Op.Cit., hlm. 102
24

1. Adanya suatu perjanjian;

2. Perjanjian tersebut dibuat oleh atau bersama dengan pelaku usaha lain.

3. Perjanjian tersebut telah memenuhi salah satu unsur yang disebutkan sebelumnya

dalam klasifikasi perjanjian tertutup.

Pertimbangan Hakim dari aspek yuridis dalam menjatuhkan sanksi terhadap PT.

Tirta Investama dan PT. Balina Agung Perkasa berkaitan dengan pemenuhan unsur-unsur

dari Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999, yang diuraikan sebagai berikut:

a. Pasal 15 ayat (3) huruf b,

1. Unsur pelaku usaha bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam perkara ini adalah

PT. Tirta Investama (Terlapor I) dan PT. Balina Agung Perkasa (Terlapor II).

2. Unsur Perjanjian Bahwa perjanjian tertulis dalam hukum persaingan dapat

dimaknai sebagai perjanjian dengan nama apapun, perjanjian tertulis dalam

perkara ini merujuk pada bukti dokumen mengenai “FORM SOSIALISASI

PELANGGAN STAR OUTLET” yang memerintahkan bahwa penjual SO dari

produk Terlapor I bersedia untuk tidak menjual produk Air Minum Dalam

Kemasan (AMDK) dengan merek dagang Le Minerale, dan bersedia menerima

sanksi penurunan (degradasi) dari status SO menjadi Wholesaler.

3. Unsur Mengenai Harga atau Potongan Harga Berdasarkan bukti dokumen

mengenai harga referensi, perbedaan harga SO dengan harga Wholesaler memiliki

selisih kurang lebih sebesar 3 persen. Dengan adanya perbedaan harga dalam

status pedagang SO dan Wholesaler.

4. Unsur Barang Bahwa yang dimaksud dengan barang dalam perkara ini adalah Air

Minum Dalam Kemasan Air Mineral.


25

5. Unsur Memuat Persyaratan Tidak Akan Membeli Barang Adanya larangan untuk

tidak akan membeli barang kompetitor (Le Minerale) dilakukan secara bersama-

sama oleh para terlapor pada pedagang/pemilik toko dengan status SO.

6. Unsur Tidak Akan Membeli Barang dari Pelaku Usaha Pesaing Adanya bukti

dokumen berupa Form Sosialisasi yang memerintahkan bahwa penjual yang

menjadi SO dari produk Terlapor I bersedia untuk tidak menjual produk dari

pesaing Terlapor I dengan merek dagang Le Minerale.

b. Pasal 19 huruf a dan b,

1. Unsur Pelaku Usaha Bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam perkara ini

adalah PT. Tirta Investama (Terlapor I) dan PT. Balina Agung Perkasa (Terlapor

II).

2. Unsur Melakukan Satu atau Beberapa Kegiatan, Baik Sendiri Maupun Bersama

Pelaku Usaha Lain Bahwa para terlapor telah terbukti secara bersama-sama telah

melakukan tindakan persaingan yang tidak sehat dengan melakukan ancaman

dan/atau larangan kepada para pedagang/pemilik toko SO untuk tidak menjual

produk pesaing. Mekanisme degradasi terhadap para pedagang sehingga adanya

klausul berupa larangan menjual produk kompetitor merupakan tindakan anti

persaingan yang sengaja dilakukan untuk menghambat pertumbuhan para

pesaingnya.

3. Unsur Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan atau Persaingan

Usaha Tidak Sehat Tindakan Terlapor I yang telah mengeluarkan strategi anti

persaingan tersebut menyebabkan Le Minerale sebagai kompetitor Aqua tidak

bisa melakukan repeat buying. Dengan latar belakang dan objektif yang terdapat

di dalam form sosialisasi tersebut Terlapor I telah menghambat kompetitornya


26

yaitu PT. Tirta Fresindo Jaya produsen Le Minerale yang merupakan pesaing

untuk memasuki pasar bersangkutan.

4. Unsur Menolak dan atau Menghalangi Pelaku Usaha Tertentu Untuk Melakukan

Kegiatan Usaha Yang Sama Pada Pasar Bersangkutan Bahwa tindakan para

terlapor yang melarang toko SO untuk menjual produk kompetitor (Le Minerale),

menyebabkan toko pada level SO tidak dapat melakukan kegiatan usaha berupa

menjual produk kompetitor.

5. Unsur Menghalangi Konsumen atau Pelanggan Pelaku Usaha Pesaingnya Untuk

Tidak Melakukan Hubungan Usaha dengan Pelaku Usaha Pesaingnya Tindakan

para terlapor menyebabkan toko SO tidak dapat melakukan hubungan usaha

dengan produsen Le Minerale sebagai pesaing dari Aqua. Tindakan para terlapor

tersebut menyebabkan konsumen tidak dapat melakukan pembelian produk Le

Minerale pada toko-toko SO yang mengikuti kebijakan dari para terlapor.

Dilihat dari Pasal 48 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 dikatakan

“Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16

sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27 dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-

rendahnya Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar) dan setinggi-tingginya Rp.

100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-

lamanya 6 (enam) bulan.” Tetapi denda yang dikenakan kepada para terlapor hanya

denda administratif dan menghukum Terlapor 1 denda sebesar Rp. 13.845.450.000 (tiga

belas miliar delapan ratus empat puluh lima juta empat ratus lima puluh ribu rupiah) dan

denda terhadap Terlapor II sebesar Rp. 6.294.000.000 (enam miliar dua ratus sembilan

puluh empat juta rupiah). Yang dimana para terlapor seharusnya dikenakan denda lebih

besar dari yang seharusnya dibayarkan yaitu serendah-rendahnya Rp. 25.000.000.000

(dua puluh lima miliar rupiah). KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum terhadap
27

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan

khusus persaingan usaha yang dimana tidak berwenang dalam menjatuhkan sanksi baik

pidana maupun perdata. Komisi Pengawas Persaingan Usaha hanya dapat mengenakan

sanksi administratif yang dimana sanksi tersebut tidak akan memberikan efek jera melihat

rendahnya pengenaan denda antara sanksi administrtif dengan sanksi pidana sebagaimana

diatur dalam Pasal 47 dengan Pasal 48 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999.


28

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penegakan Hukum yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

tidak terlepas dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Peran ini telah

dilaksanakan oleh KPPU, mulai dari penerimaan laporan, penelitian, penyidikan

sampai dengan memberikan putusan yang mengikat secara hukum.

2. Proses penanganan perkara praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,

berbeda dengan penanganan perkara biasa yang pada umumnya penanganan perkara

biasa pada tingkat pertama adalah Pengadilan Negeri. Namum untuk kasus-kasus

pelanggaran terhadap UULPM & PUTS ini yang berwenang pertama kali

menanganinya adalah KPPU. Pihak-pihak yang dirugikan (konsumen) maupun

pihak pelaku usaha yang dirugikan dan bahkan masyarakat atau setiap orang yang

mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi segala bentuk pelanggaran

terhadap UULPM & PUTS ini, dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU

tentang terjadinya pelanggaran dengan menyatakan indentitas pelapor secara resmi.

3. Analisis terhadap Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 22/KPPU-

I/2016 menunjukan bahwa perkara tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang

menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yaitu perjanjian tertutup. Kemudian

kegiatan penguasaan pasar telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: unsur

pelaku usaha, melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri maupun bersama

pelaku usaha, dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan

usaha tidak sehat, menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk

melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan, dan menghalangi

konsumen dan pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan
29

usaha dengan pelaku usaha pesaingnya. Terakhir unsur-unsur dari posisi dominan

yaitu: unsur pelaku usaha, pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik

secara langsung maupun tidak langsung dan pelaku usaha memiliki posisi dominan.

B. Saran

1. Pemerintah untuk segera melakukan reformulasi atau revitalisasi Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 sehingga dalam implementasi kedepannya akan menciptakan

hukum persaingan usaha yang sehat dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan

Undang-Undang 1945.

2. Peningkatan kemampuan KPPU secara kelembagaan untuk mengawasi perilaku anti

persaingan, seperti praktek monopoli, persaingan usaha, kartel, kesepakatan harga

dan lain-lain baik di tingkat pusat (nasional) maupun ditingkat daerah. Selain juga

juga tentunya mengawasi peraturan pemerintah pusat atau daerah yang memberikan

peluang perusahaan melakukan tindakan anti persaingan seperti tata niaga yang

memberikan hak monpoli/monopsoni.


30

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Erawaty, A.F. Elly. 1999. Membenani Perilaku Bisnis Melalui UU No. 5 Tahun 1999.

Bandung: Citra Aditya Bakti.

Fahmi, Andi, dkk. 2009. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks. Jakarta: GTZ.

Fuady, Munir. 2009. Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global. Jakarta:

Margono, Suyud. 2002. Hukum Anti Monopoli, Jakarta: Sinar Grafika. Citra Aditya Bakti

Pers.

Sanusi, Bintang dan Dahlan. 2000. Pokok - Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Cetakan Ke I.

Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. 2006, Seri Hukum Bisnis. Anti Monopoli.Jakarta:

Penerbit PT Raja Grafindo Persada.

Jurnal, Disertasi, Makalah, Website

Cenuk Widiyastrisna Sayekti, 2011, Hukum Persaingan Usaha dan Pembangunan Ekonomi di

Indonesian, http://saepudinonline.wordpress.com/2011/04/15/hukumpersaingan-

usaha danpembangunan ekonomi di Indonesia

Ditha Wiradiputra, 2010 Mengkaji Efektifitas Implementasi Hukum Persaingan Usaha

Terhadap Industri Ritel, http://infohukum kita.wordpress com/2010/06/08/ mengkaji

-efektifitas-implementasi-hukum-persaingan-usaha-terhadap-industri-

Lintang Asmara, 2011, hal 1, file://E/BAB 10, Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.

10.

Pandu Soetjitro, 2007, Praktek Monopoli Di Indonesia Pra dan Pasca Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
31

Sehat (Tesis), Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Univeritas

Diponegoro, Semarang.

Saiful Akbar, 2011, Kedudukan Hukum Persaingan Usaha Dalam Sistem Hukum

Indonesia,akbarsaiful.wordpress.com/kedudukan-hukum-persaingan-usaha. Tembo

lok, 22 Juli 2011.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP/WvS), Pasal 382 Bis 2.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata/BW), Pasal 1365

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat

Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Tatacara

Penanganan Perkara

Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 22/KPPU-I/2016

You might also like