You are on page 1of 10

TereLiye “Bumi” 118

”Tidak repot lho, Ra. Kan Mama bisa ngebut. Paling juga bolak-balik
hanya setengah jam.” Mama mengedipkan mata, men­coba bergurau.

”Tidak usah, Ma. Kan Mama banyak pekerjaan di rumah. Lagian,


siapa tahu Papa bangun lebih cepat, nanti teriak-teriak cari dasi dan kaus
kaki. Mama kan tahu, Papa itu kalau ke­capekan suka error, bahkan dasi
yang sudah dipasang saja masih dia cari.” Aku nyengir.

Mama tertawa kecil. ”Kamu selalu bisa menghibur orangtua, Ra. Ya


sudah, kamu naik angkutan umum. Ayo, Mama temani kamu sarapan.”

Lima belas menit ke depan aku dan Mama menghabiskan nasi


goreng.

”Oh iya, Ma, nanti sore Ra ada pertemuan Klub Menulis, jadi pulang
agak sore. Boleh kan, ya?” Aku teringat sesuatu.

Mama mengangguk. ”Iya. Nanti Mama siapkan bekal makan


siangnya.”

”Oh iya lagi, Ma, kamar Ra sudah dibereskan tadi. Jadi tidak perlu
Mama bersihkan lagi.” Aku berusaha berkata senormal mungkin.

”Iya,” Mama menjawab pendek.

Aku bersorak dalam hati. Mama tidak curiga dengan kalimat­ku


barusan. Setidaknya pagi ini Mama tidak akan masuk kamar­ku.

”Sebenarnya Papa di kantor ada pekerjaan apa sih, Ma?” Aku basa-
basi, masih berusaha menutupi jejak soal memeriksa ka­mar.

Mama diam sebentar, menelan makanan di mulut. ”Entahlah, Ra.


Sepertinya pekerjaan besar.”

Aku mengangguk-angguk sok paham.

Mama menghela napas. ”Kasihan Papa, masa baru pulang jam lima
pagi. Ini rekor.”

”Bukannya rekornya yang dulu, Ma? Papa nggak pulang, ma­lah ke


Singapura?” Aku tertawa.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 119

”Itu sih beda, Ra. Papa memang bilang nggak akan pulang. Tiba-tiba
harus dinas ke luar kota.” Mama menggeleng.

Aku lagi-lagi mengangguk.

”Asyik kali ya, Ra, kalau tiba-tiba pekerjaan Papa di kantor itu bisa
dihilangkan begitu saja. Wush, hilang. Papa jadi tidak perlu lagi bekerja
habis-habisan.” Mama menatap piring nasi goreng di hadapannya.

Aku hampir tersedak, buru-buru minum.

”Nggak mungkinlah, Ma.” Aku pura-pura tertawa.

Mama ikut tertawa. ”Iya, kan kali-kali saja bisa.”

Kami berdua tertawa. Aku lamat-lamat memperhatikan wajah letih


Mama yang segar sejenak karena tawa. Kalau saja Mama tahu anak
remajanya semalam telah menghilangkan bangku be­l­ajar, mungkin
Mama sekarang sudah berteriak-teriak panik dengan wajah pucat.

***

Pagi hari di sekolah.

”Pagi, Ra.” Seli mengagetkanku saat turun dari angkot. ”Kamu naik
angkot? Papamu ke mana?”

”Masih tidur,” aku menjawab pendek, menerima uang kembali­an,


melotot ke sopir yang kalau dilihat dari gelagatnya belum mandi pagi.
Dasar sopir angkot pelit, biasanya juga kalau anak sekolah tarifnya
separuh. Aku mengalah. Salahku juga sih, se­harusnya tadi pakai uang
pas.

”Papaku lagi sibuk di kantor. Semalam pulang larut sekali, jadi­nya


aku berangkat sendiri,” aku menjawab pertanyaan Seli lebih baik.

Seli ber-oh sebentar.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 120

Hari ini sekolah berjalan lancar. Tepatnya mungkin karena aku


sedang memikirkan banyak hal, jadinya mengabaikan Ali yang bertengkar
dengan kakak-kakak kelas dua belas di kantin saat istirahat pertama.
Aku menatap kosong papan tulis yang penuh rumus kimia. Atau
mengabaikan Seli, di pelajaran ter­akhir, yang terus menatap Mr. Theo
dengan ekspresi terpesona, padahal ulangan bahasa Inggris sudah
dibagikan dan nilai di atas kertas jawaban Seli jelek sekali. Seli tetap
bahagia dengan kenyataan apa pun.

Lonceng pulang bernyanyi.

”Aku memutuskan ikut Klub Menulis lho, Ra.” Seli mem­bereskan


buku.

”Oh ya?” aku berseru senang. Itu kabar yang bagus sekali. Sejak
kami masuk sekolah ini, satu kelas, satu meja sejak per­kenalan pertama,
aku sudah membujuk Seli agar ikut ekskul Klub Menulis. Tapi Seli selalu
menolak, bilang klub itu tidak seru, hanya untuk anak-anak suka buku
saja. Dia bakal bosan.

”Sejak kapan kamu berubah pikiran, Sel?” aku menyelidik.

”Barusan.” Seli tersipu malu.

”Barusan?” Aku tidak mengerti.

”Kamu tidak memperhatikan pelajaran Mr. Theo tadi ya, Ra?


Kebanyakan ngelamun sih.” Seli nyengir lebar. ”Tadi Mr. Theo bilang
mulai hari ini dia akan jadi pembina di Klub Menulis. Kalau ada murid
yang tertarik, bisa ikut bergabung di per­temuan siang ini setelah pulang
sekolah.”

Aku melongo. Ya ampun!

”Kamu tidak senang mendengarnya, Ra?” Seli protes melihat


ekspresi wajah begoku.

Aku tertawa, buru-buru menggeleng. ”Aku senang kok, Sel.”

Pertemuan Klub Menulis hari ini agak mendadak, setelah beberapa


hari lalu dibatalkan. Guru pembinanya mutasi ke se­kolah lain. Hari ini

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 121

ditunjuk penggantinya yang baru. Aku juga baru tahu bahwa Mr. Theo
yang jadi penggantinya. Seli benar, aku sejak tadi hanya melamun
memperhatikan penghapusku, bahkan nyaris tergoda menghilangkannya.
Ini kabar baik, karena setidaknya bukan Miss Keriting yang jadi pembina
baru. Mr. Theo guru bahasa, jadi masih berkaitan dengan Klub Menulis.

Seli memasang tasnya di punggung, bertanya riang, ”Sambil


menunggu pertemuan Klub Mr. Theo, eh Klub Menulis, kita bagusnya
makan siang di mana ya?”

Aku menggeleng, menunjukkan kotak bekal di dalam tas.

”Aku tidak membawa bekal, Ra.” Seli cemberut. ”Kamu sih enak
sudah persiapan. Aku kan baru saja memutuskan untuk ikut. Kalau
pulang dulu, nanti terlambat.”

Aku tertawa, siapa suruh pula dia mendadak ikut. ”Bagaimana


kalau aku bagi bekalku untukmu?”

”Mana cukup.” Seli menatap kotak bekalku, menggeleng. ”Kita


makan di kantin, yuk! Kamu bawa saja bekalnya, Ra. Temani aku.”

Kelas sudah sepi. Lorong depan kelas juga lengang. Murid-murid


sudah bergerak serempak menuju gerbang sekolah.

Demi menatap wajah memelas Seli—yang mulai mengeluh bilang


perutnya lapar—kami akhirnya beranjak menuju kantin di belakang
sekolah. Kami menuruni anak tangga, melewati deret­an kelas dua belas,
belok ke belakang, melewati gardu listrik. Aku memperhatikan sekilas,
perbaikan di gardu listrik se­­pertinya sudah dimulai. Ada beberapa
petugas berseragam oranye yang sibuk bekerja.

Sekolah semakin sepi, tidak terlihat siapa-siapa di belakang


sekolah. Kami terus melangkah ke kantin. Wajah Seli langsung ter­lipat
kecewa melihat kantin yang kosong. Biasanya meski su­dah pulang, tetap
ada pedagang kantin yang buka, karena masih ada guru-guru atau murid
yang pulang sore. Tapi ini kosong me­lompong. Ada plang besar di
depannya: ”Libur Sehari. Per­baik­an Gardu Listrik”. Aku baru ingat
kalimat mamang bakso beberapa hari lalu, kantin diliburkan saat
perbaikan gardu. Aku menoleh, memperhatikan petugas PLN yang sibuk.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 122

Sekolah kami memang dekat dengan gardu listrik. Dulu katanya gardu
listriknya mau di­pindahkan karena penduduk sekitar sudah protes. Tapi
hingga sekarang tidak pindah juga.

”Kita makan di resto fast food dekat sekolah saja ya, Ra?” Seli balik
kanan, mengembuskan napas sebal.

”Kamu punya uangnya, Sel?” aku bertanya balik.

Seli menggelang. ”Tidak. Tapi kan nggak ada pilihan lain.”

”Mau kupinjami uang?”

”Nggak usah, Ra. Mungkin kalau beli yang paket hemat ada
uangnya.”

Aku nyengir, ikut melangkah di belakang Seli. Nasib jadi murid


kelas sepuluh seperti kami ini uang saku serba terbatas. Aku bahkan
dibawakan bekal oleh Mama, agar berhemat.

”Tapi nanti pas pulang kamu yang traktir bayar angkot, ya.” Seli
menoleh.

Aku tertawa, mengangguk. Siap.

Tapi ternyata urusan makan siang ini jadi panjang sekali, juga
urusan Klub Menulis, apalagi rencana Mama yang mau ada arisan di
rumah dan Papa yang masih sibuk dengan masalah mesin pencacah di
pabriknya.

Siang itu, seluruh cerita berbelok tajam.

Saat kami melewati kembali lorong di belakang sekolah, asyik


mengobrol tentang Klub Menulis, salah satu petugas PLN ber­teriak panik,
”Awas!”

Aku dan Seli refleks menoleh. Belum genap mengerti apa yang
sedang terjadi, terdengar suara meletup dari gardu listrik. Beberapa
petugas lain berlarian menghindar, berteriak lebih panik. ”Awas!
Menghindar!”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 123

Sepersekian detik setelah teriakan itu, salah satu trafo me­nyusul


meledak, kali ini lebih kencang dibandingkan letupan per­tama. Suara
dentumannya terdengar memekak­kan telinga, kemungkinan hingga dua-
tiga kilometer. Tanah yang kami injak te­­rasa bergetar. Itu ledakan yang
besar sekali hingga merontok­kan salah satu tiang listrik di trafo.

Tiang listrik setinggi pohon kelapa itu berderak roboh. Arah­nya


justru persis menuju kami berdua yang menatap kejadian de­ngan wajah
bingung. Delapan kabelnya yang panjang ter­cerabut putus dari tiang
lain, bergerak liar bagai tentakel gurita. Kabel-kabel dengan muatan listrik
itu lebih dulu menyambar ke arah kami sebelum tiangnya datang.
Percikan api di mana-mana, seperti ada petir kecil merambat di kabel-
kabel itu. Mengeri­kan.

Aku berteriak panik, berusaha lari.

Seli mematung mendongak.

”Lari, Seli!” Aku berusaha menarik lengan Seli.

Delapan kabel itu bergerak lebih cepat. Seperti delapan ta­ngan


panjang yang siap menyengat.

”Lari, Seli!” aku menjerit, menarik Seli yang mendongak, mematung.

Terlambat. Kami hanya bisa lari pontang-panting tiga langkah saat


dua kabel pertama siap menghantam, menyengat dengan te­gangan tinggi.
Aku bahkan terjatuh, pegangan tanganku di lengan Seli terlepas. Aku
menatap pasrah dua kabel itu datang. Ya Tuhan! Apa yang akan terjadi
saat kabel itu menyentuh kami?

Sepersekian detik sebelum dua kabel itu sampai, Seli justru


mengangkat tangannya. Dia memasang badannya persis di hadap­anku,
melindungiku.

Aku menjerit panik. Apa yang dilakukan Seli?

Astaga! Seli justru menangkap dua kabel itu. Bagai halilintar, aliran
listrik merambat di tangan kiri Seli, meletup-letup. Tapi jangankan
menjerit kesakitan, wajah Seli mengernyit pun tidak. Dia melemparkan
dua kabel itu ke samping, menghantam tem­bok sekolah, membuat

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 124

percikan api besar. Dinding sekolah ha­ngus terbakar, hitam hingga


radius dua meter. Enam kabel lain segera me­nyusul. Seli gesit menepis
tiga di antaranya ke samping, se­mentara tiga yang lain tidak bisa dia
hindari, menghantam telak dada, perut, dan pahanya.

Aku gemetar menyaksikan tubuh Seli dibalut listrik. Percik­an api


membungkus badannya. Letupan cahaya merambat hingga leher, kepala,
rambut. Sedetik berlalu, Seli menghantam­kan tangannya ke tanah,
seluruh aliran listrik itu mengalir me­lewati tangannya, masuk ke dalam
tanah, kemudian hilang tak ber­sisa.

Napasku tersengal. Apa yang sedang kulihat?

Tapi masalahnya jauh dari selesai. Sebuah tiang listrik raksasa


berderak kencang dari atas kami. Tidak ada aliran listriknya, tapi itu lebih
dari cukup untuk menghancurkan atap dan tembok bangunan sekolah
apalagi kami yang ringkih berada di bawah­nya.

Demi menatap tiang besar itu, Seli lompat, bergegas, tiga kabel yang
melilit tubuhnya luruh ke bawah. Dia menyambar lenganku. Kali ini dia
yang berseru panik, ”Lari, Ra!”

Aku masih terduduk, mendongak. Kakiku masih gemetar


menyaksikan Seli dibalut aliran listrik.

Lagi pula tidak akan cukup waktunya. Tiang listrik yang ter­buat
dari beton itu sudah dekat sekali. Ujungnya sudah meng­hantam atap
bangunan sekolah, bergemuruh. Genteng berjatuh­an. Siku-siku kayu
dan plafon patah, menyusul dinding sekolah berguguran, dan tiang besar
itu terus meluncur ke bawah, tidak kuasa ditahan bangunan sekolah
yang robek.

Aku gemetar menatapnya. Apa yang harus kulakukan?

”Lari, Ra!” Seli berusaha menyeretku, yang tetap mematung.

Tiang listrik besar itu semakin dekat, bongkahan dinding


berguguran di sekitar kami. Seli panik mengangkat tangannya,
melindungi kepala. Dia berusaha memelukku. Satu-dua bongkah­an
dinding berukuran kecil mengenai tubuhku, terasa sakit.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 125

Apa yang harus kulakukan? Napasku semakin tersengal.

Kami tidak akan bisa melarikan diri dari tiang listrik ini. Tinggal
dua meter lagi tiang listrik besar itu menghantam kepala kami, tidak akan
cukup waktunya.

Tanganku gemetar. Aku tidak tahu apa yang menuntunku, lima


jemariku kalap teracung ke atas, dan aku menjerit kencang. ”Hilanglah!”

Seluruh tiang itu lenyap seketika.

Aku segera meringkuk di sebelah Seli yang jatuh terduduk. Kami


berpelukan. Meskipun tiangnya sudah hilang, pecahan genteng dan
tembok yang telanjur terhantam tiang berjatuhan di sekitar kami, seperti
hujan batu. Kepulan debu memenuhi belakang sekolah.

Aku dan Seli terbatuk, menutup wajah. Seragam kami kotor. Wajah
kami cemong. Kotak bekalku terbanting. Isinya tumpah berserakan.
Setengah menit berlalu, debu masih berhamburan tinggi menutupi
sekitar, hingga hujan batu dari reruntuhan din­ding sekolah reda.

”Astaga! Apa... apa yang telah kamu lakukan, Ra?” Seli


me­natap­ku, matanya membulat, melepas pelukan.

Apalagi aku, balik menatapnya dengan tatapan lebih tidak mengerti.


”Apa... apa yang telah kamu lakukan tadi, Seli?”

”Kamu bisa menghilangkan tiang listrik, Ra.” Seli memegang


lenganku.

”Kamu juga tadi,” aku menelan ludah, ”kamu tadi menangkap kabel
listrik, Seli.”

Tangan kami masih gemetar. Kaki kami masih susah disuruh


berdiri. Kejadian itu cepat sekali. Di sekitar kami hiruk-pikuk terdengar,
lebih ramai. Petugas berseragam oranye panik ber­larian. Beberapa
mengaduh kesakitan, berteriak minta tolong. Ke­bakaran besar
menyambar sisa gardu. Api menjulang tinggi, asap hitam mengepul.

Aku dan Seli masih saling memegang lengan, mencoba men­cerna


kejadian barusan.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 126

”Kalau aku jadi kalian, aku akan segera pergi meninggalkan lo­kasi
ini.” Suara khas itu terdengar dari lorong belakang se­ko­lah.

Aku dan Seli menoleh. Sosok itu melangkah mendekat.

Ali muncul dari balik debu beterbangan, berdiri di dekat kami,


menatap serius.

”Segera tinggalkan tempat ini, Ra, Seli.” Ali mengulurkan ta­ngan­,


menawarkan bantuan. ”Hanya butuh dua menit orang-orang akan
bergegas datang, ingin tahu apa yang telah terjadi. Seluruh sekolah ini
akan dipenuhi penduduk hingga radius dua kilo­meter yang mendengar
ledakan. Juga hanya butuh dua belas menit, puluhan mobil pemadam
kebaratan tiba dari pool ter­dekat. Kalian tidak ingin ditemukan dalam
situasi seperti ini, bukan? Karena jelas sekali tidak mudah menjelaskan
ke mana tiang listrik besar itu lenyap.” Ali menatapku, kemudian pindah
ke Seli. ”Juga menjelaskan bagaimana seluruh aliran listrik satu gardu
seperti disedot Bumi.”

Aku dan Seli saling tatap. Wajah kami kotor berdebu, me­nyisakan
mata.

”Ayo, Ra! Seli! Sudah empat puluh detik sia-sia, di ujung sana
sudah terdengar penduduk yang mendekat. Juga dari ruang guru,
setidaknya menurut perhitunganku, ada lima guru yang akan kemari.
Kalian bergegas!” Ali berseru tegas.

Aku menelan ludah. Meski aku masih bingung kenapa Ali ada di
hadapan kami, juga jelas aku tidak mudah percaya dengan si biang kerok
ini, tapi kalimatnya masuk akal. Kami tidak mau ditemukan dalam situasi
seperti ini. Akan ada banyak sekali per­tanyaan.

Aku terbatuk, meraih tangan Ali, beranjak berdiri. Seli juga ikut
berdiri, memegang tanganku, sambil menepis ujung pakaian yang kotor.
Nanti-nanti bisa dibicarakan soal kejadian ini. Kami harus segera
menyingkir.

”Kalian bisa jalan sendiri?” Ali memastikan.

Aku dan Seli mengangguk.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 127

Ali sudah berjalan gesit di depan. Dia masih sempat me­nyambar


kotak bekal dan tas kami yang terjatuh. ”Tidak ada yang boleh
menemukan barang-barang kalian yang bisa me­nimbulkan pertanyaan,”
Ali menjelaskan cepat. ”Ikuti aku! Aku tahu tempat menghindar
sementara.”

http://pustaka-indo.blogspot.com

You might also like