Professional Documents
Culture Documents
Tere Liye - 1. Bumi-121-130
Tere Liye - 1. Bumi-121-130
”Tidak repot lho, Ra. Kan Mama bisa ngebut. Paling juga bolak-balik
hanya setengah jam.” Mama mengedipkan mata, mencoba bergurau.
”Oh iya, Ma, nanti sore Ra ada pertemuan Klub Menulis, jadi pulang
agak sore. Boleh kan, ya?” Aku teringat sesuatu.
”Oh iya lagi, Ma, kamar Ra sudah dibereskan tadi. Jadi tidak perlu
Mama bersihkan lagi.” Aku berusaha berkata senormal mungkin.
”Sebenarnya Papa di kantor ada pekerjaan apa sih, Ma?” Aku basa-
basi, masih berusaha menutupi jejak soal memeriksa kamar.
Mama menghela napas. ”Kasihan Papa, masa baru pulang jam lima
pagi. Ini rekor.”
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 119
”Itu sih beda, Ra. Papa memang bilang nggak akan pulang. Tiba-tiba
harus dinas ke luar kota.” Mama menggeleng.
”Asyik kali ya, Ra, kalau tiba-tiba pekerjaan Papa di kantor itu bisa
dihilangkan begitu saja. Wush, hilang. Papa jadi tidak perlu lagi bekerja
habis-habisan.” Mama menatap piring nasi goreng di hadapannya.
***
”Pagi, Ra.” Seli mengagetkanku saat turun dari angkot. ”Kamu naik
angkot? Papamu ke mana?”
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 120
”Oh ya?” aku berseru senang. Itu kabar yang bagus sekali. Sejak
kami masuk sekolah ini, satu kelas, satu meja sejak perkenalan pertama,
aku sudah membujuk Seli agar ikut ekskul Klub Menulis. Tapi Seli selalu
menolak, bilang klub itu tidak seru, hanya untuk anak-anak suka buku
saja. Dia bakal bosan.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 121
ditunjuk penggantinya yang baru. Aku juga baru tahu bahwa Mr. Theo
yang jadi penggantinya. Seli benar, aku sejak tadi hanya melamun
memperhatikan penghapusku, bahkan nyaris tergoda menghilangkannya.
Ini kabar baik, karena setidaknya bukan Miss Keriting yang jadi pembina
baru. Mr. Theo guru bahasa, jadi masih berkaitan dengan Klub Menulis.
”Aku tidak membawa bekal, Ra.” Seli cemberut. ”Kamu sih enak
sudah persiapan. Aku kan baru saja memutuskan untuk ikut. Kalau
pulang dulu, nanti terlambat.”
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 122
Sekolah kami memang dekat dengan gardu listrik. Dulu katanya gardu
listriknya mau dipindahkan karena penduduk sekitar sudah protes. Tapi
hingga sekarang tidak pindah juga.
”Kita makan di resto fast food dekat sekolah saja ya, Ra?” Seli balik
kanan, mengembuskan napas sebal.
”Nggak usah, Ra. Mungkin kalau beli yang paket hemat ada
uangnya.”
”Tapi nanti pas pulang kamu yang traktir bayar angkot, ya.” Seli
menoleh.
Tapi ternyata urusan makan siang ini jadi panjang sekali, juga
urusan Klub Menulis, apalagi rencana Mama yang mau ada arisan di
rumah dan Papa yang masih sibuk dengan masalah mesin pencacah di
pabriknya.
Aku dan Seli refleks menoleh. Belum genap mengerti apa yang
sedang terjadi, terdengar suara meletup dari gardu listrik. Beberapa
petugas lain berlarian menghindar, berteriak lebih panik. ”Awas!
Menghindar!”
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 123
Astaga! Seli justru menangkap dua kabel itu. Bagai halilintar, aliran
listrik merambat di tangan kiri Seli, meletup-letup. Tapi jangankan
menjerit kesakitan, wajah Seli mengernyit pun tidak. Dia melemparkan
dua kabel itu ke samping, menghantam tembok sekolah, membuat
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 124
Demi menatap tiang besar itu, Seli lompat, bergegas, tiga kabel yang
melilit tubuhnya luruh ke bawah. Dia menyambar lenganku. Kali ini dia
yang berseru panik, ”Lari, Ra!”
Lagi pula tidak akan cukup waktunya. Tiang listrik yang terbuat
dari beton itu sudah dekat sekali. Ujungnya sudah menghantam atap
bangunan sekolah, bergemuruh. Genteng berjatuhan. Siku-siku kayu
dan plafon patah, menyusul dinding sekolah berguguran, dan tiang besar
itu terus meluncur ke bawah, tidak kuasa ditahan bangunan sekolah
yang robek.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 125
Kami tidak akan bisa melarikan diri dari tiang listrik ini. Tinggal
dua meter lagi tiang listrik besar itu menghantam kepala kami, tidak akan
cukup waktunya.
Aku dan Seli terbatuk, menutup wajah. Seragam kami kotor. Wajah
kami cemong. Kotak bekalku terbanting. Isinya tumpah berserakan.
Setengah menit berlalu, debu masih berhamburan tinggi menutupi
sekitar, hingga hujan batu dari reruntuhan dinding sekolah reda.
”Kamu juga tadi,” aku menelan ludah, ”kamu tadi menangkap kabel
listrik, Seli.”
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 126
”Kalau aku jadi kalian, aku akan segera pergi meninggalkan lokasi
ini.” Suara khas itu terdengar dari lorong belakang sekolah.
Aku dan Seli saling tatap. Wajah kami kotor berdebu, menyisakan
mata.
”Ayo, Ra! Seli! Sudah empat puluh detik sia-sia, di ujung sana
sudah terdengar penduduk yang mendekat. Juga dari ruang guru,
setidaknya menurut perhitunganku, ada lima guru yang akan kemari.
Kalian bergegas!” Ali berseru tegas.
Aku menelan ludah. Meski aku masih bingung kenapa Ali ada di
hadapan kami, juga jelas aku tidak mudah percaya dengan si biang kerok
ini, tapi kalimatnya masuk akal. Kami tidak mau ditemukan dalam situasi
seperti ini. Akan ada banyak sekali pertanyaan.
Aku terbatuk, meraih tangan Ali, beranjak berdiri. Seli juga ikut
berdiri, memegang tanganku, sambil menepis ujung pakaian yang kotor.
Nanti-nanti bisa dibicarakan soal kejadian ini. Kami harus segera
menyingkir.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 127
http://pustaka-indo.blogspot.com