You are on page 1of 35

PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)

Dosen Pengampu :
Nanny Harmani
Disusun Oleh :
Adra Nasdariza (2005015195)
Alfin Fajar (2005015103)
Muhammad Agung Saputra (2005015094)
Nadia Pratiwi (2005015177)
Putri Atika Salsabila (2005015067)
Yunita Fachria Putri (2005015213)
1A – Kesehatan Masyarakat

FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA JAKARTA
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh,

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
ini yang berjudul “Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)”.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Dasar Kesehatan
Lingkungan dari Ibu Nanny Harmani pada semester satu.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung
dalam proses penulisan makalah ini. Kami sangat berharap tugas ini dapat
berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga
menyadari bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan tugas yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Terima kasih.

Wassalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Jakarta, November 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akhir-akhir ini makin banyak limbah dari pabrik, rumah tangga,
perusahaan, kantor-kantor, sekolah dan sebagainya yang berupa cair,
padat bahkan berupa zat gas dan semuanya itu berbahaya bagi kehidupan
kita. Tetapi ada limbah yang lebih berbahaya lagi yang disebut dengan
limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Hal tersebut sebenarnya bukan
merupakan masalah kecil dan sepele, karena apabila limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) tersebut dibiarkan ataupun dianggap sepele
penanganannya, atau bahkan melakukan penanganan yang salah dalam
menanganani limbah B3 tersebut, maka dampak dari Limbah Bahan
Berbahaya dan beracun tersebut akan semakin meluas, bahkan
dampaknyapun akan sangat dirasakan bagi lingkungan sekitar kita, dan
tentu saja dampak tersebut akan menjurus pada kehidupan makhluk hidup
baik dampak yang akan dirasakan dalam jangka pendek ataupun dampak
yang akan dirasakan dalam jangka panjang dimasa yang akan datang.
Kita tidak akan tahu seberapa parah kelak dampak tersebut akan
terjadi,namun seperti kata pepatah ”Lebih Baik Mencegah Daripada
Mengobati”, hal tersebut menjadi salah satu aspek pendorong bagi kita
semua agar lebih berupaya mencegah dampak dari limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun tersebut, ketimbang menyaksikan dampak dari
limbah B3 tersebut telah terjadi dihadapan kita, dan kita semakin sulit
untuk menanggulanginya.
Secara garis besar, hal tersebut menjadi salah satu patokan bagi
kita,bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan tanggung jawab kita
bersama untuk menanggulanginya, khususnya pada masalah limbah Bahan
Berbahaya dan (B3) Beracun tersebut. Maka dari itu penyusun
mengangkat topik ini untuk diketahui lebih lanjut tentang masalah B3
tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Terkait dengan pembahasan diatas, maka penyusun membuat suatu
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah definisi dari limbah B3?
2. Apa saja sifat dan klasifikasi dari limbah B3?
3. Apa saja jenis polutan limbah B3?
4. Bagaimana proses pengelolaan limbah B3?
5. Apa saja standard kualitas limbah khususnya limbah B3?
6. Bagaimana tingkat pencemaran untuk limbah B3?
7. Bagaimana dampak limbah B3 terhadap kesehatan secara
general?
1.3 Tujuan Masalah
Tujuan dari karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui definisi dari limbah B3
2. Dapat menjelaskan sifat dan klasifikasi dari limbah B3
3. Dapat menyebutkan jenis-jenis polutan limbah B3
4. Dapat menjelaskan proses pengelolaan limbah B3
5. Mengetahui standard kualitas limbah B3
6. Memahami tingkat pencemaran limbah B3
7. Dapat menjelaskan dampak limbah B3 terhadp kesehatan
BAB II

ISI

2.1 Definisi Limbah B3


Kata B3 merupakan akronim dari bahan beracun dan berbahaya.
Oleh karena itu, pengertian limbah B3 dapat diartikan sebagai suatu
buangan atau limbah yang sifat dan konsentrasinya mengandung zat yang
beracun dan berbahaya sehingga secara langsung maupun tidak langsung
dapat merusak lingkungan, mengganggu kesehatan, dan mengancam
kelangsungan hidup manusia serta organisme lainya. Limbah B3 bukan
hanya dapat dihasilkan dari kegiatan industri. Kegiatan rumah tangga juga
menghasilkan beberapa limbah jenis ini. Beberapa contoh limbah B3 yang
dihasilkan rumah tangga domestik) di antaranya bekas pengharum
ruangan, pemutih pakaian, deterjen pakaian, pembersih kamar mandi,
pembesih kaca/jendela, pembersih lantai, pengkilat kayu, pembersih oven,
pembasmi serangga, lem perekat, hair spray, dan batu baterai.
Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dibedakan menjadi 3 jenis yaitu:
a. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik. Limbah ini tidak
berasal dari proses utama, melainkan dari kegiatan
pemeliharaan alat, inhibitor korosi, pelarutan kerak,
pencucian, pengemasan dan lain-lain.
b. Limbah B3 dari sumber spesifik. Limbah ini berasal dari
proses suatu industri (kegiatan utama).
c. Limbah B3 dari sumber lain. Limbah ini berasal dari sumber
yang tidak diduga, misalnya prodak kedaluwarsa, sisa
kemasan, tumpahan, dan buangan produk yang tidak
memenuhi spesifikasi.
2.2 Sifat dan Klasifikasi Limbah B3
a. Mudah meledak (explosive)
Limbah mudah meledak adalah limbah yang pada suhu dan
tekanan standar dapat meledak karena dapat menghasilkan
gas dengan suhu dan tekanan tinggi lewat reaksi fisika atau
kimia sederhana. Limbah ini sangat berbahaya baik saat
penanganannya, pengangkutan, hingga pembuangannya
karena bisa menyebabkan ledakan besar tanpa diduga-duga.
Adapun contoh limbah B3 dengan sifat mudah meledak
misalnya limbah bahan eksplosif dan limbah laboratorium
seperti asam prikat.
b. Pengoksidasi (oxidizing)
Limbah pengoksidasi adalah limbah yang dapat melepaskan
panas karena teroksidasi sehingga menimbulkan api saat
bereaksi dengan bahan lainnya. Limbah ini jika tidak
ditangani dengan serius dapat menyebabkan kebakaran besar
pada ekosistem. Contoh limbah b3 dengan sifat pengoksidasi
misalnya kaporit.
c. Mudah menyala (flammable)
Limbah yang memiliki sifat mudah sekali menyala adalah
limbah yang dapat terbakar karena kontak dengan udara,
nyala api, air, atau bahan lainnya meski dalam suhu dan
tekanan standar. Contoh limbah B3 yang mudah menyala
misalnya pelarut benzena, pelarut toluena atau pelarut aseton
yang berasal dari industri cat, tinta, pembersihan logam, dan
laboratorium kimia.
d. Beracun (moderately toxic)
Limbah beracun adalah limbah yang memiliki atau
mengandung zat yang bersifat racun bagi manusia atau
hewan, sehingga menyebabkan keracunan, sakit, atau
kematian baik melalui kontak pernafasan, kulit, maupun
mulut. Contoh limbah b3 ini adalah limbah pertanian seperti
buangan pestisida.
e. Berbahaya (harmful)
Limbah berbahaya adalah limbah yang baik dalam fase padat,
cair maupun gas yang dapat menyebabkan bahaya terhadap
kesehatan sampai tingkat tertentu melalui kontak inhalasi
ataupun oral.
f. Korosif (corrosive)
Limbah yang bersifat korosif adalah limbah yang memiliki
ciri dapat menyebabkan iritasi pada kulit, menyebabkan
pengkaratan pada baja, mempunyai pH ≥ 2 (bila bersifat
asam) dan pH ≥ 12,5 (bila bersifat basa). Contoh limbah B3
dengan ciri korosif misalnya, sisa asam sulfat yang
digunakan dalam industri baja, limbah asam dari baterai dan
accu, serta limbah pembersih sodium hidroksida pada
industri logam.
g. Bersifat iritasi (irritant)
Limbah yang dapat menyebabkan iritasi adalah limbah yang
menimbulkan sensitasi pada kulit, peradangan, maupun
menyebabkan iritasi pernapasan, pusing, dan mengantuk bila
terhirup. Contoh limbah ini adalah asam formiat yang
dihasilkan dari industri karet.
h. Berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment)
Limbah dengan karakteristik ini adalah limbah yang dapat
menyebabkan kerusakan pada lingkungan dan ekosistem,
misalnya limbah CFC atau Chlorofluorocarbon yang
dihasilkan dari mesin pendingin.
i. Karsinogenik (carcinogenic), Teratogenik (teratogenic),
Mutagenik (mutagenic)
Limbah karsinogenik adalah limbah yang dapat
menyebabkan timbulnya sel kanker, teratogenik adalah
limbah yang mempengaruhi pembentukan embrio, sedangkan
limbah mutagenik adalah limbah yang dapat menyebabkan
perubahan kromosom.
2.3 Jenis Polutan
2.3.1 Padatan
Air yang terpolusi selalu mengandung padatan yang
dapat dibedakan atas empat kelompok berdasarkan besar
partikelnya dan sifat – sifat lainnya, terutama kelarutan yaitu
(padatan terendap), padatan tersuspensi dan koloid, padatan
terlarut, minyak dan lemak.
2.3.2 Kandungan Oksigen
a. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO)
dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk
pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran
zat yang kemudian menghasilkan energi untuk
pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu,
oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-
bahan organik dan anorganik dalam proses
aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu
perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara
bebas dan hasil fotosintesis organisme yang
hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000).
Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung
sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu,
salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti
arus, gelombang dan pasang surut. Odum (1971)
menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut
akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu
dan berkurang dengan semakin tingginya
salinitas. Pada lapisan permukaan, kadar oksigen
akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi
antara air dengan udara bebas serta adanya proses
fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman
akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut,
karena proses fotosintesis semakin berkurang dan
kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk
pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik
dan anorganik Keperluan organisme terhadap
oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis,
stadium dan aktifitasnya. Kebutuhan oksigen
untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih
sedikit apabila dibandingkan dengan ikan pada
saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan
tertentu yang dapat menggunakan oksigen dari
udara bebas, memiliki daya tahan yang lebih
terhadap perairan yang kekurangan oksigen
terlarut (Wardoyo, 1978). Kandungan oksigen
terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam
keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa
beracun (toxic). Kandungan oksigen terlarut
minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan
organisme (Swingle, 1968). Idealnya, kandungan
oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm
selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada
tingkat kejenuhan sebesar 70 % (Huet, 1970).
KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen
terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata
bahari dan biota laut. Oksigen memegang
peranan penting sebagai indikator kualitas
perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam
proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan
anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan
khan biologis yang dilakukan oleh organisme
aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik,
peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi
bahan organik dan anorganik dengan hasil
akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat
memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi
anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan
mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih
sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena
proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan
oksigen terlarut sangat penting untuk membantu
mengurangi beban pencemaran pada perairan
secara alami maupun secara perlakuan aerobik
yang ditujukan untuk memurnikan air buangan
industri dan rumah tangga. Sebagaimana
diketahui bahwa oksigen berperan sebagai
pengoksidasi dan pereduksi bahan kimia beracun
menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan
tidak beracun. Disamping itu, oksigen juga sangat
dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk
pernapasan. Organisme tertentu, seperti
mikroorganisme, sangat berperan dalam
menguraikan senyawa kimia beracun rnenjadi
senyawa lain yang Iebih sederhana dan tidak
beracun. Karena peranannya yang penting ini, air
buangan industri dan limbah sebelum dibuang ke
lingkungan umum terlebih dahulu diperkaya
kadar oksigennya.
b. Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Kebutuhan oksigen biologi (BOD)
didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang
diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan
bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan
bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini
digunakan oleh organisme sebagai bahan
makanan dan energinya diperoleh dari proses
oksidasi (Pescod, 1973). Parameter BOD, secara
umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat
pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat
penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari
tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan
BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang
menyangkut pengukuran banyaknya oksigen
yang digunakan oleh organisme selama
organisme tersebut menguraikan bahan organik
yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang
harnpir sama dengan kondisi yang ada di alam.
Selama pemeriksaan BOD, contoh yang diperiksa
harus bebas dari udara luar untuk rnencegah
kontaminasi dari oksigen yang ada di udara
bebas. Konsentrasi air buangan/sampel tersebut
juga harus berada pada suatu tingkat pencemaran
tertentu, hal ini untuk menjaga supaya oksigen
terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini
penting diperhatikan mengingat kelarutan
oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar ± 9
ppm pads suhu 20°C (Sawyer dan McCarty,
1978)
c. Kebutuhan Kimia (COD)
COD merupakan oksigen (mg O2) yang
diperlukan untuk mengoksidasi senyawa organic
secara kimawi, yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi zat organik dalam 1 liter air dengan
menggunakan oksidator kalium dikromat selama
2 jam pada suhu 150°C. Hasil analisis COD
menunjukkan bahwa kandungan senyawa organic
yang terdapat dalam limbah. Pengoksidasi ion
bikromat K2R2O7 yang digunakan sebagi
sumber oksigen (oxidizing agent), COD menjadi
angka yang menjadi sumber pencemaran bagi
zat-zat organis secara alamiah dan dapat
dioksidasi dengan proses mikrobiologis yang
menyebabkan oksigen terlarut berkurang didalam
air.
Akibat dari konsntrasi COD yang tinggi
dalam badan air menunjukkan bahwa adanya
bahan pencemar organik dalam jumlah tinggi
jumlah mikroorganisme baik secara patogen dan
tidak patogen yang dapat menimbulkan berbagai
macam penyakit untuk manusia.
Konsentrasi COD yang tinggi dapat
menimbulkan dan menyebabkan kandungan
oksigen terlarut didalam badan air menjadi
rendah, bahkan habis. Faktor ini dapat
mengakibatkan oksigen sebagai sember
kehidupan bagi makhluk yang berada didalam air
seperti hewan dan tumbuhan air, tidak dapat
terpenuhi sehingga makhluk air tersebut bisa
terncam mati dan tidak dapat berkembang biak
dengan baik.
2.3.3 Mikroorganisme
a. Unsur Mikrobiologi Air
Air merupakan materi esensial bagi
kehidupan makhluk hidup karenamakhluk hidup
memerlukan air untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Secara umum fungsi air
dalam tubuh setiap mikroorganisme adalah
untukmelarutkan senyawa organik, menstabilkan
suhu tubuh dan melangsungkan berbagai reaksi
kimia tingkat seluler. Pemeriksaan air secara
mikrobiologi sangat oenting dilakukan karena air
merupakan substansi yang sangat penting dalam
menunjang kehidupan mikroorganisme yan
gmeliputi pemeriksaan secara mikrobiologi baik
secara kualitatif maupun kuantitatif dapat dipakai
sebagai pengukuran derajat pencemaran.
b. Unsur Bakteri
1. Esherichia Coli
Esherichia Coli atau E. Coli
merupakan spesies utama bakteri gram
negative. Pada dasarnya bakteri ini dapat
ditemukan didalam usus manusia. Apabila
jumlah E. Coli berlebih di dalam tubuh
manusia dapat menyebabkan keracunan
dan diare berdarah karena eksotosi yang
dihasilkan.
2. Streptococcus fekal
Fardiaz (1992) menyatakan bahwa f.
streptococcus merupakan salah satu
bakteri Gram positif; berbentuk bulat,
kokus atau bulat memanjang (kokobasili),
sel bakteri berbentuk tunggal atau
membentuk rantai panjang; dan tumbuh
pada suhu 45oC. Bakteri F. streptococcus
antara lain S. faecalis, S. faecium, S.
durans, S. bovis dan S. equinus. F.
streptococcus terdiri atas genus
Enterococcus (seperti E. avium, E.
faecium, E. durans, E. fuculis, E.
gallinarium) dan Streptococcus (seperti S.
bovis, S. equines). Bakteri F.
streptococcus dapat memfermentasi
laktosa untuk menghasilkan asam, gas dan
bersifat enteropatogenik.
3. Clostridium perfringens
Clostridium perfrigens adalah spesies
bakteri gram-positif yang dapat
membentuk spora dan menyebabkan
keracunan makanan. Beberapa
karakteristik dari bakteri ini adalah non-
motil (tidak bergerak), sebagian besar
memiliki kapsul polisakarida, dan dapat
memproduksi asam dari laktosa.
2.3.4 Logam Berat
a. Kandungan Merkuri (Hg)
Elemen Hg berwarna kelabu-perak, sebagai
cairan pada suhu kamar dan mudah menguap bila
dipanaskan.Hg2+ (Senyawa Anorganik) dapat
mengikat carbon, membentuk senyawa
organomercury.Methyl Mercury (MeHg)
merupakan bentuk penting yang memberikan
pemajanan pada manusia.
b. Kandungan Timbal (Pb)
Sumber emisi antara lain dari : Pabrik
plastik, percetakan, peleburan timah, pabrik karet,
pabrik baterai, kendaraan bermotor, pabrik cat,
tambang timah dan sebagainya.
c. Kandungan Arsenik (As)
Arsen (As) adalah metal yang mudah patah,
berwarna keperakan dan sangat toxik (Istarani &
Pandebesie, 2014). As elemental didapat di alam
dalam jumlah sangat terbatas; terdapat
bersamasama Cu, sehingga didapatkan produk
sampingan pabrik peleburan Cu. As sudah sejak
lama sering digunakan untuk racun tikus dan
keracunan arsen pada manusia. Arsen ditemukan
dalam jumlah yang relatif sedikit namun tingkat
toksisitas yang sangat tinggi karena masuk dalam
logam berat. Seluruh logam berat muncul secara
alami di lingkungan yang dihasilkan dari buangan
industri dengan jumlah yang makin hari makin
meningkat. Logam yang mempunyai kontribusi
toksisitas di dalam air adalah timbal, kadmium,
merkuri, dan aluminium (Istarani & Pandebesie,
2014). Sumber dari logam berat timbal,
kadmium, dan merkuri dalam air, baik yang
berupa larutan atau pun padatan sering ditemukan
di balik batu, ditemukan dalam bentuk sulfida
yang berasal dari limbah/buangan industri yang
terkontaminasi, lindi dari secure landfill yang
tidak terkendali, kegiatan pertambangan yang
buruk, dan kebocoran pada kolam penampungan
limbah (Istarani & Pandebesie, 2014).
d. Kandungan Tembaga (Cu)
Tembaga merupakan logam berwarna
kemerah-merahan dipakai sebagai logam murni
atau logam campuran (suasa) dalam pabrik kawat,
pelapis logam, pipa dan lain-lain.
e. Kandungan Kadmium (Cd)
Cadmium merupakan bahan alami yang
terdapat dalam kerak bumi.Cadmium murni
berupa logam berwarna putih perak dan lunak,
namun bentuk ini tak lazim ditemukan di
lingkungan. Umumnya cadmium terdapat dalam
kombinasi dengan elemen lain seperti Oxigen
(Cadmium Oxide) Clorine (Cadmium Chloride)
atau belerang (Cadmium Sulfide).
f. Kandungan Khromium (Cr)
Chromium adalah suatu logam keras
berwarna abu-abu dan sulit dioksidasi meski
dalam suhu tinggi. Chromium digunakan oleh
industri : Metalurgi, Kimia, Refractory (heat
resistent application). Dalam industri metalurgi,
chromium merupakan komponen penting dari
stainless steels dan berbagai campuran logam.
g. Kandungan Nikel (Ni)
Nikel berupa logam berwarna perak dalam
bentuk berbagai mineral.Ni diproduksi dari biji
Nickel, peleburan/ daur ulang besi, terutama
digunakan dalam berbagai macam baja dan suasa
serta elektroplating.
2.3.5 Bahan Pencemar Lainnya
a. Deterjen
Penggunaan deterjen yang semakin
meningkat seiring dengan membaiknya
pendapatan masyarakat akan berdampak pada
jumlah limbah yang dihasilkan, dan bila proses
degradasi tidak berjalan seimbang akan berakibat
terakumulasinya surfaktan pada badan-badan
perairan, sehingga menimbulkan masalah
pendangkalan perairan, terhambatnya transfer
oksigen. Kondisi ini menyebabkan proses
penguraian secara aerobik terganggu dan
berdampak terhadap laju biodegradasi berjalan
sangat lambat. Kondisi ini memungkinkan
terbentuknya senyawa intermediate dan dapat
membentuk senyawa klorobenzena yang bersifat
toksik terhadap organisma aquatik dan pada titik
kritis mengakibatkan kematian organisma akuatik
serta menurunnya estetika lingkungan yang
disebabkan timbulnya bau dan busa yang
melimpah. Toksisitas surfaktan terhadap
organisma aquatik telah banyak diteliti seperti
terhadap gastropoda dan ikan mas).
Persenyawaan kimia lainnya yang berpotensi
bersifat toksik adalah dari golongan amonium
kuartemer; Amonium kuarterner dapat
membentuk senyawa nitrosamin yang bersifat
karsinogenik bila terkonsumsi ke dalam jaringan
tubuh.
b. Pestisida/ Insektisida
Pestisida mengandung konotasi zat kimia dan
atau bahan lain termasuk jasad renik yang
mengandung racun dan berpengaruh
menimbulkan dampak negatif yang signifikan
terhadap kesehatan manusia, kelestarian
lingkungan dan keselamatan tenaga kerja.
Pestisida banyak digunakan pada sektor pertanian
dan perdagangan/ komoditi.
c. Radioaktif
Subtansi radioaktif yang dihasilkan dari
aktivitas manusia seperti nitrogen, uranium,
thorium, uranium, dan lain-lain. Zat radioaktif
tersebut dapat menyumbat tanah dan memberikan
efek toksik bagi makhluk hidup di sekitarnya.
Contoh pencemaran dari tipe polutan ini dapat
ditemukan di prefektur Fukushima, Jepang.
Gempa bumi dan tsunami menghantam
Fukushima pada tahun 2011. Bencana tersebut
menyebabkan meledaknya reaktor nuklir di
PLTN Fukushima sehingga terjadi kebocoran air
radioaktif. Kemudian, zona tersebut menjadi
kawasan tertutup karena tingkat kontaminasi
radiasi nuklir yang tinggi.
2.4 Proses Pengelolaan Limbah B3
2.4.1 Metode Pengolahan Secara Kimia
Proses pengolahan limbah B3 secara kimia yang
umumnya dilakukan adalah stabilisasi/solidifikasi. Stabilisasi/
solidifikasi adalah proses mengubah bentuk fisik atau senyawa
kimia dengan menambahkan bahan pengikat atau zat pereaksi
tertentu untuk memperkecil/membatasi kelarutan, pergerakan,
atau penyebaran daya racun limbah sebelum dibuang. Secara
sederhana stabilisasi adalah proses pencampuran limbah
dengan bahan tambahan dengan tujuan untuk menurunkan laju
migrasi bahan dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas
limbah tersebut. Solidifikasi didefinisikan sebagai proses
pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan zat
aditif. Contoh bahan yang dapat digunakan untuk proses
stabilisasi/solidifikasi adalah semen, kapur, dan bahan
termoplastik. Teknologi solidifikasi/stabilisasi umumnya
menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik.
Sedangkan presipitasi adalah pengurangan bahan-bahan
terlarut dengan cara menambahkan senyawa kimia tertentu
yang terlarut dan dapat menyebabkan terbentuknya padatan.
Dalam pengelolaan air limbah, persipitasi digunakan untuk
menghilangkan logam berat, sulfat, fluoride, dan fosfat.
Senyawa kimia yang biasa digunakan adalah lime,
dikombinasikan dengan kalsium klorida, magnesium klorida,
alumunium klorida, dan garam-garam besi.
Koagulasi dan Flokulasi digunakan untuk memisahkan
padatan tersuspensi dari cairan jika kecepatan pengendapan
secara alami padatan tersebut lambat atau efisien. Proses
koagulasi dan flokulasi adalah konversi dari polutan-polutan
yang tersuspensi koloid yang sangat halus didalam air limbah,
menjadi gumpalan-gumpalan yang dapat deiendapkan,
disaring, atau diapungkan.
Kelebihan dari proses pengelolaan secara kimia antara
lain dapat menangani hampir seluruh polutan anorganik, tidak
terpengaruh oleh polutan yang beracun atau toksik, dan tidak
tergantung pada perubahan konsentrasi. Pengelolaan secara
kimia juga dapat meningkatkan jumlah garam pada effluent,
meningkatkan jumlah lumpur sehingga memerlukan bahan
kimia tambahan akibatnya biaya pengolahan menjadi mahal.
2.4.2 Metode Pengolahan Secara Fisik
Sebelum dilakukan pengolahan lanjutan terhadap air
buangan, dilakukan penyisihan terhadap bahan-bahan
tersuspensi berukuran besar dan yang mudah mengendap atau
bahan-bahan yang terapung. Penyaringan atau screening
merupakan cara yang efisien dan murah untuk menyisihkan
bahan tersuspensi yang berukuran besar. Bahan tersuspensi
yang mudah mengendap dapat disisihkan secara mudah dengan
proses pengendapan.
Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan
bahan-bahan yang mengapung seperti minyak dan lemak agara
tidak menggangu proses pengolahan berikutnya. Flotasi juga
dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan
tersuspensi (clarification) atau pemekatan lumpur endapan
(sludae thickening) dengan memberikan aliran udara ke atas
(air flotation). Proses filtrasi didalam pengolahan air buangan,
biasanya dilakukan untuk mendahului proses adsorbsi atau
proses reverse osmosisnya, akan dilaksanakan untuk
menyisihkan sebanyak mungkin partikel tersuspensi dari dalam
air agar tidak mengganggu proses adsorbsi atau menyumbat
membran yang dipergunakan dalam proses osmosa. Proses
adsorbsi, biasanya dengan karbon aktif, dilakukan untuk
menyisihkan senyawa aromatik misalnya fenol dan senyawa
organik terlarut lainnya, terutama jika diinginkan untuk
menggunakan air buangan kembali. Teknologi membran
biasanya diaplikasikan untuk unit-unit pengolahan kecil,
terutama jika pengolahan ditunjukan untuk menggunakan
kembali air yang diolah. Evaporasi pada umumnya dilakukan
untuk menguapkan pelarut yang tercampur dalam limbah,
sehingga pelarut terpisah dan dapat diisolasi kembali.
Evaporasi didasarkan pada sifat pelarut yang memiliki titik
didih yang berbeda dengan senyawa lainnya.
Metode insinerasi atau pembakaran dapat diterapkan
untuk memperkecil volume limbah B3. Namun saat melakukan
pembakaran perlu dilakukan pengendalian agar gas beracun
hasil pembakaran tidak mencemari udara. Pada metode ini
bertujuan untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung
di dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3.
Insinerator adalah alat untuk membakar sampah padat,
terutama untuk mengolah limbah B3 yang perlu syarat teknis
pengolahan dan hasil olahan yang sangat ketat. Insinerator
mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90%
(volume) dan 75% (berat). Proses insinerasi mengahasilkan
energi dalam bentuk panas. Kelebihan dari metode insinerasi
adalah metode ini merupakan metode hemat uang di bidang
transportasi dan tidak menghasilkan jejak karbon yang
dihasilkan transport seperti pembuangan darat. Namun
kerugian dari metode ini adalah biaya tambahan dalam
pembangunan instalasi pembakaran limbah, selain itu
pembakaran limbah juga menghasilkan emisi gas yang
memberikan efek rumah kaca.
2.4.3 Metode Pengolahan Secara Biologi
Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yang
berkembang dewasa saat ini dikenal dengan istilah
bioremediasi dan fitomediasi. Bioremediasi adalah penggunaan
bakteri dan mikroorganisme lain untuk mendegredasi/
mengurai limbah B3. Sedangkan Fitoremediasi adalah
penggunaan tumbuhan untuk mengabsorbsi dan
mengakumulasi bahan-bahan beracun dari tanah. Kedua proses
ini sangat bermanfaat dalam mengatasi pencemaran oleh
limbah B3 dan biaya yang diperlukan lebih murah
dibandingkan metode kimia dan fisik. Namun, proses ini juga
masih terdapat kelemahan, pada proses bioremediasi dan
fitoremediasi merupakan proses alami sehingga membutuhkan
waktu yang relatif lama untuk membersihkan limbah B3,
terutama dalam skala besar. Selain itu karena menggunakan
makhluk hidup, proses ini dikhawatirkan dapat membawa
senyawa-senyawa beracun ke dalam rantai makanan di dalam
ekosistem.
2.5 Standard Kualitas Limbah B3
Untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan dari
aktivitas industri, maka diperlukan pengendalian terhadap pencemaran
lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan. Baku mutu
lingkungan adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau bahan
pencemar terdapat di lingkungan dengan tidak menimbulkan gangguan
terhadap makhluk hidup, tumbuhan atau benda lainnya. Adapun prinsip
pengelolaan limbah industri dapat dilakukan melalui pendekatan teknis
dan non teknis, pendekatan teknis berhubungan dengan peraturan-
peraturan, kajian sistem produksi dalam industri tersebut yang meliputi
sistem, produk, servis maupun proses. Sedangkan pendekatan non teknis
dengan peningkatan kesadaran lingkungan masyarakat dan industri dalam
menyikapi masalah pencemaran. Beberapa aspek yang perlu di perhatikan
untuk menentukan standar kualitas di pabrik dapat diambil dari sumber-
sumber sebagai berikut.
a. Peraturan Perundang-undangan (B3)
Agar pelaksanaan pengawasan pengendalian pencemaran
lingkungan sesuai amanat Undang - Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dapat lebih efisien dan efektif. Adapun
referensi-referensi lain yang mengatur lebih lanjut tentang
peraturan pengelolaan limbah B3 adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009 tentang
Pengesahan Stockholm Convention On Persistens
Organic Pollutant (Konvensi Stokholm tentang Bahan
Pencemar Organik Yang Persistent)
2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
3. Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Pengesahan Vienna Convention for The Ozon Layer
dan Montreal Protocol on substances That Deplete
The Ozone Layer As Adjusted and Amanded by The
Second Meeting of Parties London, 27-29 June 1990
4. Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Beijing Amendment to the Montreal
Protocol on Substances That Deplete The Ozone
Layer (Amandemen Beijing Atas Protokol Montreal
tentang Bahan-Bahan Yang Merusak Lapisan Ozon)
5. Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Montreal Amadement to the Montreal
Protocol on Substances That Deplete The Ozone
Layer (Amandemen Montreal atas Protokol Montreal
tentang Bahan-Bahan Yang Merusak Lapisan Ozon)
6. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
03 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Simbol
dan Label pada Bahan Berbahaya dan Beracun
7. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
02 Tahun 2010 tentang Penggunaan Sistem
Elektronik Registrasi Bahan Berbahaya dan Beracun
dalam Kerangka Indonesia Nation Single Window di
Kementerian Lingkungan Hidup
b. Pengendalian Pencemaran Air
Seluruh usaha dan atau kegiatan memiliki kewajiban
dalam pengelolaan air limbah menggunakan teknologi proses
pengolahan air limbah (IPAL) agar outlet IPALnya selalu
memenuhi standar baku mutu yang dipersyaratkan. Secara
umum kewajiban usaha dan atau kegiatan dalam
pengendalian pencemaran air adalah sebagai berikut:
1. Melakukan pengelolaan limbah cair sebelum dibuang
ke lingkungan sehingga baku mutu limbah cair yang
dibuang ke lingkungan tidak melampaui Baku Mutu
Limbah Cair yang telah ditetapkan
2. Membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup
dan kedap air sehingga tidak terjadi perembesan ke
tanah serta terpisah dengan saluran limpahan air hujan
3. Memasang alat ukur debit laju alir limbah cair dan
melakukan pencatatan debit harian limbah cair
tersebut
4. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah
Cair kepada laboratorium terakreditasi sekurang-
kurangnya satu kali dalam sebulan
5. Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian
dan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair
sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada OPD
Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota, yang
tembusannya disampaikan kepada Gubernur dan
Menteri, serta instansi lainnya yang dianggap perlu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
c. Pengendalian Pencemaran Udara
Peraturan mengenai pengendalian pencemaran udara
skala nasional adalah Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara. Sedangkan peraturan tingkat Provinsi
Jawa Barat adalah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat
Nomor 11 Tahun 2006. Untuk mengurangi pencemaran udara
hingga mencapai tingkat yang tidak membahayakan atau
mencemari lingkungan udara ambien dan memenuhi baku
mutu emisi udara adalah dengan menggunakan alat atau
teknologi pengendalian pencemaran udara.
Ketentuan teknis cerobong emisi diatur dalam Keputusan
Kepala Bapedal Nomor 205 Tahun 1996 tentang Pedoman
Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak
Bergerak, yaitu:
1. Persyaratan Cerobong
Peraturan mengenai pengendalian pencemaran
udara skala nasional adalah Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara. Sedangkan
peraturan tingkat Provinsi Jawa Barat adalah
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 11
Tahun 2006. Untuk mengurangi pencemaran udara
hingga mencapai tingkat yang tidak membahayakan
atau mencemari lingkungan udara ambien dan
memenuhi baku mutu emisi udara adalah dengan
menggunakan alat atau teknologi pengendalian
pencemaran udara.
Ketentuan teknis cerobong emisi diatur dalam
Keputusan Kepala Bapedal Nomor 205 Tahun 1996
tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran
Udara Sumber Tidak Bergerak, yaitu:

Gambar 2. 1 Ketentuan Teknis Cerobong Emisi Cerobong Sama

Dimana:
De : diameter ekivalen
L : panjang penampang cerobong
W : lebar penampang cerobong
Jika cerobong memiliki ukuran bagian bawah dan
atas berbeda, maka diameter ekuivalen ditentukan
dengan rumus sebagai berikut:

Gambar 2. 2 Ketentuan Teknis Emisi Cerobong Tak Sama


Dimana:
De : diameter ekivalen
D : diameter dalam cerobong bawah
d : diameter dalam cerobong atas
2. Persyaratan Lubang Pengambilan Sampel
Untuk mengambil sampel emisi cerobong
diperlukan pembuatan lubang pengambilan sampel
dengan persyaratan Diameter lubang pengambilan
sampel sekurang-kurangnya 10 cm, Lubang
pengambilan sampel harus memakai tutup dengan
sistel plat flange yang dilengkapi dengan baut, dan
Arah lubang pengambilan sampel tegak lurus dinding
cerobong.
3. Persyaratan Pendukung
Persyaratan pendukung lubang pengambilan
sampel diantaranya adalah Tangga besi dan selubung
pengaman berupa plat besi dan Lantai kerja (landasan
pengambilan sampel). Lantai kerja atau landasan
engambilan sample diatur sebagai berikut:
a) Dapat mendukung beban minimal 500 kg
b) Keleluasaan kerja bagi minimal 3 orang
c) Lebar lantai kerja terhadap lubang
pengambilan sampel adalah 1,2 m dan
melingkari cerobong
d) Pagar pengaman setinggi 1 m
e) Dilengkapi dengan katrol pengangkat alat
pengambil sampel
f) Stop kontak aliran listrik yang sesuai
dengan peralatan yang digunakan yaitu
Voltase 220V, 3A, single phase, 50 Hz
AC
g) Penempatan sumber aliran listrik dekat
dengan lubang pengambilan sampel
d. Pengolahan Limbah B3
Pemeriksaaan pengolahan menggunakan insinerator
meliputi:
1. Log book limbah B3 yang dibakar dalam
insinerator
2. Kesesuaian jenis limbah B3 yang dibakar dengan
izin yang berlaku
3. Housekeeping di sekitar fasilitas insinerator
4. Hasil pengukuran emisi oleh laboratorium
terakreditasi dan teregistrasi di KLH (sertifikat
hasil analisis) selama satu tahun
5. Kesesuaian jumlah parameter yang diukur dengan
izin yang berlaku/peraturan yang berlaku
6. Kesesuaian frekuensi pengukuran dengan izin
yang berlaku
Sedangkan pemeriksaan pengolahan secara biologis
(bioremediasi) meliputi:

1. Ketentuan izin lainnya yang belum tercantum


dalam checklist
2. Kesesuaian jenis limbah B3 yang diolah dengan
perizinan yang berlaku
3. Jenis dan jumlah limbah B3 yang diolah setiap
siklusnya untuk satu tahun terakhir
e. Penimbunan Limbah B3
Pemeriksaaan pengolahan secara biologis (bioremediasi)
meliputi:
1. Ketentuan izin penimbunan lainnya jika terdapat
ketentuan teknis yang belum tercantum dalam
checklist
2. Akreditasi dan registrasi KLH dari laboratorium
yang melakukan analisis kualitas air lindi
3. Jumlah parameter air lindi yang diukur
dibandingkan dengan perizinan yang dimiliki
atau peraturan penimbunan limbah B3 yang
berlaku
4. Frekuensi pengukuran air lindi dibandingkan
dengan perizinan yang dimiliki atau peraturan
penimbunan limbah B3 yang berlaku
5. Pemenuhan kualitas air lindi terhadap baku mutu
air lindi berdasarkan izin atau peraturan
penimbunan limbah B3 yang berlaku
6. Jenis dan jumlah limbah B3 yang ditimbun
selama satu tahun terakhir dalam log book
7. Jenis limbah yang ditimbun dan kesesuaian
dengan izin penimbunan yang dimiliki
2.6 Tingkat Pencemaran B3
Pembuangan limbah ke lingkungan akan menimbulkan masalah yang
merata dan menyebar di lingkungan yang luas. Limbah gas terbawa angin
dari satu tempat ke tempat lainnya. Limbah cair atau padat yang dibuang
ke sungai, dihanyutkan dari hulu sampai jauh ke hilir, melampaui batas-
batas wilayah akhirnya bermuara dilaut atau danau, seolah-olah laut atau
danau menjadi tong sampah. Limbah bermasalah antara lain berasal dari
kegiatan pemukiman, industri, pertanian, pertambangan dan rekreasi.
Limbah industri baik berupa gas, cair maupun padat umumnya
termasuk kategori atau dengan sifat limbah B3. Limbah bahan berbahaya
dan beracun (B3) yang sangat ditakuti adalah limbah dari industri kimia.
Limbah dari industri kimia pada umumnya mengandung berbagai macam
unsur logam berat yang mempunyai sifat akumulatif dan beracun (toxic)
sehingga berbahaya bagi kesehatan manusia. Limbah pertanian yang
paling utama ialah pestisida dan pupuk.
Limbah B3 dari kegiatan industri yang terbuang ke lingkungan
akhirnya akan berdampak pada kesehatan manusia. Dampak itu dapat
langsung dari sumber ke manusia, misalnya meminum air yang
terkontaminasi atau melalui rantai makanan, seperti memakan ikan yang
telah menggandakan (biological magnification) pencemar karena
memakan mangsa yang tercemar.
2.7 Dampak Limbah B3 Terhadap Kesehatan
Menurut Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2001 tentang
Pengolahan Bahan Berbahaya dan Beracun, Limbah B3 adalah sisa suatu
usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau
beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan /atau jumlahnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusak lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Sedangkan menurut Watts (1997), di dalam Mukhlishoh (2012), limbah
B3 didefinisikan sebagai limbah padat atau kombinasi dari limbah padat,
disebabkan karena jumlah, konsentrasinya, sifat fisik, kimia maupun yang
bersifat infeksi yang tidak sering dapat menyebabkan kematian dan
penyakit yang tidak dapat pulih, yang substansinya dapat menyebabkan
bagi kesehatan manusia atau lingkungan dikarenakan pengelolaan yang
tidak tepat, baik itu penyimpanan, transport, ataupun dalam
pembuangannya.
Berdasarkan PP No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun, sumber limbah B3 dapat dibagi seperti
limbah B3 dari sumber tidak spesifik yaitu limbah B3 yang pada
umumnya berasal bukan dari proses utamanya, tetapi berasal dari kegiatan
pemeliharaan alat, pencucian, pencegahan korosi (inhibitor korosif) pelarut
kerak dan pengemasan, limbah B3 dari sumber spesifik yaitu limbah B3
sisa proses suatu industri atau kegiatan yang secara spesifik dapat
ditentukan, sedangkan limbah B3 lain seperti bahan kimia kedaluwarsa,
tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk yang tidak memenuhi
spesifi kasi tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan atau tidak dapat
dimanfaatkan kembali maka suatu produk menjadi limbah B3 yang
memerlukan pengelolaan limbah B3 lainnya.
Menurut Watts (1997) di dalam Mukhlishoh (2012) karakteristik
limbah B3 diklasifikasikan menjadi 4 yaitu bersifat mudah terbakar yaitu
limbah yang bersifat likuida dengan titik nyala sama dengan atau di bawah
60°C. sedangkan untuk non likuida yang terbakar di bawah kondisi normal
dikarenakan adanya gesekan, atau perubahan sifat kimia secara spontan
yang dapat menimbulkan bahaya, bersifat korosif yaitu limbah yang
bersifat cair yang memiliki pH 2 atau 12,5 atau cairan yang menyebabkan
perkaratan pada besi yang lebih tinggi dari 6,35 mm/tahun, bersifat reaktif
yaitu limbah yang tidak stabil, dan mengalami perubahan yang besar tanpa
adanya pemicu langsung bereaksi dengan air, limbah ini berpotensi terjadi
ledakan apabila bertemu dengan air, limbah bersifat beracun yaitu limbah
yang melalui tes Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP)
dinyatakan bersifat racun, dengan membandingkan konsentrasi lleachate
mengandung 31 senyawa organic dan 8 senyawa anorganik. Jika test
Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) melebihi konsentrasi
tersebut diatas maka limbah tersebut dinyatakan beracun.
Menurut Ginting (2007) mengatakan bahwa efek limbah B3 terhadap
kesehatan antara lain adalah pernapasan hal tersebut dikarenakan
konsentrasi uap yang tinggi akan berbahaya jika dihirup. Konsentrasi yang
tinggi dapat mengganggu saluran pernapasan (hidung, tenggorokan dan
paru-paru). Menyebabkan mual, muntah, sakit kepala, pusing, kehilangan
koordinasi, rasa dan gangguan saraf lainnya. Paparan dengan konsentrasi
akut dapat menyebabkan depresi saraf, pingsan, koma dan atau kematian.
Efek limbah B3 juga dapat menyebabkan iritasi pada mata dan kulit.
Efek pada kulit dikarenakan limbah B3 menyebabkan dermatitis atau
meresap kedalam kulit dan menimbulkan dampak seperti pada pernapasan,
selain itu efek kesehatan lainnya yaitu pencernaan dikarenakan konsentrasi
limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3 pada saluran pencernaan
berbahaya jika tertelan, menyebabkan mual, muntah dan gangguan saraf
lainnya. Jika produk tertelan dapat menyebabkan kanker paru-paru atau
kematian.
Kondisi Medis yang diperparah oleh paparan seperti gangguan
terhadap jantung, hati, ginjal, saluran pernapasan (hidung, tenggorokan,
paru-paru), sistem saraf pusat, mata, kulit jika konsentrasi paparan tinggi.
Menurut Dutta, dkk (2006) disebutkan bahwa pengaruh kesehatan dari
limbah berbahaya seperti logam berat mengandung timbal dapat
menyebabkan gangguan keracunan timbal, neurotoksik, gangguan mental,
kerusakan otak, ginjal dan hati.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah
sebagai berikut:
1. Dalam pengelolaan limbah B3, identifikasi dan karakteristik
limbah B3 adalah hal yang penting dan mendasar. Banyak
hal yang yang sebelumnya perlu diketahui agar dalam
penanggulangan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
tersebut menjadi tepat dan bukannya malah menambahkan
masalah pada limbah Bahan Berbahaya dan Beracun tersebut.
2. Suatu limbah tergolong sebagai bahan berbahaya dan beracun
jika ia memiliki sifat-sifat tertentu, di antaranya mudah
meledak, mudah teroksidasi, mudah menyala, mengandung
racun, bersifat korosif, berbahaya bagi lingkungan,
menyebabkan iritasi, atau menimbulkan gejala-gejala
kesehatan seperti karsinogenik, mutagenik, dan lain
sebagainya.
3. Terdapat 5 jenis polutan untuk limbah B3 yaitu padatan,
kandungan oksigen, mikroorganisme. Logam berat, dan
bahan pencemar lainnya seperti deterjen atau disinfektan.
4. Metode yang digunakan dalam proses pengelollan limbah B3
ada tiga yaitu metode pengelolaan secara kimia, fisik dan
biologis.
5. Adanya standar kualitas pengelolaan limbah B3 paling
banyak disebutkan dalam hasil delegasi kewenangan untuk
mengatur suatu hal oleh pemerintah seperti UU, PP, Perda
dan Permen.
6. Limbah yang bermasalah antara lain berasal dari kegiatan
permukiman, industry, pertanian, pertambangan dan rekreasi,
7. Efek limbah B3 terhadap kesehatan antara lain adalah
pernapasan hal tersebut dikarenakan konsentrasi uap yang
tinggi akan berbahaya jika dihirup. Paparan dengan
konsentrasi akut dapat menyebabkan depresi saraf, pingsan,
koma dan atau kematian.
3.2 Saran

Setelah menyimpulkan sebuah penelitian, tentu ada saran yang dapat


diberikan guna menunjang pemikiran ilmiah suatu fakta, maka berikut
saran yang dapat disampaikan untuk pembaca dan peneliti selanjutnya
adalah agar dapat menganalisis dan melengkapi kembali apabila informasi-
informasi yang telah diberikan kurang lengkap atau sempurna karena
sejatinya kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa.
REFERENSI

Dutta, S, Upadhyay, V, Sridharan, U. 2006. Evironmental Management of


Industrial Hazardous Wastes in India. Journal of eviron.science &Engg,
diakses dari http://www.neeri.res.in/jese/jesevol4802013.pdf. 8 November
2020 03.15 WIB

Fardiaz, S. 1992. Polusi air dan udara. Kanisius, Yogyakarta

Ginting, P. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Bandung:


Yrama Widya.

Huet, H.B.N. 1970. Water Quality Criteria for Fish Life Bioiogical Problems in
Water Pollution. PHS. Publ. No. 999-WP-25. 160-167 pp

Istarani, F., & Pandebesie, E. S. 2014. Studi Dampak Arsen ( As ) dan Kadmium (
Cd ) terhada Penurunan Kualitas Lingkungan. Jurnal Teknik Pomits, 3(1),
D53–D58.

Mukhlishoh, I. 2012. Pengelolaan Limbah B3 Bengkel Resmi Kendaraan


Bermontor Roda Dua di Surabaya Pusat. Surabaya: jurnal ITS Library,
http;//digilib. its.ac.id/Pengelolaan-limbah-b3-bengkel-resmikendaraan-
bermontor –roda-dua-di-surabaya-pusat19624.html. ITS, 8 November
2020 03.14 WIB.

Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Saunder Com. Philadelphia 125
pp.

Peraturan Pemerintah No. 18. 1999. Pengolahan limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun. Jakarta: Indonesia

Peraturan Pemerintah No. 74. 2001. Pengolahan Bahan Berbahaya dan Beracun.
Jakarta: Indonesia.

Pescod, M. D. 1973. Investigation of Rational Effluen and Stream Standards for


Tropical Countries. A.I.T. Bangkok, 59 pp
Salmin. 2000. Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara
Karang dan Teluk Banten. Dalam : Foraminifera Sebagai Bioindikator
Pencemaran, Hasil Studi di Perairan Estuarin Sungai Dadap, Tangerang
(Djoko P. Praseno, Ricky Rositasari dan S. Hadi Riyono, eds.) P3O - LIPI
hal 42 – 46

Saawyer, C.N and P.L., Mc Carty. 1978. Chemistry for Environmental


Engineering. 3rd ed. Mc Graw Hill Kogakusha Ltd.: 405 - 486 pp.

Swingle, H.S. 1968. Standardization of Chemical Analysis for Water and Pond
Muds. F.A.O. Fish, Rep. 44, 4 , 379 - 406 pp.

Wardoyo, S.T.H. 1978. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan
Perikanan. Dalam : Prosiding Seminar Pengendalian Pencemaran Air. (eds
Dirjen Pengairan Dep. PU.), hal 293-300.

You might also like