You are on page 1of 17

MAKALAH

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HADITS

Dosen Pengampu:

Al Ihwanah, M.Pd.i

Oleh :

KELOMPOK 7

1. RACHMY DESTYANI NIM: 2220201113


2. PUPUT DWI LESTARI NIM: 2220201116
3. MUHAMMAD KURNIA RAMADHAN NIM: 2220201121

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang
berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada ibu Al Ihwanah, M.Pd.i sebagai dosen
pengampu mata kuliah Al qur’an Hadits yang telah membantu memberikan arahan dan
pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.

Palembang, September 2022

Kelompok 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................3

BAB I.........................................................................................................................................3

PENDAHULUAN.....................................................................................................................3

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................3

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................4

1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................................................4

BAB II.......................................................................................................................................4

PEMBAHASAN.......................................................................................................................4

2.1 Perkembangan Hadits pada Zaman Nabi, Sahabat dan Tabi’in.......................................4

2.2 Sejarah Periode Perkembangan Hadits.............................................................................6

2.3 Periodesasi Hadits Memasuki Masa Penyeleksian...........................................................8

2.4 Perkembangan Hadits Era Kontemporer........................................................................11

2.5 Hadits Memasuki Era Modern........................................................................................12

KESIMPULAN.......................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jejak studi hadis patut menjadi perbincangan penting dalam diskursus keilmuan
Islam, terutama banyaknya idiologi sarjana barat yang mendiskreditkan peran sahabat
dalam transmisi wahyu berupa Hadits Nabi SAW. Penelitian ini bertujuan untuk
menjelaskan perkembangan Hadits ditinjau dari peran para sahabat dalam membawa
transmisi Hadist Nabi SAW hingga terkodifikasi secara sistematis saat ini. Adapun
penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis. Hasil dalam
penelitian ini adalah bahwa peran sahabat dalam periodisasi transmisi Hadits sudah
dimulai sejak Nabi SAW masih hidup hingga berakhirnya masa sahabat pada abad ke 2
Hijriah. Pencatatan Hadits sudah dimulai pada masa Nabi SAW. Hal ini dibuktikan
dengan catatan para sahabat meskipun belum terkodifikasi secara sistematis. Catatan para
sahabat ini menandakan adanya proses validitas Hadits yang sudah dilakukan oleh para
sahabat. Ini sekaligus menjawab tuduhan para sarjana barat terkait kualifikasi sahabat
yang tidak ma’shum tetapi mampu mentransmisikan wahyu Nabi SAW hingga
terkodifikasi sistematis

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, masalah yang akan diidentifikasi dalam


penyusunan tugas makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa yang menyebabkan hadits belum terbukukan dan belum tersusun sistematis
dalam buku-buku?
2. Mengapa masa modern-kontemporer ini kajian hadis lebih menitik beratkan pada
kajian matan?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui tahapan perkembangan hadits dari masa ke masa

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribisi baru dalam menambah
kekayaan wacana keilmuan, terutama dalam bidang hadits
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Hadits pada Zaman Nabi, Sahabat dan Tabi’in

Umat Islam yakin kalau hadis merupakan sumber hukum kedua dalam Islam
sehabis Al- Qur’ an. Walaupun secara historis hadis merupakan suatu rekam jejak sejarah
Nabi yang erat kaitannya dengan peradaban Arab dini( kerap pula diucap sunnah), namun
pada sisi berbeda hadis sudah jadi bagian dari kehidupan Nabi yang bersumber dari Al- Qur’
an sehingga tidak bisa dipungkiri kala Istri Nabi berkata kalau Nabi merupakan Al- Qur’ an
yang hidup, karena seluruh yang terpaut dengan Nabi dari perkataan, sikap, serta ketetapan
mengejawantakan nilai- nilai Al- Qur’ an (Muhtador t. t., 259).

Hadis tercipta semenjak Nabi SAW menemukan wahyu sampai dia meninggal di Madinah.
Hadis Nabi SAW tercipta di kota Mekah serta Madinah sepanjang 23 tahun. Jumlah
terbanyak hadis ialah peristiwa yang terjalin sehabis Nabi SAW berhijrah ke Madinah (Baca:
Hadis Madani). Terjadinya hadis bertabiat sangat natural. Para teman merekam interaksinya
bersama Nabi SAW, secara natural serta secara sadar. Nabi SAW hidup di tengah- tengah
teman- temannya serta komunitas lain di jazirah Arab abad ketujuh. Nabi SAW
mengantarkan khutbah, pelajaran, perintah, keputusan hukum, nasihat, serta membagikan
tuntunan kepada para pengikutnya.

Sehabis wafatnya Nabi SAW, para teman mengalami bermacam perkara. Terkadang
memerlukan legitimasi. Nabi SAW meninggalkan kekuasaan, ajaran, tuntunan serta tradisi.
Tradisi serta perkata yang sempat di informasikan oleh Nabi, serta diingat oleh teman, jadi
referensi legitimasi berarti pada era teman. Di mari, hadis sudah jadi otoritas yang terpisah
dari individu Nabi SAW. Para teman yang sempat mendengar perkata Nabi SAW, hendak
teringat kala mengalami sesuatu peristiwa. Nabi SAW sudah jadi “ Idol” untuk para teman.
Perkata serta tindakannya sering dilansir, paling tidak seseorang teman hendak mengingat
pengalamannya bersama Nabi SAW. Karenanya, tidak heran bila dalam merespon sesuatu
peristiwa, seseorang teman kerapkali mengutip perkata Nabi SAW.
Di antara sekian banyak teman Nabi SAW, terdapat sebagian teman yang sangat bergairah
mengoleksi hadis. Sebagian di antara lain lumayan bergairah menyebarkan perkata yang
diklaim selaku perkata Nabi SAW. Umar bin Khathab, pemimpin umat Islam dikala itu,
hingga butuh menghasilkan instruksi yang melarang teman meriwayatkan hadis. Bertepatan
dengan penyebaran para teman ke bermacam kota di Timur Tengah, hadis ikut menyebar
bersama mereka, keluar dari kota Madinah. Pusat penyebaran hadis di antara lain merupakan
Damaskus, Kufah, Basrah, Yaman, Mesir, serta sebagian kota di Asia Tengah.

Pertengahan era teman, terjalin konflik sesama umat Islam. Bertepatan konflik di golongan
umat Islam itu, timbul kelompok yang membuat hadis palsu. Para murid teman mulai
berjaga- jaga dalam menerima hadis. Perilaku hati- hati ini merupakan embrio timbulnya
tradisi isnad (silsilah keguruan). Sebagaimana teman, terdapat generasi tabi’ in yang bahagia
mengumpulkan perkata Nabi SAW. Ataupun lebih dari itu, membuat catatan- catatan.
Fenomena ini terus menjadi massif. Puncaknya, Umar bin Abdul Aziz (101 H.), penguasa
Dinasti Umayah, menghasilkan instruksi pengumpulan hadis (tadwin). Al- Zuhri (124 H.)
memperoleh amanat melakukan perintah ini. Tadwin merupakan pengumpulan catatan-
catatan yang berisi hadis.

Malik bin Anas (179 H.) tercatat menghasilkan catatan awal serta tertua yang terpelihara
sampai hari ini yang diucap Al- Muwatha’. Catatan pada generasi dini, biasanya, masih
bercampur antara perkata Nabi, perkata teman, serta perkata para tabi’ in. Murid Malik bin
Anas yang bernama Imam Al- Syafi’ i (w. 204 H.) merancang teori yang jadi cikal- bakal
ilmu kritik hadis yang diucap ulumul hadis.

2.2 Sejarah Periode Perkembangan Hadits

Sejarah Perkembangan hadis pada periode pertama dimulai pada masa Ashr al-
Wahyu wa alTakwin, masa ini merupakan masa wahyu turun dari Nabi Muhammad SAW 1,
pada masa ini pusat studi hadits masih berpusat kepada Nabi Muhammad SAW, karena masa
ini merupakan masa dimana Nabi SAW masih ada.2 Begitu juga pada periode kedua, periode
ini tergolong pada masa sahabat, pengertian tentang sahabat atau batasan tentang sahabat
menjadi perdebatan para ulama. Ada yang memberikan batasan sempit, yakni sahabat yang
secara khusus menjadi periwayat hadits.Ada juga yang mempunyai kecenderungan

1
Abd al-Nasr Tawfiq al-Athar, Dustur alLammah wa Ulum al-Sunnah (Kairo: Maktabah Wahhab, t.t.), hlm. 71
2
Idri, Studi Hadis (Jakarta:Kencana 2010), hlm. 32
mengartikan sahabat sebagai seorang yang bergaul dengan Nabi Muhammad walaupun tidak
meriwayatkan hadits. 3 Menurut Imam Syuhudi, kreteria seorang sahabat adalah sebagai
berikut:

a. Adanya khabar mutawatir, seperti halnya para Khulafar ar-Rasyidin.


b. Adanya khabar masyhur, seperti Dlamah bin Tsa’labah dan Ukasyah bin Nisham.
c. Diakui sahabat yang terkenal kesahabatannya, seperti Hammah ad-Dausi yang diakui
oleh nabi Musa sl-Asy’ari.
d. Adanya keterangan dari tabi’in yang tsiqah.
e. Pengakuan sendiri dari orang yang adil.4

Konteks ini sangat representatif mengingat kualifikasi para sahahabat Nabi sendiri.
Karena pada masa sahabat ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan
dan penyebaran al-Quran, maka pernyataan hadits belum berkembang. Oleh karena itu,
masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan
periwayatan (al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).5 Dalam hal tradisi periwayatan,
para sahabat masih bisa secara langsung berdialog kepada Nabi Muhammad SAW,
sehingga bila terjadi kesalahan penukilan, kekeliruan pengucapan atau kekurangpahaman
terhadap makna teks hadits, maka dapat dirujuk kepada Nabi Muhammad SAW Pada
masa periode ini, dalam meriwayatkan suatu hadis, biasanya meriwayatkanya melalui
majlis al-ilm6, dan terkadang Nabi Muhammad SAW dalam banyak hal juga
meriwayatkan hadis melalui para sahabat tertentu yang kemudian para sahabat tersebut
menyampaikanya kepada orang lain, serta melalui penyampaian pidato/ceramah dalam
forum terbuka, seperti ketika fathul Makkah dan haji wada’. Selain itu juga, dalam
penjelasan sebuah hadis, Nabi SAW juga melalui perbuatan langsung yang disaksikan
oleh para sahabatnya, seperti yang berkaitan dengan praktik ibadah dan Muamalah. 7

Masa periode ketiga, masa ini merupakan masa setelah Nabi wafat, pada masa ini para
sahabat tidak lagi dapat mendengar sabda Nabi Muhammad SAW, serta menyaksikan

3
M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Ulumul Hadits (Yogyakarta: Sukses Offset, 2010), hlm.49
4
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 30-31.
5
Munzier Suparto, Ilmu Hadis (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 79.
6
Majlis al-ilm merupakan tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jemaah, melalui
majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga para sahabat
berkonsentrasi untuk melakukan kegiatan tersebut.
7
Idri, Studi Hadits, (Jakarta:Kencana 2010), hlm. 35.
perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW yang pada dasarnya bermuatan ajaran ilahi,
sehingga informasi hadits hanya bisa diketahui melalui informasi sahabat. Atas hal
tersebut, para sahabat pada masa ini mulai sadar untuk mengembangkan periwayatan
hadis, bahkan para sahabat rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk menegakan agama
dan menyebarluaskan Islam.8

Memasuki periode ke empat, dimana pada masa ini tergolong pada masanya sahabat
Khulafaur Rasyidin, perkembangan pada masa ini hadis masih terbatas, karena para
sahabat pada masa ini masih fokus pada penyebaran al-Quran, masa ini disebut juga
sebagai al-tatsabut wa al-iqlal min riwayah, meskipun pada masa ini perhatian sahabat
masih terpusat pada penyebaran al-Quran, namun para sahabat tetap memperketat dalam
penerimaan hadis, hal ini karena para sahabat sangat berhati-hati, agar tidak terjadinya
kekeliruan periwayatan hadis dengan al-Quran. 9 Hal tersebut merupakan perhatian
langsung dari Khalifah Abu Bakar as Shidiq, hingga dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan hingga Ali bin Abi Thalib. Pada masa pasca Khulafaur
Rasyidin, hadis sudah berkembang ke beberapa wilayah kekuasaan Islam, seperti
Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah, Syam hingga Mesir, para tabi’in sudah mulai gencar
untuk memeperluas hadits di beberapa tempat sehingga penyebaran hadits pada masa ini
sudah sangat signifikan.10 Bahkan pada masa ini, puncaknya terjadi pada masa Umar bin
Abdul Aziz (99-101 H) masa dinasti Abbasiyyah dimana masa ini merupakan masa
pengkodifikasian hadits, latarbelakang khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam
mengkodifikasi hadits disebabkan rasa kekhawatiran beliau akan hilangnya hadits, karena
pada masa itu keadaan para generasi penerus tidak menaruh perhatian besar terhadap
hadits. Selain itu, pada masa itu juga sudah banyak berita yang diada-adakan oleh pelaku
bid’ah (alMubtadi’) seperti Khawarij, Rafidhah, Syi’ah dan bahkan pada saat itu sudah
mulai bermunculan hadits-hadits palsu sehingga Umar bin Abdul Azizi mengkhawatirkan
hilangnya hadits-hadits Nabi SAW. Seruan Umar bin Abdul Aziz akan kodifikasi hadits
mendapatkan respon dan antusias umat Islam dan dari para ulama hadits, sehingga pada
masa itu hadits dapat berhasil dikodifikasikan.11

8
Idri, Studi Hadits, hlm. 39.
9
Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah qabl al-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1971), hlm. 92-93
10
Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun (AlMamalikah al-‘Arabiyah as-Su’udiyah, 1404
H./1984 M.), hlm. 101-107.
11
Idri, Studi Hadits, hlm. 45-47.
2.3 Periodesasi Hadits Memasuki Masa Penyeleksian

Sehabis Hadis berakhir dikodifikasikan semenjak abad ke II dibawah kepemimpinan


khalifah Umar bin Abdul Aziz, para ulama berupaya mengembangkan riset hadits dengan
pola penyeleksian hadits, sehingga pada masa abad ke III menjelang abad ke IV hijriah,
mulailah bermunculan beragam kitab hadits yang begitu luar biasa, semacam kitab Shahih al-
Bukhori karya Imam Bukhori, Shahih Muslim karya Imam Muslim, serta sebagian kitab
sunan, semacam Sunan Abu Dawud, Sunan al- Tirmidzi, Sunan al- Nasa’ i, Sunan ad-
Darimi, Sunan Said Ibnu alManshur. Masa ini ialah masa kesungguhan dalam penyaringan
hadits, dimana para ulama sukses memisahkan hadits- hadits dhaif dari yang shahih serta
hadits- hadits yang mauquf serta Maqthu’ dari yang Marfu’.12 Sepeninggal periode khalifah
Abasiyyah ke XVII Al- Mu’ tashim (w. 656 H). Periode hadits pada waktu tersebut
dinamakan‘ Ashr al- Syarh wa alJami’ wa Al- Takhrij wa Al- Bahts, periodesasi hadits
merambah masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, serta ulasan13.

Penyusunan ilmu hadis ini bersinambung sampai masuk masa kematangan serta
kesempurnaan pembukuan ilmu hadis pada abad ke VII sampai pada abad ke X. Pada masa
ini, karya- karya seputar ilmu hadis banyak ditulis dan lebih disederhanakan. Berikutnya
kajian‘ Ulum alHadis menggapai tingkatan kesempurnaannya dengan ditulisnya beberapa
kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadis. Bersama itu dicoba juga penghalusan
beberapa ungkapan serta penelitian bermacam permasalahan dengan mendetail. Para
penyusun kitab itu merupakan para imam besar yang hafal semua hadis serta sanggup
menyerupai pengetahuan serta penalaran para imam besar terdahulu terhadap cabang- cabang
hadis, semacam kondisi sanad beserta matannya.14

Pelopor update dalam ilmu ini adalah al- Imam al- Muhaddits al- Faqih al- Hafizh al- Ushuli
Abu‘ Amr Utsman bin ash- Shalah (w. 643 H), dia sudah menyusun kitab yang dinilai paling
mencakup dalam bahasan ilmu hadis yang ditulis pada masa itu merupakan‘ Ulum al- Hadis
yang setelah itu kitab ini lebih diketahui dengan nama Muqaddimah Ibnu Shalah15 kitab
tersebut mencakup keterangan- keterangan yang ada diberbagai kitab lebih dahulu serta
mencakup segala cabang ilmu hadis. 16 Usaha- usaha yang ditempuh oleh ulama- ulama
12
Idri, Studi Hadits, hlm., 49
13
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis (Malang: UIN Malang Press, 200
14
Nuruddin ‘Itr, Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits, terj. Endang Soetari dan Mujiyo, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 53.
15
Dalam kitab ini terdapat penjelasan-penjelasan istinbat yang cukup yang lebih detail terhadap pendapat para
madzhab para ulama terdahulu
16
Nuruddin ‘Itr, Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits, terj. Endang Soetari dan Mujiyo, hlm. 54.
dalam masa yang ketujuh ini yakni menerbitkan isi kitab- kitab hadis, menyaring serta
menyusun kitab- kitab takhrij, membuat kitab- kitab jami’ yang universal, kitab- kitab yang
mengumpulkan hadis hukum, mentakhrijkan hadis- hadis yang ada dalam sebagian kitab,
mentakhrijkan hadis- hadis yang populer dalam warga, mensyarahi serta meringkas kitab
yang telah ada lebih dahulu, dan menyusun kitab Athraf. 17

Dan pada periode ini disusun kitab- kitab Zawa’ id ialah usaha mengumpulkan hadis yang
terdapat dalam kitab yang lebih dahulu ke dalam sebuah kitab tertentu.18 Tidak hanya itu,
pada masa ini juga pendidikan Hadits cuma bertabiat pengembangan terhadap periwayatan
ataupun pengembangan atas pendidikan hadits terdahulu saja, semacam halnya pada syarh,
mukhtashar, kitab petunjuk, serta kitab terjemah hadits19. Aktivitas ulama hadis pada masa
ini berkenaan dengan upaya mensyarahi kitab- kitab hadis yang telah terdapat, menghimpun
serta mengumpulkan hadis- hadis dalam kitab- kitab yang telah terdapat, mentakhrij hadis-
hadis dalam kitab tertentu, dan mengulas isi kitab- kitab hadis.

Dengan demikian masa pertumbuhan hadis ini melewati 2 fase sejarah pertumbuhan Islam,
ialah fase pertengahan serta modern. 20 Pada permulaan abad ke- 8 H, Utsman Kajuk
mendirikan kerajaan di Turki diatas puing- puing aset Bani Saljuk di Asia Tengah. Dengan
ini pusat kjian Islam (hadist tercantum didalamnya) berpindahlah dari Mesir ke
Konstantinopel.21 Kajian riset hadits pada waktu ini mengunakan, Riwayah syafahiyyah
ataupun periwayatan dengan lisan melemah berganti jadi ijazah serta mukatabah.
Periwayatan dengan ijazah berarti izin seseorang guru terhadap muridnya buat meriwayatkan
hadishadis yang berasal dari guru tersebut baik yang tertulis maupun yang bertabiat hafalan
ataupun bisa berbentuk ijazah suatu kitab ataupun sebagian kitab tertentu yang diberikan oleh
seseorang guru kepada muridnya.22

Sebaliknya periwayatan melalui mukatabah merupakan pemberian catatan hadis dari


seseorang guru kepada orang lain (muridnya) baik catatan tersebut ditulis oleh guru itu
sendiri atau yang didektekan guru tersebut kepada muridnya.23 Namun, tata cara ini tidak
tersosialisasikan secara baik, sehingga tidak seluruh daerah Islam mempraktikkan tata cara
17
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 1999), hlm. 105.
18
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), hlm. 47- 48.
19
Muhammad Hasbi Ash-Shidiqi, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), hlm. 129.
20
Idri, Studi Hadis, hlm. 51-52.
21
Ahmad Izzan dan Saifudin Nur, Ulumul Hadis, (Bandung: Tafakur, 2011), hlm. 71.
22
Subhi As-Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Ilim lil-Malayin, 1977), hlm. 99.
23
2 Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 125.
imla’. Dampaknya atensi terhadap hadis jadi lenyap serta sangat asyik pada permasalahan
furu’ iyyah.24 Sehingga masa ini hadapi kemunduran ilmu pengetahuan, dan hadapi
kemujudan dalam pemikiran sebagaimana yang sudah telah terjalin semenjak dini abad
kelima Hijriyah, dan bencana yang mengenai umat Islam kala itu merupakan pergolakan
internal antar sebagian para pemimpin Islam, dimana tiap amir kota dan pelosok melanda
daerah keamiran kecil disekitarnya25 dan sebagainya, sehabis masa ini paling utama sehabis
runtuhnya as- Suyuthi kajian hadits jadi fakum serta tidak terlihat
perkembanganperkembangan hadits di masa berikutnya, hanya saja kajian hadits bertabiat
stagnan, serta kajian hadits hadapi pertumbuhan kembali ketika masa hendak merambah masa
kontemporer, dimana keterpurukan Islam semenjak runtuhnya turki Utsmani membagikan
suatu pemahaman tertentu untuk para tokoh pembaharu yang khirnya bisa memberikan hirrah
untuk golongan umat Islam.

2.4 Perkembangan Hadits Era Kontemporer

Khazanah studi hadis pada masa pra kontemporer, mulai merambah pada sebuah
disiplin ilmu yang mapan. Berkembangnya studi hadis pada masa ini disebabkan dengan
munculnya beragam disiplin-disiplin keilmuan baru yang bersinggungan dengan budaya serta
bangsa lain yang telah mendorong upaya pembukuan masing-masing disiplin ilmu itu sendiri.
Dari sini setidaknya dapat diketahui bahwa pada masa ini terdapat dua pembagian dalam ilmu
hadis, yaitu ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah26. Dalam prakteknya ilmu hadis
riwayah fokus pada proses transmisi hadis, pemeliharaan dalam hafalan, serta penyampaian
pada orang lain, baik itu secara oral maupun tulisan, atau bisa dikatakan riwayat yang
prosesnya lebih bersifat deskriptif. Sedangkan pada ilmu hadis dirayah, ilmu hadits lebih
menekankan pada kualtas perawi hadits, apakah hadits tersebut diterima ataupun di tolak.
Dari sini maka setelah itu munculah cabang keilmuwan hadis lainya, seperti Ilmu Rijal hadis,
Ilmu Jarh wa Ta’dil, Ilmu Fan al-Mubhama, Ilmu ilal hadis, Ilmu Gharib hadis, Ilmu Nasikh
wa Mansukh, Ilmu Talfiq alhadis, Ilmu Tashif wa Tahrif, Ilmu Asbabul Wurud Hadis, Ilmu
Mustalahul al-Hadis.27 Karena bisa jadi memasukkan sebagian kesebagian yang lain yang

24
Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 125-126.
25
Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Tadwin As-Sunnah AnNabawiyyah, terj. Muhammad Rum (Jakarta: Darul
Haq, 2011), hlm 209-210.
26
Nuruddin Ater, Manhaj Naqd fi Ulumil Hadis (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1997), hlm. 31-32.
27
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis, Edisi baru (Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 2009), hlm. 113.
lebih layak, serta kajian ilmu-ilmu itu tumbuh dalam kurun waktu yang tidak lama dan saling
berkaitan. Dari perumusan kajian cabangcabang ilmu-ilmu hadis tersebut, maka lahirlah
term-term kualitas hadis sebagaimana seperti shahih, hasan, dha’if28

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masa modern-kontemporer ini kajian hadis lebih
menitik beratkan pada kajian matan. Karena mau tidak mau perkembangan ilmu pengetahuan
seperti ilmu-ilmu social, antropologi, filsafat turut mewarnai akan kontekstualisasi hadis
tersebut yang terfokus dalam pemahaman seputar kajian matan. Di isi lain, Sebagaimana
dikutip oleh Muhammad Tasrif, Menurut Howard M. Federspiel dalam hasil penelitiannya
terhadap literatur Hadis pada tahun 1980-an, banyak temuan karya-karya yang berbasis kajian
Hadits, dalam karya hadits tersebut paling tidak terdapat empat jenis (genre) literatur Hadis.
Jenis pertama adalah literatur ilmu Hadis yang berisi analisis terhadap autentitas dan valitidas
Hadis yang berkembang pada masa awal Islam untuk menentukan autentitas dan validitasnya.
Jenis kedua adalah literatur terjemahan terhadap kitab-kitab Hadis yang disusun pada masa
klasik (620-1250 H) dan masa pertengahan Islam (1250-1850 H).

Jenis ketiga berisi antologi Hadis pilihan yang diambil dari kitab-kitab kompilasi Hadis,
sedangkan jenis keempat berisi kompilasi Hadis yang digunakan sebagai sumber hukum.29
Namun demikian, seperti pengamatan Federspiel, teks-teks tersebut dilihat dari sisi content
tidaklah memuat hal-hal baru. Isinya hanya repetasi dari apa yang pernah dipelajari pada
masa-masa sebelumnya. Selain dari sisi isi tidak memuat halhal baru, juga belum membahas
kritik hadis secara tuntas. Teori kritik hadis yang dikemukakan hanya mencakup kritik sanad
dan matn yang diarahkan untuk mengetahui secara teoritis belaka tingkat autentisitas dan
validitas Hadis. Sedangkan pengembangan kritik matn yang diarahkan untuk fiqh al-hadith
(interpretasi Hadis) belum mendapat perhatian.30

2.5 Hadits Memasuki Era Modern

Melihat perkembangan Hadits di era sebelumnya yang tidak begitu signifikan,


maka perkembangan hadits mulai di galakan kembali oleh para ilmuwan hadits dengan

28
Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis (analisis tentang arriwayah bi alma’na dan implikasinya bagi
kualitas hadis) (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 42.
29
Muh. Tasrif, “Studi Hadis di Indonesia (Telaah Historis terhadap Studi Hadis dari Abad XVII hingga
Sekarang)”, hlm. 114
30
Muh. Tasrif, “Studi Hadis di Indonesia (Telaah Historis terhadap Studi Hadis dari Abad XVII hingga
Sekarang)”, hlm. 116.
sebuah kemasan menarik, hal inilah yang membuat para ilmuan hadits ingin memasukan
kajian hadits dalam era digital hal ini guna mengembangkan studi hadits di era yang sudah
memasuki globalisasi, dengan mengembangkan keberadaan internet maka tampak hadits akan
terlihat menarik, hal ini sebagaimana melihat manfaat internet yang dapat mempermudah tata
kerja dan mempercepat suatu proses suatu pekerjaan, sehingga segala sesuatu dapat
ditemukan dengan cara praktis dan cepat.31

Hal ini, juga telah terdahulu dijelaskan oleh Muhammad alfatih Suryadilaga, Menurutnya
memasuki era kekinian, disaat peradaban manusia sudah berkembang semakin pesat, dari
masa ke masa, maka kini eranya sudah berubah menjadi merabahnya informasi ke semua
lintas budaya dan wilayah dan era inilah yang dianggap sebagai era global. Sehingga
kesadaran atas dunia harus merambah ke dalam studi agama (Islamic studies). Al-Dirasah al-
Islamiyyah menjadi sesuatu yang menarik di era global di mana kajian agama sudah
berkembang dengan baik.

Perkembangan kajian keilmuan dalam perspektif tersebut merupakan sesuatu yang baik
dikarenakan sesuai dengan sifat dari ilmu pengetahuan yang senantiasa berkembang. Hal ini
juga harus berlaku pada kajian studi hadis.32 Mencermati ungkapan seorang akademi hadits
yang produktif di era pasca milenium tersebut, maka sudah sepatutnya kita sebagai regenarasi
selanjutnya memanfaatkan era global dengan kajian hadits. Karena melihat perkembangan
hadits sendiri yang sekarang sudah ber era digital maka sudah semestinya kita harus
mengetahui bagaimana cara memanfaatkan hal itu, terlebih para akademi-akademisi tersebut
sudah sebegitu bersemangat mengembangkan kajian hadits di era digital ini.

31
Cooky Tri Adhikara, “Analisis Sebaran Pemanfaatan Internet Blog/Weblog Untuk Kategori Bisnis Dan
Ekonomi Di Dunia Maya Indonesia”, Jurnal ComTech, (Vol. 1, No. 2 Desember 2010), hlm. 1189.
32
Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Kajian Hadits Di Era Global”, Jurnal ESENSIA, (Vol. 15, No. 2,
September 2014), hlm. 200
KESIMPULAN

Kesimpulan Dari tulisan yang sudah penulis paparkan diatas, dapat diambil kesimpulan
bahwa perkembangan hadits dari masa kemasa memang mengalami perbedaan
perkembangan, dari ulama mutaqaddimin misalnya, hadits sudah berkembang akan tetapi
para sahabat masih sibuk mengurus periwayatan al-Quran, hingga akhirnya perkembangan
hadits mencapai puncaknya malah pada abad ke II Hijriyah dimana terjadinya tadwin, atas
instruksi Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sejak pasca tadwin, perkembangan hadits
berkembang pada masa penyaringan, di lanjutkan dengan penyarahan dan seterusnya
berlanjut pada ringkasan dan takhrij. Setelah itu, studi hadits hanya meneruskan karya-karyan
yang sudah ada, hingga akhirnya memasuki era global hadits mulai berkembang kembali
dengan beragam cara digitalisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Nasr Tawfiq al-Athar, Dustur alLammah wa Ulum al-Sunnah (Kairo: Maktabah
Wahhab, t.t.), hlm. 71

Idri, Studi Hadis (Jakarta:Kencana 2010), hlm. 32

M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Ulumul Hadits (Yogyakarta: Sukses Offset, 2010), hlm.49

M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 30-31.
Munzier Suparto, Ilmu Hadis (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 79.

Idri, Studi Hadits, (Jakarta:Kencana 2010), hlm. 35.

Idri, Studi Hadits, hlm. 39.

Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah qabl al-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1971), hlm. 92-
93

Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun (AlMamalikah al-‘Arabiyah as-


Su’udiyah, 1404 H./1984 M.), hlm. 101-107.

Idri, Studi Hadits, hlm. 45-47.

Idri, Studi Hadits, hlm., 49

Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis (Malang: UIN Malang Press,
200

Nuruddin ‘Itr, Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits, terj. Endang Soetari dan Mujiyo,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 53.

Nuruddin ‘Itr, Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits, terj. Endang Soetari dan Mujiyo, hlm.
54.

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 105.

Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), hlm.
47- 48.

Nuruddin Ater, Manhaj Naqd fi Ulumil Hadis (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1997), hlm. 31-32.

Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis, Edisi baru (Semarang :
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 113.

Muh. Tasrif, “Studi Hadis di Indonesia (Telaah Historis terhadap Studi Hadis dari Abad
XVII hingga Sekarang)”, hlm. 116.

Cooky Tri Adhikara, “Analisis Sebaran Pemanfaatan Internet Blog/Weblog Untuk Kategori
Bisnis Dan Ekonomi Di Dunia Maya Indonesia”, Jurnal ComTech, (Vol. 1, No.
2 Desember 2010), hlm. 1189.
Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Kajian Hadits Di Era Global”, Jurnal ESENSIA, (Vol. 15,
No. 2, September 2014), hlm. 200

Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis (analisis tentang arriwayah bi alma’na dan
implikasinya bagi kualitas hadis) (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 42.

Muh. Tasrif, “Studi Hadis di Indonesia (Telaah Historis terhadap Studi Hadis dari Abad
XVII hingga Sekarang)”, hlm. 114

Muhammad Hasbi Ash-Shidiqi, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1954), hlm. 129.

Idri, Studi Hadis, hlm. 51-52.

Ahmad Izzan dan Saifudin Nur, Ulumul Hadis, (Bandung: Tafakur, 2011), hlm. 71.

Subhi As-Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Ilim lil-Malayin, 1977),
hlm. 99.

Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 125.

Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 125-126.

Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Tadwin As-Sunnah AnNabawiyyah, terj. Muhammad


Rum (Jakarta: Darul Haq, 2011), hlm 209-210.

You might also like