You are on page 1of 20

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/349832269

PARLEMEN, KOALISI DAN INSTABILITAS SISTEM PRESIDENSIAL: KASUS


PRESIDEN COLLOR DE MELLO DI BRAZIL

Chapter · March 2021

CITATIONS READS

0 899

1 author:

Fitra Arsil
University of Indonesia
33 PUBLICATIONS   22 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Coalition in Presidential System View project

All content following this page was uploaded by Fitra Arsil on 06 March 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PARLEMEN, KOALISI DAN INSTABILITAS SISTEM PRESIDENSIAL:
KASUS PRESIDEN COLLOR DE MELLO DI BRAZIL

Fitra Arsil
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Email: fitra.arsil@ui.ac.id

Dimuat dalam buku:


Meretas Khazanah Ilmu Hukum: Antologi 7 Dasawarsa Jufrina Rizal
(Depok, Rajawali Pers, 2020)

Abstrak
Karakter sistem presidensial yang memisahkan kekuasaan eksekutif dan legislatif (mutual
independence) dalam prakteknya memiliki potensi instabilitas yang cukup tinggi. Kerjasama
politik antara eksekutif dan legislatif seperti koalisi memiliki insentif kecil bahkan dapat
mendorong pemegang kekuasaan eksekutif untuk menjalankan kekuasaannya tanpa melibatkan
parlemen. Penggunaan kekuasaan presiden di bidang legislatif (president’s legislative power)
menjadi tinggi karena presiden ingin melakukan by pass terhadap parlemen dalam
pembentukan kebijakan. Kasus Presiden Collor de Mello menjadi contoh yang menarik
terhadap fenomena di atas. Sistem presidensial dengan fragmentasi kepartaian yang tinggi
telah membuat jebakan instabilitas. Namun Brazil juga cepat mengambil pelajaran dan
melakukan berbagai antisipasi baik secara kultur maupun antisipasi konstitusional.
Kata Kunci: Parlemen, Sistem Presidensial, Koalisi, Brazil

Abstract
The character of the presidential system that separates executive and legislative power (mutual
independence) in practice has a high potential for instability. Political cooperation between the
executive and legislative bodies such as the coalition has little incentive and can even encourage
executive power to exercise their power without involving parliament. The use of presidential
power in the legislative field (president's legislative power) is high because the president wants
to do a bypass on parliament in policy formation. The case of President Collor de Mello
provides an interesting example of the above phenomenon. A presidential system with high party
fragmentation has set instability traps. But Brazil is also quick to take lessons and carry out
various anticipations both culturally and constitutionally.
Keywords: Parliament, Presidential System, Coalition, Brazil

1
a. PENDAHULUAN
Presiden-presiden di sistem presidensial sering kali kurang memperhatikan parlemen dan
kurang tertarik untuk melakukan kerjasama politik dengan kekuatan-kekuatan politik di
parlemen. Kengganan presiden di sistem presidensial tersebut karena sering timbul anggapan
bahwa legitimasi pemerintahannya bukan berasal dari parlemen melainkan langsung dari rakyat.
Ketika telah memenangkan pemilihan presiden maka mereka menganggap sudah memenangkan
semua kekuasaan (winner takes all) sehingga dapat langsung memulai kekuasaannya tanpa perlu
melakukan kerjasama politik atau membangun koalisi antar partai di parlemen.
Namun perkembangan penggunaan sistem presidensial di berbagai negara justru
memperlihatkan ancaman bagi presiden yang enggan melakukan koalisi. Apalagi, pemilihan
presiden langsung berpotensi menghasilkan divided government yaitu ketika presiden
mendapatkan dukungan minoritas di parlemen (minority president) dan parlemen cenderung
tidak mau bekerjasama dengan presiden.
Terdapatnya dua lembaga yang mendapat legitimasi langsung dari rakyat (dual democratic
legitimacy) di sistem pemerintahan presidensial membuat kemungkinan terjadinya komposisi
politik yang tidak kongruen di kedua lembaga ini. Partai politik pemenang pemilihan presiden
belum tentu menjadi kekuatan politik yang dominan di lembaga legislatif. Kemungkinan
terjadinya komposisi politik yang tidak kongruen bertambah besar jika ternyata pemilihan
umum menghasilkan fragmentasi partai politik yang tinggi. Fragmentasi partai politik terjadi
jika partai politik yang duduk di parlemen cukup banyak. Semakin banyak partai politik yang
duduk di parlemen maka dikatakan tingkat fragmentasinya semakin tinggi yang berarti semakin
kecil kemungkinan terdapatnya partai yang memegang kendali mayoritas. Dengan demikian
konsensus dalam proses pengambilan putusan di parlemen akan menjadi lebih sulit.1 Akibatnya
bukan saja kesulitan pembentukan kebijakan tetapi lebih jauh lagi dapat merusak legitimasi

1
Fitra Arsil, “Pemilu Serentak Tetap Punya Masalah” Disampaikan dalam Diskusi Terbuka “Pemilihan
Umum Serentak Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara
FHUI dan Djokosoetono Research Centre FHUI pada tanggal 17 Februari 2014 di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.

2
presiden. Kasus-kasus pemberhentian presiden di Amerika Latin umumnya dapat terjadi karena
peran parlemen yang cukup besar dan dalam kondisi divided government.2
Semakin pentingnya mempertimbangkan posisi lembaga legislatif dalam pelaksanaan
pemerintahan di sistem presidensial menunjukkan bahwa secara umum realitas pemerintahan di
sistem parlementer juga terjadi di sistem presidensial. Presiden di sistem presidensial tidak
mungkin mengabaikan dinamika yang terjadi di lembaga legislatif walaupun legitimasi
kekuasaan eksekutif bukan berasal dari lembaga legislatif.3 Meskipun parlemen tidak punya
kewenangan eksklusif dan menentukan dalam pembentukan dan pengakhiran pemerintahan
namun parlemen di sistem presidensial menggunakan alat-alat pengawasan sebagai cara
meningkatkan posisi tawar mereka dan mempengaruhi putusan-putusan politik presiden.4
Parlemen di sistem presidensial telah menggunakan impeachment, hak angket (investigation
committes), hak interpelasi dan hak-hak pengawasan lainnya untuk memperkuat posisi
tawarnya.5
Brazil merupakan salah satu negara yang relevan dikaji dalam konteks relasi eksekutif dan
legislatif di sistem presidensial. Brazil merupakan salah satu negara yang menghadapi sistem
kepartaian terfragmentasi besar bahkan dikategorikan paling tinggi di Amerika Latin.6 Brazil
juga termasuk negara yang mengubah berbagai peraturan perundang-undangannya bahkan di
tingkat konstitusi dalam rangka mengantisipasi instabilitas sistem presidensialnya dikarenakan
tingkat fragmentasi tinggi di parlemen dan terjadinya fenomena minority president. Oleh karena

2
Dari tahun 1985 hingga 2009 terdapat 15 presiden di Amerika Latin yang diinterupsi di tengah masa
jabatannya. Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi karena peran parlemen dan situasi divided government. Lihat Fitra
Arsil, Teori Sistem Pemerintahan: Pergeseran Konsep dan Saling Kontribusi Antar Sistem Pemerintahan di
Berbagai Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), h. 163
3
Aleman dan Tsebelis adalah diantara peneliti sistem presidensial yang berkesimpulan bahwa
membangun koalisi di sistem presidensial cenderung mengikuti logika yang sama dengan yang terjadi di sistem
parlementer. Lihat Eduardo Alemán and George Tsebelis, “Political Parties and Government Coalitions in the
Americas”, dalam Journal of Politics in Latin America 3, 1, 3-28 (Hamburg: GIGA German Institute of Global and
Area Studies, Institute of Latin American Studies and Hamburg University Press, 2011), h. 25
4
Alcántara Sáez, Manuel, Mercedes García Montero, and Francisco Sánchez López , Funciones,
Procedimientosy Escenarios: Un Análisis del Poder Legislativo en América Latina, (Salamanca: Ediciones
Universidad de Salamanca, 2005) sebagaimana dikutip oleh Eduardo Alemán dan George Tsebelis, Political
Parties… Ibid.,, h. 12
5
Ibid.,
6
Lihat J. Mark Payne dan Andrés Allamand Zavala, “The Effects of Presidential Election Systems on
Democratic Governability”, dalam J. Mark Payne, Daniel Zovatto G., and Mercedes Mateo Díaz, J. Mark Payne,
Daniel Zovatto G., and Mercedes Mateo Díaz, Democracies in Development : Politics and Reform in Latin
America, (Washington:Inter-American Development Bank, 2007), h. 34

3
itu Brazil merupakan objek studi yang penting relasi eksekutif dan legislatif di sistem
presidensial.

b. HASIL PEMBAHASAN
1. Parlemen dan Stabilitas Pemerintahan di Sistem Presidensial
Sistem presidensial yang pemberlakuannya dipelopori oleh Amerika Serikat memiliki
prinsip mutual independence (saling mandiri), dimana kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
legislatif merupakan kekuasaan yang terpisah dan secara prinsip tidak dapat saling menjatuhkan.
Implementasi prinsip ini dilakukan dengan tidak adanya satu kekuasaan yang menjadi sumber
legitimasi kekuasaan lainnya. Kekuasaan legislatif dipilih rakyat dan kekuasaan eksekutif juga
dipilih rakyat secara langsung. Akibatnya pertanggungjawaban setiap lembaga kekuasaan
langsung kepada rakyat.
Formulasi mutual independence ini yang pada awalnya dianggap dapat menciptakan
pemerintahan yang stabil malah berujung sebaliknya. Pemilihan presiden langsung diharapkan
menjadikan legitimasi presiden tidak diganggu di tengah masa jabatannya sehingga tidak ada
presiden yang jatuh di tengah masa jabatannya (fix government). Namun yang terjadi
sebaliknya, presiden di sistem presidensial terus diganggu parlemen sepanjang masa jabatannya.
Menurut Juan Linz keberadaan dua pemilu dalam sistem presidensial telah membuat
potensi masalah dalam hubungan eksekutif dan legislatif. Menurut Lijphart, pemilihan presiden
langsung telah menyebabkan lahirnya perasaan the winner takes all pada diri presiden terpilih
karena dapat memulai menjalankan kekuasaannya tanpa dukungan kekuatan politik manapun.7
Pemilihan presiden langsung berkarakter zero sum di mana pemenang pemilihan merasa
mendapatkan semua kekuasaan sehingga dapat memulai pemerintahannya tanpa perlu
mempertimbangkan kekuatan politik lain.8 Perasaan ini muncul karena tidak ada pemenang
kedua dalam pemilihan presiden. Pemenang memperoleh semua kekuasaan, sedangkan yang

7
Fitra Arsil, Teori…, Op. Cit, h. 90.
8
Banyak pakar mengulas mengenai hal ini lihat antara lain Adam Przeworski, Arend Lijphart dan Jose
Antonio Cheibub. Lihat antara lain Adam Przeworski, Democracy and the Market: Political and economics Reform
in Eastern Europe and Latin America (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), h. 34-35 atau Arend
Lijphart, “Democracy in the Twenty-First Century: Can We Be Optimistic?” Netherlands Institute for Advanced
Study in the Humanities and Social Sciences, The Eighteenth Uhlenbeck Lecture was held at Wassenaar 16 June
2000, h. 8-9 atau José Antonio Cheibub, Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy, (New York:
Cambridge University Press, 2007), h.9

4
kalah berlaku juga loser loses all karena tidak mendapat kekuasaan sama sekali.9 Arend
Lijphart menyebutkan “the winning candidate wins all of the executive power that is
concentrated in the presidency and it is ‘loser loses all’ for the defeated candidate, who usually
ends up with no political office at all and often disappears from the political scene altogether.”10
Bahayanya perasaan seperti ini adalah rendahnya keinginan presiden terpilih untuk menjalin
kerja sama diantara kekuatan politik lain di parlemen karena merasa telah memiliki legitimasi
yang cukup untuk memulai menjalankan kekuasaannya tanpa perlu dukungan kekuatan politik
lain.11
Situasi di atas terbukti telah membahayakan stabilitas pemerintahan di sistem presidensial.
Bukti empirik menunjukkan bahwa rusaknya hubungan eksekutif dan legislatif berakibat kepada
jatuhnya pemerintahan di negara-negara bersistem presidensial. Bukti ini dapat dilihat dari
banyaknya fenomena dinterupsinya presiden di tengah masa jabatannya di negara-negara
Amerika Latin. Realitas Amerika Latin telah membantah asumsi bahwa ancaman penjatuhan
presiden di sistem presidensial merupakan sesuatu yang sulit terjadi seperti yang terjadi di
Amerika Serikat.12 Ancaman penjatuhan presiden yang tidak terjadi dalam sistem presidensial
di Amerika Serikat justru menjadi realitas umum dalam sistem presidensial di Amerika Latin.
Bahkan Linan menyebut bahwa impeachment telah menjadi tradisi pengganti kudeta militer
sebagai cara penggantian presiden dalam masa jabatannya di Amerika Latin.13
Dalam catatan Negretto, pada rentang 1978 hingga 2003 di Amerika Latin terdapat 14
presiden yang diinterupsi di tengah masa jabatannya.14 Dari data tersebut Negretto
berkesimpulan bahwa kesemua kejadian berhentinya presiden di tengah masa jabatannya terjadi
karena rusaknya kerjasama antara presiden dan parlemen.15 Menariknya, Negretto juga

9
Juan J. Linz dan Arturo Valenzuela, ed., The Failure of Presidential Democracy: Comparative
Perspectives, Volume 1, (Baltimore: John Hopkins University, 1994), h. 14
10
Arend Lijphart, “Democracy inthe Twenty-First Century: Can We Be Optimistic?” Op. Cit.,.
11
José Antonio Cheibub, Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy, Op. Cit, h. 9.
12
Sejak pertama kali Amerika Serikat menggunakan sistem presidensial hingga kini tidak ada satupun
presiden Amerika Serikat yang berhasil diberhentikan dalam masa jabatannya. Lihat Fitra Arsil, “Pembatasan
moderat pemilihan kembali presiden : menelusuri pemikiran Prof. Dr. Harun AlRasid” dalam Pemikiran atas
Konstitusi Negara: Mengenang ajaran Prof. Dr. Harun AlRasid, S.H (Depok: Djokosoetono Research Center
FHUI , 2015)
13
Anibal Perez-Linan, Presidential Impeachment and the New Political Instability in Latin America, (New
York: Cambridge University Press, 2007)
14
Gabriel L. Negretto, “Minority Presidents and Democratic Performance in Latin America” dalam Latin
American Politics and Society; Fall 2006; Volume 48, Number 3, h. 81
15
Ibid.,

5
menangkap kondisi bahwa peristiwa berhentinya presiden sebelum masa jabatannya yang paling
sedikit terjadi dalam kondisi pemerintahannya dibentuk berdasar koalisi mayoritas ataupun
pemerintahan satu partai (single party government).16 Dari 14 kasus tersebut hanya 1 kasus yang
terjadi dalam sebuah pemerintahan koalisi mayoritas dan 1 kasus dalam pemerintahan satu
partai.17 Perez Linan berpendapat senada dengan Negretto dengan menampilkan fenomena
impeachment di negara-negara Amerika Latin yang menurutnya telah menjadi tradisi baru bagi
instabilitas pemerintahan di negara bersistem presidensial.18
Impeachment dan declaration of incapacity telah menjadi dua aturan konstitusi yang
memperbesar posisi tawar parlemen di hadapan presiden. Praktek penerapan kedua mekanisme
ini oleh parlemen di negara-negara Amerika Latin menurut beberapa ahli telah mendukung tesis
tentang berlakunya “parlementarisasi” di negara-negara bersistem presidensial.19 Kedua
instrumen dalam konstitusi tersebut memberikan kewenangan kepada parlemen sebagai penentu
proses pemberhentian presiden dan penggunaan mekanisme ini secara berulang telah
menyerupai karakter mosi tidak percaya di sistem presidensial.20 Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kegagalan presiden mendapat dukungan mayoritas di negara bersistem
presidensial bukan saja menimbulkan gangguan yang berpengaruh kepada efektivitas
pemerintahan tetapi sudah sampai kepada menggoyang legitimasi presiden. Dalam kerangka ini
dapat dikutip pernyataan Mark Jones yang menyimpulkan bahwa sistem presidensial yang gagal
mendapatkan dukungan mayoritas di legislatif akan sulit bertahan.21
Walaupun kekuasaan eksekutif tidak perlu mendapatkan legitimasi dari kekuasaan legislatif
untuk dapat menjalankan kekuasaannya namun kekurangan dukungan dari legislatif sering
menjadi awal malapetaka yang mengancam stabilitas di sistem presidensial. Presiden di sistem
presidensial menganggap legitimasi mereka bukan dari parlemen sehingga mereka sering

16
Ibid.,
17
Ibid., h. 81
18
Perez Linan, Op. Cit., h. 203. Linan menarik kesimpulan tersebut berdasar data fenomena impeachment
terhadap presiden di negara-negara Amerika Latin antara tahun 1990-an hingga tahun 2000-an.
19
Lihat Fitra Arsil, Teori…, Op. Cit.,
20
Pendapat seperti ini antara lain disampaikan oleh John M. Carey, “Presidential versus Parliamentary
Government” dalam Claude Ménard and Mary M. Shirley, Handbook of New Institutional Economics (Dordrecht:
Springer , 2005), h. 112-115. Aníbal Pérez Liñán, “The Institutional Determinants of Impeachment”,
http://lasa.international.pitt.edu/Lasa2000/Perez-Linan.PDF (diakses 12 Mei 2013, Pukul 10.05 WIB), hlm, 206
dan Aleman dan Tsebelis, Political Parties…, Op. Cit, h. 25
21
Mark P. Jones, Electoral Laws and The Survival of Presidential Democracies, (Notre Dame: University
of Notre Dame Press, 1995), h. 38

6
mengabaikan parlemen. Padahal kenyataannya parlemen dapat memainkan peranan besar dalam
merusak legitimasi presiden yang dapat berujung kepada berakhirnya pemerintahan. Presiden
Collor de Mello, Abdalla Bucaram dan Alberto Fujimori adalah contoh diantara presiden yang
mendapat dukungan minoritas di parlemen dan menolak bernegoisasi dengan parlemen untuk
meningkatkan dukungannya. Akibatnya ketiga presiden tersebut terpaksa harus meninggalkan
kursi kepresidenan lebih awal daripada periode masa jabatannya.22
2. Kekuasaan Presiden Bidang Legislatif di Brazil
República Federativa do Brasil atau Federative Republic of Brazil adalah negara paling
besar dan paling banyak penduduknya di Amerika Selatan atau kawasan Amerika Latin. Brazil
meraih kemerdekaannya dari Portugis pada 7 September 1822. Negara yang terletak di bagian
tengah dan timur Amerika Selatan ini menjadi wilayah jajahan Portugis sejak 1494. Pada 1889,
sistem pemerintahan Brazil berubah dari monarki menjadi republik.23
Antara tahun 1964-1985 Brazil berada dalam kekuasaan rezim militer yang panjang. Rezim
otoriter tersebut memberlakukan konstitusi pada tahun 1967 dan diubah pada tahun 1969.
Konstitusi tersebut dibuat dengan pendekatan kekuasaan negara yang dominan (state-centered)
sehingga hak-hak warga negara diabaikan. Setelah mengalami demokratisasi, pada tahun 1988,
Brazil pertama kali memiliki konstitusi yang dibuat dalam proses yang demokratis melalui
Majelis Konstituante Kongres (Congres Constituent Assembly). Konstitusi yang disebut sebagai
citizen constitution (Constituição Cidadã)24 ini dianggap lebih maju karena dibuat secara
demokratis dan memuat banyak jaminan hak-hak warga negara.25 Namun demikian, konstitusi
ini tetap dianggap memiliki masalah dalam hal pembagian kewenangan lembaga-lembaga
negara, khususnya dalam memberikan kekuasaan yang besar terhadap presiden sebagai kepala
eksekutif.26

22
Perez Linan, Op. Cit, h. 197.
23
Lihat http://www.historyfiles.co.uk/KingListsAmericas/SouthBrazil.htm, (diakses 7 Mei 2013, Pukul
12.50 WIB).
24
Konstitusi diundangkan pada 5 Oktober 1988
25
Jorge Zaverucha, The 1988 Brazilian Constitution and its Authoritarian Legacy: Formalizing
Democracy while Gutting its Essence, disampaikan dalam pertemuan the Latin American Studies Association, di
Continental Plaza Hotel, Guadalajara, Mexico, 17-19 April 17-19, (diakses dari
http://biblioteca.clacso.edu.ar/ar/libros/lasa97/zaverucha.pdf pada 1 April 2013, pukul 04.29 WIB)
26
Lihat José Antonio Cheibub, Argelina Figueiredo, Fernando Limongi, Executive Power in the Brazilian
1988 Constitution (diakses dari
https://webspace.utexas.edu/elkinszs/workshop_2012/cheibub_figueiredo_limongi.pdf pada 1 April 2013 pukul
04.30 WIB).

7
Permasalahan dalam konstitusi tersebut dianggap berperan penting bagi beberapa kali
gejolak pemerintahan yang terjadi di Brazil. Brazil termasuk negara dengan sistem
pemerintahan presidensial yang memiliki permasalahan demokrasi dan pemerintahan yang
paling dinamis. Konstitusi Brazil 1988 sebenarnya dirancang untuk mengatasi masalah-masalah
relasi eksekutif dan legislatif yang telah dapat diperkirakan akan terjadi di Brazil. Konstitusi
Brazil berusaha menghindari terjadinya jalan buntu hubungan eksekutif dan legislatif di Brazil.
Konstitusi 1988 memberikan Presiden Brazil beberapa kekuasaan yang dianggap sebagai jalan
keluar untuk mengatasi konflik dengan legislatif. Oleh karena itu, konstitusi memberikan
kekuasaan presiden di bidang legislatif (president’s legislative power) dengan porsi yang
banyak.
Presiden Brazil memiliki kewenangan melakukan veto terhadap rancangan undang-undang
yang sedang dibahas di kongres namun kongres juga dapat melawan (override) veto presiden
dengan persetujuan mayoritas anggota kongres. Berdasarkan Article 61 Konstitusi Brazil Tahun
1988, Presiden Brazil juga memiliki kekuasaan untuk mengajukan inisiatif dalam rancangan
undang-undang di bidang-bidang tertentu, seperti mengenai militer, pekerjaaan bagi rakyat dan
lain-lain.27 Selain itu, berdasarkan Article 62 Konstitusi Brazil 1988 Presiden Brazil memiliki
kekuasaan untuk melakukan tindakan yang proaktif dalam perundang-undangan yaitu
menerbitkan presidential legislative decree atau constitutional decree authority (CDA) yang di
Brazil dikenal dengan sebutan medidas provisorias atau tindakan sementara. Dengan kekuasaan
ini, Presiden Brazil dapat mengeluarkan peraturan yang langsung berlaku tanpa membutuhkan
persetujuan parlemen. Namun konstitusi membatasi kekuasaan ini dengan memberikan syarat
bahwa kekuasaan ini dapat dilakukan oleh presiden dalam kondisi yang tepat dan mendesak
(relevance and urgency) dan dalam waktu 30 hari setelah diterbitkan parlemen harus
menentukan sikap untuk menerima perppu presiden tersebut yang berakibat menjadikannya
undang-undang ataupun menolak yang berakibat tidak berlakunya perppu tersebut.28

27
Lihat Konstitusi Brazil, Constitution of The Federative Republic of Brazil, 3rd Edition, (Brasilia:
Documentation and Information Center Publishing Coordination, 2010)
28
Kekuasaan presiden menerbitkan emergency decree terdapat di berbagai negara di dunia. Dalam
berbagai literatur jenis peraturan ini dikenal dengan berbagai sebutan, antara lain disebut sebagai constitutional
decree authority atau beberapa penulis menyebutnya dengan executive decree authority atau presidential decree
authority. Di Indonesia peraturan perundang-undangan jenis ini dikenal dengan sebutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu). Lihat Fitra Arsil, “Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan
Perppu: Studi Perbandingan Pengaturan dan Penggunaan Perppu di Negara-negara Presidensial”, Jurnal Hukum &
Pembangunan 48 (1), 1-21

8
Constitutional decree authority (CDA) di negara-negara bersistem presidensial secara
konsep dapat disebutkan sebagai kekuasaan konstitusional presiden untuk menerbitkan
peraturan yang memiliki daya ikat dan materi muatan setingkat undang-undang, diterbitkan
dalam kondisi tertentu dan langsung berlaku tanpa melalui proses pembahasan di legislatif.
Namun, meskipun peraturan tersebut langsung berlaku efektif tetapi berlaku sementara karena
membutuhkan persetujuan parlemen untuk diberlakukan sebagai undang-undang atau dicabut.29
Kekuasaan mengeluarkan CDA/perppu ini, dalam praktiknya, telah digunakan Presiden
Brazil untuk membuat kebijakan dengan mengabaikan kongres. Presiden-presiden Brazil sering
menerbitkan perppu walaupun kondisi yang tepat dan mendesak sebagai syarat
mengeluarkannya dapat dipertanyakan. Berdasar data yang ditampilkan oleh Negretto, dalam
periode 1988-1998 penerbitan Perppu oleh 4 Presiden Brazil, yakni Jose Sarney, Fernando
Collor de Mello, Itamar Franco dan Fernando Henrique Cardoso I berjumlah 3415 Perppu.30
Bahkan menariknya, Presiden Brazil mengeluarkan kembali berkali-kali perppu yang telah
kehabisan masa berlakunya.
Para pakar menganalisis motif tingginya produktivitas penerbitan perppu di Brazil dengan
menampilkan beberapa pendapat. Pendapat tersebut antara lain;31 (1) Perppu merupakan
tindakan rutin pemerintah dalam pembentukan kebijakan yang sudah membudaya dalam waktu
yang cukup panjang, (2) Presiden ingin tampil sebagai pembuat inisiatif kebijakan bahkan
pengendali agenda di lembaga legislatif, (3) Parlemen seperti mendelegasikan fungsinya
membentuk kebijakan atau membuat peraturan kepada presiden, (4) Presiden menghindar dari
proses pembahasan di parlemen (by pass) dalam pembentukan kebijakan.
Pendapat keempat merupakan pendapat yang banyak digunakan dalam menganalisis
tingginya produktivitas penerbitan perppu karena memang secara menonjol ditemukan fakta
bahwa dalam situasi minority president yang berakibat terjadinya divided government
merupakan situasi paling kondusif bagi meningkatnya produktivitas Perppu. Para pengkaji
relasi eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensial, khususnya yang mengamati fenomena
divided government menemukan bahwa memang terdapat hubungan era tantara kondisi divided
government dengan lahirnya banyak emergency decree dari tangan presiden. Pendapat tersebut

29
Ibid.,
30
Negretto, “Government…, Op. Cit., h. 543.
31
Pendapat-pendapat ini dapat dilihat dalam Fitra Arsil., “Menggagas Pembatasan…” Op. Cit.,

9
antara lain disampaikan Pereira, Powers, & Renno (2005) menemukan bahwa dalam periode
divided government 1988-1998 terdapat fenomena meningkatnya penggunaan emergency
decree di Brazil. Di negara-negara Amerika Latin lainnya juga ditemukan fenomena yang
serupa, seperti yang disampaikan oleh Schmidt (1998) yang menemukan fenomena paralel di
Peru ketika pemerintahan di bawah Presiden Belaunde dan Fujimori yang terlihat fenomena
tingginya penggunaan emergency decree dalam periode divided government masa itu. Penelitian
Brian Crisp’s (1998) yang meneliti Venezuela dalam periode 1961-1994 menyampaikan
indikasi bahwa Presiden Herrera Campíns dan Caldera juga bergantung kepada emergency
decree selama periode divided government. Pola ini juga dianggap tidak terjadi khusus di
Amerika Latin namun dapat juga ditampilkan fenomena Russia dan Perancis yang ditemukan
kejadian serupa sebagaimana ditampilkan dalam penelitian Parrish (1998) and Huber (1998).32
Berdasar analisis di atas, komposisi politik dan tingkat ketegangan relasi eksekutif dan
legislatif ketika penerbitan perppu, dapat dikatakan tidak memastikan tingkat produktivitas
penerbitan perppu oleh presiden. Namun demikian secara menonjol ditemukan fakta bahwa
dalam situasi minority president yang berakibat terjadinya divided government merupakan
situasi paling kondusif bagi meningkatnya produktivitas Perppu.
Situasi ini sangat terkait dengan realitas sistem kepartaian di Brazil yang terfragmentasi
sangat besar dan telah menyebabkan sulitnya partai-partai mendapat mayoritas dukungan di
parlemen tak terkecuali partai presiden. Bahkan Presiden Brazil sering berasal dari partai
minoritas di parlemen. Oleh karena itu relevan menggunakan Brazil dalam kerangka
penggunaan kekuasan presiden di bidang legislatif dan akibatnya terhadap relasi eksekutif dan
legislatif.
3. Fragmentasi Kepartaian Brazil
Presiden Brazil dipilih melalui pemilihan langsung dengan sistem majority runoff
dipadukan dengan sistem kepartaian yang terfragmentasi, serta partai-partai yang tidak
terlembaga dan disiplin serta kuatnya federalisme telah menjadi kombinasi yang sulit bagi
Brazil untuk menciptakan pemerintahan yang stabil.33 Situasi fragmentasi kepartaian di Brazil

32 32
James Je Heon Kim, “Case for Constrained Unilateralism: Decree of Necessity and Urgency in
Argentina, 1916-2004”, paper was presented at the Annual Meetings of the Southern Political Science Association,
American Political Science Association, and the Quantitative Methods Seminar at Columbia University. September
21, 2007.
33
Ibid., h. 56.

10
dipengaruhi juga oleh situasi sosial yang berkembang di masyarakat Brazil. Sejak 1985 tuntutan
demokratisasi terus berkembang luas, keinginan masyarakat Brazil untuk mendirikan partai dan
masuk ke lembaga legislatif semakin tinggi. Krisis ekonomi turut mendorong masyarakat untuk
mengadu nasib di politik. Ledakan partisipasi masyarakat ini direspon oleh parlemen Brazil
justru dengan melakukan perubahan konstitusi yang mempermudah partai-partai baru untuk
mendapatkan kursi di parlemen. Bahkan, ketentuan di konstitusi pasca amandemen itu juga
memberi keringanan bagi politisi untuk berpindah partai.34
Beberapa ketentuan dalam konstitusi yang dapat dianggap bertanggung jawab atas kondisi
ini antara lain: Pertama, Persyaratan bagi partai politik untuk dapat duduk di lembaga legislatif
pusat diturunkan dari 5 % perolehan suara nasional dan 3 % suara di tingkat negara bagian dari
paling sedikit 9 negara bagian. Sejak tahun 1985 persyaratan tersebut menjadi 3 % suara
nasional, 2 % suara negara bagian dari paling sedikit 5 negara bagian. Kedua, politisi yang tak
dapat memenuhi ambang batas di atas dapat beralih ke partai lain dalam waktu 60 hari sejak
pelaksanaan pemilihan.35
Data menunjukkan, sejak Brazil memasuki masa transisi demokrasi pada pertengahan
dekade 1970-an jumlah partai yang berdiri semakin bertambah. Tahun 1983 jumlah partai di
Kongres hanya 5 buah, kemudian bertambah menjadi 11 buah pada tahun 1987. Pada tahun
1991 jumlah partai di Brazil sudah mencapai 19 buah. Selain jumlah partai yang semakin
banyak, aturan konstitusi juga mendorong terjadinya feneomena party-switching yang sangat
tinggi di Brazil. Antara tahun 1987 hingga 1991 dari setiap tiga anggota Kongres terdapat satu
orang di antaranya yang berpindah partai. Perpindahan partai juga sering diikuti dengan
pembentukan partai baru sebagai manifestasi kekecewaan dan protes terhadap partai yang
sebelumnya.36
Gejala fragmentasi sistem kepartaian dapat digambarkan dengan melihat data bahwa nyaris
tidak ada partai yang mampu mencapai suara mayoritas dalam setiap pemilihan umum. Dalam
konteks pemilihan presiden langsung dapat diperkirakan presiden yang akan terpilih akan
berasal dari partai yang tidak memiliki kursi mayoritas di parlemen.

34
Lihat Bambang Cipto, Presiden, Partai dan Pemulihan Ekonomi Indonesia (Yogyakarta: UII Press,
2003), h. 23.
35
Ibid., h. 29
36
Ibid., h. 23

11
Dalam konteks pemilihan presiden langsung kemungkinan terpilihnya presiden yang
berasal dari partai yang tidak memiliki kursi mayoritas di parlemen cukup tinggi. Dengan
kondisi seperti di atas, membangun koalisi menjadi langkah yang tak terhindarkan dalam sistem
pemerintahan Brazil. Koalisi lebih menjanjikan hubungan yang harmonis dan efektif antara
kekuasaan eksekutif dan legislatif di Brazil. Namun kenyataannya ketentuan-ketentuan dalam
konstitusi telah datang sebagai penghambat berlangsungnya koalisi pemerintahan di Brazil.
Kasus berikut dapat dijadikan contoh mengenai ketentuan-ketentuan dalam koalisi yang
berpengaruh negatif bagi kelangsungan koalisi.
4. Dinamika Relasi Eksekti- Legislatif Era Presiden Collor de Mello
Di antara kasus yang fenomenal menggambarkan pengaruh kekuasaan presiden dalam
konstitusi terhadap proses koalisi di Brazil adalah kasus pemerintahan Presiden Fernando
Affonso Collor de Mello. Collor de Mello adalah Presiden ke-32 Brazil yang memerintah dari
tahun 1990 hingga 1992. De Mello merupakan presiden pertama yang dipilih secara langsung
oleh rakyat setelah Brazil berhasil keluar dari pemerintahan militer. Latar belakang Collor de
Mello memperlihatkan bahwa dunia politik sangat dekat dengannya. Ayahnya, Arnon Affonso
de Farias Mello, adalah seorang senator dan ibunya, Leda Collor de Mello, adalah puteri mantan
Menteri Perburuhan Brazil Lindolfo Collor. Oleh karena itu tidak heran jika Collor de Mello
memiliki jaringan yang luas di antara para politisi dan pejabat pemerintahan.37
Ketika Collor de Mello terpilih sebagai presiden pada bulan maret 1990, partainya (PRN)
hanya memiliki 5,1 % suara di parlemen. Situasi lembaga legislatif tersebut menyulitkan de
Mello dalam membentuk dukungan untuknya di parlemen. Kondisi ini diperburuk dengan
adanya persepsi bahwa de Mello secara ideologis berada dalam spektrum ideologi yang sangat
kanan. De Mello berhadapan dengan kondisi bahwa Ia harus memberikan konsesi yang besar
kepada partai-partai lain terutama partai besar jika ingin membentuk koalisi stabil yang
mendukungnya di parlemen.
Namun nampaknya Color de Mello tidak memilih koalisi sebagai cara untuk menjembatani
hubungan eksekutif dengan legislatif pada masa itu. Collor de Mello melihat sistem
pemerintahan presidensial yang dianut Brazil dan ketentuan-ketentuan dalam konstitusi

37
Lihat http://www.princeton.edu/~achaney/tmve/wiki100k/docs/Fernando_Collor_de_Mello.html

12
mengenai kekuasaan presiden di bidang legislatif merupakan alat yang cukup untuk memerintah
Brazil. Ketentuan dalam Article 62 Konstitusi Brazil 1988 memungkinkan de Mello untuk
mengeluarkan peraturan presiden/perppu (presidential decree) yang langsung mengikat secara
hukum ketika dikeluarkan dan memiliki hirarki setingkat undang-undang. Meskipun peraturan
ini harus dikeluarkan dalam kondisi luar biasa dan dapat dibatalkan oleh parlemen dalam 30
hari namun de Mello memaksakan memerintah melalui perppu-perppu ini.
Pada hari pertama pelantikannya de Mello sudah menyampaikan langkah-langkah strategis
yang jelas dalam memerintah Brazil yang kala itu sedang dilanda krisis. Namun Ia memutuskan
untuk menghadapi krisis inflasi yang mendera brazil semenjak 1987 dengan cara mengeluarkan
perppu. Ia mengeluarkan tidak kurang dari 36 perppu pada 15 hari pertama menjabat dan 163
perppu sepanjang tahun 1990. De Mello terus mengeluarkan perppu-perppunya sepanjang tahun
sampai di awal tahun kedua kekuasaannya.38
De Mello memang menginginkan menjalankan pemerintahannya dengan menghindar dari
proses di legislatif. Perppu-perppu yang dikeluarkannya membuat Ia tidak perlu terlibat dalam
proses di legislatif dalam membuat kebijakan. Membentuk koalisi yang menjembatani
hubungan eksektif dan legislatif bukan menjadi pilihannya. Indikasi ini dapat juga dilihat dari
pilihan menteri-menteri yang mengisi kabinetnya. Ia tidak memilih menteri yang berasal dari
partai-partai yang duduk di parlemen sehingga terbentuk koalisi yang mendukung
pemerintahannya (government coalition). Sebagian besar anggota kabinetnya terdiri dari kroni-
kroninya serta para teknokrat.
Langkah-langkah De Mello ini memicu terjadinya banyak ketidakpuasan terutama di
kalangan anggota parlemen. Akibat ketidakpuasan yang besar, pada tahun 1991, parlemen
menggagas sebuah RUU yang mengatur mengenai pembatasan penerbitan perppu oleh Presiden
yang dikenal dengan Nelson Jobim Bill karena inisiator lahirnya RUU ini adalah seorang
politisi bernama Nelson Jobim.39 RUU ini hampir saja berhasil disetujui oleh parlemen, namun
akhirnya gagal karena kesulitan Jobim dan kawan-kawannya meredefinisi ketentuan Article 62

38
Octavio Armorim Neto, “Cabinets, Electoral Cycles, Coalition Discipline in Brazil”, dalam Scott
Morgenstern dan Benito Nacif, ed., Legislative Politics in Latin America, Op. Cit, h. 76
39
Ibid.,

13
dalam Konstitusi Brazil yang menjadi landasan hukum yang memberi kekuasaan menerbitkan
perppu kepada presiden.40
Namun demikian, menurut Timothy J. Power, meskipun Jobim dan kawan-kawannya
gagal, usaha mereka nampak berpengaruh bagi De Mello dan para penasehatnya. Ketika Jobim
Bill sedang dibahas oleh parlemen pada bulan Februari, Maret dan April, De Mello tidak
mengeluarkan sebuah perppu pun. Jika melihat pengalaman di tahun pertamanya di mana dia
sangat sering mengeluarkan perppu, hal ini sangat mengejutkan. Dari fakta ini, orang sulit untuk
tidak mengambil kesimpulan bahwa “kelakuan baik” Presiden De Mello tersebut telah
menyelamatkannya dari lahirnya UU yang membatasinya untuk mengeluarkan perppu.41
Pembahasan Jobim Bill nampaknya menjadi titik balik bagi kepemimpinan De Mello. Pasca
proses Jobim Bill, De Mello merubah sikapnya dalam proses pengambilan kebijakan. Di tahun
1991, Ia hanya mengeluarkan 8 perppu saja. Ini sangat jauh dibandingkan tahun sebelumnya,
saat De Mello mengeluarkan 163 perppu sepanjang tahun 1990. Sebagai perbandingan, Power
membuat hitungan rerata perppu yang dikeluarkan De Mello per bulannya. Sejak pelantikannya
sebagai presiden pada bulan Maret 1990 hingga Januari 1991, De Mello rata-rata menerbitkan
14 perppu tiap bulannya. Sejak Februari 1991, ketika dimulainya pembahasan Jobim Bill,
sampai akhir masa jabatannya De Mello hanya menerbitkan 0,6 perppu tiap bulannya.42
Meskipun demikian sepanjang tahun 1991 De Mello tetap menolak bernegosiasi dengan
partai oposisi dan membentuk koalisi untuk memperbaiki hubungan eksekutif dan legislatif dan
memilih jalan berhadap-hadapan. Sikap ini membuat kebijakan pemerintahan De Mello menjadi
lebih rumit dan berantakan. Di satu sisi, ia menghentikan mengeluarkan perppu sementara di
sisi lain De Mello juga tidak ingin bekerja sama dengan parlemen. Akibatnya tidak ada
kebijakan yang berarti dari pemerintah untuk menghadapi krisis yang dialami Brazil ketika itu.
Pengaruhnya terlihat pada fakta bahwa di tahun 1991 sangat sedikit usaha yang dilakukan untuk
mengatasi masalah utama Brazil yaitu inflasi besar-besaran. Pada bulan Desember 1990 tingkat
inflasi bulanan adalah 16 % sementara di tahun 1991 tingkat inflasi bulanan sebesar 23,3 %.

40
Lihat Timothy J. Power, “The Pen is Mightier Than the Congress: Presidential Decree Power in Brazil.”
dalam John M. Carey dan Matthew S. Shugart, ed., Executive Decree Authority, (New York: Cambridge University
Press, 1998), h. 211
41
Ibid.,
42
Ibid.,

14
Desakan perubahan terhadap sikap politik De Mello semakin tajam karena tanda-tanda
pemerintahannya akan gagal sudah cukup banyak. Sampai dengan kwartal I tahun 1992 tingkat
inflasi bulanan masih di atas 20 %. Sementara itu, popularitasnya di mata rakyat juga terus
merosot. Jajak pendapat nasional menunjukkan bahwa hanya 15,4% responden yang
menganggap pemerintahannya baik atau sangat baik. Angka ini menurun drastis jika
dibandingkan 35,3 % di bulan Agustus 1990, 23,3 % di bulan Maret 1991 dan 20, 4 % di bulan
Agustus 1991. Popularitas yang semakin memburuk terjadi selain karena prestasi pembangunan
ekonomi yang lemah, juga karena terbongkarnya kasus korupsi menteri-menteri kabinetnya dan
para penasehatnya yang membuat berita besar di tengah masyarakat.43
Dalam kondisi demikian, nampaknya De Mello menyadari bahwa Ia tidak mungkin untuk
terus mengabaikan parlemen. De Mello memulai fase kepemimpinan yang baru dengan
melakukan pendekatan ke parlemen untuk memperoleh dukungan. Di bulan Maret 1992 De
Mello memberhentikan seluruh anggota kabinetnya dan untuk pertama kalinya secara terbuka
menyatakan dia siap bernegoisasi dengan partai-partai politik demi membentuk mayoritas suara
di kongres. De Mello berusaha mengajak partai konservatif untuk mendukung pemerintahannya.
Namun langkah De Mello sudah terlambat, ia tidak bisa menghindari tindakan parlemen untuk
memulai proses impeachment dan memutuskan pemberhentiannya.
Sebenarnya, sebelum pemerintahannya berakhir, De Mello berusaha mendapatkan lebih
banyak dukungan legislatif dengan cara mengalokasikan jumlah kursi kabinet yang realistis
kepada segenap partai politik. Seandainya dia tidak di-impeach bisa dikatakan bahwa kabinet
barunya akan membuat kinerja lebih baik dengan dukungan koalisi. Orang banyak bertanya
mengapa Ia butuh waktu sangat panjang untuk me-reshuffle kabinetnya demi mendapatkan
dukungan legislatif yang lebih baik.
5. Reformasi Pasca de Mello
De Mello adalah contoh presiden yang merasa kekuasaan yang diberikan konstitusi cukup
untuk memerintah tanpa dukungan legislatif. De Mello menganggap membentuk koalisi
pemerintahan akan membatasi otonominya dalam membuat kebijakan. De Mello menunjukkan
sebuah hubungan yang jelas antara kekuasaan legislatif yang besar dan dukungan legislatif
seharusnya dapat diwadahi dengan koalisi pemerintahan.

43
Neto, “Cabinets…, Op. Cit.,

15
Brazil nampak banyak mengambil pelajaran dari kasus seperti de Mello ini. Beberapa
perubahan Konstitusi dilakukan Brazil untuk melakukan berbagai antisipasi instabilitas di
sistem presidensial. Amandemen Konstitusi mengenai kekuasaan presiden di bidang legislatif
dilakukan dengan membuat berbagai pembatasan penggunaannya. Khusus mengenai
pembatasan penerbitan perppu dilakukan melalui Amandemen ke-32 Konstitusi Brazil Tahun
2001. Amandemen ini dilatarbelakangi karena timbulnya kesadaran bahwa article 62 Konstitusi
Brazil 1988 telah melemahkan posisi Kongres dalam pembentukan hukum dan melakukan
pengawasan. Melalui Amandemen Konstitusi ke 32 Tahun 2001 diatur berbagai pembatasan
baik dari segi formil proses pembentukan perppu maupun pembatasan secara materiil mengenai
kemungkinan materi yang dapat diatur melalui penerbitan perppu.44 Article 62 Konstitusi Brazil
yang sebelumnya hanya terdiri dari 2 (dua) ayat yang memberikan kewenangan kepada presiden
untuk menerbitkan perppu dengan pembatasan relatif hanya pada frasa relevance and urgency,
diubah dengan berbagai pembatasan lainnya sehingga menjadi 12 (dua belas) ayat.45 Konstitusi
Brazil menginginkan produk hukum luar biasa ini tidak mudah diterbitkan oleh presiden.
Brazil juga nampak berubah menjadi negara yang sangat akomodatif terhadap koalisi
presidensial. Brazil menjadi salah satu negara yang menonjol di Amerika Latin dalam tingginya
tingkat frekuensi koalisi di negara-negara presidensial. Penelitian yang dilakukan oleh J. Mark
Payne terhadap 18 negara di Amerika Latin dengan 131 rezim presidensial di dalamnya juga
menunjukkan hasil bahwa koalisi di sistem presidensial memiliki frekuensi yang sangat
signifikan. Payne menyebut bahwa koalisi dalam sistem presidensial di Amerika Latin
dibutuhkan dan merupakan karakter penting dari hubungan eksekutif dan legislatif.46 Brazil
disebutkan sebagai salah satu negara yang selalu menjadikan koalisi sebagai mekanisme
pembentukan pemerintahannya. Di Brazil, menurut Abrahanches, Deheza dan Meneguello
semua presiden membangun koalisi dalam membentuk pemerintahannya.47

44
Fitra Arsil, Menggagas… Op. Cit,
45
Ibid.,
46
J. Mark Payne,“Balancing Executive and Legislative Prerogatives: The Role of Constitutional and
Party-Based Factors”, dalam J. Mark Payne, Daniel Zovatto G., and Mercedes Mateo Díaz, Democracies in
Development : Politics and Reform in Latin America, (Washington:Inter-American Development Bank, 2007), h.
104
47
Lihat Sérgio H. Hudson de Abranches,. 1988. “Presidencialismo de Coalizão: O Dilema Institucional
Brasileiro.” Dados 31:5-38, Grace Ivana Deheza,. 1998. “Gobiernos de Coalición en el Sistema Presidencial:
Américal del Sur.” In El Presidencialismo Renovado: Instituciones y Cambio Político en América Latina, eds.
Dieter Nohlen and Mario Fernández B. Caracas: Nueva Sociedad, dan Meneguello, Rachel. 1998. Partidos e

16
c. KESIMPULAN
Fenomena Brazil membuktikan bahwa betapapun sistem presidensial memiliki konsep
mutual independence, mandiri antar lembaga negara dengan fitur pemilihan presiden langsung
dari rakyat. Namun kedudukan parlemen tetap signifikan berpengaruh bagi efektivitas dan
stabilitas pemerintahan. Presiden yang enggan melakukan kerjasama politik dengan parlemen
menghadapi instabilitas bahkan sampai tingkat tertinggi berupa impeachment.
Penggunaan kekuasaan presiden di bidang legislatif secara serampangan terbukti bukan
semakin membuat presiden menjadi lebih berkuasa justru menjadikan relasi eksekutif dan
legislatif menjadi menghangat. Oleh karena itu pilihan koalisi ataupun bentuk kerjasama politik
lainnya harus lebih didahulukan daripada pilihan membentuk kebijakan tanpa melibatkan
parlemen.
Namun demikian Brazil telah menunjukkan berbagai perubahan berarti setelah mengambil
pelajaran dari berbagai kasus instabilitas pemerintahannya. Perubahan bukan saja dalam kultur
politiknya namun juga hingga perubahan konstitusi. Negara-negara bersistem presidensial,
apalagi dengan karakter multi partai yang terfragmentasi penting mengambil pelajaran dari
Brazil.

d. REFERENSI
Arsil, Fitra. “Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu: Studi
Perbandingan Pengaturan dan Penggunaan Perppu di Negara-negara Presidensial”, Jurnal
Hukum & Pembangunan 48 (1), 1-21
Arsil, Fitra. “Pemilu Serentak Tetap Punya Masalah” Disampaikan dalam Diskusi Terbuka
“Pemilihan Umum Serentak Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” yang diselenggarakan
oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI dan Djokosoetono Research Centre FHUI pada
tanggal 17 Februari 2014 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Arsil, Fitra. “Pembatasan moderat pemilihan kembali presiden : menelusuri pemikiran Prof. Dr.
Harun AlRasid” dalam Pemikiran atas Konstitusi Negara: Mengenang ajaran Prof. Dr.
Harun AlRasid, S.H (Depok: Djokosoetono Research Center FHUI , 2015).
Arsil, Fitra. Teori Sistem Pemerintahan: Pergeseran Konsep dan Saling Kontribusi Antar
Sistem Pemerintahan di Berbagai Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2017).

Governos no Brasil Contemporâneo (1985-1997). São Paulo: Paz e Terra sebagaimana dikutip oleh Octavio
Amorim Neto, “Presidential Cabinets, Electoral Cycles, and Coalition Discipline In Brazil”,dalam Scott
Morgenstern dan Benito Nacif, Legislative Politics in Latin America, (New York: Cambridge University Press,
2002), h. 48.

17
Alemán, Eduardo and George Tsebelis, “Political Parties and Government Coalitions in the
Americas”, dalam Journal of Politics in Latin America 3, 1, 3-28 (Hamburg: GIGA German
Institute of Global and Area Studies, Institute of Latin American Studies and Hamburg
University Press, 2011).
Carey, John M. “Presidential versus Parliamentary Government” dalam Claude Ménard and
Mary M. Shirley, Handbook of New Institutional Economics (Dordrecht: Springer , 2005).
Cheibub, José Antonio. Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy, (New York:
Cambridge University Press, 2007).
Cheibub, José Antonio., Argelina Figueiredo, Fernando Limongi, Executive Power in the
Brazilian 1988 Constitution (diakses dari
https://webspace.utexas.edu/elkinszs/workshop_2012/cheibub_figueiredo_limongi.pdf
pada 1 April 2013 pukul 04.30 WIB).
Cipto, Bambang. Presiden, Partai dan Pemulihan Ekonomi Indonesia (Yogyakarta: UII Press,
2003).
Constitution of The Federative Republic of Brazil, 3rd Edition, (Brasilia: Documentation and
Information Center Publishing Coordination, 2010).
http://www.historyfiles.co.uk/KingListsAmericas/SouthBrazil.htm, (diakses 7 Mei 2013, Pukul
12.50 WIB).
http://www.princeton.edu/~achaney/tmve/wiki100k/docs/Fernando_Collor_de_Mello.html
Jones, Mark P. Electoral Laws and The Survival of Presidential Democracies, (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1995).
Kim, James Je Heon. “Case for Constrained Unilateralism: Decree of Necessity and Urgency in
Argentina, 1916-2004”, paper was presented at the Annual Meetings of the Southern
Political Science Association, American Political Science Association, and the Quantitative
Methods Seminar at Columbia University. September 21, 2007.
Lijphart, Arend. “Democracy in the Twenty-First Century: Can We Be Optimistic?”
Netherlands Institute for Advanced Study in the Humanities and Social Sciences, The
Eighteenth Uhlenbeck Lecture was held at Wassenaar 16 June 2000.
Linan, Anibal Perez. Presidential Impeachment and the New Political Instability in Latin
America, (New York: Cambridge University Press, 2007).
Linan, Aníbal Pérez. “The Institutional Determinants of Impeachment”,
http://lasa.international.pitt.edu/Lasa2000/Perez-Linan.PDF (diakses 12 Mei 2013, Pukul
10.05 WIB).
Linz, Juan J. dan Arturo Valenzuela, ed., The Failure of Presidential Democracy: Comparative
Perspectives, Volume 1, (Baltimore: John Hopkins University, 1994).
Negretto, Gabriel L. “Minority Presidents and Democratic Performance in Latin America”
dalam Latin American Politics and Society; Fall 2006; Volume 48, Number 3, h. 81.
Neto, Octavio Armorim. “Cabinets, Electoral Cycles, Coalition Discipline in Brazil”, dalam
Scott Morgenstern dan Benito Nacif, ed., Legislative Politics in Latin America (New York:
Cambridge University Press, 2002).
Neto, Octavio Amorim. “Presidential Cabinets, Electoral Cycles, and Coalition Discipline In
Brazil”,dalam Scott Morgenstern dan Benito Nacif, Legislative Politics in Latin America,
(New York: Cambridge University Press, 2002).
Payne, J. Mark ., Daniel Zovatto G., and Mercedes Mateo Díaz, Democracies in Development :
Politics and Reform in Latin America, (Washington:Inter-American Development Bank,
2007).
18
Power, Timothy J. “The Pen is Mightier Than the Congress: Presidential Decree Power in
Brazil.” dalam John M. Carey dan Matthew S. Shugart, ed., Executive Decree Authority,
(New York: Cambridge University Press, 1998).
Przeworski, Adam. Democracy and the Market: Political and economics Reform in Eastern
Europe and Latin America (Cambridge: Cambridge University Press, 1991).
Zaverucha, Jorge. The 1988 Brazilian Constitution and its Authoritarian Legacy: Formalizing
Democracy while Gutting its Essence, disampaikan dalam pertemuan the Latin American
Studies Association, di Continental Plaza Hotel, Guadalajara, Mexico, 17-19 April 17-19,
(diakses dari http://biblioteca.clacso.edu.ar/ar/libros/lasa97/zaverucha.pdf pada 1 April
2013, pukul 04.29 WIB)

19

View publication stats

You might also like