You are on page 1of 14

Filosofi, Karakteristik dan Prinsip-

prinsip
Pendidikan kejuruan
Filosofi Pendidikan Kejuruan
Apa perlunya filsafat dalam pengembangan pendidikan kejuruan menjadi pertanyaan mendasar
dan menarik untuk dibahas dan diurai secara rinci. Mengutip pernyataan Dewey bahwa tugas
philosopher adalah memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Karenanya filsafat sangat
penting dalam setiap proses pengembangan pendidikan agar sadar arah, benar, dan sesuai
kebutuhan. Filsafat pendidikan kejuruan menunjukkan garis arahan kemana pendidikan
kejuruan akan digerakkan atau dirancangprogramkan.
Pendidikan kejuruan sebagai pendidikan untuk bekerja (education-for-work) didasarkan atas
philosophy esensialisme, eksistensialisme, dan pragmatisme. Strom mengutip pernyataan
Miller (1994) bahwa pragmatisme merupakan philosophy yang paling efektif untuk education-
for-work. Karena philosophy pragmatisme menyeimbangkan philosophy esensialisme dan
eksistensialisme. Disamping itu philosophy lainnya yang mendasari pendidikan kejuruan adalah
philosophy humanisme dalam kaitannya dengan personal growth dan philosophy progressive
dalam kaitannya dengan reformasi sosial.

Philosophy esensialisme merupakan akar dari idealisme dan realisme. Esensialisme bertujuan


mendidik manusia bernilai guna, bermakna bagi kehidupan, dan kompeten. Esensialisme
menekankan peran dan fungsi pendidik atau pelatih dalam proses pembelajaran, ahli, dan
menguasai subyek materi, mengembangkan skill dengan berlatih, pengulangan, pengkondisian,
dan pengembangan kebiasaan baik dalam mempengaruhi perilaku peserta didik. Pembelajaran
peserta didik dilakukan secara progresif dari skill yang kurang komplek ke skill yang lebih
komplek. Esensialis biasanya mengajarkan subyek materi membaca, menulis, mengkaji literatur,
bahasa asing, sejarah, matematika, sains, seni dan musik.

Philosophy eksistensialisme menyatakan setiap individu manusia membentuk makna


kehidupannya sendiri-sendiri. Memilih jalan hidupnya sendiri-sendiri. Realitas kehidupan
bersifat subjektif. Manusia selalu akan menemukan dirinya dalam dunia, kontek utamanya
adalah kesadaran diri siapakah aku. Soren Kierkegaard menulis alam manusia dan identitas
manusia berbeda bergantung pada tata nilai dan keyakinan yang mereka pegang/anut. Tugas
paling berat bagi setiap orang menurutnya adalah menjadikan dirinya eksis sebagai individu
yang unik bermakna (personal growth). Jean Paul Sartre meyakini individu menciptakan hakikat
dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakan secara bebas. Profesi dengan segala tindakan dan
akibatnya adalah pilihan. Karenanya dalam philosophy jawa perlu tatas, tutus, titis, titi lan
wibawa (mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup).
Struktur ciptaan manusia semacam lembaga-lembaga dapat secara serius membatasi dan
melemahkan kebebasan manusia. Simone de Beauvoir memberi sintesis akibat buruk cara
pendidikan kaum perempuan mengakibatkan tersingkirnya kaum perempuan secara sistematis
dalam perannya sebagai yang lain dari kaum laki-laki. Kemudian Friedrich Neitzsche dengan
prinsip fundamentalnya menyatakan bahwa setiap manusia memiliki kehendak untuk berkuasa
(will to power). Menurutnya, ada dua jenis nilai dalam kehidupan manusia yaitu nilai yang
diciptakan oleh golongan lemah (“moralitas budak”) dengan menjunjung tinggi keutamaan-
keutamaan semacam belas kasih, cinta altruism, kelemahlembutan, serta nilai golongan kuat
(“moralitas tuan”) dengan keutamaan semacam kekuatan dan keberanian.

Pragmatisme atau eksperimentalisme merupakan gerakan philosophy Amerika yang


menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam
kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyaan “what is” harus dieliminir dengan “what for”.
Pragmatisme merupakan philosophy bertindak, mempertanyakan bagaimana konsekuensi
praktisnya dalam hidup manusia. Kaitannya dengan dunia pendidikan kejuruan, kaum
pragmatisme menghendaki pembagian persoalan teoritis dan praktis. Pengembangan teori
memberi bekal etik dan norma- tif, sedangkan praktik mempersiapkan tenaga profesional
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi teori dan praktis itu penting agar
pendidikan tidak melahirkan material- isme terselubung ketika terlalu menekankan pada hal
praktis. Juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian
yang terjadi berarti pendidikan dapat dikatakan disfungsi.

Humanisme adalah philosophy yang menegaskan harkat dan martabat manusia ditentukan


oleh kemampuannya untuk menentukan benar salah secara universal. Humanisme mendo-
rong moralitas universal berdasarkan komunalitas kondisi manusia, menganjurkan solusi sosial
kemasyarakatan dan masalah-masalah budaya secara konprehensip. Manusia sebagai mahluk
hidup lebih penting nilainya dari mahluk hidup lainnya. Kecerdasan spiritual sangat besar
pengaruhnya kepada kesuksesan hidup penuh makna bagi seseorang. Swami Prabhupada
menyatakan ada empat hal yang selalu membuat manusia sibuk. Kesibukan tersebut
berhubungan dengan masalah: (1) eating, (2) sleping, (3) mating, dan (4) depending. Disisi lain
binatang juga melakukan keempat hal ini. Lalu Prabhupada mempersoalkan apa bedanya
manusia dengan binatang?. Prabhupada menyatakan tanpa prinsip-prinsip kecerdasan spiritual
manusia adalah binatang berkaki dua berjalan paling tegak, paling buas melebihi harimau dan
singa.

Karakteristik Pendidikan Kejuruan adalah sebagai berikut :


1. Pendidikan kejuruan diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki lapangan
kerja

2. Pendidikan kejuruan didasarkan atas “demand-driven” (kebutuhan dunia kerja)


3. Fokus isi pendidikan kejuruan ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan,
sikap dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dunia kerja
4. Penilaian yang sesungguhnya terhadap kesuksesan siswa harus pada “hands-on” atau
performa dalam dunia kerja
5. Hubungan yang erat dengan dunia kerja merupakan kunci sukses pendidikan kejuruan
6. Pendidikan kejuruan yang baik adalah responsif dan antisipatif terhadap kemajuan
teknologi
7. Pendidikan kejuruan lebih ditekankan pada “learning by doing” dan “hands-on
experience”
8. Pendidikan kejuruan memerlukan fasilitas yang mutakhir untuk praktik 
9. Pendidikan kejuruan memerlukan biaya investasi dan operasional yang lebih besar
daripada pendidikan umum

Prinsip Pendidikan Kejuruan


      Prinsip-prinsip pendidikan kejuruan ada dua sumber yang membahas tentang prinsip PTK
ini. Yang pertama adalah Dr. Charles Allen Prosser (1871-1952) dalam bukunya “Vocational
Education in a Democracy”, dan Melvin L. Barlow dalam artikelnya Foundation of Vocational
Education dalam American Vocational Journal (1967).

a. Prinsip Pendidikan Kejuruan Menurut Dr. Charles Allen Prosser


Menurut Dr. Charles Allen Prosser (1871-1952), bahwa sekolah harus membantu para siswanya
untuk mendapatkan pekerjaan, mempertahankan pekerjaan tersebut dan terus maju dalam
karir. Dr. Charles Allen Prosser yakin bahwa harus ada sekolah vokasional untuk publik sebagai
alternatif terhadap sekolah umum yang sudah ada. Sekolahvokasional yang dimaksud adalah
sekolah yang menyediakan pelajaran untuk berbagai jenis pekerjaan yang ada di industri. Dr.
Charles Allen Prosser percaya bahwa pendidikan vokasional di jenjang sekolah menengah atas
akan mampu menjadikan para siswa lebih independen.
     Dr. Charles Allen Prosser adalah seorang praktisi dan akademisi Amerika Serikat yang sering
dianggap sebagai bapak pendidikan kejuruan, terutama di Amerika. Professor juga adalah
seorang guru Fisika dan Sejarah di New Albany High School dan mendapatkan gelar PhD dari
Columbia University. Di kalangan akademisi pendidikanvokasi dan kejuruan di Indonesia,
Prosser cukup dikenal sebagai penyusun 16 Prinsip Pendidikan Vokasi atau sering juga disebut
sebagai 16 Dalil Prosser:
  
1) Pendidikan kejuruan akan efisien jika lingkungan dimana siswa dilatih
merupakan replika lingkungan dimana nanti ia akan bekerja.
2) Pendidikan kejuruan yang efektif hanya dapat diberikan dimana tugas-tugas
latihan dilakukan dengan cara, alat dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan
di tempat kerja.
3) Pendidikan kejuruan akan efektif jika melatih seseorang dalam kebiasaan berpikir dan
bekerja seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri.
4) Pendidikan kejuruan akan efektif jika dapat memampukan setiap individu memodali
minatnya, pengetahuannya dan keterampilannya pada tingkat yang paling tinggi.
5) Pendidikan kejuruan yang efektif untuk setiap profesi, jabatan atau pekerjaan hanya dapat
diberikan kepada seseorang yang memerlukannya, yang menginginkannya dan yang
mendapat untung darinya.
6) Pendidikan kejuruan akan efektif jika pengalaman latihan untuk membentuk kebiasaan
kerja dan kebiasaan berpikir yang benar diulang-ulang sehingga sesuai seperti yang
diperlukan dalam pekerjaan nantinya.
7) Pendidikan kejuruan akan efektif jika gurunya telah mempunyai pengalaman yang sukses
dalam penerapan keterampilan dan pengetahuan pada operasi dan proses kerja yang akan
dilakukan.
8) Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang harus dipunyai oleh seseorang agar
dia tetap dapat bekerja pada jabatan tersebut.
9) Pendidikan kejuruan harus memperhatikan permintaan pasar.
10) Proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada siswa akan tercapai jika pelatihan diberikan
pada pekerjaan yang nyata (pengalaman sarat nilai).
11) Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi pelatihan pada suatu okupasi tertentu
adalah dari pengalaman para ahli okupasi tersebut.
12) Setiap pekerjaan mempunyai ciri-ciri isi (body of content) yang berbeda-beda antara satu
dengan yang lain.
13) Pendidikan kejuruan akan merupakan layanan sosial yang efisien jika sesuai dengan
kebutuhan seseorang yang memang memerlukan dan memang paling efektif jika
dilakukan lewat pengajaran kejuruan.
14) Pendidikan kejuruan akan efisien jika metode pengajaran yang digunakan dan hubungan
pribadi dengan peserta didik mempertimbangkan sifat-sifat peserta didik tersebut.
15) Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien jika luwes.
16) Pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu dan jika tidak terpenuhi maka pendidikan
kejuruan tidak boleh dipaksakan beroperasi.

b.  Prinsip Pendidikan Kejuruan Menurut Miller


     
Dalam kaitannya dengan prinsip pengajaran pendidikan kejuruan, Miller juga memberikan 8
prinsip sebagai berikut:
1. Kesadaran akan karir adalah bagian penting dalam pendidikan kejuruan khususnya  
pada proses awal pendidikan itu sendiri.
2. Pendidikan kejuruan merupakan pendikan yang menyeluruh dan merupakan bagian dari
masyarakat (public system).
3. Kurikulum dalam pendidikan kejuruan berdasarkan atas kebutuhan dunia kerja/ dunia
industry.
4. Jabatan atu pekerjaaan dalam kelompok/ keluarga sebagai salah satu pengembangan
kurikulum pendidikan kejuruan khususnya pada tingkat menengah.
5. Inovasi merupakan bagian yang sangat ditekankan dalam pendidikan kejuruan.
6. Seseorang dipersiapkan untuk dapat memasuki dunia kerja melalui pendidikan
kejuruan.
7. Keselamatan kerja merupakan unsure penting dalam pendidikan kejuruan.
8. Pengawasan dalam peningkatan pengalaman okupasi/ pekerjaan dapat dilakukan melalui
pendidikan kejuruan.

c.    Prinsip Pendidikan Menurut Melvin L. Barlow


Sedangkan menurut Melvin L. Barlow dalam artikelnya Foundation of Vocational
Education dalam American Vocational Journal (1967), menyampaikan pokok-pokok pikiran
tentang pendidikan vokasi atau kejuruan (vocational education). Ada 7 poin penting yang
dikemukakan, yaitu:
1) Vocational education is a national concern. Pendidikan vokasi adalah hal
penting yang merupakan concern atau kepedulian tingkat nasional.
2) Vocational education provides the common defense and promotes the general welfare.
Pendidikan vokasi yang efektif akan bermanfaat bagi pertahanan negera (seperti
dukungan pada saat kondisi perang), serta mendukung peningkatan kesejahteraan
ekonomi warga negara dan keluarganya.
3) Vocational preparation of youth and adults is a public school responsibility. Sekolah
publik memainkan peranan penting dalam menyiapkan generasi muda dan juga warga
dewasa untuk mempersiapkan pekerjaan mereka.
4) Vocational education requires a sound basic education. Pendidikan vokasi memerlukan
adanya fondasi dasar yang baik dan kuat dari jenjang sekolah sebelumnya agar dapat
sukses. Hal ini disebabkan makin tingginya teknologi yang diapakai di berbagai bidang
pekerjaan.
5) Vocational Education is planned and conducted in close cooperation with business and
industry. Hal ini adalah fondasi penting keberhasilan pendidikan vokasi, umumnya
melalui komite penasihat (advisory committee) yang terdiri dari kalangan bisnis dan
industri.
6) Vocational education provide the skills and knowledge valuable in the labor market.
Materi pembelajaran ditentukan berdasar analisis kebutuhan pasar kerja, dibutuhkan
juga studi penempatan dan tindak lanjut terhadap para lulusan agar diketahui
bagaimana hasil program diterima, dimanfaatkan  dan dimodifikasi di pasar kerja.
7) Vocational education provides continuing education for youth and adults.
Pendidikan vokasi tidak hanya ada di sekolah, tetapi juga harus ada di industri dan
berbagai program vokasiuntuk orang dewasa, hal ini berkontribusi nyata meningkatkan
tingkat intelegensia (industrial intelligence) tenaga kerja. Permasalahan dalam
pelatihan ulang (retraining) dan pembelajaran sepanjang hayat adalah elemen penting
yang membentuk pendidikan vokasi yang kuat

Sejarah Perkembangan Pendidikan Kejuruan di Indonesia


PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KEJURUAN DI INDONESIA
Pendidikan adalah usaha sistematis dan terorganisasi yang dilakukan oleh suatu badan dengan
tujuan tertentu. Badan itu bisa pemerintah, swasta, dan golongan agama. Tujuannya
tergantung pada pihak yang menyelenggarakannya. Bila penyelenggaraannya adalah pihak
agama, maka tujuannya utamanya adalah untuk menanamkan nilai-nilai agama, maka tujuan
utamanya adalah untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan dan menambah pengetahuan
tentang agama. Perkembangan pendidikan kejuruan di Indonesia dibagi menjadi dua periode:
Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan. Pada masa Pra-kemerdekaan, pendidikan kejuruan
di Indonesia dimulai dari gagasan Ratu Etika Politik Belanda (Etische Politiek) yang merupakan
bentuk pertanggungjawaban politik, Pemerintah Belanda ke Hindia Belanda (Indonesia) menuju
diberlakukannya Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada tahun 1830 dan Sistem Liberal pada
tahun 1870 dilaksanakan oleh pemerintah Belanda. Pendidikan kejuruan pertama adalah
Sekolah Pertukangan, yang merupakan sekolah yang digunakan untuk memajukan pertukangan
di Indonesia. Sekolah kejuruan berikutnya adalah sekolah kejuruan pertanian, yang merupakan
sekolah yang berkonsentrasi pada pendidikan pertanian praktis. Sekolah kejuruan teknis
kemudian dibangun di mana banyak keahlian dikembangkan seperti pengembangan
keterampilan, keahlian pertambangan, pendidikan pengemudi, dan lainnya.

1 .PENDIDIKAN KEJURUAN DI INDONESIA PRA KEMERDEKAAN

Sejarah singkat tentang sejarah pendidikan kejuruan dan proses pendidikan yang pada awalnya
didirikan oleh pemerintah Belanda dan kebangsaan Eropa hanya untuk Cina, tetapi akhirnya
dikembangkan untuk penduduk asli (Supriya: 2002). Sebagaimana dijelaskan Supriya (2002)
dalam bukunya History of Technical and Vocational Education di Indonesia, pada periode Paska
Kemerdekaan, pendidikan kejuruan dibagi menjadi tiga tahap: Pertama, tahun 1945 hingga
1968 yang merupakan periode setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan sebelum Pelita
(Pembangunan Lima Tahun) I. Pada periode ini, sebuah pendekatan terhadap pentingnya
pendidikan (pendekatan permintaan sosial) dimulai. Pendidikan vokasi dinilai mampu
menghasilkan lulusan yang dapat langsung bekerja namun kondisi fasilitas sekolah kejuruannya
kurang bagus. Pendidikan kejuruan diketahui bahwa masa itu STM dan SMEA menggunakan
pendekatan berdasarkan materi pelajaran (kurikulum 1964 SMK). Kedua, implementasi Pelita
tahun 1969/1970 hingga akhir Pelita VI pada 1997/1998. Pada saat itu pendekatan permintaan
tenaga kerja dilakukan secara terbatas, proses mencari bentuk yang tepat untuk pendidikan
teknisi industri. Pada saat itu, pertumbuhan ekonomi di Indonesia berada pada tingkat yang
baik dengan tingkat pertumbuhan 7% per tahun sehingga dibutuhkan banyak tenaga kerja
untuk mengisi lowongan di dunia kerja. Namun, pendidikan kejuruan hanya mampu mengisi
50% dari total kebutuhan. Keterlibatan industri dalam pendidikan kejuruan tidak secara resmi
dilembagakan. Pendidikan kejuruan pada waktu itu terdiri dari pendidikan kejuruan industri
(STMP, SMEA Pembina, 4 tahun SMTK), dan teknik interpreter (STM-BLPT, SMEA, SMKK).
Pendekatan Kebutuhan masyarakat juga digunakan (untuk sekolah yang belum direhabilitasi):
SMEA, SMKK, SMPS, SMM, SMIK, dan SMSR. Kebijakan baru juga diperkenalkan untuk
pengembangan pendidikan, yang disebut "Link and Match" yang dalam implementasinya
menggunakan Sistem Pendidikan Ganda di SMK. Ketiga, masa reformasi pada tahun 1998 yang
berlanjut dengan pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 2001 hingga sekarang. Selama
periode ini, momentum pertumbuhan pendidikan kejuruan kuantitatif meningkat dan
hubungan dengan industri lebih baik. Pemerintah sangat sadar akan pentingnya
pengembangan teknologi dan pendidikan kejuruan di Indonesia. Kita semuatahu bahwa
Indonesia memiliki potensi besar untuk tumbuh dan berkembang menjadi negara yang
makmur. Selain sumber daya alamnya yang kaya, Indonesia memiliki banyak tenaga kerja.
Untuk menjadikan potensi ini sebagai sumber daya pembaruan, diperlukan pendidikan yang
baik dan relevan. Demikian pula, Pelatihan Kejuruan diperlukan untuk meningkatkan
kompetensi pemuda Indonesia yang akan memasuki dunia kerja..

2. PENDIDIKAN KEJURUAN DI INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN


Pada zaman Belanda pendidikan teknik dan kejuruan tidak sepenuhnya diabaikan. Seperti
halnya dengan sistem umum, pendidikan tehnik dan kejuruan dibangun untuk memenuhi
kebutuhan yang pertama-tama dirasakan oleh masyarakat Eropa. Kekurangan akan tenaga
insinyur dan juru tehnik yang terampil mendorong pemerintahan Belanda untuk mendirikan
sekolahsekolah tehnik dan kejuruan di Pulau Jawa menjelang pergantian abad ke 19. Beberapa
sekolah tehnik didirikan selama dua dasawarsa pertama abad ke-20. Akhirnya, sebuah sekolah
tinggi tehnik (Technische Hogeschool) atau engineering college didirikan di Bandung pada
tahun 1919, sekarang ITB, terutama disebabkan oleh adanya kekurangan insiyur dari Delft,
Negara Belanda, yang merupakan sumber utama pendidikan tinggi tehnik di negeri itu. Putra
putri Indonesia tidak dilarang memasuki pendidikan tinggi teknik dan kejuruan tersebut,
namun sangat sedikit yang memilih untuk memasuki pendidikan tehnik dan kejuruan atau tidak
memenuhi kualifikasi yang ditentukan. Lebih dari itu, pendidikan tehnik dan kejuruan
mensyaratkan hal yang sama dengan gaya pendidikan Belanda yang ketat (Dutch style) , seperti
halnya dengan pendidikan akademik pada SLTP dan SLTA Belanda..

A. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KEJURUAN PADA ORDE LAMA

a. Sistem Pembangunan Dibidang Pendidikan


Sistem pendidikan guru di Indonesia mulai dibenahi secara fisik sejak 1950. Awal 1950, ketika
bentuk negara Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk membangun
kembali sistem pendidikan untuk seluruh wilayah Indonesia, harus diadakan persetujuan
kerjasama antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat dengan Pemerintah Republik
Indonesia. Piagam persetujuan ini ditandatangani oleh Drs. Mohamad Hatta selaku Perdana
Menteri RIS dan Dr. A. Halim selaku Perdana Menteri RI pada 19 Mei 1950. Ketentuan piagam
ini antara lain kedua pihak menyetujui pembentukan suatu panitia yang bertugas
menyelenggarakan pengajaran dan persetujuan untuk menyelesaikan kesukaran-kesukaran
diberbagai lapangan dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Berdasarkan persetujuan tersebut dibentuklah suatu panitia bersama dari Kementrian


Pendidikan, pengajaran, dan Kebudayaan RIS (PPK RIS) dan Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan RI (PPK RI). Hasil perundingan ini diumumkan tanggal 30 Juni 1950 dan
ditandatangani oleh Dr. J. Leimena selaku menteri PPK RIS dan S. Mangunsarkoro selaku
menteri PPK RI. Hasil perundingan berupa ketentuan mengenai susunan sekolah negeri.
Berdasarkan ketentuan . Berdasarkan ketentuan ini, perbedaan-perbedaan dalam sistem
persekolahan yang ada antara RI dan negara-negara bagian lainnya dari RIS ditiadakan, dan
semuanya memakai sistem persekolahan RI. Ketika seluruh wilayah Indonesia menjadi republik
Indonesia, maka penyeragaman sistem pendidikan di persekolahan seluruh Indonesia selesai
digarap.

b.Ekspansi Sistem Pendidikan Guru SD


Karena kekurangan tenaga guru dan keterbatasan kemampuan pemerintah untuk menambah
jumlah sekolah secara cepat, Kementrian PPK memutuskan untuk menyelenggarakan
pendidikan guru darurat, yaitu pendidikan guru singkat yang berlangsung selama 2 tahun
sesudah SD. Pendidikan ini disebut KPKPKB (Kursus Pengantar Ke Pelaksanaan Kewajiban
Belajar).

Ada 3 jenis bahan pelajaran yang dipersiapkan oleh Balai Kursus Tertulis, yaitu bahan pelajaran
unruk KP (Kursus Pengantar), bahan pelajaran untuk KGB (Kursus Guru B) dan bahan pelajaran
untuk KGA (Kursus Guru A). Para pengikut KP akan dipekerjakan sebagai guru darurat setelah
mengikuti kursus selama 2 tahun. Para pengikut KGB pada akhir masa kursus mendapatkan
ijazah setara dengan SGB. Lama kursus ini 1 tahun untuk para peserta tamatan SMP. Para
peserta KGA pada akhir masa kursus mendapatkan ijazah setara dengan SGA. Masa kurusus
untuk KGA adalah 3 tahun bagi para peserta kursus yang memiliki. Ijazah SMP waktu memulai
mengikuti kursus.

c.Ekspansi Sistem Pendidikan Guru Sekolah Menengah


Dalam periode 1950-1965 pemerintah RI melakukan rehabilitasi dan memperluas ekspansi
sistem pendidikan guru untuk sekolah menengah ini. Dahulu pemerintah Hindia Belanda
mengembangkan sistem “kursus MO” terjemahan dari istilah Cursus Voor Middlebaar Ondewijs
Akte yaitu kursus untuk memperoleh wewenang mengajar di pendidikan menengah.

Kedua langkah dasar ini adalah:


1.Menyelenggarakan kursus-kursus B-I (mulai 1950) dan kursus-kursus B-II (mulai 1954).
Peserta kursus ini adalah para guru yang sudah mengajar. Mereka mendapatkan tugas belajar
dari kementrian PPK untuk mengikuti kursus tersebut. Pada tahun ajaran 1954-1955 di
Indonesia terdapat 102 kursus B-I dan 3 kursus B-II.

2.Membuka lembaga pendidikan guru baru, yaitu dengan peresmian Perguruan Tinggi
Pendidikan Guru (PTPG) pada 20 Oktober oleh menteri PPK Prof. Mr. Moh Yamin. Tujuan
pendirian PTPG adalah melengkapi sekolah menengah dengan tenaga akademisi yang
berhubungan langsung dengan memperbanyak dan mempertinggi mutu sekolah lanjutan.

B. Perkembangan Pendidikan Kejuruan Pada Pelita I dan II

Orang-orang di Indonesia pada waktu itu memandang bahwa pendidikan dasar Eropa yang
baik merupakan suatu prestise sekaligus simbol bagi orang terdidik dan berbudi.
Pendidikan model Eropa memudahkan orang dalam mencari pekerjaan yang lebih menarik
danmenguntungkan dibadingkan dengan menjadi tenaga kerja kasar. Orang-orang
Indonesia dengan pendidikan formal, dengan beberapa kekecualian, memandang dirinya
dan juga dipandang oleh majikanmajikanya memiliki potensi untuk dilatih dan dipekerjakan
pada pemerintahan Belanda pada waktu itu.
Pemerintah pendudukan Jepang selama periode 1942-1945 melakukan sedikit perubahan
terhadap situasi tersebut. Selain lebih terbuka kesempatan bagi elit Indonesia untuk maju
dengan cepat guna mencapai posisi puncak pegawai sipil, pada batas-batas tertentu, juga
mereka dapat mencapai posisi manajerial pada perusahan-perusahaan komersial. Namun
persediaan akan tenaga kerja yang terlatih tinggi sebenarnya menurun pada waktu itu.
Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Dr.
Mohammad Hatta, wakil Presiden R.I, melakukan survei situasi dan menemukan bahwa dari
peluang sekitar 600 ahli hukum yang diperlukan hanya tersedia kurang lebih 100 orang, dan
bagi 1600 dokter yang dibutuhkan hanya tersedia kurang lebih 800 orang. Pemenuhan
kebutuhan tenaga ahli juga dirasakan lebih parah dalam bidang rekayasa, yaitu tenaga-
tenaga insinyur. Sjafruddin Prawirangera ditugaskan untuk menyediakan tenaga pegawai
sipil terlatih untuk pemertintah, namun hanya sedikit yang bisa dilakukan sebelum
pemerintahan RI dipaksa pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan perjuangan. Mesikipun
demikian perjuangan tidak mematahkan semangat untuk memecahkan masalah tenaga
kerja tinggat tinggi. Suatu universitas baru didirikan di istana Sultan Yogyakarta yang diberi
nama Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sejak awal kemerdekaan, pemerintah RI menunjukkan dengan jelas kesadaran akan
besarnya masalah pengembangan tenaga terlatih dan berusaha mencari solusinya melalui
pendidikan. Namun cara yangditempuh sebagian besar merupakan perluasan dari
lemabaga pendidikan zaman Belanda. Sistem pendidikan formal diperluas sepanjang
anggaran memungkinkan, dengan hanya sedikit perubahan pada organisasi dan kurikulum.
Pengembangan SDM meliputi banyak hal pokok dan unsur-unsur terkait. Hal ini mencakup
pendidikan formal pada semua tingkat. Selain itu juga mencakup pelatihan ditempat kerja
atau industri, pengembangan diri, pendidik orang dewasa, dan sebagainya. Strategi
pengembangan sumber daya manusia memerlukan integritas dari program-program yang
luas berdasarkan berbagai studi yang luas pula. Investasi dalam pendidikan sudah tentu
memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, dan sebaiknya pertumbukan
ekonomi akan memungkinkan adanya investasi dalam pengembangan pendidikan. Oleh
karena itu, pendidikan adalah benih dan bunga dari pengembangan ekonomi. Suatu studi
tentang pendidikan, tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi menunjukan adanya
keterkaitan yang erat antara perbandingan pendaftaran pelajar dan mahasiswa disemua
tingkat pendidikan dan GNP per kapita, namun faktor-faktor lainya juga berkaitan dengan
pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu reformasi pendidikan adalah strategik seperti
halnya peningkatan investasi dalam pendidikan untuk peningkatan pengembangan
ekonomi dan sosial.
Kunci dari strategi pengembangan SDM yang efektif adalah adanya kesinambungan dari
berbagai program pokok. Keseimbangan yang tepat antara kuantitas dan kualitas pada
pendidikan di semua tingkat harus dipecahkan dengan baik, relevan dan tepat, karena
kuantitas dan kualitas sulit ditingkatkan pada waktu yang sama dan dengan tingkat
kecepatan yang sama. Analisis dari berbagai kebijakan alternatif SDM merupakan hal yang
penting dalam rencana pengembangan ekonomi yang baik.

C. Perkembangan Pendidikan Kejuruan Pada Pelita III

Pelita III merupakan periode yang digunakan oleh pemerintah untuk mulai meletakkan
dasar-dasar guna memasuki tahap industrialisasi. Prioritas pembangunan pada saat itu
diletakkan pada pendidikan dasar dan pendidikan kejuruan teknik pada semua tingkatan.
Unsur penting lainnya yang menjadi perhatian khusus adalah masalah guru pendidikan
kejuruan yang saat itu baru mencapai 12.750 orang, termasuk di dalamnya 3.750 orang
yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya, sehingga jumlah guru yang efektif
hanya 9.000 orang. Padahal kebutuhan riil akan guru pada saat itu sebanyak 24.000 orang.
Hal ini berarti jumlah guru yan tersedia hanya 37% dari kebutuhan.
Dari 3.750 orang guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya, masih dapat
difungsikan sebanyak 2.000 orang guru melalui program penataran penyesuaian. Sampai
dengan tahun 1979/1980, baru sekitar 4.000 orang guru yang efektif pernah mengikuti
program penataran. Diperkiraan terdapat sekitar 1.000 orang guru yang melakukan
pengembangan dengan usaha sendiri (self-development). Jadi jumlah kekurangan guru
masih 13.500 orang. Pada waktu itu juga diidentifikasi bahwa pengadaan, pengangkatan,
penempatan, peningkatan mutu dan pembinaan karier guru belum terpadu dalam satu
sistem. Jadi, disamping masalah jumlah guru kejuruan yang masih kurang, terdapat
masalah - masalah yang lebih mendasar berkenaan dengan guru kejuruan, antara lain dapat
dikemukakan berikut ini:
Pertama, profesi guru kejuruan pada saat itu kurang menarik, sehingga terdapat
kecenderungan perpindahan guru - guru kejuruan yang bermutu baik ke dunia usaha dan
industri. Keadaan seperti itu terutama disebabkan gaji guru kejuruan relatif jauh lebih kecil
biladibandingkan dengan pendapatan apabila mereka menjadi tenaga profesi kejuruan di
dunia usaha atau di dunia industri.
Kedua, program pendidikan untuk guru kejuruan yang ada saat itu belum sepenuhnya
berorientasi kepada penyediaan tenaga guru kejuruan yang profesional. Di samping mutu
yang rendah dan sikap mental mereka yang kurang mendukung, juga masih banyak bidang
spesialisasi guru kejuruan yang belum ada program pendidikannya di LPTK untuk
memenuhi kebutuhan guru bidang spesialisasi tersebut. Status kesarjanaan yang mereka
peroleh setelah tamat dari LPTK sering memberikan efek sosial-piskokultural yang
membuat mereka enggan mengajar mata pelajaran keterampilan kejuruan ang bersifat
blue collar job (pekerjaan kasar). Kenyataan menunjukkan pada waktu itu bahwa mnejadi
guru kejuruan merupakan pelarian terakhir. Apabila seorang lulusan lembaga pendidikan
tenaga kependidikan tidak diterima untuk menjadi tenaga profesional di dunia
usaha/industri, barulah mereka mau menjadi guru di sekolah kejuruan.
Ketiga, mekanisme pengangkatan dan pembinaan karier guru kejuruan yang berlaku saat
itu lebih menitikberatkan pada persyaratan administratif. Pembinaan terhadap mereka pun
dilakukan oleh petugaspetugas administratif dan kurang melibatkan sekolah sebagai
pemakai atau melibatkan pejabat teknis lainnya yang menguasai bidangnya. Kenyataan
yang timbul dari mekanisme ini ialah banyaknya guru sekolah kejuruan yang
kemampuannya tidak sesuai dengan keperluan sekolah yang bersangkutan, sementara
sekolah tidak dapat berbuat apapun terhadap masalah tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah guru kejuruan dengan segala
aspeknya harus segera dicarikan jalan pemecahannya secara konsepsional. Pemecahan
tersebut meliputi pengadaan, peningkatan, dan pengembangan guru kejuruan,
terutamadiarahkan untuk mengatasi kebutuhan dalam jangka pendek dan bagaimana caranya agar
kekurangan guru tersebut dapat diatasi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Usaha pemecahan
masalah tersebut tidak mudah dilaksanakan melalui LPTK yang ada, bukan saja karena masalah
jumlah, tetapi juga jenis dan spesifikasi guru kejuruan yang beraneka ragam.

D. Perkembangan Pendidikan Kejuruan Pada Pelita IV

Secara umum hasil yang dicapai di bidang pendidikan menengah kejuruan sampai dengan
akhir Pelita IV diuraikan berikut ini.
1. Siswa
Peranan siswa sangatlah besar dalam kelanjutan usaha pengembangan sistem
pendidikan menengah kejuruan dan teknologi yang mencakup sistem pendidikan,
pengembangan jenis, bagian dan jurusan sekolah yang disesuaikan dengan kebutuhan
pembangunan dengan penekanan pada aspek-aspek yang memberikan kemungkinan
perluasan kesempatan kerja dan peningkatan produksi. Selama Pelita III, siswa SLTP
kejuruan dan teknologi berjumlah sekitar 80.284, sedangkan jumlah siswa SLTA
kejuruan dan teknologi sekitar 538.323. Peningkatan daya tamping siswa ditempuh
antara lain melalui penyelenggaraan sekolah Double-shift dan peningkatan jumlah
siswa perkelas.

2. Guru
Pengadaan dan peningkatan mutu guru khususnya guru kejuruan, merupakan prioritas
utama sebagaimana dikemukakan berikut ini.

a. Guru Pendidikan Teknologi Industri dan Pertanian


b. Pengadaan dan Peningkatan Mutu Guru SMEA
c. Peningkatan Mutu Guru Bidang Kerumahtanggaan dan Kejuruan Kemasyarakatan
d. Pengadaan Guru Kesenian dan Industri Kerajinan.

E. Perkembangan Pendidikan Menengah Kejuruan Pada Pelita V

Pada tahun 1988, rencana serta program-program telah tampak


tersusun rapi dalam konteks upaya menyediakan tenaga terampil pada
jenjang menengah. Telah tergambar bagaimana kaitan tingkat
kemahiraan yang selayaknya ada berdasarkan piramida ketenagaan
yang lazim berlaku dalam dunia kerja. Bahkan secara kuantitatif juga
sudah diupayakan target jumlah tenaga yang harus dihasilkan tahun
demi tahun dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia.
Pengelompokan ke dalam bidang-bidang garapan juga sudah terbentuk;
ada kelompok Teknik, Pertanian, Kerajinan dan Kesenian. Bidangbidang lainnya yaitu
perdagangan, administrasi perkantoran, boga,
busana, pariwisata, dan sebagainya dikelompokkan dalam satu wadah
yang menggunakan nama “Kejuruan” – tentu dalam pengertian yang
lebih sempit dari istilah “kejuruan” yang mencakup semuanya.
1. Program Pengembangan Pada Faktor Lembaga, Siswa, Dan
Ketenagaan
Dalam kurun waktu 1988-1992, telah terjadi penambahan lembaga
sekolah menengah kejuruan, peresmian 4 PPPG, penambahan jumlah
siswa pada SMK dan tenaga pengelolaan pendidikan.
2. Program Ikatan Kerjasama Dengan Luar Negeri
Upaya peningkatan pembinaan terhadap pendidikan menengah
kejuruan juga melibatkan kerjasama bilateral dengan negara-negara
lain. Bentuk kerjasama yang telah dijalin di antaranya dengan TAFE
Australia Selatan, Northen Territory Australia dan Pemerintah
Kanada.
3. Program Kerjasama Dengan Dunia Usaha/Industri Dalam Negeri
Beberapa contoh bentuk kerjasama yang telah terwujud antara pendidikan menengah
kejuruan dengan pihak dunia usaha/ industri dalam negeri dapat dilaporkan sebagai
berikut:
• PT IPTN dengan ruang lingkup kerjsama pemanfaatan fasilitas pra PT IPTN untuk
praktik kerja lapangan dan pelatihan guru.
• PT PAL Surabaya dengan ruang lingkup kerjasama dalam kegiatan proses belajar-
mengajar, pemanfaatan fasilitas PT PAL untuk kegiatan praktik, bantuan biaya
operasional praktik, dan sumbangan SPP.
• PT Pupuk Kaltim di Bontang dengan ruang lingkup kerjasama dalam kegiatan proses
belajar-mengajar, bantuan pembangunan gedung dan peralatan.
• PT Telkom dengan ruang lingkup kerjasama pemanfaatan fasilitas PT Telkom untuk
praktik kerja lapangan siswa dan pelatihan bagi guru.
• PT Toyota Astra dengan ruang lingkup kerjasama kegiatan bantuan peralatan praktik
kerja lapangan siswa dan pelatihan guru. •
PT Federal Motor, dengan ruang lingkup kegiatan bantuan peralatan praktik kerja dan
bahan ajaran program studi mekanik automotif.
• PT Hotel Indonesia dengan ruang lingkup kegiatan peningkatan mutu keterampilan
akomodasi perhotelan dan jasa boga pada SMTK.

F. Perkembangan Pendidikan Kejuruan Pelita VI

Peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah amanat penting GBIIN 1993, bahkan
menjadi titik berat Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) yang mengiringi
pembangunan ekonomi.
Pendidikan PJP mencakup rentang waktu 25 tahun atau lima Repelita. PJP I berlangsung
mulai Pelita I (1969/1970-1973/1974) sampai dengan Pelita V (1988/1989-1993/1994). PJP
II dimulai sejak Pelita VI (1993/1994-1997/1998) yang saat itu direncanakan untuk sampai
Repelita X (2017/2018). Akan tetapi pada tahun 1998 terjadigerakan reformasi yang
menyebabkan pendekatan pembangunan berdasarkan babak-babak lima tahunan terhenti,
sehingga pada sekitar tahun 1990-an dikenal dengan istilah “pembangunan nasional tanpa
Repelita”.
Program pendidikan kejuruan yang dirumuskan dalam Kurikulum 1994 (yang disiapkan
pada Pelita V) masih merupakan produk dari konsep seperti tersebut di atas, yaitu
cenderung bersifat “supply-driven” dan “school-based program”. Sekalipun penyususnan
Kurikulum 1994 telah melalui proses validasi sebagai implementasi prinsip relevansi, pihak
yang menyusun kurikulum tersebut adalah para pakar pendidikan yang masih berasal dari
lingkungan Depdikbud sendiri, termasuk di dalamnya dari kalangan perguruan tinggi dan
sekolah-sekolah. Pada tingkatan implementasi kurikulum di sekolah, sekalipun telah
dialokasikan satu catur wulan (cawu) untuk kegiatan praktik kerja lapangan, program
praktik tersebut disusun oleh sekolah dan pelaksanaannya dititipkan tanpa pengawasanke
lapangan kerja. Akibatnya, selain program praktik itu sendiri tidak cukup terkait dengan
lapangan, juga para siswa tidak cukup mendapatkan manfaat dari praktik lapangan yang
dijalaninya.
Beberapa permasalahan yang dapat diangkat dari Kurikulum 1994 untuk SMK adalah:
• Program pendidikan cenderung berorientasi pada pengajaran matamata pelajaran, dan
tidak terfokus pada pencapaian kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
• Penjurusan yang dimulai dari awal (tahun pertama) kurang memberikan dasar yang kuat
dan bekal dasar yang memadai kepada para siswa untuk secara luwes (fleksibel)
menghadapi perkembangan di masa mendatang.
• Muatan program yang merupakan kompetensi-kompetensi kunci (key competences) menghadapi
perkembangan di masa mendatang belum memadai. Misalnya jam pelajaran Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam masih sedikit (bahkan ada yang berakhir di kelas II). Muatan untuk kemampuan
berkomunikasi, bekerjasama, dan menggunakan informasi juga masih belum terprogram dengan
jelas. • Jumlah jam pelajaran per minggu (yakni 42 jam pelajaran = 31,5 jam @ 60 menit) belum
merupakan jam yang membiasakan siswa memasuki jam kerja dunia industri.

A. Era Reformasi
Sejak kemerdekaan hingga sekarang, pendidikan teknik dan kejuruan berkembang pesat.
Pemerintah sendiri saat ini sedang menggalakkan peran SMK yang lebih diminati masyarakat
karena berorientasi pada pekerjaan.Kebijakan pemerintah antara lain sesuai rencana Strategis
(Renstra) Depdiknas 2005-2009 dinyatakan bahwa rasio pendidikan menengah kejuruan dan
pendidikan menengah umum ditargetkan sebesar 50:50 pada tahun 2010 dan 70:30 pada tahun
2015. Kebijakan ini diharapkan dapat memecahkan salah satu permasalahan pengangguran.
Peningkatan pendidikan kejuruan bertujuan menyiapkan tenaga terampil untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja sesuai dengan tuntutan dunia industri.
 
Kebijakan ini dilandasi dengan semakin meningkatnya angka pengangguran serta semakin
terbukanya sektor-sektor formal dan informal yang membutuhkan tenaga kerja menengah yang
berkualitas.Karena berhadapan langsung dengan dunia kerja. Proporsi jumlah SMK 70%, SMA
30% dinegeri ini sepertinya cocok jika dikaitkan kemampuan melanjutkan pendidikan ke yang
lebih tinggi. Konsekuensinya adalah dunia kerja yg akan menampung lulusan SMK harus siap
meskipun untuk memasukinya lulusan SMK perlu masih perlu dilatih.

REFERENSI
 https://educhannel.id/blog/artikel/landasan-filosofis-pendidikan-kejuruan.html
 http://smk.kemdikbud.go.id/konten/1869/konsep-pembelajaran-di-sekolah-menengah-
kejuruan
 Adriyanto, Mohamad, 2011,”16 Prinsip Pendidikan Vokasional dari
Prosser”http://1ptk.blogspot.com/2011/11/prinsip-pendidikan-vokasional-dari.html
 Blog, Ayomy, Octo,2012, “Filsafat Dan Arah Pendidikan Teknologi
Kejuruan”,http://1octo.wordpress.com/2012/07/17/filsafat-dan-arah-pendidikan-
teknologi-kejuruan/
 Kusuma, Sunaryo, Wowo,2013,”Filasafat Pendidikan Teknologi, Vokasi, dan Kejuruan”, Bandung,
Alfabeta
 M. A. Ramadhan., & Sulaeman D. R. (2013). Vocational Education Perspective On Curriculum
2013 And Its Role In Indonesia Economic Development. 124
 Supriya. 2002. History of Technical and Vocational Education in Indonesia. Singapore: University
of Singapore.
 Kemendikbud. 2015. SMK Dari Masa ke Masa. Senayan: Kemendikbud
 https://fatkhan.web.id/perkembangan-pendidikan-kejuruan-di-indonesia/
 https://paksejarah.blogspot.com/2011/04/perkembangan-pendidikan-guru-pada-masa.html

You might also like