You are on page 1of 8

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit
yang menjadi masalah di seluruh dunia dimana prevalensi, morbiditas, dan
mortalitasnya semakin meningkat dalam setiap tahunnya. Peningkatan ini
berbanding lurus dengan semakin tingginya prevalensi merokok berbagai
negara, polusi udara dan bahan bakar biomasi lainnya yang menjadi faktor
risiko utama PPOK. Jika hal ini tidak mendapatkan perhatian yang cukup
serius bukan tidak mungkin dikemudian hari PPOK akan sangat mengancam
kesehatan penduduk dunia.

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama
dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk suatu
kesatuan yang dikenal dengan PPOK adalah: Bronkhitis kronis, Emfisema
paru-paru dan asthma bronchialen (Smeltzer, 2011).

PPOK merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang
telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia saat ini, tidak hanya bagi
negara maju namun juga bagi negara berkembang seperti Indonesia. Hal
tersebut disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin
tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga
berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok
khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam
ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja. (Departemen
Kesehatan [Depkes], 2008). Sehingga PPOK tidak hanya menimbulkan
masalah dibidang pelayanan kesehatan, namun juga dapat memiliki dampak
yang cukup besar di bidang perekonomian.

1
2

Berdasarkan data badan kesehatan dunia (WHO) menunjukkan bahwa pada


tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama
kematian di dunia. Pada tahun 2002 PPOK adalah penyebab utama ke-5 di
dunia setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker, pada tahun 2005
sebanyak 210 juta orang menderita PPOK dan hampir 3 juta orang
meninggal akibat PPOK. Sedangkan data WHO 2012, jumlah penderita
PPOK mencapai 274 juta jiwa, dan setengah dari angka tersebut terjadi di
negara berkembang, termasuk negara indonesia. Tanpa disadari, angka
kematian akibat PPOK semakin meningkat. Adapun catatan laporan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam World Report pada tahun 2012
menyebutkan, lima penyakit paru utama merupakan 17,4% dari seluruh
kematian di dunia, masing-masing infeksi paru 7,2%, PPOK 4,8%,
teberkulosis 3,0%, kanker paru/trakea/bronkus 2,1%, dan asma 0,3%.
Kemudian pada tahun 2015World Health Organization (WHO) melaporkan
terdapat 600 juta orang menderita PPOK di dunia dengan 65 juta orang
menderita PPOK derajat sedang hingga berat. Dan diperkirakan menjadi
penyebab utama ketiga kematian di seluruh dunia tahun 2030. Termuat dalam
<http://scholar.unand.ac.id/BAB 1.pdf.> (Diakses tanggal 14 November 2016).

Angka kejadian PPOK di Indonesia menempati urutan kelima tertinggi di


dunia yaitu 7,8 juta jiwa. Jumlah penderita PPOK meningkat akibat faktor
genetik, pola hidup yang tidak sehat, asap rokok dan polusi udara.
Prevelensi PPOK di indonesia angka tertinggi terdapat di Nusa Tenggara
Timur (10,0%), di ikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat dan
Selatan masing-masing (6,7%), Gorontalo (5,2%), Nusa Tenggara Barat
(5,4%), dan provinsi Kalimantan Selatan menempati urutan ke-6 (5,0%),
kemudian Kalimantan Tengah (4,3%), Kalimantan Barat (3,5%), dan
provinsi Kalimantan Timur (2,8%) (Riskesdas, 2013).
3

Menurut data RSUD Dr. H. Moch. Ansari saleh Banjarmasin tahun 2013
kunjungan pasien PPOK ke poliklinik paru berjumlah 255 pasien, tahun
2014 berjumlah 533 pasien, kemudian pada tahun 2015 jumlah kunjungan
pasien PPOK meningkat tajam menjadi 1355 pasien, dan pada tahun 2016
kembali meningkat menjadi 1599 pasien. Peningkatan ini kemungkinan
dipengaruhi oleh banyak faktor yang menjadi pendukung pasien menderita
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

Faktor paparan lingkungan dan faktor host merupakan faktor resiko utama
berkembangnya penyakit ini, faktor yang berhubungan dengan paparan
lingkungan misalnya merokok, pekerjaan, polusi udara dan infeksi.
Sedangkan faktor yang berasal dari host/pasien yaitu usia, jenis kelamin,
adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi, dan predisposisi genetik
(Ikawati, 2016).

Penyakit paru obstuktif kronik merupakan salah satu dari kelompok


penyakit yang tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat dunia saat ini, tidak hanya bagi negara maju namun juga bagi
indonesia sebagai negara berkembang (Depkes, 2008).

Pasien dengan PPOK menunjukkan kelemahan untuk bernapas, mereka


yang menderita PPOK akan menanggung akibat dari kurangnya oksigen.
Penurunan kadar oksigen dalam sirkulasi dan jaringan tubuh, menempatkan
pasien pada risiko tinggi terhadap beberapa kondisi serius lainnya. Akhir-
akhir ini PPOK diketahui juga memiliki efek sistemik dengan manifestasi
ekstra paru. Komplikasi sistemik PPOK terdiri dari peradangan sistemik,
penurunan berat badan, gangguan muskuloskeletal, gangguan
kardiovaskular, gangguan hematologi, neurologi dan psikiatri (Fahri et al,
2008; Attaran et al, 2009).
4

Menurut Kamuskesehatan. Com, PPOK merupakan penyebab utama


kematian diseluruh dunia. Kebanyakan PPOK disebabkan oleh perokok
dalam jangka panjang dan dapat dicegah dengan tidak merokok. Kerusakan
paru-paru ini tidak dapat disembuhkan, sehingga pengobatan terfokus pada
pengendalian gejala dan meminimalkan kerusakan lebih lanjut.
Keterbatasan aliran udara hanya sedikit dapat dibantu dengan bronkodilator.
Namun, hal yang teramat penting dalam penanganan PPOK adalah deteksi
dini dan pencegahan. Menghindari faktor-faktor pencetus PPOK seperti
rokok dan zat-zat pencemar lebih penting dan harus dilakukan sejak awal.
(Abata, 2014)

Adapun tanda dan gejala yang sering dialami oleh penderita PPOK yaitu
batuk berdahak, mengi, sesak napas pada aktivitas yang mengeluarkan
tenaga terlalu berat. Untuk dapat menghindari kekambuhan PPOK, maka
pemahaman tentang penyakit dan cara mencegah kekambuhan PPOK
menjadi dasar yang sangat penting bagi seseorang khususnya penderita
PPOK. Kekambuhan dapat terukur dengan meliputi skala sesak berdasarkan
skala MMRC (Modified Medical Research Counci). Untuk mengeluarkan
dahak dan memperlancar jalan pernapasan pada penderita PPOK dapat
dilakukan dengan cara batuk efektif.

Batuk efektif merupakan batuk yang dilakukan dengan sengaja. Namun


dibandingkan dengan batuk biasa yang bersifat refleks tubuh terhadap
masuknya benda asing dalam saluran pernapasan, batuk efektif dilakukan
melalui gerakan yang terencana atau dilatihkan terlebih dahulu. Dengan
batuk efektif maka berbagai penghalang yang menghambat atau menutup
saluran pernafasan dapat dihilangkan. Batuk efektif adalah suatu metode
batuk dengan benar, dimana pasien dapat menghemat energi sehingga tidak
mudah lelah mengeluarkan dahak secara maksimal. Gerakan ini pula yang
kemudian dimanfaatkan kalangan medis sebagai terapi untuk
5

menghilangkan lendir yang menyumbat saluran pernapasan akibat sejumlah


penyakit (Apriyadi, 2013).

Batuk efektif yang baik dan benar akan dapat mempercepat pengeluaran
dahak pada pasien dengan gangguan saluran pernapasan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) (Nugroho, 2011). Batuk efektif penting untuk
menghilangkan gangguan pernapasan dan menjaga paru-paru agar tetap
bersih. Batuk efektif dapat diberikan pada pasien dengan cara memberikan
posisi yang sesuai agar pengeluaran dahak dapat lancar.

Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 28 desember 2016 dengan 7


pasien PPOK yang mengunjungi poliklinik paru RSUD Dr. H. Moch. Ansari
Saleh Banjarmasin, yang di ukur menggunakan derajat sesak napas menurut
Modified Medical Research Council (MMRC) 4 orang pasien mengatakan
jika sesak sering kambuh terutama ketika berjalan 100 meter atau setelah
beberapa menit yang dikategorikan derajat 3, kemudian pasien juga
mengatakan sering batuk berdahak. Dan 3 orang pasien mengatakan jika
sesak kambuh ketika sedang berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat yang
dikategorikn derajat 1.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan


penelitian tentang pengaruh batuk efektif terhadap perubahan derajat sesak
napas pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat
dirumuskan pertanyaan masalah yang merupakan fokus dalam penelitian ini
“Apakah ada pengaruh batuk efektif terhadap perubahan derajat sesak
napas pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) di poliklinik
paru RSUD DR. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin?”.
6

1.3 Tujuan Peneletian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh batuk efektif terhadap perubahan
derajat sesak napas pada pasien penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) di poliklinik paru RSUD Dr. H. Moch Ansari Saleh
Banjarmasin.

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Mengidentifikasi derajat sesak napas sebelum diberikan
batuk efektif pada pasien penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) di poliklinik paru RSUD Dr. H. Moch Ansari Saleh
Banjarmasin.
1.3.2.2 Mengidentifikasi derajat sesak napas sesudah diberikan
batuk efektif pada pasien penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) di poliklinik paru Dr. H. Moch Ansari Saleh
Banjarmasin.
1.3.2.2 Menganalisis perbedaan sebelum dan sesudah diberikan
batuk efektif terhadap perubahan derajat sesak napas pada
pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) di poliklinik
paru RSUD Dr. H. Moch Ansari Saleh Banjarmasin.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin
Alternatif yang dapat digunakan sebagai intervensi mandiri dalam
penatalaksanaan pasien PPOK untuk membantu menurunkan derajat
sesak napas melalui batuk efektif.

1.4.2 Bagi Perguruan Tinggi


Memberikan sumbangan bacaan guna menambah wawasan bagi
mahasiswa-mahasiswi keperawatan di Universitas Muhammadiyah
Banjarmasin, yang tertarik dengan penelitian serupa.
7

1.4.3 Bagi Bidang Keperawatan


Bahan pengembangan ilmu keperawatan dan menjadi bahan
referensi bagi perawat dalam memberikan pendidikan.

1.4.4 Bagi Peneliti Selanjutnya


Mengembangkan penelitian ini dengan menambah jumlah sampel
dan variabel lain yang di teliti, sehingga dapat diraih hasil yang lebih
luas dan lebih bervariatif. Terutama bagi peneliti selanjutnya agar
meneliti variabel lain yang dapat menurunkan derajat sesak napas
pada pasien PPOK.

1.5 Penelitian Terkait


1.5.1 Sri Hartini, Durrotun Na’imah, Jurnal Keperawatan dan Kesehatan
Masyarakat STIKES Cendikia Utama Kudus, Volume 2, Nomor 2,
Maret 2014. “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Teknik
Relaksasi Napas Dalam Dan Batuk Efektif Pada Pasien Pasca
Operasi Dengan Anestesi Umum Di RSUD RAA Soewondo Pati”.

Penelitian ini menggunakan metode pra-eksperiment menggunakan


rancangan one group pretes postes design dengan sampel pasien
yang dilakukan operasi dengan anestesi umum di RSUD RAA
Soewondo pati pada bulan Juni-Agustus 2011 yang berjumlah 32
pasien. Adapun pengambilan sampel dengan teknik Acidental
sampling. Hasil penelitian ini didapatkan ada pengaruh pendidikan
kesehatan terhadap teknik relaksasi nafas dalam dan batuk efektif
pada pasien pasca operasi dengan anestesi umum di RSUD RAA
Soewondo Pati. Sri Hartini dan Durrotun Na’imah.

Perbedaan penelitian yang akan diteliti adalah pada variabel


independen yaitu pada pasien pasca operasi dengan anestesi
sedangkan penelitian yang selanjutnya adalah pada pasien penyakit
8

paru obstruktif kronik (PPOK). Tempat penelitian sebelumnya di


RSUD RAA Soewondo Pati. Penelitian selanjutnya akan dilakukan
di RSUD Dr. H. Moch Ansari Saleh Banjarmasin. Populasi
penelitian sebelumnya 32 responden sedangkan penelitian
selanjutnya 20 sampel.

1.5.2 Ayu Kurnia Vidianny (2012) Universitas Jember, Pengaruh Batuk


Efektif Dan Napas Dalam Terhadap Kolonisasi Staphylococcus
Aureus Dalam Sekret Pasien Post Operasi Dengan General
Aenesthesia Di RSUD Dr. Soebandi Jember. Penelitian ini
menggunakan metode quasy posttest only experimental design
dengan non-equivalent control group design yang berjumlah 20
pasien. Adapun pengambilan sampel dengan teknik Independent T-
tes. Hasil penelitian ini didapatkan ada pengaruh batuk efektif dan
napas dalam terhadap kolonisasi staphylococcus aureus dalam sekret
pasien post operasi dengan general aenesthesia di RSD dr. Soebandi
Jember.

Perbedaan penelitian yang akan diteliti adalah pada variabel


independen yaitu pada pasien post operasi dengan general
aenesthesia sedangkan penelitian yang selanjutnya adalah pada
pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Tempat penelitian
sebelumnya di RSUD Dr. Soebandi Jember. Penelitian selanjutnya
akan dilakukan di RSUD Dr. H. Moch Ansari Saleh Banjarmasin.
Populasi penelitian sebelumnya 20 responden sedangkan penelitian
selanjutnya 20 sampel.

You might also like