You are on page 1of 26

GUD REACHT HAYAT PADJE

1
BAB I
SEJARAH, KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

A. Sejarah Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu termasuk rumpun Bahasa
Austronesia yang telah digunakan sebagai lingua franca di Nusantara sejak
abad-abad awal penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk informalnya.
Bentuk bahasa sehari- hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu pasar.
Jenis ini sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan
toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari
berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya.
Selain Melayu pasar terdapat pula istilah Melayu tinggi. Pada masa lalu
bahasa Melayu tinggi digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar
Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena
penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif bahasa
Melayu pasar. Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan
Melayu pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda berusaha
meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu tinggi, di antaranya
dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu tinggi oleh Balai Pustaka.
Tetapi bahasa Melayu pasar sudah terlanjur diambil oleh banyak pedagang yang
melewati Indonesia.
Penamaan istilah “bahasa Melayu” telah dilakukan pada masa sekitar 683-
686 M., yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa
Melayu kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan
aksara Pallawa atas perintah raja Kerajaan Sriwijaya, kerajaan maritim yang
berjaya pada abad ke-7 dan ke-8. Wangsa Syailendra juga meninggalkan
beberapa prasasti Melayu kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang
ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan
Sriwijaya.
Awal penamaan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari
Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres
Nasional Kedua di Jakarta, di canangkanlah penggunaan bahasa Indonesia
sebagai bahasa untuk negara Indonesia pasca-kemerdekaan. Soekarno tidak
memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada
saat itu), namun beliau memilih bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari
bahasa Melayu yang di tuturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan negara Republik
Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1. Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik
Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak
(golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
2. Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa
Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang digunakan
untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila

1
pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat me - nimbulkan kesan
negatif yang lebih besar.
3. Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan bahasa Melayu Pontianak,
Banjarmasin, Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan
pertimbangan: Pertama, suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang
terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua,
sebagai lingua franca, bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena
pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari
bahasa lainnya.
4. Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada
1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia yaitu Malaysia,
Brunei, dan Singapura. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu
sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti
Malaysia, Brunei, dan Singa pura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan
nasionalisme negara- negara jiran di Asia Tenggara.
Dengan memilih bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu
seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan
tujuan persatuan dan ke bangsaan. Bahasa Indonesia yang telah dipilih ini
kemudian dibakukan lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga
diciptakan. Hal ini telah dilakukan pada zaman penjajahan Jepang.
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, antara lain
menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa melayu. Bahasa
Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman
dahulu sudah digunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan
hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia
Tenggara
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7.
Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan
Bukit, berangka 683 M. (Palembang); Talang Tuwo, berangka 684 M.
(Palembang); Kota Kapur, berangka 686 M. (Bangka Barat); dan Karang Brahi,
berangka 688 M. (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa
Melayu kuno. Bahasa Melayu kuno itu tidak hanya dipakai pada zaman
Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka
tahun 832 M. dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M., yang
juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan,
yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai
sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa
perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai
bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar
Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama
Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa
yang bernama Koen-luen (I-Tsing, 63:159), Kou-luen (I-Tsing, 183), Koen- luen
(Ferrand, 1919), Kw'enlun (Alisjahbana, 1971:1089), Kun’lun (Parnikel, 1977:91),

2
Kun’ lun (Prentice, 1 0 7 8 :1 9 ), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang
dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan
Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari
peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis seperti tulisan pada
batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka 1380 M., maupun hasil susastra
(abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-raja Pasai,
Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan
menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah
diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau,
antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa
Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin
berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang
dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipe-ngaruhi
oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai
bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, Persia, Arab, dan bahasa-bahasa
Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai
variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara memengaruhi dan
mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia.
Komunikasi antar-perkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan
bahasa Melayu. Pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkurnpulan
pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia,
yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia. (Sumpah
Pemuda, 28 Oktober 1928)
Peristiwa-peristiwa penting berkaitan dengan perkembangan bahasa
Indonesia di antaranya:
1. Pada tahun 1901, disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. A. Van
Ophuijsen dan dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
2. Pada tahun 1908, pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit buku-
buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman
Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 ia diubah menjadi Balai
Pustaka. Balai itu menerbitkan buku- buku novel seperti Siti Nurbaya dan
Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun
memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa
Melayu di kalangan masyarakat luas.
3. Pada 28 Oktober 1928 merupakan saat-saat yang paling menentukan dalam
perkem-bangan bahasa Indonesia karena pada tanggal itulah para pemuda
pilihan mamancangkan tonggak yang kukuh untuk perjalanan bahasa
Indonesia.
4. Pada tahun 1933, secara resmi berdirilah sebuah angkatan sastrawan muda
yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan
Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan.

3
5. Pada tarikh 25-28 Juni 1938, dilang-sungkanlah Kongres Bahasa Indonesia
I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan
dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh
cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
6. Masa pendudukan Jepang (1942-1945) merupakan pula suatu masa
penting. Jepang memilih bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi resmi
antara pemerintah Jepang dengan rakyat Indonesia karena niat
menggunakan bahasa Jepang sebagai pengganti bahasa Belanda untuk alat
komunikasi tidak terlaksana. Bahasa Indonesia juga dipakai sebagai bahasa
pengantar di lembaga-lembaga Pendidikan dan untuk keperluan ilmu
pengetahuan.
7. Pada 18 Agustus 1945, ditandatanganilah Undang-Undang Dasar RI 1945,
yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai
bahasa negara.
8. Pada 19 Maret 1947, diresmikan peng-gunaan Ejaan Republik (Ejaan
Soewandi) sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang berlaku
sebelumnya.
9. Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tarikh 28 Oktober-2 November
1954 juga salah satu perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-
menerus menyem-purnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai
bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
10. Pada 16 Agustus 1972, H.M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia,
meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan
(EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan
pula dengan Keputusan Presiden No. 57 Tahun 1972.
11. Pada 31 Agustus 1972, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan
Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah
Indonesia (Wawasan Nusantara).
12. Kongres Bahasa Indonesia III yang diselenggarakan di Jakarta pada 28
Oktober-2 November 1978 merupakan peristiwa penting bagi kehidupan
bahasa Indonesia. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati
Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan,
pertumbuhan, dan perkem-bangan bahasa Indonesia sejak 1928, juga
berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
13. Kongres Bahasa Indonesia IV dise-lenggarakan di Jakarta pada tarikh 21-
6 November 1983. la diselenggarakan dalam rangka memperingati hari
Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih
ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia
untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat
tercapai semaksimal mungkin.
14. Kongres Bahasa Indonesia V diselenggarakan di Jakarta pada tarikh 28
Oktober-3 November 1988. la dihadiri oleh kira-kira 700 pakar bahasa
Indonesia dari seluruh Nusantara dan peserta tamu dari negara sahabat

4
seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan
Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersem-bahkannya karya
besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta
bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia, serta buku-buku penyuluhan bahasa
Indonesia.
15. Kongres Bahasa Indonesia VI dise-lenggarakan di Jakarta pada tarikh 28
Oktober-2 November 1993. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari
Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia,
Brunei Darussalam, Jerman, Hong Kong, India, Italia, Jepang, Rusia,
Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan
agar Pusat Pembinaan dan Pengem-bangan Bahasa ditingkatkan
statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan
disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
Dalam kongres ini diselenggarakan pula pameran buku yang menyajikan
385 judul buku yang terdiri atas buku-buku yang berkaitan dengan
kongres bahasa Indonesia, Sumpah Pemuda, Bahasa dan Sastra
Indonesia, serta kamus berbagai bidang ilmu, antara lain Kimia,
Matematika, Fisika, Biologi, Kedokteran, dan Manajemen. Selain itu,
disajikan pula panel Sumpah Pemuda, foto kegiatan
kebahasaan/kesastraan, dan peragaan komputer sebagai pengolah data
kebahasaan.
16. Kongres Bahasa Indonesia VII dise-lenggarakan di Hotel Indonesia,
Jakarta pada 26-30 Oktober 1998. Kongres itu mengusulkan dibentuknya
Badan Pertimbangan Bahasa dengan ketentuan sebagai berikut: a.
Keanggotaannya terdiri dari tokoh masyarakat dan pakar yang
mempunyai kepedulian terhadap bahasa dan sastra. b. Tugasnya
memberikan nasihat kepada Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa serta mengu-payakan peningkatan status kelembagaan Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
17. Kongres Bahasa Indonesia VIII diselenggarakan di Jakarta pada 14-17
Oktober 2003. Kongres ini merupakan kongres yang terbesar dalam
sejarah perkembangan bahasa Indonesia karena selain dihadiri oleh kira-
kira seribu pakar bahasa Indonesia dari seluruh Nusantara, juga kongres
ini diikuti oleh peserta tamu dari hampir seluruh negara. Di samping itu,
dalam kongres ini dianugerahkan penghargaan bagi pejabat yang selalu
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
18. Kongres bahasa Indonesia tahun 2008
Dalam rangka peringatan 100 tahun kebangkitan nasional, 80 tahun
Sumpah Pemuda, dan 60 tahun berdirinya Pusat Bahasa, pada tahun
2008 dicanangkan sebagai Tahun Bahasa 2008. Oleh karena itu,
sepanjang tahun 2008 telah diadakan kegiatan kebahasaan dan
kesusasteraan. Sebagai puncak dari seluruh kegiatan kebahasaan dan
kesusasteraan serta peringatan 80 tahun Sumpah Pemuda, diadakan
Kongres IX Bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober-1 November 2008
di Jakarta. Kongres tersebut membahas lima hal utama, yakni: a) bahasa

5
Indonesia; b) bahasa daerah; c) penggunaan bahasa asing; d) pengajaran
bahasa dan sastra, serta e) bahasa media massa. Kongres bahasa ini
berskala internasional dengan menghadirkan para pembicara dari dalam
dan luar negeri. Para pakar bahasa dan sastra yang selama ini telah
melakukan penelitian dan mengem-bangkan bahasa Indonesia di luar
negeri sudah sepantasnya diberi kesempatan untuk memaparkan
pandangannya dalam kongres tahun ini. Tempat kongres di Jakarta, pada
28 Oktober -1 November 2008 di Hotel Bumi Karsa, Kompleks Bidakara,
Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan. Secara umum, Kongres IX Bahasa
Indonesia ini bertujuan meningkatkan peran bahasa dan sastra Indonesia
dalam mewujudkan insan Indonesia cerdas kompetitif menuju Indonesia
yang bermartabat, berkepri-badian, dan berperadaban unggul.
19. Kongres bahasa Indonesia tahun 2013
Kongres yang berlangsung 28-31 Oktober 2013 di Hotel Grand Sahid
Jaya, Jakarta diikuti oleh 1.168 peserta dari seluruh Indonesia, dan dari
luar negeri antara lain dari Jepang, Rusia, Pakistan, Jerman, Belgia,
Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, China, Italia, dan Timor Leste.
KBI X merekomendasikan hal-hal sebagai berikut :
1) Pemerintah perlu memantapkan kedu-dukan dan fungsi bahasa
Indonesia melalui penerjemahan dan penerbitan, baik nasional
maupun internasional, untuk mengejawantahkan konsep-konsep
ipteks berbahasa Indonesia guna menyebarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi ke seluruh lapisan masyarakat.
2) Badan Pengembangan dan Pem-binaan Bahasa perlu berperan lebih
aktif melakukan penelitian, diskusi, penataran, penyegaran,
simulasi, dan pendampingan dalam implementasi Kurikulum 2013
untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia.
3) Badan Pengembangan dan Pembi-naan Bahasa dan Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP) perlu bekerja sama dalam upaya
meningkatkan mutu pemakaian bahasa dalam buku materi
pelajaran.
4) Pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi hasil-hasil pembakuan
bahasa Indonesia untuk kepentingan pembelajaran bahasa
Indonesia dalam rangka memperkukuh jati diri dan
membangkitkan semangat kebangsaan.
5) Pembelajaran bahasa Indonesia perlu dioptimalkan sebagai media
pendi-dikan karakter untuk menaikkan martabat dan harkat
bangsa.
6) Pemerintah perlu memfasilitasi studi kewilayahan yang
berhubungan dengan sejarah, persebaran, dan pengelompokan
bahasa dan sastra untuk memperkukuh NKRI.
7) Pemerintah perlu menerapkan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia
(UKBI) untuk menyeleksi dan mem-promosikan pegawai, baik di
lingkungan pemerintah maupun swasta, guna memperkuat jati diri
dan kedaulatan NKRI, serta member-lakukan UKBI sebagai “paspor
bahasa” bagi tenaga kerja asing di Indonesia.

6
8) Pemerintah perlu menyiapkan formasi dan menempatkan tenaga
fungsional penyunting dan penerjemah bahasa di lembaga
pemerintahan dan swasta.
9) Untuk mempromosikan jati diri dan kedaulatan NKRI dalam rangka
misi perdamaian dunia, Pemerintah perlu memperkuat fungsi Pusat
Layanan Bahasa (National Language Center) yang berada di bawah
tanggung jawab Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
10) Kualitas dan kuantitas kerja sama dengan berbagai pihak luar
negeri untuk menginternasionalkan bahasa Indonesia perlu terus
ditingkatkan dan dikembangkan, baik di tingkat komu-nitas ASEAN
maupun dunia inter-nasional, dengan dukungan sumber daya yang
maksimal.
11) Pemerintah perlu melakukan “diplo-masi total” untuk
menginternasional-kan bahasa Indonesia dengan melibatkan
seluruh komponen bangsa.
12) Presiden/wakil presiden dan pejabat negara perlu melaksanakan
secara konsekuen Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden
dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya.
13) Perlu ada sanksi tegas bagi pihak yang melanggar Pasal 36 dan
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 sehubungan
dengan kewajiban menggunakan bahasa Indonesia untuk nama
dan media informasi yang merupakan pelayanan umum.
14) Pemerintah perlu menggiatkan sosia-lisasi kebijakan penggunaan
bahasa dan pemanfaatan sastra untuk mendu-kung berbagai
bentuk industri kreatif.
15) Pemerintah perlu lebih meningkatkan kerja sama dengan
komunitas-komunitas sastra dalam membuat model
pengembangan industri kreatif berbasis tradisi lisan, program
penulisan kreatif, dan penerbitan buku sastra yang dapat
diapresiasi siswa dan peminat sastra lainnya.
16) Pemerintah perlu mengoptimalkan penggunaan teknologi
informatika dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
17) Pelindungan bahasa-bahasa daerah dari ancaman kepunahan perlu
dipayungi dengan produk hukum di tingkat pemerintah daerah
secara menyeluruh.
18) Badan Pengembangan dan Pembina-an Bahasa perlu meningkatkan
peren-canaan dan penetapan korpus bahasa daerah untuk
kepentingan pemerkaya-an dan peningkatan daya ungkap bahasa
Indonesia sebagai bahasa penjaga kemajemukan Indonesia dan
pilar penting NKRI.
19) Pemerintah perlu memperkuat peran bahasa daerah pada jalur
pendidikan formal melalui penyediaan kurikulum yang berorientasi
pada kondisi dan kebutuhan faktual daerah dan pada jalur

7
pendidikan nonformal/informal melalui pembelajaran bahasa
berbasis komunitas.
20) Badan Pengembangan dan Pembina-an Bahasa perlu meningkatkan
pengawasan penggunaan bahasa untuk menciptakan tertib
berbahasa secara proporsional.
21) Pemerintah perlu mengimplementasi-kan kebijakan yang
mendukung eksistensi karya sastra, termasuk produksi dan
reproduksinya, yang menyentuh identitas budaya dan kelokalannya
untuk mengukuhkan jati diri bangsa Indonesia.
22) Penggalian karya sastra harus terus digalakkan dengan dukungan
dana dan kemauan politik pemerintah agar karya sastra bisa
dinikmati sesuai dengan harapan masyarakat pendu-kungnya dan
masyarakat dunia pada umumnya.
23) Pemerintah perlu memberikan apre-siasi dalam bentuk
penghargaan kepada sastrawan untuk meningkat-kan dan
menjamin keberlangsungan daya kreativitas sastrawan sehingga
sastra dan sastrawan Indonesia dapat sejajar dengan sastra dan
sastrawan dunia.
24) Lembaga-lembaga pemerintah terkait perlu bekerja sama
mengadakan lomba-lomba atau festival kesastraan, khususnya
sastra tradisional, untuk memperkenalkan sastra Indonesia di luar
negeri yang dilakukan secara rutin dan terjadwal, selain
mendukung festival-festival kesastraan tingkat internasional yang
sudah ada.
25) Peran media massa sebagai sarana pemartabatan bahasa dan
sastra Indonesia di kancah internasional perlu dioptimalkan.
26) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu mengingatkan dan
memberikan teguran agar Lembaga penyiaran menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar.
27) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerima usulan dari masyarakat
untuk menyampaikan teguran kepada lembaga penyiaran yang
tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
28) Diperlukan kerja sama yang sinergis dari semua pihak, seperti
pejabat negara, aparat pemerintahan dari pusat sampai daerah,
media massa, Dewan Pers, dan Badan Pengem-bangan dan
Pembinaan Bahasa, demi terwujudnya bahasa media massa yang
logis dan santun.
29) Literasi pada anak, khususnya sastra anak, perlu ditingkatkan agar
nilai-nilai karakter yang terdapat dalam sastra anak dipahami oleh
anak.
30) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa harus memperkuat
unit yang bertanggung jawab terhadap sertifikasi pengajar dan
penyelenggara BIPA.
31) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa berkoordinasi
dengan para pakar pengajaran BIPA dan praktisi pengajar BIPA

8
mengembangkan kuri-kulum, bahan ajar, dan silabus yang
standar, termasuk bagi Komunitas ASEAN.
32) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa memfasilitasi
pertemuan rutin dengan SEAMEO Qitep Language, SEAMOLEC,
BPKLN Kemendikbud, dan perguruan tinggi untuk menyinergikan
penyelenggaraan pengajaran BIPA.
33) Pemerintah Indonesia harus mendu-kung secara moral dan
material pendirian pusat studi/kajian bahasa Indonesia di luar
negeri.
20 Kongres BI XI Tahun 2018
Kongres XI diselenggarakan di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, pada
tanggal 28—31 Oktober 2018. Kongres Bahasa Indonesia XI dibuka secara
resmi oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Dr. H. M. Jusuf Kalla di
istana wakil presiden. Kongres ini dihadiri oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P., dan diikuti oleh 1.031
orang yang terdiri atas 18 pembicara kunci; 24 pemakalah undangan; 48
pemakalah saji; 127 pemakalah nonsaji; 18 pemakalah poster, 121
peserta terseleksi, 82 peserta undangan; 16 peserta dari organisasi
profesi; 17 peserta mitra lembaga; dan peserta yang mewakili peneliti
Bahasa dan sastra, guru dan dosen, mahasiswa, serta pegiat kebahasaan
dan kesastraan. Di antara para pemakalah dan peserta terdapat yang
berasal dari luar negeri, seperti dari Australia, Malaysia, Jepang, Brunei
Darussalam, India, Jerman, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, Belanda,
Rusia.
Kongres Bahasa Indonesia X telah melahirkan 33 rekomendasi di bidang
pengembangan dan pembinaan bahasa dan sastra. Tiga puluh dua
rekomendasi telah terlaksana dengan baik oleh para pemangku
kepentingan yang terlibat. Satu rekomendasi yang belum dilaksanakan
secara optimal adalah tentang tata kelola penyuntingan dan
penerjemahan.
Setelah memperhatikan dan membahas sambutan Wakil Presiden
Republik Indonesia, sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan
laporan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, serta 18
materi gelar wicara dan 72 makalah sidang kelompok, Kongres Bahasa
Indonesia XI menghasilkan putusan sebagai berikut.

BAGIAN UMUM
Bahasa dan sastra Indonesia merupakan bahasa pembentuk jati diri
keindonesiaan. Kehendak bersatu sebagai syarat keberadaan bangsa
telah disepakati pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam wujud bahasa
persatuan. Anasir bahasa dipilih sebagai lambang kesatuan negara-
bangsa Indonesia yang bermartabat. Pluralisme dan multilingualisme
bahasa di Indonesia perlu dikelola untuk kebutuhan pembangunan
sosial, politik, dan ekonomi melalui pendidikan. Kebijakan yang
memasukkan tiga jenis bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah,
dan bahasa asing, dalam Pendidikan harus dapat meningkatkan peran

9
ketiga jenis bahasa tersebut di Indonesia. Bahasa Indonesia harus
semakin mantap sebagai peneguh identitas bangsa dan penyatu
keberagaman suku dan/atau ras di Indonesia. Bahasa daerah harus
mampu membentuk generasi muda Indonesia yang sadar akan kekayaan
tradisi dan budayanya. Sementara itu, bahasa asing harus mampu
menyiapkan generasi muda Indonesia agar mampu bersaing di dunia
internasional. Saat ini bahasa Indonesia sedang berjuang untuk
memantapkan perannya sebagai lambang identitas bangsa di tengah
penggunaan bahasa asing yang marak di ruang publik.
Penegakan kejayaan identitas bangsa perlu dilakukan melalui penegakan
peraturan kebahasaan sebagai upaya untuk mengendalikan penggunaan
bahasa di ruang publik. Globalisasi juga telah membawa konsekuensi
bangsa Indonesia berintegrasi dengan bangsa lain sehingga terbentuk
sebuah masyarakat antarbangsa, seperti pemberlakuan Masyarakat
Ekonomi ASEAN. Integrasi antarbangsa itu diharapkan berdampak positif
untuk menunjukkan kejayaan jati diri dan daya saing bangsa Indonesia.
Untuk itu, pemanfaatan bahasa dan sastra sebagai ilmu strategi
kebahasaan perlu dikembangkan dan diterapkan dalam bentuk diplomasi
lunak dengan wawasan kebinekaan yang lebih luas. Hal ini dimaksudkan
untuk menjadikan bahasa dan sastra Indonesia setara secara
internasional dengan bahasa dan sastra dari negara maju yang lain.
Sementara itu, hal yang tidak kalah penting adalah kemajuan teknologi
informasi yang telah berkembang begitu pesat sehingga berdampak pada
cara bertindak dan bertutur yang mencerminkan hati dan pikiran.
Kehalusan hati dan pikiran yang semestinya terungkap melalui sastra
telah mulai luntur. Hanya dengan mengetukkan jari atau jempol pada
tombol gawai, seseorang dapat dengan mudah menyebarkan kata-kata
kasar, perkataan bohong, atau ungkapan yang bernilai rasa dan pikiran
negatif. Untuk mengantisipasi kemungkinan keretakan kesatuan bangsa
Indonesia sebagai akibat perkembangan zaman ini, bahasa dan sastra
juga diharapkan menjadi landasan kekuatan kultural bangsa Indonesia
untuk membangun karakter bangsa. Berdasarkan hal tersebut, Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada tahun 2018
menyelenggarakan Kongres Bahasa Indonesia XI (KBI XI). Kongres ini
merupakan forum bagi para pencinta dan pemerhati bahasa dan sastra
untuk membahas berbagai persoalan kebahasaan dan kesastraan yang
dihadapi saat ini.

BAGIAN KHUSUS
Kongres Bahasa Indonesia XI bertujuan untuk menjayakan negara-
bangsa Indonesia melalui bahasa dan sastra Indonesia. Secara khusus,
KBI XI membahas peluang dan tantangan dalam pengembangan,
pembinaan, pelindungan, pemanfaatan, serta penegakan kebijakan
bahasa dan sastra Indonesia untuk membawa negarabangsa Indonesia
berjaya pada era global. Tujuan tersebut dirumuskan dalam tema

10
“Menjayakan Bahasa dan Sastra Indonesia” dengan subtema sebagai
berikut.
1) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
2) Pengutamaan Bahasa Indonesia di Ruang Publik
3) Bahasa, Sastra, dan Teknologi Informasi
4) Ragam Bahasa dalam Berbagai Ranah Kehidupan
5) Pemetaan dan Kajian Bahasa dan Sastra Daerah
6) Pengelolaan Bahasa dan Sastra Daerah
7) Bahasa, Sastra, dan Kekuatan Kultural Bangsa Indonesia
8) Bahasa dan Sastra untuk Strategi dan Diplomasi
9) Politik dan Perencanaan Bahasa dan Sastra

11
REKOMENDASI
Kongres Bahasa Indonesia XI menghasilkan rekomendasi sebagai berikut.
1) Penginternasionalan bahasa Indonesia merupakan amanat undang-
undang. Pemerintah perlu meningkatkan sinergi, baik di dalam
maupun di luar negeri, untuk pengembangan strategi dan diplomasi
kebahasaan demi mencapai target bahasa Indonesia sebagai bahasa
internasional pada tahun 2045. Perlu ditegaskan kembali
keberadaan PP Nomor 57 Tahun 2014 tentang penginternasionalan
bahasa Indonesia.
2) Pemerintah harus menertibkan penggunaan bahasa asing sebagai
bahasa pengantar dalam pendidikan di sekolah.
3) Pemerintah harus memperluas penerapan Uji Kemahiran Berbahasa
Indonesia (UKBI) di berbagai lembaga pemerintah dan swasta.
4) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa harus meningkatkan
pemasyarakatan kamus bidang ilmu dan teknologi.
5) Pemerintah harus memperkuat pembelajaran sastra di sekolah
untuk meningkatkan mutu pendidikan karakter dan literasi dengan
memanfaatkan berbagai perangkat digital dan memaksimalkan
teknologi informasi.
6) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus menetapkan jumlah
karya sastra yang wajib dibaca oleh siswa pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah.
7) Pemerintah melalui lembaga terkait harus mendorong kebijakan
pengembangan publikasi ilmiah berbahasa Indonesia bereputasi
internasional.
8) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus melakukan
penguatan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang
berkenaan dengan model, metode, bahan ajar, media dan penilaian
yang memantik keterampilan bernalar aras tinggi/higher order
thinking skills (HOTS).
9) Pemerintah harus mendaringkan produk kebahasaan dan
kesastraan untuk dimanfaatkan seluruh masyarakat Indonesia.
10) Pemerintah harus menegakkan peraturan perundangan-undangan
kebahasaan dengan mendorong penerbitan peraturan daerah yang
memuat sanksi atas pelanggaran.
11) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus menerbitkan
ketentuan dan pedoman tentang penggiatan mendongeng dan
membacakan cerita kepada anakanak sejak usia dini.
12) Pemerintah harus meningkatkan dan memperluas revitalisasi tradisi
lisan untuk mencegah kepunahan.

12
13) Pemerintah dan pemerintah daerah harus mengintensifkan
pendokumentasian bahasa dan sastra daerah secara digital dalam
kerangka pengembangan dan pelindungan bahasa dan sastra.
14) Pemerintah daerah harus mengembangkan sarana kebahasaan dan
kesastraan bagi penyandang disabilitas.
15) Pemerintah bersama seluruh komponen masyarakat harus
meningkatkan kebanggaan berbahasa Indonesia dalam berbagai
ranah kehidupan seiring dengan peningkatan penguasaan bahasa
daerah dan bahasa asing.
16) Perencanaan bahasa daerah, khususnya di Papua harus dilakukan
dengan tepat oleh pemerintah pusat dan daerah. Salah satu yang
harus direncanakan adalah pendidikan dengan muatan lokal bagi
peserta didik kelas rendah dan komunitas. Dengan muatan lokal dan
komunitas tersebut, diharapkan literasi siswa Papua meningkat.
Pemerintah pusat dan daerah perlu mendorong terwujudnya
pendidikan dengan muatan lokal bagi peserta didik kelas rendah di
Papua.
17) Pemerintah daerah harus berkomitmen dalam pengutamaan
penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara di ruang
publik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dengan melibatkan lembaga-lembaga pengawasan terhadap kinerja
penyelenggaraan layanan publik.
18) Pemerintah harus mengelola bahasa dan sastra daerah dalam upaya
pelestarian dan penyusunan data dasar melalui penguatan kerja
sama Badan Bahasa dengan pemerintah daerah, perguruan tinggi,
dan media.
19) Pemerintah bersama organisasi profesi harus meningkatkan
profesionalisme pengajar BIPA melalui pembukaan program
pendidikan profesi guru BIPA, program studi S-2 BIPA, dan pendirian
Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pengajar BIPA.
20) Pemerintah harus mengembangkan sikap dan kesantunan
berbahasa bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia, terutama
tokoh publik.
21) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa harus bekerja sama
dengan berbagai pihak untuk menuntaskan penelitian pemetaan dan
melakukan penelitian kekerabatan bahasa daerah di seluruh
Indonesia.
22) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa harus
memutakhirkan kebijakan politik bahasa dan sastra serta
memperkuat kelembagaannya sesuai dengan perkembangan zaman.
Tindak Lanjut

13
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa wajib melakukan
pemantauan, koordinasi, dan evaluasi terhadap pelaksanaan putusan
Kongres Bahasa Indonesia XI serta melaporkannya dalam Kongres Bahasa
Indonesia XII. Putusan kongres ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30
Oktober 2018.
Tim Perumus
Ketua : Prof. Dr. Djoko Saryono
Anggota:
1. Prof. Gufran Ali Ibrahim, M.S.
2. Prof. Dr. Suparno
3. Prof. Dr. Multamia R.M.T. Lauder
4. Prof. Dr. Atmazaki
5. Tendy K. Soemantri
6. Dr. Liliana Muliastuti
7. Dr. Ganjar Harimansyah
Narasumber
1. Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum.
2. Drs. Abdul Khak, M.Hum.
3. Prof. Dr. Emi Emilia, M.Ed.
4. Dr. Hurip Danu Ismadi, M.Pd.
Panitia Perumus
1. Dr. Joni Endardi
2. Atikah Solihah, M.Pd.
3. Drs. Suladi, M.Pd.
4. Vita Luthfia Urfa, M.Hum.
5. Retno Handayani, M.Hum.

B. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia


Kedudukan bahasa adalah status relatif bahasa sebagai sistem lambang
nilai budaya yang dirumuskan atas dasar nilai sosial yang dikaitkan dengan
bahasa yang bersangkutan, sedangkan fungsi bahasa adalah nilai pemakaian
atau peranan bahasa yang bersangkutan dalam masyarakat pemakainya
(Halim, 1980; Alwi dan Sugono, 2003).
Status dan nilai selalu ada dalam kehidupan sehari-hari. Karena bahasa
tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan, status dan nilai itu pun selalu
melekat padanya. Dengan demikian, pemakai bahasa akan memperla-kukan
bahasa sesuai dengan “label” (status dan nilai) yang disandangnya. Kejelasan
“label” yang diberikan akan memengaruhi masa depannya; danmasyarakat
dwibahasawan akan memilah-milah sikap dan pemakaian bahasa- bahasa yang
digunakannya, tidak memakai secara sembarangan, tergantung pada situasi
yang dihadapi. Denganbegitu, perkembangan bahasa itu akan terarah.
Demikian juga halnya dengan bahasa Indonesia.
Mengapa kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia perlu dirumuskan?
Rumusan kedu-dukan dan fungsi bahasa Indonesia diperlukan karena
perumusan itu memungkinkan penutur bahasa Indonesia mengadakan

14
pembedaan antara kedudukan dan fungsi bahasa Indo-nesia pada satu pihak
serta kedudukan dan fungsi bahasa-bahasa lain (bahasa daerah dan bahasa
asing yang digunakan di Indonesia) pada pihak yang lain. Kekaburan
pembedaan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dengan kedudukan dan
fungsi bahasa-bahasa lain itu tidak saja akan merugikan bagi pengembangan
dan pembakuan bahasa Indonesia, tetapi juga dapat menyebabkan terjadinya
kekacauan dalam cara berpikir para penutur (terutama penutur pemula) yang
dwibahasawan.
Salah satu akibat yang mungkin ditimbulkan oleh kekaburan pembedaan
kedudukan dan fungsi itu adalah mengalirnya unsur-unsur bahasa, yang pada
dasarnya tidak diperlukan, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain.
Demikianlah, terjadinya pembanjiran bahasa Indonesia oleh unsur-unsur yang
tidak diperlukan oleh bahasa-bahasa lain (baca: asing), terutama bahasa
Inggris. Dengan mengalirnya unsur-unsur bahasa dari bahasa-bahasa lain ke
dalam bahasa Indonesia, pembakuan bahasa Indonesia menjadi jauh lebih sulit
daripada yang semestinya. Pembe-daan kedudukan dan fungsi bahasa
memungkinkan mengatur masuknya unsur-unsur baru dari Bahasa-bahasa
lain itu sedemikian rupa sehingga hanya unsur-unsur yang benar-benar
dibutuhkan bagi pemerkaya-an bahasa Indonesia sajalah yang diterima.
Meniadakan sama sekali masuknya unsur-unsur bahasa lain ke dalam Bahasa
Indonesia tentu tidak mungkin dilakukan, karena adalah suatu kenyataan
bahwa apabila dua bahasa atau lebih dipergunakan dalam masyarakat yang
sama, terjadilah kontak bahasa, yang mau tidak mau, mengakibatkan
terjadinya hubungan timbal-balik yang saling memengaruhi.
Dengan demikian, yang perlu dilakukan adalah pengaturan hubungan
timbal-balik itu sedemikian rupa sehingga tidak perlu terjadi kepincangan
dalam pengembangan bahasa- bahasa yang bersangkutan, dan setiap bahasa
tetap mempertahankan identitasnya masing-masing. Selain itu, masuknya
unsur-unsur bahasa lain ke dalam bahasa Indonesia tidak perlu dihindarkan
samasekali, asalkan saja pemasukannya sesuai dengan keperluan dalam upaya
mengembangkan dan membaku-kan bahasa Indonesia. Dengan kata lain,
bahasa Indonesia sebagai bahasa modern hendaklah bersifat terbuka, dengan
pengertian memberikan tempat bagi unsur-unsur bahasa lain yang
diperlukannya, yang apabila perlu dipungut dari bahasa- bahasa lain melalui
penyerasian dengan sistem bahasa Indonesia itu sendiri, dan pada saat yang
sama, tetap mempertahankan identitasnya. Untuk hal itulah, perlu dirumuskan
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia itu dengan secermat-cermatnya.
Bahasa Indonesia menyandang dua kedudukan, yaitu sebagai bahasa
nasional dan sebagai bahasa negara. Masing-masing dijelaskan di bawah ini.

1. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional


Kedudukan sebagai bahasa nasional ini disandang oleh bahasa
Indonesia sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Sebagaimana diketahui, isi bagian ketiga sumpah itu berkenaan dengan
“menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Istilah “Indonesia”
yang dicantumkan di belakang kata “bahasa” pada sumpah itu jelas-jelas

15
berkonotasi politik, sejalan dengan cita-cita kaum pergerakan bangsa
Indonesia pada masa itu. Sesungguhnyalah, yang dimaksudkan sebagai
“bahasa Indonesa” pada saat itu tidak lain daripada bahasa Melayu.
Muncul pertanyaan, “Mengapa bahasa Melayu yang “diangkat” menjadi
bahasa persatuan (nasional)?” Mengapa bukan bahasa Jawa, misalnya,
yang jumlah pendukungnya meliputi hampir separuh jumlah penduduk
Indonesia? Atau, mengapa bukan bahasa Sunda dan atau yang lainnya?
Berkaitan dengan pertanyaan itu, sekalipun dalam format yang
berbeda-beda, Slamet Mulyana (1965), S. Suharianto (1981), J. S. Badudu
(1993), dan Anton M. Moeliono (2000) mengemukakan adanya empat faktor
yang menjadi penyebabnya, yaitu:
1. faktor historis (kesejarahan, bahasa Melayu sebagai lingua franca);
2. faktor psikologis (semangat mengutama-kan kepentingan bersama);
3. faktor demokratisasi (kesederhanaan) bahasa; dan
4. faktor reseptif (kemudahan bahasa menerima pengaruh untuk pengem-
bangannya).
Apakah ada perbedaan antara bahasa Melayu pada 27 Oktober 1928
dan bahasa Indonesia pada 28 Oktober 1928? Dari segi wujud, baik
struktur, sistem maupun kosakatanya, jelas tidak berbeda. Kerangkanya
sama. Yang berbeda adalah semangat dan jiwa barunya. Sebelum Sumpah
Pemuda, semangat dan jiwa bahasa Melayu masih bersifat kedaerahan
atau kemelayuan. Akan tetapi, pada saat (dan setelah) Sumpah Pemuda,
semangat dan jiwa yang tadinya kedaerahan itu sudah menjadi bersifat
nasional atau berjiwa keindonesiaan. Pada saat itulah, bahasa Melayu yang
berjiwa dan bersemangat baru diganti dengan nama bahasa Indonesia.
Hasil perumusan Seminar Bahasa Nasional (Jakarta, 25-28 Februari
1975), yang kemudian dikukuhkan dalam Seminar Politik Bahasa (Cisarua,
Bogor, 8--12 November 1999), antara lain, menegaskan bahwa dalam
kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi
sebagai:
(1) lambang kebanggaan nasional,
(2) lambang identitas nasional,
(3) alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar
belakang sosial, budaya, dan bahasanya, dan
(4) alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah.
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia
mencerminkan sekaligus memancarkan nilai-nilai sosial budaya luhur
bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai sosial budaya yang dicerminkan
bahasa Indonesia, bangsa Indonesia harus bangga terhadapnya, bangsa
Indonesia harus menjunjungnya, memelihara, mengem-bangkan, dan
mempertahankannya. Ke-banggaan memakainya senantiasa harus
ditumbuhkembangkan dalam diri setiap insan Indonesia. Sebagai realisasi
ke-banggaan itu, bangsa Indonesia harus menggunakannya tanpa rasa
rendah diri, tanpa rasa malu, dan tanpa rasa acuh tak acuh.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan
“lambang” bangsa Indonesia. Dalam hal ini, bahasa Indonesia dapat

16
dikatakan memiliki kedudukan yang setara dan serasi dengan lambang
kebangsaan yang lain, seperti bendera merah putih, garuda Pancasila, dan
lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ini berarti, dengan bahasa Indonesia,
bangsa Indonesia menyatakan jati dirinya, menyatakan sifat, perangai, dan
wataknya sebagai bangsa Indonesia. “Bahasa menunjukkan bangsa”, kata
pepatah. Melalui bahasa Indonesia, bangsa Indonesia menyatakan
kepribadian dan harga dirinya. Karena fungsinya yang demikian itu,
bangsa Indonesia harus menjaganya; jangan sampai ciri kepribadian
bangsa Indonesia tidak tercermin di dalamnya; jangan sampai bahasa
Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang
sebenarnya. Implikasinya adalah bahwa bahasa Indonesia harus memiliki
identitasnya sendiri. Identitas itu baru bisa dimiliki hanya jika masyarakat
pemilik dan pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian
rupa sehingga ia bersih dari unsur-unsur bahasa lain, terutama bahasa
asing (seperti bahasa Inggris) yang tidak benar- benar dibutuhkan.
Fungsi bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan dan identitas
nasional berkaitan erat dengan fungsinya yang ketiga, yaitu sebagai alat
yang memungkinkan terlaksananya penyatuan berbagai suku bangsa yang
mempunyai latar belakang sosial, budaya, dan bahasa daerah yang
berbeda-beda ke dalam satu kesatuan kebangsaan yang bulat, bersatu
dalam cita-cita dan rasa nasib yang sama. Dalam hubungan dengan hal
ini, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai suku bangsa itu mencapai
keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak perlu
meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial,
budaya, dan latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan. Malahan
lebih daripada itu, dengan bahasa nasional itu, bangsa Indonesia dapat
meletakkan kepentingan nasional jauh di atas kepentingan daerah dan
golongan.
Latar belakang sosial budaya dan latar belakang bahasa daerah yang
berbeda-beda itu tidak pula menghambat adanya perhubungan
antardaerah dan antarbudaya. Berkat adanya bahasa nasional, mereka
(masyarakat yang berbeda-beda latar belakang etnis, budaya, dan bahasa
daerah) dapat berhubungan satu sama lain sedemikian rupa sehingga
kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan latar belakang itu tidak perlu
dikhawatirkan. Setiap orang dapat bepergian dari pelosok yang satu ke
pelosok yang lain di tanah air ini dengan hanya memanfaatkan bahasa
Indonesia sebagai satu-satunya alat komunikasi. Kenyataan ini dan
meningkatnya penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia dalam
fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya telah
dimungkinkan pula oleh peningkatan sarana perhubungan darat, laut, dan
udara; oleh bertambah luasnya penggunaan sarana komunikasi massa
seperti radio, televisi, internet, surat kabar, dan majalah; oleh peningkatan
arus perpindahan penduduk, baik dalam bentuk perantauan perseorangan
maupun dalam bentuk transmigrasi yang berencana; oleh peningkatan
jumlah perkawinan antarsuku; serta oleh pemindahan pejabat-pejabat
negara, baik sipil maupun militer, dari satu daerah ke daerah lain.

17
Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan
antarbudaya, bahasa Indonesia telah berhasil pula melaksanakan
fungsinya sebagai alat pengungkapan perasaan. Jika pada awalnya, ada
yang merasa bahwa bahasa Indonesia belum sanggup mengungkapkan
nuansa perasaan yang halus-halus, kini tersaji kenyataan bahwa seni
sastra dan drama – baik yang dituliskan maupun yang dilisankan – serta
dunia perfilman dan sinematografi elektronik (sinetron) telah pula
berkembang sedemikian rupa sehingga nuansa perasaan yang betapa pun
halusnya dapat diungkapkan dengan memakai bahasa Indonesia.
Kenyataan ini tentulah menambah tebalnya rasa bangga insan Indonesia
akan kemampuan bahasa nasionalnya.

18
2. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara
Sejalan dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945 dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia,
ditetapkan pulalah bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Hal itu
dinyatakan dalam UUD 1945, bab XV, pasal 36. Pemilihan sebuah bahasa
sebagai bahasa negara bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak hal yang
harus dipertimbangkan. Salah timbang akan berakibat bagi tidak stabilnya
negara.
Hal-hal yang merupakan penentu keberhasilan pemilihan suatu
bahasa menjadi bahasa negara antara lain
(1) bahasa tersebut dikenal dan dikuasai oleh sebagian besar penduduk
negara itu,
(2) secara geografis, bahasa tersebut lebih menyeluruh persebarannya,
dan
(3) bahasa tersebut diterima oleh seluruh penduduk negara itu.
Faktor-faktor tersebut, terutama butir ketiga, tidak ada di negara
Malaysia, Singapura, Pilipina, dan India. Masyarakat multilingual di
negara-negara itu saling ingin mencalonkan bahasa kelompoknya sendiri
sebagai bahasa negara. Mereka saling menolak untuk menerima bahasa
kelompok lain sebagai bahasa resmi negaranya. Tidak demikian halnya
dengan negara Indonesia. Ketiga faktor penentu itu sudah dimiliki bahasa
Indonesia sejak tahun 1928; bahkan sebelumnya, bahasa Indonesia sudah
menjalankan fungsinya sebagai bahasa nasional, bahasa pemersatu
bangsa Indonesia. Dengan demikian, hal yang dianggap berat bagi negara-
negara lain, bagi Indonesia bukanlah persoalan. Oleh sebab itu, bangsa
Indonesia patut bersyukur kepada Tuhan atas anugrah yang besar ini.
Hasil Seminar Politik Bahasa Nasional (Jakarta, 2--28 Februari 1975)
yang disempurnakan dengan hasil Seminar Politik Bahasa (Cisarua, Bogor,
8-12 November 1999) merumuskan bahwa dalam kedudukannya sebagai
bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
(1) bahasa resmi kenegaraan;
(2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan;
(3) bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional;
(4) bahasa resmi untuk pengembangan kebudayaan nasional;
(5) sarana dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan serta teknologi modern;
(6) bahasa media massa;
(7) pendukung sastra Indonesia; dan
(8) pemerkaya bahasa dan sastra daerah.
Kedelapan fungsi itu harus dilaksanakan, sebab, minimal, delapan
fungsi itulah memang sebagai ciri penanda bahwa suatu bahasa dapat
dikatakan berkedudukan sebagai bahasa negara (Alwi dan Sugono, 2003).
Dalam hubungan dengan fungsinya sebagai bahasa resmi
kenegaraan, bahasa Indonesia dipergunakan dalam segala upacara,
peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun tertulis.
Dokumen-dokumen, keputusan-keputusan, dan surat-menyurat yang

19
dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya seperti
DPR, MPR, DPD, MA, BPK, dan Setneg ditulis dalam bahasa Indonesia.
Pidato-pidato, terutama pidato kenegaraan, ditulis dan diucapkan dalam
bahasa Indonesia. Hanya dalam keadaan tertentu, demi keperluan
komunikasi antarbangsa, kadang-kadang pidato resmi kenegaraan ditulis
dan diucapkan dalam bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Begitu pula
halnya dengan pemakaian bahasa Indonesia oleh warga negara Indonesia
dalam hubungan dengan upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan.
Dengan perkataan lain, komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan
masyarakat berlangsung dengan mempergunakan bahasa Indonesia.
Untuk melaksanakan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan
dengan sebaik- baiknya, pemakaian bahasa Indonesia dalam pelaksanaan
administrtasi pemerintahan perlu senantiasa dibina dan dikembangkan;
penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang
menentukan dalam pengembangan ketenagaan seperti penerimaan
karyawan baru, kenaikan pangkat (baik sipil maupun militer); dan
pemberian tugas-tugas khusus, baik di dalam maupun di luar negeri. Di
samping itu, mutu kebahasaan siaran radio dan televisi perlu pula
senantiasa dibina dan ditingkatkan.
Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa
pengantar pada lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-
kanak sampai dengan perguruan tinggi. Hanya saja, untuk kepraktisan,
beberapa lembaga pendidikan rendah, yang anak didiknya hanya
menguasai bahasa ibunya (bahasa daerah), mempergunakan bahasa
pengantar bahasa daerah anak didik yang bersangkutan. Hal ini dapat
dilakukan sampai dengan kelas tiga di sekolah dasar.Sebagai konskuensi
penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga
pendidikan tersebut, materi pelajaran yang berbentuk media cetak
hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan
menerjemahkannya dari buku- buku yang berbahasa asing atau
menyusunnya sendiri. Jika hal itu dilakukan, tentulah akan sangat
membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa
ilmu.
Fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam dunia
pendidikan berhubungan erat dengan fungsinya sebagai alat perhubungan
pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan nasional dan untuk kepentingan pelaksanaan
pemerintahan. Dalam hubungan dengan fungsi ini, bahasa Indonesia
dipakai bukan saja sebagai alat komunikasi timbal-balik antara
pemerintah dan masyarakat luas, bukan saja sebagai alat perhubungan
antardaerah dan antarsuku, melainkan juga sebagai alat perhubungan
intradaerah dan intrasuku; dengan perkataan lain, sebagai alat
perhubungan dalam masyarakat yang sama latar sosial budaya dan
bahasanya. Dari sudut sosiolinguistik, dapat diketahui bahwa salah satu
faktor dalam pemilihan suatu bahasa yang digunakan oleh masyarakat
yang mengenal pemakaian dua bahasa atau lebih adalah pokok persoalan

20
yang diperkatakan. Jadi, apabila pokok persoalan yang diperkatakan itu
adalah masalah yang menyangkut masalah tingkat nasional, bukan tingkat
daerah, ada kecenderungan untuk digunakan bahasa nasional, bukan
bahasa daerah, apalagi di antara orang-orang yang bersangkutan terdapat
jarak sosial yang cukup besar.
Dalam hubungan dengan fungsinya sebagai alat pengembangan
kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan, dan teknologi, bahasa Indonesia
terasa sekali manfaatnya. Kebudayaan nasional yang beragam karena
berasal dari masyarakat yang beragam pula, tidaklah mungkin dapat
disebarluaskan kepada dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia dengan
bahasa lain selain bahasa Indonesia. Apakah mungkin guru tari Bali
mengajarkan menari Bali kepada orang Sunda, Aceh, dan Bugis dengan
bahasa Bali? Tentulah tidak mungkin. Hal demikian berlaku juga dalam
penyebarluasan ilmu dan teknologi modern. Agar jangkauan
pemakaiannya lebih luas, penyebaran ilmu dan teknologi itu, baik yang
melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah
maupun media cetak lain, hendaknya menggunakan bahasa Indonesia.
Dengan demikian, masyarakat bangsa Indonesia tidak perlu bergantung
sepenuhnya pada bahasa-bahasa asing dalam usahanya untuk mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta untuk ikut
serta dalam usaha pengembangannya. Pelaksanaan ini memiliki hubungan
timbal-balik dengan fungsinya sebagai bahasa ilmu yang dirintis lewat
lembaga-lembaga pendidikan, khususnya melalui perguruan tinggi.
Bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan
masyarakat Indonesia membina dan mengembangkan kebudayaan
nasional sedemikian rupa sehingga kebudayaan itu memiliki identitasnya
sendiri, yang membedakannya dari kebudayaan daerah. Pada waktu yang
sama, bahasa Indonesia digunakan sebagai alat untuk menyatakan nilai-
nilai sosial budaya nasional Indonesia.
Media massa memiliki peranan yang penting, bahkan sekaligus
berkewajiban untuk turut serta membina bahasa Indonesia. Tidak bisa
dimungkiri bahwa persebaran bahasa Indonesia dewasa ini sudah sampai
ke pelosok-pelosok desa karena bantuan perkembangan teknologi
informasi, khususnya di bidang komunikasi, seperti radio, televisi, koran,
dan majalah. Sebagaimana diketahui, misi media massa adalah
memberikan pendidikan, penerangan (informasi), dan hiburan. Dalam hal
inilah, peranan media massa sangat berarti bagi pembinaan (dan
pengembangan) bahasa Indonesia. Media massa memperkenalkan bahasa
Indonesia kepada masyarakat luas. Implikasinya adalah bahwa media
massa dituntut memiliki sikap positif dalam menggunakan bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesia dalam media massa diharapkan dapat
dijadikan anutan (contoh, model) oleh penutur dalam hal penggunaan
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pemakaian bahasa di media massa
(radio dan televisi) di negara-negara maju memiliki stándar. Sekalipun yang
digunakan berupa bahasa tutur, ia masih dalam stándar kaidah bahasa
yang benar (Tobing, 2000). Pelaksanaan fungsinya sebagai bahasa media

21
massa senantiasa berkaitan erat dengan pelaksanaan fungsi-fungsi yang
lain, baik dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional maupun sebagai
bahasa negara, sebab segala sesuatu yang merupakan pelaksanaan fungsi
bahasa Indonesia tersebut dapat diimplementasikan melalui media massa.
Dalam hal ini, bahasa Indonesia harus mampu menunjukkan kestabilan
dan kedinamisannya serta mampu Menjaga identitasnya.
Dalam hubungan dengan fungsinya sebagai pendukung sastra
Indonesia, bahasa Indonesia tidak dapat diragukan lagi. Bahasa
merupakan media sosial primer sastra. Tidak ada sastra tanpa bahasa.
Karena menggunakan bahasa, sastra menjadi lebih komunikatif daripada
karya-karya seni yang lain. Demikian halnya dukungan bahasa Indonesia
terhadap sastra Indonesia. Dengan bahasa Indonesia, sastra Indonesia
diciptakan; dengan bahasa Indonesia, sastra Indonesia disebarluaskan;
dengan bahasa Indonesia pula, sastra Indonesia mengejawantahkan fungsi
dan peranannya sebagai sarana pendidikan humaniora bagi masyarakat
bangsanya. Pada saat yang lain, dalam perjalanannya yang panjang,
sastra, akhirnya, tidak selalu menerima khasanah kata dan nilai dari
bahasa; pada jenjang tertentu, sastra juga bisa memberikan jasa terhadap
ibu yang melahirkannya.
Terhadap bahasa daerah dan sastra daerah, bahasa Indonesia juga
memberikan dukungannya. Dengan bahasa daerah, bahasa Indonesia
dapat saling memberi dan menerima. Pengembangan bahasa Indonesia
banyak didukung oleh bahasa-bahasa daerah; sebaliknya, bahasa
Indonesia pun dapat memperkaya khasanah bahasa daerah sebagai alat
komunikasi antarkeluarga dan antaranggota masyarakat daerah yang
bersangkutan. Oleh karena sastra daerah didukung oleh bahasa daerah,
termasuk bahasa daerah yang telah diperkaya bahasa Indonesia, bahasa
Indonesia pun dapat dikatakan memberikan dukungannya kepada sastra
daerah. Di samping itu, dengan bahasa Indonesia, sastra daerah dapat
diperkenalkan kepada masyarakat yang memiliki latar belakang bahasa
daerah yang berbeda-beda.
Berbedakah bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dengan
bahasa Indonesia yang sebagai bahasa negara? Jika dicermati, di samping
perbedaan fungsi sebagaimana telah dipaparkan di atas, ada juga
perbedaan dari segi wujud dan proses terbentuknya. Dari segi wujudnya,
dapat dibedakan antara bahasa Indonesia yang digunakan dalam pidato-
pidato kampanye (pembangunan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan
oleh pejabat negara ataupun oleh pemimpin organisasi sosial politik) dan
bahasa Indonesia dalam dokumendokumen resmi, surat-surat dinas atau
resmi, peraturan-peraturan pemerintah, dan surat-surat keputusan.
Setidak-tidaknya, perbedaan itu tampak pada penggunaan istilah dan
perbendaharaan katanya. Hal itu disebabkan oleh bidang lapangan
pembicaraan yang berbeda-beda. Dalam lapangan politik, dibutuhkan
kosakata tertentu yang berbeda dengan kosakata yang digunakan dalam
bidang lapangan administrasi. Begitu pula dalam lapangan ekonomi,

22
sosial, dan budaya. Walaupun demikian, secara umum terdapat kesamaan,
yaitu digunakannya bahasa Indonesia yang berciri baku.
Dari segi proses terbentuknya, secara implisit, perbedaan itu terlihat
dari terbentuknya kedua kedudukan bahasa Indonesia, yakni sebagai
bahasa nasional dan sebagai bahasa negara. Dari paparan terdahulu,
kiranya dapat dipahami bahwa latar belakang timbulnya kedudukan
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan kedudukan bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara jelasjelas berbeda. Adanya bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional didorong oleh rasa persatuan bangsa
Indonesia pada waktu itu. Bangsa Indonesia sadar bahwa persatuan
merupakan sesuatu yang mutlak guna mewujudkan suatu kekuatan.
Untuk itu, diperlukan sarana penunjang; salah satunya berupa sarana
komunikasi yang disebut bahasa. Dengan berbagai pertimbangan seperti
telah dipaparkan di depan, ditetapkanlah bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional.
Berbeda halnya dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara. Terbentuknya dilatari oleh kondisi bahasa Indonesia itu sendiri,
yang secara geografis pemakaiannya menyebar ke hampir seluruh wilayah
Indonesia dan dikuasai oleh sebagian besar penduduknya. Di samping itu,
pada saat itu bahasa Indonesia telah disepakati oleh pemakainya sebagai
bahasa pemersatu bangsa, sehingga ketika ditetapkannya sebagai bahasa
negara, seluruh pemakai bahasa Indonesia yang sekaligus sebagai
penduduk Indonesia tersebut menerimanya dengan suara bulat.
Dengan memahami, menghayati, dan melaksanakan fungsi-fungsi
bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional maupun
sebagai bahasa negara, diharapkan bisa diwujudkan adanya integrasi
nasional dan harmoni sosial di kalangan penutur bahasa Indonesia yang
sifatnya heterogen dari segi etnis, agama, bahasa daerah, dan latar
belakang budaya daerah.

23
REFERENSI

Halim, Amran. 1980. Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia (dalam Halim
[ed.]). Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.
Hs. Widjono. 2008. Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT. Grasindo,
Kridalaksana, Harimurti. 1978. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende -
Flores: Nusa Indah.
Maryani, Yani, dkk. 2005. Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung:
Pustaka Setia,
Masnur M. dan Suparno. 1987. Bahasa Indonesia: Kedudukan, Fungsi,
Pembinaan dan Pengembangannya. Bandung: Jemmars.
Moeliono, Anton M. 2000. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia (dalam
Hassan Alwi dan Dendy Sugono [ed.]). Bahasa Indonesia dalam Era
Globalisasi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Depdiknas.
Slametmulyana. 1965. Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Jambatan.

24
25

You might also like