You are on page 1of 10

TereLiye “Bumi” 178

sekali tidak masuk akal. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana
membantahnya. Aku me­mutus­kan ber­tanya.

”Tidak tahu. Yang pasti, sosok tinggi kurus di aula tadi


me­nyebutku ‘Makhluk Tanah’, orang-orang lemah. Itu satu. Dia pasti
merujuk penduduk Bumi saat ini. Dia juga menyebut Seli dengan sebutan
Klan Matahari yang berjalan di atas tanah. Itu dua. Terakhir tentu saja
dunia yang kita lihat sekarang. Aku tidak tahu namanya, kita sebut saja
Klan Bulan, karena di mana-mana ada Bulan termasuk bangunan balon
ini. Itu berarti tiga. Mungkin masih ada lagi dunia lain yang berjalan
serentak, tapi aku tidak tahu.

”Dan aku tahu kenapa kamu bisa mengerti dan berbicara dalam
bahasa mereka, Ra. Sosok tinggi kurus menyebalkan itu berkali-kali
bilang kamu tidak dimiliki dunia Bumi, bukan? Kamu dimiliki dunia kita
sekarang berada. Itu masuk akal. Aku tidak tahu penjelasan detailnya,
sepertinya kamu menguasai begitu saja bahasa mereka.” Ali mengangkat
bahu.

Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tangan. Entahlah,


apakah aku bisa memercayai penjelasan si genius ini.

”Kalian tahu, ini keren. Bahkan Einstein tidak pernah bisa


membayangkan ada dunia paralel di sekitarnya. Dia hanya bisa
menjelaskan bahwa waktu bersifat relatif. Einstein mungkin saja benar,
imajinasi adalah segalanya, lebih penting dibanding ilmu pengetahuan.
Tetapi menyaksikan sendiri semua ini, mengetahui pengetahuan tersebut,
lebih dari segalanya.” Ali nyengir.

Aku bersandar ke dinding kamar, membiarkan si genius itu senang


sendiri.

”Fisikawan, astronom, ahli matematika terkemuka Galileo Galilei


hanya bisa membuktikan teori Heliosentris Copernicus. Entah bagaimana
reaksinya jika mendengar ada dunia lain berjalan serempak di atas Bumi.
Kemungkinan dia akan seperti pen­dukung teori Geosentris, kaum fanatik
tidak berpengetahuan, tidak percaya.”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 179

”Buku PR matematikamu, Ra.” Seli teringat sesuatu, me­motong


kesenangan Ali.

Aku menoleh kepada Seli.

”Bukankah kita bisa masuk ke dunia ini karena buku PR


mate­matikamu tadi?” Seli berseru. ”Kita bisa kembali lagi ke kota kita
dengan cara yang sama.”

Seli benar. Aku bergegas hendak berdiri, mengeluh. Bukankah


buku itu tadi tertinggal di kamar si kecil? Karena kami telanjur kaget.
Aduh, bagaimana mengambilnya sekarang?

Ali membuka tas ranselnya. ”Aku sudah membawanya, Ra.”

Aku dan Seli menghela napas lega.

”Aku khawatir, kalian akan meninggalkan banyak benda jika tidak


ada yang berpikir dua langkah ke depan.” Ali tersenyum bangga.

Aku menerima buku PR matematika dari Ali. Semangat


me­letak­kannya di lantai kayu, menelan ludah, menatap buku itu,
bersiap. ”Ayo, bersinarlah lagi,” aku berbisik.

Satu menit berlalu tanpa terjadi sesuatu.

”Sayangnya, buku ini hanya buku biasa sekarang, Ra.” Ali


meng­embuskan napas pelan. ”Aku sudah memikirkan kemungkin­an itu
tadi, sempat mengintip ke dalam tas ransel saat kita ber­ada di atap
bangunan balon. Buku ini tidak mengeluarkan sinar apa pun lagi.”

Lengang. Buku itu tergeletak di lantai. Gambar bulan sabit di


sampulnya tidak bersinar.

Seli menatap amat kecewa. ”Bagaimana kita pulang, Ra?”

Aku menatap Ali. Dia si geniusnya.

Ali bangkit berdiri. ”Kita akan menemukan caranya. Mungkin tidak


malam ini. Tapi cepat atau lambat kita akan menemukan cara­nya. Setiap
ada pintu masuk, selalu ada pintu keluar.”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 180

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 181

KU memeluk Seli yang menangis, menghiburnya, bilang semua akan


baik-baik saja, termasuk di kota tempat kami entah berada di mana.
Semua juga akan baik-baik saja. Semoga orang­tua kami tidak bereaksi
berlebihan.

Sebenarnya aku juga butuh dihibur. Aku cemas sekali me­mikirkan


Mama di rumah, tapi siapa yang akan menghiburku? Jelas Ali tidak akan
menghibur siapa pun. Anak itu memutuskan tidur. Ali berkata dengan
intonasi datar, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan, sebaiknya
beristirahat, menyimpan energi buat besok.

Aku tahu, apa yang dilakukan Ali adalah pilihan paling rasio­nal.
Memang tidak ada yang bisa kami lakukan. Ini sudah larut, jam di
dinding yang meskipun bentuknya lebih mirip panci, tapi setidaknya
sama dengan jam yang aku kenal, ada dua belas angka—jarum
pendeknya telah menunjuk pukul dua belas. Aku menatap lantai kayu
lamat-lamat. Entah di mana pun kami ber­ada, di dunia lain atau bukan,
setidaknya malam ini kami punya tempat bermalam dengan tuan rumah
yang ramah.

Aku menolak tidur di atas ranjang. Ali yang memakainya setelah


menurunkan bantal-bantal, seprai, dan selimut. Ranjang itu segera
bergerak ke langit-langit kamar. Ali di atas sana sempat berseru, bilang
betapa ajaib kasurnya, bisa menyesuaikan diri dengan kontur badan, juga
langit-langit persis di atas kepala­nya mengeluarkan cahaya lembut yang
nyaman. Aku tidak terlalu mendengarkan. Aku menghamparkan seprai
dan selimut di lantai, tidak lengket, seprainya tebal, empuk untuk
ditiduri. Bantalnya juga menyenangkan, sama seperti kasur yang
diocehkan Ali di atas ranjang sana, mengikuti kontur kepala dan badan
saat ditindih.

”Kamu harus tidur, Sel,” aku berbisik.

Seli menyeka pipinya, mengangguk.

”Atau kamu butuh sesuatu untuk dimakan?” aku bertanya


memastikan.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 182

”Aku tidak lapar lagi, Ra.”

Aku tersenyum. ”Besok kita akan pulang, dan segera ikut Klub
Menulis Mr. Theo.”

***

Tidur dalam situasi banyak pikiran memang tidak mudah. Tapi


dengan badan letih, sakit, ngilu, kami akhirnya jatuh ter­tidur, kemudian
bangun kesiangan. Cahaya matahari me­nerobos daun jendela, menyinari
wajah. Aku segera membuka mata. Ada yang sudah membuka gorden,
bahkan sekaligus mem­buka jendela. Udara pagi yang segar terasa lembut
me­nerpa wajah.

Aku beranjak berdiri, memeriksa sekitar. Seli masih me­ringkuk


tidur, sepertinya dia yang terakhir jatuh tertidur tadi malam. Ranjang di
dinding kosong. Ali tidak ada.

Aku melangkah ke jendela, menatap keluar. Kalau saja aku


mengerti apa yang sedang terjadi, ini sebenarnya pemandangan yang
fantastis. Tiang-tiang tinggi dengan bangunan berbentuk balon berwarna
putih memenuhi lembah. Jauh di bawah sana, di dasar lembah,
hamparan hutan lebat, memesona, dengan rombong­an burung terbang.
Aku belum pernah me­lihat hutan seindah ini, sejauh mata memandang.

”Kamu sudah bangun, Ra?”

Aku menoleh. Ali keluar dari pintu bulat yang ada di ka­mar.

”Kamu harus mencoba mandi, Ra. Fantastis!” Ali tersenyum. Dia


sedang merapikan pakaian yang dia kenakan, menyisir ram­but­nya yang
berantakan dengan jemari tangan—dan tetap berantakan meski berkali-
kali dirapikan.

”Kamu habis mandi?” Aku menatap Ali.

”Apa lagi?” Ali tertawa, mengangkat bahu. ”Dan kamu harus


mencoba pakaian yang ada dalam lemari. Lihat!”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 183

Ali memamerkan pakaian yang dia kenakan. Tidak ada lagi seragam
sekolah kotornya. Ali juga memakai sepatu baru. Seperti sepatu boot
hitam setinggi betis.

”Ini tidak seaneh seperti yang kamu lihat,” Ali meyakin­kan.


”Bahkan sebenarnya pakaian ini nyaman. Aku bisa bergerak bebas. Lihat.
Sepatunya juga amat lentur, seperti tidak memakai sepatu. Aku bisa
menekuk jari kaki dengan mudah. Mungkin komposisi warnanya terlihat
aneh. Orang-orang di dunia ini sepertinya suka sekali warna gelap, tapi
itu bukan masalah. Kamu tahu, Ra, tidak ada yang lebih penting dari
pakaian selain nyaman dipakai. Peduli amat dengan selera warna orang
lain.”

Aku mengembuskan napas. Sepertinya Ali sudah menyesuai­kan


diri dengan cepat di dunia lain ini. Dan sejak kapan dia peduli soal
pakaian? Bukankah selama ini di sekolah dia selalu datang berantakan?

Seli bangun mendengar percakapan kami. Aku menyapanya. Seli


menjawab pelan. Wajahnya masih kusam. Sepertinya dia lebih suka
semua ini hanya mimpi buruk, terbangun di kota kami, dan semua mimpi
buruknya hilang. Tapi mau bagaimana lagi? Bahkan aku tadi bangun,
langsung harus melihat Ali yang tiba-tiba memperagakan pakaian,
bergaya.

Pintu bulat kamar ke arah lorong diketuk dari luar.

Kami bertiga saling tatap.

”Apakah kalian sudah bangun?” terdengar suara ramah.

Aku menjawab. ”Ya. Kami sudah bangun.”

”Apakah aku boleh masuk?”

Aku menjawab pendek, ”Ya.”

”Siapa, Ra?” Seli berbisik, tidak mengerti percakapan.

Pertanyaan Seli terjawab sendiri saat ibu si kecil mendorong pintu


bulat. Dia tersenyum ke arah kami. ”Bagaimana tidurnya? Nyenyak,
bukan?”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 184

Aku mengangguk.

”Oh, kamu mengenakan pakaian itu.” Ibu si kecil menatap Ali,


tersenyum lebar. ”Cocok sekali. Kamu terlihat tampan.”

”Dia bilang apa, Ra?” Ali bertanya.

”Dia bilang kamu harus hati-hati memakainya, jangan sampai robek


atau rusak. Itu baju mahal,” aku menjawab asal.

”Kamu tidak menipuku kan, Ra?” Ali tidak percaya.

Aku nyengir lebar.

”Aku sedang menyiapkan sarapan di dapur. Setengah jam lagi


matang. Kalau kalian sudah siap, jangan sungkan, ayo bergabung. Si kecil
pasti senang meja makan ramai setelah hampir setahun kakaknya tidak
ada di rumah.” Ibu si kecil tersenyum hangat.

Aku mengangguk, bilang akan segera menyusul.

”Ruangannya ada di ujung lorong ini, belok kanan hingga kalian


me­nemukan pintu berikutnya. Jangan lama-lama, nanti sarapannya
dingin.” Wanita itu tersenyum sekali lagi sebelum melangkah ke pintu
bundar, kembali ke dapur.

”Apa yang akan kita lakukan, Ra?” Seli bertanya setelah kami
tinggal bertiga.

”Kita mandi pagi, Sel,” aku menjawab pelan. Ali memang yang
paling logis di antara kami bertiga. Kami diundang sarapan, maka akan
lebih baik jika kami datang dengan wajah segar.

”Mandi?” Seli menatapku.

Aku menoleh ke pintu kecil bulat di kamar.

Ali mengangguk, asyik menyisir rambutnya dengan jemari. ”Tenang


saja, kamar mandinya tidak sekecil pintunya. Dan kali­an tidak perlu
handuk sama sekali. Masuk saja. Itu kamar mandi yang fantastis. Lebih
luas dibanding kamar ini.”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 185

Aku mengangguk, mendorong pintu bulat kecil. Ali lagi-lagi benar.


Kamar mandi ini hebat. Saat aku menutup pintunya, belasan lampu
langsung menyala otomatis. Aku berada di tabung bulat besar dengan
banyak kompartemen. Dindingnya terbuat dari kaca, mengeluarkan sinar
lembut. Ada kompartemen untuk meletakkan pakaian kotor, ada
kompartemen untuk pakaian bersih, wastafel, dan sebagainya seperti
yang kukenali—meski bentuknya aneh. Kejutan terbesarnya saat aku
masuk ke ruangan mandinya. Ada belasan keran memenuhi dinding
tabung. Saat tombol keran ditekan, bukan air yang keluar, melainkan
udara segar, menerpa badan seperti memijat. Aku jelas tidak terbiasa
mandi dengan udara, siapa yang terbiasa? Tapi itu seru, tidak ada
bedanya mandi dengan air. Tabung mandi segera dipenuhi aroma wangi
dan gelembung kecil, badanku bersih dan segar.

”Bagaimana?” Ali cengengesan bertanya saat aku keluar.

Aku tidak menjawab. Aku sedang memperbaiki posisi pakaian yang


kukenakan. Aku tidak bisa mengenakan seragam sekolah yang kotor, jadi
tadi mengambil sembarang di kompartemen pakaian bersih, memilih
pakaian dengan warna paling terang—meski tetap gelap juga. Awalnya
jijik memegang baju lengket itu, tapi saat dikenakan, baju tersebut
menempel di badan dengan nyaman, segera menyesuaikan ukuran,
termasuk kerah di leher. Aku mengenakan sepatu yang serupa dengan Ali,
sepatu ini membuatku melangkah lebih ringan.

Aku tersenyum puas. Sepertinya aku bisa menyukai pakaian dunia


ini.

”Kamu juga harus hati-hati mengenakan pakaian ini, Ra.” Ali juga
nyengir melihatku sedang becermin.

”Kenapa?” Aku menoleh.

”Kan kamu sendiri yang bilang bahwa pakaian ini ma­hal, jangan
sampai rusak.”

Aku tertawa kecil.

Seli juga ikut mandi setelah aku meyakinkan apa salahnya.


Seragam sekolahnya paling kotor. Dia juga harus berganti pakai­an. Seli

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 186

keluar dari pintu bulat kecil dengan wajah lebih segar lima belas menit
kemudian. Dia mengenakan baju lengan pen­dek, celana panjang gelap
yang seperti menyatu dengan sepatunya, dilapis rok hingga lutut. Seli
terlihat modis—seperti biasanya, di sekolah dia selalu terlihat paling rapi
berpakaian.

Kami sudah siap, tidak berbeda dengan tampilan orang-orang di


dunia ini.

Saatnya sarapan.

***

”Wow, kalian terlihat berbeda sekali dengan pakaian-pakaian itu,”


Ilo menyapa kami, tertawa lebar.

”Itu sebenarnya bukan pujian buat kalian.” Ibu si kecil ikut tertawa.
Dia sedang meletakkan makanan di atas meja.

Aku menatap wanita itu, tidak mengerti.

”Pekerjaan suamiku adalah desainer pakaian. Semua pakaian yang


kalian kenakan, juga pakaian yang kami kenakan adalah desain­nya. Jadi
dia sedang memuji diri sendiri.” Ibu si kecil sambil tertawa menjelaskan.

”Desainer pakaian?” aku bergumam. Si kecil melambaikan tangan


kepada kami. Wajahnya yang kemerah-merahan terlihat lucu
menggemaskan.

”Iya, desainer pakaian.” Ibu si kecil mengangguk. ”Ayo, semua


duduk, masakan sudah siap.”

Tiga kursi bergerak keluar dari meja makan.

Seli memeriksa selintas, melirikku, mengira-ngira apakah kursi ini


akan ber­putar saat diduduki. Ali sudah duduk nyaman. Itu hanya kursi
kayu seperti umumnya, meskipun bentuknya lebih mirip tunggul kayu.
Kursi ini menempel di lantai, jadi tidak akan melayang. Aku dan Seli
duduk.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 187

”Perkenalkan, ini istriku, Vey, sedangkan si kecil, Ou. Nah, Ou, tiga
kakak-kakak ini namanya Raib, dengan rambut hitam panjangnya, indah
sekali, kan? Seli, yang rambutnya pendek, dan satu lagi, Ali, yang
rambutnya berantakan.” Ilo mem­perkenalkan kami.

Ou terlihat riang. Dia malah turun dari bangkunya, me­nyalami


kami bergantian.

”Dia bilang apa? Kenapa dia melihat ke arah rambutku?” Ali


berbisik kepadaku.

Aku tertawa, sepertinya menyenangkan menjadi orang yang lebih


tahu dibanding si genius ini—bisa membalas gayanya saat meremehkan
orang lain. ”Dia bilang rambutmu yang paling keren di antara semua
orang.”

”Oh ya?” Ali nyengir, refleks menyisir lagi rambut be­rantakan­nya


dengan jemari.

”Kakak si kecil namanya Ily. Seperti yang kubilang semalam,


usianya mungkin dua atau tiga tahun di atas kalian. Saat ini dia
bersekolah di akademi yang jauh dari sini. Dia suka sekali de­ngan sistem
dan peralatan canggih. Dia bilang, sistem trans­portasi dan sistem lainnya
di kota ini ketinggalan zaman. Anak muda se­umuran dia selalu semangat
belajar,” Ilo menambahkan.

”Ayo anak-anak, jangan ragu-ragu, silakan dinikmati


makan­annya.” Vey tersenyum.

Kami mulai sarapan.

Entah berada di dunia apa pun, sarapan tetaplah sarapan yang


menyenangkan. Keluarga ini ramah. Ou sedang suka ber­celoteh. Vey
gesit dan tangkas membantu kami. Dan yang lebih penting lagi,
masakannya enak. Bahkan Ali yang se­lalu santai meng­hadapi dunia ini
tetap mengernyit saat pertama kali melihat makanan di atas piring—
piringnya lebih mirip sepatu dengan lubang kaki yang besar. Masakannya
lebih aneh lagi, itu seperti bubur, tapi dengan warna gelap.

http://pustaka-indo.blogspot.com

You might also like